• Tidak ada hasil yang ditemukan

RAMBUT JILBAB dan PRO KONTRA AURAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "RAMBUT JILBAB dan PRO KONTRA AURAT"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

RAMBUT, JILBAB dan PRO KONTRA AURAT Kajian atas dasar Kaidah Ushul Fiqh

(Arifuddin – Indramayu)

Agar cara pandang kita mengenai hijab bisa lebih bernuansa, rileks, dan tidak

hitam-putih, ada baiknya meletakkan hijab dalam perspektif yang lebih luas. Titik

berangkatnya bisa dari kerangka yang digariskan dalam ushulul-fiqh (filsafat hukum

Islam) untuk kemudian dikembangkan. Berikut saya coba uraikan dengan bahasa yang

semoga mudah dipahami, meski tak mudah untuk menghindar dari istilah-istilah teknis.

Saya mulai dari kerangkanya dulu.

Dalam konteks Ilmu Fikih (Al Ilm Fiqh), Hukum fikih bisa dengan sederhana dibagi dua.

Satu, hukum yang tidak ada alasan rasionalnya (ta‟abbudiy). Dua, hukum yang ada

alasan rasionalnya (ma‟qulatul-ma‟na). Istilah teknisnya bisa beda-beda dalam

literatur ushulul-fiqh, tapi intinya sama. Istilah teknis untuk alasan rasional yang menjadi

pijakan suatu hukum ialah „illah(istilah kerennya: ratio legis).

Secara umum, hukum fikih untuk hal-hal yang murni ritual (ibadah mahdhah)

bersifat ta‟abbudiy,tidak punya alasan rasional. Tidak ada alasan rasional mengapa

wudu batal karena kentut dan yang dibasuh malah bukan pantat. Juga tidak ada alasan rasional mengapa setelah ―begituan‖ seorang muslim wajib mandi junub baru kemudian diperbolehkan salat. Hal semacam ini bukan khas Islam. Sepanjang menyangkut ritual,

agama-agama lain secara umum tidak memberikan alasan rasional.

Adapun hukum fikih untuk hal-hal yang berkenaan dengan interaksi sosial (mu‟amalah)

dan non-ritual, secara umum bersifat ma‟qulatul-ma‟na,punya dasar rasional. Riba

dalam transaksi ekonomi haram karena merugikan satu pihak. Khamr haram karena

memabukkan. Hal-hal yang membahayakan (istilah kerennya: melanggar harm

principle), seperti membunuh, mencuri, dsb, pada dasarnya adalah haram.

Apa pentingnya pembagian hukum ini? Pembagian ini berfungsi untuk menengarai

mana hukum yang punya alasan rasional sehingga ia bisa (1) menjadi bahan analogi

atau qiyas dan (2) bisa diikutkan dalam kaidah fikih yang berbunyi ―hukum bergantung

(2)

Cuma, contoh-contoh ternukil di atas adalah contoh-contoh yang mudah dan tidak

kontroversial. Ada contoh-contoh kasus yang berada dalam kawasan abu-abu, yang

tidak mudah ditentukan masuk dalam kategori hukum hukum fikih yang mana. Di

kawasan inilah terjadi perdebatan, kadang sampai sesat-menyesatkan, dan telah

membuat umat Islam jadi berkubu-kubu.

Segala aliran pemikiran dan mazhab Islam secara sederhana dapat ditaruh dalam

spektrum berdasar pada pembagian itu: antara yang ekstrem tekstual (yang tidak ingin

mempertanyakan dasar rasional hukum) dan yang ekstrem rasional (yang tidak puas

kalau sebuah hukum tidak diberi pijakan rasional).

Di antara contoh persoalan dalam kawasan abu-abu—contoh yang ringan: apakah

barang yang dipakai untuk membayar zakat fitrah bisa dirasionalisasi sehingga bisa

diganti dengan uang ? (dengan alasan: uang bisa dipakai untuk membeli hal lain yang

lebih sesuai kebutuhan karena si penerima zakat tidak butuh makanan pokok).

Contoh sedang: apakah najis karena jilatan anjing bisa disucikan dengan sabun dan

bukan dengan tujuh basuhan yang salah satunya pakai debu seperti dinyatakan dalam

hadis (dengan alasan: yang penting bersih)?

Contoh yang berat: kasus hijab. Berat karena orang yang ingin menawar hukum hijab

harus siap mental menghadapi cercaan dari sebagian orang Islam yang mudah naik

pitam. Figur sebesar Pak Quraish Shihab saja tidak lepas dari dampaknya, apalagi

kalau orangnya cuma seperti saya, yang hanya sebutir debu dibelah tujuh.

Susah untuk menolak bahwa yang mendominasi wacana keislaman, paling tidak kini,

ialah yang condong pada kubu tekstual, sekurangnya-kurangnya di level wacana. Di

level wacana karena kenyataan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Islam tidaklah

sesederhana yang diwacanakan. (Di kalangan yang ekstrem tekstual tampaknya ada

semacam kepercayaan tak tertulis: semakin tekstual seseorang, semakin Islam dirinya.)

Di Al-Quran ada ketentuan hukum potong tangan untuk pencuri dan seratus cambukan

(3)

ayat tentang hijab). Tapi, mayoritas negara mayoritas Muslim hari ini tidak

menerapkannya.

Dalam perkara hijab, wacananya bisa saja ketat: selain harus menutupi seluruh tubuh

kecuali muka dan telapak tangan, hijabnya harus lebar, menutupi dada, tidak

menonjolkan lekuk tubuh, dan seterusnya. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, para muslimah (bahkan mungkin mayoritas muslimah) melakukan ―negosiasi‖. Anda tahu, pakaian juga merupakan soal penampilan, fesyen, selera, dan mungkin juga

kecenderungan pemakainya sendiri yang hendak bersolek dan ingin terlihat cantik.

Kemunculan fenomena jilboobs adalah hasil dari ―negosiasi‖ itu.

Lebih penting dari itu, hingga tataran tertentu hijab juga terkait dengan ―diskursus‖ yang bersifat relatif terhadap konteks zamannya. Contohnya, kita tahu, dulu ibu-ibu di

Muslimat NU, juga para istri kiai, tidak memakai kerudung yang dalam standar wacana kontemporer bisa disebut ―hijab syar‘i‖, karena sebagian rambut dan leher masih tampak.

Ini bukan khas Indonesia saja. Dalam rekam sejarah, menunjukkan bahwa Durrusehvar

Sultan, putri dari khalifah Utsmani terakhir, Abdulmecid II, tidak berhijab. Para

mahasiswi yang masuk jurusan Dirasah Islamiyyah di Kulliyyatul-Banat Al-Azhar, Mesir,

pada tahun 1950-an juga tak berhijab. Pada kisaran tahun ini pula, putri dari pemimpin tertinggi (Mursyid ‗Aam) Jama‘ah al-Ikhwan al-Muslimin tidak berhijab—sebagaimana diceritakan presiden Mesir waktu itu, Gamal Abdel Nasser.

Istilah yang dipakai Presiden Nasser pada waktu itu pun bukan ―hijab‖,

melainkan “tharhah”, yang berarti selendang/kerudung. Saya duga keras yang terjadi di Mesir itu mirip belaka dengan di sini. Ada evolusi nama: dari sekadar ―kerudung‖, lalu ―jilbab‖, kemudian ―hijab‖, dan belakangan menjadi ―hijab syar‘i‖.

Dengan perspektif tentang diskursus, di antara hal yang dapat diambil dari fenomena ini

(4)

Di antara dampak konstruksi identitas keislaman yang demikian ialah hijab menjadi

standar (bahkan standar urutan pertama) untuk menilai seorang muslimah: kalau tak pakai hijab, berarti ―kurang Islam‖. Dampak sampingannya merembes dalam gombalan para cowok: ―Kamu makin cantik deh kalau pakai hijab‖—yang menyiratkan makna bahwa memakai hijab adalah ciri muslimah yang ―patuh‖, yang potensial untuk menjadi istri yang berbakti pada suaminya.

Jadi, masuk ke pertanyaan kuncinya: apakah hukum hijab termasuk yang ta‟abbudiy

alias tidak punya alasan rasional, atau yang ma‟qulatul-ma‟na alias bisa dirasionalisasi?

Paling tidak dua pertanyaan bisa menjadi pintu pembuka. Kalau hijab berfungsi untuk

meredam syahwat lelaki ketika melihat perempuan, mengapa, pertama, sebagaimana

diterangkan dalam literatur fikih, aurat budak perempuan adalah sama dengan laki-laki

(dari pusar sampai lutut; atau dengan kata lain, payudaranya tidak termasuk aurat)?

Apakah budak perempuan tidak membangkitkan syahwat? Maksud implisit dari

pertanyaan ini: jangan-jangan pada mulanya hijab berfungsi sebagai pembeda status

sosial antara perempuan merdeka dan budak.

Kedua, mengapa rambut perempuan dianggap aurat? (Aurat [„awrah], sebagaimana

pengertian leksikalnya, ialah sesuatu yang tak pantas diperlihatkan [ma yastaqbihu

an-nazharu ilayhi ]. Dalam terminology lain Buya Syakur Yasin dalam sebuah kesempatan mengatakan kepada saya bahwa secara lughot ‗aurah adalah kulit). Masak lihat rambut saja dapat membangkitkan libido? Bukankah jika dibandingkan dengan rambut, wajah

jauh lebih menarik? Bukankah kalau dari sononya sudah cantik, pakai hijab atau tidak

pun tetap menarik? Kalau begitu, mengapa wajah tak masuk aurat?

Pertanyaan-pertanyaan ini (kita perlu tahu), adalah pertanyaan yang bisa bikin

sebagian orang Islam marah. Karena dalam dalam tataran orang awam, sekadar tanya

saja bisa dianggap kurang ajar.

Kalau kita tidak mau capek ribut, ya sudah, tidak usah bertanya. Ikuti saja pandangan

(5)

Referensi

Dokumen terkait

Zvučni efekti na svoj način potpuno podižu doživljaj filma: šamar, koji junaku filma opali njegov protivnik, neće imati toliko uvredljiv efekt ako nije popraćen sočnim i

Berdasarkan hasil dari uji t maka hipotesis yang menyatakan servicescape berpengaruh signifikan terhadap kepuasan konsumen D’barista Coffee Langsa dapat diterima. Hal

Sistem Pengolahan Benih Padi (Oryza sativa L ) Pada Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Merauke mampu membantu Dinas dalam melihat berapa banyak benih padi unggulan

09.02 SUKU DINAS KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH SERTA PERDAGANGAN KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR CAKUNG KEPALA SUKU DINAS JKM 20.. 09.03 SUKU DINAS KOPERASI,

Istilah Otaku dalam arti lain juga dapat digunakan untuk menunjukkan orang-orang yang memiliki hobi sejenis dan membentuk kalangan terbatas seperti penerbitan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa seberapa besar pengaruh variasi arus pengelasan pada las baja karbon medium dengan menggunakan jenis elektroda

Sehubungan hal tersebut, generasi muda sebagai pilar bangsa diharapkan memiliki jiwa patriotisme dan nasionalisme dengan tetap bertahan pada nilai-nilai budaya

Skripsi dengan judul “Peluang Pencatatan Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan studi Pandangan Hakim Pengadilan