PAGELARAN WAYANG CENK BLONK SEBAGAI MEDIA
PENDIDIKAN SEKS BAGI MASYARAKAT HINDU DI BALI
OLEH:
NI PUTU EKA UMARISTA APRILIANI
9874
IDA BAGUS ANANDA BRAMANA PUTRA
9941
HENDRA SETIAWAN
9977
PEMERINTAH KABUPATEN KLUNGKUNG
DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAH RAGA
SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 SEMARAPURA
PEMERINTAH KABUPATEN KLUNGKUNG
DINAS PENDIDIKAN
SMA NEGERI 1 SEMARAPURA
Jalan Flamboyan No. 63, Semarapura, Klungkung, Bali Telp. (0366) 21508
SURAT KETERANGAN 421.7/289/SMAN 1 SMR/Dikpora
Yang bertanda tangan di bawah ini Kepala SMA Negeri 1 Semarapura, menerangkan bahwa :
NI PUTU EKA UMARISTA APRILIANI 9874
IDA BAGUS ANANDA BRAMANA PUTRA 9941
HENDRA SETIAWAN 9977
Memang benar siswa SMA Negeri 1 Semarapura yang telah menyusun karya tulis dengan karya ilmiah sendiri dan belum pernah dilombakan dalam perlombaan karya tulis ilmiah lainnya, dengan judul :
“PAGELARAN WAYANG CENK BLONK SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN SEKS BAGI MASYARAKAT HINDU DI BALI”.
Karya tulis tersebut dapat diikutsertakan dalam rangka mengikuti LKIR (Lomba Karya Ilmiah Remaja) Tingkat SMA Se-Bali dalam rangka memperingati Dies Natalis XI Poltekkes (Politeknik Kesehatan) Denpasar. Demikian surat keterangan ini dibuat untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Semarapura, April 2012 Kepala SMA Negeri 1 Semarapura
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : “Pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai Media Pendidikan Seks bagiMasyarakat Hindu di Bali”.
Penulis :
Ni Putu Eka Umarista Apriliani 9874
Ida Bagus Ananda Bramana Putra 9941
Hendra Setiawan 9977
Semarapura, 5 April 2012
Guru Pembimbing,
Ni Wayan Rina Lestari, S.Pd. NIP. 1986 0524 2009 022002
Mengesahkan,
Kepala SMA Negeri 1 Semarapura
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai Media Pendidikan Seks bagi Masyarakat Hindu di Bali” Tingkat SMA Se-Bali dalam rangka memperingati Dies Natalis XI Poltekkes (Politeknik Kesehatan) Denpasar.
Karya ilmiah ini tidak mungkin dapat terselesaikan tepat pada waktunya tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Drs. I Nyoman Mudjarta, selaku Kepala SMA Negeri 1 Semarapura atas bantuan moral dan material yang diberikan.
2. Ni Wayan Rina Lestari S.Pd., selaku pembimbing ekstrakulikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR) SMA Negeri 1 Semarapura atas bimbingan dalam penyusunan karya tulis ini.
3. Kedua orang tua kami yang telah memberikan motivasi dan dorongan. 4. Pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak, demikian pula dengan karya tulis ilmiah ini yang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah yang sederhana ini berguna bagi kita semua.
Semarapura, April 2012
“Pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai Media Pendidikan Seks bagi Masyarakat Hindu di Bali”
A B S T R A K S I
Ni Putu Eka Umarista Apriliani, Ida Bagus Ananda Bramana Putra dan Hendra Setiawan, 2012, 53 halaman
Pulau Bali sebagai wilayah tujuan wisata dunia terkemuka, amat rentan bagi penyebaran berbagai penyakit termasuk sindrom AIDS. Remaja Bali, tentunya sangat rentan terjangkit penyakit tersebut. Mengingat faktanya remaja adalah generasi penerus bangsa, sudah barang tentu hal ini perlu ditanggulangi sedini mungkin. Langkah sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan seks (sex education). Di Bali sendiri telah ada potensi-potensi dari kearifan lokal sebagai bagian dari pendidikan seks remaja Hindu di Bali, salah satunya adalah melalui adanya seni-seni pertunjukkan. Salah satu jenis seni pertunjukkan populer yang berhasil mengemban fungsi tersebut ialah wayang kulit, yaitu Wayang Cenk Blonk. Pendidikan seks berbasis “Wayang Cenk Blonk” dapat menjadi pilihan alternatif dalam upaya menanamkan pendidikan dasar seks bagi masyarakat khususnya kaum remaja. Selanjutnya pendidikan seks berbasis “Wayang Cenk Blonk” tersebut akan dikemas dalam bentuk Konsep Satsangga, Kemah Sadhana dan Pasraman. Hal ini bertujuan untuk mempermudah cara pengimplementasiannya.
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Semarapura, Kabupaten Klungkung, Bali. Penelitian ini dilakukan selama 3 hari yaitu tanggal 29 Maret sampai 31 Maret 2012. Berdasarkan tujuannya, penelitian ini tergolong penelitian deskriptif. Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan metode kuisioner. Kuisioner yang dibuat merupakan kuisioner tertutup yang melibatkan sebanyak 100 responden. Data-data yang terkumpul diolah secara deskriptif kualitatif yang diawali dengan proses editing, mengkode data dan diakhiri dengan penarikan simpulan yang bersifat umum.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan data bahwa pagelaran Wayang Cenk Blonk berpotensi sebagai media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu di Bali. Implementasi Wayang Cenk Blonk dapat dilakukan di lingkungan keluarga (informal) yakni melalui Konsep Satsangga, lingkungan sekolah (formal) melalui Kemah Sadhana, dan lingkungan masyarakat (nonformal) yaitu melalui Pasraman. Namun, dalam usaha mengembangkan Wayang Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks (sex education) tidak luput dari kendala-kendala. Adapun kendala-kendala tersebut yakni, kurangnnya tenaga ahli yang berkompeten dalam bidang seni pewayangan serta permasalahan dana pengembang.
DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Kata Pengantar ... ii
Halaman Pernyataan ... iii
DAFTAR TABEL
No. Tabel Halaman
4.2.1 Potensi Pasraman dan Kemah Sadhana dalam Pengembangan
Kearifan Lokal Bali melalui Pagelaran Wayang Cenk Blonk .. 21 4.2.2.1 Rancangan Kegiatan Pendidikan Seks di Lingkungan Keluarga
Melalui Konsep Satsangga dan Wayang Cenk Blonk ..……… 32 4.2.2.2 Rancangan Kegiatan Pendidikan Seks di Kemah Sadhana
Melalui Media Wayang Cenk Bonk ………..……… 35 4.2.2.3 Rancangan Kegiatan Pendidikan Seks di Pasraman Melalui
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Indonesia terlambat mengenali epidemi HIV dan AIDS, dengan
dilaporkannya kasus pertama kali April 1987. Padahal, sindrom tersebut telah
menyapu seluruh benua tanpa ampun sampai sekarang. Enam belas tahun
silam, pada bulan Januari 1995, 6,3 juta orang tewas di Sub-Sahara, Afrika
oleh HIV dan AIDS dan 65 persen dari para korban itu adalah wanita dan
anak-anak.
Sementara itu, untuk merespon korban-korban HIV dan AIDS di
Amerika Serikat tahun 1981, para pakar medis mulai melakukan riset-riset
yang akhirnya membuahkan hasil. Dr. Luc Montagnier dari Perancis
menemukan virus yang dinamakan Lympha Diniphati Associated (LAV).
Menyusul kemudian Dr. Robert Gallo dari AS menemukan virus yang
disebutnya Human T. Cell Lymphatropic Virus tipe III (HLTV III). WHO
memberikan nama baru untuk kedua penemuan tersebut yakni Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang sampai kini dipakai secara resmi.
Sejak itu, HIV dikenal sebagai virus penyebab Acquired Immune
berhubung dengan sulitnya masyarakat dunia menghindar dari pengaruh
modern dan peradaban global yang mutakhir ini.
Pulau Bali sebagai wilayah tujuan wisata dunia terkemuka, amat
rentan bagi penyebaran berbagai penyakit termasuk sindrom AIDS itu tadi.
Oleh sebab itu, kekhawatiran dan keresahan tentunya akan terus menghantui
masyarakat, terutama yang berada di Bali. Ironisnya, kekhawatiran dan
keresahan yang terus menghantui masyarakat memang benar adanya. Di Bali
sendiri, penyebaran epidemi HIV/AIDS ini begitu cepat.
Berdasarkan data secara komulatif hingga akhir Maret 2011, sebanyak
29 warga negara asing yang berasal dari 12 negara yang diketahui sebagai
penderita HIV/AIDS kini berada di Pulau Dewata, sehingga kehadiran
mereka perlu diwaspadai, jangan sampai menularkan virus mematikan
tersebut. Warga negara asing penderita HIV/AIDS itu terbanyak berasal dari
Belanda (6 orang), menyusul Amerika Serikat (5 orang), Timor Leste (4
orang) dan Perancis (3 orang) serta Italia, Kanada dan Swiss masing-masing 2
orang. Selain itu juga tercatat dari Australia, Eropa, Spanyol, Jepang dan
Irlandia masing-masing seorang.
Warga negara asing penderita AIDS yang terdata di Bali sebanyak 15
orang itu terdiri atas laki-laki (12 orang) dan perempuan (3 orang). Sementara
penderita HIV tercatat 14 orang terdiri atas laki-laki (11 orang) dan dan
perempuan (3 orang). Ke-29 warga negara asing itu merupakan bagian dari
keseluruhan penderita HIV/AIDS di Bali 4.314 kasus yang terdiri atas AIDS
penderita HIV 2.166 orang yang terdiri atas laki-laki 1.262 orang dan
perempuan 904 orang.
Bali dari segi jumlah penderita menempati urutan kelima tingkat
nasional setelah Jawa Barat, Jawa Timur, Papua dan DKI Jakarta. Namun dari
segi revalensi penderita HIV/AIDS di Bali menempati peringkat kedua
tingkat nasional setelah Provinsi Papua. Revalensi adalah perbandingan kasus
yang terjadi dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut.
Remaja Bali, tentunya sangat rentan terjangkit penyakit tersebut.
Mengingat faktanya remaja adalah generasi penerus bangsa, sudah barang
tentu hal ini perlu ditanggulangi sedini mungkin. Langkah sederhana yang
dapat dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan seks (sex education).
Seperti yang dikutip dalam salah satu sloka kitab Slokantara, sloka 22 (48) (Sudharta, 1997: 83 – 85) bahwasannya memberikan tuntunan pendidikan
anak semenjak usia awal hingga usia remaja perlu dilakukan. Tahapan
pendidikan anak secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu:
tahap pertama dari umur 0 – 5 tahun; tahap kedua dari 5 – 15 tahun; dan tahap
ketiga setelah berumur 16 tahun ke atas.
Di Bali sendiri telah ada potensi-potensi dari kearifan lokal sebagai
bagian dari pendidikan seks remaja Hindu di Bali, salah satunya adalah
melalui adanya seni-seni pertunjukkan. Salah satu fungsi primer seni
pertunjukkan adalah sebagai media penerangan dan kritik sosial. Lewat
pementasannya pesan-pesan dan aspirasi yang sifatnya kritis ditransmisikan
kepada audiens dan diapresiasi bersama. Sarana seni pertunjukkan sangat
tidak menjemukan sebab masyarakat terpukau oleh penampilan dan metode
juru penerang (Ismaun & Martono, 1989/1990: 79). Salah satu jenis seni
pertunjukkan populer yang berhasil mengemban fungsi tersebut ialah wayang
kulit.
Cenk Blonk adalah sebuah inovasi dari wayang kulit Purwa
Tradisional yang menjadi fenomena baru di Bali. Wayang ini sangat populer
dengan frekuensi pentas sangat tinggi. Bahkan ia mencatatkan diri sebagai
pertunjukkan wayang pertama yang direkam dalam format video komersial. Pendidikan seks berbasis “Wayang Cenk Blonk” dapat menjadi
pilihan alternatif dalam upaya menanamkan pendidikan dasar seks bagi
masyarakat khususnya kaum remaja. Selanjutnya pendidikan seks berbasis “Wayang Cenk Blonk” tersebut akan dikemas dalam bentuk Konsep
Satsangga, Kemah Sadhana dan Pasraman. Hal ini bertujuan untuk
mempermudah cara pengimplementasiannya.
Oleh karena itu, pada tulisan ini akan dikaji potensi pagelaran
Wayang Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu
di Bali serta langkah-langkah konkrit pengimplementasiannya.
1.2.Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah terkait dengan latar belakang di atas yaitu
sebagai berikut :
1. Bagaimana potensi pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai media
2. Bagimana cara mengimplementasikan pagelaran Wayang Cenk Blonk
sebagai media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu di Bali?
3. Apa kendala dalam upaya pengimplementasian pagelaran Wayang Cenk
Blonk sebagai media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu di Bali serta
cara mengatasi kendala tersebut?
1.3.Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam karya tulis ini yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan potensi pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai
media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu di Bali.
2. Untuk mendeskripsikan cara mengimplementasikan pagelaran Wayang
Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu di
Bali.
3. Untuk mendeskripsikan kendala dalam upaya pengimplementasian
pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks bagi
masyarakat Hindu di Baliserta cara mengatasi kendala tersebut.
1.4.Manfaat Penulisan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada
berbagai pihak antara lain sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah, Bagi pemerintah khususnya Pemerintah Daerah Bali,
tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai
media alternatif dalam menekan jumlah penderita HIV/AIDS secara
peringkat kedua di Indonesia dan penyakit HIV/AIDS tersebut merupakan
penyakit yang berdampak serius bagi kesehatan sehingga memerlukan
penanggulangan yang serius.
2. Bagi dunia pendidikan, untuk memberikan informasi tentang pemanfaatan
potensi kearifan lokal Bali melalui media Wayang Cenk Blonk agar
pendidikan seks dapat dilakukan dengan metode baru yang inovatif
sehingga lebih mudah diterima masyarakat khususnya generasi muda yang
merupakan target utama dari penyelenggaraan sex education.
3. Bagi masyarakat, sebagai tambahan informasi mengenai potensi kearifan
lokal dalam pendidikan seks generasi melalui pagelaran Wayang Cenk
Blonk dan cara mengimplementasikannya di Pasraman masing-masing
Desa Adat atau Desa Dinas.
4. Bagi Generasi muda, sebagai tambahan informasi mengenai potensi
kearifan lokal dalam pendidikan seks generasi muda Hindu di Bali melalui
pagelaran Wayang Cenk Blonk dan cara mengimplementasikannya di
lingkungan keluarga (informal) yakni melalui Konsep Satsangga,
lingkungan sekolah (formal) melalui Kemah Sadhana, dan lingkungan
masyarakat (nonformal) yaitu melalui Pasraman.
5. Bagi penulis, dapat dijadikan sumber referensi untuk menambah
pengetahuan dan pemahaman secara lebih mendalam dan komprehensif
mengenai potensi kearifan lokal dalam pendidikan seks generasi muda
Bali melalui pagelaran Wayang Cenk Blonk dan cara
mengimplementasikannya.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Pendidikan Seks
Pendidikan seksual adalah suatu kegiatan pendidikan yang berusaha
untuk memberikan pengetahuan agar masyarakat khususnya remaja dapat
mengubah perilaku seksualnya ke arah yang lebih bertanggung jawab (Arma,
2007). Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang
dapat menolong muda-mudi untuk menghadapi masalah hidup yang
bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan seksual ini
bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks
dan seksualitas dalam bentuk yang wajar (Mutadin, 2002).
Pendidikan seksual yang diberikan dapat berupa dalam bentuk
pendidikan kesehatan reproduksi remaja (PKRR). Materi PKRR meliputi
pertumbuhan dan perkembangan remaja, perkembangan seksual remaja,
kebersihan organ reproduksi, perilaku seksual beresiko, pergaulan bebas,
PMS dan HIV/AIDS, pelecehan seksual, kehamilan dan persalinan, serta hak
reproduksi remaja (Arma, 2007).
Pendidikan seksual selain menerangkan tentang aspek anatomis dan
biologis juga menerangkan tentang aspek psikologis dan moral. Pendidikan
seksual yang baik harus memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia, nilai
kultur dan agama, sebagai pendidikan akhlak dan moral (Mutadin, 2002).
Tujuan pendidikan seksual adalah menciptakan sikap yang sehat
dilakukan di rumah, sekolah maupun di masyarakat salah satunya melalui
tempat ibadah. Di sini peranan orang tua dan masyarakat sangat diperlukan,
terutama untuk dapat memberikan informasi kepada remaja mengenai
kesehatan reproduksi dan apa saja yang harus dilakukan untuk menjaga
kesehatan reproduksi mereka (Abineno, 1999).
Pendidikan seksual bukan seolah-olah menyetujui remaja melakukan
hubungan seksual melainkan bermaksud menanamkan rasa tanggung jawab
dikalangan remaja tentang perilaku seksualnya dan kesehatan reproduksinya
(BKKBN, 2005).
Menurut Mutadin (2002), pendidikan seksual bertujuan untuk
membentuk sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual dan
membimbing anak dan remaja ke arah hidup dewasa yang sehat dan
bertanggung jawab terhadap kehidupan seksualnya. Hal ini dimaksudkan agar
mereka tidak menganggap seks itu suatu yang menjijikan dan kotor, tetapi
lebih sebagai bawaan manusia, yang merupakan anugrah Tuhan dan
berfungsi penting untuk kelanggengan kehidupan manusia, dan supaya
anak-anak itu bisa belajar menghargai kemampuan seksualnya dan hanya
menyalurkan dorongan tersebut untuk tujuan tertentu (yang baik) dan pada
waktu yang tertentu saja.
2.2. Wayang Cenk Blonk
Belayu adalah nama sebuah desa di Bali Selatan yang secara
administratif masuk dalam wilayah kabupaten Tabanan, dimana wayang ini
dibidani oleh seorang dalang bernama Nardayana. Pementasannya sudah
memakai nama Cenk Blonk sebagai trade mark serta disertai pula dengan inovasi-inovasi kreatif. Inovasi tersebut mencakup perihal teknis pementasan
dan penokohan. Kedua hal inilah yang pada akhirnya membawa ciri khas
tersendiri pada Cenk Blonk (Kayam, 2001:151).
Cenk Blonk sendiri selain merupakan trade mark sekaligus juga nama
dua karakter kreasi dari sang dalang. Cenk dan Blonk adalah rakyat biasa
yang tidak berperan sebagai punakawan atau abdi dalem. Nardayana
mencipta dua tokoh rekaan ini dengan tujuan memberi ciri khas wayangnya
dan memang justru kehadiran dua karakter ini yang ditunggu-tunggu oleh
para penonton.
Dalam hal teknis pertunjukannya wayang Cenk Blonk Naradayana
mengganti gamelan gender sederhana yang dipakai dalam pementasan
wayang kulit Bali konvensional dengan seperangkat lengkap gamelan Bali
seperti dalam teater rakyat Drama Gong. Penambahan personel pemain
gamelan adalah hal baru bagi wayang di Bali. Dalam hal lighting, Naradayana
memakai lampu multi warna seperti lampu disko disamping lampu blencong
tradisional. Dari sisi narasi, cerita yang diangkat oleh sang dalang Nardayana
dapat digolongkan sebagai cerita carangan. Cerita carangan adalah hasil
kreatifitas dalang yang kadang-kadang tidak ada dalam cerita induk (Ismaun
& Martono, 1989/1990:18).
Menggarisbawahi kembali peranan seni pertunjukan sebagai media
penerangan dan sosialisasi, maka dalam kesenian wayang kulit pesan-pesan
punakawan sangat pas untuk berperan sebagai sosialisator. Pertama, mereka
adalah karakter yang merepresentasikan figur-figur rakyat sehingga jika
pendidikan disampaikan lewat peran mereka maka diharapkan penonton cepat
mengerti dan mencernanya (Sujarno dkk, 2003:54). Selain itu, menimbang
audiens, wayang yang notabene adalah rakyat jelata dan masyarakat
tradisional maka dialog dalam bahasa punakawan mencipta diskusi wacana
dalam rangka proses edukasi lewat bahasa yang dimengerti rakyat. Hal ini
adalah sesuatu yang tidak didapatkan dalam seni pertunjukan modern.
Sebagai media untuk pendidikan seks, memang dengan bentuk
kesenian tradisional sungguh tepat. Masyarakat Indonesia yang menganut
paham paternalistik tentu sangat tabu apabila diajak berbicara masalah seks.
Media yang sangat tepat untuk menyalurkan pendidikan seks ini adalah
melalui kesenian tradisional, dengan jalan melaui tokoh-tokoh yang
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Latar Belakang Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Semarapura, Kabupaten
Klungkung, Bali. Penelitian ini dilakukan selama 3 hari yaitu tanggal 29
Maret sampai 31 Maret 2012.
3.2. Jenis Penelitian
Berdasarkan tujuannya, penelitian ini tergolong penelitian deskriptif.
Penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha
menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya.
Dalam penelitian ini akan dideskripsikan bagaimana potensi pagelaran
Wayang Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu
di Bali serta langkah-langkah konkrit pengimplementasiannya.
3.3. Metode Pengumpulan Data
Sesuai dengan tujuan penelitian, data yang diperlukan dalam
penelitian ini dikumpulkan dengan metode kuisioner. Kuisioner yang dibuat
merupakan kuisioner tertutup. Kuisioner tertutup yakni kuisioner yang
menyediakan alternatif jawaban yang dapat dipilih oleh responden antara
lain, sebagai berikut.
1. Apakah Anda merasa bosan saat mengikuti seminar atau sosialisasi
2. Apakah Anda merasa perlu dibuat suatu wadah yang lebih inovatif
dalam penyuluhan mengenai pendidikan seks?
3. Apakah Anda menyukai pagelaran Wayang Cenk Blonk?
4. Apakah Anda setuju jika pagelaran Wayang Cenk Blonk digunakan
sebagai media pendidikan seks?
3.4. Responden Penelitian
Responden yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah sebanyak 100
responden. Para responden dipilih penulis secara acak tanpa
memperhitungkan profesi maupun umur dari masing-masing responden.
3.5. Metode Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul tidak ada gunanya jika tidak diolah.
Pengolahan data merupakan bagian yang amat penting dalam penelitian
karena dengan pengolahan data, data tersebut dapat diberi arti dan makna
yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian.
Data dalam penelitian ini diolah secara deskriptif kualitatif yang
diawali dengan proses editing, mengkode data atau mengkodefikasi data dan
membuat tabulasi. Editing dilakukan untuk memperbaiki kualitas data serta
menghilangkan keragu-raguan atas data yang telah diberikan oleh responden.
Pengkodean dilakukan untuk memudahkan dalam mengumpulkan jawaban
dari para responden yang diikuti dengan proses tabulasi data yakni
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan dengan metode
kuisioner terhadap 100 responden di Kota Semarapura, Kabupaten
Klungkung, Bali, diperoleh 70 kuisioner yang kembali dengan data-data
sebagai berikut:
1. Pertanyaan Pertama
No. Jawaban Frekuensi
1. Ya 37
2. Tidak 33
Total 70
2. Pertanyaan Kedua
No. Jawaban Frekuensi
1. Ya 67
2. Tidak 03
3. Pertanyaan Ketiga
No. Jawaban Frekuensi
1. Ya 64
2. Tidak 06
Total 70
4. Pertanyaan Keempat
No. Jawaban Frekuensi
1. Ya 63
2. Tidak 07
4.2. Pembahasan
Berdasarkan hasil kajian terhadap jenis dan kandungan zat hara pada
beberapa kotoran ternak baik padat maupun cair didapatkan data sebagai
berikut:
4.2.1. Potensi Pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai Media Pendidikan Seks bagi Masyarakat Hindu di Bali.
Pulau Bali sebagai wilayah tujuan wisata dunia terkemuka,
amat rentan bagi penyebaran berbagai penyakit termasuk AIDS.
Masyarakat, khususnya remaja Bali sangat rentan terjangkit penyakit
tersebut. Hal ini dimungkinkan karena mulai terbentuknya rasa ingin
tahu remaja terhadap masalah atau hal yang berbau seksual. Perubahan
perilaku dan anatomi tubuh sudah tentu mengiringi bertambahnya usia.
Saat masa pubertas, remaja cenderung mulai mencoba-coba atau
menyalahgunakan yang belum boleh dilakukan. Remaja yang hamil di
luar nikah, aborsi, PMS atau IMS, dan HIV/AIDS adalah sebagian
remaja sebagai akibat pemahaman yang keliru mengenai permasalahan
seksualitas. Oleh karena pendidikan seks sangat dibutuhkan dalam
rangka meningkatkan pemahaman remaja terhadap permasalahan seks
yang selama ini masih dianggap tabu, malu, dan risih (Sarwono, 1994).
Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang
dapat menolong remaja untuk menghadapi masalah hidup yang
bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan
seksual ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang
berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar.
Menurut Singgih D. Gunarsa (1991), penyampaian materi pendidikan
seksual ini seharusnya diberikan sejak dini ketika anak sudah mulai
bertanya tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan orang lain,
berkesinambungan dan bertahap serta disesuaikan dengan kebutuhan
dan umur anak serta daya tangkap anak.
Dalam hal ini pendidikan seksual idealnya diberikan pertama
kali oleh orangtua di lingkungan keluarga (informal), mengingat yang
paling tahu keadaan anak adalah orangtuanya sendiri, dan tentunya
dibantu oleh pemahaman di tingkat sekolah (formal) dan masyarakat
(nonformal). Tetapi sayangnya di Indonesia khususnya Bali, tidak
semua orangtua mau terbuka terhadap anak di dalam membicarakan
permasalahan seksual ini. Agaknya masih timbul pro kontra, lantaran
adanya pandangan stereotype dengan pendidikan seks seolah sebagai suatu hal yang vulgar dan malah mendukung anak untuk berhubungan
pendidikan yang heterogen di Indonesia menyebabkan ada orang tua
yang mau dan mampu memberikan penerangan tentang seks tetapi
lebih banyak yang tidak mampu dan tidak memahami permasalahan
tersebut. Dalam hal ini maka sebenarnya peran dunia pendidikan juga
sangatlah besar. Dengan adanya pendidikan seks bagi remaja,
diharapkan remaja dapat menempatkan seks pada perspektif yang
tepat, dan mencoba mengubah anggapan negatif tentang seks.
Langkah sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan
memberikan pendidikan seks (sex education) yang berbasis kearifan
lokal dan berbau agama. Seperti yang dikutip dalam salah satu sloka
kitab Slokantara, bab 48, sloka 22 bahwasannya memberikan
tuntunan pendidikan seksual anak dan remaja bernuansa agama dan
budaya sangatlah tepat, yakni semenjak usia awal hingga usia remaja
perlu dilakukan (Sudharta, 1997). Di Bali sendiri telah ada
potensi-potensi dari kearifan lokal sebagai bagian dari pendidikan remaja
Hindu yang dapat mendukung sex education, salah satunya adalah “Konsep Satsangga”. Konsep Satsangga sangat berkaitan dengan
pendidikan budi pekerti dan karakter di Bali. Pendidikan yang
diberikan, diproritaskan pada jalur pendidikan informal seperti dalam
keluarga serta lewat lembaga-lembaga keagamaan atau
kelompok-kelompok spiritual yang bernuansa Satsangga, yang dikemas dalam
bentuk Pasraman dan Kemah Sadhana. Dalam tradisi Hindu, Konsep Satsangga itu juga dapat berbentuk Sekaa Santi atau Dharma Gita,
Dharma Tula, kelompok ceramah atau Dharma Wacana, perkumpulan
yoga, meditasi, dan sejenisnya, yang dimaksudkan untuk meredam
bergejolaknya hawa nafsu bagi remaja Hindu di Bali (Wiana, 2011).
Hal itulah yang hendaknya didorong untuk tumbuh dan berkembang
sehingga menciptakan iklim yang kondusif untuk memajukan proses
Satsangga di dalam kehidupan. Namun, sejalan dengan perkembangan
zaman dan kecenderungan untuk menghargai pandangan-pandangan
barat, khususnya dalam pendidikan seksualitas, pandangan tradisional
seperti yang tercantum dalam Slokantara cenderung dilupakan. Oleh karena itu, dalam usaha mengembangkan Konsep Satsangga di
Pasraman dan Kemah Sadhana, sangat diperlurkan suatu inovasi dan
kreativitas agar dalam usaha pemenuhan materi pendidikan seks
mudah diterima oleh masyarakat luas khususnya remaja Hindu di Bali,
seperti kolaborasi antara pendidikan seks dengan kesenian
kontemporer Wayang Cenk Blonk (WCB).
Wayang Cenk Blonk merupakan pertunjukkan wayang yang
menggabungkan antara seni wayang tradisional dengan kreativitas
modern. Wayang ini pertama kali dikembangkan oleh I Wayan
Nardayana sekitar tahun 1997-1998 di daerah Blayu Kabupaten
Tabanan. Wayang yang sebelumnya bernama Gita Loka ini berbeda
dengan wayang pada umumnya, karena bahasa yang digunakan lebih
banyak dengan bahasa sehari-hari. Selain itu, wayang ini seringkali
kontemporer sehingga cerita yang disajikan tidak hanya terbatas pada
pakem pewayangan yang telah berlaku.
Tokoh utama dalam Wayang Cenk Blonk adalah Nang
Klenceng dan Nang Ceblong yang sekaligus merupakan asal mula dari
nama pertunjukkan wayang ini. Kedua tokoh utama tersebut
merupakan tokoh punakawan yang merepresentasikan rakyat biasa
pada kehidupan modern saat ini (Arief, 2004) sehingga dialog antar
tokoh kebanyakan disajikan dalam bahasa punakawan yang dapat
menciptakan diskusi wacana dalam proses edukasi termasuk sex education yang mudah dimengerti masyarakat.
Permainan bahasa dalam pagelaran Wayang Cenk Blonk
tersebut memiliki berbagai fungsi yang berkaitan dengan pendidikan.
Dalam kajian linguistik kebudayaan antara bentuk, fungsi, dan makna
ada benang merah yang menghubungkan satu sama lainnya. Hubungan
sebab akibat yang logis tampak dari bentuk, fungsi, dan makna dari
sebuah tuturan. Artinya komponen bentuk menyediakan dan
memberikan peluang untuk mengemukakan eksistensi komponen
fungsi. Adapun fungsi pagelaran Wayang Cenk Blonk yang
mendukung terselenggaranya pendidikan seks meliputi pertama fungsi
menghibur, tokoh punakawan menjadi pusat hiburan karena pada
tokoh-tokoh inilah dalang memiliki hak untuk menggunakan dan
menghasilkan bahasa-bahasa kreatif, baik demi keindahan maupun
menghasilkan efek-efek jenaka sebagai humor yang dapat menghibur
Wayang Cenk Blonk agar sebuah informasi dapat diterima dengan baik
oleh pendengarnya, dalang biasanya menyelipkan
permainan-permainan bahasa yang sifatnya menghibur pada dialog-dialog
punakawan yang berfungsi informatif di samping itu unsur humor atau
lelucon diselipkan agar pendengar tertarik dan jika sudah tertarik,
otomatis pesan yang sebenarnya ingin disampaikan dapat diterima.
Fungsi ketiga adalah fungsi mendidik, dalam Wayang Cenk Blonk
tokoh punakawan yang memiliki konvensi berbahasa bebas
dimanfaatkan para dalang dalam mentransmisikan nilai-nilai mendidik,
baik dengan anjuran, ajakan, suruhan, pengarahan, pembiasaan,
maupun pemberian contoh yang harus dijauhi dengan menggunakan
bahasa yang lugas.
Selain itu, penggunaan huruf ‘K’ sebagai pengganti huruf ‘G’
pada nama Nang Klenceng (Cenk) dan Nang Ceblong (Blonk)
menunjukkan bahwa wayang ini bersifat fleksibel terhadap
perkembangan zaman (Sulistyowati, 2010). Hal tersebut dapat lebih
menarik minat masyarakat terhadap seni pertunjukkan tersebut
sehingga pendidikan seksualitas yang umumnya disajikan dalam
bentuk seminar, saat ini dapat dikemas secara lebih atraktif melalui
pagelaran Wayang Cenk Blonk.
Pagelaran Wayang Cenk Blonk merupakan media yang efektif
dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS dengan sex education terutama melalui Konsep Satsangga. Penggunaan Wayang Cenk Blonk
keagamaan yaitru pasraman dan kemah sadhana. Potensi pasraman dan
kemah sadhana dalam pengembangan kearifan lokal Bali melalui
pagelaran Wayang Cenk Blonk untuk mendukung terselenggaranya
pendidikan seksualitas khususnya bagi remaja Hindu dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 4.2.1 Potensi Pasraman dan Kemah Sadhana dalam Pengembangan Kearifan Lokal Bali melalui Pagelaran Wayang Cenk Blonk.
No. Wadah Potensi
1. Pasraman
Keberadaan pasraman merupakan wadah untuk mengembangkan dan membentuk budi pekerti khususnya bagi generasi muda di tengah persaingan global dan gempuran teknologi informasi (Jelantik dan Manuaba, 2010).
Pendidikan melalui pasraman dinilai sangat potensial dalam pembangunan manusia seutuhnya dan merupakan investasi kemanusiaan jangka panjang. Pasraman dapat difungsikan sebagai pelengkap pendidikan formal yang notabena hanya menekankan aspek intelegensia dibandingkan aspek emosional dan spiritualitas.
Kegiatan-kegiatan dalam pasraman yang penuh dengan nuansa religius sangat tepat untuk dijadikan sebagai ajang pendidikan khususnya pendidikan seks bagi remaja terutama melalui ajaran-ajaran agama yang diimplementasikan dalam berbagai kegiatan di pasraman. Ditambah lagi sistem ashram yang umumnya diterapkan dalam pasraman menggambarkan hubungan akrab antara para guru (acarya) dengan para siswanya bagaikan dalam sebuah keluarga sehingga dalam pemberian penyuluhan tentang sex education yang bertujuan untuk mencegah penyebarluasan penyakit HIV/AIDS, para siswa atau peserta pasraman akan merasa lebih nyaman untuk menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hal tersebut.
2. Kemah Sadhana Pembelajaran melalui media seperti kemah sadhana semakin diperlukan saat ini karena terkadang saat berada di lingkungan keluarga, orangtua cenderung enggan untuk membahas mengenai seksualitas dan seringkali saat mengajukan pertanyaan tentang pendidikan seks, anak hanya mendapat jawaban “nak mula keto” (memang sudah begitu) dari orangtua sehingga wawasan anak tentang pentingnya sex education tidak akan terbuka. Kemah sadhana lebih menekankan pada sadhana yaitu pengendalian diri terutama disiplin diri dalam hidup bermasyarakat.
Pada kemah tersebut dicoba untuk lebih membuka wawasan peserta tentang hidup yang bersih dan sehat baik secara jasmani maupun rohani. Kegiatan perkemahan tersebut tentu mendukung pelaksanaan pendidikan seksualitas terutama bagi remaja yang menjadi peserta perkemahan. Penerapan Konsep Satsangga yang sejalan dengan tujuan diadakannya kemah sadhana yaitu untuk pengendalian diri semakin mempermudah pengintegrasian antara keduanya. Seperti pada pasraman, dalam kemah sadhana peserta diajak ikut serta secara aktif dalam berbagai kegiatan kerohanian. Adanya pembimbing yang telah memahami ajaran-ajaran agama juga semakin mempermudah akses peserta dalam membahas pengetahuan agama baik yang berkaitan dengan tingkah laku dan moral hingga pada kesehatan seks peserta.
Hal itu diharapakan dapat menumbuhkan pemahaman peserta dalam menanggapi isu-isu sosial seperti semakin menyebarluasnya HIV/AIDS sehingga kemungkinan terburuk dapat dicegah. Selain berkutit dalam pembelajaran agama, peserta kemah sadhana juga diajak untuk menyatu dengan alam melalui kegiatan outbond sehingga peserta tidak akan merasa jenuh selama perkemahan.
Berdasarkan potensi tersebut, maka penyajian konsep-konsep
kearifan lokal Bali seperti Konsep Satsangga dalam mendukung sex
education bagi masyarakat melalui berbagai wadah tradisi dan keagamaan patut dilakukan mengingat pendidikan seks sangat
diperlukan di tengah arus perkembangan zaman. Selain itu, pendidikan
seks yang tepat juga dapat menghindarkan masyarakat khususnya
remaja dari berbagai hal negatif yang tidak diinginkan. Dengan
semakin bertambahnya wawasan masyarakat terkait pendidikan seks
penderita PMS seperti HIV/AIDS sehingga tercipta masyarakat yang
sehat secara fisik serta secara mental dan spiritual.
4.2.2. Cara Mengimplementasikan Pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai Media Pendidikan Seks bagi Masyarakat Hindu di Bali.
Perubahan perilaku sudah tentu mengiringi bertambahnya usia,
termasuk perubahan anatomi tubuh. Saat masa pubertas ini, remaja
cenderung mulai mencoba-coba atau menyalahgunakan yang belum
boleh dilakukan. Misalnya menghisap rokok, narkoba, atau mulai
memcoba melakukan hubungan seksual. Remaja Bali khususnya yang
beragama Hindu, seharusnya diberikan pemahaman bahwa seks
pranikah dilarang dalam agama Hindu. Di dalam ajaran agama Hindu
dikenal adanya tahapan hidup dalam mencapai tujuan hidup. Dalam
kitab Brahma Purana 228.45 dinyatakan, “Dharma artha kama
moksanam sariram sadhanam”. Artinya, Sarira atau badan ini adalah
alat untuk mendapatkan Dharma (kebenaran), Artha (harta lahir maupun batin), Kama (nafsu yang terkontrol), dan Moksa (pelepasan
akhir). Untuk mencapai empat tujuan hidup itu, dalam Kitab Agastya Parwa dinyatakan tentang Catur Asrama yaitu empat tujuan hidup
yakni, Brahmacari (masa menutut ilmu), Grahasta (masa berumah tangga), Wanaprasta, dan Sanyasin (Wijaya, 2009).
Remaja berada dalam tahapan Brahmacari yakni tingkatan hidup manusia pada waktu sedang mengejar atau menuntut
pengetahuan secara lahir dan batin sehingg tidak boleh merindukan
mengendalikan Wisaya Kama dan Sraya Kama (nafsu) untuk beristri
atau bersuami. Nafsu beristri atau bersuami saja tidak boleh, apalagi
melakukan hubungan seks di luar perkawinan. Di dalam Pustaka
Nitisastra dalam bentuk kekawin pada Sargah atau Bab V Sloka 1, dinyatakan sebagai berikut,
Taki-takining semaka guna widya,
tengah i tuwuh san wacana gegonta, patilaring atmeng tamu paguroken.
Artinya:
Seorang pelajar wajib menuntut ilmu pengetahuan dan keutamaan,
Jika sudah berumur dua puluh tahun orang harus kawin,
Jika sudah setengah tua, berpeganglah pada ucapan yang baik,
Hanya tentang lepasnya nyawa kita mesti berguru.
Hal tersebut mengisyaratkan bahwasanya, masa Brahmacari adalah masa yang baik untuk menuntut ilmu pengetahuan (Guna
Widya) bukan untuk mengumbar hawa nafsu (Kama) seperti berhubungan intim atau seks, karena pada masa ini, pikiran yang tajam
hanya ditunjukkan pada kewajiban untuk menuntut ilmu seperti halnya
kehidupan rumput ilalang. Di waktu muda sedang tajam, sedangkan
setelah tua menjadi tumpul. Sehingga pergunakanlah masa muda itu
dengan sebaik-baiknya untuk belajar, guna memperoleh kesempurnaan
Hal ini sejalan dengan prinsip pendidikan seks yang
menyadarkan remaja bahwa seks adalah sah hanya untuk pasangan
suami istri untuk mendapatkan keturunan. Dengan mendapatkan
keturunan melalui perkawinan, merupakan salah satu cara untuk
mengantarkan manusia kembali kepada Tuhan. Oleh karenanya
hubungan seks yang baik dan benar hanya akan dilakukan oleh mereka
yang bersuami-istri atau berumah tangga (Grehastha Asrama).
Di sisi lain perlu ditanamkan pula bahwa akibat seks pranikah
adalah banyak remaja yang batal menyelesaikan studi atau jalur
pendidikan, pada perkawinan di usia muda dalam keadaan belum siap.
Hal ini tentu saja berimbas pada maraknya kasus-kasua HIV/AIDS,
PMS (Penyakit Menular Seksual) atau IMS (Infeksi Menular Seksual)
dan ironisnya lagi menyebabkan semakin maraknya kasus-kasus aborsi
di kalangan pelajar.
Menurut WHO memperkirakan 10-50% kematian ibu
disebabkan oleh aborsi tergantung kondisi masing-masing negara.
Diperkirakan di seluruh dunia setiap tahun dilakukan 20 juta aborsi
tidak aman, 70.000 wanita meninggal akibat aborsi tidak aman dan 1
dari 8 kematian ibu disebabkan oleh aborsi tidak aman. Di wilayah
Asia tenggara, WHO memperkirakan 4,2 juta aborsi dilakukan setiap
tahunnya, di antaranya 750.000 sampai 1,5 juta terjadi di Indonesia.
Perkiraan jumlah aborsi di Indonesia setiap tahunnya cukup beragam.
Hull, Sarwono dan Widyantoro (1993) memperkirakan antara 750.000
studi terbaru yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kesehatan
Universitas Indonesia memperkirakan angka kejadian aborsi di
Indonesia per tahunnya sebesar 2 juta (Utomo, Budi dkk, 2001).
Aborsi yang tidak aman saat ini di Indonesia berkontribusi terhadap
30-50% Angka Kematian Ibu (AKI), ini merupakan yang tertinggi
yang terjadi di ASEAN. Dilihat dari kacamata agama, tentu saja hal ini
merupakan dosa yang amat besar, selain itu dapat pula berisiko
merenggut nyawa remaja itu sendiri. Banyak sekali remaja yang
kehilangan masa depannya karena melakukan seks pranikah khususnya
permasalahan aborsi ini.
Mencegah seks pranikah, para remaja hendaknya dibekali
pendidikan dan pelatihan khusus untuk meredam bergejolaknya hawa
nafsu seks itu. Misalnya dengan mengikuti kegiatan yang bernuansa
kerohanian. Dalam tradisi Hindu kegiatan untuk generasi muda ini
disebut Konsep Satsangga. Kegiatan Satsangga dapat berbentuk Pasraman yang dapat diimplementasikan dalam lingkungan
masyarakat (nonformal) dengan mempergunakan media kesenian
kontemporer Wayang Cenk Blonk serta Kemah Sadhana yang dapat
diimplementasikan dalam lingkungan sekolah (formal). Untuk tidak
menghilangkang sisi budaya dan agama dalam kegiatan Pasraman dan
Kemah Sadhana tetap berpegang teguh pada tradisi dalam
penyampaian materi, seperti menerapkan konsep Sad Dharma yang meliputi, Dharma Wacana, Dharma Gita, Dharma Tula, Dharma
mengenai kegiatan dalam Pasraman dan Kemah Sadhana yang
dikemas dengan mempergunakan konsep Sad Dharma serta kaitannya
dengan Pendidikan Seks (sex education).
1. Dharma Wacana bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan untuk penghayatan dan pengamalan kedalam rohani umat serta
mutu bhaktinya kepada agama, masyarakat, bangsa dan negara
dalam rangka peningkatan Dharma Agama dan Dharma Negara.
Materi Dharma Wacana yang dapat disampaikan pada setiap
kesempatan yang ada, pada dasarnya meliputi semua aspek ajaran
agama Hindu yang dikaitkan dengan kehidupan. Salah satu contoh
adalah, narasumber dapat menyelipkan beberapa pandangan agama
Hindu mengenai permasalahan HIV/AIDS dan Pendidikan Seks
serta hubungannya dengan masa Brahmacari. Penyampaian materi
tersebut disesuaikan dengan jenis kegiatan seperti kegiatan
persembahyangan, resepsi perkawinan, kegiatan pertemuan
keluarga dan sejenisnya dengan mengungkap beberapa sloka atau
ayat kitab suci yang relevan dengan tema tersebut.
2. Dharma Tula dimaksudkan sebagai metode pendalaman ajaran-ajaran agama Hindu melalui peningkatan peran serta yang aktif dari
semua peserta. Kegiatan Dharma Tula sesuai dengan tingkat umur
remaja dan dewasa. Oleh karena itu, melalui metode ini setiap
peserta akan memperoleh kesempatan mengemukankan
pendapatnya atau sebaliknya menerima pendapat dari orang lain
dengan dilandasi sikap tenggang rasa dan rasa dan kekeluargaan.
Materi Dharma Tula akan sangat baik apabila dapat diambil
diketengahkan dari jenis materi yang sesuai dengan tingkat
pemahaman serta permasalahan yang dihadapi oleh kelompok yang
akan membahasnya. Misalnya dalam kelompok remaja dapat
diketengahkan materi ajaran agama Hindu yang berkaitan dengan
kehidupan dan permasalahan remaja seperti contoh Pendidikan seks
yang berhubungan dengan HIV/AIDS. Sedangkan dalam
pelaksanaannya dapat dikaitkan dengan kegiatan menyambut atau
merayakan hari-hari raya keagamaan, seperti Saraswati, Galungan,
Kuningan, Siwaratri, Nyepi dan sebagainya. Untuk tidak terlalu
banyak menyita waktu dapat dilaksanakan setelah selesainya
persembahyangan bersama atau pada hari-hari libur yang khusus
dimanfaatkan untuk itu.
3. Dharma Sadhana artinya realisasi ajaran dharma dalam diri seseorang. Ini dapat dilaksanakan melalui catur yoga marga yakni,
Bhakti, Karma, Jnana dan Raja atau Yoga Marga secara terpadu, bulat dan utuh, namun pemakaiannya sesuai dengan jalannya Catur
Asrama. Dalam Dharma Sadhana ini lebih terfokuskan pada pengimplementasian jenjang kehidupan (Catur Asrama) seperti
melaksanakan Dharma Sedhana berupa latihan-latihan rohani secara
sistematis dan praktis bertujuan untuk membina mengembangkan
dan memupuk keluhuran budi pekerti serta kesucian peribadi
semakin mantap, kokoh dan ajeg, sebagai warga negara yang
berpancasila. Materi Dharma Sedhana pada dasarnya berorientasi
pada disiplin hidup pribadi seperti, Tapa, Bratha, Yoga dan
Semadhi. Untuk itu perlu disusun suatu pedoman yang sedemikian rupa dan praktis serta dapat dilakukan oleh setiap umat menurut
tingkatan umur, fungsi dan profesinya masing-masing. Pada masa
Brahmacari yang merupakan masa belajar atau masa menuntut ilmu
atau pendidikan baik secara formal maupun nonformal. Dalam
tahap ini para remaja akan diajak untuk lebih mengendalikan hawa
nafsu dengan melaksanakan Tapa (tidak berpikir untuk melaksanakan hubungan seks).
4. Dharma Yatra mempunyai pengertian yang hampir sama dengan Tirta Yatra yakni usaha untuk meningkatkan pemahaman dan
pengamalan ajaran Agama Hindu melalui kunjungan untuk
persembahyangan ketempat-tempat suci, patirtan baik yang
bertempat di pegunungan atau di tepi pantai. Untuk meningkatkan
kesucian pribadi serta keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa atau
Hyang Widhi Wasa, memperluas cakrawala memandang
keagungan-Nya, mengagumi alam semesta dan ciptaannya sehingga
semakin teguh untuk mengamalkan ajaran dharma. Dharma Yatra
sangat baik dilakukan pada hari-hari raya keagamaan atau
upacara-upacara persembahyangan pada pura atau tempat suci. Dapat juga
dilaksanakan pada hari-hari libur sekolah sambil melaksanakan
Yatra dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap Tuhan
dan segenap ciptaannya sehingga menimbulkan perasaan takut dan
bersalah jika berbuat dosa, seperti melakukan perzinahan (hubungan
seks diluar pernikahan) dan kegiatan yang melanggar ajaran agama
Hindu.
5. Para remaja juga diajarkan mengenai pemahaman akan upacara dan
upakara yang ada yang di Bali. Hal ini dikarenakan bahwa setiap
Ritual atau upacara suci yang diwariskan leluhur ini bukan hanya
sebuah ritual atau prosesi belaka akan tetapi memiliki nilai dan
makna yang mendalam. Salah satunya adalah, upacara Ngeraja Singa dan Ngeraja Sewala. Upacara Ngeraja Singa untuk laki-laki.
Prosesi ini dilakukan saat anak laki-laki menginjak dewasa atau
telah menunjukkan perubahan (gembakin), buah jakun mulai
kelihatan, dan seterusnya. Sedangkan Ngeraja Sewala untuk wanita
dilakukan setelah mengalami mestruasi pertama. Ritual suci yang
diwariskan leluhur ini bukan hanya sebagai ritual atau prosesi
belaka pada Sang Hyang Semara Ratih. Tapi disinilah peran Guru Rupaka (orang tua) untuk memberikan penjelasan penjelasan masa
pubertas, pendidikan seks, mengapa terjadi perubahan organ tubuh,
dan pengetahuan tentang IMS termasuk HIV dan AIDS beserta cara
penularan dan pencegahan. Tak kalah pentingnya juga pendidikan
budi pekerti dan karakter untuk bekal.
Demikian beberapa metode pembelajaran atau pendidikan yang
Pembelajaran Satsangga yang dituangkan dalam Pasraman dan Kemah
Sadhana sebaiknya dilaksanakan dalam lingkungan keluarga, sekolah
dan masyarakat agar lebih mudah menyerap pengetahuannya di bidang
pendidikan seks. Metode yang diuraikan diatas juga dapat
dikombinasikan dengan metode pembinaan yang lainnya, tergantung
pada situasi dan kondisi umat yang dibina. Berikut ini merupakan
salah satu contoh rancangan kegiatan dari pengimplementasian konsep
Satsangga, dalam lingkungan keluarga (informal).
Tabel. 4.2.2.1 Rancangan Kegiatan Pendidikan Seks di Lingkungan Keluarga Melalui Konsep Satsangga dan Wayang Cenk Blonk
No. Jenis Kegiatan Implementasi Tujuan
1. Dharma
Wacana
Memberikan ceramah atau nasehat Agama Hindu dengan tema Catur Asrama khususnya
pada masa Brahmacari serta
menghubungkannya dengan pendidikan seks (sex education).
Anak dapat
mengetahui per-masalahan seksualitas serta kaitannya dengan Catur Asrama.
2. Dharma Tula
Mengadakan diskusi atau bertimbang wirasa dengan mengangkat tema Catur Asrama dan hubungannya dengan kasus aborsi dan HIV/AIDS serta akibat yang ditibulkannya atau Kharma Phala. Kegiatan dapat dilaksanakan pada sela waktu tenggang, misalnya pada hari libur keluarga ataupun pada saat hari-hari suci keagamaan. Seperti pada saat perayaan Nyepi, orang tua dapat proses kedekatan anak dengan orang tua.
3. Dharma
Sadhana
1. Mengajak anak untuk melaksanakan Meditasi atau Yoga.
2. Mengajak anak untuk menonton Wayang Cenk Blonk dengan cerita atau tema yang memiliki hubungan dengan pendidikan seks dan bernilai moral tinggi. Contoh, menonton VCD Wayang Cenk Blonk yang berjudul ”Ludra Murti”. Dalam cerita tersebut diungkapkan pelesetan ”AIDS” yang sesungguhnya merupakan singkatan dari Aquired Immune Deficiency Syndrome menjadi ”Akibat Itunya Dimasukkan
Sembarangan” yang menghasilkan sebuah kelakar permainan bahasa yang mengundang tawa pendengarnya. Tidak banyak masyarakat Bali yang mengetahui singkatan asli AIDS, tetapi masyarakat Bali telah memiliki imajeri bahwa AIDS merupakan salah satu penyakit mematikan karena seks bebas sehingga kebermaknaan pelesetan yang terlontar langsung dapat diterima secara menyeluruh (Redjasa, I Ketut, 2001).
3. Belajar membuat sarana upakara serta mencari makna yang terkandung di dalamnnya. Pada kegiatan-kegiatan Yadnya atau upacara agama yang memiliki keterkaitan dengan Pendidikan Seks, (sex education) sepeti,
1. Upacara Ngeraja Singa (untuk laki-laki) dan Ngeraja Suwala (untuk perempuan) yakni prosesi yang dilakukan disaat anak telah menginjak dewasa atau telah menunjukkan adanya perubahan sekunder maupun primer (gembakin).
2. Upacara Kala Badeg yakni upacara perkawinan khas daerah Sesetan, Kabupaten Badung, dengan membuat media perkawinan yang berupa wayang-wayangan dalam versi yang lebih besar serta,
3. Upacara Mepandes atau Potong Gigi yang memiliki filosofi untuk meredam gejolak Sad Ripu atau enam musuh dalam diri manusia salah satunya hawa nafsu atau Kama.
Melaksanakan persembahyangan ke pura-pura atau tempat suci setempat. Seperti contoh, melaksanakan persembahyangan bersama kelurga ke pura Kawitan, Dadia dan Ibu.
Menumbuhkan rasa cinta terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
Di samping kegiatan di atas, orang tua juga dapat mengajarkan
yang berbau positif seperti melaksanakan kegiatan Dharma Gita yakni
membentuk Sekaa Santi dalam keluarga. Kegiatan ini berupa, makidung, makakawin, magaguritan, atau mamutru. Dharma Gita
sebagai media untuk menyampaikan dan memperdalam keyakinan
beragama sangat efektif. Dalam lingkungan dapat dibentuk Sekaa
Santhi yang mana pesertanya merupakan anggota keluarga, khususnya
remaja. Oleh karena itu penyampaian materi ajaran dijalin sedemikian
rupa, dalam bentuk lagu atau irama yang indah dan menawan,
mempesona pembaca dan pendengarnya. Selain itu melalui Dharma
Gita diharapkan mampu memberikan sentuhan rasa kesucian
kekhidmatan serta kekhusukan dalam pelaksanaan kegiatan
keagamaan, sehingga akan memunculkan rasa positif dalam diri.
Penggunaan bahasa komunikasi juga harus diperhitungkan, karena hal
ini sangat berdampak pada psikologis anak. Orang tua dapat
menggunakan bahasa komunikasi yang “sehat dan kaya”.
Pendidikan seks terutama pendalaman mengenai permasalahan
HIV/AIDS dan Kesehatan Reproduksi sudah seharusnya diberikan
kepada anak-anak yang sudah beranjak dewasa atau remaja, seperti
melalui pendidikan sekolah (formal). Berdasarkan kesepakatan
internasional di Kairo tahun 1994 (The Cairo Consensus) pendidikan
seks ini sangat penting diberikan untuk mencegah terjadinya
perbuatan-perbuatan diluar norma khususnya diberikan dalam
lingkungan formal sekolah. Pendidikan seks yang disampaikan tidak
Olahraga dan Kesehatan (Penjasorkes) tetapi akan lebih baik apabila
pendidikan seks dapat dipadukan dengan pembelajaran Agama, Budi
Pekerti serta Bimbingan Konseling. Seperti, mengadakan kegiatan
Kemah Sadhana (Sadhana Camp) di lingkungan sekolah, yang bekerjasama atau bermitra dengan KSPAN (Kelompok Siswa Peduli
AIDS dan Narkoba) ataupun PIK-KRR (Pusat Informasi dan
Konseling, Kesehatan Reproduksi Remaja) dengan mempergunakan
Wayang Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks yang
menyenangkan penuh dengan inovasi, kreatif dan atraktif. Pemahaman
mengenai Kemah Sadhana sesungguhnya hal baru dan sering dikaitkan
dengan Pasraman Kilat atau Pesantren Kilat yang merupakan bagian
dari kegiatan diluar jam sekolah. Oleh karena itu, dalam
implementasinya sebaiknya dilaksanakan pada saat liburan selama
kurang lebih 3 sampai 4 hari, agar tidak menggangu proses belajar
siswa. Kegiatan Kemah Sadhana diawali dengan perekrutan anggota,
dan pembentukan kelompok (secara tidak langsung dapat belajar
menjadi seorang pemimpin). Melalui Kemah Sadhana pun secara tidak
langsung remaja dapat memahami tentang konsep Pendidikan
Karakter, karena sebagian besar implementasi dari Kemah Sadhana
berkaitan pula dengan 9 Pilar Pendidikan Karakter Bangsa ( Mantik,
Agus, 2007).
Tabel. 4.2.2.2 Rancangan Kegiatan Pendidikan Seks di Kemah Sadhana Melalui Media Wayang Cenk Bonk
Kegiatan
1.
Dharma Wacana
Dewan Pendidik atau Tutor dapat mengkolaborasikan antara pendidikan seks pada materi Catur Asrama (empat jenjang hidup manusia), Catur Purusartha (empat tujuan hidup manusia yang terdiri dari, Dharma. Artha. Kama
dan Moksa), Wiwahan
(Pernikahan), Susila (etika dalam bertingkah laku), Hukum Kharma Phala.
1. Materi Catur Asrama dan Catur Purusartha dapat dilihat pada pembelajaran Agama Hindu Kelas XII SMA, semester 2.
2. Materi Wiwaha dapat dilihat pada pembelajaran Agama Hindu kelas XII SMA, semester 2.
3. Materi Susila dapat dilihat pada pembelajaran Agama Hindu kelas X dan XI SMA, semester 1 dan 2.
Dharma Gita
Membentuk Sekaa Santi dan Sekaa Bleganjur. Kegiatan Sekaa Santi berupa Makidung, Makakawin, Magaguritan, atau Mamutru. Sekaa Santi dan Sekaa Bleganjur di bentuk untuk mengiringi pementasan Wayang Cenk Blonk. Dharma Gita sebagai media untuk menyampaikan dan memperdalam keyakinan beragama yang sangat efektif.
2.
Dharma Tula
Mengadakan kegiatan diskusi atau bertimbang wirasa seputar Hukum Kharma Phala yang dikatikan dengan kasus aborsi dan HIV/AIDS.
Kegiatan ini dapat diberikan disela-sela penyampaian materi Kharma Phala (hasil dari perbuatan seseorang)
Dharma Sadhana
1. Belajar membuat sarana upakara serta mencari makna yang terkandung di dalamnnya. Pada kegiatan-kegiatan Yadnya atau upacara agama yang memiliki keterkaitan dengan Pendidikan Seks, (sex education) sepeti,
Praktik membuat sarana upakara, upacara Ngeraja Singa (untuk laki-laki) dan Ngeraja Suwala (untuk perempuan) yakni prosesi yang dilakukan disaat anak telah menginjak dewasa atau telah menunjukkan adanya perubahan sekunder maupun primer (gembakin).
3.
Dharma Sadhana
1. Menonton pementasan Wayang Cenk Blonk dengan cerita yang memiliki keterkaitan dengan pendidikan seks. 2. Mengadakan malam renungan
melalui kegiatan Homa yakni upacara korban api (apu unggu secara suci) dengan tujuan:
Menghidari penderitaan emosional (Artah).
Memperoleh keuntungan pikiran (Artharthi).
Memperoleh kepuasan
intelektual (Jijnasuh).
Memperoleh kebijakan, terutama meredam hawa nafsu (Jnani).
Untuk memaksimalkan kegiatan pementasan Wayang Cenk Blonk, sebelumnya telah dibentuk Sekaa atau Perkumpulan Pecinta Wayang Cenk Blonk (SPWCB) di lingkungan
sekolah. Dengan
mempergunakan media sederhana hasil swadaya peserta Kemah Sadhana.
Dharma Yatra
Mengadakan persembahyangan dan bakti sosial ke pura-pura setempat untuk meningkatkan Sradha Bakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga menimbulkan rasa bersalah apabila berbuat dosa. Disamping itu dapat mengadakan kegiatan yoga atau meditasi bersama untuk mencari ketenangan batin.
4 Dharma
Santhi
1. Mengadakan perlombaan yang berhubungan dengan materi yang telah disampaikan, seperti:
Lomba Cerdas Cermat (LCC) seputar Pendidikan Seks.
Lomba Cipta Sastra, baik berupa lagu, cerpen dan puisi.
Lomba Dharma Wacana atau Ceramah dan Berpidato.
Lomba Membuat sarana upakara Ngeraja Singa dan Ngeraja Swala atau Munggah Deha.
Putri : Banten Pabyakala, Banten Prayascita, Banten Dapetan, Banten Sesayut Tabuh Rah, dan Banten Padedarian (dapat dipilih sesuai kemauan).
Putra : Banten Sesayut Ngraja Singa, membuat Ancak, dan Sanggah Cucuk (dapat dipilih sesuai kemauan).
Lomba eksibhisi atau peragaan menjadi dalang.
2. Mengadakan silaturahmi kepada peserta Pasraman serta mengadakan kunjungan silaturahmi ke ODHA (Orang dengan HIV/AIDS), sebagai wujud rasa solidaritas dan rasa kemanusiaan (humanisme). Untuk mendukung kegiatan tersebut dapat dibentuk KDS (Kelompok Dukung Sebaya) yang bertujuan untuk memberikan dukungan atau motivasi kepada para penderita HIV/AIDS selain juga memberikan bimbingan konseling.
Sulitnya mencari peserta yang berniat menjadi pedalang cilik
atau pedalang pemula sebagai kunci dalam pementasan Wayang Cenk
suatu kendala klasik dalam menyukseskan gagasan ini. Salah satu hal
yang menjadi penyebabnya adalah, minimnya sarana dan prasarana
yang dimiliki. Seperti, wayang, kropak, musik pengiring serta tidak
kalah penting pendamping dan bakat tentunya. Sehingga, untuk
mengatasi kendala tersebut, sangat dibutuhkan usaha keras, adapaun
beberapa alternatif pilihan yang dapat ditempuh dalam mendukung
gagasan tersebut yakni,
1. Agar dalam kegiatan pementasan Wayang Cenk Blonk bisa
komunikatif, pementasan wayang ini dapat disederhanakan.
Misalnya memakai bahasa gado-gado atau serombotan, bila perlu didominasi oleh penggunaan Bahasa Indonesia atau Bahasa Bali.
2. Iringan musik Wayang Cenk Blonk, tidak perlu banyak. Jika di
sekolah hanya tersedia Sekaa Bleganjur, alat musik tradisional
tersebut dapat digunakan sebagai alternatif pilihan, sehingga
anak-anak dapat ikut terlibat aktif di dalamnya. Sedangkan untuk siden atau penyanyi pengiring, dapat digantikan dengan Sekaa Santi
yang sebelumnya telah dibentuk dalam kegiatan Kemah Sadhana.
3. Untuk waktu pementasan Wayang Cenk Blonk, kurang lebih
berkisar selama 1 jam dengan rincian, 30 menit untuk tampil dan
30 menit untuk tanya jawab. Jadi dalang dapat memperkenalkan
tokoh wayang beserta karakternya sekaligus menyampaikan pesan
moral yang terkandung dalam cerita tersebut, khususnya pada
pendidikan seks (Suparta, Wayan dalam Budi Adnyana, Gede
Perencanaan Kemah Sadhana dapat dilaksanakan melalui urun
rembug, pengorganisasian Kemah Sadhana dilakukan berdasarkan pertimbangan kompetensi, dedikasi dan loyalitas, pengaktifan Kemah
Sadhana dilakukan melalui pemberian support, dana transportasi.
Sedangkan, pengendalian Kemah Sadhana dilakukan dengan
memberikan pembinaan, teguran dan sanksi. Hasil proses
pembelajaran ini hendaknya dapat diaplikasikan tidak saja di
lingkungan sekolah, akan tetapi dalam masyarakat luas juga patut
diterapkan mengingat dunia seni pedalangan kini semakin diminati
masyarakat. Bukan hanya bagi masyarakat Bali, namun mulai banyak
anak muda yang tertarik dengan kesenian Wayang Cenk Blonk ini.
Sejalan dengan kegiatan diatas, dewan pendidik sebagai fasilitator
dapat memberikan materi dengan sebaik mungkin dengan
mengedepankan sisi humanis dan inovatif, seperti mencoba memadukan antara materi yang dibahas dengan mengangkat
kasus-kasus yang relevan terjadi di masyarakat dengan kreatif dan inovatif
sehingga tidak meninggalkan kesan membosakan yang berujung pada
hilangnya motivasi belajar anak. Fasilitator seyogyanya hanya
menasehati dan tidak mencampuri kebebasannya untuk memilih
sendiri. Seperti, figur seorang ibu membimbing anaknya untuk
berjalan. Beliau merentangkan tangannya untuk membantu si anak
agar tidak terjatuh akan tetapi beliau memberikan kesempatan kepada
sang buah hati untuk memilih jalannya dan mengendalikan
Dilihat dari impelemtasinya pendidikan seks melalui media
Wayang Cenk Blonk juga selain dikembangkan di lingkungan sekolah,
juga dapat dikembangkan dalam tataran yang lebih luas, yakni melalui
lingkungan masyarakat (nonformal). Di dalam masyarakat Hindu di
Bali khususnya, di Desa adat, telah ada forum-forum diskusi yang
berpotensi sebagai media dalam memberikan pendidikan seks melalui
Wayang Cenk Blonk, seperti Sekaa Truna (ST). Sekaa Truna
merupakan organisasi pembinaan generasi muda khususnya anak yang
masih berusia sekolah maupun tidak sekolah guna mendalami dan
menerapkan arti dari pentingnya bersosialisasi dalam masyarakat.
Sekaa Truna dapat dipergunakan sebagai media pendidikan seks
bernuansa kerohanian yang dimantapkan melalui pengembangan
program Pasraman di lingkungan masyarakat. Mengingat Pasraman
merupakan sekolah yang bernuansa kerohanian yang berhubungan
dengan pendalaman ajaran agama, khusunya Agama Hindu.
Kegiatan-kegiatan dalam Pasraman yang penuh dengan nuansa religius sangat
tepat untuk dijadikan sebagai ajang pendidikan khusnya pendidikan
seks bagi remaja terutama melalui ajaran-ajaran agama yang
diimplementasikan dalam berbagai kegiatan di Pasraman. Dalam
implementasinya sebagai media pendidikan seks, Pasraman dapat
bekerjasama langsung dengan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS),
PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga), dan Kader Kesehatan
Desa. Adapun model pembelajaran dipergunakan oleh dewan pendidik
Dharma Yatra, Dharma Tula, Dharma Gita, Dharma Sadhana dan
Dharma Santi. Sebagian besar model pembelajaran yang ditawarkan, memiliki keterkaitan dan mendukung dalam pendidikan seks melalui
media Wayang Cenk Blonk, sehingga dapat dikatakan bahwa
pembinaan pendidikan seks melalui Pasraman dapat direalisasikan.
Kesenian Wayang Cenk Blonk memang sangat kaya akan
ungkapan-ungkapan verbal permainan bahasa yang sarat dengan
nilai-nilai filosofi agama dan budaya. Oleh karena itu, Agar sebuah
informasi dapat diterima dengan baik oleh pendengarnya, dalam
pagelaranya dalang dapat lebih menekankan dan menyelipkan
permainan bahasa yang terdapat pada dialog-dialog empat Tokoh
Punakawan Wayang Cenk Blonk yakni, Tualen, Meredah, Sangut,
Delem, Condong, (Tokoh Punakawan perempuan) yang sering dipanggil
dengan sebutan ‘Nyoman’ serta tokoh punakawan kreasi tambahan Nang
Semangat, Nang Ligir, Nang Klenceng, Nang Cenk Blong dan tokoh
punakawan perempuan kreasi Tu Gek. Permainan bahasa ini
sesungguhnya berfungsi sebagai media informasi sekaligus medidik
tetapi dibungkus dengan hiburan. Unsur humor atau lelucon diselipkan
agar pendengar tertarik dan jika sudah tertarik, otomatis pesan yang
sebenarnya ingin disampaikan dapat diterima. Berikut ini contoh
percakapan atau dialog antara Tokoh Mredah dan Tualen yang
membahas mengenai pendidikan seks khusunya singkatan AIDS yang
Tualen : / kelang nanang ngoraang bedikin cai ngalih barang bangka,
pang sing nyanan kene sakit AIDS/ ‘kan ayah bilang jangan
kamu mencari pelacur, agar tidak terkena penyakit AIDS
nanti’
Mredah : /AIDS ento apa? / ‘AIDS itu apa?’
Tualen : A I D S
Mredah : A
Tualen : /akibat/ ‘akibat’
Mredah : I
Tualen : /itunya/‘itunya’
Mredah : D
Tualen : /dimasukkan/ ‘dimasukkan’
Mredah : S
Tualen : /Sembarangan, jeg AIDS polon ci, nyidaang sing nulungin
ben/
‘ Sembarangan, jeg kena AIDS kamu, tidak bisa ditolong’
Bentuk pelesetan kepanjangan dari singkatan AIDS Aquired Immune Deficiency Syndrome menjadi ”Akibat Itunya Dimasukkan Sembarangan” sebenarnya berfungsi informasi yang orientasinya
mengarah pada topik pembicaraan, yakni HIV/AIDS. Pemelesetan
kepanjangan ini dilakukan tokoh-tokoh Punakawan untuk menarik
antusias pendengar agar menyimak pelesetan kepanjangannya yang
informatif bagi pendengarnya, dengan pesan yang ingin disampaikan