• Tidak ada hasil yang ditemukan

Critical Review Reklamasi Teluk Palu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Critical Review Reklamasi Teluk Palu"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

“CRITICAL REVIEW TERHADAP PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DI INDONESIA”

(Studi Kasus: Pengembangan Kawasan Pesisir Teluk Palu)

Oleh:

Nadhia Maharany Siara 135060601111003

JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH & KOTA FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

(2)

Abstrak

(3)

Pendahuluan

Kota Palu merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kota Palu luas wilayah Kota Palu sebesar 395,06 km2 (Bappeda & PM Kota Palu, 2010). Kota Palu yang menjadi pusat kegiatan pemerintahan dan perekonomian menjadikan Kota Palu sebagai kota yang paling maju di Sulawesi Tengah. Kota Palu juga memiliki potensi wisata yang cukup tinggi karena Kota Palu memiliki landscape yang unik. Kota Palu dibelah aliran sungai yang mengalir dari arah selatan sedangkan di sisi barat dan timur merupakan pengunungan indah yang ceruk lonjongnya ke arah utara membentuk garis pesisir teluk yang menawan. Dimensi gunung, sungai, laut dan pesisir teluk membuat kota Palu dijuluki dengan empat dimensi.

(4)

Saat ini Pemerintah Kota Palu sedang melaksanakan pengembangan kawasan pesisir Teluk Palu dengan melakukan reklamasi. Sekitar 2 hektar bagian laut Pantai Talise, Kelurahan Talise Kecamatan Mantikulore Kota Palu yang merupakan bagian dari kawasan pesisir Teluk Palu telah berubah jadi daratan. Penimbunan Pantai Talise ini merupakan kegiatan reklamasi yang lakukan Perusda Kota Palu, dan dilaksanakan PT Yauri Properti Investama (YPI).

Lokasi tersebut juga jadi tempat sekira 35 nelayan setempat untuk menambat perahu. Timbunan pada laut yang merupakan bagian dari kegiatan reklamasi Pantai Talise, juga berada tepat di depan kurang lebih 18 hektar tambak garam milik 160 petambak garam Talise. Reklamasi juga berlangsung tepat didepan lapak 60 pedagang jagung bakar serta 75 pemilik kafe masyarakat lokal.

Untuk menimbun laut seluas 38,33 hektar, Perusda membutuhkan 1,8 – 2 juta kubik material. Dalam kerangka acuan disebutkan, material akan diambil berasal dari enam titik kelurahan, masing-masing kelurahan Silae, Kalora, Sungai Palupi, Watusampu, Tondo dan Kawatuna. Melihat kerangka acuan, potensi kerusakan lingkungan dan kerugian pemkot akibat pengambilan material urug cukup besar. Permasalahannya beberapa kelurahan, seperti Silae, Tipo dan Watusampu memiliki riwayat banjir bandang yang berdampak pada pemukiman warga akibat aktifitas pengerukan material galian C ( http://palu.aji.or.id/2015/10/05/reklamasi-teluk-palu-untuk-siapa/ diakses 25 November 2015).

Sementara pengurugan laut di Pantai Talise, menurut para nelayan telah menyentuh kawasan terumbu karang, tempat bertelurnya ikan kakap merah, hilangnya kawasan publik, serta menurunkan kandungan garam air laut akibat perubahan pola arus pada titik masuknya air laut ke kawasan tambak garam.

Pertanyaan penelitian

1. Bagaimana pengembangan Kawasan Pesisir Teluk Palu?

(5)

Pembahasan

Kawasan teluk Palu terletak antara 03.13 – 00.51 derajat lintang selatan dan antar 119.34 – 120.10 derajat bujur timur. Sementara luas daratan kawasan teluk Palu 2.158,62 km2 ditambah luas dari 4 kecamatan di Kabupaten Donggala 1.763,56 km2. Kawasan darat teluk Palu terdiri dari tujuh kecamatan, 3 kecamatan di kota palu yaitu : kecamatan Palu Utara, kecamatan Palu Timur, dan kecamatan Palu Barat sedangkan untuk kabupaten Donggala, yaitu kecamatan Banawa, kecamatan Sindue, kecamatan Tanantovea, dan kecamatan Tawaili. Yang terdapat di dua puluh empat (24) kelurahan/desa (Abu, 2011).

Pengembangan Kawasan Pesisir Teluk Palu

Kawasan teluk merupakan salah satu andalan wisata di Kota Palu. Hal ini disebabkan keindahan pemandangan alamnya, Jika berada di kawasan tersebut, kita dapat dengan leluasa menikmati pemandangan gunung, sungai, teluk dan laut, tanpa halangan apapun.

(6)

bermain, jalan, atau ruang terbuka. Ruang publik kemudian didefinisikan sebagai ruang atau lahan umum, dimana masyarakat dapat melakukan kegiatan publik fungsional maupun kegiatan sampingan lainnya yang dapat mengikat suatu komunitas, baik melalui kegiatan sehari-hari atau kegiatan berkala.

Selain itu pada waktu tertentu di kawasan ini sering diadakan berbagai event lokal seperti konser, Festival Teluk Palu, reuni akbar dan lain sebagainya, bahkan event berskala nasional. Wisata Teluk Palu juga memberikan pengaruh terhadap aspek ekonomi masyarakat yang bermukim di sekitarnya. Sebelum wisata Teluk Palu ini berkembang pesat ekonomi masyarakat di sekitarnya masih tergolong rendah.

Permasalahan Pengembangan Kawasan Pesisir Teluk Palu

Berdasarkan Peraturan Daerah No. 02 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Teluk Palu, pengelolaan kawasan pesisir pantai teluk palu dilakukan dengan memperhatikan peruntukan kegiatan berdasarkan rencana tata ruang wilayah, pembangunan tidak berdasarkan tata ruang. Namun Pemerintah Kota Palu dan Kabupaten Donggala tidak melakukan apapun terhadap pelanggaran ini. Berdasarkan RTRW Kota Palu, pada pasal 49 ayat 4 dan 5 menyebutkan bahwa kawasan Pantai Teluk Palu ditetapkan sebagai kawasan pariwisata alam dan pariwisata buatan. Berdasarkan pasal 85 tentang ketentuan umum peraturan zonasi dalam Perda Kota Palu yang menyebutkan bahwa sempadan pantai teluk palu diperbolehkan aktifitas rekreasi. Namun tidak disebutkan adanya reklamasi. Disinilah letak permasalahannya bahwa tidak adanya disebutkan rencana reklamasi namun pada kenyataanya terdapat reklamasi Pantai Talise yang disebutkan bahwa telah mendapat izin pemerintah setempat.

Berdasarkan Peraturan Daerah No. 7 tahun 2005 tentang retribusi pelayanan usaha perikanan, Pelanggarannya berupa Melakukan diskriminasi terhadap alat tangkap bangang. Berdasarkan Peraturan Daerah No. 9 tahun 2005 tentang pemakaian alat tangkap dan alat Bantu penangkapan ikan dalam pengelolaan perikanan pelanggarannya berupa melakukan pembiaran dan tidak menindak lanjut pelanggaran yang menurut peraturan dilarang bahkan diberikan sanksi, Memberi izin kepada pengusaha/pemodal melakukan Illegal Fishing.

(7)

Watusampu, kelurahan Buluri, kelurahan Mamboro, Lambara dan Taipa. Terdapat 14 perusahaan tambang galian C yang masih aktif beroperasidi teluk palu. Ketiga, izin-izin pendirian bangunan seperti hotel, dermaga pegangkutan material sirtukil, rumah makan dan tempat wisata dimana dijalankan dengan melakukan reklamasi pada wilayah-wilayah pesisir pantai (Ansar,2011).

Meningkatnya konflik sosial dan ekonomi di nelayan teluk Palu yang hingga kini telah terjadi. Mengingat, semakin sempitnya wilayah kelola nelayan teluk Palu yang diambil alih oleh pemodal dan praktek illegal. Nelayan teluk Palu terancam kekuarangan pendapatan penghasilan di teluk Palu dikarenakan menurunnya daya dukung dan akibat praktek illegal fishing. Hasil studi Lembaga Yayasan Pendidikan Rakyat tahun 2005, prilaku illegal fishing di teluk Palu nelayan di daerah Mamboro, Tondo, Lere, Talise, Tipo, Buluri, dan kelurahan Pantaloan mengalami penurunan pendapatan sebanyak 50-70 % setiap harinya. Kondisi yang terparah menimpa bagi kaum perempuan dan anak-anak sebagai dampak dari penurunan pendapatan nelayan di teluk Palu. Banyak ibu-ibu nelayan yang kehilangan pekerjaannya sebagai penjual ikan di pasar lokal karena tidak adanya pendapatan ikan dari suaminya atau orang lain yang mempercayakan kepadanya. Keempat, rusaknya ekologi teluk Palu, hilangnya garis pantai, abrasi, sedimentasi, pencemaran, hancur dan rusaknya terumbu karang, menurunnya potensi ikan, dll menjadi ancaman bagi kelestarian dan kesinambungan sistem ekologi di teluk Palu.

Reklamasi sebagai bagian dari pembangunan di wilayah pesisir Pantai Teluk Palu, harus mengacu pada rencana strategis pengelolaan pesisir pantai milik pemerintah provinsi serta menjadikan kajian lingkungan hidup strategis sebagai dasar, seperti diatur dalam Pasal 11 Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 Tentang Reklamasi di Pesisir Pantai dan Pulau-Pulau Kecil.

Pembangunan dan upaya pengelolaan pesisir pantai, erat kaitannya dengan penyelenggaraan atau pemanfaatan ruang yang sedianya bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara seperti amanah Pasal 3 UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang.

Sejauh reklamasi pantai teluk palu, hanya mengacu pada RTRW Kota Palu. Padahal RTRW Kota Palu tidak mendelinasi apa yang diamanahkan oleh Undang-Undang nomor 32 Tahun 2009, Peraturan Presiden Nomor 122 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007.

(8)

untuk Keadilan dan Perikanan (KIARA) yang mempertanyakan legalitas reklamasi Talise. Dalam suratnya, KKP menegaskan belum pernah menerima dokumen-dokumen yang merupakan persyaratan pengajuan rekomendasi Menteri Kelautan dan Perikanan terhadap reklamasi Pantai Teluk Palu sehingga rekomendasi terhadap reklamasi tersebut belum pernah diterbitkan.

Berdasarkan Pasal 8 ayat 1 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 17/PERMEN-KP/2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Izin lokasi reklamasi dengan luasan di atas 25 hektar harus mendapatkan rekomendasi.

Reklamasi Pantai Talise ini diduga tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palu. Berdasarkan Perda Nomor 16 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Palu disebutkan bahwa kawasan sempadan pantai yang belum terbangun di sepanjang Teluk Palu ditetapkan kurang lebih 100 meter dari titik pasang tertingi air laut.

Kawasan itu ditetapkan sebagai kawasan pariwisata yang bertujuan menyelenggarakan jasa pariwisata atau mengusahakan objek dan daya tarik wisata, usaha sarana pariwisata, dan usaha lain yang terkait di bidang tersebut.

Diperkuat lagi dengan Keputusan Wali Kota Palu Nomor:650/2288/DPRP/2012 tangal 10 Desember 2012 bahwa pembangunan sarana wisata di Kelurahan Talise bahwa hanya untuk pembangunan sarana wisata serta sarana pendukungnya dan tidak diperkenankan digunakan untuk kepentingan lain.

Dampak Reklamasi Pantai

Secara teknis, reklamasi pantai dapat merubah konfigurasi pantai dan menutup sebagian wilayah laut sehingga sulit dibuktikan bahwa kegiatan tersebut tidak

membawa dampak negatif terhadap lingkungan laut. Termasuk mempengaruhi

keanekaragaman hayati secara negatif, mengganggu karakter fisik, aktivitas dan interaksi dari organisme-organisme dalam suatu lingkungan fisik wilayah laut.Selain

permasalahan lingkungan hidup akibat reklamasi pantai, reklamasi pantai juga merambat pada permasalahan sosial,ekonomi, dan sumber daya alam.

Menurut Relua (2013) Dampak negatif yang ditimbulkan akibat dari reklamasi pantai sebagai berikut:

1. Pencemaran lingkungan pantai oleh limbah yang dihasilkan. 2. Perubahan garis pantai pola arus laut saat ini.

(9)

5. Gangguan terhadap tata air tanah maupun air permukaan termasuk di dalamnya masalaherosi, penurunan kualitas dan kuantitas air, serta potensi banjir di kawasan pantai.

6. Terjadinya pencemaran pantai pada saat pembangunan. 7. Permasalahan pemindahan penduduk dan pembebasan tanah.

8. Potensi terjadinya kerusakan pantai dan instalasi bawah air (kabel, pipa gas, dan lainya).

9. Potensi gangguan terhadap lingkungan (tergusurnya perumahan nelayan, berkurangnya hutan mangrove, terancamnya biota pantai langkah).

10. Perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).

Dampak fisik yang terjadi karena adanyaperubahan lingkungan.Berdirinya bangunan-bangunan konstruksi yang direklamasi, membawa perubahan pada kawasan pantai.Perubahan fisik lingkungan alam yang dapat kita lihat dari pembangunan reklamasi pantai yaitu seperti perubahan hidro-oseanografi, erosi pantai, dapat mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) dikawasan reklamasi tersebut.Sistem hidrologi gelombang air laut yang jatuh ke pantai akan berubah dari alaminya.Berubahnya air akan mengakibatkan daerah diluar reklamasi akan mendapat limpahan air yang banyak sehingga akan terjadi abrasi.Perubahan lain yaitu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sendimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai dan merusak kawasan tata air, serta potensi gangguan terhadap lingkungan. Dampak lainnya yaitu meningkatkan potensi banjir dan penggenangan di wilayah pesisir. Potensi banjir akibat kegiatan reklamasi itu akan semakin meningkat bila dikaitkan dengan adanya kenaikan muka air laut yang disebabkan oleh pemanasan global.Disebabkan karena perubahan lahan dan bentang alam, kerena kegiatanreklamasipantai itu sendiri.

(10)

menentukanterjadinya kerusakan lingkungan hidup, ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup

Kesimpulan

1. Pengembangan kawasan pesisir Teluk Palu saat ini berupa perluasan kawasan yang berupa reklamasi Pantai Talise.

2. Terdapat beberapa permasalahan dalam pengembangan kawasan pesisir Teluk Palu yakni ketidaksesuaian pengembangan dengan kebijakan terkait berupa peraturan daerah dan RTRW Kota Palu. Salah satunya seperti rencana reklamasi Pantai Talise tidak termuat dalam kebijakan apapun.

3. Terdapat dampak pada reklamasi pantai, dampak tersbut berupa dampak secara teknis, secara fisik dan secara biologis.

Saran

1. Gubernur harus melakukan pembinaan dan pengawasan penataan ruang di Kota Palu guna mencegah terjadinya tumpang tindih pemanfaatan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu melalui kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang.

2. Gubernur harus menyusun Peraturan Daerah Propinsi Sulawesi Tengah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZ-WP3K) dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha dan menjamin perkembangan investasi di daerah dan menyusun Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Tata Cara Penerbitan Izin Reklamasi sesuai dengan Pasal 16 Permen KP No 17 tahun 2013. 3. Gubernur harus menugaskan Penyidik Pegawai Negeri Sipil bidang Penataan Ruang

untuk melakukan penyidikan terkait pelanggaran Tata Ruang yang terjadi dalam pelaksanaan reklamasi Pantai Teluk Palu sesuai dengan ketentuan Pasal 68 Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil yang menyebutkan bahwa Penentuan Lokasi Reklamasi dilakukan berdasarkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZ-WP3K) dan/atau Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kota, sehingga hal ini mengindikasikan adanya penyelundupan hukum dalam pelaksanaan reklamasi tersebut.

(11)
(12)

Daftar Pustaka

Abu, Asnah. 2011. Pengaruh Jalan Lingkar Pantai Teluk Palu Terhadap Peningkatan Pendapatan Masyarakat Kelurahan Lere. INFRASTRUKTUR Vol. 2 No. 1 Juni 2012 : 56 ‐ 64.

Ansar. 2011. Menuju Kebijakan Pengelolaan Teluk Palu yang Harmonis. Media Litbang Sulteng IV (2) : 142 – 148 , Desember 2011.

Kusumawijaya, Marco. 2004. Kota Rumah Kita. Borneo Publications. Tunggang Langgang Jakarta. Indonesia.

Kemetrian Kelautan dan Perikan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 17/PERMEN-KP/2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Pemerintah Kota Palu. 2012. Keputusan Wali Kota Palu Nomor:650/2288/DPRP/2012 tangal 10 Desember 2012

Pemerintah Kota Palu. 2005. Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Teluk Palu.

Pemerintah Kota Palu . 2005. Peraturan Daerah Nomor 7 tahun 2005 tentang Retribusi Pelayanan Usaha Perikanan

Pemerintah Kota Palu. 2005. Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2005 tentang Pemakaian Alat Tangkap dan Alat Bantu Penangkapan Ikan Dalam Pengelolaan Perikanan.

Rellua, Olivianti. 2013. Proses Perizinan dan Dampak Lingkungan Terhadap Kegiatan

Reklamasi Pantai. Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013

Republik Indoensia. 2007. Undang-Undang No. 32 Tahun 2007 Tentang Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup.

(13)

Kutipan sumber Reklamasi Teluk Palu Untuk Siapa?

Suara Kaum ter-Pinggir-kan

Sekira 2 hektar bagian laut Pantai Talise, Kelurahan Talise Kecamatan Mantikulore Kota Palu telah berubah jadi daratan. Penimbunan Pantai Talise ini merupakan kegiatan reklamasi yang lakukan Perusda Kota Palu, dan dilaksanakan PT Yauri Properti Investama (YPI).

Lokasi tersebut juga jadi tempat sekira 35 nelayan setempat untuk menambat perahu. Timbunan pada laut yang merupakan bagian dari kegiatan reklamasi Pantai Talise, juga berada tepat di depan kurang lebih 18 hektar tambak garam milik 160 petambak garam Talise. Reklamasi juga berlangsung tepat didepan lapak 60 pedagang jagung bakar serta 75 pemilik kaffe.

“Katanya mo dikase gaga (dibangun jadi bagus/indah), sebenarnya kita menolak ini, tapi mau bagaimana lagi, kalau kita protes pasti mereka bilang ‘siapa kamu”,” kata Burhanuddin, ketua Kelompok Nelayan “Satu Hati” Talise Jalan Komodo II Kelurahan Talise.

“Untuk bisa jadi kristal garam itu butuh angin, butuh juga area resapan, kalau didepan situ ditimbun reklamasi, ya tidak tau bagaimana nantinya,” kata Muhammad Ali, petambak garam Talise.

Secara resmi, kegiatan reklamasi dibuka langsung Wakil Walikota Palu, Andi Mulhanan Tombolotutu pada Minggu 19 Januari 2014. Berdasarkan surat Walikota Palu, H Rusdi Mastura tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi nomor : 520/3827/Disperhutla, yang dikeluarkan kepada pihak pemohon PT YPI tertanggal 23 Desember 2013, reklamasi akan menimbun laut Pantai Talise seluas 38,33 hektar, dengan jangka waktu pelaksanaan selama 5 (lima) tahun, terhitung sejak 23 Desember 2013 – 23 Desember 2018.

Perusda Kota Palu, melalui anak perusahaannya Palu Properti Sejahtera (PPS) menyebutkan, bahwa diatas kawasan reklamasi seluas 38,33 hektar tersebut nantinya akan dibangun pusat bisnis dan sarana wisata terbesar dan termegah, seperti Mall, hotel, ruko, apartemen, pusat permainan hingga kuliner.

(14)

tawa para tamu undangan yang hadir peletakan timbunan pertama reklamasi Teluk Palu di Pantai Talise.

“Kalau sekarang, siapa yang mau berkunjung ke Pantai Talise ini di siang hari? Aktivitas ekonomi baru berjalan hanya pada malam hari. Nah dengan reklamasi ini, kami akan membuat sebuah kawasan kuliner, dengan fasilitas lengkap dan representativ, sehingga pengunjung bisa menikmatinya baik pada siang maupun malam hari,” jelas kuasa direksi PPS, Taufik Kamase.

Namun, dua hektar timbunan dari total target reklamasi seluas 38,33 hektar di Pantai Talise, saat ini telah menghilangkan secara paksa tambatan perahu milik 35 nelayan setempat. Dua bagang yang tinggal beberapa meter dari bibir timbunan juga tidak lagi menghasilkan, pasalnya pondok milik Burhanuddin yang dijadikan tempat untuk memperbaiki jarring ikan juga telah berdiri ditengah area reklamasi, tanpa kejelasan ganti rugi.

“Mau kerja bagaimana, dulu kita kalau siang selalu kumpul sambil memperbaiki jarring, sekarang mau kerja debu semua, jadi ya begini saja dulu, sambil menunggu kesepakatan harga ganti rugi pondok dan bagang kami. Selain itu, didepan situ ada terumbu karang tempat bertelur ikan batu, kalau itu ditimbun tidak tahu bagaimana kami, tentu harus lebih jauh lagi kita cari tempat yang ada ikannya. Soalnya sekarang ikan disini sudah sarjana semua. Belum lagi bahan bakar yang tambah mahal begini,” pasrah Burhanuddin.

“Sebenarnya lebih baik memang tambak garam ini dipertahankan, karena ini tanah yang bagus sekali, saya ini tidak sekolah, tapi bapak bisa cari dimana ada orang produksi garam ditengah kota, Cuma di Palu,” ucap Muhammad Ali petambak ikan.

Untuk membuat dataran diperairan Pantai Talise seluas 38,33 hektar, pihak perusahaan pelaksanan membutuhkan material urug sebanyak 1.823.700. m3 timbunan padat (Sumber Kerangka Acuan), yang akan diambil dari enam (6) kelurahan, yakni Kelurahan Kalora, Silae, Watusampu, Tondo, Kawatuna, Sungai Palupi.

(15)

Jika melihat isi perjanjian antara pihak Pemkot dengan PT YPI, pengambilan material urug dari tujuh kelurahan tersebut, baik jangka pendek maupun jangka panjang tidak memberikan keuntungan berarti bagi pihak Pemkot Palu.

“Karena bekas lokasi pengambilan material akan menjadi milik pihak perusahaan, disini pihak pemkot hanya memperoleh manfaat dan keuntungan dari retribusi kubikasi, jadi ini menjadi semacam land bankingnya PT YPI,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sulteng, Ahmad Pelor.

“Seperti kejadian tahun-tahun sebelumnya, kerusakan alam akibat ekploitasi material galian C telah berdampak langsung tidak hanya memperparah kerusakan lingkungan, tetapi juga meningkatnya resiko banjir bandang dari gunung ke pemukiman warga, juga meningkatnya warga yang menderita Inveksi Saluran Pernafasan (ISPA),” imbuh Ahmad.

Salah satu poin penting catatan notulen Pokja Pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang BKPRD Prov Sulteng, yang diselenggarakan Dinas Cipta Karya Perumahan dan Tata Ruang Prov Sulteng di Hotel Lawahba, Selasa 25 Maret 2014 menyebutkan, pada dasarnya kegiatan reklamasi tidak dianjurkan; tapi dapat dilaksanakan dengan memperhatikan berbagai ketentuan, salah satu bagian kecilnya adalah soal ANDAL yang harus memperhatikan RT/RW mulai kab/kota, provinsi bahkan nasional.

Menurut kepala BLH Prov Sulteng Mucklis, pasal 36 UU nomor 32 tahun 2009 menyebutkan bahwa setiap kegiatan wajib memiliki AMDAL atau UPL/UKL , dan wajib memiliki izin lingkungan. Dan pasal 109 menyebutkan, bahwa jika suatu kegiatan tidak memiliki izin reklamasi belum memiliki izin lingkungan atau dikeluarkan instansi, maka hal tersebut masuk kategori pelanggaran pidana, dengan ancaman kurungan 1-3 tahun penjara serta denda Rp1-3 milyar.

“Izin lingkungan bisa keluar dengan dua syarat utama, yakni izin lokasi dan izin prinsip. Secara prinsip izin itu sah, apakah diditandangani bupati/walkot, gubernur/kementerian.Kedua kegiatan harus sesuai dengan RT/RW.Apabila dua hal ini tidak ada, maka wajib hukumnya komisi penilai AMDAL, mulai provinsi maupun kab/kota wajib untuk menolak,” kata Muchlis.

(16)

Beberapa pihak juga menyebutkan, bahwa penyusunan ANDAL reklamasi Teluk Palu wajib memperhatikan aturan-aturan terkait.

“Mari kita lihat RT/RW Kota Palu, pada pasal 49 ayat 4 dan 5 menyebutkan bahwa kawasan Pantai Teluk Palu ditetapkan sebagai kawasan pariwisata alam dan pariwisata buatan. Yang kami lanjutkan dengan pasal 85 tentang ketentuan umum peraturan zonasi dalam Perda Kota Palu yang menyebutkan bahwa sepadan pantai teluk palu diperbolehkan aktifitas rekreasi.Tetapi yang ingin kami sampaikan, bahwa tidak disebutkan adanya reklamasi.Jadi mungkin dapat kami sampaikan bahwa tidak ada rencana reklamasi didalam RTRW Kota Palu, disitu masalahnya,” ungkap Siti Nuraifah dari Dinas Cipta Karya Sulteng.

Nafas Sesak Kaum ter – Pinggir – kan

Dari total rencana reklamasi 38,33 hektar, hingga kini pengurugan telah mencapai sekitar dua hektar. Pengurugan telah meminggirkan tambatan perahu milik sekitar 35 nelayan di pantai Talise. Pengurugan juga tinggal beberapa meter dari dua bagang milik nelayan Talise.

Para nelayan juga telah kehilangan tempat penambatan perahu, dan kini telah berganti dengan tanah haram, reklamasi. Pondok milik ketua kelompok nelayan “Satu Hati” Talise, saat ini juga telah berdiri diatas lokasi pengurugan.

“Untuk tempat tambat perahu, katanya mau diganti rugi sebesar Rp1,5 juta per perahu, kalau untuk bagang kami minta Rp40 juta, tapi katanya perusahaan hanya bersedia Rp20-25 juta. Pondok saya juga belum jelas ganti ruginya,” kata Burhanuddin, ketua kelompok nelayan “Satu Hati” Talise.

Ketidakjelasan nasib juga dialamai 160 petambak garam Talise. Para petambak yang awalnya menolak reklamasi, akhirnya melunak setelah beberapa kali pertemuan dengan pihak perusda yang dimediasi Pemkot. Para petambak rela menjual lahan mereka, dari awalnya seharga Rp1 juta per meter, menjadi Rp3,5 juta per meter.

“Tapi tidak tahu bagaimana sudah, tahun lalu para petani dibagikan buku rekening, tapi isinya nol, dan sampai sekarang tidak tahu kelanjutannya,” kata salah seorang nelayan, Muhammad Ali.

(17)

pembentukan Kristal garam yang bergantung pada angin dan area resapan air, akan hilang terhalang reklamasi dan bangunan bertingkat.

“Jika permintaan kami tidak diberi kejelasan, maka kami sepakat untuk menghentikan penimbunan itu,” tegas Muhammad.

Jika para nelayan mengharap bagang mereka diganti dengan sesuai, maka mereka masih ada harapan untuk membangun kembali bagang ditempat lain. Tapi, bagi para petambak garam, setelah reklamasi jelas tambak mereka akan termatikan, karena unsur alami pembentukan Kristal garam ikut hilang. Untuk itulah para petambak menaikan harga jual lahan mereka, agar bisa mencari tanah baru serta untuk modal membangun usaha kembali.

Meskipun, baik pihak pemkot maupun perusda berjanji, bahwa masyarakat sekitar yang terdampak reklamasi langsung akan diserap sebagai tenaga keamanan dan buruh dikawasan reklamasi.

Nelayan Total 1800* orang 35-40 berada di kawasan reklamasi

Petambak Garam 160 petambak Terbagi dalam 16 kelompok

Pedagang jagung bakar gerobak 60 pedagang

kaffe 75 pemilik

SMK Perikanan Dan Kelautan Tepat berada didepan kawasan reklamasi

Gerak Langkah Penimbun (nan)

Untuk menimbun laut seluas 38,33 hektar, Perusda membutuhkan 1,8 – 2 juta kubik material. Dalam kerangka acuan disebutkan, material akan diambil berasal dari enam titik kelurahan, masing-masing kelurahan Silae, Kalora, Sungai Palupi, Watusampu, Tondo dan Kawatuna.

Ditambah satu lokasi yang awalnya tidak masuk dalam perencanaan, namun belakangan dimasukkan melalui kerjasama susulan antara CV Trimitra Sejati, milik Jafri Yauri yang sekaligus juga sebagai direktur dari PT Yauri Properti Investama dengan pihak Pemkot Palu, yang diteken langsung walikota dan memberikan izin kepada CV Trimitra Sejati untuk melakukan ekploitasi material di Kelurahan Tipo.

(18)

Hilyas, perwakilan warga Tipo dalam dialog publik yang diselenggarakan Ombudsman RI perwakilan Sulteng mengatakan, warga melarang aktifitas pengambilan material di wilayahnya, karena pihak perusahaan tidak pernah melakukan komunikasi dengan warga.

Melihat kerangka acuan, potensi kerusakan lingkungan dan kerugian pemkot akibat pengambilan material urug cukup besar. Pasalnya beberapa kelurahan, seperti Silae, Tipo dan Watusampu memiliki riwayat banjir bandang yang menerjang pemukiman warga akibat aktifitas pengerukan material galian C.

Sementara pengurugan laut di Pantai Talise, menurut para nelayan telah menyentuh kawasan terumbu karang, tempat bertelurnya ikan batu (kakap merah), hilangnya kawasan publik, serta menurunkan kandungan garam air laut akibat perubahan pola arus pada titik masuknya air laut ke kawasan tambak garam.

Secara kualifikasi dan kompetensi, tim penyusus dokumen ANDAL yang beral dari Universitas Hasanuddin Makassar, Universitas Padjajaran serta beberapa tenaga ahli dari Universitas Tadulako Palu telah memenuhi syarat. Meski demikian, tetap ada hal yang menarik perhatian para pakar serta pihak terkait lainnya, dimana seharusnya kegiatan reklamasi mengacu pada dua aspek sebelum penyusuan ANDAL, yakni aspek teknis dan aspek hukum.

“Berdasarkan UU nomor 32 tahun 2009 antara judul izin dan kegiatan harus sama,” kata Muchlis dari BLH Prov Sulteng.

Dari aspek hukum, Dinas Cipta Karya Perumahan dan Tata Ruang Prov Sulteng menyandingkan tujuh peraturan, mulai dari undang-undang, peraturan presiden, peraturan menteri hingga perda baik kota maupun provinsi.

Referensi

Dokumen terkait

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh tentang proses perkembangan masyarakat Sangihe di kelurahan Pintukota, dan pola hidup Masyarakat Sangihe baik

Peningkatan prestasi ini terlihat dengan keaktifan siswa selama proses belajar mengajar misalnya mereka mampu dan bisa bila disuruh untuk menjabarkan kembali hasil

- Bahwa saksi menegtahui berawalnya saksi mendengar suara korban minta tolong lalu saksi bersama istri saksi (Pr.Nuraeni) pergi kerumah korban dan setelah saksi

Majid (2012: 53) menyatakan, bahwa indikator adalah kompotensi dasar secara spesifik yang dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui ketercapaian hasil pembelajaran. Indikator

Dari Enam Variabel Dampak Fly Over Gajah Mada-Juanda terhadap Kondisi Lingkungan, berdasarkan Persepsi Masyarakat variable yang terkena Dampak Fly Over Gajah

(2009), media kromogenik α-MUG dan DFI menunjukkan performa yang lebih baik jika dibandingkan dengan EsPM karena media tersebut tidak dapat mendeteksi 3 koloni positif C.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pertama, terdapat perbedaan tingkat kreativitas guru dalam proses

Proses interpretasi ini adalah proses berpikir yang merupakan kemampuan yang khas yang dimiliki manusia (Blumer dalam Ritzer, 2011: 52). Proses interpretasi yang