• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBENTUKAN SENYAWA DIMER ANETOL DENGAN BIOKATALIS ENZIM LAKASE DARI JAMUR TIRAM PUTIH SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PEMBENTUKAN SENYAWA DIMER ANETOL DENGAN BIOKATALIS ENZIM LAKASE DARI JAMUR TIRAM PUTIH SKRIPSI"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBENTUKAN SENYAWA DIMER ANETOL DENGAN BIOKATALIS ENZIM LAKASE DARI JAMUR TIRAM PUTIH

SKRIPSI

SITI ZAINATUR RAHMAH

PROGRAM STUDI S1-KIMIA DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

(2)

PEMBENTUKAN SENYAWA DIMER ANETOL DENGAN BIOKATALIS ENZIM LAKASE DARI JAMUR TIRAM PUTIH

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Bidang Kimia pada Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga.

Oleh :

SITI ZAINATUR RAHMAH 080810514

Tanggal Lulus : 10 Agustus 2012

Disetujui Oleh :

Pembimbing I

Dr. Alfinda Novi Kristanti, DEA NIP. 196711151991022001

Pembimbing II

(3)

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

Judul : PEMBENTUKAN SENYAWA DIMER ANETOL

DENGAN BIOKATALIS ENZIM LAKASE DARI JAMUR

TIRAM PUTIH

Penyusun : Siti Zainatur Rahmah

NIM : 080810514

Pembimbing I : Dr. Alfinda Novi Kristanti, DEA

Pembimbing II : Dr. Sri Sumarsih, M. Si

Disetujui oleh :

Pembimbing I

Dr. Alfinda Novi Kristanti, DEA

NIP. 196711151991022001

Pembimbing II

Dr. Sri Sumarsih, M. Si

NIP. 196001019881002001

Mengetahui:

Ketua Program Studi Kimia

Fakulatas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

Dr. Alfinda Novi Kristanti, DEA

(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat

menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Pembentukan Senyawa Dimer

Anetol dengan Biokatalis Enzim Lakase dari Jamur Tiram Putih”.

Pada kesempatan ini penyusun menyampaikan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Dr. Alfinda Novi Kristanti, DEA selaku dosen pembimbing I atas

bimbingan, bantuan dan masukan yang sangat bermanfaat bagi

penyusun selama penyusunan skripsi ini.

2. Ibu Dr. Sri Sumarsih, M.Si selaku pembimbing II atas bantuan dan

kesabaran dalam memberikan bimbingan kepada penyusun.

3. Ibu Dra. Aning Purwaningsih, M.Si selaku dosen wali yang telah

memberikan pendampingan selama studi penyusun.

4. Para dosen program studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi,

Universitas Airlangga. Semoga Allah selalu merahmati beliau semua.

5. Ayah, bunda, dan kakak tercinta atas hangatnya kasih sayang,

dukungan moral, material, dan spiritual.

6. Teman-teman angkatan 2008 Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi,

Universitas Airlangga atas kebersamaan, kekompakan, kerjasama dan

(5)

7. Adik-adik mentoring 2009 (sinta dan lia), adik-adik mentoring 2010

(fisika, matematika, dan teknobiomedik), dan adik-adik mentoring

kimia 2011 (group RnB (Rombongan Ngaji Bareng)).

8. Teman seperjuangan Pipit Dwi N, Muhimmatus Sa’diyah, dan Dwi

Setya (lanjutkan perjuangan).

Penyusun menyadari bahwa naskah skripsi ini masih sangat banyak

kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penyusun

harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu

pengetahuan.

Surabaya, 30 Agustus 2012

Penyusun,

(6)

Siti Zainatur Rahmah, 2012, Pembentukan Senyawa Dimer Anetol dengan Biokatalis Enzim Lakase dari Jamur Tiram Putih . Skripsi ini di bawah bimbingan Dr. Alfinda Novi Kristanti, DEA dan Dr. Sri Sumarsih, M.Si. Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga.

ABSTRAK

Penggunaan enzim sebagai biokatalis telah banyak digunakan untuk melakukan sintesis senyawa organik. Hal ini dikarenakan enzim bersifat spesifik dan ramah terhadap lingkungan. Salah satu enzim yang banyak digunakan adalah lakase yang merupakan golongan oksireduktase. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mensintesis dimer anetol dengan mengunakan biokatalis enzim lakase. Pada penelitian ini digunakan minyak anis yang mengandung 90% anetol, enzim lakase sebagai biokatalis, dan hidrokuinon sebagai mediator. Enzim lakase yang digunakan merupakan hasil isolasi dari jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) yang memiliki aktivitas sebesar 712,758 U/L. Reaksi pembentukan dimer anetol dilakukan dalam medium bifasa (etil asetat : buffer fosfat = 4:1) yang dilakukan selama 24 jam dan 48 jam. Hasil reaksi kemudian diekstraksi dengan etil asetat dan menghasilkan cairan kental berwarna kecoklatan dengan intensitas warna yang lebih pekat pada reaksi 48 jam. Perbandingan hasil uji GC terhadap minyak anis, reaksi 24 jam, dan reaksi 48 jam menunjukan adanya penambahan peak dan perubahan tinggi puncak pada reaksi 48 jam. Senyawa anetol dan p-anisaldehid memiliki %area yang lebih kecil dibanding pada reaksi 24 jam. Diduga pada reaksi 48 jam dihasilkan senyawa baru yang berasal dari hasil reaksi oksidasi yaitu kariofilena oksida, namun belum teridentifikasi senyawa yang merupakan dimer anetol.

(7)

Siti Zainatur Rahmah, 2012, Formation of Dimer Anethol Compounds by Biocatalys Laccase Enzyme from White Oyster Mushroom.This scription under guidance Dr. Alfinda Novi Kristanti, DEA and Dr. Sri Sumarsih, M.Si.Chemical Departemen, Faculty of Science and Technology, Airlangga University.

ABSTRACT

Enzymes as biocatalyst has been much used to perform synthesis of organic compounds. This is because the enzyme is specific and friendly to the environment. The purpose this research is synthesis dimer anethol using laccase enzyme biocatalyst. Laccase enzyme that is widely used is that a group oxireductase. In this study use anise oil containing 90% anethole, the laccase enzyme as a biocatalyst, and hydroquinone as a mediator. Laccase enzyme used is the isolation of the white oyster mushroom (Pleurotus ostreatus) which has the activity of 712,758 U/L. Anetol dimerization performed in medium bifase (ethyl acetate : phosphate buffer = 4:1) is carried out for 24 hours and 48 hours. The reaction was extracted with ethyl acetate and produce a brownish viscous liquid with a more color intensity in the reaction 48 hours. Comparison of GC assay results of anise oil, reaction 24 hours, and 48 hours showed the reaction to the addition of high-peak and peak changes in the reaction 48 hours. Anethole compound and p-anisaldehyde %area smaller than in the reaction 24 hours. Identification of 48 hours reaction estimed there are new compounds from of the oxidation reaction is caryophyllene oxide, but has not identifed a dimer anethole compound.

(8)

DAFTAR ISI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Jamur tiram putih ... 5

2.2 Enzim ... 5

2.2.1 Penggolongan enzim ... 6

2.2.2 Kespesifikan enzim ... 6

2.2.3 Mekanisme kerja enzim ... 7

2.3Metalloenzyme... 8

2.4 Enzim lakase ... 8

2.5 Minyak atsiri ... 10

2.6 Senyawa fenolik ... 11

2.7 Anetol... 13

2.8 Dimerisasi dengan kopling oksidatif fenolik ... 15

2.9 Kromatografi ... 17

2.9.1 Kromatografi lapis tipis (KLT) ... 17

2.10 Spektroskopi... 19

2.10.1 Spektroskopi ultraviolet visibel... 19

2.10.2 GC-MS Spektrometri ... 19

BAB III METODE PENELITIAN ... 20

3.1 Tempat penelitian ... 20

3.2 Bahan dan alat penelitian ... 20

3.2.1 Bahan penelitian ... 20

3.2.2 Bahan kimia ... 20

3.2.4 Alat penelitian ... 20

3.3 Prosedur kerja ... 21

3.3.1 Isolasi enzim lakase dari jamur tiram putih ... 21

3.3.2 Penentuan aktivitas enzim lakase... 21

3.3.3 Reaksi dimerisasi anetol dengan katalis enzim lakase... 22

(9)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

4.1 Isolasi enzim lakase dari jamur tiram putih ... 26

4.2 Pengendapan ekstrak kasar enzim lakase ... 27

4.3 Penentuan aktivitas enzim lakase... 29

4.4 Reaksi dimerisasi anetol dengan katalis enzim lakase... 31

4.5 Analisis produk reaksi... 35

4.5.1 Analisis GC-MS ... 36

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

5.1 Kesimpulan ... 43

4.2 Saran ... 43

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel Halaman

4.1 Penggolongan enzim... 6

4.2 Kadar minyak atsiri, anetol, fencon dan estragol dalam adas dan

anis ... 14

4.3 Data kandungan senyawa pada reaksi 24 jam... 39

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Gambar Halaman

2.1 Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus)... 5

2.2 Struktur enzim lakase yang diisolasi dariM. albomyces... 8

2.3 3-Hydroxyanthranilic acid(HAA) dan 2,2′-azino-bis -(3-ethylbenzothiazoline-6-sulphonicacid)(ABTS) ... 9

2.4 Mekanisme kopling oksidatif eugenol dengan mediator hidroquinon... 10

2.5 Struktur anetol... 13

2.6 Struktur kimia cis-anetol (a), trans-anetol (b)... 14

2.7 Biosintesis propenilfenol dari jalur shikimat. ... 15

2.8 Pembentukan senyawa dimer fenolik ... 16

2.9 . Pembentukan kopling dehidrodieugenol (orto-orto). ... 17

2.10 Instrumentasi GC-MS ... 20

2.11 Agregasi protein akibat interaksi muatan berlawanan dari protein satu dengan protein lain ... 28

2.12 Denaturasi protein akibat pelarut organik... 29

2.13 Proses pengendapan protein dengan aseton ... 30

2.14 Reaksi oksidasi asam2,2’ -Azinobis-di-(3-ethylbenzthiazoline-6-sulfonate)(ABTS) ... 31

2.15 Grafik hubungan absorbansi radikal kation ABTS terhadap waktu... 31

2.16 Skema sistem mediator lakase ... 33

2.17 Mekanisme kerja Cu pada enzim lakase ... 34

2.18 Hasil pengamatan reaksi dimerisasi anetol dan kontrol... 35

2.19 Proses ekstraksi dan produk hasil reaksi dengan enzim lakase ... 36

2.20 Hasil KLT (a) minyak anis (b) produk reaksi 24 jam (c) produk reaksi 48 jam... 37

2.21 Kromatogram minyak atsiri anis... 38

(12)

2.23 Kromatogram hasil reaksi minyak anis selama 24 jam ... 39

2.24 Kromatogram hasil reaksi minyak anis selama 48 jam ... 40

2.25 Mekanisme reaksi oksidasi kariofilena dengan oksigen menjadi

kariofilena oksida... 42

2.26 Spektrum massa senyawa kariofilena oksida... 42

2.27 Spektrum massa senyawa

1-(4-Metoksi-fenil)-2-fenil-eten-1,2-dion ... 43

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah suatu negara kepulauan yang memiliki hutan tropika

terbesar kedua di dunia, kaya dengan keanekaragaman hayati dan dikenal sebagai

salah satu dari 7 (tujuh) negara megabiodiversity setelah Brazilia. Distribusi

tumbuhan tingkat tinggi yang terdapat di hutan tropika Indonesia lebih dari 12 %

(30.000) dari yang terdapat di muka bumi (250.000) (Ersam, 2004). Dengan fakta

ini, menjadikan Indonesia sebagai negara yang berperan dalam memenuhi

kebutuhan dunia akan minyak kelapa sawit, rempah-rempah, dan minyak atsiri.

Dewasa ini minyak atsiri merupakan komoditas ekspor Indonesia yang

meningkat signifikan sejak 2005 (Anonim, 2006). Minyak atsiri ini biasanya

digunakan dalam industri farmasi, kosmetik, parfum, maupun makanan dan

minuman. Minyak atsiri merupakan metabolit sekunder tumbuhan yang berfungsi

sebagai pertahanan diri dan sarana yang merupakan daya tarik bagi lawan

jenisnya (Guenther dan Ketaren, 2006).

Di antara sekian banyak produk minyak atsiri yang dihasilkan, Indonesia

dikenal sebagai penghasil minyak adas dan minyak anis yang sebagaian besar

terdapat di Yogyakarta, Boyolali, dan Sumatera (Handayani, 2001). Minyak atsiri

anis diketahui mengandung senyawa golongan propenil fenol, yaitu anetol sebesar

80-90% (Rostiana, 2007). Anetol biasanya digunakan sebagai salah satu bahan

dasar dari minyak telon dan obat-obatan. Selain itu anetol juga memiliki aktivitas

(14)

Senyawa metabolit sekunder dalam minyak atsiri diantanya merupakan

golongan terpenoid, fenolik, dan aril propanoid (Verpoorte,et al., 2000). Di alam,

senyawa aril propanoid ditemukan dalam beberapa kelompok berdasarkan

strukturnya yaitu lignan, alil fenol, propenil fenol, dan sinamat. Lignan sebagai

senyawa yang lebih kompleks dapat disintesis dari kelompok senyawa aril

propanoid yang lebih sederhana seperti kelompok propenil fenol (Lenny, 2006).

Dewasa ini banyak penelitian dilakukan untuk mentransformasi senyawa

aril propanoid menjadi senyawa lain yang memiliki aktivitas biologis yang lebih

tinggi. Salah satu cara yang dilakukan yaitu dengan mensintesis senyawa dimer

propenil fenol. Hal ini telah dilakukan oleh Arifin (2008) yang mensintesis

senyawa dimer dari eugenol. Senyawa dimer eugenol ini kemudian diuji

aktivitasnya sebagai antioksidan. Hasil uji aktivitas menunjukkan senyawa

eugenol memiliki nilai IC50 yang lebih rendah dibandingkan senyawa dimernya.

Dengan demikian pembentukan senyawa dimer eugenol dapat meningkatkan

aktivitas antioksidan.

Reaksi penggabungan (kopling) senyawa propenil fenol untuk membentuk

senyawa dimer dapat dilakukan dengan menggunakan katalis asam seperti HCl

(Ngadiwiyana, dkk., 2002), maupun melalui pembentukan radikal dengan UV.

Namun cara yang terakhir ini memiliki kekurangan yaitu produk yang dihasilkan

merupakan produk campuran lebih dari 5 senyawa (Castro, et al., 2010).

Penggunaan katalis dalam reaksi kopling cukup mahal dan kurang ramah terhadap

lingkungan sehingga banyak penelitian yang dilakukan untuk menemukan katalis

(15)

Reaksi dimerisasi senyawa turunan propenil fenol juga dapat dilakukan

dengan menggunakan biokatalis enzim oksireduktase, seperti enzim lakase (Zille,

2005). Berdasarkan penelitian sebelumnya, enzim lakase dapat diisolasi dari

jamur pelapuk kayu (Risdianto, dkk., 2008), kapang dari tandan kosong kelapa

sawit (Dewi, 2011), dan jamur tiram putih (Arifin, 2008). Enzim lakase yang

disolasi dari jamur tiram putih memiliki aktivitas spesifik sebesar 0,56 unit/mg

protein (Arifin, 2008). Dalam proses katalitiknya, enzim lakase menggunakan

oksigen dan hanya menghasilkan air sebagai produk samping, sehingga enzim ini

merupakan katalis yang ramah lingkungan (Riva, 2006).

Mengacu dari keberhasilan pada penelitian sebelumnya, telah dihasilkan

produk senyawa dimer golongan propenil fenol yang bersifat bioaktif, antara lain

senyawa dimer dari guaiakol (Andrian, 2007), etil ferulat (Junaedi, 2007), dan

asam ferulat (Permatasari, 2007). Oleh karena itu, pada penelitian ini akan

dilakukan reaksi dimerisasi terhadap golongan propenil fenol, yaitu anetol dengan

katalis enzim lakase dari jamur tiram putih. Proses ini diharapkan dapat menjadi

alternatif dalam penyediaan senyawa dimer propenil fenol dengan rendemen yang

besar, bioaktivitas yang tinggi serta prosesnya bersifat ramah lingkungan. Produk

yang terbentuk dari hasil sintesis akan diidentifikasi menggunakan metode

spektroskopi GC-MS.

1.2 Rumusan Masalah

1. Berapa besar aktivitas unit enzim lakase yang diisolasi dari jamur tiram putih?

2. Apakah enzim lakase yang diisolasi dari jamur tiram putih dapat digunakan

(16)

1.3 Tujuan

1. Mengetahui aktivitas unit enzim lakase yang diisolasi dari jamur tiram pitih.

2. Mengetahui apakah enzim lakase yang diisolasi dari jamur tiram putih dapat

digunakan dalam mensintesis senyawa aktif dimer anetol dari minyak anis.

1.3 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan pengetahuan baru tentang

pembentukan senyawa dimer anetol dengan menggunakan biokatalis enzim lakase

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jamur Tiram Putih

Jamur adalah organisme yang tidak berklorofil sehingga jamur tidak dapat

menyediakan makanan sendiri dengan cara fotosintesis seperti pada tanaman yang

berklorofil. Salah satu contoh golongan jamur yang banyak dikonsumsi

masyarakat adalah jamur tiram (Pleurotus ostreatus). Secara alamiah golongan

jamur ini menempel pada pohon di daerah bersuhu antara 10-32 oC dengan

pertumbuhan optimum pada suhu 25-26 oC. Suhu pertumbuhan jamur tiram pada

saat inkubasi lebih tinggi dibandingkan suhu pada saat pertumbuhan

(pembentukan tubuh buah jamur). Suhu inkubasi jamur tiram berkisar antara

22-28 oC dengan kelembaban 60-80 %, sedangkan suhu pada pembentukan tubuh

buah berkisar antara 16-22oC (Dewi, 2009).

Taksonomi jamur tiram putih

(18)

2.2 Enzim

Enzim merupakan suatu protein yang dapat mengkatalisis suatu reaksi

kimia dalam makhluk hidup. Sama seperti protein, enzim tersusun dari rantai

lurus asam amino yang kemudian mengalami proses pelipatan membentuk suatu

struktur tiga dimensi.

2.2.1 Penggolongan enzim

Enzim mempunyai nama yang kompleks berdasarkan sistem

penggolongan yang didasarkan pada jenis reaksi yang dikatalisisnya. Golongan

enzim utama diringkas dalam tabel 1.1 dibawah ini.

Tabel 4.1 Penggolongan Enzim (Stryer,et al., 2007)

No Golongan Enzim Jenis reaksi yang dikatalisis

1 Oksireduktase Oksidasi-reduksi. Donor hidrogen atau donor

elektron

2 Transferase Transfer gugus kimia dengan bentuk umum

3 Hidrolase Pemutusan secara hidrolitik pada ikatan C,

C-N, C-O, dan ikatan lainnya.

4 Liase Pemutusan (bukan hidrolitik) pada ikatan C-C,

C-O, dan ikatan lainnya, menyisakan ikatan

rangkap; atau, penambahan gugus pada ikatan

rangkap dua.

5 Isomerase Perubahan susunan geometris pada suatu

molekul

(19)

2.2.2 Kespesifikan enzim

Sifat khusus enzim yang paling utama adalah spesifisitas dan aktivitas

katalitik. Spesifisitas enzim sangat tinggi baik terhadap reaksi yang dikatalisisnya

ataupun terhadap substrat yang dilibatkan dalam reaksi (Horton, et al., 2002).

Secara umum terdapat empat jenis enzim yang berbeda spesifisitasnya, yaitu :

Absolute specificity: enzim mengenali satu jenis substrat

Group specificity : enzim yang bertindak pada molekul yang spesifik

gugus fungsionalnya

Linkage specifity: Enzim bertindak pada jenis ikatan kimia tertentu

Stereochemical specifity : enzim bertindak pada isomer sterik atau optik

tertentu

2.2.3 Mekanisme kerja enzim

Dalam proses kerjanya, enzim tidaklah merubah konstanta kesetimbangan,

tetapi dengan enzim dibutuhkan energi yang lebih rendah untuk mengkonversi

substrat menjadi produk. Proses katalisis dimulai dengan diikatnya substrat pada

daerah sisi aktif enzim sehingga membentuk kompleks enzim substrat dan terjadi

reaksi kimia diakhiri dengan pelepasan enzim dan produk (Stryer, et al, 2007).

E + S

Kompleks ES

EP

E + P

Mekanisme katalisis enzim melibatkan gugus fungsi yang terdapat pada

sisi aktif enzim. Sisi aktif enzim adalah tempat pengikatan substrat yang

mengandung residu asam amino yang berperan dalam pembuatan dan pemutusan

ikatan selama proses katalisis. Ikatan – ikatan yang terjadi antara enzim dan

substrat adalah ikatan elektrostatik, ikatan hidrogen, gaya Van Der Walls ataupun

(20)

gugus pengikat (binding group). Gugus yang terlibat dalam proses katalitik antara

enzim dan substrat disebut gugus katalitik (catalytic group). Gugus katalitik

terletak pada gugus samping enzim (Horton,et al. 2002).

2.3Metalloenzyme

Metalloenzymeadalah sebuah protein enzimatik yang memiliki hubungan

kuat antara bagian protein dan logam, dimana logam tertanam di dalam molekul

enzim ini. Logam yang terdapat pada enzim ini biasanya dalam bentuk ion dan

peran utamanya adalah berfungsi dalam reaksi enzimatik. Logam memainkan

peran langsung dalam pengikatan atom yang bekerja untuk membantu

menstabilkan protein setelah reaksi enzimatik.

Logam juga membantu dalam proses transfer elektron. Logam ini berada

di sisi aktif dari enzim, dimana mereka bertindak sebagai elektrofil yang menarik

elektron dari zat lain untuk membentuk sebuah ikatan (Cynthia,et al., 2004)

2.4 Enzim lakase

Lakase (EC 1.10.3.2; benzendiol: oksigen oksidoreduktase) sebagian besar

merupakan glikoprotein ekstraseluler yang mengandung atom tembaga dengan

bobot molekul 60-80 kDa. Lakase merupakan enzim multy-copper (mangandung

banyak ion tembaga) sehingga dapat membantu katalisis reaksi oksidasi beberapa

substrat seperti polifenol, substituen fenol, dan diamin. Enzim ini pertama kali

ditemukan dalam getah pohon pernis Jepang (Rhus vernicifera), pada tahun 1988

(21)

Gambar 2.2 Struktur enzim lakase yang diisolasi dariM. albomyces (Skalova,et al.,2007)

Enzim lakase merupakan salah satu enzim yang banyak diteliti sejak abad

ke 19. Enzim lakase banyak terdapat pada jamur dan tanaman tingkat tinggi. Pada

kelompok jamur, enzim lakase telah diisolasi dari jamur golongan Ascomycetes,

Deuteromycetes, Basidiomycetes. Enzim ini termasuk ke dalam kelompok

oksidoreduktase, yang dapat mengkatalis reaksi oksidasi dan reduksi. Enzim

lakase dapat mengkatalis proses oksidasi senyawa golongan fenolik menjadi

radikal, yang selanjutnya dapat membentuk dimer, oligomer, maupun polimerasi.

Dalam mekanismenya, enzim lakase menggunakan oksigen, dan hanya

menghasilkan air sebagai produk samping. Oleh karena itu, enzim ini merupakan

enzim yang sangat ramah lingkungan.

Lakase telah banyak diteliti karena sifat spesivitasnya yang rendah

terhadap substrat. Hidrokuinon, guaiakol, 2,6-dimetoksifenol, dan p-fenildiamin

merupakan substrat-substrat yang sering digunakan. Substrat seperti

2,2-azinobis-3-etilbenzethiazolin-6-sulfonat (ABTS) berperan sebagai mediator yang

(22)

dioksidasi oleh lakase sendiri. Senyawa-senyawa yang telah digunakan sebagai

mediator dalam industri antara lain, HAA dan ABTS.

Gambar 2.3 Struktur senyawa (a). 3-Hydroxyanthranilic acid (HAA) (b). 2,2′-azino-bis-(3-ethylbenzothiazoline-6-sulphonicacid)(ABTS)

Mekanisme reaksi enzimatis oleh lakase adalah reaksi oksidasi satu

elektron. Oksigen dibutuhkan sebagai penerima elektron dan kemudian

membentuk air. Ketika reaksi oksidasi berlangsung, substrat kehilangan satu

elektronnya dan membentuk radikal fenoksi bebas yang berperan sebagai senyawa

perantara. Radikal bebas yang terbentuk tersebut dapat melangsungkan reaksi

oksidatif enzimatik selanjutnya atau reaksi non-enzimatik seperti hidrasi dan

polimerisasi (Rochefort, et al., 2004). Salah satu contohnya adalah dalam

pembentukan dimer eugenol, berikut :

(23)

2.5 Minyak atsiri

Secara biologis, minyak atsiri merupakan metabolit sekunder yang

biasanya berperan sebagai alat pertahanan diri agar tidak dimakan oleh hewan

(hama) ataupun sebagai agen untuk bersaing dengan tumbuhan lain dalam

mempertahankan ruang hidup. Pada mulanya istilah “minyak atsiri” atau minyak

eteris adalah istilah yang digunakan untuk minyak mudah menguap dan diperoleh

dari tanaman dengan cara penyulingan uap. Definisi ini dimaksudkan untuk

membedakan minyak/lemak dengan minyak atsiri yang berbeda tanaman

penghasilnya (Agusta, 2002).

Intensitas suatu bau (harum yang dihasilkan, dengan kekecualian pada

kondisi tertentu) merupakan manifestasi dari sifat mudah menguap persenyawaan

yang menghasilkan bau harum tersebut (Guenther, 2006). Minyak atsiri yang

mudah menguap terdapat di dalam kelenjar minyak khusus di dalam kantung

minyak atau di dalam ruang antar sel dalam jaringan tanaman. Minyak atsiri

tersebut harus dibebaskan sebelum disuling yaitu dengan merajang/memotong

jaringan tanaman dan membuka kelenjar minyak sebanyak mungkin, sehingga

minyak dapat dengan mudah diuapkan (Guenther, 2006).

Minyak atsiri yang bagian utamanya terpenoid terdapat pada fraksi atsiri

yang tersuling uap. Zat inilah penyebab harum, wangi dan bau yang khas pada

banyak tumbuhan (Harborne, 2000). Ditinjau dari segi kimia fisika, minyak atsiri

hanya mengandung dua golongan senyawa yaitu oleopyna dan strearopyena.

Oleopyna adalah bagian hidrokarbon di dalam minyak atsiri dan berwujud cairan.

Sedangkan strearopyena adalah senyawa hidrokarbon teroksigenasi yang

(24)

2.6 Senyawa fenolik

Senyawa fenolik adalah senyawa yang terbentuk atas cincin aromatik yang

sekurang-kurangnya tersubtitusi oleh satu gugus hidroksil. Contoh yang paling

sederhana adalah fenol. Senyawa fenolik merupakan metabolit sekunder yang ada

di alam dan biasanya berada dalam bentuk polimernya ataupun terikat pada

beberapa gugus fungsi membentuk eter, ester, dan glikosida. Sebagian besar

senyawa fenolik termasuk ke dalam golongan oligostilbenoid, flavonoid, fenil

propanoid, dan turunan asam fenolat (Saroyobudiyono dan Aisyah, 2006).

Aktivitas fisiologis senyawa fenolik yang terdapat pada tumbuhan sangat

beragam. Beberapa senyawa tertentu yang tergolong flavanoid, berperan dalam

merangsang atau menarik serangga untuk penyerbukan bunga. Selain itu, senyawa

fenolik tertentu juga dapat dimanfaatkan manusia sebagai antikanker,

antioksidan, antimikroba, herbisida dan lain-lain (Andrian, 2007).

Menurut Lenny (2006) senyawa fenolik dapat dibedakan menjadi dua

golongan berdasarkan biogenetiknya, yaitu senyawa yang berasal dari jalur

shikimat dan asetat malonat. Namun ada juga senyawa-senyawa yang berasal dari

kombinasi antara kedua jalur biosintesa ini yaitu senyawa-senyawa flavonoida.

Senyawa fenolik yang berasal dari jalur shikimat yang utama adalah

fenilpropanoid. Senyawa fenol ini memiliki kerangka dasar karbon yang terdiri

atas cincin benzen (C6) yang terikat pada ujung rantai karbon propan (C3).

Kelompok senyawa fenol ini banyak ditemukan dalam tumbuhan tingkat tinggi.

Beberapa jenis senyawa yang termasuk fenil propanoid adalah turunan asam

(25)

Senyawa fenol yang bersal dari jalur asetat malonat disebut senyawa

poliketida. Senyawa poliketida dapat diklasifikasikan berdasarkan pola struktur

tertentu yang berkaitan dengan jalur biogenetiknya diantaranya turunan kromon,

antraquinon, dan turunan benzokuinon. Senyawa poliketida memiliki kerangka

dasar aromatik yang disusun oleh beberapa unit dua atom karbon dan membentuk

suatu rantai karbon yang linier yakni asam poli β-ketokarboksilat yang disebut

rantai poliasetil (Manitto, 1999).

2.7 Anetol

Anetol memiliki nama lain sebagai para-anisaldehid, para-metoksi

propenil benzen atau “anise champor”, mempunyai rumus kimia C10H12O, berat

molekul 148,20 g/mol dan memiliki struktur kimia seperti pada gambar 2.7

(Kusumaningsih, 2000). Kandungan anetol dalam minyak adas maupun minyak

anis mengeluarkan aroma yang khas anetol (Sastrohamidjojo, 2004).

Gambar 2.5 Struktur anetol

Struktur kimia anetol terdiri dari cincin aromatis dengan dua rantai

samping berupa alil dan metoksi. Hal ini memungkinkan anetol untuk dikonversi

menjadi senyawa lain dengan tingkat kemanfaatan yang lebih tinggi. Gugus alil

yang dimiliki anetol ini sama dengan gugus yang dimiliki oleh eugenol sehingga

dapat mengalami polimerisasi kationik dengan menggunakan katalis Friedel

(26)

cisdantrans.cis-Anetol memiliki titik didih 70-70,5 oC/2,3 mmHg. trans-Anetol

memiliki titik didih 81-81,5oC/2,3 mmHg (Kusumaningsih, 2000). Struktur kimia

cisdantransanetol ditunjukkan pada gambar 2.6.

Gambar 2.6 Struktur kimiacis-anetol (a),trans-anetol (b)

Anetol berwujud cair tak berwarna pada suhu 22,5 0C dan bersifat optis

inaktif, berbau anis dan rasanya manis. Anetol tidak dapat mengkristal, berwarna

kuning dan agak pahit dengan disertai kenaikan berat jenis di atas 1 jika terkena

cahaya, udara, air atau kalor. Kelarutan anetol dalam air kurang baik karena anetol

mempunyai sifat polaritas rendah. Dalam industri, anetol biasanya digunakan

sebagai bahan dasar minyak telon dan obat batuk (Freire,et al., 2005).

Sebagian besar anetol dapat diperoleh dari hasil isolasi minyak atsiri anis

dan sebagian adas. Anis (Pimpinella anisum L.) merupakan salah satu

tanaman yang tergolong famili Apiaceae, berasal dari Asia, Yunani dan Mesir.

Bagian tanaman yang digunakan adalah buahnya yang mengandung minyak

atsiri yang terdiri dari anetol (80-90%), pinen, fencon, metil kavikol,

anisaldehid, kamfen, dan felandren (Rostiana, 2007). Berikut perbandingan kadar

anetol yang terdapat dalam beberapa tanaman adas dan anis.

Tabel 4.2 Kadar minyak atsiri, anetol, fencon dan estragol dalam adas dan anis (Anonim, 2006)

(27)

Barat

Anetol merupakan senyawa golongan fenilpropanoid yang merupakan

senyawa turunan propenilfenol. Propenilfenol ini merupakan senyawa yang

bertalian satu sama lain dengan alilfenol. Berikut proses biosintesisnya dari jalur

shikamat :

Gambar 2.7 Biosintesis propenilfenol dari jalur shikimat

2.8 Dimerisasi melalui kopling oksidatif fenolik

Pembentukan senyawa dimer dapat dilakukan melalui reaksi kopling

oksidatif. Reaksi kopling oksidatif sendiri merupakan suatu reaksi penggabungan

antara dua molekul atau lebih, yang telah teroksidasi dalam bentuk radikalnya.

(28)

peroksidase dan lakase (Dewick, 1997) Radikal yang terbentuk akan mengalami

resonansi dan menghasilkan intermediet radikal yang selanjutnya akan mengalami

penggabungan. Berikut mekanisme penggabungan serta kemungkinan produk

yang dihasilkan (Eickhoff,et al., 2000).

Gambar 2.8 Pembentukan senyawa dimer fenolik

Seperti yang terlihat pada gambar di atas bahwasanya hasil kopling radikal

fenoksi dapat membentuk dimer fenolik, baik pada orto-orto, para-para, maupun

orto-para. Selain itu juga terdapat kemungkinan penggabungan O-para, O-orto,

dan O-O, bergantung pada kestabilan peroduk kopling oksidatif.

(29)

dihasilkan produk dimer dari kopling posisi orto-orto yang dominan. Hal ini

dikarenakan kestabilan radikalnya lebih tinggi dibandingkan pada posisi lainnya

dan juga halangan steriknya yang lebih kecil. Berikut proses pembentukannya :

OCH3

Gambar 2.9 Pembentukan kopling dehidrodieugenol (orto-orto)

2.9 Kromatografi

Kromatografi adalah teknik pemisahan campuran berdasarkan

perbedaan kecepatan perambatan komponen dalam medium tertentu. Pada

kromatografi, komponen-komponennya akan dipisahkan antara dua buah fase

yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam akan menahan komponen

campuran sedangkan fase gerak akan melarutkan komponen campuran.

Komponen yang mudah tertahan pada fase diam akan tertinggal, sedangkan

komponen yang mudah larut dalam fase gerak akan bergerak lebih cepat

(30)

2.9.1 Kromatografi lapis tipis (KLT)

Fenomena yang terjadi pada KLT adalah berdasarkan pada prinsip

adsorpsi. Setelah sampel ditotolkan di atas fasa diam, senyawa-senyawa dalam

sampel akan terelusi dengan kecepatan yang sangat bergantung pada sifat-sifat

kemampuan terikat pada fasa diam dan kemampuan larut dalam fasa gerak, sifat

kekuatan elektrolisis yang menarik senyawa di atas fasa diam kemampuan

melarutkan senyawa. Pada KLT, secara umum senyawa yang memiliki kepolaran

rendah akan terelusi lebih cepat daripada senyawa polar karena senyawa polar

terikat lebih kuat pada bahan silika yang mengandung silanol (SiOH2) yang pada

dasarnya memiliki avinitas yang kuat terhadap senyawa polar (Gritter, dkk.,

1999).

Karena prosesnya yang mudah dan cepat, KLT banyak digunakan untuk

melihat kemurnian senyawa organik. Biasanya analisis dilakukan dengan

mengubah pelarut beberapa kali (minimal 3 macam) dan hasil elusi tetap

menampakkan satu noda maka akan dapat dikatakan bahwa sampel yang

ditotolkan adalah murni. Selain itu, karena KLT juga dapat menampakkan jumlah

senyawa dalam campuran sampel (menurut noda yang muncul), maka KLT dapat

digunakan untuk mengikuti atau mengontrol jalannya reaksi organik maupun

untuk mengontrol proses pemisahan campuran yang dilakukan menggunakan

kromatografi kolom, kromatografi preparatif, dan kromatotron. KLT ini juga

merupakan suatu cara yang umum dilakukan untuk memilih pelarut yang sesuai

sebelum dilakukan pemisahan menggunakan berbagai jenis kromatografi .

(31)

dilihat secara visual, tetapi untuk noda yang tidak berwarna dapat diamati dengan

cara menggunakan sinar lampu UV, uap iodium dan pereaksi penampak noda.

Noda yang telah didapat diberi tanda, dan dihitung harga Rf (Rizvi, 2008).

Jarak titik pusat bercak dari titik awal Rf = ---Jarak garis depan dengan titik awal

2.10 Spektroskopi

Metode spektoskopi berguna dalam penentuan struktur molekul. Terdapat

banyak teknik spektroskopi yang sering digunakan dalam penentuan struktur

molekul dan berat molekul. Salah satunya adalah spektroskopi ultraviolet visible.

2.10.1 Spektroskopi ultraviolet visibel

Spektroskopi ulatraviolet Visible (UV-Vis) adalah analisis yang

didasarkan pada interaksi sinar dengan panjang gelombang tertentu dengan suatu

materi. Materi atau zat tersebut menyerap (absorbsi) sinar, kemudian ditransfer ke

atom atau molekul dalam sampel. Dalam hal ini, elektron terluar dipromosikan

dari tingkat energi yang lebih rendah ke energi yang lebih tinggi (Underwood,

1998).

Spektrum serapan kandungan tumbuhan dapat diukur dalam larutan yang

sangat encer dengan blanko pelarut analit tersebut. Pelarut yang sering digunakan

yaitu etanol 95%, hal ini dikarenakan sebagian besar senyawa larut dalam pelarut

tersebut. Pelarut lain yang umum digunakan antara lain air, metanol, n-heksana,

petroleum eter, dan eter. Senyawa yang tidak berwarna diukur pada panjang

gelombang 200-400 nm. Sedangkan senyawa berwarna diukur pada panjang

(32)

2.10.3 GC-MS Spektrometri

Kromatografi Gas–Spektrometri Massa merupakan suatu instrumen

gabungan kromatografi dan spektroskopi. Instrumen ini terdiri dari kromatografi

gas (GC) yang merupakan alat pemisah berbagai komponen dalam analit dan

spektrometer massa (MS) untuk mendeteksi struktur tiap komponen yang telah

dipisahkan. Banyak campuran senyawa kimia yang dapat dipisahkan,

diidentifikasi, dan dihitung kadarnya dengan GC-MS.

Senyawa yang akan dianalisis dengan GC-MS harus bersifat volatil dan

stabil terhadap suhu. Selain itu komponen campuran harus mempunyai kelarutan

yang baik di dalam fasa gerak. Untuk senyawa yang kurang volatil atau bahkan

tak volatil harus diubah dulu menjadi turunan yang volatil dan lebih stabil

(Gritter,et al., 1999).

Komponen pada instrumen GC antara lain adalah: tangki gas pembawa

dengan pengatur tekanan dan pengontrol aliran gas, kolom, fase diam, sistem

injeksi, detektor, pengontrol temperatur oven, sistem ionisasi, dan perekam

kromatogram (Skoog,et al., 1997). Berikut instrumen GC-MS :

G

(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-Juni 2012, di Laboratorium

Kimia Organik dan Biokimia Departemen Kimia Fakultas Sain dan Teknologi

Universitas Airlangga Surabaya.

3.2 Bahan dan alat penelitian 3.2.1 Bahan penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa jamur tiram putih dan

minyak anis

3.2.2 Bahan kimia

Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah buffer

fosfat, aseton, aquadem, hidroquinon, n-heksan, etilasetat, etanol, dan ABTS.

3.2.3 Alat penelitian

Alat-alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi blender,

labu erlenmeyer, corong pisah, rotary vacum evaporator, kertas saring,

sentrifuga, GC-MS, UV-Vis, plat KLT, kromatotron, mikropipet, alumunium foil,

pendingin, pH-meter, termometer, lemari pendingin, serta peralatan gelas yang

(34)

3.3 Prosedur kerja

3.3.1 Isolasi enzim lakase dari jamur tiram putih

Sebanyak 300 gram jamur tiram putih diblender dalam larutan buffer

fosfat 0,2 M, pH 6,0, kemudian dihomogenkan dengan homogenizer pada suhu

0-5oC selama 15 menit. Setelah itu, homogenat disaring menggunakan kain

penyaring dan filtrat yang diperoleh disentrifugasi dengan kecepatan 3500 rpm

selama 20 menit. Supernatan yang dihasilkan merupakan ekstrak kasar enzim dan

didinginkan pada suhu 0-20C.

Enzim kasar yang diperoleh kemudian dimurnikan dengan aseton untuk

meningkatkan aktivitasnya. Pemurnian dengan pelarut organik (aseton) yang

didinginkan hingga suhunya di bawah -100C. Lalu ekstrak enzim kasar yang telah

diperoleh dicampurkan dengan perbandingan aseton:enzim kasar (1:3). Larutan

distirer 7-12 menit, didiamkan sampai mengendap pada suhu -10-00C. Campuran

disentrifugasi dan endapan yang diperoleh dipisahkan dari filtratnya. Endapan

tersebut lalu disuspensikan dalam buffer fosfat pH 6,0 (Mustafa, et al., 2005).

Suspensi dari enzim ini kemudian disebut ekstrak enzim. Ekstrak enzim ini

kemudian ditentukan aktivitasnya.

3.3.2 Penentuan aktivitas enzim lakase

Uji aktivitas lakase ditentukan berdasarkan metode Bourbonnais dan Paice

(1990). Prinsip uji ini adalah sebagai berikut : pewarna non-fenol asam 2,2’

-Azinobis-di-(3-ethylbenzthiazoline-6-sulfonate) (ABTS) dioksidasi oleh lakase

menjadi radikal kation (ABTS+) yang lebih stabil. Konsentrasi radikal kation yang

(35)

Pengukuran aktivitas lakase dilakukan sebagai berikut : larutan 0,4 mM

ABTS dalam buffer fosfat (pH 6) sebanyak 160 µl dimasukkan ke dalam kuvet

1,5 ml. Selanjutnya ke dalam kuvet dimasukkan 40 µl enzim dan dikocok agar

tercampur homogen. Kemudian absorbansi radikal kation diamati pada panjang

gelombang 420 nm (εmM = 36 M-1 cm-1) selama 5 menit menggunakan

spektrofotometer UV-Vis. Perubahan absorbansi radikal kation diamati setiap

menit. Aktivitas lakase dinyatakan sebagai Internasional Unit (IU) per liter,

dengan 1 IU didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dapat mengoksidasi 1 µmol

ABTS tiap menit. Aktivitas lakase ditentukan dengan menggunakan persamaan

berikut :

Aktivitas

V = volum total reaksi (ml)

v = volum enzim (ml)

ε = extinction coefficient ABTS pada 420 nm = 36 mM-1cm-1

A.min-1= perubahan absorbansi tiap menit pada 420 nm

d = perubahan absorbansi tiap menit pada 420 nm

3.3.3 Reaksi dimerisasi anetol dengan katalis enzim lakase

Reaksi dimerisasi dengan katalis enzim lakase dilakukan dengan

menggunkan medium bifasa. Adanya medium bifasa ini dapat meningkatkan

kestabilan produk dan produk akan terekstraksi lebih banyak pada fasa organik

jika dibandingkan dengan penggunaan medium monofasa (Mustafa,et al., 2005).

Medium bifasa dibuat dari campuran etil asetat dan buffer fosfat dengan

perbandingan (4:1). Medium ini dimasukkan ke dalam 2 tabung masing-masing 5

(36)

Selanjutnya, ke dalam masing-masing tabung ditambahkan 1ml larutan

anetol. Tabung pertama diisi dengan 1ml hidroquinon (0,5 mg/ml) dan 4 ml

ekstrak enzim. Sedangkan pada tabung kedua digunakan sebagai larutan kontrol

untuk mengetahui adanya reaksi, sehingga tidak ditambahkan ekstrak enzim dan

mediator hidroquinon (Johannes, 2000). Kemudian larutan tabung 1 dan 2 diaduk

dan dibiarkan hingga membentuk dua lapisan. Diamati adanya reaksi dengan

perubahan warna pada medium bifasa.

3.3.4 Isolasi produk reaksi

Tahap pertama dilakukan reaksi dimerisasi dalam skala yang lebih besar

agar produk yang diperoleh lebih banyak. Media reaksi dibuat dengan

mencampurkan buffer fosfat dan etil asetat dengan perbandingan buffer fosfat :

etil asetat (1:4). Larutan ekstrak enzim sebanyak 20 ml, anetol 5 ml, hidroquinon

20 ml ditambahkan dalam campuran tersebut.

Kemudian campuran diaduk selama 30 menit dan dibiarkan 24 jam dan 48

jam. Endapan yang terbentuk dipisahkan dari larutannya dengan ekstraksi

menggunakan etil asetat. Selanjutnya dipekatkan dengan cara menguapkan

pelarutnya pada suhu 50-600C.

3.3.5 Analisis produk reaksi

Uji kromatografi lapis tipis (KLT) digunakan untuk mengidentifikasi

komponen-komponen senyawa yang terdapat pada campuran produk kasar.

Pelarut pengembang yang digunakan berupa campuran n-heksana : etil setat

dengan variasi perbandingan 1:1, 2:1, 3:2, 4:1, dan 5:1. Dari varasi tersebut dicari

(37)

3.4. Skema kerja

3.4.1 Isolasi enzim lakase dari jamur tiram putih

Jamur Tiram Putih

Endapan Filtrat

Enzim Kasar Endapan

Supernatan Estrak Enzim

Bentuk Endapan

Uji Aktivitas Enzim

- Diblender + buffer fosfat pH 6,0 (0-5oC)

- Homogenat disaring

-Ditambahkan aseton

(38)

3.4.2 Reaksi dimerisasi anetol dengan mediator enzim lakase

Produk reaksi

Uji KLT

Uji GC-MS Enzim lakase + anetol

+hidroquinon

Produk reaksi

 Distirer selama 2 jam

 Dibiarkan selama 24 jam dan 48 jam

Diekstraksi

Fasa organik Fasa air

(39)
(40)

27

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Isolasi enzim lakase dari jamur tiram putih

Enzim lakase banyak dihasilkan oleh jamur dan tanaman tingkat tinggi.

Enzim lakase telah diisolasi dari jamur golongan Ascomycetes, Deuteromycetes,

Basidiomycetes. Dalam penelitian ini, enzim lakase diisolasi dari jamur tiram putih

(Pleurotus ostreatus) yang termasuk dalam golongan Basidiomycetes. Pada jamur

tiram putih, lakase berperan dalam proses degradasi lignin dan beberapa fungsi lain

diantaranya adalah pigmentasi, pembentukan badan buah, pembentukan spora, dan

pertahanan (Gianfreda,et al., 1999).

Tahap isolasi enzim lakase dari jamur tiram putih dimulai dengan

menghaluskan jamur tiram putih dalam larutan buffer fosfat 0,2 M pH 6,0.

Penggunaan buffer fosfat 0,2 M pH 6 ini berfungsi untuk menjaga kondisi sekitar pH

6, karena pH optimum enzim lakase dari jamur tiram putih berada pada jangkauan

tersebut (Mustafa, et al., 2005). Kemudian jamur yang telah halus dihomogenkan

dengan menjaga suhu 0-50C. Kondisi ini dipertahankan untuk mencegah

kemungkinan terjadinya denaturasi protein enzim jika suhu lebih tinggi. Selain itu

juga menjaga enzim agar tidak aktif sebelum dipakai pada saat reaksi.

Setelah itu dilakukan pemisahan ekstrak enzim lakase dari debris sel.

Penyaringan dilakukan dengan kain katun dan sentrifuge pada 3500 rpm sehingga

(41)

28

kuning kecoklatan. Agar tidak terjadi denaturasi maka enzim ini disimpan pada suhu

0-20C.

4.2 Pengendapan ekstrak kasar enzim lakase

Untuk meningkatkan aktivitas enzim maka perlu dilakukan pemurnian. Ada

beberapa macam metode pemurnian enzim yaitu dengan pengendapkan protein

dengan amonium sulfat atau pelarut organik dan kromatografi. Adapun metode

kromatografi terdapat beberapa macam, diantaranya kromatografi penukar ion,

afinitas, filtrasi, dan hidrofob (Scopes, 1994). Pada penelitian ini pengendapan

protein dilakukan dengan menggunakan metode pengendapan protein dengan aseton.

Pemurnian parsial dengan aseton prinsipnya adalah molekul hidrofobik pada

enzim akan berkurang pada saat penambahan aseton. Molekul air di sekitar

permukaan hidrofobik protein digantikan oleh molekul aseton, sehingga interaksi

hidrofob hilang.

Gambar 2.11 Agregasi protein akibat interaksi muatan berlawanan dari protein satu dengan protein lain (Scopes, 1994)

(42)

29

Faktor utama penyebab agregasi molekul protein oleh aseton adalah ikatan

elektrostatik dan kekuatan dipolar. Keberadaan aseton dalam larutan protein

menyebabkan agregasi antara muatan yang berlawanan dari permukaan molekul

protein satu dan protein yang lain. Proses presipitasi dengan pelarut organik terjadi

pada keadaan elektrostatik protein. Molekul protein besar akan lebih mudah

beragregasi karena memiliki perbedaan muatan yang tinggi. Molekul yang besar akan

segera teragregasi karena terjadi perubahan yang besar dari muatan permukaan

protein satu dengan protein yang lain.

Dalam proses pemurnian dengan aseton suhu harus di bawah -10oC. Pada saat

temperatur tinggi, molekul dari pelarut organik masuk ke dalam protein melalui

permukaannya, kemudian berinteraksi dengan residu hidrofobik dari protein.

Interaksi tersebut menyebabkan protein mengalami denaturasi (Scopes, 1994).

Gambar 2.12 Denaturasi protein akibat pelarut organik

(43)

30

Pengendapan protein dilakukan dengan menambahkan aseton dalam ekstrak

enzim dengan perbandingan aseton : ekstrak enzim (3:1). Perbandingan ini

merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan Mustafa, et al. (2005) untuk

pemurnian enzim lakase pada fraksi atau sebanding dengan perbandingan aseton :

ekstrak enzim (3:1). Campuran ini kemudian distirer hingga mengendap. Setelah

melalui tahap pengendapan, maka didapatkan endapan yang berwarna keputihan yang

selanjutnya disentrifuge untuk memisahkan enzim dengan pelarut organik dan

disuspensikan dalam buffer fosfat pH 6, seperti pada gambar berikut :

Gambar 2.13 Proses pengendapan protein dengan aseton

4.3 Penentuan aktivitas enzim lakase

Pada penelitian ini aktivitas enzim lakase ditentukan dengan metode

Bourbonnais dan Paice (1990). Prinsip uji ini adalah sebagai berikut : pewarna

non-fenol asam 2,2’-Azinobis-di-(3-ethylbenzthiazoline-6-sulfonate) (ABTS) dioksidasi

oleh lakase menjadi radikal kation (ABTS+) yang lebih stabil. Konsentrasi radikal

kation yang berwarna biru kehijauan (dibaca pada panjang gelombang 420 nm)

berkolerasi dengan aktivitas lakase (Bar, 2001). Berikut adalah reaksi perubahan

(44)

31

Gambar 2.14 Reaksi asam oksidasi2,2’

-Azinobis-di-(3-ethylbenzthiazoline-6-sulfonate)(ABTS)

Perubahan absorbansi radikal kation diamati tiap menit selama 5 menit.

Aktivitas lakase dinyatakan sebagai Internasional Unit (IU) per liter, dengan 1 IU

didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dapat mengoksidasi 1 µmol ABTS tiap

menit pada suhu kamar dan pH 6. Berikut grafik hubungan absorbansi radikal kation

ABTS terhadap waktu.

(45)

32

Dari grafik diatas terlihat bahwa gradien maksimum dapat diperoleh dari dari

titik 0-1. Dari hasil perhitungan, aktivitas enzim lakase yang diperoleh adalah

712,758 U/L . Nilai aktivitas enzim lakase ini termasuk dalam kategori yang dapat

bertindak sebagai biokatalisator dalam reaksi senyawa organik membentuk senyawa

dimer, trimer, maupun polimer. Hal ini berdasarkan atas perbandingan nilai dari

beberapa hasil isolasi enzim dari berbagai sumber yang digunakan sebagai

biokatalisator dalam reaksi organik. Untuk melakukan reaksi pembentukan senyawa

dimer, trimer, dan polimer dibutuhkan aktivitas minimum sebesar 68 U/L sedangkan

aktivitas maksimum yang pernah dilakukan sebesar 2200 U/L (Kunamneni, et al.

2008).

4.4 Reaksi dimerisasi anetol dengan katalis enzim lakase

Enzim lakase yang digunakan dalam penelitian ini merupakan enzim

oksidoreduktase, yang dapat mengkatalis reaksi oksidasi dan reduksi. Enzim lakase

dapat mengkatalisis proses oksidasi senyawa golongan fenolik menjadi radikal, yang

selanjutnya dapat membentuk dimer, oligomer, maupun polimerasi.

Dalam reaksi katalisis senyawa fenolik, enzim lakase memerlukan senyawa

lain yang bertindak sebagai mediator. Senyawa yang dapat bertindak sebagai

mediator adalah senyawa golongan fenolik yang strukturnya lebih sederhana

dibandingkan dengan substrat (Adinaraya, 2007). Dalam penelitian ini mediator yang

digunakan adalah hidroquinon. Mediator hidrokuinon dapat bertindak sebagai

electron shuttle, dimana akan mengalami oksidasi oleh enzim lakase. Setelah itu,

(46)

33

Gambar 2.16 Skema sistem mediator lakase

Berdasarkan Johannes (2000) hidrokuinon dapat meningkatkan oksidasi

hingga 13% lebih tinggi dibandingkan tanpa menggunkan mediator. Mediator

hidroquinon yang kecil memungkinkan untuk berinteraksi dengan enzim lebih mudah

dibandingkan substrat. Radikal hidrokuinon yang reaktif ini kemudian dapat

mengoksidasi substrat fenolik seperti anetol menjadi radikal anetol. Sementara itu O2

bertindak sebagai akseptor hidrogen dan tereduksi menjadi H2O.

Enzim lakase sebagai biokatalis merupakan metaloenzyme yaitu sebuah

protein enzimatik yang memiliki hubungan kuat antara bagian protein dan logam,

dimana logam tertanam di dalam molekul enzim. Logam pada enzim dapat bekerja

dalam proses transfer elektron, transfer muatan, substrat transfer, oksigenasi dan

detoksifikasi. Pada haloenzim lakase dapat terdiri dari monomer, dimer, dan trimer.

Pada masing-masing monomer terdapat 4 atom Cu yang terdistribusi ke dalam 3

lokasi redoks dan dibagi menjadi 3 tipe. Masing-masing tipe, mempunyai peranan

tersendiri(D’souza-ticlo, 2008).

Adanya logam Cu pada lakase membantu terjadinya transfer elektron dari

substrat yang telah tereduksi kepada molekul oksigen tanpa melepaskan peroksida

(47)

34

utama yaitu : reduksi pada atommononuclearCu kepada trinuclearCu dan akhirnya

terjadi reduksi pada O2olehtrinuclearCu menjadi H2O (Baldrian & Gabriel, 2006).

Gambar 2.17 Mekanisme kerja Cu pada enzim lakase (Baldrian & Gabriel, 2006)

Reaksi dimerisasi anetol dilakukan pada medium bifasa. Penggunaan medium

bifasa dapat meningkatkan kestabilan produk dan terekstraksi lebih banyak pada fasa

organik jika dibandingkan dengan medium monofasa (Mustafa, et al., 2005)

Berdasarkan Adelakun,et al. (2001), medium bifasa dalam sintesis senyawa organik

melalui biokatalis lakase dapat dilakukan dengan mencampurkan buffer dan pelarut

organik. Adapun pelarut organik yang telah digunakan yaitu aseton, etil asetat, etanol,

dioksan, dan metanol. Berdasarkan hasil penelitian tersebut etil asetat merupakan

(48)

35

pelarut organik yang dapat menghasilkan produk dengan rendemen terbesar, sehingga

pada penelitian ini medium bifasa yang digunakan merupakan campuran etil asetat

dan buffer fosfat dengan perbandingan (4:1).

Uji kualitatif dengan membandingkan senyawa reaksi pada tabung reaksi II

dan kontrol tabung reaksi I menunjukkan adanya perbedaan secara fisik. Pada tabung

II dengan komposisi larutan bifasa, enzim lakase, hidroquinon, dan minyak anis

menghasilkan warna kecoklatan di lapisan bawah jauh lebih pekat dibandingkan pada

tabung I dengan komposisi sama namun tanpa penambahan enzim lakase. Hal ini

dapat dikatakan telah terjadi perubahan, yang kemungkinan karena terbentuknya

terbentuk suatu senyawa baru dalam tabung II.

Tabung I Tabung II

Gambar 2.18 Hasil pengamatan uji kualitatif reaksi dimerisasi anetol (tabung II) dan kontrol (tabung I)

Untuk mengisolasi produk yang terbentuk, reaksi dilakukan dalam skala yang

lebih besar yaitu dengan 5 ml minyak anis pada medium bifasa (etil asetat : buffer

fosfat = 4:1). Campuran distirer selama 2 jam dan dibiarkan selama 24 jam dan 48

(49)

36

dan fasa airnya. Pemisahan yang terjadi didasarkan adanya perbedaan kepolaran

antara masing-masing komponen dalam larutan.

Fasa organik yang berhasil diekstrak, diuapkan untuk menghilangkan

pelarutnya. Dari hasil penguapan dihasilkan cairan kecoklatan kental. Reaksi pada 48

jam menghasilkan intensitas kepekatan yang lebih tinggi dibandingkan reaksi pada 24

jam, seperti gambar dibawah ini :

Gambar 2.19 Proses ekstraksi dan produk hasil reaksi dengan enzim lakase

4.5 Analisis produk reaksi

Pembentukan produk reaksi secara kualitatif dapat dilihat dari perubahan

warna dan aroma. Selain itu dapat juga diidentifikasi dengan kromatografi lapis tipis

(KLT). Cara ini juga dapat menunjukan jumlah komponen senyawa dalam produk

reaksi. Proses pemisahannya berdasarkan perbedaan distribusi masing-masing

komponen dalam suatu campuran, kedalam fasa gerak dan fasa diamnya.

Reaksi 24 jam

(50)

37

Pada penelitian ini, larutan pengembang (fasa gerak) yang digunakan adalah

campuran n-heksan dan etil asaetat dengan beberapa perbandingan komposisi. Secara

umum dari hasil uji KLT ini tidak dapat menunjukkan adanya perubahan reaksi yang

signifikan. Hal ini dimungkinkan karena jumlah produk reaksi yang kecil dan jumlah

campuran yang banyak, sehingga produk reaksi tidak dapat teridentifikasi.

Gambar 2.20 Hasil KLT (a) minyak anis (b) produk reaksi 24 jam (c) produk reaksi 48 jam

4.5.1 Analisis GC-MS

Analisis minyak atsiri anis dengan menggunkan GC-MS menghasilkan

kromatogram dengan 5 puncak senyawa seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.21

sebagai berikut:

(51)

38

Gambar 2.21 Kromatogram minyak atsiri anis

Berdasarkan kromatogram di atas diketahui bahwa puncak tertinggi muncul pada

waktu retensi 18,96 menit dengan %area 65,71. Dari hasil analisis MS, puncak

tertinggi tersebut memiliki m/z 148 yang merupakan senyawa anetol. Sedangkan

puncak no 1 merupakan pelarut yaitu klroform. Untuk puncak yang lain secara

berurutan 2-4 adalah anetol, p-anisaldehid, dan p-metoksibenzil metil ketone.

Adapun spectrum MS anetol tertera pada gambar 2.21.

Gambar 2.22 Spektrum massa senyawa anetol

Pada penelitian ini minyak anis direaksikan dalam medium bifasa,

menggunakan biokatalis enzim lakase, dan hidroquinon sebagai mediator. Hal ini

(52)

39

24 jam dan 48 jam. Berikut hasil dari analisis GC-MS reaksi minyak anis selama 24

jam.

Gambar 2.23 Kromatogram hasil reaksi minyak anis selama 24 jam

Hasil kromatogram senyawa hasil reaksi minyak anis selama 24 jam memiliki

puncak tertinggi pada waktu retensi 18,958 menit dengan luas area 77,68% dan

dideteksi dengan MS sebagai anetol. Berikut data senyawa yang dihasilkan dari

reaksi 24 jam.

Tabel 4.3 Data kandungan senyawa pada reaksi 24 jam

No Peak Waktu Retensi (menit) Nama Senyawa % Area

1 18,056 Anetol 1,59

2 18.960 Anetol 77,68

3 21,379 p-Anisaldehis 17,25

4 22,992 Anisil aseton 3,47

Analisis GC-MS untuk reaksi minyak atsiri anis selama 48 jam dapat dilihat

(53)

40

Gambar 2.24 Kromatogram hasil reaksi minyak anis selama 48 jam

Kromatogran analisis GC untuk reaksi 48 jam memiliki jumlah puncak yang lebih

banyak dibandingkan reaksi 24 jam sehingga dapat disimpulkan terdapat senyawa

baru. Berikut perbedaan yang dihasilkan :

Waktu Retensi (menit)

Nama Senyawa % Area

Reaksi 24 jam Reaksi 48 jam

18,958 Anetol 77,68 37,42

21,347 p-anisaldehid 17,25 27,27

Senyawa anetol dan p-anisaldehid pada reaksi 24 jam memiliki %area yang

lebih besar dibandingkan reaksi 48 jam. Hal ini menunjukan berkurangnya jumlah

anetol pada reaksi 48 jam yang dimungkinkan mengalami reaksi membentuk senyawa

(54)

41

Tabel 4.4 Data kandungan senyawa pada reaksi 48 jam

No

Peak

Waktu Retensi (menit) Nama Senyawa % Area

1 16.897 Anetol 0.86

2 18.024 Estragol 3.82

3 18.958 Anetol dan Estragol 37.42

4 19.009 Anetol dan Estragol 19.30

5 21.080 Kariofilena 0.42

Data di atas menunjukan adanya senyawa yang berbeda dari produk reaksi 24

jam. Dari keenam senyawa tersebut terdapat tiga senyawa yang merupakan hasil

reaksi oksidasi yaitu pada waktu retensi 21,083 dengan %area 0,42 merupakan

senyawa kariofilena oksida. Senyawa ini dapat disintesis dari kariofilena secara

oksidatif dengan pereaksi H2O2 (Kadarohman, dkk., 1999 ). Terbentuknya senyawa

ini pada reaksi 48 jam diperkirakan adanya reaksi oksidasi yang dilakukan oleh enzim

(55)

42

Gambar 2.25 Mekanisme reaksi oksidasi kariofilena dengan oksigen menjadi kariofilena oksida.

Berikut adalah spektrum senyawa kariofilena oksida.

Gambar 2.26 Spektrum massa senyawa kariofilena oksida

Kemudian pada waktu retensi 23,86 dengan %area 1,39 yang diduga dapat dihasilkan

(56)

43

Gambar 2.27 Spektrum massa senyawa 1-(4-Metoksi-fenil)-2-fenil-eten-1,2-dion

Dugaan ini berasal dari data spectrum MS senyawa yang memiliki kemiripan

86% dengan senyawa 1-(4-Metoksi-fenil)-2-fenil-eten-1,2-dion yang terdapat pada

library. Struktur senyawa pembanding tertera pada gambar berikut :

Gambar 2.28 Struktur senyawa 1-(4-Metoksi-fenil)-2-fenil-eten-1,2-dion

Adanya dua gugus fenil pada senyawa tersebut menunjukkan terjadi reaksi kopling

antara dua senyawa yang masing-masing memiliki gugus fenil seperti halnya anetol.

Oleh karena analisis hanya menggunakan data MS, senyawa hasil sintesis belum

dapat ditentukan strukturnya. Walaupun senyawa anetol memiliki persentasi yang

besar dalam minyak anis namun senyawa ini termasuk kurang reaktif dibandingkan

senyawa golongan fenol yang memiliki gugus hidroksi. Hal ini menyebabkan anetol

lebih sulit bereaksi dibandingkan senyawa eugenol yang berhasil disintesis senyawa

(57)

44

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Aktivitas unit enzim lakase yang diisolasi dari jamur tiram putih sebesar

712,758 U/L dengan definisi 1 U yaitu jumlah enzim yang dapat

mengoksidasi 1 µmol ABTS tiap menit pada suhu kamar dan pH 6.

2. Enzim lakase yang diisolasi dari jamur tiram putih belum dapat digunakan

untuk mensintesis senyawa dimer anetol namun dapat digunakan untuk

mensintesis senyawa kariofilena oksida dari kariofilena dengan proses

oksidasi oleh enzim lakase.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka disarankan untuk

melakukan reaksi pembentukan dimer anetol dengan biokatalis enzim yang lain.

Selain itu, enzim lakase kasar yang dihasilkan dari penelitian ini dapat digunkan

untuk mensintesis kariofilena oksida tanpa menggunkan H2O2 sehingga lebih ramah

(58)

45

Daftar Pustaka

Adinaraya, k. 2007. Fugal Laccase-a Versatile Enzyme for Biotechnolohical

Application.J. Trends in App. Microbiol. 4 : 233-245

Adelakun, O.E., Kuduga T., Parker A., Green I.R., Roes-Hill M., Burton S.G., 2011,

Laccase Catalyzed Dimerization of Feluric Acid Amplifies Antioxidant Activity.Journal of Molecular Catalysis B: Enzymetic74 : 29-35

Agusta, A. 2002. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. Penerbit ITB.

Bandung.

Andrian, H. 2007. Identifikasi Produk Oxidative Coupling Etil Ferulat oleh

Enzim Peroksidase dan Uji Aktifitas Biologis. Skripsi. Departemen Kimia FMIPA UI

Anonim. 2006. Strategi Pengembangan Minyak Atsiri Indonesia. BALITRO.

Warta Penelitian dan Pengembangan PertanianVol. 28, No. 5 : 13-14

Arifin, Z. S. 2008. Pembentukan Dimer Eugenol dengan Katalis Enzim Lakase

dan Uji Aktivitasnya sebagai Antioksidan. Skripsi. Departemen Kimia FMIPA UI.

Baldrian, P., Gabriel, J., 2006, Cooper and Cadnium Increas Laccase Activity in

Pleuorotus ostreatus,FEMS Microbiology Letters, p. 69-74

Bar, M. 2001. Kinetics and Physico-chemical Properties of White-Rot Fungal

Laccase.Thesis. University of The Free State, Bloemfontein.

Castro, H. T., Jairo, R. M., and Elena, S. 2010. Anethole Isomerization and

Dimerization Induced by Acid Sites or UV Irradiation. Molecules, No. 5 : 5012-5030

Couto, S.R. dan Toca, Jose LH. 2006.Industrial and biotechnological applications

of laccases: A review.Tarragona Spain, No. 28: 500-513

D’ souza-ticlo, D.T., 2008, The Lignin-Degrading Enzyme, Laccase from Marine

Fungi ; Biochemical and Molecular Approaches. Goa University, p. 28-33

Darmawan, A., Hanafi, M., Broto, S K., Umar, A J. 2003.Pengembangan Pangkalan

Data Struktur Kimia di LIPI Berbasis Data Resonansi Magnetik Inti. Serpong :

(59)

46

Dewi, G. F. D. 2011.Isolasi dan Karakterisasi Ekstrak Kasar Enzim Lakase dari

Kapang. Skripsi.Departemen Kimia FST Universitas Airlangga.

Dewi, I. K. 2009.Efektifitas Pemberian Blotong Kering terhadap Pertumbuhan

Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) pada Media Serbuk Kayu. Skripsi. Jurusan Biologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Dewick, P. 1997. Medicinal Natural Products : A Biosynthetic. Approach. John

Wiley dan Sons ltd : Inggis.

Eickhoff H., Jung, Gu E., Rieker A. 2000. Oxidative Phenol Coupling Tyrosine

Dimers and Libraries Containing Tyrosyl Peptide Dimers. Tetrahedron, 57, 353-364

Ersam, T. 2004. Keunggulan Biodiversitas Hutan Tropika Indonesia dalam

Merekayasa Model Molekul Alami. Makalah Seminar Nasional Kimia VI . Jurusan Kimia, FMIPA, ITS

Fessenden, R.J, Fessenden, J.S. 1999. Kimia Organik. A.H. Pudjaatmaka

(Penerjemah). Jakarta : Penerbit Erlangga.

Freire, R S., Selene M. Morais, Francisco E A., dan Diana C. S. N. Pinheirob. 2005.

Synthesis and Antioxidant, Anti-inflammatory and Gastroprotector Activities of Anethole and Related Compounds. Bioorganic & Medicinal Chemistry,13 : 4353–4358

Gandjar, Gholib I., Rohman A., 2008,Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar.

Guenther E, Ketaren S. 2006.Minyak Atsiri Jilid 1.Jakarta : UI-Press.

Handayani, W. 2001. Sintesis Polieugenol dengan Katalis Asam Sulfat. Jurnal

Ilmu Dasar, Vol.2, No. 2 : 1-13

Harborne, J. B., 2000, Metode Fitokimia, Penentuan Cara Modern Menganalisis

Tumbuhan, Terjemahan oleh K. Padmawinata dan Iwang Soediro, Bandung : Penerbit ITB

Horton, R; Moran, L; Ocsh, R; Rawn, J; Scringeour, K., 2002, Principles of

(60)

47

Johannes, C. 2000. Natural Mediators in the Oxidation of Polycyclic Aromatic

Hydrocarbons by Laccase Mediator System.Microbiol. 66 (2): 524-528

Junaidi, Y. 2007. Uji Aktifitas Biologi Senyawa Hasil Reaksi Guaiacol Oleh

Enzim Lakase dari Jamur Tiram (Pleurotus Ostreatus). Skripsi. Jakarta: Departemen Kimia FMIPA UI

Kadarohman A., Sastrohamidjojo H., Muchalal M., 1999,Sintesis Klovanadiol dari

Kariofilena.Karya ilmiah. Kimia FPMIPA UPI dan Kimia FMIPA UGM

Kartikawati, N.G. 2007. Pemisahan Logam Berat Dengan Polieugenol Sebagai

Carrier Menggunakan Teknik BLM (Bulk Liquid Membrane). Skripsi Jurusan Kimia FMIPA UNDIP

Kristanti, A. N., Aminah, N.S., Tanjung, M., Kurniadi, B., 2008. Buku Ajar

Fitokimia. Surabaya : Airlangga University Press

Kunamneni, A., Francisco J. Plou, Antonio, B., and Miguel, A. 2008.Laccases and

their applications: A patent review.CSIC: 28049.

Kusumaningsih, T., Sastrohamidjojo, H., Dwi, R. S. 2000.Derivatisasi Anetol Hasil

Isolasi Minyak Adas.Tesis. Pascasarjana Universitas Gajah Mada

Lenny, S. 2006.Senyawa Flavonoid, Fenilpropanoid, dan Alkaloid.Karya Ilmiah.

Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Sumatra Utara.

Manitto P, 1999. Biosíntesis Produk Alami, terjemahan oleh Koensoemardiyah.

Semarang : IKIP Semarang Press

Merly, S. 2005. Dimersiasi Senyawa Eugenol oleh Enzim Peroksidase dan Uji

Aktivitasnya sebagai Antioksidan. Skripsi. Jakarta: Departemen Kimia FMIPA UI.

Mustafa, R., Muniglia, L., Rovel, B., Girardin, M. 2005. Phenolic Colorants

Obtained by Enzymatic Synthesis Using a Fungal Laccase in Hydro-organic Biphasic Syistem.J. Food Res. Inter, No. 38 : 995-1000.

Ngadiwiyana, Soelistyowati, Sastrohamidjojo, H., 2002.Dimerisasi Metilisoeugenol

dengan Katalis HCl.JKSA.Volume 5, No. 3 : 3-14

Permatasari, N. 2007.Pembentukan Senyawa Dehidrodiferulat Melalui Oksidasi

Kopling Asam Ferulat Dengan Biokatalis Peroksidase Dan Uji aktivitas Allelopati.Skripsi. Departemen Kimia FMIPA UI

Risdianto, H., Suhardi, Niloperbowo, W., Setiadi, T. 2008. Produksi Lakase dan

Gambar

Grafik hubungan absorbansi radikal kation ABTS terhadap
Gambar 2.1 Jamur tiram putih
Tabel 4.1 Penggolongan Enzim (Stryer, et al., 2007)
Gambar 2.2 Struktur enzim lakase yang diisolasi dari M. albomyces(Skalova, et al., 2007)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bedanya, istilah teologi adalah istilah yang lazim dipakai oleh literatur-literatur Barat, terutama bahasa Inggris, untuk menyebut Ilmu Kalam dalam Islam, sedangkan

Karena memiliki nilai konduktivitas yang besar dengan jumlah kation yang banyak maka zeolit rasio 10:15 yang dihasilkan dalam penelitian merupakan zeolit yang

Penelitian tentang penurunan kadar BOD, COD dan TSS pada limbah cair laboratorium RSUD Besuki dengan menggunakan Kayu Apu (Pistia stratiotes L) telah dilakukan

Enam set gabungan statistik, yang setiap setnya mengandungi gabungan statistik momen (1, 2 dan 3) dan kebarangkalian hujan dalam selang masa yang singkat (jam) dan panjang

Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini hanya membatasi untuk mengetahui apakah perjanjian Joint Venture The British Institute (TBI) sudah sesuai dengan Undang-undang

Pihak Bank BRISyariah KCP Pasar Baru terutama untuk Account Officer Mikro harus memantau kemampuan yang dimiliki calon nasabah peminjam, guna mengetahui bahwa

Kondisi over moderated terjadi karena moderator dalam bahan bakar semakin meningkat ketika konsentrasi uranium semakin menurun seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6 dan Gambar

Setiap polibek yang telah ditumbuhi miselium dapat tumbuh jamur berkali- kali, sampai 4 -6 kali panen.Pemanenan ini dapat berlangsung selama 2 – 3 bulan dengan hasil total 75%