• Tidak ada hasil yang ditemukan

PAGELARAN WAYANG CENK BLONK SEBAGAI MEDI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PAGELARAN WAYANG CENK BLONK SEBAGAI MEDI"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

PAGELARAN WAYANG CENK BLONK SEBAGAI MEDIA

PENDIDIKAN SEKS BAGI MASYARAKAT HINDU DI BALI

OLEH:

NI PUTU EKA UMARISTA APRILIANI

9874

IDA BAGUS ANANDA BRAMANA PUTRA

9941

HENDRA SETIAWAN

9977

PEMERINTAH KABUPATEN KLUNGKUNG

DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAH RAGA

SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 SEMARAPURA

(2)

PEMERINTAH KABUPATEN KLUNGKUNG

DINAS PENDIDIKAN

SMA NEGERI 1 SEMARAPURA

Jalan Flamboyan No. 63, Semarapura, Klungkung, Bali Telp. (0366) 21508

SURAT KETERANGAN 421.7/289/SMAN 1 SMR/Dikpora

Yang bertanda tangan di bawah ini Kepala SMA Negeri 1 Semarapura, menerangkan bahwa :

NI PUTU EKA UMARISTA APRILIANI 9874

IDA BAGUS ANANDA BRAMANA PUTRA 9941

HENDRA SETIAWAN 9977

Memang benar siswa SMA Negeri 1 Semarapura yang telah menyusun karya tulis dengan karya ilmiah sendiri dan belum pernah dilombakan dalam perlombaan karya tulis ilmiah lainnya, dengan judul :

“PAGELARAN WAYANG CENK BLONK SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN SEKS BAGI MASYARAKAT HINDU DI BALI”.

Karya tulis tersebut dapat diikutsertakan dalam rangka mengikuti LKIR (Lomba Karya Ilmiah Remaja) Tingkat SMA Se-Bali dalam rangka memperingati Dies Natalis XI Poltekkes (Politeknik Kesehatan) Denpasar. Demikian surat keterangan ini dibuat untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Semarapura, April 2012 Kepala SMA Negeri 1 Semarapura

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul : “Pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai Media Pendidikan Seks bagiMasyarakat Hindu di Bali”.

Penulis :

 Ni Putu Eka Umarista Apriliani 9874

 Ida Bagus Ananda Bramana Putra 9941

 Hendra Setiawan 9977

Semarapura, 5 April 2012

Guru Pembimbing,

Ni Wayan Rina Lestari, S.Pd. NIP. 1986 0524 2009 022002

Mengesahkan,

Kepala SMA Negeri 1 Semarapura

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai Media Pendidikan Seks bagi Masyarakat Hindu di Bali” Tingkat SMA Se-Bali dalam rangka memperingati Dies Natalis XI Poltekkes (Politeknik Kesehatan) Denpasar.

Karya ilmiah ini tidak mungkin dapat terselesaikan tepat pada waktunya tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Drs. I Nyoman Mudjarta, selaku Kepala SMA Negeri 1 Semarapura atas bantuan moral dan material yang diberikan.

2. Ni Wayan Rina Lestari S.Pd., selaku pembimbing ekstrakulikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR) SMA Negeri 1 Semarapura atas bimbingan dalam penyusunan karya tulis ini.

3. Kedua orang tua kami yang telah memberikan motivasi dan dorongan. 4. Pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.

Akhir kata, tiada gading yang tak retak, demikian pula dengan karya tulis ilmiah ini yang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah yang sederhana ini berguna bagi kita semua.

Semarapura, April 2012

(5)

“Pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai Media Pendidikan Seks bagi Masyarakat Hindu di Bali”

A B S T R A K S I

Ni Putu Eka Umarista Apriliani, Ida Bagus Ananda Bramana Putra dan Hendra Setiawan, 2012, 53 halaman

Pulau Bali sebagai wilayah tujuan wisata dunia terkemuka, amat rentan bagi penyebaran berbagai penyakit termasuk sindrom AIDS. Remaja Bali, tentunya sangat rentan terjangkit penyakit tersebut. Mengingat faktanya remaja adalah generasi penerus bangsa, sudah barang tentu hal ini perlu ditanggulangi sedini mungkin. Langkah sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan seks (sex education). Di Bali sendiri telah ada potensi-potensi dari kearifan lokal sebagai bagian dari pendidikan seks remaja Hindu di Bali, salah satunya adalah melalui adanya seni-seni pertunjukkan. Salah satu jenis seni pertunjukkan populer yang berhasil mengemban fungsi tersebut ialah wayang kulit, yaitu Wayang Cenk Blonk. Pendidikan seks berbasis “Wayang Cenk Blonk” dapat menjadi pilihan alternatif dalam upaya menanamkan pendidikan dasar seks bagi masyarakat khususnya kaum remaja. Selanjutnya pendidikan seks berbasis “Wayang Cenk Blonk” tersebut akan dikemas dalam bentuk Konsep Satsangga, Kemah Sadhana dan Pasraman. Hal ini bertujuan untuk mempermudah cara pengimplementasiannya.

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Semarapura, Kabupaten Klungkung, Bali. Penelitian ini dilakukan selama 3 hari yaitu tanggal 29 Maret sampai 31 Maret 2012. Berdasarkan tujuannya, penelitian ini tergolong penelitian deskriptif. Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan metode kuisioner. Kuisioner yang dibuat merupakan kuisioner tertutup yang melibatkan sebanyak 100 responden. Data-data yang terkumpul diolah secara deskriptif kualitatif yang diawali dengan proses editing, mengkode data dan diakhiri dengan penarikan simpulan yang bersifat umum.

Dari hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan data bahwa pagelaran Wayang Cenk Blonk berpotensi sebagai media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu di Bali. Implementasi Wayang Cenk Blonk dapat dilakukan di lingkungan keluarga (informal) yakni melalui Konsep Satsangga, lingkungan sekolah (formal) melalui Kemah Sadhana, dan lingkungan masyarakat (nonformal) yaitu melalui Pasraman. Namun, dalam usaha mengembangkan Wayang Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks (sex education) tidak luput dari kendala-kendala. Adapun kendala-kendala tersebut yakni, kurangnnya tenaga ahli yang berkompeten dalam bidang seni pewayangan serta permasalahan dana pengembang.

(6)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Kata Pengantar ... ii

Halaman Pernyataan ... iii

(7)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Halaman

4.2.1 Potensi Pasraman dan Kemah Sadhana dalam Pengembangan

Kearifan Lokal Bali melalui Pagelaran Wayang Cenk Blonk .. 21 4.2.2.1 Rancangan Kegiatan Pendidikan Seks di Lingkungan Keluarga

Melalui Konsep Satsangga dan Wayang Cenk Blonk ..……… 32 4.2.2.2 Rancangan Kegiatan Pendidikan Seks di Kemah Sadhana

Melalui Media Wayang Cenk Bonk ………..……… 35 4.2.2.3 Rancangan Kegiatan Pendidikan Seks di Pasraman Melalui

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Indonesia terlambat mengenali epidemi HIV dan AIDS, dengan

dilaporkannya kasus pertama kali April 1987. Padahal, sindrom tersebut telah

menyapu seluruh benua tanpa ampun sampai sekarang. Enam belas tahun

silam, pada bulan Januari 1995, 6,3 juta orang tewas di Sub-Sahara, Afrika

oleh HIV dan AIDS dan 65 persen dari para korban itu adalah wanita dan

anak-anak.

Sementara itu, untuk merespon korban-korban HIV dan AIDS di

Amerika Serikat tahun 1981, para pakar medis mulai melakukan riset-riset

yang akhirnya membuahkan hasil. Dr. Luc Montagnier dari Perancis

menemukan virus yang dinamakan Lympha Diniphati Associated (LAV).

Menyusul kemudian Dr. Robert Gallo dari AS menemukan virus yang

disebutnya Human T. Cell Lymphatropic Virus tipe III (HLTV III). WHO

memberikan nama baru untuk kedua penemuan tersebut yakni Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang sampai kini dipakai secara resmi.

Sejak itu, HIV dikenal sebagai virus penyebab Acquired Immune

(9)

berhubung dengan sulitnya masyarakat dunia menghindar dari pengaruh

modern dan peradaban global yang mutakhir ini.

Pulau Bali sebagai wilayah tujuan wisata dunia terkemuka, amat

rentan bagi penyebaran berbagai penyakit termasuk sindrom AIDS itu tadi.

Oleh sebab itu, kekhawatiran dan keresahan tentunya akan terus menghantui

masyarakat, terutama yang berada di Bali. Ironisnya, kekhawatiran dan

keresahan yang terus menghantui masyarakat memang benar adanya. Di Bali

sendiri, penyebaran epidemi HIV/AIDS ini begitu cepat.

Berdasarkan data secara komulatif hingga akhir Maret 2011, sebanyak

29 warga negara asing yang berasal dari 12 negara yang diketahui sebagai

penderita HIV/AIDS kini berada di Pulau Dewata, sehingga kehadiran

mereka perlu diwaspadai, jangan sampai menularkan virus mematikan

tersebut. Warga negara asing penderita HIV/AIDS itu terbanyak berasal dari

Belanda (6 orang), menyusul Amerika Serikat (5 orang), Timor Leste (4

orang) dan Perancis (3 orang) serta Italia, Kanada dan Swiss masing-masing 2

orang. Selain itu juga tercatat dari Australia, Eropa, Spanyol, Jepang dan

Irlandia masing-masing seorang.

Warga negara asing penderita AIDS yang terdata di Bali sebanyak 15

orang itu terdiri atas laki-laki (12 orang) dan perempuan (3 orang). Sementara

penderita HIV tercatat 14 orang terdiri atas laki-laki (11 orang) dan dan

perempuan (3 orang). Ke-29 warga negara asing itu merupakan bagian dari

keseluruhan penderita HIV/AIDS di Bali 4.314 kasus yang terdiri atas AIDS

(10)

penderita HIV 2.166 orang yang terdiri atas laki-laki 1.262 orang dan

perempuan 904 orang.

Bali dari segi jumlah penderita menempati urutan kelima tingkat

nasional setelah Jawa Barat, Jawa Timur, Papua dan DKI Jakarta. Namun dari

segi revalensi penderita HIV/AIDS di Bali menempati peringkat kedua

tingkat nasional setelah Provinsi Papua. Revalensi adalah perbandingan kasus

yang terjadi dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut.

Remaja Bali, tentunya sangat rentan terjangkit penyakit tersebut.

Mengingat faktanya remaja adalah generasi penerus bangsa, sudah barang

tentu hal ini perlu ditanggulangi sedini mungkin. Langkah sederhana yang

dapat dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan seks (sex education).

Seperti yang dikutip dalam salah satu sloka kitab Slokantara, sloka 22 (48) (Sudharta, 1997: 83 – 85) bahwasannya memberikan tuntunan pendidikan

anak semenjak usia awal hingga usia remaja perlu dilakukan. Tahapan

pendidikan anak secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu:

tahap pertama dari umur 0 – 5 tahun; tahap kedua dari 5 – 15 tahun; dan tahap

ketiga setelah berumur 16 tahun ke atas.

Di Bali sendiri telah ada potensi-potensi dari kearifan lokal sebagai

bagian dari pendidikan seks remaja Hindu di Bali, salah satunya adalah

melalui adanya seni-seni pertunjukkan. Salah satu fungsi primer seni

pertunjukkan adalah sebagai media penerangan dan kritik sosial. Lewat

pementasannya pesan-pesan dan aspirasi yang sifatnya kritis ditransmisikan

kepada audiens dan diapresiasi bersama. Sarana seni pertunjukkan sangat

(11)

tidak menjemukan sebab masyarakat terpukau oleh penampilan dan metode

juru penerang (Ismaun & Martono, 1989/1990: 79). Salah satu jenis seni

pertunjukkan populer yang berhasil mengemban fungsi tersebut ialah wayang

kulit.

Cenk Blonk adalah sebuah inovasi dari wayang kulit Purwa

Tradisional yang menjadi fenomena baru di Bali. Wayang ini sangat populer

dengan frekuensi pentas sangat tinggi. Bahkan ia mencatatkan diri sebagai

pertunjukkan wayang pertama yang direkam dalam format video komersial. Pendidikan seks berbasis “Wayang Cenk Blonk” dapat menjadi

pilihan alternatif dalam upaya menanamkan pendidikan dasar seks bagi

masyarakat khususnya kaum remaja. Selanjutnya pendidikan seks berbasis “Wayang Cenk Blonk” tersebut akan dikemas dalam bentuk Konsep

Satsangga, Kemah Sadhana dan Pasraman. Hal ini bertujuan untuk

mempermudah cara pengimplementasiannya.

Oleh karena itu, pada tulisan ini akan dikaji potensi pagelaran

Wayang Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu

di Bali serta langkah-langkah konkrit pengimplementasiannya.

1.2.Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah terkait dengan latar belakang di atas yaitu

sebagai berikut :

1. Bagaimana potensi pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai media

(12)

2. Bagimana cara mengimplementasikan pagelaran Wayang Cenk Blonk

sebagai media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu di Bali?

3. Apa kendala dalam upaya pengimplementasian pagelaran Wayang Cenk

Blonk sebagai media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu di Bali serta

cara mengatasi kendala tersebut?

1.3.Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dalam karya tulis ini yaitu sebagai berikut :

1. Untuk mendeskripsikan potensi pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai

media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu di Bali.

2. Untuk mendeskripsikan cara mengimplementasikan pagelaran Wayang

Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu di

Bali.

3. Untuk mendeskripsikan kendala dalam upaya pengimplementasian

pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks bagi

masyarakat Hindu di Baliserta cara mengatasi kendala tersebut.

1.4.Manfaat Penulisan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada

berbagai pihak antara lain sebagai berikut:

1. Bagi pemerintah, Bagi pemerintah khususnya Pemerintah Daerah Bali,

tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai

media alternatif dalam menekan jumlah penderita HIV/AIDS secara

(13)

peringkat kedua di Indonesia dan penyakit HIV/AIDS tersebut merupakan

penyakit yang berdampak serius bagi kesehatan sehingga memerlukan

penanggulangan yang serius.

2. Bagi dunia pendidikan, untuk memberikan informasi tentang pemanfaatan

potensi kearifan lokal Bali melalui media Wayang Cenk Blonk agar

pendidikan seks dapat dilakukan dengan metode baru yang inovatif

sehingga lebih mudah diterima masyarakat khususnya generasi muda yang

merupakan target utama dari penyelenggaraan sex education.

3. Bagi masyarakat, sebagai tambahan informasi mengenai potensi kearifan

lokal dalam pendidikan seks generasi melalui pagelaran Wayang Cenk

Blonk dan cara mengimplementasikannya di Pasraman masing-masing

Desa Adat atau Desa Dinas.

4. Bagi Generasi muda, sebagai tambahan informasi mengenai potensi

kearifan lokal dalam pendidikan seks generasi muda Hindu di Bali melalui

pagelaran Wayang Cenk Blonk dan cara mengimplementasikannya di

lingkungan keluarga (informal) yakni melalui Konsep Satsangga,

lingkungan sekolah (formal) melalui Kemah Sadhana, dan lingkungan

masyarakat (nonformal) yaitu melalui Pasraman.

5. Bagi penulis, dapat dijadikan sumber referensi untuk menambah

pengetahuan dan pemahaman secara lebih mendalam dan komprehensif

mengenai potensi kearifan lokal dalam pendidikan seks generasi muda

Bali melalui pagelaran Wayang Cenk Blonk dan cara

mengimplementasikannya.

(14)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Pendidikan Seks

Pendidikan seksual adalah suatu kegiatan pendidikan yang berusaha

untuk memberikan pengetahuan agar masyarakat khususnya remaja dapat

mengubah perilaku seksualnya ke arah yang lebih bertanggung jawab (Arma,

2007). Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang

dapat menolong muda-mudi untuk menghadapi masalah hidup yang

bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan seksual ini

bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks

dan seksualitas dalam bentuk yang wajar (Mutadin, 2002).

Pendidikan seksual yang diberikan dapat berupa dalam bentuk

pendidikan kesehatan reproduksi remaja (PKRR). Materi PKRR meliputi

pertumbuhan dan perkembangan remaja, perkembangan seksual remaja,

kebersihan organ reproduksi, perilaku seksual beresiko, pergaulan bebas,

PMS dan HIV/AIDS, pelecehan seksual, kehamilan dan persalinan, serta hak

reproduksi remaja (Arma, 2007).

Pendidikan seksual selain menerangkan tentang aspek anatomis dan

biologis juga menerangkan tentang aspek psikologis dan moral. Pendidikan

seksual yang baik harus memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia, nilai

kultur dan agama, sebagai pendidikan akhlak dan moral (Mutadin, 2002).

Tujuan pendidikan seksual adalah menciptakan sikap yang sehat

(15)

dilakukan di rumah, sekolah maupun di masyarakat salah satunya melalui

tempat ibadah. Di sini peranan orang tua dan masyarakat sangat diperlukan,

terutama untuk dapat memberikan informasi kepada remaja mengenai

kesehatan reproduksi dan apa saja yang harus dilakukan untuk menjaga

kesehatan reproduksi mereka (Abineno, 1999).

Pendidikan seksual bukan seolah-olah menyetujui remaja melakukan

hubungan seksual melainkan bermaksud menanamkan rasa tanggung jawab

dikalangan remaja tentang perilaku seksualnya dan kesehatan reproduksinya

(BKKBN, 2005).

Menurut Mutadin (2002), pendidikan seksual bertujuan untuk

membentuk sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual dan

membimbing anak dan remaja ke arah hidup dewasa yang sehat dan

bertanggung jawab terhadap kehidupan seksualnya. Hal ini dimaksudkan agar

mereka tidak menganggap seks itu suatu yang menjijikan dan kotor, tetapi

lebih sebagai bawaan manusia, yang merupakan anugrah Tuhan dan

berfungsi penting untuk kelanggengan kehidupan manusia, dan supaya

anak-anak itu bisa belajar menghargai kemampuan seksualnya dan hanya

menyalurkan dorongan tersebut untuk tujuan tertentu (yang baik) dan pada

waktu yang tertentu saja.

2.2. Wayang Cenk Blonk

Belayu adalah nama sebuah desa di Bali Selatan yang secara

administratif masuk dalam wilayah kabupaten Tabanan, dimana wayang ini

(16)

dibidani oleh seorang dalang bernama Nardayana. Pementasannya sudah

memakai nama Cenk Blonk sebagai trade mark serta disertai pula dengan inovasi-inovasi kreatif. Inovasi tersebut mencakup perihal teknis pementasan

dan penokohan. Kedua hal inilah yang pada akhirnya membawa ciri khas

tersendiri pada Cenk Blonk (Kayam, 2001:151).

Cenk Blonk sendiri selain merupakan trade mark sekaligus juga nama

dua karakter kreasi dari sang dalang. Cenk dan Blonk adalah rakyat biasa

yang tidak berperan sebagai punakawan atau abdi dalem. Nardayana

mencipta dua tokoh rekaan ini dengan tujuan memberi ciri khas wayangnya

dan memang justru kehadiran dua karakter ini yang ditunggu-tunggu oleh

para penonton.

Dalam hal teknis pertunjukannya wayang Cenk Blonk Naradayana

mengganti gamelan gender sederhana yang dipakai dalam pementasan

wayang kulit Bali konvensional dengan seperangkat lengkap gamelan Bali

seperti dalam teater rakyat Drama Gong. Penambahan personel pemain

gamelan adalah hal baru bagi wayang di Bali. Dalam hal lighting, Naradayana

memakai lampu multi warna seperti lampu disko disamping lampu blencong

tradisional. Dari sisi narasi, cerita yang diangkat oleh sang dalang Nardayana

dapat digolongkan sebagai cerita carangan. Cerita carangan adalah hasil

kreatifitas dalang yang kadang-kadang tidak ada dalam cerita induk (Ismaun

& Martono, 1989/1990:18).

Menggarisbawahi kembali peranan seni pertunjukan sebagai media

penerangan dan sosialisasi, maka dalam kesenian wayang kulit pesan-pesan

(17)

punakawan sangat pas untuk berperan sebagai sosialisator. Pertama, mereka

adalah karakter yang merepresentasikan figur-figur rakyat sehingga jika

pendidikan disampaikan lewat peran mereka maka diharapkan penonton cepat

mengerti dan mencernanya (Sujarno dkk, 2003:54). Selain itu, menimbang

audiens, wayang yang notabene adalah rakyat jelata dan masyarakat

tradisional maka dialog dalam bahasa punakawan mencipta diskusi wacana

dalam rangka proses edukasi lewat bahasa yang dimengerti rakyat. Hal ini

adalah sesuatu yang tidak didapatkan dalam seni pertunjukan modern.

Sebagai media untuk pendidikan seks, memang dengan bentuk

kesenian tradisional sungguh tepat. Masyarakat Indonesia yang menganut

paham paternalistik tentu sangat tabu apabila diajak berbicara masalah seks.

Media yang sangat tepat untuk menyalurkan pendidikan seks ini adalah

melalui kesenian tradisional, dengan jalan melaui tokoh-tokoh yang

(18)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Latar Belakang Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Semarapura, Kabupaten

Klungkung, Bali. Penelitian ini dilakukan selama 3 hari yaitu tanggal 29

Maret sampai 31 Maret 2012.

3.2. Jenis Penelitian

Berdasarkan tujuannya, penelitian ini tergolong penelitian deskriptif.

Penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha

menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya.

Dalam penelitian ini akan dideskripsikan bagaimana potensi pagelaran

Wayang Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks bagi masyarakat Hindu

di Bali serta langkah-langkah konkrit pengimplementasiannya.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Sesuai dengan tujuan penelitian, data yang diperlukan dalam

penelitian ini dikumpulkan dengan metode kuisioner. Kuisioner yang dibuat

merupakan kuisioner tertutup. Kuisioner tertutup yakni kuisioner yang

menyediakan alternatif jawaban yang dapat dipilih oleh responden antara

lain, sebagai berikut.

1. Apakah Anda merasa bosan saat mengikuti seminar atau sosialisasi

(19)

2. Apakah Anda merasa perlu dibuat suatu wadah yang lebih inovatif

dalam penyuluhan mengenai pendidikan seks?

3. Apakah Anda menyukai pagelaran Wayang Cenk Blonk?

4. Apakah Anda setuju jika pagelaran Wayang Cenk Blonk digunakan

sebagai media pendidikan seks?

3.4. Responden Penelitian

Responden yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah sebanyak 100

responden. Para responden dipilih penulis secara acak tanpa

memperhitungkan profesi maupun umur dari masing-masing responden.

3.5. Metode Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul tidak ada gunanya jika tidak diolah.

Pengolahan data merupakan bagian yang amat penting dalam penelitian

karena dengan pengolahan data, data tersebut dapat diberi arti dan makna

yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian.

Data dalam penelitian ini diolah secara deskriptif kualitatif yang

diawali dengan proses editing, mengkode data atau mengkodefikasi data dan

membuat tabulasi. Editing dilakukan untuk memperbaiki kualitas data serta

menghilangkan keragu-raguan atas data yang telah diberikan oleh responden.

Pengkodean dilakukan untuk memudahkan dalam mengumpulkan jawaban

dari para responden yang diikuti dengan proses tabulasi data yakni

(20)

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan dengan metode

kuisioner terhadap 100 responden di Kota Semarapura, Kabupaten

Klungkung, Bali, diperoleh 70 kuisioner yang kembali dengan data-data

sebagai berikut:

1. Pertanyaan Pertama

No. Jawaban Frekuensi

1. Ya 37

2. Tidak 33

Total 70

2. Pertanyaan Kedua

No. Jawaban Frekuensi

1. Ya 67

2. Tidak 03

(21)

3. Pertanyaan Ketiga

No. Jawaban Frekuensi

1. Ya 64

2. Tidak 06

Total 70

4. Pertanyaan Keempat

No. Jawaban Frekuensi

1. Ya 63

2. Tidak 07

(22)

4.2. Pembahasan

Berdasarkan hasil kajian terhadap jenis dan kandungan zat hara pada

beberapa kotoran ternak baik padat maupun cair didapatkan data sebagai

berikut:

4.2.1. Potensi Pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai Media Pendidikan Seks bagi Masyarakat Hindu di Bali.

Pulau Bali sebagai wilayah tujuan wisata dunia terkemuka,

amat rentan bagi penyebaran berbagai penyakit termasuk AIDS.

Masyarakat, khususnya remaja Bali sangat rentan terjangkit penyakit

tersebut. Hal ini dimungkinkan karena mulai terbentuknya rasa ingin

tahu remaja terhadap masalah atau hal yang berbau seksual. Perubahan

perilaku dan anatomi tubuh sudah tentu mengiringi bertambahnya usia.

Saat masa pubertas, remaja cenderung mulai mencoba-coba atau

menyalahgunakan yang belum boleh dilakukan. Remaja yang hamil di

luar nikah, aborsi, PMS atau IMS, dan HIV/AIDS adalah sebagian

(23)

remaja sebagai akibat pemahaman yang keliru mengenai permasalahan

seksualitas. Oleh karena pendidikan seks sangat dibutuhkan dalam

rangka meningkatkan pemahaman remaja terhadap permasalahan seks

yang selama ini masih dianggap tabu, malu, dan risih (Sarwono, 1994).

Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang

dapat menolong remaja untuk menghadapi masalah hidup yang

bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan

seksual ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang

berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar.

Menurut Singgih D. Gunarsa (1991), penyampaian materi pendidikan

seksual ini seharusnya diberikan sejak dini ketika anak sudah mulai

bertanya tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan orang lain,

berkesinambungan dan bertahap serta disesuaikan dengan kebutuhan

dan umur anak serta daya tangkap anak.

Dalam hal ini pendidikan seksual idealnya diberikan pertama

kali oleh orangtua di lingkungan keluarga (informal), mengingat yang

paling tahu keadaan anak adalah orangtuanya sendiri, dan tentunya

dibantu oleh pemahaman di tingkat sekolah (formal) dan masyarakat

(nonformal). Tetapi sayangnya di Indonesia khususnya Bali, tidak

semua orangtua mau terbuka terhadap anak di dalam membicarakan

permasalahan seksual ini. Agaknya masih timbul pro kontra, lantaran

adanya pandangan stereotype dengan pendidikan seks seolah sebagai suatu hal yang vulgar dan malah mendukung anak untuk berhubungan

(24)

pendidikan yang heterogen di Indonesia menyebabkan ada orang tua

yang mau dan mampu memberikan penerangan tentang seks tetapi

lebih banyak yang tidak mampu dan tidak memahami permasalahan

tersebut. Dalam hal ini maka sebenarnya peran dunia pendidikan juga

sangatlah besar. Dengan adanya pendidikan seks bagi remaja,

diharapkan remaja dapat menempatkan seks pada perspektif yang

tepat, dan mencoba mengubah anggapan negatif tentang seks.

Langkah sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan

memberikan pendidikan seks (sex education) yang berbasis kearifan

lokal dan berbau agama. Seperti yang dikutip dalam salah satu sloka

kitab Slokantara, bab 48, sloka 22 bahwasannya memberikan

tuntunan pendidikan seksual anak dan remaja bernuansa agama dan

budaya sangatlah tepat, yakni semenjak usia awal hingga usia remaja

perlu dilakukan (Sudharta, 1997). Di Bali sendiri telah ada

potensi-potensi dari kearifan lokal sebagai bagian dari pendidikan remaja

Hindu yang dapat mendukung sex education, salah satunya adalah Konsep Satsangga”. Konsep Satsangga sangat berkaitan dengan

pendidikan budi pekerti dan karakter di Bali. Pendidikan yang

diberikan, diproritaskan pada jalur pendidikan informal seperti dalam

keluarga serta lewat lembaga-lembaga keagamaan atau

kelompok-kelompok spiritual yang bernuansa Satsangga, yang dikemas dalam

bentuk Pasraman dan Kemah Sadhana. Dalam tradisi Hindu, Konsep Satsangga itu juga dapat berbentuk Sekaa Santi atau Dharma Gita,

(25)

Dharma Tula, kelompok ceramah atau Dharma Wacana, perkumpulan

yoga, meditasi, dan sejenisnya, yang dimaksudkan untuk meredam

bergejolaknya hawa nafsu bagi remaja Hindu di Bali (Wiana, 2011).

Hal itulah yang hendaknya didorong untuk tumbuh dan berkembang

sehingga menciptakan iklim yang kondusif untuk memajukan proses

Satsangga di dalam kehidupan. Namun, sejalan dengan perkembangan

zaman dan kecenderungan untuk menghargai pandangan-pandangan

barat, khususnya dalam pendidikan seksualitas, pandangan tradisional

seperti yang tercantum dalam Slokantara cenderung dilupakan. Oleh karena itu, dalam usaha mengembangkan Konsep Satsangga di

Pasraman dan Kemah Sadhana, sangat diperlurkan suatu inovasi dan

kreativitas agar dalam usaha pemenuhan materi pendidikan seks

mudah diterima oleh masyarakat luas khususnya remaja Hindu di Bali,

seperti kolaborasi antara pendidikan seks dengan kesenian

kontemporer Wayang Cenk Blonk (WCB).

Wayang Cenk Blonk merupakan pertunjukkan wayang yang

menggabungkan antara seni wayang tradisional dengan kreativitas

modern. Wayang ini pertama kali dikembangkan oleh I Wayan

Nardayana sekitar tahun 1997-1998 di daerah Blayu Kabupaten

Tabanan. Wayang yang sebelumnya bernama Gita Loka ini berbeda

dengan wayang pada umumnya, karena bahasa yang digunakan lebih

banyak dengan bahasa sehari-hari. Selain itu, wayang ini seringkali

(26)

kontemporer sehingga cerita yang disajikan tidak hanya terbatas pada

pakem pewayangan yang telah berlaku.

Tokoh utama dalam Wayang Cenk Blonk adalah Nang

Klenceng dan Nang Ceblong yang sekaligus merupakan asal mula dari

nama pertunjukkan wayang ini. Kedua tokoh utama tersebut

merupakan tokoh punakawan yang merepresentasikan rakyat biasa

pada kehidupan modern saat ini (Arief, 2004) sehingga dialog antar

tokoh kebanyakan disajikan dalam bahasa punakawan yang dapat

menciptakan diskusi wacana dalam proses edukasi termasuk sex education yang mudah dimengerti masyarakat.

Permainan bahasa dalam pagelaran Wayang Cenk Blonk

tersebut memiliki berbagai fungsi yang berkaitan dengan pendidikan.

Dalam kajian linguistik kebudayaan antara bentuk, fungsi, dan makna

ada benang merah yang menghubungkan satu sama lainnya. Hubungan

sebab akibat yang logis tampak dari bentuk, fungsi, dan makna dari

sebuah tuturan. Artinya komponen bentuk menyediakan dan

memberikan peluang untuk mengemukakan eksistensi komponen

fungsi. Adapun fungsi pagelaran Wayang Cenk Blonk yang

mendukung terselenggaranya pendidikan seks meliputi pertama fungsi

menghibur, tokoh punakawan menjadi pusat hiburan karena pada

tokoh-tokoh inilah dalang memiliki hak untuk menggunakan dan

menghasilkan bahasa-bahasa kreatif, baik demi keindahan maupun

menghasilkan efek-efek jenaka sebagai humor yang dapat menghibur

(27)

Wayang Cenk Blonk agar sebuah informasi dapat diterima dengan baik

oleh pendengarnya, dalang biasanya menyelipkan

permainan-permainan bahasa yang sifatnya menghibur pada dialog-dialog

punakawan yang berfungsi informatif di samping itu unsur humor atau

lelucon diselipkan agar pendengar tertarik dan jika sudah tertarik,

otomatis pesan yang sebenarnya ingin disampaikan dapat diterima.

Fungsi ketiga adalah fungsi mendidik, dalam Wayang Cenk Blonk

tokoh punakawan yang memiliki konvensi berbahasa bebas

dimanfaatkan para dalang dalam mentransmisikan nilai-nilai mendidik,

baik dengan anjuran, ajakan, suruhan, pengarahan, pembiasaan,

maupun pemberian contoh yang harus dijauhi dengan menggunakan

bahasa yang lugas.

Selain itu, penggunaan huruf ‘K’ sebagai pengganti huruf ‘G’

pada nama Nang Klenceng (Cenk) dan Nang Ceblong (Blonk)

menunjukkan bahwa wayang ini bersifat fleksibel terhadap

perkembangan zaman (Sulistyowati, 2010). Hal tersebut dapat lebih

menarik minat masyarakat terhadap seni pertunjukkan tersebut

sehingga pendidikan seksualitas yang umumnya disajikan dalam

bentuk seminar, saat ini dapat dikemas secara lebih atraktif melalui

pagelaran Wayang Cenk Blonk.

Pagelaran Wayang Cenk Blonk merupakan media yang efektif

dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS dengan sex education terutama melalui Konsep Satsangga. Penggunaan Wayang Cenk Blonk

(28)

keagamaan yaitru pasraman dan kemah sadhana. Potensi pasraman dan

kemah sadhana dalam pengembangan kearifan lokal Bali melalui

pagelaran Wayang Cenk Blonk untuk mendukung terselenggaranya

pendidikan seksualitas khususnya bagi remaja Hindu dapat dilihat pada

tabel berikut.

Tabel 4.2.1 Potensi Pasraman dan Kemah Sadhana dalam Pengembangan Kearifan Lokal Bali melalui Pagelaran Wayang Cenk Blonk.

No. Wadah Potensi

1. Pasraman

Keberadaan pasraman merupakan wadah untuk mengembangkan dan membentuk budi pekerti khususnya bagi generasi muda di tengah persaingan global dan gempuran teknologi informasi (Jelantik dan Manuaba, 2010).

Pendidikan melalui pasraman dinilai sangat potensial dalam pembangunan manusia seutuhnya dan merupakan investasi kemanusiaan jangka panjang. Pasraman dapat difungsikan sebagai pelengkap pendidikan formal yang notabena hanya menekankan aspek intelegensia dibandingkan aspek emosional dan spiritualitas.

Kegiatan-kegiatan dalam pasraman yang penuh dengan nuansa religius sangat tepat untuk dijadikan sebagai ajang pendidikan khususnya pendidikan seks bagi remaja terutama melalui ajaran-ajaran agama yang diimplementasikan dalam berbagai kegiatan di pasraman. Ditambah lagi sistem ashram yang umumnya diterapkan dalam pasraman menggambarkan hubungan akrab antara para guru (acarya) dengan para siswanya bagaikan dalam sebuah keluarga sehingga dalam pemberian penyuluhan tentang sex education yang bertujuan untuk mencegah penyebarluasan penyakit HIV/AIDS, para siswa atau peserta pasraman akan merasa lebih nyaman untuk menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hal tersebut.

(29)

2. Kemah Sadhana Pembelajaran melalui media seperti kemah sadhana semakin diperlukan saat ini karena terkadang saat berada di lingkungan keluarga, orangtua cenderung enggan untuk membahas mengenai seksualitas dan seringkali saat mengajukan pertanyaan tentang pendidikan seks, anak hanya mendapat jawaban “nak mula keto” (memang sudah begitu) dari orangtua sehingga wawasan anak tentang pentingnya sex education tidak akan terbuka. Kemah sadhana lebih menekankan pada sadhana yaitu pengendalian diri terutama disiplin diri dalam hidup bermasyarakat.

Pada kemah tersebut dicoba untuk lebih membuka wawasan peserta tentang hidup yang bersih dan sehat baik secara jasmani maupun rohani. Kegiatan perkemahan tersebut tentu mendukung pelaksanaan pendidikan seksualitas terutama bagi remaja yang menjadi peserta perkemahan. Penerapan Konsep Satsangga yang sejalan dengan tujuan diadakannya kemah sadhana yaitu untuk pengendalian diri semakin mempermudah pengintegrasian antara keduanya. Seperti pada pasraman, dalam kemah sadhana peserta diajak ikut serta secara aktif dalam berbagai kegiatan kerohanian. Adanya pembimbing yang telah memahami ajaran-ajaran agama juga semakin mempermudah akses peserta dalam membahas pengetahuan agama baik yang berkaitan dengan tingkah laku dan moral hingga pada kesehatan seks peserta.

Hal itu diharapakan dapat menumbuhkan pemahaman peserta dalam menanggapi isu-isu sosial seperti semakin menyebarluasnya HIV/AIDS sehingga kemungkinan terburuk dapat dicegah. Selain berkutit dalam pembelajaran agama, peserta kemah sadhana juga diajak untuk menyatu dengan alam melalui kegiatan outbond sehingga peserta tidak akan merasa jenuh selama perkemahan.

Berdasarkan potensi tersebut, maka penyajian konsep-konsep

kearifan lokal Bali seperti Konsep Satsangga dalam mendukung sex

education bagi masyarakat melalui berbagai wadah tradisi dan keagamaan patut dilakukan mengingat pendidikan seks sangat

diperlukan di tengah arus perkembangan zaman. Selain itu, pendidikan

seks yang tepat juga dapat menghindarkan masyarakat khususnya

remaja dari berbagai hal negatif yang tidak diinginkan. Dengan

semakin bertambahnya wawasan masyarakat terkait pendidikan seks

(30)

penderita PMS seperti HIV/AIDS sehingga tercipta masyarakat yang

sehat secara fisik serta secara mental dan spiritual.

4.2.2. Cara Mengimplementasikan Pagelaran Wayang Cenk Blonk sebagai Media Pendidikan Seks bagi Masyarakat Hindu di Bali.

Perubahan perilaku sudah tentu mengiringi bertambahnya usia,

termasuk perubahan anatomi tubuh. Saat masa pubertas ini, remaja

cenderung mulai mencoba-coba atau menyalahgunakan yang belum

boleh dilakukan. Misalnya menghisap rokok, narkoba, atau mulai

memcoba melakukan hubungan seksual. Remaja Bali khususnya yang

beragama Hindu, seharusnya diberikan pemahaman bahwa seks

pranikah dilarang dalam agama Hindu. Di dalam ajaran agama Hindu

dikenal adanya tahapan hidup dalam mencapai tujuan hidup. Dalam

kitab Brahma Purana 228.45 dinyatakan, “Dharma artha kama

moksanam sariram sadhanam”. Artinya, Sarira atau badan ini adalah

alat untuk mendapatkan Dharma (kebenaran), Artha (harta lahir maupun batin), Kama (nafsu yang terkontrol), dan Moksa (pelepasan

akhir). Untuk mencapai empat tujuan hidup itu, dalam Kitab Agastya Parwa dinyatakan tentang Catur Asrama yaitu empat tujuan hidup

yakni, Brahmacari (masa menutut ilmu), Grahasta (masa berumah tangga), Wanaprasta, dan Sanyasin (Wijaya, 2009).

Remaja berada dalam tahapan Brahmacari yakni tingkatan hidup manusia pada waktu sedang mengejar atau menuntut

pengetahuan secara lahir dan batin sehingg tidak boleh merindukan

(31)

mengendalikan Wisaya Kama dan Sraya Kama (nafsu) untuk beristri

atau bersuami. Nafsu beristri atau bersuami saja tidak boleh, apalagi

melakukan hubungan seks di luar perkawinan. Di dalam Pustaka

Nitisastra dalam bentuk kekawin pada Sargah atau Bab V Sloka 1, dinyatakan sebagai berikut,

Taki-takining semaka guna widya,

tengah i tuwuh san wacana gegonta, patilaring atmeng tamu paguroken.

Artinya:

Seorang pelajar wajib menuntut ilmu pengetahuan dan keutamaan,

Jika sudah berumur dua puluh tahun orang harus kawin,

Jika sudah setengah tua, berpeganglah pada ucapan yang baik,

Hanya tentang lepasnya nyawa kita mesti berguru.

Hal tersebut mengisyaratkan bahwasanya, masa Brahmacari adalah masa yang baik untuk menuntut ilmu pengetahuan (Guna

Widya) bukan untuk mengumbar hawa nafsu (Kama) seperti berhubungan intim atau seks, karena pada masa ini, pikiran yang tajam

hanya ditunjukkan pada kewajiban untuk menuntut ilmu seperti halnya

kehidupan rumput ilalang. Di waktu muda sedang tajam, sedangkan

setelah tua menjadi tumpul. Sehingga pergunakanlah masa muda itu

dengan sebaik-baiknya untuk belajar, guna memperoleh kesempurnaan

(32)

Hal ini sejalan dengan prinsip pendidikan seks yang

menyadarkan remaja bahwa seks adalah sah hanya untuk pasangan

suami istri untuk mendapatkan keturunan. Dengan mendapatkan

keturunan melalui perkawinan, merupakan salah satu cara untuk

mengantarkan manusia kembali kepada Tuhan. Oleh karenanya

hubungan seks yang baik dan benar hanya akan dilakukan oleh mereka

yang bersuami-istri atau berumah tangga (Grehastha Asrama).

Di sisi lain perlu ditanamkan pula bahwa akibat seks pranikah

adalah banyak remaja yang batal menyelesaikan studi atau jalur

pendidikan, pada perkawinan di usia muda dalam keadaan belum siap.

Hal ini tentu saja berimbas pada maraknya kasus-kasua HIV/AIDS,

PMS (Penyakit Menular Seksual) atau IMS (Infeksi Menular Seksual)

dan ironisnya lagi menyebabkan semakin maraknya kasus-kasus aborsi

di kalangan pelajar.

Menurut WHO memperkirakan 10-50% kematian ibu

disebabkan oleh aborsi tergantung kondisi masing-masing negara.

Diperkirakan di seluruh dunia setiap tahun dilakukan 20 juta aborsi

tidak aman, 70.000 wanita meninggal akibat aborsi tidak aman dan 1

dari 8 kematian ibu disebabkan oleh aborsi tidak aman. Di wilayah

Asia tenggara, WHO memperkirakan 4,2 juta aborsi dilakukan setiap

tahunnya, di antaranya 750.000 sampai 1,5 juta terjadi di Indonesia.

Perkiraan jumlah aborsi di Indonesia setiap tahunnya cukup beragam.

Hull, Sarwono dan Widyantoro (1993) memperkirakan antara 750.000

(33)

studi terbaru yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kesehatan

Universitas Indonesia memperkirakan angka kejadian aborsi di

Indonesia per tahunnya sebesar 2 juta (Utomo, Budi dkk, 2001).

Aborsi yang tidak aman saat ini di Indonesia berkontribusi terhadap

30-50% Angka Kematian Ibu (AKI), ini merupakan yang tertinggi

yang terjadi di ASEAN. Dilihat dari kacamata agama, tentu saja hal ini

merupakan dosa yang amat besar, selain itu dapat pula berisiko

merenggut nyawa remaja itu sendiri. Banyak sekali remaja yang

kehilangan masa depannya karena melakukan seks pranikah khususnya

permasalahan aborsi ini.

Mencegah seks pranikah, para remaja hendaknya dibekali

pendidikan dan pelatihan khusus untuk meredam bergejolaknya hawa

nafsu seks itu. Misalnya dengan mengikuti kegiatan yang bernuansa

kerohanian. Dalam tradisi Hindu kegiatan untuk generasi muda ini

disebut Konsep Satsangga. Kegiatan Satsangga dapat berbentuk Pasraman yang dapat diimplementasikan dalam lingkungan

masyarakat (nonformal) dengan mempergunakan media kesenian

kontemporer Wayang Cenk Blonk serta Kemah Sadhana yang dapat

diimplementasikan dalam lingkungan sekolah (formal). Untuk tidak

menghilangkang sisi budaya dan agama dalam kegiatan Pasraman dan

Kemah Sadhana tetap berpegang teguh pada tradisi dalam

penyampaian materi, seperti menerapkan konsep Sad Dharma yang meliputi, Dharma Wacana, Dharma Gita, Dharma Tula, Dharma

(34)

mengenai kegiatan dalam Pasraman dan Kemah Sadhana yang

dikemas dengan mempergunakan konsep Sad Dharma serta kaitannya

dengan Pendidikan Seks (sex education).

1. Dharma Wacana bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan untuk penghayatan dan pengamalan kedalam rohani umat serta

mutu bhaktinya kepada agama, masyarakat, bangsa dan negara

dalam rangka peningkatan Dharma Agama dan Dharma Negara.

Materi Dharma Wacana yang dapat disampaikan pada setiap

kesempatan yang ada, pada dasarnya meliputi semua aspek ajaran

agama Hindu yang dikaitkan dengan kehidupan. Salah satu contoh

adalah, narasumber dapat menyelipkan beberapa pandangan agama

Hindu mengenai permasalahan HIV/AIDS dan Pendidikan Seks

serta hubungannya dengan masa Brahmacari. Penyampaian materi

tersebut disesuaikan dengan jenis kegiatan seperti kegiatan

persembahyangan, resepsi perkawinan, kegiatan pertemuan

keluarga dan sejenisnya dengan mengungkap beberapa sloka atau

ayat kitab suci yang relevan dengan tema tersebut.

2. Dharma Tula dimaksudkan sebagai metode pendalaman ajaran-ajaran agama Hindu melalui peningkatan peran serta yang aktif dari

semua peserta. Kegiatan Dharma Tula sesuai dengan tingkat umur

remaja dan dewasa. Oleh karena itu, melalui metode ini setiap

peserta akan memperoleh kesempatan mengemukankan

pendapatnya atau sebaliknya menerima pendapat dari orang lain

(35)

dengan dilandasi sikap tenggang rasa dan rasa dan kekeluargaan.

Materi Dharma Tula akan sangat baik apabila dapat diambil

diketengahkan dari jenis materi yang sesuai dengan tingkat

pemahaman serta permasalahan yang dihadapi oleh kelompok yang

akan membahasnya. Misalnya dalam kelompok remaja dapat

diketengahkan materi ajaran agama Hindu yang berkaitan dengan

kehidupan dan permasalahan remaja seperti contoh Pendidikan seks

yang berhubungan dengan HIV/AIDS. Sedangkan dalam

pelaksanaannya dapat dikaitkan dengan kegiatan menyambut atau

merayakan hari-hari raya keagamaan, seperti Saraswati, Galungan,

Kuningan, Siwaratri, Nyepi dan sebagainya. Untuk tidak terlalu

banyak menyita waktu dapat dilaksanakan setelah selesainya

persembahyangan bersama atau pada hari-hari libur yang khusus

dimanfaatkan untuk itu.

3. Dharma Sadhana artinya realisasi ajaran dharma dalam diri seseorang. Ini dapat dilaksanakan melalui catur yoga marga yakni,

Bhakti, Karma, Jnana dan Raja atau Yoga Marga secara terpadu, bulat dan utuh, namun pemakaiannya sesuai dengan jalannya Catur

Asrama. Dalam Dharma Sadhana ini lebih terfokuskan pada pengimplementasian jenjang kehidupan (Catur Asrama) seperti

melaksanakan Dharma Sedhana berupa latihan-latihan rohani secara

sistematis dan praktis bertujuan untuk membina mengembangkan

dan memupuk keluhuran budi pekerti serta kesucian peribadi

(36)

semakin mantap, kokoh dan ajeg, sebagai warga negara yang

berpancasila. Materi Dharma Sedhana pada dasarnya berorientasi

pada disiplin hidup pribadi seperti, Tapa, Bratha, Yoga dan

Semadhi. Untuk itu perlu disusun suatu pedoman yang sedemikian rupa dan praktis serta dapat dilakukan oleh setiap umat menurut

tingkatan umur, fungsi dan profesinya masing-masing. Pada masa

Brahmacari yang merupakan masa belajar atau masa menuntut ilmu

atau pendidikan baik secara formal maupun nonformal. Dalam

tahap ini para remaja akan diajak untuk lebih mengendalikan hawa

nafsu dengan melaksanakan Tapa (tidak berpikir untuk melaksanakan hubungan seks).

4. Dharma Yatra mempunyai pengertian yang hampir sama dengan Tirta Yatra yakni usaha untuk meningkatkan pemahaman dan

pengamalan ajaran Agama Hindu melalui kunjungan untuk

persembahyangan ketempat-tempat suci, patirtan baik yang

bertempat di pegunungan atau di tepi pantai. Untuk meningkatkan

kesucian pribadi serta keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa atau

Hyang Widhi Wasa, memperluas cakrawala memandang

keagungan-Nya, mengagumi alam semesta dan ciptaannya sehingga

semakin teguh untuk mengamalkan ajaran dharma. Dharma Yatra

sangat baik dilakukan pada hari-hari raya keagamaan atau

upacara-upacara persembahyangan pada pura atau tempat suci. Dapat juga

dilaksanakan pada hari-hari libur sekolah sambil melaksanakan

(37)

Yatra dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap Tuhan

dan segenap ciptaannya sehingga menimbulkan perasaan takut dan

bersalah jika berbuat dosa, seperti melakukan perzinahan (hubungan

seks diluar pernikahan) dan kegiatan yang melanggar ajaran agama

Hindu.

5. Para remaja juga diajarkan mengenai pemahaman akan upacara dan

upakara yang ada yang di Bali. Hal ini dikarenakan bahwa setiap

Ritual atau upacara suci yang diwariskan leluhur ini bukan hanya

sebuah ritual atau prosesi belaka akan tetapi memiliki nilai dan

makna yang mendalam. Salah satunya adalah, upacara Ngeraja Singa dan Ngeraja Sewala. Upacara Ngeraja Singa untuk laki-laki.

Prosesi ini dilakukan saat anak laki-laki menginjak dewasa atau

telah menunjukkan perubahan (gembakin), buah jakun mulai

kelihatan, dan seterusnya. Sedangkan Ngeraja Sewala untuk wanita

dilakukan setelah mengalami mestruasi pertama. Ritual suci yang

diwariskan leluhur ini bukan hanya sebagai ritual atau prosesi

belaka pada Sang Hyang Semara Ratih. Tapi disinilah peran Guru Rupaka (orang tua) untuk memberikan penjelasan penjelasan masa

pubertas, pendidikan seks, mengapa terjadi perubahan organ tubuh,

dan pengetahuan tentang IMS termasuk HIV dan AIDS beserta cara

penularan dan pencegahan. Tak kalah pentingnya juga pendidikan

budi pekerti dan karakter untuk bekal.

Demikian beberapa metode pembelajaran atau pendidikan yang

(38)

Pembelajaran Satsangga yang dituangkan dalam Pasraman dan Kemah

Sadhana sebaiknya dilaksanakan dalam lingkungan keluarga, sekolah

dan masyarakat agar lebih mudah menyerap pengetahuannya di bidang

pendidikan seks. Metode yang diuraikan diatas juga dapat

dikombinasikan dengan metode pembinaan yang lainnya, tergantung

pada situasi dan kondisi umat yang dibina. Berikut ini merupakan

salah satu contoh rancangan kegiatan dari pengimplementasian konsep

Satsangga, dalam lingkungan keluarga (informal).

Tabel. 4.2.2.1 Rancangan Kegiatan Pendidikan Seks di Lingkungan Keluarga Melalui Konsep Satsangga dan Wayang Cenk Blonk

No. Jenis Kegiatan Implementasi Tujuan

1. Dharma

Wacana

Memberikan ceramah atau nasehat Agama Hindu dengan tema Catur Asrama khususnya

pada masa Brahmacari serta

menghubungkannya dengan pendidikan seks (sex education).

Anak dapat

mengetahui per-masalahan seksualitas serta kaitannya dengan Catur Asrama.

2. Dharma Tula

Mengadakan diskusi atau bertimbang wirasa dengan mengangkat tema Catur Asrama dan hubungannya dengan kasus aborsi dan HIV/AIDS serta akibat yang ditibulkannya atau Kharma Phala. Kegiatan dapat dilaksanakan pada sela waktu tenggang, misalnya pada hari libur keluarga ataupun pada saat hari-hari suci keagamaan. Seperti pada saat perayaan Nyepi, orang tua dapat proses kedekatan anak dengan orang tua.

3. Dharma

Sadhana

1. Mengajak anak untuk melaksanakan Meditasi atau Yoga.

2. Mengajak anak untuk menonton Wayang Cenk Blonk dengan cerita atau tema yang memiliki hubungan dengan pendidikan seks dan bernilai moral tinggi. Contoh, menonton VCD Wayang Cenk Blonk yang berjudul ”Ludra Murti”. Dalam cerita tersebut diungkapkan pelesetan ”AIDS” yang sesungguhnya merupakan singkatan dari Aquired Immune Deficiency Syndrome menjadi ”Akibat Itunya Dimasukkan

(39)

Sembarangan” yang menghasilkan sebuah kelakar permainan bahasa yang mengundang tawa pendengarnya. Tidak banyak masyarakat Bali yang mengetahui singkatan asli AIDS, tetapi masyarakat Bali telah memiliki imajeri bahwa AIDS merupakan salah satu penyakit mematikan karena seks bebas sehingga kebermaknaan pelesetan yang terlontar langsung dapat diterima secara menyeluruh (Redjasa, I Ketut, 2001).

3. Belajar membuat sarana upakara serta mencari makna yang terkandung di dalamnnya. Pada kegiatan-kegiatan Yadnya atau upacara agama yang memiliki keterkaitan dengan Pendidikan Seks, (sex education) sepeti,

1. Upacara Ngeraja Singa (untuk laki-laki) dan Ngeraja Suwala (untuk perempuan) yakni prosesi yang dilakukan disaat anak telah menginjak dewasa atau telah menunjukkan adanya perubahan sekunder maupun primer (gembakin).

2. Upacara Kala Badeg yakni upacara perkawinan khas daerah Sesetan, Kabupaten Badung, dengan membuat media perkawinan yang berupa wayang-wayangan dalam versi yang lebih besar serta,

3. Upacara Mepandes atau Potong Gigi yang memiliki filosofi untuk meredam gejolak Sad Ripu atau enam musuh dalam diri manusia salah satunya hawa nafsu atau Kama.

Melaksanakan persembahyangan ke pura-pura atau tempat suci setempat. Seperti contoh, melaksanakan persembahyangan bersama kelurga ke pura Kawitan, Dadia dan Ibu.

Menumbuhkan rasa cinta terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan

Di samping kegiatan di atas, orang tua juga dapat mengajarkan

(40)

yang berbau positif seperti melaksanakan kegiatan Dharma Gita yakni

membentuk Sekaa Santi dalam keluarga. Kegiatan ini berupa, makidung, makakawin, magaguritan, atau mamutru. Dharma Gita

sebagai media untuk menyampaikan dan memperdalam keyakinan

beragama sangat efektif. Dalam lingkungan dapat dibentuk Sekaa

Santhi yang mana pesertanya merupakan anggota keluarga, khususnya

remaja. Oleh karena itu penyampaian materi ajaran dijalin sedemikian

rupa, dalam bentuk lagu atau irama yang indah dan menawan,

mempesona pembaca dan pendengarnya. Selain itu melalui Dharma

Gita diharapkan mampu memberikan sentuhan rasa kesucian

kekhidmatan serta kekhusukan dalam pelaksanaan kegiatan

keagamaan, sehingga akan memunculkan rasa positif dalam diri.

Penggunaan bahasa komunikasi juga harus diperhitungkan, karena hal

ini sangat berdampak pada psikologis anak. Orang tua dapat

menggunakan bahasa komunikasi yang “sehat dan kaya”.

Pendidikan seks terutama pendalaman mengenai permasalahan

HIV/AIDS dan Kesehatan Reproduksi sudah seharusnya diberikan

kepada anak-anak yang sudah beranjak dewasa atau remaja, seperti

melalui pendidikan sekolah (formal). Berdasarkan kesepakatan

internasional di Kairo tahun 1994 (The Cairo Consensus) pendidikan

seks ini sangat penting diberikan untuk mencegah terjadinya

perbuatan-perbuatan diluar norma khususnya diberikan dalam

lingkungan formal sekolah. Pendidikan seks yang disampaikan tidak

(41)

Olahraga dan Kesehatan (Penjasorkes) tetapi akan lebih baik apabila

pendidikan seks dapat dipadukan dengan pembelajaran Agama, Budi

Pekerti serta Bimbingan Konseling. Seperti, mengadakan kegiatan

Kemah Sadhana (Sadhana Camp) di lingkungan sekolah, yang bekerjasama atau bermitra dengan KSPAN (Kelompok Siswa Peduli

AIDS dan Narkoba) ataupun PIK-KRR (Pusat Informasi dan

Konseling, Kesehatan Reproduksi Remaja) dengan mempergunakan

Wayang Cenk Blonk sebagai media pendidikan seks yang

menyenangkan penuh dengan inovasi, kreatif dan atraktif. Pemahaman

mengenai Kemah Sadhana sesungguhnya hal baru dan sering dikaitkan

dengan Pasraman Kilat atau Pesantren Kilat yang merupakan bagian

dari kegiatan diluar jam sekolah. Oleh karena itu, dalam

implementasinya sebaiknya dilaksanakan pada saat liburan selama

kurang lebih 3 sampai 4 hari, agar tidak menggangu proses belajar

siswa. Kegiatan Kemah Sadhana diawali dengan perekrutan anggota,

dan pembentukan kelompok (secara tidak langsung dapat belajar

menjadi seorang pemimpin). Melalui Kemah Sadhana pun secara tidak

langsung remaja dapat memahami tentang konsep Pendidikan

Karakter, karena sebagian besar implementasi dari Kemah Sadhana

berkaitan pula dengan 9 Pilar Pendidikan Karakter Bangsa ( Mantik,

Agus, 2007).

Tabel. 4.2.2.2 Rancangan Kegiatan Pendidikan Seks di Kemah Sadhana Melalui Media Wayang Cenk Bonk

(42)

Kegiatan

1.

Dharma Wacana

Dewan Pendidik atau Tutor dapat mengkolaborasikan antara pendidikan seks pada materi Catur Asrama (empat jenjang hidup manusia), Catur Purusartha (empat tujuan hidup manusia yang terdiri dari, Dharma. Artha. Kama

dan Moksa), Wiwahan

(Pernikahan), Susila (etika dalam bertingkah laku), Hukum Kharma Phala.

1. Materi Catur Asrama dan Catur Purusartha dapat dilihat pada pembelajaran Agama Hindu Kelas XII SMA, semester 2.

2. Materi Wiwaha dapat dilihat pada pembelajaran Agama Hindu kelas XII SMA, semester 2.

3. Materi Susila dapat dilihat pada pembelajaran Agama Hindu kelas X dan XI SMA, semester 1 dan 2.

Dharma Gita

Membentuk Sekaa Santi dan Sekaa Bleganjur. Kegiatan Sekaa Santi berupa Makidung, Makakawin, Magaguritan, atau Mamutru. Sekaa Santi dan Sekaa Bleganjur di bentuk untuk mengiringi pementasan Wayang Cenk Blonk. Dharma Gita sebagai media untuk menyampaikan dan memperdalam keyakinan beragama yang sangat efektif.

2.

Dharma Tula

Mengadakan kegiatan diskusi atau bertimbang wirasa seputar Hukum Kharma Phala yang dikatikan dengan kasus aborsi dan HIV/AIDS.

Kegiatan ini dapat diberikan disela-sela penyampaian materi Kharma Phala (hasil dari perbuatan seseorang)

Dharma Sadhana

1. Belajar membuat sarana upakara serta mencari makna yang terkandung di dalamnnya. Pada kegiatan-kegiatan Yadnya atau upacara agama yang memiliki keterkaitan dengan Pendidikan Seks, (sex education) sepeti,

 Praktik membuat sarana upakara, upacara Ngeraja Singa (untuk laki-laki) dan Ngeraja Suwala (untuk perempuan) yakni prosesi yang dilakukan disaat anak telah menginjak dewasa atau telah menunjukkan adanya perubahan sekunder maupun primer (gembakin).

(43)

3.

Dharma Sadhana

1. Menonton pementasan Wayang Cenk Blonk dengan cerita yang memiliki keterkaitan dengan pendidikan seks. 2. Mengadakan malam renungan

melalui kegiatan Homa yakni upacara korban api (apu unggu secara suci) dengan tujuan:

 Menghidari penderitaan emosional (Artah).

 Memperoleh keuntungan pikiran (Artharthi).

 Memperoleh kepuasan

intelektual (Jijnasuh).

 Memperoleh kebijakan, terutama meredam hawa nafsu (Jnani).

Untuk memaksimalkan kegiatan pementasan Wayang Cenk Blonk, sebelumnya telah dibentuk Sekaa atau Perkumpulan Pecinta Wayang Cenk Blonk (SPWCB) di lingkungan

sekolah. Dengan

mempergunakan media sederhana hasil swadaya peserta Kemah Sadhana.

Dharma Yatra

Mengadakan persembahyangan dan bakti sosial ke pura-pura setempat untuk meningkatkan Sradha Bakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga menimbulkan rasa bersalah apabila berbuat dosa. Disamping itu dapat mengadakan kegiatan yoga atau meditasi bersama untuk mencari ketenangan batin.

4 Dharma

Santhi

1. Mengadakan perlombaan yang berhubungan dengan materi yang telah disampaikan, seperti:

 Lomba Cerdas Cermat (LCC) seputar Pendidikan Seks.

 Lomba Cipta Sastra, baik berupa lagu, cerpen dan puisi.

 Lomba Dharma Wacana atau Ceramah dan Berpidato.

 Lomba Membuat sarana upakara Ngeraja Singa dan Ngeraja Swala atau Munggah Deha.

 Putri : Banten Pabyakala, Banten Prayascita, Banten Dapetan, Banten Sesayut Tabuh Rah, dan Banten Padedarian (dapat dipilih sesuai kemauan).

 Putra : Banten Sesayut Ngraja Singa, membuat Ancak, dan Sanggah Cucuk (dapat dipilih sesuai kemauan).

 Lomba eksibhisi atau peragaan menjadi dalang.

2. Mengadakan silaturahmi kepada peserta Pasraman serta mengadakan kunjungan silaturahmi ke ODHA (Orang dengan HIV/AIDS), sebagai wujud rasa solidaritas dan rasa kemanusiaan (humanisme). Untuk mendukung kegiatan tersebut dapat dibentuk KDS (Kelompok Dukung Sebaya) yang bertujuan untuk memberikan dukungan atau motivasi kepada para penderita HIV/AIDS selain juga memberikan bimbingan konseling.

Sulitnya mencari peserta yang berniat menjadi pedalang cilik

atau pedalang pemula sebagai kunci dalam pementasan Wayang Cenk

(44)

suatu kendala klasik dalam menyukseskan gagasan ini. Salah satu hal

yang menjadi penyebabnya adalah, minimnya sarana dan prasarana

yang dimiliki. Seperti, wayang, kropak, musik pengiring serta tidak

kalah penting pendamping dan bakat tentunya. Sehingga, untuk

mengatasi kendala tersebut, sangat dibutuhkan usaha keras, adapaun

beberapa alternatif pilihan yang dapat ditempuh dalam mendukung

gagasan tersebut yakni,

1. Agar dalam kegiatan pementasan Wayang Cenk Blonk bisa

komunikatif, pementasan wayang ini dapat disederhanakan.

Misalnya memakai bahasa gado-gado atau serombotan, bila perlu didominasi oleh penggunaan Bahasa Indonesia atau Bahasa Bali.

2. Iringan musik Wayang Cenk Blonk, tidak perlu banyak. Jika di

sekolah hanya tersedia Sekaa Bleganjur, alat musik tradisional

tersebut dapat digunakan sebagai alternatif pilihan, sehingga

anak-anak dapat ikut terlibat aktif di dalamnya. Sedangkan untuk siden atau penyanyi pengiring, dapat digantikan dengan Sekaa Santi

yang sebelumnya telah dibentuk dalam kegiatan Kemah Sadhana.

3. Untuk waktu pementasan Wayang Cenk Blonk, kurang lebih

berkisar selama 1 jam dengan rincian, 30 menit untuk tampil dan

30 menit untuk tanya jawab. Jadi dalang dapat memperkenalkan

tokoh wayang beserta karakternya sekaligus menyampaikan pesan

moral yang terkandung dalam cerita tersebut, khususnya pada

pendidikan seks (Suparta, Wayan dalam Budi Adnyana, Gede

(45)

Perencanaan Kemah Sadhana dapat dilaksanakan melalui urun

rembug, pengorganisasian Kemah Sadhana dilakukan berdasarkan pertimbangan kompetensi, dedikasi dan loyalitas, pengaktifan Kemah

Sadhana dilakukan melalui pemberian support, dana transportasi.

Sedangkan, pengendalian Kemah Sadhana dilakukan dengan

memberikan pembinaan, teguran dan sanksi. Hasil proses

pembelajaran ini hendaknya dapat diaplikasikan tidak saja di

lingkungan sekolah, akan tetapi dalam masyarakat luas juga patut

diterapkan mengingat dunia seni pedalangan kini semakin diminati

masyarakat. Bukan hanya bagi masyarakat Bali, namun mulai banyak

anak muda yang tertarik dengan kesenian Wayang Cenk Blonk ini.

Sejalan dengan kegiatan diatas, dewan pendidik sebagai fasilitator

dapat memberikan materi dengan sebaik mungkin dengan

mengedepankan sisi humanis dan inovatif, seperti mencoba memadukan antara materi yang dibahas dengan mengangkat

kasus-kasus yang relevan terjadi di masyarakat dengan kreatif dan inovatif

sehingga tidak meninggalkan kesan membosakan yang berujung pada

hilangnya motivasi belajar anak. Fasilitator seyogyanya hanya

menasehati dan tidak mencampuri kebebasannya untuk memilih

sendiri. Seperti, figur seorang ibu membimbing anaknya untuk

berjalan. Beliau merentangkan tangannya untuk membantu si anak

agar tidak terjatuh akan tetapi beliau memberikan kesempatan kepada

sang buah hati untuk memilih jalannya dan mengendalikan

(46)

Dilihat dari impelemtasinya pendidikan seks melalui media

Wayang Cenk Blonk juga selain dikembangkan di lingkungan sekolah,

juga dapat dikembangkan dalam tataran yang lebih luas, yakni melalui

lingkungan masyarakat (nonformal). Di dalam masyarakat Hindu di

Bali khususnya, di Desa adat, telah ada forum-forum diskusi yang

berpotensi sebagai media dalam memberikan pendidikan seks melalui

Wayang Cenk Blonk, seperti Sekaa Truna (ST). Sekaa Truna

merupakan organisasi pembinaan generasi muda khususnya anak yang

masih berusia sekolah maupun tidak sekolah guna mendalami dan

menerapkan arti dari pentingnya bersosialisasi dalam masyarakat.

Sekaa Truna dapat dipergunakan sebagai media pendidikan seks

bernuansa kerohanian yang dimantapkan melalui pengembangan

program Pasraman di lingkungan masyarakat. Mengingat Pasraman

merupakan sekolah yang bernuansa kerohanian yang berhubungan

dengan pendalaman ajaran agama, khusunya Agama Hindu.

Kegiatan-kegiatan dalam Pasraman yang penuh dengan nuansa religius sangat

tepat untuk dijadikan sebagai ajang pendidikan khusnya pendidikan

seks bagi remaja terutama melalui ajaran-ajaran agama yang

diimplementasikan dalam berbagai kegiatan di Pasraman. Dalam

implementasinya sebagai media pendidikan seks, Pasraman dapat

bekerjasama langsung dengan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS),

PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga), dan Kader Kesehatan

Desa. Adapun model pembelajaran dipergunakan oleh dewan pendidik

(47)

Dharma Yatra, Dharma Tula, Dharma Gita, Dharma Sadhana dan

Dharma Santi. Sebagian besar model pembelajaran yang ditawarkan, memiliki keterkaitan dan mendukung dalam pendidikan seks melalui

media Wayang Cenk Blonk, sehingga dapat dikatakan bahwa

pembinaan pendidikan seks melalui Pasraman dapat direalisasikan.

Kesenian Wayang Cenk Blonk memang sangat kaya akan

ungkapan-ungkapan verbal permainan bahasa yang sarat dengan

nilai-nilai filosofi agama dan budaya. Oleh karena itu, Agar sebuah

informasi dapat diterima dengan baik oleh pendengarnya, dalam

pagelaranya dalang dapat lebih menekankan dan menyelipkan

permainan bahasa yang terdapat pada dialog-dialog empat Tokoh

Punakawan Wayang Cenk Blonk yakni, Tualen, Meredah, Sangut,

Delem, Condong, (Tokoh Punakawan perempuan) yang sering dipanggil

dengan sebutan ‘Nyoman’ serta tokoh punakawan kreasi tambahan Nang

Semangat, Nang Ligir, Nang Klenceng, Nang Cenk Blong dan tokoh

punakawan perempuan kreasi Tu Gek. Permainan bahasa ini

sesungguhnya berfungsi sebagai media informasi sekaligus medidik

tetapi dibungkus dengan hiburan. Unsur humor atau lelucon diselipkan

agar pendengar tertarik dan jika sudah tertarik, otomatis pesan yang

sebenarnya ingin disampaikan dapat diterima. Berikut ini contoh

percakapan atau dialog antara Tokoh Mredah dan Tualen yang

membahas mengenai pendidikan seks khusunya singkatan AIDS yang

(48)

Tualen : / kelang nanang ngoraang bedikin cai ngalih barang bangka,

pang sing nyanan kene sakit AIDS/ ‘kan ayah bilang jangan

kamu mencari pelacur, agar tidak terkena penyakit AIDS

nanti’

Mredah : /AIDS ento apa? / ‘AIDS itu apa?’

Tualen : A I D S

Mredah : A

Tualen : /akibat/ ‘akibat’

Mredah : I

Tualen : /itunya/‘itunya’

Mredah : D

Tualen : /dimasukkan/ ‘dimasukkan’

Mredah : S

Tualen : /Sembarangan, jeg AIDS polon ci, nyidaang sing nulungin

ben/

‘ Sembarangan, jeg kena AIDS kamu, tidak bisa ditolong’

Bentuk pelesetan kepanjangan dari singkatan AIDS Aquired Immune Deficiency Syndrome menjadi ”Akibat Itunya Dimasukkan Sembarangan” sebenarnya berfungsi informasi yang orientasinya

mengarah pada topik pembicaraan, yakni HIV/AIDS. Pemelesetan

kepanjangan ini dilakukan tokoh-tokoh Punakawan untuk menarik

antusias pendengar agar menyimak pelesetan kepanjangannya yang

informatif bagi pendengarnya, dengan pesan yang ingin disampaikan

Gambar

Tabel. 4.2.2.1 Rancangan Kegiatan Pendidikan Seks di Lingkungan Keluarga Melalui Konsep Satsangga dan Wayang Cenk Blonk
Tabel. 4.2.2.3 Rancangan Kegiatan Pendidikan Seks di Pasraman  Melalui Media Wayang Cenk Blonk
Gambar 1. Pementasan Wayang Cenk Blonk oleh Dalang Cilik
Gambar  3.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Gangguan kesehatan mental yang ditandai dengan persepsi dan perilaku yang terdistorsi atau skizofrenia memiliki dua kategori gejala yaitu positif dan negatif.. Gejala

persaingan baru di lingkungan Star Clean dan peneliti mengintregasikan beberapa faktor khususnya pengaruh fasilitas, kualitas pelayanan, serta kepuasan pelanggan Untuk

في تُح فأ ةيفللخا ةيميلعتلا لرخز دحمأ ذاتسلأا ( Ahmad Zukhri, S.S ) ةبسانهم كأ ةبهاشتم عم ةغللا ةيبرعلا يهف بدلأا بيرعلا. لوس ةيفللخا ،ةيميلعتلا فىوتسا ملعم

impermeable terhadap air, dormansi mekanis merupakan dormansi yang disebabkan kulit benih terlalu keras sehingga menghambat perkembangan embrio, dan dormansi kimiawi yang

Seorang analis system harus mampu melakukan pemilihan perangkt computer, menentukan orang yang akan menggunakan SIM, menyusun prosedur dari SIM tersebut dan

Roti tawar ubi jalar adalah roti tawar yang dibuat dari tepung terigu yang disubtitusi dengan puree ubi jalar ungu. Penggunaan puree ubi jalar ungu dapat digunakan sebagai

[r]

gerak pindah tempat yang di lakukan oleh tumbuhan ( bersel satu ) atau bagian dari tumbuhan menuju atau menjauhi arah