Al Syahrin, M. Najeri. 2015. Kompleksitas Keamanan Kawasan dan Implikasinya Terhadap Program Pengembangan Senjata Nuklir. Tesis. Universitas Gadjah Mada.
BAB III
Program Pengembangan Nuklir Korea Utara
Pembahasan mengenai pengembangan program senjata nuklir Korea Utara pada
bab ini diawali dengan deskripsi tentang program pengembangan nuklir negara tersebut
sebelum dan sesudah Perang Dingin. Deskripsi tersebut juga dilengkapi dengan gambaran
tentang rezim non proliferasi nuklir di kawasan Asia Timur. Pembahasan selanjutnya
adalah mengenai perkiraan kekuatan nyata nuklir Korea Utara, termasuk uji coba serta
pengembangan rudal dan hulu ledak nuklir lain yang dimiliki oleh negara ini. Sebagai
penutup dari bab ini, diberikan deskripsi tentang pandangan Korea Utara terhadap
kehadiran Amerika Serikat di kawasan Asia Timur. Ini sangat penting dalam melihat
bagaimana Korea Utara memposisikan Amerika Serikat dalam hubungannya dengan
negara-negara lain di Asia Timur.
3.1 Perkembangan program senjata nuklir Korea Utara sebelum dan sesudah Perang Dingin
Pengembangan senjata nuklir merupakan permasalahan yang sangat penting
bagi stabilitas keamanan kawasan selama dua dekade terakhir. Asia Pasifik
merupakan salah satu kawasan yang paling rentan bahaya nuklir. Permasalahan
nuklir yang belum terselesaikan antara India dan Pakistan serta perkembangan
program senjata nuklir Korea Utara membuat Cina dan Amerika Serikat sebagai dua
negara besar selalu terus memantau perkembangan senjata nuklir di kawasan Asia
Pasifik. Asia Pasifik juga merupakan salah satu kawasan di mana nuklir sangat rentan
digunakan sebagai senjata ketika konflik terjadi. Hal ini menjadi pemicu
khususnya yang terjadi di Semenanjung Korea.1
Permasalahan nuklir di Semenanjung Korea telah menjadi ancaman bagi
keamanan kawasan Asia Timur. Kebijakan pengembangan senjata nuklir Korea Utara
dianggap sangat membahayakan bagi negara-negara di sekitarnya. Tetapi bagi Korea
Utara, senjata nuklir diharapkan memberikan jaminan keamanan yang selama ini
tidak ditawarkan oleh negara lain atau komunitas internasional. Singkatnya, Korea
Utara berharap bahwa senjata nuklir bisa menjadi sumber keamanan yang efektif.
Sejak tahun 1950-an, Korea Utara telah melakukan pengembangan senjata
nuklir sebagai salah satu kebijakan nasional yang diprioritaskan. Korea Utara
memulai program nuklirnya dengan melakukan kerja sama pelatihan peneliti nuklir
di Uni Soviet. Pelatihan para ilmuwan dalam pengembangan nuklir telah dilakukan
dengan Uni Soviet sejak gencatan senjata Perang Korea pada tahun 1953. Selama
tahun 1960-an dan 1970-an Uni Soviet selalu memberikan bantuan pengembangan
senjata nuklir kepada Korea Utara, termasuk dalam pembangunan reaktor nuklir
Yongbyon. Pada akhir tahun 1970, Korea Utara memulai pembangunan instalasi
nuklir kedua di Taechon, yang mulai beroperasi pada tahun 1987. Program nuklir
Korea Utara secara keseluruhan telah mengalami peningkatan yang cepat sejak masa
Perang Dingin, khususnya dalam konversi uranium dan produksi plutonium.
Pembangunan instalasi dan fasilitas nuklir ini bertujuan untuk mengembangkan
program nuklir Korea Utara ke tahap yang lebih lanjut.2
Dengan semakin meningkatnya pengembangan program nuklir Korea Utara,
perhatian dan tekanan internasional terhadap program tersebut semakin kuat. Pada
tahun 1990, gambar dari satelit mata-mata Amerika Serikat dan International Atomic Energy Agency (IAEA) menginformasikan bahwa Korea Utara telah melakukan ekstraksi plutonium dari reaktor nuklir di Yongbyon. Amerika Serikat menduga
bahwa penggunaan plutonium akan digunakan oleh Korea Utara sebagai bahan
utama pembuatan senjata nuklir. Kemudian pada tahun 1993, Central Intelligence Agency (CIA) menyimpulkan bahwa Korea Utara secara resmi telah
1 M. Hanson, ‘Nuclear Weapons in the Asia Pacific: A Critical Security Appraisal,’ dalam A. Burke &
M. McDonald (eds.), Critical Security in the Asia Pacific, Manchester University Press, Manchester, 2007, p. 183.
2 B. Habib & A. O’Neil, ‘North Korea’s Emergence as a Nuclear Weapons State and the end of the
mengembangkan senjata nuklir dan mempunyai cukup plutonium untuk dua atau tiga
senjata nuklir.3 Konfrontasi ini berlanjut dengan inspeksi internasional yang diwakili
oleh Amerika Serikat dan IAEA ke reaktor nuklir Yongbyon. Krisis kemudian
memuncak pada Juni 1994 ketika Amerika Serikat memberikan sanksi kepada Korea
Utara melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan memilih opsi serangan udara
ke fasilitas nuklir Yongbyon. Ketika eskalasi konflik antara Korea Utara dan Amerika
Serikat semakin meninggi, mantan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter
menghadiri undangan dari pemimpin Korea Utara Kim Il Sung untuk datang ke
Pyongyang. Kunjungan Carter ini dalam upaya diplomasi untuk menghentikan
program nuklir Korea Utara dan meredakan ketegangan antara kedua negara.4
Situasi berubah drastis sejak berakhirnya Perang Dingin dan sejalan dengan
perubahan konstelasi politik internasional. Ketika Korea Utara belum memiliki
senjata nuklir, usulan pembentukan kawasan bebas senjata nuklir di Semenanjung
Korea sangat didukung oleh negara tersebut. Namun, bagi Korea Selatan dan
Amerika Serikat pemberlakuan kawasan bebas nuklir di Asia Timur hanya akan
menguntungkan Korea Utara secara sepihak. Gagasan ini dinilai merupakan langkah
alternatif bagi Korea Utara untuk menyingkirkan senjata nuklir Amerika Serikat di
Korea Selatan. Apabila senjata nuklir Amerika Serikat di Korea Selatan bisa
disingkirkan, hal tersebut akan sangat merugikan bagi Korea Selatan.5
Ketika program pengembangan senjata nuklir Korea Utara mulai mencuat,
gagasan mengenai denuklirisasi di Semenanjung Korea mulai mendapat perhatian
serius dari Korea Selatan. Bahkan Presiden Kim Dae Jung menyatakan bahwa
Amerika Serikat sudah menarik hampir semua senjata nuklir di Korea Selatan. Pada
20 Januari 1992, Korea Utara dan Korea Selatan menandatangani perjanjian Joint declaration of the denuclearization of the Korean Peninsula. Perjanjian yang diinisiasi oleh IAEA ini memiliki tujuan untuk meredam potensi bahaya perang
nuklir dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perdamaian kedua negara.
Deklarasi ini juga memuat aturan tentang pelarangan uji coba, produksi,
3 C.K. Armstrong, ‘US-North Korean Relations,’ dalam J. Feffer (ed.), the Future of US-Korean
Relations, Routledge, London, 2006, p. 12.
4 Armstrong, p. 13.
5 D. Wirengjurit, Kawasan Damai dan Bebas Senjata Nuklir: Pengertian, Sejarah, dan
pengembangan, dan transfer teknologi senjata nuklir di Semenanjung Korea. Sebagai
mekanisme pengawasan terhadap perjanjian ini dibentuk North-South Joint Nuclear Control Commision yang bertanggung jawab atas implementasi deklarasi nuklir ini. Namun pada kenyataannya kemudian, deklarasi ini tidak bisa diimplementasikan
secara efektif dalam hubungan antara dua Korea.6
Korea Utara secara resmi menjadi anggota dari Perjanjian Non-proliferasi
Nuklir (NPT) pada tahun 1985. Namun, Korea Utara menolak untuk meratifikasi
perjanjian bilateral dengan IAEA sampai tahun 1992. Pada Januari 1993, Korea
Utara menolak kehadiran IAEA untuk melakukan inspeksi di reaktor Yongbyon dan
menyatakan keluar dari perjanjian NPT sebagai protes dari inspeksi nuklir yang
dilakukan oleh IAEA. Selain itu, pemerintah Korea Utara juga merasa terancam oleh
pasokan nuklir Amerika Serikat untuk Korea Selatan dan latihan militer gabungan
Amerika Serikat dan negara aliansinya di kawasan Asia Timur.7 Korea Utara
kemudian memutuskan untuk berhenti bekerja sama dengan IAEA, padahal relasi
Korea Utara dengan IAEA merupakan salah satu hubungan yang penting dalam
memfasilitasi hubungan antara Korea Utara dengan Amerika Serikat.
Hubungan antara Amerika Serikat dengan Korea Utara selalu mengalami
pasang surut terkait dengan kebijakan nuklir. Sebelumnya, kedua negara bersepakat
untuk melaksanakan Geneva Agreed Framework pada 21 Oktober 1994. Kesepakatan ini menyatakan bahwa Korea Utara akan menonaktifkan reaktor nuklir
dan sebagai konsekuensinya, Amerika Serikat dan Korea Selatan akan menjamin
kebutuhan energi dan menyediakan bahan bakar minyak untuk Korea Utara.8 Setelah
itu, Jepang dan Korea Selatan juga menyatakan secara aktif ikut berpartisipasi dalam
program ini, yang kemudian secara resmi berkembang menjadi Korea Peninsula Energy Organizations (KEDO). Pada kenyataannya, Perjanjian Jenewa maupun KEDO bukanlah hanya kesepakatan untuk memberikan bantuan keuangan dan energi
kepada Korea Utara, tetapi juga bertujuan politik untuk mencegah perkembangan
6 Wirengjurit, pp. 356-357. 7 Habib & O’Neil, p. 378.
8 G.J. Moore, ‘America’s Failed North Korea Nuclear Policy: A New Approach,’ Asian Perspective,
senjata nuklir Korea Utara dan membuka dialog politik dengan rezim Korea Utara.9
KEDO dianggap Amerika Serikat tidak memberikan hasil yang efektif dalam
upaya menghentikan program pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Pada
tanggal 17 April 1996, Amerika Serikat dan Korea Selatan mengusulkan diadakannya
Four Power Talks antara Amerika Serikat, Cina, Korea Selatan, dan Korea Utara untuk menggantikan the Korean Armistice Agreement tahun 1953 yang masih berlaku. The Korean Armistice Agreement merupakan perjanjian genjatan senjata menyusul Perang Korea yang terjadi pada 1950-1953. Karena itu, kedua Korea
hingga kini masih berada dalam situasi perang. Pertemuan empat pihak ini akhirnya
berlangsung pada Desember 1997 di Jenewa. Dalam kesempatan itu, Korea Utara
kembali menegaskan bahwa Amerika Serikat harus menarik seluruh pasukan
militernya di Semenanjung Korea. Memang tidak banyak terobosan berarti dalam
kerangka perjanjian ini dan belum terdapat agenda yang jelas untuk pertemuan
selanjutnya.10
Ketika George W. Bush terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat pada tahun
2000, kebijakan Amerika Serikat terhadap program nuklir Korea Utara mengalami
beberapa perubahan drastis. Agreed Framework yang disepakati tahun 1994 tidak lagi digunakan sebagai kerangka kerja utama terkait hubungan antara kedua negara
dalam permasalahan nuklir. Pemerintahan Bush juga melakukan tinjauan ulang
terhadap kebijakan pada masa pemerintahan Bill Clinton. Ketika Presiden Kim Dae
Jung mengunjungi Washington pada Maret 2001, Presiden Bush menyatakan
sunshine policy yang selama ini dilakukan Korea Selatan sudah tidak efektif digunakan dalam menghadapi permasalahan nuklir Korea Utara. Korea Utara dinilai
tidak mempunyai komitmen yang kuat terhadap kesepakatan dalam sunshine policy. Penilaian Amerika Serikat ini menjadi sebuah keputusan yang dilematis bagi Korea
Selatan, yang selama ini menganggap sunshine policy sebagai sebuah kebijakan non-militer yang efektif dalam menghadapi rezim Korea Utara. Di sisi yang lain,
segala kebijakan Korea Selatan terkait permasalahan nuklir Korea Utara juga harus
mendapat dukungan dari Amerika Serikat.11
Amerika Serikat menilai Korea Utara tidak memiliki komitmen dalam setiap
perjanjian yang telah disepakati. Pada Desember 2002, Korea Utara telah semakin
aktif meningkatkan pengayaan uranium dan produksi plutonium, padahal
berdasarkan Perjanjian Jenewa, Korea Utara berkomitmen untuk menghentikan
program pengembangan nuklirnya. Sebagai kompensasi atas kesepakatan tersebut,
Amerika Serikat mengirimkan 500.000 ton bahan bakar minyak (BBM) pengganti
energi nuklir ke Korea Utara. Perseteruan antarkedua negara kembali meningkat
setelah Korea Utara mengaktifkan kembali program senjata nuklirnya. Sebagai
respon atas insiden ini, Amerika Serikat kemudian menghentikan pengiriman BBM
ke Korea Utara sejak 15 Desember 2002. Korea Utara kemudian mengumumkan
mereka telah menyatakan mundur dari kesepakatan Jenewa dan akan melanjutkan
operasi pengembangan nuklir di fasilitas Yongbyon dan Taechon. Amerika Serikat
dan Korea Utara saling menuduh bahwa satu sama lain telah gagal untuk
melaksanakan komitmen masing-masing di bawah kerangka yang telah disepakati.
Pada akhir tahun 2002, Korea Utara memutuskan untuk tidak mengizinkan inspeksi
dan pemeriksaan terhadap program pengembangan nuklir dan mengusir seluruh
pengawas IAEA. Pengunduran diri Korea Utara dari kesepakatan nuklir dan rezim
proliferasi berlanjut ketika pada Januari 2003 Korea Utara menyatakan keluar dari
NPT. Korea Utara merupakan negara pertama yang menyatakan keluar dari NPT.
Keluarnya Korea Utara ini mendapat kecaman dari dunia internasional, khususnya
dari Korea Selatan, yang menilai bahwa tindakan tersebut telah merusak upaya
normalisasi hubungan kedua negara yang sempat mengalami kemajuan pesat dan
semakin menambah kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur.12
Setelah Korea Utara keluar dari NPT pada tahun 2003, Amerika Serikat
kembali mengupayakan kesepakatan dengan Korea Utara melalui perjanjian Six Party Talks. Six Party Talks merupakan pertemuan yang diadakan antara enam negara, yaitu Amerika Serikat, Cina, Jepang, Rusia, Korea Selatan, dan Korea Utara
mengenai masalah program nuklir di Semenanjung Korea. Pada pertemuan putaran
11 Moore, p. 12.
keempat perjanjian Six Party Talks yang dilaksanakan pada September 2005, terdapat beberapa perubahan positif yang terjadi pada proses denuklirisasi di Semenanjung
Korea. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa Korea Utara setuju
untuk menghentikan program nuklirnya dan kembali pada perjanjian non-proliferasi
nuklir. Sebagai kompensasi atas kesepakatan tersebut, kelima negara lain dalam Six Party Talks menjamin keamanan serta normalisasi hubungan ekonomi dan politik dengan Korea Utara. Perjanjian ini telah membawa kesepakatan dan optimisme baru
bagi hubungan Korea Utara dan Amerika Serikat. Namun, Amerika Serikat tetap
memberikan sanksi ekonomi terhadap Korea Utara. Hal ini membuat Korea Utara
meragukan komitmen negara-negara dalam Six Party Talks dan memutuskan untuk tetap melaksanakan uji coba nuklir pada 9 Oktober 2006. Pada Desember 2006,
pertemuan Six party Talks kembali digelar untuk membahas uji coba nuklir Korea Utara tersebut, namun pertemuan tersebut tidak memberikan hasil yang efektif dalam
upaya menghentikan kebijakan nuklir Korea Utara. Korea Utara tetap tidak mau
menghentikan program nuklirnya dan menyatakan bahwa sanksi ekonomi merupakan
salah satu kebijakan Amerika Serikat yang merugikan bagi Korea Utara. Korea Utara
menyatakan bahwa negosisasi terhadap program pengembangan senjata nuklir tidak
akan berjalan secara efektif selama sanksi ekonomi Amerika Serikat terhadap Korea
Utara tetap dilaksanakan.13
Uji coba senjata nuklir dan rudal balistik canggih Korea Utara pada Oktober
2006 merupakan salah satu ancaman serius bagi stabilitas keamanan kawasan Asia
Timur. Krisis telah dimulai sejak sebelum Perang Dingin; Korea Utara telah beberapa
kali melakukan pengembangan senjata nuklir. Uji coba pada Oktober 2006 hanya
merupakan salah satu dari sekian uji coba nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara.
Pada Agustus 1998, misalnya, Korea Utara melakukan uji coba rudal balistik nuklir
jarak jauh, salah satu uji coba nuklir paling mengkhawatirkan bagi kawasan Asia
Timur selama beberapa dekade. Bahaya dari pengembangan senjata nuklir Korea
Utara dianggap tidak hanya membahayakan Korea Selatan, tetapi juga
membahayakan negara-negara lain di Asia Timur.14
Provokasi Korea Utara kembali berlanjut ketika pada tahun 2009 ia melakukan
uji coba peluncuran misil dan senjata nuklir. Uji coba ini merupakan reaksi dari
Korea Utara atas upaya denuklirisasi dan sanksi ekonomi yang dilakukan Amerika
Serikat dan PBB. Pada Mei 2014, Korea Utara kembali melakukan uji coba nuklir
dan senjata misil. Uji coba senjata misil ini dipersiapkan untuk mengembangkan
meriam dengan kapasitas hulu ledak nuklir. Korea Utara terus berupaya secara
agresif menggunakan semua cara untuk mengamankan kepentingannya dari ancaman
eksternal.15 Pada April 2015, Korea Utara kembali melakukan uji coba dengan
meluncurkan rudal balistik di bawah laut. Uji coba ini dijalankan terkait dengan upaya
pengembangan senjata misil kapal selam yang berguna untuk menangkal serangan
bawah air dari Amerika Serikat. Berhasilnya uji coba peluru kendali di bawah air ini
menandakan kemajuan teknologi yang signifikan dalam sistem persenjataan Korea
Utara. Setelah uji coba rudal tersebut, perhatian internasional tentang kemampuan
persenjataan Korea Utara semakin meningkat.16 Uji coba terakhir ini juga
mempertegas kegagalan Amerika Serikat dalam negosisasi dan upaya normalisasi
hubungan dalam permasalahan senjata nuklir dengan Korea Utara.17 Amerika
Serikat dinilai telah gagal untuk mengalangi Korea Utara dalam pengembangan dan
penyebaran senjata nuklir baik dalam bentuk teknologi, penelitian, maupun
bahan-bahan dasar pembuatan senjata nuklir.18
Uji coba nuklir yang terus saja dilakukan oleh Korea Utara menandakan bahwa
negara tersebut memiliki komitmen yang kuat dalam pengembangan senjata nuklir
sebagai salah satu kebijakan nasionalnya. Korea Utara menganggap pengembangan
senjata nuklir merupakan jaminan utama dalam menjaga kepentingan dan kedaulatan
negara. Dengan mengembangkan senjata nuklir, Korea Utara berharap bisa secara
mandiri memiliki sistem persenjataan yang efektif dan tidak lagi bergantung pada
15 J. Kim, ‘North Korea Renews Threat of Nuclear Test,’ Reuters (daring), 10 May 2014,
<http://www.reuters.com/article/2014/05/10/us-northkorea-nuclear-idUSBREA4904Q20140510>, diakses pada 13 Juni 2015.
16 P. Huessy, ‘North Korea’s Serious New Nuclear Missile Threat,’ Gatestone Institute: International
Policy Council (daring), 11 June 2015,
<http://www.gatestoneinstitute.org/5914/north-korea-nuclear-missile>, diakses pada 18 Juni 2015.
17 C.L. Pritchard & J.H. Tilelli, Jr., U.S. Policy Toward the Korean Peninsula , Council on Foreign
Relations, New York, 2010, p. 6.
Cina ataupun Rusia seperti selama masa Perang Dingin. Senjata nuklir merupakan
pilihan yang sangat rasional bagi Korea Utara sebagai langkah deterrence jangka panjang untuk menjaga keamanan dan kepentingannya. Pasca Perang Dingin, Korea
Utara tetap menjalankan pengembangan senjata nuklir karena adanya ancaman
keamanan kawasan akibat pembangunan dan peningkatan kapabilitas militer
negara-negara kawasan melalui peningkatan anggaran militer maupun aliansi
keamanan dengan Amerika Serikat.
3.2 Perkiraan kekuatan nyata nuklir Korea Utara
Menyelesaikan permasalahan nuklir Korea Utara merupakan salah satu
tantangan paling sulit dalam dinamika politik dan keamanan global saat ini. Rezim
yang sangat otoriter dan tertutup menjadikan Korea Utara sangat sulit untuk diajak
berunding dalam permasalahan nuklir. Selain itu, faktor keterbelakangan ekonomi
juga membuat Korea Utara mengalami kendala dalam kerja sama dan hubungan
dengan negara lain sehingga menyulitkan komunikasi dan negosiasi dalam
permasalahan nuklir. Sampai kini, rezim Korea Utara selalu menggunakan ancaman
nuklir sebagai salah satu instrumen diplomasi yang utama.19
Penyelesaian krisis nuklir semakin rumit ketika Korea Utara menyatakan
mundur dari perjanjian non-proliferasi nuklir pada tahun 2003. Sejak saat itu,
kebijakan nuklir Korea Utara semakin sulit untuk dikontrol dan situasi semakin tidak
menentu ketika pada Oktober 2006 Dewan Keamanan PBB memberikan sanksi
terhadap Korea Utara. Bahkan, Cina yang merupakan sekutu terdekat Korea Utara
juga mengecam uji coba nuklir, dengan menyatakan bahwa uji coba tersebut akan
sangat merugikan bagi Korea Utara.20
Keberhasilan Korea Utara dalam mengembangkan misil Hwasong dengan jangkauan 300-500 kilometer dan Nodong dengan jangkauan mencapai 1.300 kilometer membuat Amerika Serikat memberikan perhatian dan menjadi lebih
waspada kepada Korea Utara. Sekitar dua puluh tahun yang lalu, Amerika Serikat
19 R. Bleiker, ‘Dealing with A Nuclear North Korea: Conventional and Alternative Security
Scenarios,’ dalam A. Burke & M. McDonald (eds.), Critical Security in the Asia Pacific, Manchester University Press, Manchester, 2007, p. 215.
menyepakati Geneva Agreed Framework dengan Korea Utara. Di samping bertujuan untuk membekukan produksi dan aktivitas pengembangan plutonium Korea Utara,
perjanjian ini juga membekukan pembangunan dua reaktor nuklir Yongbyon dan
Taechon. Secara umum, perjanjian ini bisa mengembangkan hubungan Korea Utara
dan Amerika Serikat menjadi lebih luas.21 Namun, perjanjian ini kemudian tidak
memberikan hasil yang signifikan dalam upaya menghentikan program
pengembangan nuklir Korea Utara. Pada akhir tahun 2002, terdapat tuduhan bahwa
Korea Utara tetap melakukan pengayaan uranium sehingga menyebabkan kerangka
perjanjian Jenewa mengalami kebuntuan.22 Sebagai reaksi atas kebuntuan Geneva Agreed Framework dan tindak lanjut penarikan diri dari perjanjian non proliferasi nuklir, Korea Utara memutuskan untuk memulai kembali program pengembangan
nuklir di instalasi pengembangan nuklir Yongbyon dan menghasilkan senjata nuklir
hanya dalam waktu enam bulan.23
Sebagian besar instalasi nuklir Korea Utara terletak di Yongbyon. Instalasi
nuklir ini merupakan satu reaktor atom dengan kapasitas sekitar 5 megawatt listrik (5
electrical megawatt) yang dibangun antara tahun 1980 dan 1987. Reaktor atom tersebut memiliki kemampuan untuk memproduksi sekitar 7 kilogram plutonium
setiap tahunnya, yang cukup untuk menghasilkan satu bom atom. Pada tahun 1989,
Korea Utara menutup dan menghentikan produksi di reaktor tersebut selama sekitar
70 hari. Kemudian pada Mei 1994, Korea Utara kembali menutup reaktor tersebut
dan mengolah sekitar 8000 bahan bakar batang (fuel roads) yang dapat diproduksi menjadi plutonium untuk sekitar 4-6 senjata nuklir. Badan intelijen Amerika Serikat
percaya bahwa Korea Utara telah berhasil mengolah fuel roads dari reaktor Yongbyon untuk produksi plutonium lebih lanjut yang bisa digunakan sebagai
senjata nuklir. Menurut Duta Besar Amerika Serikat Robert Galluci, Korea Utara
sudah membangun dua instalasi listrik utama, berkapasitas sekitar 50 megawatt dan
200 megawat, di instalasi nuklir Yongbyon dan Taechon sejak tahun 1984. Lebih
21 S. Snyder, ‘Pyongyang’s Pressure,’ dalam A.T. Lennon (ed.), Contemporary Nuclear Debate:
Missile Defense, Arms Control, and Arm Race in the Twenty-First Century, MIT Press, London, 2002, pp. 142-143.
22 W.L. Huntley, ‘Bucks for the Bang: North Korea’s Nuclear Program and Northeast Asian Military
Spending,’ Asian Perspective, vol. 33, no. 4, 2009, p. 150.
23 L.A. Niksch, North Korea’s Nuclear Weapons Program, Issue Brief for Congress, Foreign Affairs,
lanjut Gallucci menyatakan bahwa dengan kapasitas sebesar itu, Korea Utara sudah
mampu untuk memproduksi 200 kilogram plutonium, yang bisa menghasilkan 30
bom atom setiap tahunnya. Selain itu, reaktor nuklir Yongbyon juga melakukan
penanaman plutonium untuk digabungkan ke dalam bom atom yang kemudian bisa
menjadi bagian dari hulu ledak senjata nuklir.24
Keberhasilan pembangunan instalasi nuklir Korea Utara di atas merupakan
hasil dari kebijakan pengembangan teknologi Korea Utara secara mandiri. Pemimpin
Korea Utara Kim Jong Il mengarahkan berbagai pengembangan program nuklir
dengan dibantu militer dan Menteri Pertahanan Korea Utara. Korea Utara dilaporkan
memiliki sekitar 3.000 personel ilmuwan yang ditujukan untuk penelitian dan
program pengembangan instalasi nuklir Yongbyon. Para ilmuwan nuklir tersebut
mempelajari teknologi nuklir dari Uni Soviet, Pakistan, dan Cina. Pada tahun 1995,
program pengayaan uranium Korea Utara mulai berjalan ketika Korea Utara dan
Pakistan dilaporkan telah saling bersepakat dalam pertukaran teknologi misil Nodong
dari Korea Utara dengan teknologi pengayaan uranium dari Pakistan. Pada Maret
2000, berdasarkan rekomendasi dari Departemen Energi Amerika Serikat,
pemerintahan Clinton melaporkan kepada Kongres bahwa Korea Utara telah mampu
untuk mengembangkan uranium.25
Pada tahun 1998, Korea Utara juga berhasil mengembangkan misil Nodong
dengan jangkauan sekitar 900 km yang mampu mencapai Korea Selatan dan Jepang.
Kemudian pada 31 Agustus 1998, Korea Utara melepaskan tiga tahap uji coba
tembakan sebuah roket prototipe dari rudal Taepodong 1. Perkiraan intelijen Amerika Serikat menyimpulkan bahwa rudal tersebut memiliki jangkauan untuk mencapai
Alaska, Guam, dan Kepulauan Mariana Utara. Sejak awal tahun 2000, dikutip dari
laporan media di Amerika Serikat bahwa Korea Utara juga memiliki rudal balistik
yang mempunyai kapabilitas jangkauan sampai Alaska, Hawai, dan bagian barat
Amerika Serikat.26
Pada awal tahun 2003, Korea Utara kemudian mulai melanjutkan pengolahan
plutonium di reaktor Yongbyon yang menghasilkan sekitar 20-28 kilogram
plutonium yang dapat digunakan sebagai senjata nuklir. Korea Utara juga menata
ulang reaktor Yongbyon. Sampai pada April 2005, pasokan bahan bakar yang
tersedia bisa menghasilkan hingga 15 kg plutonium. Pada bulan September 2005, Six Party Talks menghasilkan kesepakatan bersama A Joint Statement of Principles di mana Korea Utara berkomitmen untuk menghentikan produksi senjata nuklir,
bergabung dengan NPT, dan kembali pada pengawasan IAEA. Sebagai
konsekuensinya, Amerika Serikat menjanjikan asuransi keamanan bagi Korea Utara
dan menyatakan tidak memproduksi lagi senjata nuklir untuk Korea Selatan.27
Berdasarkan inspeksi IAEA di Korea Utara selama lebih dari dua dekade, sekaligus
dilengkapi dengan informasi dari pengamat lain, Korea Utara diperkirakan sudah
mampu memproduksi senjata nuklir secara mandiri.28
Ketika uji coba nuklir dilaksanakan pada 9 Oktober 2006, Korea Utara hanya
memerlukan sekitar 0,5-0,8 kiloton plutonium, namun pada uji coba kedua pada 25
Mei 2009 Korea Utara sudah diindikasikan memerlukan sekitar empat kiloton
plutonium. Beberapa ahli telah menduga bahwa Korea Utara akan membutuhkan tes
selanjutnya untuk memastikan kemajuan dalam teknologi yang telah dimiliki.29
Berdasarkan kebutuhan akan plutonium tersebut, uji coba nuklir dianggap berhasil
jika Korea Utara menggunakan jumlah plutonium yang sama dengan tes pertama
pada tahun 2006. Pada tahun 2009, uji coba kedua menunjukkan bahwa jumlah
plutonium yang dibutuhkan semakin banyak. Jika Korea Utara menggunakan
plutonium dengan jumlah yang lebih besar daripada uji coba pertama, maka bisa
disimpulkan bahwa dalam beberapa tahun teknologi persenjataan nuklir Korea Utara
tidak terlalu berkembang. Semakin banyaknya kebutuhan plutonium pada tes nuklir
kedua tahun 2009 bisa memberikan sedikit data perkiraan tentang kapabilitas nuklir
Korea Utara saat ini.30
Pada Desember 2002, Menteri Luar Negeri Colin Powell menyatakan bahwa
Amerika Serikat telah menyakini bahwa Korea Utara memiliki beberapa senjata
nuklir yang dikembangkan selama bertahun-tahun. Pada 11 Februari 2005, Korea
Utara secara resmi mengumumkan bahwa mereka telah berhasil memproduksi
senjata nuklir. Wakil Menteri Luar Negeri Korea Selatan Kim Gye Gwan
menyatakan bahwa Korea Utara sebelumnya memiliki lebih dari satu bom dan kini
sedang berencana membangun lebih banyak lagi. Faktor kunci dalam menilai berapa
banyak senjata nuklir Korea Utara adalah apakah Korea Utara bisa menggunakan
bahan kurang dari 8 kilogram uranium dan 25 kilogram Highly Enriched Uranium
(HEU), menurut standar IAEA, untuk dikembangkan sebagai sebuah senjata nuklir.
Jumlah bahan material nuklir (fissile material) yang digunakan dalam sebuah senjata nuklir sangat berpengaruh pada kecanggihan dan keahlian desainnya. Tidak terdapat
informasi publik yang dapat diandalkan pada informasi desain senjata nuklir Korea
Utara. Di semua perkiraan, Korea Utara memisahkan plutonium berkisar antara
30-50 kilogram, dengan perkiraan 5 kilogram hingga 6 kilogram telah digunakan
untuk uji coba pada Oktober 2006 dan terdapat jumlah bahan tambahan yang
digunakan dalam uji coba pada Mei 2009.31
Pada kedua uji coba, Korea Utara diduga juga sudah melibatkan penggunaan
satelit sebagai bagian dari rencana program pengembangan senjata nuklir. Dewan
Keamanan PBB kemudian mengeluarkan resolusi sebagai respon terhadap
peluncuran satelit Korea Utara tersebut. Resolusi Dewan Keamanan PBB melarang
peluncuran satelit karena teknologi tersebut mampu untuk meluncurkan rudal balistik.
Berdasarkan laporan Korean Central News Agency (KCNA), meskipun mendapatkan peringatan dari pihak internasional, Korea Utara tetap melakukan uji coba nuklir
pada 12 Februari 2013 di instalasi nuklir bawah tanah Yongbyon. Uji coba tersebut
memicu perdebatan baru tentang solusi atas permasalahan nuklir Korea Utara.32
Pengembangan senjata nuklir dan program rudal Korea Utara telah
berkembang secara signifikan. Selain senjata nuklir dan tiga roket jarak jauh yang
sudah diuji coba, Korea Utara juga telah melakukan kegiatan penting lainnya dalam
program pengembangan senjata nuklir, termasuk modernisasi infrastruktur reaktor
nuklir, pengembangan new road mobile intermediate range, rudal balistik misil
31 M.B. Nikitin, North Korea’s Nuclear Weapons, CRS Report for Congress, Congressional Research
Service, Washington, D.C., 2009, p. 4.
32 K. Davenport, ‘North Korea Conducts Nuclear Test,’ Arms Control Today, vol. 43, no. 2, March
antarbenua, dan kapal selam bertenaga nuklir.33 Selain itu, Korea Utara juga
diprediksi sedang mengembangkan sea-based cruise dan rudal balistik yang lebih besar dari rudal SLV (space launch vehicle). 34 Sistem persenjataan yang dikembangkan Korea Utara dalam beberapa tahun terakhir memiliki kemampuan
ofensif, yang membuat kemampuan militer Korea Utara semakin kuat serta pada saat
yang sama mengkhawatirkan bagi Amerika Serikat dan aliansinya di Asia Timur.
Selama lima tahun terakhir, Korea Utara menunjukkan bahwa ia memiliki
ambisi besar dalam membangun sistem persenjataan. Korea Utara saat ini memiliki
1.000 Nodong Medium Range Ballistic Missile (MRBM), sebuah senjata yang cukup handal untuk menyerang kota dan pangkalan militer. Selain itu, Korea Utara juga
memiliki rudal Scud yang bisa membawa hulu ledak nuklir dengan jangkauan sekitar 300-600 kilometer, rudal balistik shorter-range terbaru, dan KN-02 Toksa yang terkenal mempunyai sitem responsif yang sangat baik. Korea Utara juga memiliki
beberapa amunisi rudal Taepodong, senjata dengan kemampuan lebih canggih dari rudal Unha, di mana dalam sebuah operasi darurat kemampuan senjata tersebut dapat menjangkau sasaran di Amerika Serikat.35
Korea Utara berhasil mengembangkan beberapa kemajuan signifikan dalam
sistem persenjataan selama tahun 2009 sampai dengan 2015. Korea Utara berhasil
mengembangkan new road missile dengan jangkauan yang lebih luas, bisa mencapai Amerika Serikat dan kemungkinan pengembangan misil laut jarak dekat (short-range sea-based missiles). Senjata ini bisa memperluas target sasaran dan sistem persenjataan yang dapat menyerang dari segala arah. Selain itu, Korea Utara juga
berhasil melakukan pengembangan teknologi roket Solid-KN-02 short range ballistic missile (SRBM) dan mengembangkan rudal balistik jarak jauh misil Nodong
jenis MRBM dengan kemampuan mobilitas dan daya jelajah yang lebih besar. Korea
Utara juga sedang memproduksi misil seri Taepodong jenis intercontinental ballistic missile (ICBM) yang memiliki jangkauan target yang dapat melintasi benua.36 Pengembangan senjata nuklir jenis ini telah berhasil memperkuat kemampuan militer
33 Scobel, p. 26.
34 J.S. Wit & S.Y. Ahn, North Korea’s Nuclear Futures: Technology and Strategy, John Hopkins
University Press, Maryland, 2015, p. 7.
Korea Utara untuk mengancam pihak-pihak yang secara geografis jauh.
Kemajuan dalam pengembangan sistem persenjataan nuklir ini akan
membutuhkan teknologi penyelesaian ketika terdapat permasalahan, khususnya
radiasi nuklir. Tantangan bagi Korea Utara dalam penyelesaian masalah yang
ditimbulkan oleh nuklir kemungkinan besar sulit untuk diatasi, terutama karena
Korea Utara dalam pengembangan nuklir dan sistem persenjataan rudal masih
membutuhkan uji coba dan tes kendali dalam menghasilkan sistem persenjataan yang
maksimal.37 Korea Utara juga seringkali tidak mematuhi aturan yang telah
disepakati sebelumnya. Korea Utara tetap mengembangkan rudak balistik jarak jauh
seperti Taepodong 1 intermediate-range ballistic missile (IRBM) dan Taepodong 2
ICBM. Taepodong 2 ICBM diketahui merupakan salah satu sistem persenjataan jarak jauh yang canggih dan mempunyai kapabilitas untuk mencapai benua Amerika.38
Pada awalnya, perkembangan nuklir dan sistem persenjataan Korea Utara
sangat bergantung kepada negara-negara seperti Uni Soviet, Cina, atau Pakistan.
Namun, kini Korea Utara sudah mampu secara mandiri untuk melakukan
pengembangan senjata nuklir, meskipun dengan kemampuan yang terbatas. Kekuatan
nuklir dan sistem persenjataan militer Korea Utara mengalami perkembangan yang
naik-turun. Pada masa Perang Dingin pengembangan nuklir dan sistem persenjataan
Korea Utara tidak terlalu bersifat ofensif, tetapi lebih mengacu pada pertahanan
defensif untuk mengamankan kedaulatan nasional. Dalam beberapa tahun terakhir
kekuatan militer dan teknologi Korea Utara semakin meningkat, tidak hanya untuk
kemampuan defensif saja, tetapi juga ofensif. Persenjataan yang bersifat ofensif
inilah yang kemudian menaikkan kemampuan daya tawar Korea Utara dalam
negosiasi dan perundingan internasional, khususnya dengan Amerika Serikat, di
kawasan Asia Timur.
Bila dibandingkan dengan negara lain yang memiliki senjata nuklir lebih
canggih, Korea Utara masih merupakan negara dengan kemampuan nuklir yang
masih sangat terbatas. Pada dasarnya sangat sulit untuk memberikan gambaran yang
37 Wit & Ahn, pp. 9-10.
38 M.R. Davis & C.S. Gray, ‘Weapons of Mass Destruction,’ dalam J. Baylis, J. Wirtz, E. Cohen &
jelas dan rinci mengenai kapabilitas nuklir Korea Utara saat ini. Kemampuan Korea
Utara untuk memproduksi senjata nuklir secara mandiri belum secara pasti bisa
menjelaskan kapabilitas nuklir yang sebenarnya. Mengukur kapabilitas nuklir Korea
Utara berdasarkan produksi dan transfer senjata nuklir sangat dipengaruhi oleh
permasalahan teknis senjata seperti daya jelajah, daya hancur, dan teknologi
operasional senjata tersebut. Tetapi, kenyataan bahwa Korea Utara telah mampu
secara mendiri mengembangan nuklir dan sistem persenjataan rudal balistik sangat
mengkhawatirkan bagi stabilitas keamanan kawasan Asia Timur.
3.3 Pandangan Korea Utara terhadap kebijakan keamanan Amerika Serikat di Asia Timur
Semenanjung Korea menawarkan tantangan bagi kepentingan Amerika Serikat
di kawasan Asia Timur. Di satu sisi, Korea Selatan sebagai negara demokratis dan
mempunyai orientasi pasar bebas telah mengembangkan kapasitas dan peningkatan
kemampuan militer yang diperluas dengan mengatur kepentingan bersama dengan
Amerika Serikat. Hal ini memungkinkan kerja sama yang lebih aktif dengan Amerika
Serikat untuk menanggapi permasalahan nuklir Korea Utara dalam upaya menjaga
stabilitas keamanan kawasan Asia Timur. Di sisi lain, rezim otoriter Korea Utara
telah memperluas kemampuan nuklirnya dengan terus melakukan pengembangan
rudal kendali jarak jauh dan secara langsung telah mengancam kepentingan Amerika
Serikat di kawasan Asia Timur.39
Amerika Serikat selalu mengupayakan kesepakatan dengan rezim Korea Utara
dalam rangka untuk menjaga kepentingannya di kawasan. Pada masa pemerintahan
Bill Clinton, Amerika Serikat menyepakati Geneva Agreed Framework. Semasa pemerintahan George W. Bush, Amerika Serikat terlibat dalam Six Party Talks. Namun, Geneva Agreed Framework dan Six Party Talks ini tidak berhasil dalam upaya perundingan untuk menghentikan pengembangan program senjata nuklir
Korea Utara. Pemerintah Bush, misalnya, dianggap gagal melanjutkan
prinsip-prinsip yang disepakati dalam Geneva Agreed Framework.40
Bagi Korea Utara, Amerika Serikat memainkan peran penting di Semenanjung
Korea. Amerika Serikat memiliki kepentingan ekonomi dan keamanan di kawasan
Asia Timur, utamanya dalam hubungannya dengan Jepang dan Korea Selatan. Tetapi,
dalam normalisasi hubungan dengan Korea Utara, Amerika Serikat tidak pernah
mendapat kesepakatan yang maksimal. Selain itu, sanksi ekonomi dan kecaman dari pemerintahan Bush yang mengatakan Korea Utara sebagai bagian dari negara “poros setan,” telah menguatkan persepsi Korea Utara bahwa tidak terdapat pilihan lain kecuali harus mengembangkan sistem persenjataan nuklir untuk menghadapi
ancaman dari Amerika Serikat dan negara aliansinya di kawasan Asia Timur.41
Paradoks kebijakan Korea Utara terhadap Amerika Serikat terletak dalam
kebijakan ekonomi. Berbeda dengan kebijakan keamanan di mana Korea Utara
sangat sulit untuk berunding dan menjalin kesepakatan dengan Amerika Serikat,
dalam bidang ekonomi Korea Utara ingin menjalin kerja sama bilateral dengan
Amerika Serikat dalam upaya stabilisasi ekonomi dalam negeri. Secara khusus,
Korea Utara ingin agar Amerika Serikat mengeluarkan Korea Utara dari daftar
negara pendukung terorisme internasional agar ia bisa bergabung dengan institusi
keuangan internasional guna mendapatkan akses modal asing dan pasar luar negeri.
Selama terdapat sanksi ekonomi dari Amerika Serikat, sangat sulit bagi Korea Utara
untuk mengembangkan kerja sama ekonomi maupun kerja sama di bidang lainnya,
termasuk keamanan.42
Terbatasnya sumber daya yang dimiliki membuat Korea Utara sulit untuk
mengembangan potensi ekonominya. Korea Utara terisolasi dari sistem internasional
karena kebijakan rezim otoriternya yang melarang segala bentuk komunikasi dengan
pihak luar. Hal ini kemudian diperparah dengan bencana alam dan kelaparan yang
melanda negara tersebut. Rakyat Korea Utara hidup dengan banyaknya bantuan baik
dari Cina, Rusia, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan. Bantuan-bantuan
tersebut tidak hanya berupa pangan, tetapi juga energi, khususnya minyak. Walapun
kondisi ekonominya sangat memprihatinkan dan sering mendapat bantuan dari dunia
internasional, Korea Utara tampaknya akan tetap mengejar kepentingan nasional
41 D.A. Pinkston, ‘North Korea’s Foreign Policy Towards the United States,’ Strategic Insights, vol. 5,
no. 7, September 2006, p. 24.
untuk mencapai tujuan negara dengan ideologi yang telah ditentukan. Korea Utara
tetap menjadikan kebijakan pengembangan senjata nuklir menjadi prioritas utama
kebijakan pertahanan dan keamanan. Kebijakan tersebut diimplementasikan dengan
membangun infrastruktur pengembangan senjata nuklir, rudal balistik, dan senjata
kimia lainnya. Kebijakan pertahanan Korea Utara yang menganut doktrin nuklir ini
akan berdampak pada pembangunan kekuatan militer untuk mencegah ancaman
terhadap keamanan kawasan, khususnya aliansi Amerika Serikat dengan Korea
Selatan dan Jepang.43
Dalam konteks posisi Amerika Serikat di Asia Timur, hubungan Cina dengan
Korea Utara dan dengan Amerika Serikat juga memiliki pengaruh dalam proses
penyelesaian masalah nuklir di Semenanjung Korea. Dalam kondisi yang berbeda,
hubungan antara Amerika Serikat dan Cina sebenarnya bisa cenderung lebih
kondusif dan menguntungkan bagi stabilitas kawasan Asia Timur, khususnya ketika
terdapat ketergantungan ekonomi yang meningkat satu sama lainnya. Cina akan
memiliki kepentingan yang sama dengan Amerika Serikat dalam masalah kerja sama
ekonomi dan penyehatan ekonomi global.44 Namun, Amerika Serikat menilai Cina
merupakan salah satu pesaing strategis bagi kepentingannya, utamanya di Asia Timur,
sehingga ia harus dirangkul dalam sebuah hubungan yang menguntungkan dan bukan
berisikan ketegangan. Cina sendiri berharap bahwa hubungan dengan negara-negara
sekitar dan kekuatan utama dunia seperti Amerika Serikat dapat terus terjalin stabil
sehingga ia dapat berfokus pada kesejahteraan ekonomi nasional. Terdapat beberapa
kalangan yang optimis bahwa hubungan ekonomi antarkedua negara kekuatan utama
di dunia ini, dengan segala kendala dan kemajuannya, akan berdampak positif bagi
dunia internasional. Hubungan ekonomi yang harmonis antara Amerika Serikat
dengan Cina akan mempengaruhi kemakmuran jangka panjang masyarakat
internasional. Meski demikian, hambatan dalam hubungan kedua negara ini akan
tetap ada dan tidak akan menghilang secara otomatis. Asumsi ini akan diyakini akan
tetap bertahan serta membuat Cina dan Amerika Serikat berada dalam hubungan
43 Pinkston, p. 25.
44 A. Soetjipto, ‘Memaknai Hubungan Cina-Amerika Kontemporer: Implikasinya untuk Kajian
yang kompleks dan penuh dengan kontradiksi.45
Selain permasalahan hubungan Cina dengan Amerika Serikat di Semenanjung
Korea, sangat penting juga untuk mengetahui bagaimana kebijakan luar negeri Korea
Utara terhadap Amerika Serikat. Kebijakan luar negeri Korea Utara terhadap
Amerika Serikat telah dibentuk oleh pengalaman pahit sejak Perang Korea dan
persaingan antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet pada masa Perang Dingin.
Korea Utara menilai Amerika Serikat telah menggagalkan upaya Kim Il Sung untuk
menyatukan Korea Selatan dengan Korea Utara dengan agresi militer pada masa
Perang Korea. Selain itu, selama Perang Korea berlangsung, Korea Utara merupakan
pihak yang selalu mengalami tekanan politik dan militer dari Amerika Serikat akibat
kemampuan militer yang tidak seimbang antara Korea Utara dan Amerika Serikat.
Pada masa Perang Korea, Amerika Serikat juga meluluhlantahkan infrastruktur di
Korea Utara dengan bom udara selama masa perang. Operasi pemboman ini dan
pengalaman masa lalu kemudian menjadi alasan kuat bagi Korea Utara untuk selalu
mewaspadai ancaman Amerika Serikat bagi keamanan nasionalnya dan secara tidak
langsung membentuk fenomena anti-Amerika di Korea Utara. Oleh karena itu,
penggunaan nuklir sebagai strategi keamanan nasional merupakan alasan yang
mendasari Korea Utara mengingat faktor sejarah yang menggambarkan adanya
ancaman dan dominasi dari Amerika Serikat.46
Selama masa Perang Dingin, Korea Utara masih keras menentang Amerika
Serikat, yang digambarkan sebagai kekuatan penggerak di belakang eksploitasi
imperialisme dan kapitalisme internasional. Pandangan tersebut ditambah lagi
dengan pengalaman dan kebencian yang mendalam atas campur tangan Amerika
Serikat dalam Perang Korea. Sasaran utama kebijakan strategis Korea Utara terhadap
Amerika Serikat adalah untuk mencegah ancaman yang ditimbulkan akibat hubungan
aliansi pertahanan antara Amerika Serikat dengan Korea Selatan. Aliansi tersebut
secara tidak langsung akan memperkuat militer Korea Selatan dan hal itu tentu saja
membahayakan bagi Korea Utara. Untuk mencegah campur tangan Amerika Serikat
di Semenanjung Korea, Korea Utara juga menjalin aliansi keamanan dengan Uni
Soviet dan Cina dengan ditandatanganinya kesepakatan Treaties of Friendship, Cooperation and Mutual Assistance pada Juli 1961.
Banyak analis menilai Korea Utara memiliki hubungan yang dekat dengan Uni
Soviet dan Cina selama masa Perang Dingin. Tetapi, hubungan itu tidak terjalin
secara solid karena Korea Utara mempertanyakan komitmen negara mitra dalam
melindungi keamanannya. Kim Il Sung kemudian mencari alternatif lain, yaitu
mengembangkan sistem persenjataan nasional, sehingga Korea Utara bisa
melindungi kepentingan nasionalnya secara mandiri tanpa bergantung dengan negara
lain. Kebijakan ini kemudian diimplementasikan dalam pengembangan rudak balistik
dan produksi senjata pemusnah massal. Runtuhnya Uni Soviet dan normalisasi
hubungan antara Cina dengan Korea Selatan menjadikan Korea Utara semakin
melakukan akselerasi dalam pengembangan senjata nuklir sejak awal 1990-an.47
Atas dasar premis di atas, Korea Utara menolak untuk patuh pada ketentuan
internasional dan campur tangan asing. Pengusiran tim inspeksi IAEA pada 31
Desember 2002 dan penarikan diri Korea Utara dari NPT pada 9 Januari 2003
membuat Amerika Serikat berada dalam posisi yang dilematis dalam menyelesaikan
permasalahan nuklir Korea Utara. Dalam menghadapi Korea Utara posisi Amerika
Serikat adalah melalui jalur diplomasi tanpa mengesampingkan opsi militer. Apabila
dipilih instrumen diplomasi, timbul dua kesulitan. Pertama, format perundingan.
Amerika Serikat dan Korea Utara masih belum bersepakat apakah perundingan
bersifat bilateral, multilateral, atau perundingan kawasan. Kedua, substansi
perundingan. Mereka berbeda pandangan apakah perundingan bersifat komprehensif
atau parsial. Amerika Serikat pada dasarnya menginginkan pengembangan senjata
nuklir Korea Utara dapat diverifikasi dan kemudian disepakati melalui perundingan
multilateral. Sebagai timbal balik, Amerika Serikat dan sekutunya bersedia
memberikan bantuan ekonomi. Amerika Serikat mendesak Korea Utara untuk
menghentikan program nuklirnya, baru kemudian konsensi ekonomi diberikan. Pola
seperti ini pernah dijalankan pada masa pemerintahan Clinton, namun sulit untuk
diimplementasikan secara efektif karena tidak adanya kepercayaan antara Amerika
Serikat dan Korea Utara.48
Sebaliknya, Korea Utara berpandangan bahwa penghancuran senjata nuklir
harus dimulai oleh Amerika Serikat sebagai pemilik senjata nuklir terbesar di dunia.
Sebagai negara kecil, Korea Utara merasa masih terancam dari negara-negara di
sekitarnya. Oleh karena itu, Korea Utara menghendaki jaminan keamanan dari
Amerika Serikat melalui perundingan bilateral. Korea Utara berharap disepakatinya
traktat non-agresi dengan Amerika Serikat. Amerika Serikat melihat kesedian Korea
Utara berunding hanya sebagai taktik untuk mengulur waktu dalam mengembangkan
program nuklirnya. Melihat kenyataan ini, kecil kemungkinan diplomasi akan
benar-benar efektif sebagai instrumen penyelesaian masalah nuklir Korea Utara.
Korea Utara tetap membutuhkan kepastian bahwa mereka aman dari agresi dan
memperoleh jaminan bantuan kemanusian dan ekonomi.49
Apabila diplomasi tidak efektif dan Amerika Serikat menghendaki penggunaan
instrumen militer dalam menyelesaikan permasalahan nuklir Korea Utara, hal
tersebut akan berakibat fatal. Perang akan menciptakan instabilitas keamanan, sosial,
politik, dan ekonomi di Semenanjung Korea. Selain itu, banyaknya pengungsi dari
Korea Utara pasti akan menyulitkan bagi Cina dan Korea Selatan. Selain
permasalahan pengungsi, Cina, Korea Selatan, dan Jepang juga khawatir akan
potensi krisis ekonomi apabila terjadi perang di Semenanjung Korea. Perang
memberikan dampak yang besar terhadap pasar uang dan aliran modal sehingga bisa
memicu krisis ekonomi kawasan. Pada akhirnya, instrumen diplomasi maupun
militer menjadikan Amerika Serikat berada dalam posisi dilematis untuk
menghentikan program nuklir Korea Utara.50
Menemukan cara untuk menyelesaikan masalah nuklir Korea Utara bukanlah
hal yang mudah. Perdebatan panjang untuk menghentikan program nuklir Korea
Utara telah dilakukan dalam upaya mencapai stabilisasi keamanan Semenanjung
Korea. Terdapat dua pendekatan untuk menyelesaikan masalah nuklir Korea Utara.
Pendekatan pertama, menggunakan instrumen militer untuk menghancurkan rezim
48 A.A. Sriyono, ‘Korea Utara: Antara Diplomasi dan Perang,’ dalam A.A. Sriyono, dkk, Hubungan
Internasional: Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, p. 88.
otoriter di Korea Utara. Pendekatan ini menggunakan cara-cara ancaman secara
langsung dan bertujuan untuk mengganti rezim Korea Utara, yang sangat
berpengaruh dalam kebijakan pengembangan senjata nuklir negara tersebut.
Pendekatan kedua menggunakan instrumen politik, ekonomi, dan interaksi budaya.
Pendekatan ini pada dasarnya menggunakan cara-cara yang lebih halus dalam
membujuk dan mempengaruhi Korea Utara agar menghentikan provokasi dan
penggunaan senjata nuklir. 51 Tetapi, pada kenyataannya sangat sulit untuk
menemukan kesepakatan dalam kerja sama non-proliferasi nuklir dengan Korea
Utara. Seperti ditulis di atas, kebijakan pengembangan nuklir Korea Utara telah
dibentuk antara lain oleh pengalaman pahit sejak masa Perang Korea dan Perang
Dingin. Keadaan tersebut membuat Korea Utara menilai Amerika Serikat telah
menjadi ancaman bagi keamanan nasionalnya.
Upaya yang dilakukan oleh Amerika Serikat untuk menghentikan kebijakan nuklir
Korea Utara melalui Geneva Agreed Framework dan Six Party Talks tidak memberikan hasil yang efektif bagi stabilitas keamanan kawasan Asia Timur. Bagi Korea Utara,
negosisasi terhadap program pengembangan senjata nuklir tidak akan berjalan secara
efektif selama sanksi ekonomi Amerika Serikat terhadap Korea Utara tetap dilaksanakan.
Menjadi pilihan yang masuk akal bagi Korea Utara untuk menjadikan nuklir sebagai
salah satu kebijakan nasional yang diprioritaskan. Kebijakan Korea Utara untuk
mempertahankan program senjata nuklir dan uji coba sistem persenjataan menandakan
bahwa ia memiliki tujuan jangka panjang dalam pertahanan keamanannya. Dengan
mengembangkan senjata nuklir, Korea Utara berharap bisa secara mandiri memiliki
sistem persenjataan yang efektif dan tidak lagi bergantung kepada negara lain. Kebijakan
pertahanan nuklir Korea Utara ini akan berdampak pada kompleksitas keamanan di
kawasan Asia Timur. Kompleksitas keamanan kawasan ini pada gilirannya memberikan
implikasi terhadap peningkatan program nuklir Korea Utara. Senjata nuklir merupakan
pilihan yang masuk akal bagi Korea Utara sebagai langkah deterrence jangka panjang untuk menjaga keamanan dan kepentingan nasionalnya dari ancaman eksternal,
khususnya ancaman keamanan di kawasan Asia Timur. Bab selanjutnya akan memberikan
analisis tentang bagaimana kompleksitas keamanan kawasan berimplikasi terhadap