SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Gelar Sar jana Hukum pada Fakultas Hukum UPN “Veteran” J awa timur
Oleh :
ADRIANSYAH
NPM. 0771010144
YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN
PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
“VETERAN” J AWA TIMUR
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
SURABAYA
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayaNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Disini peneliti mengambil judul : ”PERBANDINGAN HUKUM PERKAWINAN DIBAWAH UMUR ANTARA HUKUM ADAT MADURA DENGAN UU NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN”.
Penyusunan Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan sesuai kurikulum di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Disamping itu dapat memberikan hal-hal yang berkaitan dengan disiplin ilmu dalam penyusunan Skripsi.
Penulisan Skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan, dan dorongan oleh beberapa pihak. Oleh karena itu mengucapkan banyak terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak Haryo Sulistiyantoro, S.H., M.M selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
2. Bapak Sutrisno, S.H., M.Hum selaku Wadek I Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur dan Selaku Dosen Pembimbing Utama
3. Bapak Drs. EC Gendut Soekarno, MS selaku Wadek II Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
6. Bapak Fadli, Selaku Tokoh Masyarakat Kabupaten Bangkalan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk diwawancarai
7. Bapak Sayeki Selaku Tokoh Masyarakat Kabupaten Bangkalan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk diwawancarai
8. Ustadz Rifai, Selaku Tokoh Masyarakat Kabupaten Bangkalan yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk diwawancarai
9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
10. Staff Tata Usaha beserta seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
11. Kedua orang tua tercinta, dan seluruh saudara-saudara yang telah memberikan dukungan moral maupun material serta doa dan restunya selama ini.
12. Teman-teman seperjuangan Rakhmad, Zendy, Abu, Febrina, Kadek, Jai dan seluruh Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Penulis menyadari bahwa penyusunan Skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun peneliti harapkan guna perbaikan dan penyempurnaan sehingga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak.
HALAMAN J UDUL ... i
HALAMAN PERSETUJ UAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN REVISI ... iv
HALAMAN PERNYATAAN ... v
KATA PENGHANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
ABSTRAKSI ... xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG ... 1
1.2 PERUMUSAN MASALAH ... 4
1.3 TUJUAN PENELITIAN ... 4
1.4 MANFAAT PENELITIAN ... 5
1.5 KAJIAN PUSTAKA ... 5
1.5.1 Pengertian Perkawinan ... 5
1.5.1.1Pengertian Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974 ... 6
1.5.1.2Perkawinan Menurut Hukum Adat ... 7
1.5.1.3Perkawinan Menurut Hukum Islam ... 13
Perdata ... 14
1.5.2.2Perkawinan Dibawah Umur menurut Konsep Hukum Adat ... 16
1.5.2.3Perkawinan Dibawah Umur menurut Konsep Undang -Undang R.I sekarang ... 17
1.5.3 Hukum Adat ... 17
1.5.4 Adat Madrura ... 19
1.5.5 Anak Dibawah Umur ... 22
1.5.6 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ... 22
1.6 METODE PENELITIAN... ... 24
1.6.1 Pendekatan Masalah ... 25
1.6.2 Sumber Data ... 26
1.6.3 Metode Pengumpulan Data ... 27
1.6.4 Metode Analisis Data ... 28
1.6.5 Sistematika Penulisan... 29
BAB II PELAKSANAAN PERKAWINAN DALAM HUKUM ADAT MADURA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pelaksanaan Hukum Perkawinan Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan... 31
1974 tentang perkawinan ... 47
BAB III AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DIBAWAH UMUR
MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
3.1 Akibat Hukum Perkawinan Menurut Hukum Adat Madura ... 52 3.2 Akibat Hukum Perkawinan Dibawah Umur Menurut
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 53 BAB IV PENUTUP
xii Nama Mahasiswa : Adriansyah
NPM : 0771010144
Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, 15 Juli 1987 Program Studi : Strata 1 ( S1 )
Judul Skripsi :
PERBANDINGAN HUKUM PERKAWINAN DIBAWAH UMUR ANTARA HUKUM ADAT MADURA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
ABSTRAKSI
Setiap manusia yang dilahirkan kedunia memiliki kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lain salah satunya dengan perkawinan. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan hukum yang mengatur perkawinan ialah Hukum agama dan hukum adat.
Tujuan penulisan adalah merumuskan pelaksanaan perkawinan dibawah umur menurut hukum adat Madura dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan akibat hukum perkawinan dibawah umur menurut hukum adat Madura dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang dikaji melalui metode pendekatan yuridis empiris.
Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 7 ayat 1 mengatakan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun. Sedangkan secara hukum adat batas usia untuk melakukan suatu perkawinan tidak sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan. Sehingga perlu adanya suatu cara pelaksanaan perkawinan yang sesuai menurut hukum adat serta menurut ketentuan perundang-undangan.
Setiap perkawinan yang dilakukan dimana salah satu atau keduanya masih berusia dibawah umur berdasarkan ketentuan Undang-Undang dapat menimbulkan suatu dampak bagi kedua belah pihak, baik dalam hubungannya dengan mereka sendiri maupun terhadap keluarga mereka masing-masing. Sehingga perlu adanya suatu ketentuan batas usia dalam melakukan perkawinan agar setiap pasangan yang akan melakukan perkawinan memiliki kematangan dalam berfikir dan kematangan jiwa dalam menghadapi masalah rumah tangga, sehingga tidak terjadi pertengkaran yang berujung pada perceraian.
Bahwa perkawinan dibawah umur masih terjadi jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan akan tetapi jika berdasarkan hukum adat perkawinan tersebut tidak dianggap perkawinan dibawah umur dan hal itu sah menurut adat Madura.
2.1 Pelaksanaan Hukum Per kawinan Menur ut Undang Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Per kawinan
Pada saat ini hukum negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut ketentuan pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Untuk dapat mewujudkan tujuan tersebut, salah satu syaratnya adalah bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah matang jiwa raganya. Oleh karena itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan.
harus mendapat izin kedua orang tua sesuai dengan ketentuan pasal 6 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,
Meskipun demikian dalam hal perkawinan di bawah umur terpaksa dilakukan, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 masih memberikan kemungkinan penyimpangannya. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu dengan adanya dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita sebagai wali bagi yang belum mencapai batas umur minimal tersebut .
Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan dan Pengawasannya Pada dasarnya kegiatan pelaksanaan perkawinan, pencatatan dan pengawasannya dibagi dalam dua kegiatan, yang pertama yaitu kegiatan yang dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, sedangkan kegiatan lainnya dilaksanakan di Kantor Departemen Agama Kabupaten yang meliputi kegiatan pengelolaan formulir NTCR ( Nikah, Cerai Talak Rujuk ) laporan jumlah NTCR setiap bulan dan tri wulan juga kegiatan yang bersifat pengawasan terhadap tugas Pegawai Pencatat Nikah atau Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan.
a. Pemberitahuan Kehendak Nikah
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatatan di tempat perkawinan yang akan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10 ( hari ) kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
Pemberitahuan Kehendak Nikah memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istrinya atau suaminya terdahulu.
Pemberitahuan kehendak nikah dapat dilakukan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya dengan membawa surat-surat yang diperlukan yaitu :
1. Perkawinan untuk sesama Warga Negara Indonesia
Bagi tiap warga Negara Indonesia yang akan melakukan perkawinan ada beberapa syarat yang wajib dipenuhi antara lain : a. Foto Copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) untuk calon Pengantin
(catin) masing-masing 1 (satu) lembar.
b. Surat pernyataan belum pernah menikah (masih gadis/jejaka) di atas segel/materai bernilai minimal Rp.6000,- (enam ribu rupiah) diketahui RT, RW dan Lurah setempat.
c. Surat keterangan untuk nikah dari Kelurahan setempat yaitu Model N1, N2, N4, baik calon Suami maupun calon Istri.
1) Surat keterangan untuk kawin dari Kepala Desa yang mewilayahi tempat tinggal yang bersangkutan (N1)
2) Akte kelahiran atau surat keterangan asal-usul (N2) 3) Surat Persetujuan kedua calon mempelai (N. 3) 4) Surat keterangan mengenai orang tua (N4)
e. Bagi yang berstatus duda/janda harus melampirkan Surat Talak/Akta Cerai dari Pengadilan Agama, jika Duda/Janda mati harus ada surat kematian dan surat Model N6 dari Lurah setempat.
f. Harus ada izin/Dispensasi dari Pengadilan Agama bagi :
1) Surat izin dan dispensasi, bagi calon mempelai yang belum mencapai umur menurut ketentuan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 6 ayat (2) s/d (6) dan Pasal 7 ayat (2).
g. Ijin Orang Tua ( Model N5 ) bagi calon Pengantin yang umurnya kurang dari 21 tahun baik calon Pengantin laki-laki/perempuan. h. Bagi Calon Pengantin yang tempat tinggalnya bukan di wilayah
k. Kedua caten mendaftarkan diri ke KUA Pasar Minggu sekurang-kurangnya 10 ( sepuluh ) hari kerja dari waktu melangsungkan Pernikahan. Apabila kurang dari 10 ( sepuluh ) hari kerja, harus melampirkan surat Dispensasi Nikah dari Camat Bangka
l. Bagi WNI keturunan, selain syarat-syarat tersebut dalam poin 1
Setelah persyaratan perkawinan terpenuhi maka calon mempelai selanjutnya mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama dengan menyerahkan pemberitahuan kehendak nikah dan syarat-syarat perkawinan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang kemudian disingkat menjadi ( PPN)
PPN yang menerima pemberitahuan kehendak nikah meneliti dan memeriksa berkas –berkas yang ada apakah sudah memenuhi syarat
43
atau belum, apabila masih ada kekurangan syarat maka diberitahukan adanya kekurangan tersebut. Setelah itu dilakukan pemeriksaan terhadap calon suami, calon istri dan wali nikahnya yang dituangkan dalam Daftar Pemeriksaan Nikah (Model NB).
Jika calon suami/istri atau wali nikah bertempat tinggal di luar wilayah KUA Kecamatan dan tidak dapat hadir untuk diperiksa, maka pemeriksaannya dilakukan oleh PPN yang mewilayahi tempat tinggalnya. Apabila setelah diadakan pemeriksaan nikah ternyata tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan baik menurut hukum munakahat maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku maka PPN berhak menolak pelaksanaan pernikahan dengan cara memberikan surat penolakan beserta alasannya.
Setelah pemeriksaan dinyatakan memenuhi syarat maka calon suami, calon istri dan wali nikahnya menandatangani Daftar Pemeriksaan Nikah. Setelah itu yang bersangkutan membayar biaya administrasi pencatatan nikah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. c. Pengumuman Kehendak Nikah
dilangsungkan dan KUA Kecamatan tempat tinggal masing-masing calon mempelai.
PPN tidak boleh melaksanakan akad nikah sebelum lampau 10 hari kerja sejak pengumuman, kecuali seperti yang diatur dalam psl 3 ayat 3 PP No. 9 Tahun 1975 yaitu apabila terdapat alasan yang sangat penting misalnya salah seorang calon mempelai akan segera bertugas keluar negeri, maka dimungkinkan yang bersangkutan memohon dispensasi kepada Camat selanjutnya Camat atas nama Walikota/Bupati memberikan dispensasi.44
d. Pelaksanaan Akad Nikah
1. Pelaksanaan Upacara Akad Nikah :
Bagi calon mempelai yang akan menikah dapat menentukan tempat dilangsungkannya Upacara Akad Nikah antara lain:
a) di Balai Nikah/Kantor Urusan Agama
b) di Luar Balai Nikah : rumah calon mempelai, masjid, gedung dll 2. Pemeriksaan Ulang :
Sebelum pelaksanaan upacara akad nikah PPN /Penghulu terlebih dahulu memeriksa/mengadakan pengecekan ulang persyaratan nikah dan administrasinya kepada kedua calon pengantin dan walinya untuk melengkapi kolom yang belum terisi pada waktu pemeriksaan awal di kantor atau apabila ada perubahan data dari
hasil pemeriksaan awal. Setelah itu PPN/ Penghulu menetapkan dua orang saksi yang memenuhi syarat.
3. Akad Nikah dan Pencatatannya
Bagi calon mempelai yang akan melaksanakan Akad Nikah dan Pencatatannya harus mengikuti beberapa ketentuan antara lain : a) Akad nikah dilangsungkan dibawah pengawasan / dihadapan
PPN, dan setelah akad nikah dilangsungkan.
b) Kalau nikah dilangsungkan diluar Balai Nikah, nikah itu dicatat dalam halaman 4 model NB dan ditandatangani oleh suami, isteri, wali nikah dan saksi-saksi serta PPN yang mengawasi akad nikah. Kemudian segera didaftar dalam Akta Nikah (Model N). Dalam hal yang demikian itu, maka yang menandatangani dalam Akta Nikah hanya PPN saja. Tanda tangan masing-masing yang bersangkutan dihalaman 4 model NB.
c) Akta Nikah dibaca, dan dimana perlu diterjemahkan kedalam bahasa daerah dihadapan yang berkepentingan dan saksi-saksi kemudian ditandatangi oleh suami, isteri, wali nikah, saksi-saksi dan PPN.
d) Setelah itu PPN membuatkan kutipan Akta Nikah rangkap 2 (dua) dengan kode dan nomor porporasi yang sama.
f) Nomor ditengah pada model NB (Daftar Pemeriksaan Nikah) diberi nomor yang sama dengan nomor Akta Nikah.
g) Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah harus ditandatangani oleh PPN.
h) Dalam hal Penghulu yang melakukan pemeriksaan dan menghadiri akad nikah di luar Balai Nikah, tidak menanda tangani Daftar pemeriksaan Nikah dan halaman terakhir daftar tersebut ( halaman 4 model NB ).
i) PPN berkewajiban mengirimkan Akta-akta Nikah yang telah diselesaikan kepada Pengadilan Agama Kabupaten Bangkalan, apabila folio terakhir dari halaman Akta Nikah telah selesai dikerjakan.
4. Persetujuan, izin dan dispensasi
Bagi masyarakat yang akan menikah harus memperhatikan beberapa hal dalam memenuhi salah satu persyaratan dalam perkawinan antara lain :
a) Persetujuan
1) Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai
2) Seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun maka harus mendapat izin kedua orang tua
1) Bagi seseorang yang ingin beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan daersah tempat tinggalnya
2) Pemberian izin hanya diberikan kepada seseorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :
• Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagi istri
• Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
• Istri tidak dapat melahirkan ketururnan
3) Dispensasi
Bagi calon mempelai yang belum mencapai 19 tahun untuk pria dan 16 untuk wanita maka harus meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanitasetempat 5. Akad Nikah /Ijab Qobul
6. Pelaksanaan ijab qobul
Dilaksanakan sendiri oleh wali nikahnya terhadap calon mempelai pria, namun apabila karena sesuatu hal wali nikah/calon mempelai pria dapat mewakilkan kepada orang lain yang ditunjuk olehnya.
7. Penandatanganan Akta Nikah
oleh PPN. Akta perkawinan yang telah ditanda tangani oleh mempelai itu kemudian ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawi PPN yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
8. Pembacaan Ta’lik Nikah
9. Penandatanganan ikrar Ta’lik Nikah 10. Penyerahan maskawin/mahar
11. Penyerahan Buku Nikah/Kutipan Akta Nikah. 12. Nasihat perkawinan
13. Do’a penutup.45
2.2 Pelaksanaan Hukum Adat Madur a Dalam Per kawinan Dibawah Umur di Madur a
Adanya penyebaran agama di wilayah Indonesia membuat sebagian besar masyarakat adat di Indonesia terpengaruh terhadap ajaran-ajaran Hukum agama dan hukum tesebut berlaku secara berdampingan dengan adat setempat, Pengaruh Hukum agama tersebut hanya yang sifatnya nasional hanya nampak dalam pelaksanaan ibadah dan dalam pelaksanaan hubungan manusia dengan manusia seperti masalah hukum perkawinan. Salah satunya ialah perkawinan yang terdapat pada adat Madura.
Pada masyarakat adat Madura sebagian besar penduduknya beragama islam, hal ini terjadi karena adanya pengaruh penyebaran agama
yang telah masuk ke wilayah Madura. Dan hal tersebut juga berpengaruh besar pada hukum adat yang terdapat di Madura, salah satunya ialah hukum adat perkawinan yang terdapat di Madura Kabupaten Bangkalan yang mana perkawinan tersebut dilaksanakan secara hukum agama dan hkum adat, yaitu harus ada calon mempelai yang mana keduanya sudah akhir baliq, wali nikah, saksi, Kyiai/mudin dan mahar, serta adanya ijab dan qabul.46
Perkawinan yang terdapat pada masyarakat Madura ada dua system, yaitu sistem eleutherogami dan sistem endogami. Sistem endogami adalah dalam system ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seseorang dari suku keluarganya sendiri atau masih memiliki hubungan kekerabatan 47 . Sedangkan sistem eleutherogami Sedangkan sistem eleutherogami yang mana Sistem ini tidak mengenal larangan atau keharusan seperti halnya system endogami dan eksogami. Larangan yang ada biasanya menyangkut masalah nasab ( keturunan dekat ) dan ( pariparan ).48
Sebagian besar masyarakat Madura pada umunya banyak yang menganut sistem endogami namun karena pengaruh perkembangan zaman sistem perkawinan tersebut secara berangsur-angsur mengalami perubahan menuju kearah system eleutherogami. Tetapi sampi saat ini masih ada sebagian masyarakat yang masih menggunakan system perkawinan
46
Wawancara : Ustadz Abdul Rosid Abidin Kabupaten Bangkalan, Kecamatan Arus Baya, Desa Bebeluk, Kamis, 19/05/2011 jam 15:30
47
Yulies Tiena Masriani, Penghantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, h 137
endogami terutama mereka yang tinggal di daerah pelosok atau mereka
yang memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah.49
Proses perkawinan yang umum dilakukan adalah dimana seorang pria dan wanita sepakat untuk melakukan perkawinan ( ada juga sebagian yang dijodohkan oleh orang tuanya ), biasanya diawali dengan pertunangan yang kebanyakan dari mereka ditunangkan ketika usia masih dini. Terkadang kedua calon yang akan menikah tidak mengetahui bahwasanya mereka telah ditunangkan. Proses pernikahannya pun biasanya dilakukan secara sederhana, karena mereka menganggap berasal dari orang satu.50
Adapun cara pelaksanaannya dengan adanya dua calon mempelai yang dikumpulkan dalam suatu acara dengan adanya wali nikah, saksi, Kyiai/mudin dan mahar, serta adanya ijab dan qabul. Apabila dalam perkawinan tersebut tidak dilakukan sesuai dengan hukum agama maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah/ tidak benar, apabila pasangan tersebut melakukan hubungan suami istri maka pasangan tersebut akan dianggap berbuat zina, dan akan menerima sanksi sosial oleh sesepuh dan RT bersama warga setempat.
Perkawinan yang dilakukan pada masyarakat Adat di Madura seluruhnya dilakukan dengan menggunakan hukum agama baik itu di kota
pengetahuan umum bagi masyarakat setempat. Pelaksanaan Hukum perkawinaan yang ada pada masyarakat Madura memang menggunakan hukum agama namun hal tersebut tidak terlepas dari adat setempat, baik itu di Kabupaten Bangkalan, Pamekasan, Sampang dan Sumenep, salah satu contohnya ialah adanya prosesi pertunangan yang dilanjutkan dengan lamaran dengan memberi peningset atau panjer dan lain-lain.
Pada saat proses pemberian peningset, ngelamar atau proses menjelang pernikahan, maka apabila salah satu calon mempelai ingin membatalkan maka sebelum menjelang waktu pernikahanya, maka orang tua pihak yang akan membatalkan perkawinannya harus melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan orang tua pasangannya, hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi suatu kesalahpahaman, karena pembatalan yang dilakukan pada saat hari pernikahan merupakan suatu penghinaan apalagi bila calon mempelainya menikah dengan orang lain maka, hal tersebut bukan saja merupakan sebuah penghinaan tetapi juga menginjak harga diri masyarakat adat Madura.51
Pada mulanya perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Madura hanya menggunakan hukum adat saja tanpa adanya hukum agama dimana perkawinan tersebut dilakukan tanpa adanya batasan umur dan biasanya dilakukan dengan perjodohan terlebih dahulu namun setelah adanya penyebaran agama islam, hukum adat yang terdapat dimadura mengalami
51
pergeseran yang mana hukum adat yang terdapat dimadura dan hukum agama tersebut berlaku secara berdampingan dengan adat setempat.
Salah satunya ialah perkawinan yang terdapat pada adat Madura Kabupaten Bangkalan yang mana perkawinan tersebut dilaksanakan secara hukum agama dan hukum adat, yaitu harus ada calon mempelai yang mana keduanya sudah akhir baliq, wali nikah, saksi, Kyiai/mudin dan mahar, serta adanya ijab dan qabul.52
Perkawinan yang dilakukan masyarakat Madura kebanyakan dilakukan saat usia mereka belum mencapai usia yang ditentukan oleh undang-undang untuk melangsungkan perkawinan, hal ini disebabkan karena adanya dorongan beberapa faktor yaitu, adanya permintaan dari orang tua, untuk menghindari hal-hal yang tidak dinginkan serta adnya keinginan anak untuk menikah
Hukum Perkawinan Adat pada masyarakat Madura pada awalnya menggunakan cara perjodohan yang mana perkawinan tersebut dilaksanakan secara hukum agama serta hukum adat dan tanpa dicatat di Kantor Urusan Agama ( KUA ) dan kebanyakan masyarakatnya melakukan perjodohan dengan kerabat dekat/ seseorang yang masih memiliki hubungan keluarga, namun seiring berjalannya waktu perkawinan tersebut tidak lagi dilakukan hanya dengan kerabat dekat dan sebagian masyarakat mulai mendaftarkan perkawinannya di KUA .53
52 Ibid, 53
Dalam hal ini Proses perkawinan yang terdapat pada masyarakat Adat Madura dilakukan dalam beberapa tahap :
Dalam hal ini Proses perkawinan yang terdapat pada masyarakat Adat Madura dilakukan dalam beberapa tahap :
1. Proses pertama ialah pihak keluarga pria mengutus seseorang ke keluarga pihak wanita ( dalam hal ini bisa orang tua atau salah satu keluarga dari pihak pria ) untuk menanyakan ke pada si wanita, apakah ada halangan ( sudah terikat oleh sebuah pertunangan atau belum / menanyakan status secar kiasan ) atau tidak, apabila tidak ada maka akan dilanjutkan dengan acara Abekalan
2. Abekalan ialah proses meminang atau meminta tanpa ada jajanan. Pada
tahap ini keluarga pihak pria melakukan rundingan dengan keluarga pihak wanita, apakah ada kata sepakat untuk bertunangan atau tidak.
Dalam tahap ini dari pihak wanita bisa menolak atau menerima, apabila diterima saat itu juga pihak wanita sudah resmi mempunyai ikatan bertunangan. Setelah itu pihak keluarga dari laki-laki baru menentukan harinya melamar atau bertunangan ( tukar cincin ). Bila dari pihak pria sudah menentukan harinya dilakukan ( Mar-lamar ) lamaran.
3. Mar-lamar (lamaran) yaitu meminang yang mengandung arti “meminta”.
buah-buahan dan cincin. Setelah ada serah terima dari keluarga pihak pria kemudian ada balasan dari keluarga pihak wanita yang disebut (Lancengan) ,dan biasanya jajanan tersebut di dominasi dengan ikan. 4. Acara selanjutnya ialah Kabinan atau menikah yang mana dalam proses
ini Keluarga pria menentukan hari pernikahannya berdasarkan saton atau weton dari nama pihak pria maupun wanita atau bahkan dari kedua nama
pihak pria maupun pihak wanita.
Apabila dalam penentuan hari pernikahannya berdasarkan saton atau wetonnya tidak mendapat hari yang baik/bagus maka, Pihak keluarga pria mencari sendiri hari baiknya dengan cara mengganti nama calon mempelai baik dari pihak pria maupun dari pihak wanita. Dalam hal ini penggantian nama tersebut harus ada rokaatnya ( Slametan yang artinya bersyukur atas pemberian nama baru ).
5. Ojeng Mantoh merupakan Suatu acara kunjungan dari keluarga pihak
pria kekeluarga pihak wanita untuk sungkeman ke Orang tua mempelai wanita dan juga berkenalan dengan keluarga dari mempelai wanita, setelah itu kemudian keluarga pihak mempelai wanita berkunjung ke keluarga pihak mempelai putra dengan istilah Amain.
6. Amain yaitu memepleai wanita berkunjung kerumah mempelai pria untuk
sungkeman ke Orang tua mempelai pria dan juga berkenalan dengan keluarga dari mempelai putra, kemudian keluarga mempelai pria memberikan uang kepada mempelai wanita sekedarnya, yang dalam bahasa maduranya nyebbur mentapcap yang artinya walaupun uangnya hanya sekedarnya.54
2.3 Perbandingan Antar a Pelaksanaan per kawinan Dibawah Umur Dalam Hukum Adat Madur a Dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang per kawinan
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan dan
tujuannya adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dimana untuk
dapat mewujudkan tujuan perkawinan, salah satu syaratnya adalah bahwa
para pihak yang akan melakukan perkawinan telah masak jiwa raganya. Oleh
54
karena itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan batas
umur minimal untuk melangsungkan perkawinan.
Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan
bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19
tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Dari adanya batasan
usia ini dapat ditafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak
mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur yang telah ditentukan
oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Namun Di lain pihak hukum adat tidak menentukan batasan umur
bagi orang untuk melaksanakan perkawinan. Bahkan hukum adat tidak
melarang perkawinan anak-anak yang dilaksanakan ketika anak masih berusia
kanak-kanak. Hal ini dapat terjadi karena di dalam Hukum Adat perkawinan
bukan saja merupakan persatuan kedua belah mempelai tetapi juga
merupakan persatuan dua buah keluarga kerabat. Adanya perkawinan di
bawah umur atau perkawinan kanan-kanak tidak menjadi masalah di dalam
Hukum Adat karena kedua suami isteri itu akan tetap dibimbing oleh
keluarganya, yang dalam hal ini telah menjadi dua keluarga, sehingga Hukum
Adat tidak melarang perkawinan kanak-kanak.
Positif yang berlaku di Indonesia dengan hukum adat yang ada maka jelas,
hal itu sangat bertentangan, karena berdasarkan Pasal 7 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa “Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita
sudah mencapai usia 16 tahun”.
Dari hal tersebut ditafsirkan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur. Pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.
Meskipun demikian dalam hal perkawinan di bawah umur terpaksa
dilakukan, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 masih memberikan
kemungkinan penyimpangannya. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu dengan adanya dispensasi dari
Pengadilan bagi yang belum mencapai batas umur minimal tersebut. Dengan
adanya penyimpangan ini diharapkan hukum adat dan Undang-undang No. 1
Tahun 1974 dapat berjalan selaras.
Berdasarkan UU Perkawinan yang berlaku, perkawinan seharusnya
bila kita melihat pada masyarakat Madura khususnya di Kabupaten
Bangkalan, ternyata masih banyak perkawinan yang dilakukan berdasarkan
Hukum Adat setempat, yang mana perkawinannya dilakukan di usia dini atau
dibawah umur yang ditentukan menurut UU Perkawinan. Meskipun seiring
berjalannya waktu, sedikit demi sedikit perkawinan yang dilakukan
masyarakat adat Madura mulai banyak berubah mengikuti ketentuan yang
diatur oleh UU Perkawinan, yang mana perkawinan yang dilakukan sesuai
batasan Umur yang ditentukan oleh UU untuk melakukan perkawinan.
Namun berdasarkan kenyataan yang terdapat dilapangan maka kita akan
melihat bahwa pada segolongan masyarakat tertentu ternyata pernikahan
dibawah umur tersebut masih juga dilakukan.
Dari hasil wawancara dengan petugas Pengadilan Agama Setempat,
didapatkan keterangan bahwasannya selama ini tidak pernah ada permohonan
dispensasi perkawinan yang diajukan, tidak pernah ada perkawinan dibawah
umur yang dilakukan, karena salah satu syarat bagi yang akan melakukan
perkawinan dibawah umur harus mendapat izin dispensasi dari Pengadilan
Agama setempat.55
Informasi tersebut bertolak belakang dari kenyataan yang ada, karena
Menurut pendapat Bapak Sayeki, salah satu warga di Madura mengatakan
bahwa di Madura masih ada sebagian masyarakat yang melakukan
perkawinan dibawah umur. Namun tentu saja perkawinan tersebut tidak
dicatatkan dan didaftarkan pada KUA. Minimnya pengetahuan masyarakat
55
tentang Undang-Undang Perkawinan, faktor biaya, masalah proses pelaksanaan yang di nilai memakan waktu terlalu lama dan banyaknya persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, membuat masyarakat lebih memilih untuk tidak mencatatkan perkawinannya ke KUA. Selain itu masyarakat juga percaya bahwa hal yang terpenting dari perkawinannya ialah sah menurut agama dan kepercayaannya.56
Seiring berkembangnya zaman perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama sedikit-demi sedikit mulai berkurang bahkan hal tersebut hampir jarang terjadi. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa masih ada perkawinan yang dilakukan di usia dini/ dibawah umur. Dari informasi yang didapat, banyak cara yang dilakukan agar permasalahan umur tersebut tidak dijadikan hambatan dalam perkawinan. Salah satunya adalah dengan memanipulasi data diri calon pengantin dengan menambahkan umur atau merubah tahun kelahiran, sehingga umur yang tercatat di Kantor
Urusan Agama sesuai dengan ketentuan undang-undang perkawinan yang
berlaku.
56
3.1 Akibat Hukum Per kawinan Dibawah Umur Menur ut Hukum Adat Madur a
Berdasarkan Hukum Adat Madura bahwa perkawinan yang dilakukan berdasarkan Hukum Adat ( Perkawinan usia muda ) tidak menimbulkan suatu akibat hukum namun menimbulkan suatu dampak bagi kedua belah pihak, baik dalam hubungannya dengan mereka sendiri, anak-anak, maupun terhadap keluarga mereka masing-masing.
Dampak dari perkawinan usia muda akan menimbulkan berbagai persoalan rumah-tangga seperti pertengkaran, percekcokan, bentrokan antar suami-istri yang dapat mengakibatkan perceraian. Tidak jarang dari mereka yang melangsungkan perkawinan pada usia muda tidak begitu memikirkan dampak apa saja yang akan timbul setelah mereka hidup berumah-tangga dikemudian hari.
perkembangan mental dan kepercayaan diri anak ataupun terjadinya pertengkaran hingga terputusnya hubungan silaturahmi antar dua keluarga.57
Kasus-kasus di atas merupakan efek negatif yang dapat timbul pada pasangan suami-istri yang menikah pada usia muda sebagai akibat dari tidak adanya kecocokan dan keharmonisan serta kurangnya pengertian antara suami-istri dalam menjalankan bahtera rumah tangganya, dan memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan anak-anaknya serta mempengaruhi tingkat kecerdasan dan juga rentannya gangguan-gangguan pada fisik anak.
3.2 Akibat Hukum Per kawinan Dibawah Umur Menur ut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan dan
tujuannya adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga )
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dimana
untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan, salah satu syaratnya adalah
bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah masak jiwa
raganya. Oleh karena itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan.
Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan
bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19
57
tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Dari adanya batasan
usia ini dapat ditafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak
mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur yang telah
ditentukan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Dari hal tersebut ditafsirkan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur. Pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.
Meskipun demikian dalam hal perkawinan di bawah umur terpaksa
dilakukan, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 masih memberikan
kemungkinan penyimpangannya. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu dengan adanya dispensasi dari
Pengadilan bagi yang belum mencapai batas umur minimal tersebut. Dari
adanya ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa perkawinan dibawah umur
yang dilakukan oleh masyarakat berdasarkan ketentuan undang-undang
perkawinan tidak menimbulkan akibat hukum apapun karena perkawinan
Namun bila perkawinan itu tidak di catatkan di KUA maka
perkawinan tersebut dapat menimbulkan suatu akibat hukum yang
berdasarkan hukum positif yang terdapat di Negara Indonesia bahwa
perkawinan yang tidak dilakukan berdasarkan undang-undang perkawinan
maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah oleh Negara sesuai pasal 2
ayat ( 2 ) bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundanagan yang berlaku. Dengan tidak sahnya perkawinan tersebut maka
perkawinan tersebut sudah melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 45
ayat (1) a PP No.9 Tahun 1975 tentang penjelasan Pelaksanaan UU No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan. Disamping itu dari adanya perkawinan
tersebut akan menimbulkan suatu akibat hukum yang berdampak pada istri,
anak serta harta benda yang diperoleh saat bersama :
1. Dampak terhadp Istri
• istri tidak bisa menggugat suami secara hukum apabila ditinggal oleh
suami
• istri tidak berhak atas nafkah dari suami serta warisan apabila
suaminya meninggal
• istri tidak berhak atas harta gono-gini apabila terjadi perceraian atau
suaminya telah meninggal
• istri tidak dapat menuntut haknya sebagai seorang istri karena status
2. Status anak
Berdasarkan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Pasal 4
menjelaskan bahwa setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Serta penjelasan pasal 5 bahwa setiap anak berhak atas
suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Dari pemahaman diatas dapat kita pahami bahwa setiap anak
Anak yang dilahirkan dari hasil dari perkawinan yang sah berhak
mendapatkan hak-hak yang telah disebutkan diatas namun hal tersebut
berbeda dengan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah.
Anak yang dilahirkan dari pertkawinan yang tidak sah tersebut tidak
berhak atas nafkah, tunjangan hidup, harta warisan dan hak-hak lain
sebagai anak dari ayahnya karena kedudukan anak tersebut dianggap
tidak sah oleh Negara.
Sedangkan dampak lainnya ialah sulit memperoleh akte kelahiran
anak karena untuk memperoleh akte kelahiran harus mendapat surat
keterangan lahir dari bidan serta adanya surat nikah. Hal tersebut
dikarenakan karena anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang sah ( Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang perkawinan ) sedangkan perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
perundang-undangan yang berlaku ( Pasal 2 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ). Dalam hal ini anak
yang dilahirkan dari perkawinan tersebut hanya memiliki hubungan
keperdataan dengan ibunnya dan keluarga ibunya seperti yang telah
diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
4.1 Kesimpulan
Bahwa di daerah Madura masih terjadi perkawinan dibawah umur jika dikaitkan dengan undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, akan tetapi jika menurut hukum adat Madura perkawinan tersebut tidak dianggap perkawinan dibawah umur karena menurut hukum agama perkawinan hanya dapat dilakukan bila kedua pasangan sudah dalam keadaan baliq.
Penyebab adanya perkawinan dibawah umur didorong oleh faktor permintaan orang tua, untuk menghindari hal-hal yang tidak dinginkan serta adnya keinginan anak untuk menikah.
Perkawinan yang dilakukan berdasarkan hukum adat tanpa dicatatkan di KUA akan menimbulkan kesulitan dalam beberapa hal salah satunya dalam proses perceraian yang mana suami menolak/ tidak mengakui perceraian tersebut
Terjadinya perkawinan dibawah umur di Daerah Madura dilakukan
dengan cara penambahan umur yang manan semestinya harus dilakukan
dengan cara izin/ dispensasi dari Pengadilan Agama
Penyebab terjadinya perkawinan dibawah umur dikarenakan adanya
kemudahan dalam proses perkawinan yaitu dengan adanya penambahan
Contoh Perkawinan yang tidak dicatatkan di KUA akan
menimbulkan dampak Negatif terhadap istri, anak serta harta benda yang
diperoleh saat bersama salah satunya ialah sulitnya istri tidak dapat
menuntut haknya sebagai seorang istri karena status istri tersebut dianggap
tidak sah oleh Negara.
4.2 Sar an
Berdasarkan kesimpulan diatas mendorong penulis memberikan sran sebagai berikut :
1. Perkawinan yang dilakukan masyarakat di daerah madura harus sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
2. Agar umur pihak yang akan dinikahkan disesuaikan dengan pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta,
1991.
Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981
Hilman Hadikusuma, Penghantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1992.
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
Rachmdi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesi, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
Salim H.,S, Pengantar Hukum Perdata Terulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2008
Syamsudin, Oprasional Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2007. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-undang Perkawinan,
Sinar Grafika, Jakarta, 1982.
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1983. Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Pers,
Jakarta, 1985.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT Intermasa, 1980.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif kulitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2009.
Titik Triwulan, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 2008.
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. B. PERATURAN UNDANG-UNDANG
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Kitab Undang-undang Hukum Perdata ( Burgelijk wet boek ) Kompilasi hukum Islam Tahun 1991
Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. C. WEBSITE
http://www.docstoc.com/docs/22633038/Masalah-Hukum-Adat, diakses10 April 2011 jam 20:02
http://wiyatablog.blogspot.com/search/label/budayaRADAR, diakses10 April 2011 jam 20:02
http://pamekasan.com/index.php?option=com_content&task=view&id=128& Itemid=1
http://1001-madura.com/sejarah-madura, diakses 25 Mei jam 10.33
http://www.scribd.com/doc/49840346/kawin-sirri-pada-masyarakat-madura, diakses 25 Juli jam 16.02
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26111/6/Cover.pdf, diakses 15 Juli jam 16.22
http://www.scribd.com/doc/52648454/25/Perkawinan, diakses 14 Agustus jam 09.38
D. KAMUS
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembang Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,1988.