• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkawinan Anak Dibawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkawinan Anak Dibawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Pernikahan merupakan awal dari terbentuknya sebuah institusi kecil dalam keluarga. Perkawinan sangat penting bagi kehidupan manusia perseorangan maupun kelompok. Melalui perkawinan yang sah, pergaulan antara laki laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk sosial. Pergaulan rumah tangga dibina dalam suasana damai, tentram dan kasih sayang antara suami dan istri. Anak dari hasil perkawinan menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan anugerah dari Allah SWT.

Dalam pandangan hukum Islam perkawinan merupakan suatu ibadah dan merupakan perintah Allah SWT dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Perintah Allah berarti menurut perintah Al-Qur’an sedangkan sunnah Rasul berarti mengikuti tradisi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang telah dilakukan oleh dirinya sendiri dan untuk umatnya.1 Dalam ayat Al-Qur’an surat Annisa’ ayat (1) yang terjemahannya berbunyi:

“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga

1 Amir Syarifuddin, Hukum Pekawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2007),

(2)

dan mengawasi kamu”.2

Oleh karena itu dalam pernikahan harus diatur sedemikian rupa dalam rangka mencapai tujuan keluarga yang sakinah, mawaddah dan warrahmah.3 Tujuan perkawinan pada dasarnya memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidup di dunia ini. Selain itu untuk mencegah perzinahan agar tercipta ketenangan keluarga dan masyarakat.4

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan menentukan beberapa prinsip, diantaranya perkawinan dianggap sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Walaupun telah ditentukan peraturan dan asas atau prinsip mengenai perkawinan dan segala sesuatu tentang perkawinan, kenyataannya dalam masyarakat sering terjadi penyimpangan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti melakukan perkawinan di bawah umur dan diikuti dengan perbuatan tanpa adanya izin dari orang tua khususnya untuk calon pasangan berjenis kelamin perempuan.

Perbuatan izin dari orang tua bagi anak yang akan melangsungkan perkawinan di mana anak belum berusia 21 tahun merupakan pelaksanaan asas partisipasi keluarga sebagaimana dianut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

2 Kementrian Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan terjemahannya, (Jakarta: Balai

Pustaka, 1418 H), juz 4, hal. 114.

3

Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), hal. 17.

4 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Dari Uu No. 1 Tahun 1974

(3)

Perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, karena ia akan memasuki dunia baru, membentuk keluarga sebagai unit terkecil dari keluarga besar bangsa Indonesia yang religius dan kekeluargaan, maka diperlukan partisipasi keluarga untuk merestui perkawinan itu. Oleh karena itu, bagi yang berada di bawah umur 21 tahun untuk pria dan perempuan diperlukan izin dari orang tua.5

Hal ini cenderung terjadi, karena dalam pandangan masyarakat yang keliru dalam memaknai masalah perkawinan, misalnya:6

1. Pandangan tentang kedewasaan seseorang dilihat dari perspektif ekonomi. Ketika seseorang telah mampu menghasilkan uang atau telah terjun ke sektor pekerjaan produktif telah dipandang dewasa dan dapat melangsungkan perkawinan, meskipun secara usia masih anak-anak.

2. Kedewasaan seseorang yang dilihat dari perubahan-perubahan secara fisik, misalnya menstruasi bagi anak anak perempuan dan mimpi basah bagi anak laki-laki, diikuti dengan perubahan terhadap organ-organ reproduksi.

3. Terjadinya perkawinan merupakan jalan keluar yang sering diambil oleh keluarga dan masyarakat untuk menutup aib dan menyelamatkan status anak pasca kelahiran yang terjadi diluar nikah

4. Korban perkawinan di bawah umur lebih banyak anak perempuan karena kemandirian secara ekonomi, status pendidikan dan kapasitas perempuan bukan hal penting bagi keluarga. Karena perempuan sebagai isteri segala kebutuhan dan hak-hak individualnya akan menjadi tanggungjawab suami. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan berikut ini:

1. Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3. Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan

5 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu,

2011), hal. 21.

6 http://www.kompas.com, diakses tanggal 8 Desember 2012. Oleh: Ahmad Sofian dan

(4)

tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.

6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Selanjutnya dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan:

1. Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. 2. Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi

kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.

3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).

(5)

1974 menekankan pula syarat-syarat perkawinan bahwa pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Keadaan yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak berlaku baku sehingga dapat diberikan dispensasi perkawinan di bawah usia yang ditetapkan tersebut sepanjang syarat-syarat perkawinan dipenuhi seperti adanya dispensasi dari Pengadilan.

Syari’at Islam bertujuan memberi perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.7

Fiqih Islam yang memandang masalah kedewasaan untuk melakukan perkawinan berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam hal eksistensi perlunya wali bagi pihak perempuan untuk melangsungkan perkawinan.

Perbedaan pandangan antara Fiqih Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam memaknai pernikahan di bawah umur, pernikahan yang dilakukan melewati batas minimal Undang-Undang Perkawinan, secara hukum menentukan perkawinan di bawah umur tidak sah. Pernikahan di bawah umur menurut negara dibatasi dengan umur. Sedangkan dalam Fiqih Islam,

(6)

pernikahan di bawah umur tidak dibatas berdasarkan usia tetapi adalah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh (tanpa batasan umur).

Pendapat yang diberikan Ibnu Syubromah menyatakan bahwa agama melarang pernikahan di bawah umur (dalam konteks pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Oleh sebabnya lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.8

Ibnu Syubromah menjelaskan masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Rasulullah SAW yang tidak bisa ditiru umatnya.9 Tetapi dalam konteks pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah ini dapat diambil pelajaran bahwa Islam tidak melarang pernikahan di bawah umur karena tidak ada ketentuan di bawah umur menurut syari’at Islam melainkan ketentuan baligh, ketentuan baligh sebagai ukuran bagi perempuan dapat menghasilkan keturunan.

Mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari QS. At-Thalaq: ayat (4) yang artinya:

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)

8http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1240:pe

rnikahan-dini-dalam-perspektif-agama-dan-negara&catid=2:islam-kontemporer&Itemid=57, diakses tanggal 10 Desember 2012. Oleh: Yusuf Fatawie, “Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama dan Negara”.

(7)

perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.

Maksud ketentuan di atas adalah disebabkan karena misalnya usianya yang masih kecil, maka ‘iddahnya selama tiga bulan. Sekalipun ketentuan ayat di atas telah menentukan, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi oleh rasulullah SAW dalam usia sangat muda. Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat.10 Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah di bawah umur sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak dianggap utuh. Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan mudah terpatahkan.11

Imam Jalaludin Suyuthi menulis dua hadits yang cukup menarik dalam kamus haditsnya. Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang setara/kafaah”.12 Hadis Nabi kedua berbunyi, ”Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut dibebankan atas orang tuanya”.13

Selain persoalan usia maka hal lainnya yang diterapkan dalam syarat-syarat

10

Ibid.

11 Ibnu Hajar, Al ’Asqalani, Fathul Bari, (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1999), hal. 237.

12 Jalaluddin Suyuthi, Jami’ al Shaghir, (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 2001), hal. 210.

(8)

perkawinan adalah adanya izin orang tua. Izin orang tua dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diperlukan bagi perkawinan anak yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun bagi laki-laki sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menentukan, “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”.

Apabila dianalisa, terdapat suatu problematika hukum dalam hal memandang Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam kaitannya dengan Fiqih Islam. Izin yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tampak disamaratakan antara calon mempelai pria dengan calon mempelai wanita. Sedangkan dalam Fiqih Islam menjelaskan izin yang diberikan disamakan dengan perwalian, dan hanya dibebankan kepada pihak perempuan saja.

(9)

ditaati dan kewaliannya tidak berpindah kepada pihak lain (wali hakim).14

Jika seorang perempuan memaksakan diri untuk menikah dalam kondisi alasan-alasan seperti di atas, maka akad nikahnya tidak sah alias batil (batil artinya tidak sah), meskipun dia dinikahkan oleh wali hakim. Sebab hak kewaliannya sesungguhnya tetap berada di tangan wali perempuan tersebut, tidak berpindah kepada wali hakim. Jadi perempuan itu sama saja dengan menikah tanpa wali, maka nikahnya batil (tidak sah). Sabda Rasulullah SAW, ”Tidak sah nikah kecuali dengan wali.” (HR. Ahmad; Subulus Salam).15

Pada hakekatnya, penikahan di bawah umur juga mempunyai sisi positif. Pada saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi cenderung tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan itu sering dijumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Kenyataan ini menjelaskan pernikahan di bawah umur merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus dalam pergaulan yang semakin dikhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’ maka harus dilakukan.

Karakter utama yang mewarnai hampir setiap masyarakat adalah suka meniru dan gemar menyamakan kasus. Padahal hal demikian itu suatu kekeliruan. Agama

14

HSA Alhamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), hal. 90-91.

15

(10)

Islam sudah memiliki aturan baku yang berdiri tegak di atas pondasi yang kokoh dan tidak mudah terombang-ambing. Agama Islam memberikan pernikahan pada usia muda, karena hal itu jelas mendatangkan banyak berkah dan kebaikan, serta mencegah banyak perkara.16

Menikah merupakan hal yang dianjurkan oleh agama. Banyak manfaat yang didapat dari menikah jika ditinjau dari berbagai aspek. Pada aspek spiritual, menikah dapat menambah pahala ibadah dan meningkatkan ketaqwaan kepada Allah, aspek psikologi, menikah merupakan bentuk pendewasaan yang luar biasa. Aspek biologis, menikah pada usia subur khususnya pada usia 30 (tiga puluh) tahun ke bawah dapat meminimalisasi kemungkinan kelahiran dalam kondisi kurang sempurna. Dan pada aspek ekonomi, pernikahan akan membuka pintu rezeki. Begitu banyak manfaat yang didapat dari pernikahan.17

Seandainya pernikahan di usia muda itu mengandung kejelekan, niscaya syariat Islam yang suci tidak akan membenarkan. Apalagi dalam kaidah hukum Islam disebutkan, bahwa setiap perkara yang Allah Subhanahu Wata’ala perintahkan berarti hal tersebut disukai dan diridhai-Nya. Masalah yang terus diperdebatkan adalah kalau memang Allah SWT membenarkan pernikahan di bawah umur, yang merupakan pasangan usia subur dan produktif, mengapa orang tua masih ragu untuk menikahkan putra-putri mereka. Apalagi banyak pandangan cukup menyedihkan di masyarakat

16http://muslimminang.wordpress.com/ 2012 /05/03/

allah-menyukai-pernikahan-dini-mengapa-orang-tua-masih-ragu- untuk- menikahkan putra putri-mereka/, diakses tanggal 9 Desember 2012. Oleh: Zaenal Abidin bin Syamsudin, “Allah Menyukai Pernikahan Dini, Mengapa Orang Tua Masih Ragu Untuk Menikahkan Putra-Putri Mereka”.

17http://dewa18.wordpress.com/2012/08/26/menikah-muda-manfaat-dan-tantangannya/,

(11)

akibat tertundanya pernikahan. Padahal hanya pernikahanlah yang mampu memelihara kehormatan dan menjaga eksistensi masyarakat itu sendiri.

Perihal perkawinan selain dikenal dalam Fiqih Islam maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Pada akhir dekade 1980-an terdapat dua peristiwa penting berkenaan dengan perkembangan hukum dan peradilan Islam di Indonesia, antara lain:18

1. Dalam suatu lokakarya yang diselenggarakan di Jakarta, pada tanggal 25 Februari 1988, ulama Indonesia telah menerima tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam. Pada tanggal 10 Juni 1991 rancangan kompilasi itu mendapat legalisasi Pemerintah dalam bentuk Instruksi Presiden kepada Menteri Agama untuk digunakan oleh instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Instruksi itu dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tanggal 22 Juli 1991.

2. Pada tanggal 29 Desember 1989 disahkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Kedua peristiwa tersebut di atas, merupakan suatu rangkaian yang saling berhubungan secara timbal-balik dan saling melengkapi. Kompilasi Hukum Islam disusun dan dirumuskan untuk mengisi kekosongan hukum subtansial (mencakup hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan), yang diberlakukan pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 kemudian diubah melalui Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, diatur tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama di bidang perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, wakaf,

18 Muchtar Zarkasyi, “Kerangka Historis Pembentukan UU Nomor 7 Tahun 1989”, Artikel

(12)

dan sedekah, khususnya bagi orang-orang yang beragama Islam.

Rahmat Djatnika secara umum menyimpulkan bahwa penerapan konsepsi hukum Islam di Indonesia dalam kehidupan masyarakat hendaknya dilakukan dengan penyesuaian pada budaya Indonesia. Demikian pula penerapannya dilakukan melalui yurisprudensi di Pengadilan Agama, sehingga dalam perundang-undangan Indonesia tampak berkembang dan mampu menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat untuk menuju tujuan hukum Islam, seperti dalam hal poligami, masalah batas umur boleh kawin, masalah jatuhnya talak di hadapan sidang Pengadilan, masalah harta bersama, masalah saksi pada perwakafan tanah milik dan masalah ikrar perwakafan harus ditulis.19

Kesemuanya itu (baik penerapan hukum dalam kehidupan masyarakat, dalam Peradilan Agama maupun dalam perun dang-undangan) mengandung ijtihad. Jika ada yang tidak sependapat dengan hasil ijtihad tersebut, maka ijtihad hakim tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad yang lain.20 Akibatnya, akan terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam lembaga-lembaga peradilan agama dan semakin mempertajam perbedaan pendapat tentang masalah-masalah hukum Islam.

Oleh karena belum ada kompilasi di Indonesia, dalam praktik sering dijumpai adanya keputusan Pengadilan Agama yang saling/tidak seragam, padahal kasusnya sama. Masalah fikih yang semestinya membawa rahmat malah menjadi perpecahan. Hal itu disebabkan karena umat Islam salah paham dalam mendudukkan fikih, selain

19 Abdurrahman Wahid, et. al., Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 1990), hal. 254.

(13)

belum adanya Kompilasi Hukum Islam. Tujuan perumusan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah menyiapkan pedoman yang seragam (unifikasi) bagi hakim Pengadilan Agama dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam.21

Dengan demikian, tidak ada lagi kesimpangsiuran keputusan Pengadilan Agama. Hal seperti itu sering terjadi kasus yang sama, keputusan yang berbeda. Ini sebagai akibat dari referensi hakim kepada kitab-kitab fiqih yang sesuai dengan karakteristiknya sebagai rumusan para fuqaha yang sangat dipengaruhi oleh situasi dan lingkungan di mana fuqaha itu berada. Semula semestinya menjadi sebagai rahmat, tetapi kadang justru menimbulkan laknat. Wajar jika Bustanul Arifin mempersoalkan, hukum Islam yang mana, Jika dalam suatu masalah tertentu didalamnya terdapat banyak pendapat. Menurutnya, suatu peraturan harus jelas dan sama bagi semua orang, yakni harus ada kepastian hukum.22

Berdasarkan uraian tersebut di atas, di antara dua sumber hukum yang berbeda tersebut berpotensi menimbulkan penerapan yang berbeda-beda dalam kehidupan sehari-hari, maka dirasa penting untuk dilakukan penelitian tentang “Perkawinan Anak di Bawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan” sebagai judul dalam penelitian ini.

21 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992),

hal. 20.

(14)

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut ini:

1. Bagaimana pengaturan tentang perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua dalam Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?

2. Apakah akibat hukum dari perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?

3. Apakah perbedaan dan persamaan dari perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam rangka dilakukaknnya penelitian terhadap ketiga permasalahan di atas, adalah sebagai berikut:

(15)

2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum dari perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis perbedaan dan persamaan dari perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan sejumlah manfaat yang berguna, baik secara teoritis maupun secara praktis antara lain:

1. Secara teoritis penelitian ini bermanfaat bagi kalangan akademisi sebagai bahan pengkajian lebih lanjut dan menambah referensi ilmu pengetahuan di bidang perkawinan baik dalam lingkup hukum nasional maupun dalam lingkup hukum Islam, serta bermanfaat pula bagi masyarakat khususnya bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan.

(16)

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini memiliki keaslian dan tidak plagiat dari hasil karya penelitian orang lain. Sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan ataupun ceking judul dan permasalahan dari tesis-tesis yang ada baik di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara khususnya di Program Studi Magister Kenotariatan maupun dilakukan penelusuran di situs-situs resmi perguruan tinggi lainnya melalui internet dan diperoleh judul tesis tentang:

Perkawinan Anak di Bawah Umur dan Akibat Hukumnya, oleh: Linda Rahmita Panjaitan, NIM: 087011009. Penelitian mengkonsentrasikan kajiannya pengaturan tentang perkawinan anak di bawah umur dalam sistim hukum di Indonesia, akibat hukum dari perkawinan anak di bawah umur, dan sanksi terhadap pelanggaran atas perkawinan anak di bawah umur.

Sedangkan dalam penelitian ini, berjudul ”Perkawinan Anak di Bawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan” dan fokus kajiannya adalah:

1. Pengaturan tentang perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua dalam Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

(17)

3. Perbedaan dan persamaan dari perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Berdasarkan judul dan permasalahan pada tesis di atas, sangat jelas dan nyata terdapat perbedaan fokus kajiannya pada hukum nasional dan hukum Islam, oleh karena itu penelitian ini tidak mengandung unsur kesamaan atau plagiat dari hasil karya ilmiah orang lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini baru pertama kali dilakukan dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi antara lain kejujuran, rasional, objektif, terbuka, serta sesuai dengan implikasi etis dari prosedur menemukan kebenaran ilmiah secara bertanggung jawab.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan sehingga dengan teori yang relevan digunakan, mampu menerangkan dan memberikan solusi terhadap masalah tersebut.23 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, untuk mengenai sesuatu kasus atau permasalahan.24 Menurut pandangan Satjipto Rahardjo, bahwa dengan adanya teori menempati kedudukan yang penting sebagai pisau analisis untuk merangkum dan memahami masalah secara lebih baik. Hal-hal

23 Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta:

Andi, 2006), hal. 6.

(18)

yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri dapat disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori memberikan penjelasan melalui cara mengorganisasikan dan mensistematiskan masalah yang dibicarakan.25

Sehubungan dengan pengaturan tentang perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua dalam Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan akibat hukum dari perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua tersebut, maka untuk menganalisis masalah perkawinan anak di bawah umur, dirasa lebih tepat digunakan adalah teori tentang kemaslahatan dan teori utilitarian. Kemaslahatan dikenal dalam konteks sistim hukum Islam sedangkan utilitarian dikenal dalam konsep anglo saxon atau dikenal dalam tardisi common law system. Oleh sebab itu, teori sistim hukum digunakan sebagai teori dasar (grand theory) dalam penelitian ini, sedangkan teori kemaslahatan dan teori utirilitarian digunakan sebagai teori penerapan atau aplikasi (aplied theory) dalam penelitian ini.

a. Teori Sistim Hukum sebagai grand theory

Pada setiap negara tertentu dipastikan menganut sistim hukum tertentu, atau dengan kata lain negara-negara tidak terlepas dari sistem hukum yang dianut suatu negara tertentu. Walaupun negara menganut suatu sistim hukum tertentu, tetapi dengan melihat dan memperhatikan kondisi perkembangan globalisasi ekonomi yang berdampak pada globalisasi hukum, mengakibatkan suatu negara tertentu tidak mutlak menganut satu sistim hukum yang murni.

(19)

Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut sistim hukum Eropa Kontinental (Perancis-civil law) tetapi pada kenyataannya banyak muatan-muatan dalam sistim hukum di Indonesia bersumber dari sistim Anglo Saxon (Inggris-common law), contohnya hukum positif di Indonesia tidak saja hanya diatur berdasarkan kepentingan penguasa saja, tetapi telah dinormatifkan aspek moralitas ke dalam undang-undang. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah diatur kewajiban negara untuk memberlakukan helm bagi pengendara kendaraan, dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas telah diatur kewajiban moral dalam Pasal 74 tentang tanggung jawab sosial, dan lain-lain. Demikian pula di Indonesia diakui keberlakuan hukum Islam khusus bagi pemeluk yang beragama Islam. Dalam kondisi demikian sesungguhnya hukum berada dalam sistim yang saling mempengaruhi dan saling berhubungan antara satu sama lainnya dalam konteks menjaga ketertiban hukum.

(20)

Subekti menyebut sistem hukum itu adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur merupakan keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola dan merupakan hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan yakni kedamaian dan ketertiban hukum.26 Pandangan demikian juga disebutkan Sudikno Mertokusumo, suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan.27

Sehubungan dengan hal tersebut, Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra juga memandang hal yang sama luasnya ruang lingkup sistem hukum sebagai suatu kesatuan sistem besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang kecil. Sub-sub sistem kecil itu misalnya bidang pendidikan hukum, pembentukan hukum, peraturan perundang-undangan, penerapan hukum, aparat penegak hukum, dan lain-lain, dan bidang-bidang lainnya.28

Sebagaimana kemaslahatan dikenal familiar dalam konteks sistim hukum Islam sedangkan utilitarian dikenal dalam konsep anglo saxon atau dalam tradisi common law system, yang ternyata saat ini tampak saling melengkapi dalam sistim hukum di Indonesia. Pada prinsipnya antara kedua teori kemaslahatan dan teori utilitarian memiliki pandangan yang sama, bahwa dalam mewujudkan sesuatu lebih baik dilihat dari sejauh mana aturan itu dapat memberikan manfaat yang terbanyak di

26 R. Subekti, dalam H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra

Aditya Bakti, Bandung, 1999), hal. 169.

27 Ibid.

28 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju,

(21)

antara banyak orang artinya di samping memberikan manfaat kepada banyak orang tetapi manfaat itu tidak bertentangan pula dengan ketentuan perundang-undangan baik dalam konteks hukum nasional maupun dalam konteks hukum Islam.

b. Teori Kemaslahatan

Secara sederhana menurut Husain Hamid Hasan, maslahat (al-mashlahah) diartikan sebagai sesuatu yang baik atau sesuatu yang bermanfaat atau menuntut sesuatu ilmu itu mengandung suatu kemaslahatan, maka hal ini berarti menuntut ilmu itu merupakan penyebab diperolehnya manfaat secara lahir dan batin.29 Al-Ghazali memformulasikan teori kemaslahatan dalam pandangannya, mengambil manfaat dan menolak kemudaratan untuk memelihara tujuan-tujuan syara’.30

Kemaslahatan, menurut al-Ghazali tersebut di atas harus sejalan dan seiring dengan tujuan syara’ atau ajaran (hukum Islam), meskipun bertentangan dengan tujuan-tujuan lain manusia. Atas dasar ini, yang menjadi tolok ukur dari maslahat itu adalah tujuan dan kehendak syara’, bukan didasarkan pada kehendak hawa nafsu manusia.

Tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu pada prinsipnya mengacu pada aspek perwujudan kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Muatan maslahat itu mencakup kemaslahatan hidup di dunia maupun kemaslahatan hidup di akhirat. Atas dasar ini, kemaslahatan bukan hanya didasarkan pada pertimbangan akal dalam

29

Husain Hamid Hasan, Nadzariyah Mashlahah fi Fiqh Islamy, (Kairo: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1971), hal. 3-4.

30 Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,

(22)

memberikan penilaian terhadap sesuatu itu baik atau buruk, tetapi lebih jauh dari itu ialah sesuatu yang baik secara rasional juga harus sesuai dengan tujuan syara’.

Demikian juga halnya dengan perkawinan di bawah umur tanpa izin orang tua apabila dilakukan untuk kebaikan atau bermanfaat bagi pasangan yang melakukan perkawinan tersebut, di mana kebaikan tersebut adalah suatu wujud dari pertimbangan akal atas penilaian baik dan buruk. Jika bersandarkan pada teori kemaslahatan, maka perkawinan anak di bawah umur, harus dilakukan sesuai dengan tujuan syara’.

Teori kemaslahatan ini didukung pula dengan teori keadilan. Sebab keadilan sebagai konsep hukum yang abstrak, tetapi bersifat subjektif, sesuai nilai yang dianut masing-masing individu dalam masyarakat.31 Dalam konteks syara’ menjadikan sesuatu yang dapat dinilai lebih adil untuk anak di bawah umur diizinkan oleh orang tuanya untuk melangsungkan perkawinan jika telah memenuhi syara’ dalam rangka menghindari perbuatan-perbuatan yang dilarang seperti zina.

Hukum lahir karena adanya tuntutan-tuntutan instrumental bagi Pemerintah sebagai penguasa. Bagaimanapun hukum tidak mungkin dipisahkan dari keberadaan suatu Pemerintah, karena seperti yang pernah dikatakan oleh Donald Black, bahwa hukum adalah pengendalian sosial oleh Pemerintah.32 Memang benar tidak semua aturan hukum dibuat oleh Pemerintah tetapi suatu aturan barulah dapat dikatakan

31

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial

Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Prenada Media Group,

2009), hal. 223.

(23)

aturan hukum jika keberlakuannya memperoleh legitimasi dari Pemerintah. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan Negara.33

Demikian juga halnya dalam kaitannya dengan pengaturan perihal perkawinan yang meletakkan batas-batas usia perkawinan baik itu dalam hukum Islam maupun dalam hukum nasional (UU Perkawinan). Kedua peraturan dasar perkawinan tersebut di Indonesia adalah suatu aturan yang berlaku secara nasional dan memperoleh legitimasi oleh Pemerintah, bedanya hanya terletak pada individu pemeluk agama, jika beragama Islam dapat diberlakukan hukum Islam sedangkan di luar agama Islam berlaku UU Perkawinan, tetapi tidak tertutup pula kemungkinan berlakunya UU Perkawinan terhadap umat Islam. Jadi, dalam konteks perkawinan, umat Islam di arahkan pada dua instrumen hukum, apakah memilih hukum Islam atau hukum nasional, dengan argumentasi bahwa jika memilih hukum Islam tujuannya untuk pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT sedangkan jika memilih hukum nasional, maka pertanggungjawaban bagi pelanggar adalah kepada Pemerintah sebagai yang berkepentingan membuat aturan maupun undang-undang.

Perihal perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan. Hanya saja dalam perwujudannya di tengah masyarakat maka ada hal-hal yang tidak diatur dalam kedua peraturan tersebut yang muncul ke permukaan seperti pernikahan di bawah umur tanpa izin orang tua, maka dalam kapasitas ini hukum sebagai wujud perkembangan masyarakat berusaha menampung keadaan tersebut melalui

(24)

teorinya seperti teori kemaslahatan dan teori keadilan.

c. Teori Utilitarian

Teori utilitarian mendasarkan teorinya pada kemanfaatan. Sehingga melahirkan paham-paham utilitarianisme yang pertama kali dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1831). Persoalan yang di hadapi oleh Bentham pada zaman itu adalah bagaimana menilai baik atau buruknya suatu kebijakan sosial politik, ekonomi, dan legal secara moral. Dengan kata lain bagimana menilai suatu kebijakan publik yang mempunyai dampak kepada banyak orang secara moral. Bentham menemukan bahwa dasar yang paling objektif adalah dengan mendasarkan suatu kebijakan atau tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang berguna atau, sebaliknya kerugian bagi orang-orang yang terkait.34

Teori manfaat yang paling terkenal dikemukakan oleh Jeremy Bentham dalam karyanya berjudul “An Introduction to the Principles of Morals and Legislation”.35 Asas manfaat melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan kelompok itu atau dengan kata lain meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu sendiri. Sehingga tujuan hukum untuk mencapai kesejahteraan akan tercapai.36

34 Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hal.

93-94.

35

Ian Saphiro, Asas Moral dalam Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia yang bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakart dan Fredom Institusi, 2006), hal. 13.

36 Johannes Ibrahim, ”Penerapan Single Presence Policy dan Dampaknya Bagi Perbankan

(25)

Teori utilitiarisme berpandangan bahwa kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan kesejahteraan bersama. Perbuatan yang baik diukur dari hasil yang bermanfaat, jika hasilnya tidak bermanfaat, maka tidak pantas disebut baik.37 Pengambilan keputusan berdasarkan etika dengan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya yang dikenal dengan istilah the greatest good for the greatest number. Semakin bermanfaat akan semakin banyak orang dan perbuatan itu semakin etis. Dasar moral dari perbuatan adalah manfaat terbesar sehingga sering disebut dengan aliran konsekuensialisme karena sangat berorientasi pada hasil perbuatan.38

Teori utilitarisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan dalam menilai baik atau buruk. Baik buruknya kualitas moral suatu perbuatan bergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan oleh mereka sebagai pengemban amanah atau orang-orang yang dipercaya. Jika suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah baik. Sebaliknya, jika perbuatan membawa lebih banyak kerugian daripada manfaatnya, maka perbuatan itu dinilai buruk. Konsekuensi perbuatan di sini menentukan seluruh kualitas moral.39

Prinsip utilitarian menganggap suatu tindakan menjadi benar jika jumlah total manfaat yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah manfaat total

37 K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisus, 2000), hal. 67.

38 Erni R. Ernawan, Business Ethics: Etika Bisnis, (Bandung: CV. Alfabeta, 2007), hal. 93.

(26)

yang dihasilkan oleh tindakan lain yang dilakukan. Penelantaran para penyandang cacat, eksploitasi kaum minoritas yang rentan, ketidakotentikan, dan hilangnya otonomi adalah bahaya-bahaya yang ditentang utilitarianisme ini.40

Kaitannya dengan masalah dalam penelitian ini adalah mengapa orang tua melarang anaknya menikah di bawah umur atau negara melarang anak menikah di bawah umur, padahal menurut syara’ (hukum Islam) hal tersebut dibenarkan oleh agama, Jika dijawab melalui teori utilitarisme, karena hal itu berpotensi membawa manfaat paling besar bagi umat manusia sebagai keseluruhan (masyarakat) khususnya sejumlah anak-anak yang ingin menikah di bawah umur.

Prinsip keadilan utilitarisme adalah menekankan kebijaksanaan yang masuk akal untuk mencapai tujuan kesejahteraan bersama.41 Oleh sebab itu, teori utilitarian dapat menjawab masalah ini karena untuk memberikan kebijaksanaan dalam mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan ketika anak tersebut telah berumah tangga disebabkan belum tercapainya kematangan akan untuk mencapai tujuan keluarga, atau sebaliknya, dib olehkannya pada usia anak-anak untuk melangsungkan perkawinan (dalam konteks hukum Islam) ditujukan untuk mencegah terjadinya perbuatan zina karena luput dari pantauan dan pengawasan orang tua.

Mudah dipahami bahwa utilitarisme sebagai teori etika atau moral tidak mutlak sifatnya melainkan bergantung pada kondisi-kondisi tertentu untuk diterapkan. Utilitarisme ini tidak bisa dimengerti dengan cara egoistis. Sebab kriteria

40 Ian Saphiro, Op.cit., hal. 24. Lihat juga: W. Stark, (ed), Jeremy Bentham’s Economic

Writings, (London : George Allen & Unwin, 1954), hal. 113.

(27)

untuk menentukan baik atau buruknya suatu perbuatan adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar atau perbuatan yang mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik.

Kemudian John Stuart Mill melakukan revisi dan mengembangkan lebih lanjut teori ini. Dalam bukunya utilitarianism yang diterbitkan pada tahun 1861, John Stuart Mill mengasumsikan bahwa pengejaran manfaat bagi masyarakat adalah sasaran aktivitas moral individual. John Stuart Mill mempostulatkan suatu nilai tertinggi kebahagiaan yakni kesenangan heterogen dalam berbagai bidang kehidupan. Semua pilihan dapat dievaluasi dengan mereduksi kepentingan yang dipertaruhkan sehubungan dengan kontribusinya bagi kebahagiaan individual yang tahan lama. Kriteria manfaat menurutnya harus mampu menunjukkan keadaan sejahtera individual yang lebih awet atau resisten sebagai hasil yang diinginkan yakni kebahagiaan.42 Tindakan hanya menciptakan manfaat dalam kegiatan bisnis saja, tetapi bermanfaat untuk masyarakat secara umum.43

Selanjutnya pada tahun 1958-1971, John Rawls mengolaborasi keadilan dengan mencampur unsur-unsur keadilan menurut Aristoteles dan keadilan yang hilang itu mesti dikembalikan oleh hukum. Hasil kolaborasinya diperoleh secara tajam jika dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan kepribadian masing-masing kepentingan bagi semua orang.44

42

Gunawan Prasetio, Etika Bisnis, (Yogyakarta: Simon & Schuster, 1997), hal. 190-192.

43 O.P. Simorangkir, Etika: Bisnis, Jabatan dan Perbankan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003),

hal, 55.

(28)

Pandangan John Rawls ini sejalan dengan keadilan yang ingin dicapai oleh aliran utilitarian yang menitikberatkan pada kemanfaatan. Jika mesin diukur dari manfaatnya (utility), maka institusi sosial, termasuk institusi hukum pun harus diukur dari manfaatnya. Karena itu, unsur manfaat sebagai kriteria bagi umat manusia dalam mematuhi hukum.45

Bila dikaitkan apa yang dikemukakan dalam teori kemaslahatan (al-mashlahah) dan teori kemanfaatan (utilitarian) sebagaimana dikemukakan di atas, dalam kaitannya dengan hukum, maka baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru bisa di nilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya, dan berkurangnya penderitaan. Sebaliknya sesuatu akan dinilai buruk jika penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, tidak bermanfaat, tidak baik, menimbulkan kerugian, dan hanya memperbesar penderitaan.

Sebagaimana tujuan hukum untuk mencapai keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan akan tercapai.46 Sehingga tidak salah para ahli menyatakan bahwa teori kemanfaatan ini sebagai dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum. Tujuan hukum dimaksud membawa kebahagian sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang

45

John Rawls, A Theory of Justice, diterjemahkan oleh Uzair fauzan dan Heru Prasetyo, Teori

Keadilan, Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam negara,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 23.

(29)

dihasilkan dari proses penerapan hukum. Dengan keadaan tersebut maka pernikahan anak di bawah umur harus diatur dan diterapkan sedemikian rupa sehingga memberikan kemanfaatan bagi masyarakat.

Mohammad Fauzil Adhim dalam bukunya yang berjudul Indahnya pernikahan dini, dalam bukunya Fauzil Adhim menyebutkan secara lebih spesifik dengan pengertian pernikahan saat masih kuliah, dalam bukunya disebutkan bahwa masyarakat memandang pernikahan di usia muda adalah sebagai pernikahan yang belum menunjukkan adanya kedewasaan, yang secara ekonomi masih sangat tergantung pada orang tua serta belum mampu mengerjakan apa-apa (bekerja atau mencari nafkah).47

Pandangan penting dalam perkawinan di usia muda adalah adanya rasa tanggung jawab sebagai faktor yang berpengaruh terhadap keputusan untuk menikah di usia muda.48 Pernikahan di usia remaja dan masih duduk di bangku sekolah bukan sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik. Usia bukan ukuran utama untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang, bahwa menikah bisa menjadi solusi alternatif untuk mengatasi kenakalan kaum remaja yang semakin tidak terkendali.49

Terminologi dalam Al-Qur’an menggambarkan mengenai proses pembentukan keluarga yaitu disebut dengan dua kata yakni nikah dalam pengertian

47

Mohammad Fauzil Adhim, Indahnya Pernikahan Dini, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hal 26.

48 Ibid., hal. 28.

(30)

perkawinan dan zawwaja dalam arti berpasangan.50 Secara umum pengertian pernikahan diartikan dengan hal (perbuatan) nikah.51 Nikah itu sendiri adalah perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk bersuami istri dengan resmi,52 sedangkan dini berarti belum waktunya.53 Jadi pernikahan dini adalah suatu akad antara laki-laki dan perempuan yang terjadi pada saat usia masih muda. Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer dinyatakan bahwa nikah adalah mengadakan perjanjian untuk membentuk rumah tangga dengan resmi antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan peraturan agama maupun peraturan Negara.54

2. Konsepsi

Konsep merupakan bagian terpenting daripada teori. Konsep dapat dilihat dari 2 (dua) segi yaitu subyektif dan obyektif. Dari segi subyektif, konsep merupakan suatu kegiatan intelek untuk menangkap sesuatu. Sedangkan dari segi obyektif, konsep merupakan sesuatu yang ditangkap oleh kegiatan intelek tersebut. Hasil dari tangkapan akal manusia itulah yang dinamakan konsep.55 Tujuan digunakan landasan konsepsional dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh dasar konseptual, menghindari pemahaman dan penafsiran yang berbeda serta memberikan pedoman

50 Mantep Miharso. Pendidikan Keluarga Qur’ani, (Yogyakarta: Safiria Insania Press. 2004),

hal. 40.

51 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

2003), hal. 614.

52 Ibid. hal. 328.

53 Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Moderen

English Press. 1991), hal. 357.

54 Ibid. hal. 1035.

55 Yooke Tjuparmah S. Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmuah, (Jakarta: Bumi

(31)

dan arahan yang sama, antara lain:

a. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.56 b. Anak di bawah umur adalah anak yang berusia 19 (Sembilan belas) untuk

laki-laki dan 16 (enam belas) untuk perempuan dan belum pernah kawin.57 c. Izin orang tua adalah izin untuk melangsungkan perkawinan seorang yang

belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.58

d. Fiqih Islam adalah kajian-kajian yang membahas berbagai persoalan hukum Islam (ibadah, muamalah, pidana, peradilan, jihat, perang dan damai) berdasarkan hasil ijtihad ulama fikih dalam memahami Al-Qur’an dan hadist yang dikaitkan dengan realitas yang ada dengan menggunakan berbagai metode ijtihad.59

e. Kompilasi Hukum Islam adalah kegiatan pengumpulan atau sesuatu yang dihimpun. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan langkah awal untuk kodifikasi hukum Islam di bidang muamalah yang berlaku dalam yurisdiksi Peradilan Agama bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam. Kompilasi Hukum Islam berlaku sah dan dijadikan pedoman bagi

56 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

57

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

58 Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

59 A. Rahman Ritonga, et.all, Ensikopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,

(32)

seluruh Peradilan Agama di Indonesia berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 tertanggal 22 Juli 1991.60

f. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah undang-undang yang pada tanggal 2 Januari 1974 dan diundang-undangkan dalam Lembaran Negara 1974-1 serta dijelaskan dalam tambahan lembaran negara 1974 No. 3019 (TLN. 1974-3019) yang berisi tentang perkawinan yang terdiri dari 14 bab dan terbagi dalam 67 pasal.61

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada teori-teori, doktrin-doktrin, norma-norma, asas-asas (prinsip-prinsip), kaidah-kaidah hukum (penelitian doktrinal)62 atau dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.63 Ronald Dworkin menyebut metode penelitian normatif ini sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum

60 Ibid, hal. 968.

61 Ibid, hal. 1865.

62

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 34.

63 Peter Muhammad Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 96. Lihat

(33)

sebagai law as it is decided by the judge through judicial process.64 Teori-teori, doktrin-doktrin, norma-norma, asas-asas (prinsip-prinsip), kaidah-kaidah hukum tersebut yang berkaitan dengan perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua menurut fiqih Islam, kompilasi hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Sedangkan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu menggambarkan atau mendeskripsikan fakta-fakta perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua dengan cara menganalisis fakta-fakta tersebut berdasarkan teori hukum, norma-norma, asas-asas, prinsip-prinsip, doktrin-doktrin, dan peraturan perundang-undangan serta berdasarkan fiqih Islam dan kompilasi hukum. Dengan kata lain menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi dengan tujuan untuk memberikan solusi mengenai masalah penelitian sehingga mampu menggali masalah-masalah, kemudian dianalitis berdasarkan teori hukum, norma-norma, asas-asas, prinsip-prinsip, dan doktrin-doktrin.65

2. Sumber Data

Sumber data terbagi 2 (dua) bagian penting yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung melalui wawancara langsung dengan para hakim di Pengadilan Agama Medan dan Wakil Ketua Fatwa MUI Kota Medan. Sedangkan data sekunder umumnya diperoleh dari membaca referensi baik

64 Ronald Dworkin dalam Bismar Nasution, ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan

Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum Dan

Hasil Penulisan Hukum Pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003,

hal. 1.

65 Wiranto Surakhmad, Dasar-Dasar dan Teknik Research, (Bandung: Transito, 1978), hal.

(34)

buku, makalah, jurnal, artikel, surat kabar, dan berbagai ketentuan perundang-undangan yang relevan. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi:

a. Bahan hukum primer yaitu: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak UU Perlindungan Anak), Hukum Islam (antara lain: Alqur’an, Al-Hadits, Sunnah Rasulullah SAW, Ijma’, Qiyas, dan pendapat para ulama, termasuk fatwa Majelis Ulama Indonesia), serta Kompilasi Hukum Islam. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan

ulasan-ulasan terhadap bahan hukum primer, antara lain: buku-buku, makalah, majalah, jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, dan surat kabar, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari para pakar hukum yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dapat berupa Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Hukum, dan Kamus Bahasa Inggris, serta Kamus Bahasa Arab.

3. Teknik Pengumpulan Data

(35)

referensi, melihat, mendengar melalui seminar, pertemuan-pertemuan ilmiah, serta mendownload data melalui internet. Untuk memperkuat argumentasi-argumentasi normatif di dalam penelitian ini, dilakukan sebahagian kecil wawancara mendalam tidak terstruktur kepada pejabat-pejabat pada instansi yang relevan seperti pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Majelis Ulama Indonesia Kota Medan. Data yang diperoleh kemudian dipilah-pilah dan disatukan/dikumpulkan antara data yang satu dengan yang lain dan guna memperoleh data yang sesuai (relevan) dengan permasalahan dalam penelitian ini.

Teknik pendekatan di dalam penelitian ini dilakukan dengan cara pendekatan perbandingan (comparative approach) dengan membandingkan antara sistim hukum yang satu dengan yang lainnya, tujuannya untuk memperoleh informasi dan perbandingan hukum terapan yang mempunyai sasaran tertentu.66 Pendekatan perbandingan hukum dalam penelitian ini dengan membandingkan antara sistim hukum Islam dengan hukum nasional yang berkaitan dengan perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua. Sehingga dengan demikian akan diperoleh informasi tentang larangan dan perintah baik larangan dan perintah oleh hukum nasional secara umum maupun larangan dan perintah oleh hukum Islam khususnya bagi pemeluk yang beragama Islam.

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni menganalisis data berdasarkan kualitasnya (tingkat keterkaitannya atau relevansinya) dengan norma-norma,

(36)

asas, prinsip-prinsip, dan kaidah-kaidah yang terdapat di dalam ketentuan perundang-undangan serta berdasarkan syariat (hukum) Islam. Data dianalisis berdasarkan teori-teori yang digunakan, doktrin-doktrin, asas-asas, prinsip-prinsip, norma-norma, kaidah-kaidah yang terdapat di dalam KUH Perdata, UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak, Hukum Islam seperti: Alqur’an, Al-Hadits, Sunnah Rasulullah SAW, Ijma’, Qiyas, dan pendapat para ulama, termasuk fatwa Majelis Ulama Indonesia), serta Kompilasi Hukum Islam.

Data yang dianalisis tersebut kemudian dikemukakan dengan memberikan argumentasi-argumentasi yuridis atas hasil penelitian yang telah dilakukan dengan memberikan penilaian benar atau salah, boleh atau tidak berdasarkan hukum nasional atau berdasarkan syaria’t Islam, atau apa dan bagaimana yang semestinya menurut asas, norma hukum, kaidah, dan doktrin.

Referensi

Dokumen terkait

Pada Penulisan skripsi ini penulis mencoba untuk membahas tentang Perkawinan Tanpa Dihadiri Salah Satu Pihak Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,

ABSTRAK Sinta Afriyanti 4011611070 Penerapan Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Universitas Sumatera

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai pengaturan poligami dalam perspektif fiqih Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai pengaturan poligami dalam perspektif fiqih Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di

1) Perkawinan anak di bawah umur dipandang dari sistem Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam Hukum Islam menyatakan bahwa perkawinan di bawah umur

Dari penjelasan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam serta beberapa pendapat ulama mengenai perkahwinan yang dijodohkan di atas difahami

Akibat hukum perkawinan antar agama menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan. kompilasi Hukum Islam, Program dan strategi untuk pencegah