• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kelayakan Pengembangan Usaha Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus: Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kelayakan Pengembangan Usaha Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus: Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)"

Copied!
273
0
0

Teks penuh

(1)

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara agraris memiliki jenis komoditas pertanian yang beragam. Keberagaman tersebut merupakan aset yang mempunyai potensi untuk dikembangkan, salah satu subsektor yang memiliki potensi tersebut adalah subsektor hortikultura. Menurut Martawijaya dan Nurjayadi (2010), komoditas hortikultura cukup potensial dikembangkan secara agribisnis, karena memiliki nilai ekonomis dan nilai tambah cukup tinggi dibandingkan dengan komoditas lainnya. Salah satu yang masuk dalam jenis hortikultura adalah sayuran.

Sayuran dapat dibudidayakan dengan baik di Indonesia dan merupakan sumber pangan yang penting untuk dikonsumsi masyarakat setiap hari. Kebutuhan manusia terhadap sayuran semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan kesadaran akan pola hidup dan pola makan yang sehat dimana sayuran mengandung banyak serat yang baik untuk kesehatan (Tabel 1).

Tabel 1. Konsumsi Per Kapita Sayuran di Indonesia Periode 2003-2009 (dalam kg per tahun)

Komoditi 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Sayur-sayuran 40,95 38,80 38,72 40,02 46,39 45,46 38,95

Sumber: BPS (2010)

(2)

Tabel 2. Produksi Tanaman Sayuran di Indonesia Periode 2005-2009

No Komoditas Produksi (Ton)

2005 2006 2007 2008 2009

1 Bawang merah 732.610 794.929 802.810 853.615 965.164 2 Bawang putih 20.733 21.052 17.312 12.339 15.419 3 Bawang daun 501.437 571.264 479.924 547.743 549.365 4 Kentang 1.009.619 1.011.911 1.003.732 1.071.543 1.176.304 5 Lobak 54.226 49.344 42.076 48.376 29.759 6 Kol/Kubis 1.292.984 1.267.745 1.288.738 1.323.702 1.358.113 7 Petsai/Sawi 548.453 590.400 564.912 565.636 562.838 8 Wortel 440.001 391.370 350.170 367.111 358.014 9 Kacang merah 132.218 125.251 112.271 115.817 110.051 10 Kembang kol 127.320 135.517 124.252 109.497 96.038 11 Cabe besar 661.730 736.019 676.828 695.707 787.433 12 Cabe rawit 396.293 449.040 451.965 457.353 591.294 13 Tomat 647.020 629.744 635.474 725.973 853.061 14 Terung 333.328 358.095 390.846 427.166 451.564 15 Buncis 283.649 269.533 266.790 266.551 290.993 16 Timun 552.891 598.892 581.205 540.122 583.139 17 Labu siam 180.029 212.697 254.056 394.386 321.023 18 Bayam 123.785 149.435 155.863 163.817 173.750 19 Kacang panjang 466.387 461.239 488.499 455.524 483.793 20 Jamur 30.854 23.559 48.247 43.047 38.465

21 Melinjo 210.836 239.209 205.728 230.654 221.097 22 Kangkung 229.997 292.950 335.086 323.757 360.992 23 Petai 125.587 148.268 178.680 213.536 183.679 Total 9.101.987 9.527.463 9.455.463 10.035.094 10.561.348

Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2009)

(3)

Tabel 3. Perbandingan Volume Ekspor dan Impor Jamur di Indonesia Tahun 2003-2009

Tahun Volume Ekspor (Kg)

Presentase (%)

Volume Impor (Kg)

Presentase (%)

2003 16.113.207 - 1.524.872 -

2004 3.333.723 -79,31 194.010 -87,28

2005 22.558.977 575,69 2.913.432 1401,69

2006 18.351.038 -18,65 3.594.073 22,89

2007 20.571.404 12,10 3.370.435 -6,22

2008 19.452.421 -5,44 3.431.709 1,82

2009 15.272.001 -21,49 4.081.488 18,94

Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2010)

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa dalam jangka waktu 2003 sampai 2009 volume ekspor jamur lebih tinggi daripada impor jamur, sehingga jamur merupakan penghasil devisa bagi negara. Pada tahun 2004 ekspor dan impor jamur mengalami penurunan volume yang sangat drastis. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya kegagalan panen dan kondisi perekonomian yang tidak stabil sehingga mempengaruhi volume ekspor dan impor jamur (Direktorat Jenderal Hortikultura 2009). Setelah kondisi tersebut jamur mengalami peningkatan volume ekspor dan impor yang drastis. Volume ekspor jamur mengalami peningkatan sebesar 19.645.545 kg dan volume impor jamur meningkat sebesar 2.719.422 kg, sedangkan periode setelah tahun 2007 volume ekspor jamur terus mengalami penurunan namun volume impor terus mengalami kenaikkan. Hal tersebut diduga karena permintaan jamur di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan hal diatas menunjukkan bahwa permintaan jamur di pasar domestik dan pasar luar negeri sangat besar.

Tingginya permintaan akan jamur tidak diiringi dengan jumlah produksi yang mencukupi. Produksi jamur Indonesia hanya mampu memenuhi 50% dari permintaan pasar dalam negeri dan belum termasuk permintaan pasar luar negeri, seperti Asia, Eropa, Amerika Serikat, Australia dan Uni Emirat Arab. Indonesia dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi baru mampu memasok 0,9% dari pasar dunia. Presentase tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan China yang memasok 33,2% pasar jamur dunia (Martawijaya & Nurjayadi 2010).

(4)

dalam bentuk masakan maupun dalam bentuk olahan. Terdapat beberapa jenis jamur tiram yang dapat dikonsumsi, yaitu jamur tiram putih, jamur tiram merah jambu, jamur tiram abu-abu, jamur tiram coklat, jamur tiram hitam, dan jamur tiram kuning. Namun, jamur tiram yang sering dikonsumsi masyarakat dan dibudidayakan adalah jamur tiram putih karena memiliki tekstur daging yang lembut dan rasanya hampir menyerupai daging ayam serta memiliki kandungan gizi yang tinggi dan berbagai macam asam amino essensial, protein, lemak, mineral, dan vitamin (Martawijaya & Nurjayadi 2010). Jamur tiram memiliki nilai gizi paling tinggi dibandingkan dengan jenis jamur lainnya maupun hewani (Direktorat Jenderal Hortikultura 2006). Pada Tabel 4 terlihat bahwa jamur tiram memiliki kandungan protein dan karbohidrat yang lebih tinggi daripada daging sapi, namun kandungan lemaknya jauh lebih rendah.

Tabel 4. Perbandingan Kandungan Gizi Jamur dengan Bahan Makanan Lain (dalam %)

Bahan Makanan Protein Lemak Karbohidrat

Jamur merang 1,8 0,3 4,0

Jamur tiram putih 27 1,6 58,0

Jamur kuping 8,4 0,5 82,8

Daging sapi 21 5,5 0,5

Bayam - 2,2 1,7

Kentang 2,0 - 20,9

Kubis 1,5 0,1 4,2

Seledri - 1,3 0,2

Buncis - 2,4 0,2

Sumber : Martawijaya dan Nurjayadi (2010)

(5)

membuat jamur tiram menjadi salah satu sumber protein nabati yang dianjurkan. Kandungan lain yang dimiliki jamur tiram yaitu kandungan B kompleks.

Tabel 5. Kandungan Asam Amino Esensial (gram per 100 gram protein)

Asam Amino Jenis Jamur Telur ayam

Kancing Shiitake Tiram putih Merang

Leusin 7,5 7,9 7,5 4,5 8,8

Isoleusin 4,5 4,9 5,2 3,4 6,6

Valin 2,5 3,7 6,9 5,4 7,3

Triptopan 2,0 - 1,1 1,5 1,6

Lisin 9,1 3,9 9,9 7,1 6,4

Treanin 5,5 5,9 6,1 3,5 5,1

Fenilalanin 4,2 5,9 3,5 2,6 5,8

Metionin 0,9 1,9 3,0 1,1 3,1

Histidin 2,7 1,9 2,8 3,8 2,4

Total 38,9 36 46 32,9 47,1

Sumber : Chang dan Miles (2004), diacu dalam Martawijaya & Nurjayadi (2010)

Harga jamur dapat dikatakan lebih stabil dibandingkan dengan komoditas sayuran lainnya. Hal ini dapat disebabkan karena jamur bukan suatu komoditas pokok seperti beras, cabai, maupun bawang merah (Masyarakat Agribisnis Jamur 2007). Pada Tabel 6 dapat dilihat harga jamur merang, jamur tiram, dan jamur kuping di Indonesia dalam dua minggu pertama bulan September 2007 menurut hasil survei yang dilakukan oleh Masyarakat Agribisnis Jamur Indonesia.

Tabel 6. Harga Jamur Merang, Jamur Tiram, dan Jamur Kuping Pada Dua Minggu Pertama Bulan September 2007

No Jenis Jamur Harga di Petani (Rp/kg) Harga di Pasar(Rp/kg)

1 Jamur Merang 9.000-10.000 15.000-20.000

2 Jamur Tiram 5.300 6.000-10.000

3 Jamur Kuping 6.000 8.000

Sumber: Masyarakat Agribisnis Jamur Indonesia (2007)

(6)

Hal ini disebabkan oleh rantai tataniaga yang cukup panjang, sehingga keuntungan dari bisnis jamur merang lebih banyak dinikmati para pengumpul. Berbeda halnya dengan jamur tiram, keuntungan lebih banyak dinikmati oleh petani dibandingkan dengan pengumpul. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa usahatani jamur tiram lebih menguntungkan bagi petani dan relatif lebih mudah dalam budidayanya. Masyarakat juga lebih menyukai jamur tiram karena harganya yang lebih murah dan rasanya yang lezat (Masyarakat Agribisnis Jamur 2007). Selain itu, ditinjau dari aspek biologisnya, jamur tiram relatif lebih mudah dibudidayakan. Pengembangan jamur tiram tidak memerlukan lahan yang luas. Masa produksi jamur tiram relatif lebih cepat sehingga periode dan waktu panen lebih singkat dan dapat berlanjut selama masa produktif jamur (Martawijaya & Nurjayadi 2010).

Budidaya jamur tiram putih tersebar pada berbagai daerah di wilayah Indonesia. Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa ada empat provinsi di Pulau Jawa yang menjadi sentra produksi jamur tiram putih. Jawa Tengah merupakan provinsi dengan produktivitas tertinggi, sedangkan Provinsi Jawa Barat memiliki luas panen tertinggi kedua setelah Jawa Timur namun produktivitasnya terendah. Hal tersebut diduga disebabkan oleh kondisi para petani dalam melakukan usahatani jamur tiram putih yang pada umumnya masih bersifat tradisional dan tergolong usahatani kecil. Luas panen, produksi, dan produktivitas jamur tiram di pulau Jawa pada tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Jamur Tiram di Pulau Jawa Tahun 2009

Provinsi Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha)

Jawa Barat 291,79 7.306,75 25,04

Jawa Tengah 15,23 1.838,93 120,75

D.I. Yogyatakarta 5,86 651,32 111,23

Jawa Timur 385,09 28.557,05 74,16

Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2009)

(7)

jamur tiram. Tabel 8 menyajikan data tentang jumlah, produksi, dan produktivitas jamur tiram putih di Kabupaten Bogor pada tahun 2007.

Tabel 8. Jumlah, Produksi, dan Produktivitas Jamur Tiram Putih di Kabupaten Bogor Tahun 2007

No Kecamatan Jumlah (log) Produksi (kg) Produktivitas (kg/log)

1 Pamijahan 61.700 8.638 0,18

2 Leuwi Sadeng 20.000 3.000 0,15

3 Rancabungur 34.000 4.420 0,13

4 Tamansari 191.500 38.300 0,20

5 Cijeruk 17.000 2.040 0,12

6 Cisarua 780.000 173.250 0,17

7 Sukaraja 10.000 1.200 0,12

Rata-rata 0,15

Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2007)

Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa Kecamatan Cisarua memiliki jumlah baglog dan produksi jamur tiram putih tertinggi serta produktivitas jamur tiram putih yang cukup tinggi di Kabupaten Bogor dengan besar secara berurutan 780.000 log, 173.250 kg, dan 0,17 kg/log. Berdasarkan hal tersebut, penulis mengambil lokasi penelitian pada Desa Tugu Selatan yang merupakan bagian dari Kecamatan Cisarua.

1.2. Perumusan Masalah

(8)

Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor merupakan salah satu sentra penghasil jamur tiram putih. Saat ini ada empat pelaku usaha yang melakukan usaha di bidang jamur tiram putih. Unit bisnis yang diusahakan para pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan, yaitu membeli log jamur tiram putih untuk dibudidaya, menjual log jamur tiram putih, dan membuat log jamur tiram putih untuk dijual dan dibudidaya. Tiga bentuk usaha dari jamur tiram putih tersebut memberikan tingkat pendapatan yang berbeda bagi setiap pelaku usaha.

Saat ini pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan menerima permintaan log jamur tiram putih dan jamur tiram putih segar yang cukup besar, namun permintaan tersebut belum dapat dipenuhi secara keseluruhan. Permintaan log jamur tiram putih dan jamur tiram putih segar yang diterima oleh pelaku usaha di Desa Tugu Selatan masing-masing mencapai sekitar 3167 log/hari dan 7,34 ku/hari. Namun, pada saat ini pelaku usaha baru mampu memenuhi permintaan log jamur tiram putih sebesar 1067 log/hari dan permintaan jamur tiram putih segar sebesar 6,66 ku/hari. Selisih antara permintaan dan penawaran tersebut menyebabkan pelaku usaha akan melakukan pengembangan usaha dengan meningkatkan skala usahanya. Pelaku usaha jamur tiram putih akan meningkatkan produksi log jamur yang akan dijual menjadi 1733 log/hari dan produksi jamur tiram putih segar menjadi 8,88 ku/hari. Selain pengembangan dalam skala usaha, pelaku usaha juga akan melakukan pengembangan dalam hal teknologi berupa mengganti drum pengukusan dengan oven dalam kegiatan sterilisasi baglog

jamur. Oven digunakan karena memiliki kapasitas yang lebih besar dibandingkan dengan drum sehingga mendukung pengembangan skala usaha yang akan dilakukan serta dapat mensterilkan baglog dengan lebih baik.

(9)

perubahan. Perubahan-perubahan tersebut dapat mempengaruhi keuntungan yang akan diperoleh, sehingga diperlukan suatu analisis kelayakan usaha untuk mengetahui apakah suatu usaha yang akan atau sedang dijalankan mendatangkan keuntungan atau kerugian dan sebagai informasi bagi pelaku usaha dalam melakukan investasi. Oleh karena itu, penting untuk mempelajari bagaimana kelayakan pengusahaan dalam usaha jamur tiram putih tersebut pada tiga skenario yang merupakan tiga kegiatan pengembangan usaha yang akan dilakukan pelaku usaha, yaitu skenario I (hanya menjual log jamur tiram putih), skenario II (membeli log untuk budidaya jamur tiram putih), dan skenario III (membuat log jamur tiram putih untuk dijual dan dibudidaya). Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini:

1) Bagaimana kelayakan usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan dari aspek non finansial?

2) Bagaimana kelayakan usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan dari aspek finansial pada ketiga skenario?

3) Bagaimana tingkat kepekaan (sensitivitas) kelayakan usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan jika terjadi penurunan harga jual log jamur tiram putih, penurunan harga jual jamur tiram putih segar, dan peningkatan biaya variabel?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Menganalisis kelayakan usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan dilihat dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial ekonomi budaya, dan aspek lingkungan.

2) Menganalisis kelayakan usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan dari aspek finansial pada ketiga skenario.

(10)

1.4. Manfaat Penelitian

(11)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gambaran Umum Jamur

Jamur merupakan tumbuhan yang banyak dijumpai di alam. Jamur sudah dikenal oleh masyarakat sejak dulu dan tumbuh liar di hutan-hutan pada musim hujan dikarenakan kelembaban yang cukup tinggi menyebabkan jamur dapat tumbuh dengan baik (Direktorat Jenderal Hortikultura 2006). Saat ini masyarakat sudah mengenal jamur sebagai salah satu sumber bahan makanan nabati yang mengandung gizi tinggi maupun untuk pengobatan yang memiliki efek kesehatan. Selain mengandung protein, lemak tidak jenuh, serat, dan asam amino esensial, dalam jamur juga terkandung sejumlah penting vitamin, mineral, hormon, enzim serta senyawa aktif (Jaelani 2008). Namun, ada beberapa jenis jamur yang beracun apabila dikonsumsi, sehingga mengakibatkan keracunan pada manusia bahkan sampai pada kematian.

Sebagian jenis jamur telah dapat dibudidayakan secara komersial. Dengan berkembangnya teknologi dan pengetahuan mengenai budidaya, jamur dapat dibudidayakan dengan membuat rumah produksi (kumbung) yang suhunya dapat diatur sesuai dengan syarat bertumbuhnya jamur tersebut dengan baik. Jamur mulai menjadi salah satu sayuran primadona dan dalam beberapa tahun terakhir jamur memiliki peminat yang semakin banyak untuk dikonsumsi baik dari dalam negeri maupun mancanegara (Direktorat Jenderal Hortikultura 2006). Selain itu, jamur memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari harga jual jamur yang umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan sayuran lainnya.

(12)

gergaji, kompos, dan lainnya diantaranya jamur kancing (Agaricus bisporus) dan ling zhi (Ganoderma lucidum).

2.2. Karakteristik Jamur Tiram Putih

Jamur tiram (Pleurotus sp.) merupakan jenis jamur kayu yang mudah dibudidayakan dan mulai banyak digemari oleh masyarakat. Jamur tiram dapat tumbuh pada berbagai macam jenis substrat dan memiliki kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi terhadap lingkungan. Di alam bebas, jamur tiram bisa dijumpai hampir sepanjang tahun di hutan pegunungan daerah yang sejuk. Tubuh buah terlihat saling bertumpuk di permukaan batang pohon yang sudah melapuk atau pokok batang pohon yang sudah ditebang karena jamur tiram adalah salah satu jenis jamur kayu. Bentuk tudung jamur tiram sedikit membulat, lonjong, dan menyerupai cangkang kerang atau tiram (Suharjo 2008). Menurut Cahyana (1997), jamur tiram digolongkan ke dalam:

 Kingdom : Mycetea

 Divisio : Amastigomycotae  Phylum : Basidiomycotae  Kelas : Hymenomycetes  Ordo : Agaricales  Family : Pleurotaceae  Genus : Pleurotus

 Spesies : Pleurotus ostreatus

Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2006), jamur tiram merupakan jenis jamur yang paling banyak dibudidayakan karena memiliki produktivitas yang relatif tinggi. Dari seribu gram substrat kering, 50% sampai 70% jamur segar dapat dihasilkan bahkan saat ini sudah dapat ditingkatkan hingga 120% sampai 150%. Jamur tiram memiliki rasa yang lezat dan kandungan gizi yang cukup tinggi. Menurut Martawijaya dan Nurjayadi (2010), terdapat beberapa jenis jamur tiram yang dapat dikonsumsi yaitu diantaranya:

1) Jamur tiram putih (Pluerotus ostreatus)

(13)

5) Jamur tiram hitam (Pluerotus sapidus)

6) Jamur tiram kuning (Pluerotus citrinopileatus)

Hasil penelitian Departemen Sain, Kementerian Industri Thailand, jamur tiram mengandung protein 5,94%, karbohidrat 50,59%, serat 1,56%, lemak 0,17%, dan abu 1,14%. Setiap 100 gram jamur tiram segar mengandung 45,65 kalori, 8,9 miligram kalsium, 1,9 miligram besi, 17,0 miligram fosfor, 0,15 miligram vitamin B1, 0,75 miligram vitamin B2, dan 12,40 miligram vitamin C. Jamur tiram juga mengandung folic acid yang cukup tinggi dimana kandungan tersebut diduga mampu menyembuhkan anemia (Suharjo 2008).

Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2006), ada beberapa syarat agar jamur tiram dapat tumbuh dengan baik yaitu jamur tiram dapat tumbuh jika berada pada suhu berkisar 22°C-28°C untuk masa inkubasi atau pembentukan miselium dan 16°C-22°C untuk masa pembentukan tubuh buah. Selama masa pertumbuhan miselium kelembaban udara dipertahankan antara 60%-70%, sedangkan pada pertumbuhan badan buah kelembaban yang dipertahankan berkisar antara 80%-90%. Suhu dan kelembaban dapat diatur dengan melakukan penyemprotan air ke dalam kumbung. Selain itu, pertumbuhan jamur sangat peka terhadap cahaya secara langsung. Intensitas cahaya yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sekitar 200 lux (10%), sedangkan pada pertumbuhan miselium tidak diperlukan cahaya. Miselium jamur akan tumbuh lebih cepat dalam keadaan gelap atau tanpa sinar daripada di tempat yang terang dengan cahaya matahari berlimpah, tetapi pada masa pertumbuhan badan buah memerlukan adanya rangsangan sinar. Pada tempat yang sama sekali tidak ada cahaya badan buah tidak dapat tumbuh, oleh karena itu pada masa terbentuknya badan buah pada permukaan media harus mulai mendapat sinar. Untuk kandungan air dalam substrat, diperlukan berkisar antara 60%-65%. Jika kondisi kering atau kekurangan air maka pertumbuhan jamur akan terganggu atau terhenti. Namun, jika kadar air terlalu tinggi maka miselium akan membusuk dan mati.

2.3. Budidaya Jamur Tiram Putih

(14)

kapur yang berfungsi sebagai penetral keasaman dengan mengontrol pH tetap stabil pada saat proses pengomposan atau pemeraman, gips yang berfungsi sebagai bahan penambah mineral dan menguatkan kepadatan media tanam, serta dedak yang mengandung karbohidrat, karbon, nitrogen, dan vitamin B yang dapat mempercepat pertumbuhan miselium jamur tiram.

Ada beberapa komposisi campuran media antara serbuk gergaji dengan bahan baku lainnya. Salah satu komposisi campuran media tanam jamur tiram putih adalah serbuk gergaji 86 persen, dedak 10 persen, kapur 3 persen, dan gips 1 persen (Direktorat Jenderal Hortikultura 2010).

Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2010), ada beberapa hal dalam budidaya jamur tiram putih yang perlu diperhatikan meliputi pembuatan kumbung dan pemeliharaan log jamur tiram putih. Berikut adalah kegiatan yang perlu dilakukan dalam budidaya jamur tiram putih:

1) Pembuatan Kumbung

Kumbung adalah bangunan tempat tumbuhnya jamur tiram putih yang terbuat dari bilik bambu atau tembok permanen. Di dalamnya tersusun rak-rak tempat media tumbuh atau baglog jamur tiram putih. Baglog adalah kantong plastik transparan yang berisi campuran media tanam jamur. Ukuran kumbung bervariasi tergantung dari luas lahan yang dimiliki. Tujuan untuk pembuatan kumbung adalah untuk menyimpan baglog sesuai dengan persyaratan tumbuh yang dikehendaki jamur tersebut. Rak dalam kumbung disusun sedemikian rupa agar mudah dalam melakukan pemeliharaan dan menjaga sirkulasi udara.

2) Pemeliharaan

(15)

Pengendalian hama dan penyakit tidak dianjurkan menggunakan pestisida tetapi menggunakan perangkap serangga serta menjaga kondisi dalam kumbung tetap bersih.

2.4. Panen dan Pasca Panen Jamur Tiram Putih

Kegiatan panen jamur tiram putih dapat dilakukan sebanyak empat hingga enam kali tergantung pada kandungan nutrisi dalam media tanam dan kegiatan pemeliharaan yang dilakukan. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2010), kegiatan panen dan pasca panen budidaya jamur tiram putih meliputi:

1) Panen

Panen merupakan kegiatan memetik badan buah jamur tiram putih yang telah cukup umur, yaitu tiga puluh hari sejak inokulasi atau seminggu setelah

baglog dibuka atau dua sampai tiga hari setelah munculnya primordia (pin head). Jamur tiram putih yang siap panen memiliki warna tudung putih terang, tidak keriting, dan tidak pecah serta diusahakan tudung belum mekar penuh.

2) Pasca Panen

Pasca panen merupakan kegiatan sortasi, penimbangan, dan pengemasan jamur tiram putih hasil penen, sehingga siap untuk dijual kepada konsumen. 2.5. Kajian Penelitian Terdahulu

Masruri (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Kelayakan Usaha Jamur Tiram Putih (Studi Kasus: Yayasan Paguyuban Ikhlas, Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)" meneliti mengenai kelayakan usaha budidaya jamur tiram putih dari aspek non finansial dan aspek finansial dengan menggunakan dua skenario, yaitu skenario I Yayasan Paguyuban Ikhlas membeli log jamur dalam usahanya dan skenario II Yayasan Paguyuban Ikhlas memproduksi sendiri log jamur tiram putih. Selain itu, dalam penelitian ini dilakukan juga analisis switching value usaha budidaya jamur tiram putih jika terjadi penurunan harga jamur tiram putih dan peningkatan biaya variabel.

(16)

tanpa melakukan kegiatan budidaya. Penelitian ini juga berbeda dalam hal sumber modal yang diperoleh, yaitu melalui modal sendiri dan pinjaman, sehingga

discount rate yang digunakan berbeda. Hasil penelitian menunjukan bahwa usaha jamur tiram putih Yayasan Paguyuban Ikhlas baik skenario I maupun skenario II layak untuk dilaksanakan secara non finansial maupun secara finansial, tetapi usaha jamur tiram putih Yayasan Paguyuban Ikhlas akan lebih layak jika menggunakan skenario I yaitu membeli log jamur untuk kegiatan usaha budidaya jamur tiram putih daripada memproduksi sendiri. Pada analisis switching value

diketahui bahwa maksimum penurunan harga jamur tiram putih yang menghasilkan NPV=0 pada skenario I sebesar 12,25% dan pada skenario II sebesar 9,29%. Dapat diketahui juga bahwa maksimum peningkatan biaya variabel yang menghasilkan NPV=0 pada skenario I sebesar 20,08% dan pada skenario II sebesar 11,42%.

Nasution (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Jamur Tiram Putih (Kasus Perusahaan X di Desa Cibitung Kulon, Kecamatan Pamijahan, Bogor, Jawa Barat)" meneliti mengenai kelayakan usaha budidaya jamur tiram putih dari aspek non finansial yang terdiri dari aspek pasar, aspek teknis, dan aspek manajemen serta aspek finansial dengan menggunakan tiga skenario, yaitu skenario I usaha mengunakan bahan bakar dari kayu bakar, skenario II usaha menggunakan bahan bakar dari gas alam, dan skenario III usaha akan melakukan peningkatan produksi dengan menggunakan modal yang berasal dari pinjaman. Selain itu, dalam penelitian ini dilakukan juga analisis sensitivitas usaha budidaya jamur tiram putih jika terjadi penurunan harga jamur tiram putih dan peningkatan harga input.

(17)

pada skenario III discount rate didasarkan pada suku bunga pinjam sebesar 15%. Hasil analisis finansial skenario I maupun skenario II tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam kriteria kelayakan finansialnya. Dengan demikian usaha jamur tiram putih tersebut jika menggunakan bahan bakar kayu bakar ataupun gas alam tidak akan memberikan perbedaan yang besar terhadap hasil finansialnya. Sedangkan skenario III memiliki kriteria kelayakan yang tidak lebih baik daripada skenario I dan skenario II.

Putri (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Kelayakan Usahatani Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) dengan Sistem Kemitraan (Studi Kasus: D’ Lup Farm, Desa Sudajaya Girang, Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat)" meneliti mengenai kelayakan usahatani jamur tiram putih dengan sistem kemitraan dari aspek non finansial dan aspek finansial serta kelayakan usahatani jamur tiram putih dengan sistem kemitraan dari aspek finansial jika terjadi risiko produksi. Selain itu, dalam penelitian ini dilakukan juga analisis switching value usahatani jamur tiram putih jika terjadi penurunan harga jual jamur tiram putih dan peningkatan harga bahan baku.

Penelitian ini memiliki perbedaan dalam menghitung risiko produksi yang terjadi, dimana pada penelitian ini menggunakan analisis risiko. Selain itu,

discount rate yang digunakan berbeda. Pada penelitian ini discount rate

didasarkan pada keuntungan atau pendapatan bersih yang diinginkan investor. Hasil penelitian menunjukan bahwa usaha jamur tiram putih D’ Lup Farm dengan sistem kemitraan tanpa perhitungan risiko produksi layak untuk dilaksanakan secara non finansial dan secara finansial. Namun, untuk kelayakan usaha D’ Lup Farm dengan adanya risiko produksi sebesar 33,3% secara finansial tidak layak. Besar risiko tersebut diperoleh dari nilai coef. variation dalam perhitungan risiko produksi. Pada analisis switching value diketahui bahwa maksimum penurunan harga jual jamur tiram putih yang menghasilkan NPV=0 sebesar 3,59% dan maksimum peningkatan harga bahan baku yang menghasilkan NPV=0 sebesar 17,75%.

(18)

penelitian menunjukan bahwa sistem pemasaran jamur tiram segar di Bogor dilakukan melalui enam lembaga saluran pemasaran, yaitu produsen, pengumpul, pedagang besar, pedagang menengah, pengecer, dan supplier. Saluran pemasaran jamur tiram segar di Bogor terdiri dari delapan buah saluran pemasaran, yaitu (I) Produsen dan konsumen, (II) Produsen, pengumpul, dan konsumen, (III) Produsen, pedagang besar, dan konsumen, (IV) Produsen, pengumpul, pedagang besar, pedagang menengah, dan konsumen, (V) Produsen, pengumpul, pedagang besar, pedagang menengah, pengecer, dan konsumen, (VI) Produsen, pengecer, dan konsumen. Dua saluran lain yang tidak dapat diteliti secara lengkap adalah (VII) Produsen, supplier, supermarket, dan konsumen serta (VIII) Produsen, pengumpul, pedagang besar, supplier, supermarket, dan konsumen.

Saluran antara produsen langsung kepada konsumen akhir memiliki tingkat efisiensi terbaik dengan Farmer’s share sebesar 100 persen dan nilai margin pemasaran saluran sebesar 63,73 persen dari harga beli konsumen. Saluran pemasaran dengan tingkat efisiensi terendah adalah saluran pemasaran yang mencakup produsen, pengumpul, pedagang besar, pedagang menengah, pengecer, dan konsumen, yakni dengan nilai farmer’s share terkecil sebesar 52,38 persen dan margin pemasaran yang cukup besar, yaitu 65,87 persen dari harga beli konsumen. Perbedaan dalam penelitian ini menganalisis saluran pemasaran jamur tiram segar secara mendalam.

Nasution (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Usahatani Jamur Tiram Putih (Kasus di Komunitas Petani Jamur Ikhlas, Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)” meneliti mengenai usahatani jamur tiram putih, biaya, dan pendapatan usahatani jamur tiram putih serta efisiensi usahatani jamur tiram putih.

(19)

manajemen, sedangkan komponen biaya yang diperhitungkan yaitu penyusutan bangunan dan peralatan serta upah petani. Pendapatan usahatani terdiri dari pendapatan tunai dan pendapatan total. Pendapatan tunai pada petani sebesar Rp 44.928.000,00 dan pendapatan biaya total Rp 43.398.000,00, sedangkan pendapatan tunai pada KPJI sebesar Rp 117.404.544,00 dan pendapatan biaya total Rp 116.514.988.7,00. Usahatani jamur tiram putih yang dilakukan Komunitas Petani Jamur Ikhlas sudah efisien, dengan memiliki nilai R/C > 1. Persamaan dalam penelitian ini dalam proses budidaya jamur tiram putih yang dilakukan.

Ginting (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Risiko Produksi Jamur Tiram Putih pada Usaha Cempaka Baru di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor” meneliti mengenai pengaruh risiko produksi dalam kegiatan budidaya jamur tiram putih terhadap pendapatan yang diperoleh dan alternatif strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi risiko produksi yang terjadi.

Hasil penelitian menunjukan bahwa adanya risiko produksi mengakibatkan hasil panen yang diperoleh tidak seperti yang diharapkan, dalam arti mengalami penurunan. Dari hasil penilaian risiko yang menggunakan ukuran coefficient variation, diketahui bahwa budidaya jamur tiram putih pada Cempaka Baru menghadapi risiko produksi sebesar 0,32. Adapun sumber yang menjadi penyebab terjadinya risiko produksi tersebut yaitu; pertama, perubahan cuaca dan iklim yang semakin sulit diprediksi karena cuaca sudah tidak sesuai dengan siklus normalnya. Kedua, serangan hama dan penyakit yang sulit dikendalikan karena karakteristik jamur tiram putih rentan terhadap hama dan penyakit. Ketiga, ketersediaan tenaga kerja terampil pada Cempaka Baru masih kurang memadai, dimana tenaga kerja tersebut sangat berperan dalam setiap kegiatan usaha. Keempat, teknologi pengukusan yang digunakan memiliki tingkat kegagalan sebesar lima persen.

(20)

penyiraman, dimana pada saat kondisi normal dilakukan penyiraman sebanyak dua kali dalam sehari maka dengan kondisi musim kemarau dilakukan penyiraman minimal empat kali dalam sehari. Kedua, membersihkan area yang dijadikan kumbung untuk mencegah datangnya rayap, tikus, dan mikroba serta memperbaiki dan merawat fasilitas fisik yang dilakukan dengan mengganti peralatan rusak atau tidak dapat dipakai lagi yang dapat mengganggu kegiatan produksi. Ketiga, melakukan perencanaan pembibitan yang dilakukan dengan memastikan semua bahan baku memiliki kualitas yang baik dengan cara melakukan penyortiran. Keempat, mengembangkan sumberdaya manusia dengan mengikuti pelatihan maupun penyuluhan mengenai jamur tiram putih dan yang kelima, menggunakan peralatan yang steril dalam melakukan penyuntikan bibit murni ke dalam media tanam.

(21)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis merupakan suatu penalaran peneliti yang didasarkan pada pengetahuan, teori, dalil, dan proposisi untuk menjawab suatu tujuan penelitian. Pengetahuan dapat diperoleh dari ilmu yang telah dipelajari yang berasal dari sumber bacaan baik dari buku teks, jurnal, dan logika peneliti yang telah terbangun dari pengalaman penelitian sebelumnya. Berikut ini beberapa teori yang mendasari kerangka pemikiran yang peneliti lakukan.

3.1.1. Investasi

Investasi di dalam perusahaan adalah penggunaan sumber-sumber yang diharapkan akan memberikan imbalan (pengembalian) yang menguntungkan di masa yang akan datang. Investasi pada prinsipnya adalah penggunaan sumber keuangan atau usaha dalam waktu tertentu dari setiap orang yang menginginkan keuntungan darinya. Dari sudut pandang jangka waktu penanamannya, investasi dibagi dalam dua tipe yaitu investasi jangka pendek biasanya kurang dari satu tahun yang bertujuan untuk mendayagunakan atau memanfaatkan dana yang sementara menganggur serta bersifat marketable (mudah untuk diperjualbelikan) dan investasi jangka panjang yang ukuran jangka waktunya lebih dari satu tahun serta tidak bersifat marketable karena investasi ini menyangkut kelangsungan hidup usaha di masa yang akan datang (Suratman 2002).

(22)

Investasi yang menjanjikan keuntungan lebih awal akan lebih disukai daripada yang menjanjikan keuntungan kemudian. Di dalam investasi banyak mengandung risiko dan ketidakpastian. Investasi menurut karakteristiknya dapat dibagi menjadi beberapa golongan antara lain (1) investasi yang tidak dapat diukur labanya; (2) investasi yang tidak menghasilkan laba; (3) investasi yang dapat diukur labanya. Untuk investasi yang dapat diukur labanya perlu dilakukan studi kelayakan yang melihat berbagai aspek. Namun, tidak berarti bahwa jenis investasi yang lain tidak memerlukan studi kelayakan. Studi kelayakan tetap diperlukan, namun dengan intensitas dan penekanan untuk masing-masing aspek berbeda (Suratman 2002).

Menurut Husnan dan Suwarsono (1994), ada beberapa faktor yang mempengaruhi intensitas studi kelayakan diantaranya adalah besar dana yang ditanamkan, tingkat ketidakpastian proyek, dan kompleksitas elemen-elemen yang mempengaruhi proyek. Semakin besar dana yang tertanam dalam proyek investasi, semakin tidak pasti estimasi yang dibuat, dan semakin kompleks faktor-faktor yang mempengaruhinya maka semakin intens atau mendalam penelitian yang dilakukan. Dengan demikian apapun bentuk investasi yang akan dilakukan diperlukan studi kelayakan meskipun intensitasnya berbeda. Hal ini dikarenakan masa mendatang mengandung penuh ketidakpastian.

3.1.2. Studi Kelayakan Bisnis

Bisnis adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan untuk memperoleh keuntungan sesuai dengan tujuan dan target yang telah ditetapkan dalam berbagai bidang, baik dalam jumlah maupun waktunya (Kasmir & Jakfar 2009). Secara umum bisnis merupakan suatu kegiatan yang membutuhkan biaya untuk digunakan dalam menghasilkan barang dan/atau jasa dengan harapan akan memperoleh hasil atau keuntungan di kemudian hari. Menurut Kasmir dan Jakfar (2009), agar tujuan suatu bisnis dapat dicapai hendaknya sebelum melakukan investasi didahului dengan suatu studi untuk menilai apakah investasi yang ditanamkan akan memberikan suatu manfaat atau tidak.

(23)

mencapai keuntungan (Umar 2003). Menurut Ibrahim (2003), studi kelayakan bisnis adalah kegiatan untuk menilai besarnya manfaat yang dapat diperoleh dalam melaksanakan suatu kegiatan usaha. Berdasarkan hal tersebut, studi kelayakan merupakan bahan pertimbangan untuk melakukan pengambilan keputusan mengenai apakah suatu rencana bisnis diterima atau ditolak serta apakah akan menghentikan atau mempertahankan bisnis yang sudah atau sedang dilaksanakan (Nurmalina et al. 2009).

Studi kelayakan bisnis bertujuan untuk mengetahui tingkat benefit yang dicapai dari suatu bisnis yang akan atau telah dijalankan, memilih alternatif bisnis yang menguntungkan, dan menentukan prioritas investasi berdasarkan pada alternatif bisnis yang menguntungkan tersebut. Selain itu, studi kelayakan bisnis juga dapat digunakan untuk menghindari pemborosan sumberdaya (Nurmalina et al. 2009). Menurut Kasmir dan Jakfar (2009), ada lima tujuan studi kelayakan bisnis dilakukan yaitu untuk menghindari risiko kerugian, memudahkan perencanaan, memudahkan pelaksanaan pekerjaan, memudahkan pengawasan, dan memudahkan pengendalian.

3.1.3. Teori Manfaat dan Biaya

Dalam menganalisa suatu usaha, tujuan analisa harus disertai dengan definisi mengenai biaya dan manfaat. Biaya merupakan pengeluaran atau pengorbanan yang dapat menimbulkan pengurangan terhadap manfaat yang kita terima, sedangkan manfaat adalah sesuatu yang menimbulkan kontribusi terhadap tujuan suatu proyek (Nurmalina et al. 2009). Biaya yang umumnya dimasukkan dalam analisis bisnis adalah biaya-biaya yang langsung berpengaruh terhadap suatu investasi, antara lain biaya investasi dan biaya operasional.

Menurut Nurmalina et a.l (2009), komponen yang termasuk dalam biaya, yaitu:

1) Biaya Investasi

(24)

peralatan kantor. Biaya investasi juga dapat dikeluarkan pada beberapa tahun setelah bisnis berjalan yang disebut dengan biaya reinvestasi.

2) Biaya Operasional

Biaya operasional menggambarkan pengeluaran untuk menghasilkan produksi yang digunakan bagi setiap proses produksi dalam satu periode kegiatan produksi. Biaya operasional terdiri dari dua komponen utama, yaitu biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel adalah biaya yang besar kecilnya selaras dengan perkembangan produksi atau penjualan setiap tahun. Contoh biaya variabel adalah biaya bahan baku, biaya sarana produksi, biaya bahan pembantu, dan upah tenaga kerja langsung, sedangkan biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak terpengaruh oleh perkembangan jumlah produksi atau penjualan dalam satu tahun. Biaya yang termasuk dalam biaya tetap, yaitu gaji dan jaminan sosial, premi asuransi, dan biaya overhead

seperti biaya telepon, listrik, dan air. 3) Debt Service

Debt Service merupakan pembayaran yang dilakukan berupa suku bunga dan modal yang dipinjam. Biaya ini dikeluarkan untuk pembayaran modal pinjaman yang diterima oleh suatu usaha.

4) Pajak

Pajak berhubungan dengan pengurangan manfaat bersih yang diterima bisnis. Menurut Nurmalina et al. (2009), manfaat terdiri dari tiga macam, yaitu

(25)

3.1.4. Aspek-Aspek Studi Kelayakan Bisnis

Dalam studi kelayakan bisnis memiliki berbagai aspek yang harus diteliti, diukur, dan dinilai. Menurut Nurmalina et al. (2009), dalam studi kelayakan bisnis terdapat dua kelompok aspek yang perlu diperhatikan yaitu aspek non finansial dan aspek finansial. Aspek non finansial terdiri dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta aspek lingkungan. Masing-masing aspek tidak berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan. Hal tersebut menunjukkan bahwa jika salah satu aspek tidak dipenuhi maka perlu dilakukan perbaikan atau tambahan yang diperlukan (Kasmir & Jakfar 2009). 3.1.4.1. Aspek Pasar

Aspek pasar adalah inti dari penyusunan studi kelayakan. Walaupun suatu bisnis secara teknis telah menunjukkan hasil yang layak untuk dilaksanakan, namun tidak ada atinya jika aspek pasar tidak layak seperti tidak adanya konsumen yang mau membeli produk yang dihasilkan (Ibrahim 2003). Jika pasar yang dituju tidak jelas, prospek bisnis ke depan juga menjadi tidak jelas, maka kegagalan bisnis menjadi besar. Analisis aspek pasar pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui berapa besar luas pasar, pertumbuhan permintaan, dan market share dari produk yang akan dihasilkan (Umar 2003). Menurut Nurmalina et al.

(2009), aspek pasar dan pemasaran mencoba mempelajari tentang: 1) Permintaan

Permintaan yang diamati baik secara keseluruhan maupun diperinci menurut daerah, jenis konsumen, perusahaan besar pemakai serta memperkirakan proyeksi permintaan tersebut.

2) Penawaran

(26)

3) Harga

Harga ditentukan berdasarkan perbandingan dengan barang-barang impor dan produksi dalam negeri lainnya. Apakah ada kecenderungan perubahan harga dan bagaimana polanya.

4) Perkiraan Penjualan yang Dapat Dicapai Perusahaan

Market share yang bisa dikuasai perusahaan dapat dihitung dengan cara:

Jumlah penjualan perusahaan (unit)

Market share = x 100%

Jumlah penjualan industri (unit) 3.1.4.2. Aspek Teknis

Studi aspek teknis mengungkapkan kebutuhan apa yang diperlukan dan bagaimana secara teknis proses produksi akan dilaksanakan (Umar 2003). Menurut Nurmalina et al. (2009), aspek teknis merupakan suatu aspek yang berkenaan dengan proses pembangunan bisnis secara teknis dan pengoperasiannya setelah bisnis tersebut selesai dibangun. Aspek-aspek teknis dapat dianalisis dari beberapa faktor, yaitu

1) Penentuan Lokasi Bisnis

Hal yang perlu diperhatikan untuk pemilihan lokasi bisnis antara lain ketersedian bahan baku, letak pasar yang dituju, ketersediaan tenaga kerja, dan iklim serta keadaan tanah (agroekosistem) dari lokasi bisnis

2) Proses Produksi

Berdasarkan proses produksi dikenal adanya tiga jenis proses, yaitu proses produksi yang terputus-putus, kontinu, dan kombinasi. Sistem yang kontinu akan lebih mampu menekan risiko kerugian akibat fluktuasi harga dan efektivitas tenaga kerja yang lebih baik dibandingkan dengan sistem terputus. 3) Layout

Layout merupakan keseluruhan proses penentuan bentuk dan penempatan fasilitas-fasilitas yang dimiliki suatu perusahaan. Pengertian layout mencakup

(27)

4) Pemilihan Jenis Teknologi dan Equipment

Kriteria yang dapat digunakan dalam pemilihan jenis teknologi adalah seberapa jauh derajat mekanisasi yang diinginkan dan manfaat ekonomi yang diharapkan, disamping kriteria yang lain yakni:

a) Ketepatan jenis teknologi yang dipilih dengan bahan mentah yang digunakan.

b) Keberhasilan penggunaan jenis teknologi tersebut di tempat lain yang memiliki ciri-ciri yang mendekati dengan lokasi bisnis.

c) Kemampuan pengetahuan penduduk (tenaga kerja) setempat dan kemungkinan pengembangannya, juga kemungkinan penggunaan tenaga kerja asing.

d) Pertimbangan kemungkinan adanya teknologi lanjutan sebagai salinan teknologi yang akan dipilih sebagai akibat keusangan.

Mesin dan peralatan meliputi yang bergerak dan tidak bergerak, yang secara umum digolongkan dalam mesin pabrik, peralatan mekanik, peralatan elektronik, peralatan angkutan, dan peralatan lainnya. Pemilihan mesin wajib mengikuti ketentuan jenis teknologi yang telah ditetapkan dan perlu mempertimbangkan berbagai macam faktor non teknologis seperti:

1) Keadaan infrastruktur dan fasilitas pengangkutan mesin dari tempat pembongkaran pertama sampai ke lokasi bisnis.

2) Keadaan fasilitas pemeliharaan dan perbaikan mesin maupun peralatan yang ada di sekitar lokasi bisnis.

3) Kemungkinan memperoleh tenaga ahli yang akan mengelola mesin dan peralatan tersebut.

3.1.4.3. Aspek Manajemen dan Hukum

(28)

masing-masing aspek. Manajemen dalam operasi mempelajari bentuk organisasi yang dipilih, struktur organisasi, deskripsi setiap jabatan, jumlah tenaga kerja yang akan digunakan, dan menentukan anggota direksi serta tenaga ahli.

Aspek hukum berisi mengenai masalah kelengkapan dan keabsahan dokumen perusahaan, mulai dari bentuk badan usaha sampai izin-izin yang dimiliki (Kasmir & Jakfar 2009). Aspek hukum mempelajari jaminan-jaminan yang bisa disediakan bila akan menggunakan sumber dana yang berupa pinjaman, berbagai akta, sertifikat, dan izin. Selain itu, aspek hukum diperlukan dalam hal mempermudah dan memperlancar kegiatan bisnis pada saat menjalin jaringan kerjasama dengan pihak lain (Nurmalina et al. 2009).

3.1.4.4. Aspek Sosial, Ekonomi, dan Budaya

Menurut Nurmalina et al. (2009), yang akan dinilai dalam aspek ini adalah seberapa besar bisnis mempunyai dampak sosial, ekonomi, dan budaya terhadap masyarakat keseluruhan. Pada aspek sosial yang dipelajari adalah penambahan kesempatan kerja atau pengangguran, pemerataan kesempatan kerja, dan bagaimana bisnis tersebut terhadap lingkungan sekitar lokasi bisnis seperti semakin ramainya daerah tersebut, lalu lintas yang semakin lancar, adanya penerangan listrik, telepon, dan sarana lain. Pada aspek ekonomi yang dipelajari yaitu apakah suatu bisnis dapat memberikan peluang peningkatan pendapatan masyarakat, pendapatan asli daerah, pendapatan dari pajak, dan dapat menambah aktivitas ekonomi. Secara budaya, perubahan dalam teknologi atau peralatan mekanis dalam bisnis dapat mengubah jenis pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat.

3.1.4.5. Aspek Lingkungan

(29)

3.1.4.6. Aspek Finansial

Suatu bisnis dapat dikatakan sehat jika memberikan keuntungan yang layak dan mampu memenuhi kewajiban finansialnya. (Umar 2003). Dalam aspek finansial dilakukan penelitian untuk menilai biaya-biaya apa saja yang akan dikeluarkan dan seberapa besar biaya-biaya yang akan dikeluarkan. Aspek ini juga meneliti seberapa besar pendapatan yang akan diterima jika bisnis akan dijalankan (Kasmir & Jakfar 2009). Aspek finansial mencakup jumlah dana yang diperlukan untuk membangun dan mengoperasikan bisnis, sumber dana tersebut diperoleh, dan jumlah penghasilan yang akan diperoleh selama bisnis berjalan. Selain itu, analisis finansial juga berperan dalam mengetahui perkiraan pendanaan dan aliran kas dari suatu bisnis, sehingga dapat diketahui apakah suatu bisnis layak atau tidak untuk dijalankan. Analisis secara finansial menggunakan perhitungan kriteria investasi yang terdiri dari empat bagian yaitu:

1) Net Present Value (NPV)

Net Present Value adalah selisih dari total present value manfaat dengan total

present value biaya atau jumlah present value dari manfaat bersih tambahan selama umur bisnis. Suatu bisnis dikatakan layak jika jumlah NPV lebih besar dari nol (NPV>0) yang menunjukkan bahwa jumlah seluruh manfaat yang diterima lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Apabila NPV lebih kecil dari nol (NPV<0) maka bisnis tersebut tidak layak untuk dijalankan.

2) Internal Rate of Return (IRR)

IRR adalah tingkat discount rate yang menghasilkan NPV sama dengan 0 dan dapat menunjukkan seberapa besar pengembalian bisnis terhadap investasi yang ditanamkan. Sebuah bisnis dikatakan layak jika IRR lebih besar dari

(30)

Gambar 1. Hubungan Antara NPV dan IRR

3) Net Benefit-Cost Ratio

Net benefit-cost ratio (Net B/C) adalah rasio antara manfaat bersih yang bernilai positif dengan manfaat bersih yang bernilai negatif. Suatu bisnis dapat dikatan layak jika Net B/C lebih besar dari satu dan tidak layak jika Net

B/C kurang dari satu. 4) Payback Period

Analisis payback period dalam studi kelayakan digunakan untuk mengetahui berapa lama usaha dapat mengembalikan investasi yang ditanamkan. Bisnis yang payback period-nya singkat atau cepat pengembaliannya kemungkinan besar akan dipilih. Usaha ini dikatakan layak jika nilai PP kurang dari umur bisnis (PP < umur bisnis).

3.1.5. Analisis Switching Value

Analisis sensitivitas dapat dilakukan dengan pendekatan switching value. Menurut Gittinger (1986), analisis switching value adalah suatu analisa untuk dapat melihat pengaruh-pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah-ubah. Pendekatan switching value (nilai pengganti), merupakan analisis yang mencari perubahan maksimum yang dapat ditolerir agar usaha masih bisa dilaksanakan dan masih memberikan keuntungan normal. Perubahan-perubahan yang terjadi, misalnya perubahan pada tingkat produksi, harga jual output, maupun kenaikkan harga input. Analisis ini dilakukan dengan teknik coba-coba

IRR

(31)

terhadap perubahan yang terjadi, sehingga dapat diketahui tingkat kenaikkan dan penurunan maksimum yang boleh terjadi dalam usaha jamur tiram putih agar usaha masih memperoleh keuntungan normal.

Pengujian analisis switching value dilakukan sampai mencapai tingkat maksimum, dimana usaha dapat dilaksanakan dengan menentukan berapa besarnya proporsi manfaat yang akan turun akibat manfaat bersih sekarang menjadi nol (NPV=0). Nilai NPV sama dengan nol akan membuat IRR menjadi sama dengan tingkat dscount rate yang ditentukan (IRR=DR) dan Net B/C rasio menjadi sama dengan satu (Net B/C=1).

Gambar 2. Hubungan Antara NPV dan IRR Saat Dilakukan Analisis Switching Value

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Budidaya jamur tiram memiliki peluang pasar yang besar baik dari pasar domestik maupun pasar luar negeri. Hal tersebut dapat dilihat dari permintaan akan jamur tiram yang cenderung semakin meningkat. Permintaan yang semakin meningkat tersebut tidak diimbangi dengan produksi atau penawaran yang mencukupi. Selain itu, jamur tiram memiliki harga jual yang cukup tinggi di pasar, yaitu Rp 6.000/kg sampai Rp 10.000/kg. Harga yang tinggi dan masih besarnya peluang pasar jamur tiram tersebut dapat menjadi dorongan bagi pelaku usaha untuk mengembangkan usaha budidaya jamur tiram putih.

Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor merupakan salah satu sentra penghasil jamur tiram putih. Terdapat tiga pelaku usaha yang

IRR = DR

DR NPV

0

(32)

melakukan usaha di bidang jamur tiram putih dengan kegiatan bisnis yang berbeda. Unit bisnis yang diusahakan para pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan, yaitu membeli log jamur tiram putih untuk dibudidaya, menjual log jamur tiram putih, dan membuat log jamur tiram putih untuk dijual dan dibudidayakan secara pribadi. Tiga bentuk usaha dari jamur tiram putih tersebut memberikan tingkat pendapatan yang berbeda bagi setiap pelaku usaha.

Saat ini pelaku usaha jamur tiram putih Desa Tugu Selatan akan melakukan pengembangan usaha jamur tiram putih. Pengembangan usaha tersebut dilakukan dengan menggunakan modal sendiri dan mengeluarkan dana yang cukup besar. Mengingat bahwa setiap usaha memiliki risiko, maka perlu dilakukan analisis kelayakan usaha dari pengembangan usaha jamur tiram putih tersebut.

Pengembangan usaha jamur tiram putih ini perlu dikaji kelayakan usahanya dari aspek non finansial dan aspek finansial untuk melihat apakah usaha ini layak atau tidak layak dalam pengembangannya. Pada aspek non finansial dilihat dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta aspek lingkungan. Pada aspek finansial akan ditinjau kelayakannya dengan menggunakan kriteria investasi diantaranya NPV, IRR, Net

B/C, dan Payback Period (PP). Setelah menganalisis aspek non finansial dan aspek finansial dilanjutkan dengan menganalisis switching value dari usaha jamur tiram putih tersebut. Analisis switching value dilakukan untuk mengetahui perubahan maksimum yang dapat ditolerir agar usaha masih bisa dilaksanakan dan masih memberikan keuntungan normal.

(33)
[image:33.595.80.567.58.704.2]

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian

Tidak Layak Layak

Saran dan Rekomendasi Pelaksanaan Pengembangan usaha

Analisis Switching Value

Analisis Non Finansial  Aspek Pasar

 Aspek Teknis

 Aspek Manajemen dan Hukum  Aspek Sosial, Ekonomi, dan

Budaya

 Aspek Lingkungan NPV Analisis Finansial

 IRR

Net B/C ratio

Payback Period

Skenario I Skenario II Skenario III Analisis Kelayakan Usaha

Jumlah konsumsi sayuran di Indonesia memiliki tren yang meningkat

Permintaan jamur cukup besar, namun produksi jamur masih terbatas

Harga jamur yang tinggi

Pelaku usaha Jamur Tiram Putih di Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat akan

(34)

IV METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Tugu Selatan merupakan salah satu sentra produksi jamur tiram putih di Kabupaten Bogor. Selain itu, pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan akan melakukan pengembangan usaha dan belum pernah melakukan studi kelayakan usaha jamur tiram putihnya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2011 sampai dengan bulan Juni 2011. 4.2.Data dan Instrumentasi

Data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan pengamatan secara langsung hanya pada tiga pelaku usaha jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan dikarenakan ketiga pelaku usaha tersebut telah menggambarkan ketiga skenario yang dilakukan dan memiliki informasi yang lengkap. Selain pada ketiga pelaku usaha tersebut, pengamatan juga dilakukan pada karyawan usaha jamur tiram putih, pedagang pengumpul, dan masyarakat sekitar. Data sekunder didapatkan dari laporan yang telah dipublikasikan maupun laporan yang tidak dipublikasikan yang bersumber dari Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Hortikultura Jakarta, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, Kecamatan Cisarua, Desa Tugu Selatan, penelitian terdahulu dan literatur yang terkait dengan penelitian serta media internet.

4.3. Metode Pengumpulan Data

(35)

4.4. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data

Data dan informasi yang telah dikumpulkan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif yang diolah dengan menggunakan bantuan komputer, yakni program

Microsoft Excel 2010. Analisis kualitatif dilakukan dengan menganalisis aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta aspek lingkungan. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui apakah pengembangan usaha jamur tiram putih tersebut layak atau tidak secara non finansial, sedangkan analisis kuantitatif dilakukan untuk menilai kelayakan pengembangan usaha jamur tiram putih secara finansial pada tiga skenario, yaitu skenario I pelaku usaha hanya menjual log jamur tiram putih, skenario II pelaku usaha membeli log untuk budidaya jamur tiram putih, dan skenario III pelaku usaha membuat log jamur tiram putih untuk dijual dan dibudidaya. Penilaian kelayakan dilakukan dengan melakukan perhitungan kriteria investasi. Selain itu, dilakukan juga analisis switching value (nilai pengganti) untuk mencari perubahan maksimum yang dapat ditolerir agar usaha masih dapat dilaksanakan dan masih memberikan keuntungan normal. Secara lebih jelas, jenis-jenis analisis yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut:

4.4.1. Analisis Aspek Pasar

Analisis aspek pasar perlu dikaji secara deskriptif meliputi potensi pasar, pangsa pasar serta bauran pemasaran dari log jamur tiram putih dan jamur tiram putih segar. Potensi pasar dapat diprediksi dengan menganalisis jumlah permintaan dan penawaran. Selain itu, perlu diketahui jumlah market share dari pelaku usaha pembuatan log jamur tiram putih dan budidaya jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan serta bauran pemasaran yang bertujuan untuk memperoleh laba yang optimal dengan mengkombinasikan variable-variabel seperti produk, harga, promosi, dan distribusi. Aspek pasar dinyatakan layak jika terdapat potensi pasar dan peluang pasar yang dapat diraih oleh pelaku usaha dalam melakukan pengembangan usaha atas produk log jamur tiram putih dan jamur tiram putih segar.

4.4.2. Analisis Aspek Teknis

(36)

pengaruh yang besar terhadap kelancaran jalannya usaha khususnya dalam proses produksi. Pengkajian analisis teknis dilakukan pada analisis penentuan lokasi usaha jamur tiram putih, pemilihan jenis teknologi dan peralatan, proses produksi yang dilakukan dalam usaha jamur tiram putih, baik proses pembuatan log jamur maupun proses budidaya jamur tiram putih pada pelaku usaha pembuatan log jamur tiram putih dan budidaya jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan serta tata letak usaha. Analisis aspek teknis dilakukan secara kualitatif untuk mengetahui apakah usaha secara teknis dapat dilaksanakan dengan baik dan layak. Aspek teknis dinyatakan layak jika lokasi usaha, teknologi, proses produksi, dan tata letak usaha dapat menghasilkan produk secara optimal serta mendukung kegiatan pengembangan usaha dalam memperoleh laba.

4.4.3. Analisis Aspek Manajemen dan Hukum

Aspek manajemen meliputi bagaimana merencanakan pengelolaan usaha. Aspek manajemen dikaji secara deskriptif untuk mengetahui bentuk usaha, pengadaan tenaga kerja, struktur organisasi, dan jumlah tenaga kerja yang akan digunakan. Aspek hukum juga dikaji secara deskriptif. Analisis aspek hukum dilakukan untuk mengetahui kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha, mulai dari bentuk badan usaha sampai izin-izin yang dimiliki seperti izin mendirikan bangunan, izin usaha, dan sebagainya. Aspek manajemen dan hukum dinyatakan layak jika kegiatan usaha yang dilakukan telah terkoordinasi dengan baik dalam hal pembagian pekerjaan dan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan serta usaha telah memiliki legalitas dalam menjalankan operasionalnya di daerah usaha berlangsung.

4.4.4. Analisis Aspek Sosial, Ekonomi, dan Budaya

(37)

4.4.5. Analisis Aspek Lingkungan

Analisis aspek lingkungan dikaji secara deskriptif untuk mengetahui dampak adanya usaha terhadap lingkungan di sekitarnya. Aspek lingkungan umumnya berhubungan dengan adanya pencemaran terhadap lingkungan sekitar lokasi usaha atau tidak yang berasal dari limbah usaha berupa log jamur yang telah digunakan untuk budidaya. Aspek lingkungan dinyatakan layak jika kegiatan usaha tidak menimbulkan limbah yang dapat merusak lingkungan dan mengganggu masyarakat sekitar.

4.4.6. Analisis Aspek Finansial

Analisis aspek finansial dikaji secara kuantitatif. Analisis finansial usaha jamur tiram putih pada pelaku usaha pembuatan log jamur tiram putih dan budidaya jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan dilakukan dengan menggunakan tiga skenario. Skenario I pelaku usaha hanya menjual log jamur tiram putih, skenario II pelaku usaha membeli log untuk budidaya jamur tiram putih, dan skenario III pelaku usaha membuat log jamur tiram putih untuk dijual dan dibudidaya. Dari setiap skenario akan dikaji analisis biaya dan manfaat, laba rugi serta kriteria investasinya. Analisis biaya dan manfaat dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai biaya yang dikeluarkan serta manfaat yang akan diterima selama usaha dijalankan. Hasil analisis tersebut akan diolah dan dapat menghasilkan analisis laba rugi.

Pada analisis laba rugi tersebut akan menghasilkan komponen pajak yang digunakan untuk penyusunan cashflow. Pajak merupakan komponen pengurang dalam cashflow. Dasar perhitungan kriteria investasi diperoleh dari hasil cashflow.

Kriteria investasi yang digunakan, yaitu NPV, IRR, Net B/C, dan Payback Period

(PP). Hasil kriteria investasi NPV lebih diutamakan pada penelitian ini karena nilai NPV telah mempertimbangkan nilai waktu uang dan menggunakan dasar aliran kas secara keseluruhan dalam umur usaha untuk perhitungannya serta hasil yang diperoleh berupa nilai absolut. Kriteria investasi akan menunjukkan layak atau tidak layak usaha untuk dijalankan dari aspek finansial.

4.4.6.1. Net Present Value

(38)

value manfaat dengan total present value biaya selama umur usaha. Nilai yang dihasilkan oleh perhitungan NPV berupa satuan mata uang (Rp). Rumus yang digunakan dalam perhitungan NPV adalah sebagai berikut:

Keterangan:

Bt = Benefit atau penerimaan yang diperoleh pada tahun ke-t Ct = Cost atau biaya yang dikeluarkan pada tahun ke-t i = Tingkat suku bunga (%)

t = umur proyek suatu usaha (t = 1,2,3,...,n)

Kriteria kelayakan investasi berdasarkan NPV, yaitu:

 NPV > 0, artinya suatu usaha sudah dinyatakan menguntungkan dan layak untuk dilaksanankan.

 NPV < 0, artinya usaha tidak menghasilkan manfaat sebesar biaya yang digunakan yang artinya bahwa usaha merugikan dan tidak layak untuk dilaksanakan.

 NPV = 0, artinya usaha mampu mengembalikan sebesar biaya yang dikeluarkan yang artinya usaha tidak untung maupun rugi.

Namun, pada penelitian ini perhitungan NPV tidak dilakukan secara manual. Perhitungan NPV dilakukan dengan menggunakan formula yang telah tersedia pada software Microsoft Excel 2010.

4.4.6.2. Internal Rate of Return

(39)

Keterangan:

NPV1 = NPV yang bernilai positif

NPV2 = NPV yang bernilai negatif

i1 = Discount rate (tingkat suku bunga) yang menghasilkan NPV positif

i2 = Discount rate (tingkat suku bunga) yang menghasilkan NPV negatif

Kriteria kelayakan investasi berdasarkan IRR, yaitu:  IRR > i, artinya usaha layak untuk dilakukan

 IRR < i, artinya usaha tidak layak untuk dilakukan

Namun, pada penelitian ini perhitungan IRR tidak dilakukan secara manual. Perhitungan IRR dilakukan dengan menggunakan formula yang telah tersedia pada software Microsoft Excel 2010.

4.4.6.3. Net Benefit Cost Ratio

Net Benefit Cost Ratio (Net B/C ratio) merupakan perbandingan present value dari net benefit yang bernilai positif dengan present value dari net benefit yang bernilai negatif. Net B/C ratio menunjukkan tingkat tambahan manfaat pada setiap tambahan biaya sebesar satu rupiah. Usaha layak untuk dilaksanakan jika nilai Net B/C ratio lebih dari satu. Secara matematis Net Benefit Cost Ratio dapat dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan:

Bt = Manfaat (benefit) yang diperoleh pada tahun ke-t Ct = Biaya (cost) yang dikeluarkan pada tahun ke-t i = Tingkat suku bunga (%)

t = umur proyek suatu usaha (t= 1,2,3,...,n)

Kriteria kelayakan investasi berdasarkan Net B/C ratio, yaitu:

Net B/C ratio > 1, artinya usaha menguntungkan sehingga usaha layak untuk dilaksanakan.

Net B/C ratio < 1, artinya usaha merugikan sehingga usaha tidak layak untuk dilaksanakan.

(40)

Namun, pada penelitian ini perhitungan Net B/C ratio tidak dilakukan secara manual. Perhitungan Net B/C ratio dilakukan dengan menggunakan formula yang telah tersedia pada software Microsoft Excel 2010.

4.4.6.4. Payback Period

Payback Period (PP) merupakan jangka waktu yang dibutuhkan untuk membayar kembali semua biaya-biaya yang telah dikeluarkan di dalam investasi suatu usaha. Semakin cepat waktu pengembalian, semakin baik usaha tersebut untuk dilaksanakan. Usaha layak untuk dilaksanakan jika payback period lebih kecil dari umur proyek. Secara matematis payback period dapat dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan:

PP = jumlah waktu (tahun) yang diperlukan untuk mengembalikan modal investasi yang ditanamkan.

I = Jumlah modal investasi.

Ab = Net benefit yang diperoleh pada setiap tahunnya. Kriteria kelayakan investasi berdasarkan PP, yaitu: PP < n, artinya usaha layak untuk dilaksanakan.

4.4.7. Analisis Switching Value

Analisis switching value digunakan untuk melihat dampak suatu perubahan keadaan pada hasil analisis kelayakan. Analisis ini bertujuan untuk menilai hasil analisis kelayakan investasi apabila terjadi perubahan pada perhitungan biaya atau manfaat. Dari hasil analisis tersebut akan terlihat apakah kelayakan suatu investasi sensitif terhadap perubahan.

(41)

4.5. Asumsi Dasar yang Digunakan

1) Pelaku usaha pembuatan log jamur tiram putih dan budidaya jamur tiram putih di Desa Tugu Selatan akan melakukan pengembangan usaha jamur tiram putih dengan menggunakan modal sendiri.

2) Persiapan pengembangan usaha membutuhkan waktu enam bulan.

3) Umur usaha berdasarkan umur teknis bangunan kumbung sebagai investasi yang paling penting dalam usaha, yaitu selama 5 tahun.

4) Jenis output yang dihasilkan adalah baglog jamur tiram putih pada skenario I dan skenario III serta jamur tiram putih segar pada skenario II dan skenario III.

5) Tingkat diskonto yang digunakan berdasarkan BI rate rata-rata bulan Februari-Mei 2011 sebesar 6,75 persen.

6) Harga-harga yang berlaku merupakan harga yang terjadi pada saat dilaksanakan penelitian.

7) Tingkat kegagalan produksi dalam budidaya jamur tiram putih pada skenario II dan skenario III diasumsikan 20 persen, hal ini didasarkan pada pengalaman pelaku usaha dalam melakukan budidaya jamur tiram putih tersebut.

8) Produkivitas rata-rata jamur tiram putih pada skenario II dan skenario III diasumsikan 5 ons/log pada kondisi normal.

9) Harga jual baglog jamur ke pembudidaya jamur pada skenario I dan skenario III, yaitu Rp 1.800/log.

10) Harga jual jamur tiram segar ke pedagang pengumpul pada skenario II dan skenario III diasumsikan sama, yaitu Rp 6.500/kg yang diperoleh berdasarkan rata-rata harga tertinggi sebesar Rp 7.000/kg dengan harga terendah sebesar Rp 6.000/kg yang diterima pelaku usaha.

11) Harga seluruh input dan output yang digunakan dalam analisis ini besumber dari hasil wawancara dan survei lapang pada pemilik sekaligus pengelola usaha serta kepada para karyawan usaha.

12) Dalam satu tahun diasumsikan terdiri dari 12 bulan, 51 minggu, dan 360 hari, sedangkan satu bulan diasumsikan terdiri dari 30 hari.

(42)

14) Pajak pendapatan yang digunakan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.36 Tahun 2008, pasal 17 ayat 2a, yang merupakan perubahan keempat atas Undang-Undang No.7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan, yaitu pasal 17 ayat 2a yang berisi bahwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25 persen mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.

(43)

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1. Profil Kecamatan Cisarua

5.1.1. Letak dan Keadaan Geografis

Secara Geografis, Kecamatan Cisarua terletak di Selatan wilayah Bogor pada 06°42’LS dan 106°56’ BB. Kecamatan Cisarua merupakan salah satu organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Bogor. Secara administratif Kecamatan Cisarua terdiri dari Sembilan desa dan satu kelurahan, 32 dusun, 73 RW, dan 260 RT, dengan luas wilayah 6.373,62 Ha. Batas wilayah kerja Kecamatan Cisarua yaitu sebelah utara Kecamatan Megamendung, sebelah selatan adalah Kabupaten Cianjur, sebelah barat Kecamatan Megamendung, dan berbatasan dengan Kabupaten Cianjur untuk sebelah timur.

Berdasarkan karakteristik wilayah, Kecamatan Cisarua termasuk ke dalam kawasan Bogor – Puncak – Cianjur (Bopuncar) yang dilalui Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Huku yang merupakan wilayah khusus dalam penanganan dan dalam pengembangannya Kecamatan Cisarua merupakan wilayah pertanian, perkebunan, pariwisata, dan daerah penyangga kawasan hutan lindung.

5.1.2. Keadaan Alam

Kecamatan Cisarua memiliki ketinggian dari permukaan laut (dpl) antara 650 M-1400 M dpl, dengan curah hujan rata-rata 3178 mm/thn dan suhu udara antara 17,580C-23,91°C. Bentuk wilayah Kecamatan Cisarua terdiri dari perbukitan sampai bergunung 25 persen, berombak sampai berbukit 40 persen, dan datar sampai berombak 35 persen.

Dengan alam yang berbukit sampai bergunung dengan suhu yang sejuk, wilayah Kecamatan Cisarua cocok untuk dikembangkan tanaman jenis hortikultura seperti buah-buahan, sayuran, dan tanaman keras lain yang tumbuh dengan baik di dataran tinggi.

5.2. Profil Desa Tugu Selatan

5.2.1. Letak dan Keadaan Geografis

(44)

satu desa yang berada pada Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Berdasarkan letak geografisnya, Desa Tugu Selatan berbatasan dengan Desa Tugu Utara di sebelah utara, sebelah timur berbatasan dengan Desa Cilota, Kecamatan Pacet, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Cianjur, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Cibeureum. Luas wilayah Desa Tugu selatan adalah 1.712,435 ha/m2. Orbitasi/jarak tempuh menuju ibukota provinsi kurang lebih 90,3 km atau sekitar empat jam, sedangkan jarak dengan ibukota kabupaten kurang lebih 45 km, dan jarak dengan ibukota kecamatan kurang lebih 6 km. 5.2.2. Keadaan Alam

Desa Tugu Selatan memiliki curah hujan 33 mm dengan tingkat suhu rata-rata harian yaitu 200C-240C. Wilayah Desa Tugu selatan adalah 100% berupa daerah perbukitan, sedangkan berdasarkan topografinya, Desa Tugu Selatan memiliki kedalaman solum tanah antara 50 cm-99 cm.

Berdasarkan sumber daya air yang dimiliki, Desa Tugu Selatan mempunyai potensi air irigasi dari mata air yang debitnya mencapai 5 m3/dtk. Air minum di Desa Tugu Selatan diperoleh dari lima mata air, 6 sumur gali, dan 22 sumur pompa. Sumber mata air Desa Tugu Selatan meliputi mata air Ciburial, Cikamasa, Cisampay, Cikamsey, dan Pariuk.

5.2.3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Desa Tugu Selatan memiliki jumlah penduduk sebanyak 15.082 orang, dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 4.192 KK. Penduduk Desa Tugu Selatan terdiri dari 7.770 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 7.312 jiwa berjenis kelamin perempuan.

(45)<

Gambar

Tabel 2.  Produksi Tanaman Sayuran di Indonesia Periode 2005-2009
Tabel 4. Perbandingan Kandungan Gizi Jamur dengan Bahan Makanan Lain
Tabel 5 .  Kandungan Asam Amino Esensial (gram per 100 gram protein)
Tabel 8.  Jumlah, Produksi, dan Produktivitas Jamur Tiram Putih di Kabupaten Bogor Tahun 2007
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal ini pembinaan yang dilakukan oleh tutor terhadap anak jalanan bertujuan agar ibadah mereka sesuai dengan norma agama, maka diperlukan suatu pembinaan yang dapat

Tabel 2 : Rancangan Skala Peran Ayah Dalam Pendidikan Seksualitas 41 Tabel 3 : Sebaran item Skala Perilaku Seksual Pranikah Remaja Putri. 46 Tabel 4 : Sebaran Item Peran

Enam set gabungan statistik, yang setiap setnya mengandungi gabungan statistik momen (1, 2 dan 3) dan kebarangkalian hujan dalam selang masa yang singkat (jam) dan panjang

Myös opettajien läsnäoloa kaivattiin ja koettiin hyväksi muun muassa se, jos toinen opettaja oli luokasta pois, niin oppilaat eivät jääneet silti keskenään.

 Dengan menggunakan modul dapat membantu menghindari pengulangan dalam menuliskan algoritma yang sama lebih dari satu kali..  Efficiency

KINERJA PEGAWAI DALAM PELAYANAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN PADA KANTOR KECAMATAN SUNGAI PANDAN KABUPATEN HULUH.

Tegangan setiap bus dari hasil eksekusi dari program perhitungan analisis aliran daya pada penyulang Durian 3 ditampilkan ke dalam gambar dibawah ini :.

Nilai posisi (variabel kontrol) dari setiap search agent pada setiap iterasi dievaluasi untuk memperoleh nilai fungsi objektif ( fitness ), yakni rugi-rugi daya aktif dan