• Tidak ada hasil yang ditemukan

REFLEKSI ARTI BANGKIT AKAN KESADARAN BER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "REFLEKSI ARTI BANGKIT AKAN KESADARAN BER"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

REFLEKSI ARTI BANGKIT AKAN

KESADARAN BERBANGSA

Oleh :

SEPTINA ALRIANINGRUM

NIP : 132308741

FAKULTAS ILMU SOSIAL

(2)

2008

REFLEKSI ARTI BANGKIT AKAN

KESADARAN BERBANGSA

Sebuah renungan suci perlu dilakukan kembali sebagai suatu proses

pencarian sebuah makna yang hakiki setiap kali kita memperingati suatu hari jadi

baik hari besar nasional maupun keagamaan. Peringatan hari jadi nasional akan

Kebangkitan Nasional yang jatuh setiap tanggal 20 Mei juga merupakan salah satu

unsur proses pencarian sebuah makna tersebut. Tanggal 20 Mei menjadi tonggak

bangsa Indonesia untuk memperingati peristiwa bersejarah sebagai awal suatu

bentuk kesadaran bangsa dalam menentukan nasibnya sendiri. Pada 20 Mei 2008

yang genap sebagai 100 tahun proses bangsa Indonesia dalam menata kehidupan

berbangsa diharapkan mampu dan menjadikannya sebagai suatu momentum untuk

‘bangkit kembali’ dari segala keterpurukan masalah kebangsaan saat ini.

Kesadaran berbangsa sebagai suatu titik awal perjuangan bangsa dalam

menentukan nasibnya sendiri menuju bangsa yang mandiri. Perjalanan 100 tahun

bangsa telah mengalami pasang surut akan permasalahan kesatuan dan persatuan

bangsa. Hal ini dapat dicermati dari beragam permasalahan akan beberapa

golongan yang ingin melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia

(NKRI) (Nurcholis Madjid, 2004: 15). Juga tumbuhnya kesadaran setiap

komponen pemerintahan yang belum juga terkoordinasi dengan baik belum dapat

(3)

kesadaran membangun bangsa untuk bangkit melawan tantangan masa depan

bangsa belum sepenuhnya terealisasi.

Permasalahan bangsa seperti kemiskinan, kewibawaan bangsa yang

mendapat berbagai tekanan dari luar negeri seperti masalah ‘konfrontasi budaya’

yang dilakukan Malaysia, jaminan kesejahteraan sosial dan ekonomi rakyat dan

kekompakan bangsa dalam membangun bangsa dan negara Indonesia belum

terlihat (Tarmizi Taher, 2003: 65). Tonggak penting yang perlu ditanamkan adalah

dalam peringatan 100 tahun refleksi akan kebangkitan nasional bangsa Indonesia

ini adalah rasa nasionalisme dan tumbuhnya rasa cinta tanah air. Peringatan masa

lalu akan sejarah perjuangan bangsa adalah untuk melawan penjajah dalam arti

yang sebenarnya (Kahin, 1995: 25). Tetapi untuk saat ini yang harus dihadapi

adalah masalahnya tingginya angka pengangguran dan tingkat kemiskinan dalam

era global.

Belajar dari Sejarah

‘Jangan sekali-kali melupakan sejarah’ merupakan suatu ungkapan dari

Ir. Soekarno yang lebih familiar dikenal sebagai ’jas Merah’ adalah suatu ungkapan untuk selalu mengingatkan bangsa akan nilai perjuangan bangsanya.

Sejarah sebagai salah satu tahapan suatu kehidupan berbangsa merupakan titik

awal proses pembangunan. Dalam memaknai arti dan hakekat ‘kebangkitan

nasional’ yang sudah memasuki usia 100 tahun ini, maka bangsa Indonesia perlu

bercermin pada sejarah. Sebab ibarat orang sakit yang baru bangun, bangsa ini

(4)

fondasi itu ada pada dimana titik awal bangsa ini mulai ditancapkan, yakni sejarah

(Aminuddin Kasdi, 2008).

Nenek moyang bangsa Indonesia yang mulai beremigrasi ke kepulauan

Nusantara sekitar 3.000 SM berdasarkan pada sumber inskripsi yupa dari

Muarakaman (Kutai) merupakan hasil konsolidasi pemerintahan tingkat supra

desa pertama yang muncul dalam sejarah Indonesia (Piegaud, 1962: 17). Hal ini

bertempatan dengan implementasi konsep kenegaraan Hinduisme paling awal di

Indonesia (R. Pitono, 1961: 60). Proses ini menghasilkan bentuk kenegaraan awal

seperti Tarumanegara, Kalingga, Melayu, Sriwijaya dan Mataram merupakan

suatu bentuk kenegaraan. Sejak itu proses integrasi sosial dan teritorial terus

dilancarkan hingga terbentuknya 2 kerajaan besar nasional (nation home) yaitu

Sriwijaya dan Majapahit bagi berbagai etnik dan komunitas di Nusantara. Hal ini

menjadi dasar penjelmaan awal sebagai bangsa Indonesia (Mudji Sutrisno, 2004:

141).

Mengiringi proses integrasi sosial tersebut muncul gagasan

mempersatukan teritorial yaitu Kepulauan Nusantara dibawah payung satu

tunggal. Bahasa Melayu menjadi lingua franca sebagai tali pengikat interaksi

sosial di Nusantara yang berkembang menjadi bahasa Indonesia (Piegaud, 1962:

24). Persatuan yang dicapai dari proses integrasi sosial dan teritorial ini menjadi

landasan kultural bagi perjuangan bangsa periode selanjutnya. Aspek psikis

lainnya berupa kesamaan terhadap masalah Ketuhanan, gotong royong,

(5)

Sriwijaya dan Majapahit dianggap sebagai nation home awal kesadaran

berbangsa, tetapi masa kebangkitan nasional tahun 1908 merupakan tonggak awal

proses kebangkitan modern bangsa Indonesia. Kesadaran berbangsa dalam masa

episode pergerakan nasional menjadi kawah candradimuka-nya nasionalisme

modern (Hans Kohn, 1976: 58). Pelopornya adalah kaum terpelajar yang sadar

dan ingin bangkit akan nasib bangsanya. Kelompok ini terdiri dari beragam aliran

ideologi, agama, status, etnis dan aspirasi. Berdasarkan ikatan ke-Indonesia-an

perjuangan tersebut mencapai klimaks perjuangan melalui Proklamasi

Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Persoalan mulai timbul ketika warna ideologi mulai berkembang dalam

proses pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Dinamika dan gesekan

gerakan sosial dalam perkembangan pemerintahan berbangsa seperti

tindakan-tindakan separatis dan disintegratif seperti APRA, Andi Aziz, DI/TII, RMS,

PRRI-Permesta turut mewarnai sejarah NKRI (Sartono Kartodirdjo, 1990: 115). Situasi

kehidupan bernegara secara umum tidak begitu menggembirakan. Sementara itu

kehidupan masyarakat di bidang politik, sosial, budaya dan ekonomi bangsa

menunjukan suatu grafik yang cukup mengkhawatirkan saat ini.

Perjuangan menegakkan faham kebangsaan (nasionalisme) tentu

membutuhkan persaman kedudukan antar etnis, suasana ’egalitarian’ dan

’kebersamaan’ berdasarkan perasaan senasib dan sependeritaan. Hal ini sesuai

dengan faham kebangsaan itu lahir karena adanya persamaan perangai dan

tingkah laku dalam memperjuangkan persatuan dan nasib yang sama (Mudji

(6)

bangsa Indonesia hingga berakhirnya orde baru dan datangnya era reformasi.

Terdapat nilai-nilai luhur perjuangan bangsa yang patut dijadikan teladan bagi

generasi selanjutnya. Kenyataannya dalam membangun sebuah bangsa dan negara

kebangsaan ditengah-tengah pluralisme budaya dan etnis menjadi hal yang tidak

mudah untuk merefleksikan nilai kebangkitan dan kesadaran nasional.

Bangsa ini sudah mulai kehilangan pemimpin yang dapat dijadikan

panutan. Kerusakan fisik mungkin dapat mudah diperbaiki tetapi kehilangan

nyawa merupakan suatu kerugian bangsa yang tak terhitung berkenaan dengan

dinamika dan potensi bangsa. Kerusakan moral merupakan suatu bentuk bencana

bangsa karena dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di

Indonesia (Kabul Santoso, 2005: 35). Kerusakan moral sebagai ancaman yang

cukup berbahaya bagi keutuhan dan produktivitas bangsa. Membangun sikap dan

semangat kebangsaan merupakan potensi dasar dalam dunia pendidikan untuk

membangun bangsa dan negara.

Pendidikan sebagai Media

Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mewujudkan NKRI yang berwilayah

dari Sabang-Merauke memerlukan kerja keras dan bermacam-macam bentuk

perjuangan yang harus menapaki jalan terjal, curam dan rintangan yang dari

berbagai sudut pandang dapat menyebabkan penderitaan lahir batin. Dalam

mewujudkan suatu bangsa ’Indonesia’ mulai dari zaman kuno sampai masa kini

memerlukan adanya kesadaran untuk mewujudkan cita-cita luhur, berpikiran

(7)

Pembentukan watak dimulai dengan proses penanaman nilai, norma dan

semangat dalam proses pembentukan dan pematangan jiwa. Kemampuan dalam

memberi makna serta penekanan terhadap materi ajar terutama ’sejarah’ sebagai

salah satu komponen pembentukan dan pembangunan kesadaran berbangsa.

Transformasi nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan dalam pembentukan

karakter dan moral bangsa dalam NKRI dilakukan melalui proses pembelajaran.

Pembelajaran sebagai salah satu komponen pendidikan dapat menjadi bermakna

apabila dijadikan cermin atau kaca untuk melihat, menghayati dan menjiwai

proses perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara NKRI (Aminudin Kasdi,

2008: 6).

Peristiwa sejarah yang sarat dengan tindakan kepahlawanan sebagai wujud

kesadaran berbangsa dan bernegara dapat diberikan pemahaman melalui media

pendidikan khususnya sejarah (Sutardjo Adisusilo, 1985: 25). Kepahlawanan dan

kepemimpinan sebagai suatu wujud refleksi akan kesadaran diri dan eksistensi diri

untuk mengabdi kepada bangsa dapat terjadi pada setiap dimensi kehidupan

masyarakat.

Pemaknaan dan pewarisan nilai dari peristiwa sejarah yang terjadi

merupakan suatu wujud proses refleksi kognitif untuk dikembangkan lebih lanjut.

Pemahaman yang baik dapat diapreasiasikan dan dimasukkan menjadi suatu

warisan kesadaran yang bisa menjadi dasar proses refleksi secara akumulatif akan

memori kolektif bangsa akan sejarah bangsa dan negaranya. Semakin baik

kualitas memori kolektif bangsa yang dimiliki oleh masyarakat dan individu

(8)

identifikasi diri. Proses identifikasi ini dikembangkan lagi sebagai suatu bentuk

untuk memahami akan tujuan dan cita-cita bangsanya (Pemprov Jatim, 2003).

Kebijakan pendidikan sebagai media pembelajaran dan pemahaman makna

sebagai suatu upaya refleksi kesadaran berbangsa dapat dibangkitkan dengan

mengemasnya dalam bentuk kehidupan kebangsaan dan menjadi identitas bangsa

itu sendiri. Kebijakan pendidikan harus mengandung potensi besar untuk

mengembangkan kehidupan antar bangsa dalam kerangka jatidiri yang kuat sesuai

dengan cita-cita luhur yang tertuang dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945

(Tarmizi Taher, 2003: 65).

Keberhasilan dan kegagalan menjadi dinamika perjuangan dalam

mempertahankan kesadaran dan kebangkitan bangsa yang jatidirinya. Refleksi

perjuangan dan permasalahan bangsa saat ini harus merubah kedudukan

kurikulum, proses pembelajaran dan materi pembelajaran di dunia pendidikan.

Tujuannya agar posisi penting media pendidikan jatidiri bangsa dapat merefleksi

proses kesadaran dan pembentukan manusia Indonesia ’seutuhnya’. Proses

pembelajaran khususnya sejarah diharapkan mampu memberikan kesempatan

untuk berfikir, merefleksi dan memberikan kesempatan belajar berkaca pada

peristiwa masa lampau sebagai suatu bentuk internalisasi nilai kebangsaan kita.

Penutup

Perjalanan sejarah yang terjadi pada bangsa Indonesia dalam beberapa

masa perjuangan telah mampu mendorong munculnya kesadaran nasional. Hal ini

(9)

filosofis akan pandangan mulia yang dianut oleh bangsa Indonesia itu sendiri.

Petarungan menjadi suatu bentuk gejala empirik ketika perjuangan sudah bergeser

makna dari bentuk fisik menjadi perjuangan untuk menanamkan nilai-nilai

perjuangan bangsa Indonesia yang sifatnya abstrak dan reflektif.

Peringatan kebangkitan nasional kali ini merupakan suatu momentum dan

langkah awal dari refleksi suatu bangsa untuk kembali bangkit. Kita patut

bersyukur sebab selain sisi negatif keterburukan bangsa, masih ada sisi positif

bangsa dalam 100 tahun perjalanannya yaitu kemerdekaan sudah diraih dengan

susah payah. Kemerdekaan merupakan langkah awal proses pembangunan bangsa

dalam segala sektor bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui

kemerdekaan inilah cita-cita kebangkitan nasional dapat dilanjutkan sebagai

estafet tonggak perjuangan bangsa Indonesia. Hal-hal positif dapat dilihat dalam

proses kemajuan di bidang pendidikan, pembangunan infrastruktur, transparansi,

kejujuran hukum dan akuntabilitas diharapkan mampu membawa kunci

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin Kasdi. 2008. “Pendidikan Sejarah dan Pembentukan Karakter Bangsa” dalam Sarasehan Nasional tanggal 17 Mei 2008.

Kabul Santosa, dkk. 2005. Pembangunan Moral Bangsa (Sebuah wacana sosial budaya). Surabaya: PT. Java Pustaka.

Kahin, George Mc. Turnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Surakarta: UNS Press.

Kohn, Hans. 1978. Nasionalisme, arti dan sejarahnya, terj. Sumantri Mertodipuro. Jakarta-New York: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Madjid, Nurcholish. 2004. Indonesia Kita. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto. 2004. Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Pemprov Jawa Timur, Dewan Harian Daerah 45 Prov. Jawa Timur dan Perguruan Tinggi/Negeri dan Swasta Surabaya. 2003. Pembangunan Jati Diri Bangsa Indonesia. Surabaya: tp.

Piegaud, Th. G. Th. 1962. Java in The 14th Century : A Study of Cultural History

IV. Martinus Nijhoff, s-Gravenhage.

Pitono, R. 1961. Sedjarah Indonesia Lama. Malang: Lebbit– IKIP Malang.

Sartono Kartodirdjo. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia dari Kolonialisme sampai Nasionalisme.

Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Soeparno, M. 1992. Rekayasa Pembangunan Watak dan Moral Bangsa. Jakarta: PT. Purel Mondial.

Sutardjo Adisusilo. 1985. Strategi Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma.

Referensi

Dokumen terkait

50.000.000 lima puluh juta rupiah sebagai dana talangan melalui pembicaraan telepon terdakwa berjanji akan mengembalikan uang tersebut selama 1 satu bulan dan uang tersebut

Pembelajaran kontekstual dalam dalam suatu pendidikan merupakan suatu pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat

$nformasikan kepada pasien dan keluarga pasien tentang kegiatan asesmen awal atau pengkajian awal risiko jatuh yang akan dilakukan beserta

Hasil penelitian yang telah dilakukan di Desa Bumiayu Kabupaten Brebes Jawa Tengah, telah diidentifikasi dan disajikan rekapitulasi keanekaragaman rumput di bawah tegakan

57 “Struktur birokrasi di Badan Lingkungan Hidup Kota Palopo dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan SOP dan tanggung jawab pelaksana” (Wawancara, 2019). Pemaparan

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan sebelumnya, maka rumusan ma- salah dalam Penelitian Tindakan Kelas ada- lah “apakah penggunaan metode video critics

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian ini, disimpulkan bahwa siswa Sekolah Dasar Negeri 2 Sengkang-Wajo yang mengalami disfungsi STM dengan gejala kliking, deviasi

Iklan Baris Iklan Baris Mobil Dijual DAIHATSU CITROEN CHEVROLET CHERY CHERY QQ GX’2010 Silver 47, 5jt TT / Krd Jl.. Ry