Program Jika Aku Menjadi (JAM) di Trans TV:
Menumbuhkan Solidaritas Sosial
pada Rakyat Kecil
Oleh Satrio Arismunandar
―Pak, boleh tahu alamat Bapak tua, yang kakinya cacat, di tayangan Jika Aku Menjadi (JAM) hari Minggu lalu? Sampai hari ini, saya masih terbayang-bayang tentang nasib Bapak tua itu. Saya ingin memberi sumbangan buat dia.‖
Itu diucapkan salah satu pemirsa JAM, Ibu Ana, lewat telepon hari Rabu (6 Februari 2007). Ia mengaku, jarang menonton program televisi lokal, dan terbiasa menonton siaran dari luar negeri. Tetapi, suatu ketika ia kebetulan menonton tayangan JAM. Ia langsung merasa tersentuh, sampai menangis.
Ibu Ana hanya salah satu dari sekian banyak penonton, yang mulai menikmati dan mengapresiasi JAM. Kekhasan tayangan ini bahkan membuat JAM diprofilkan di media nasional, seperti Tabloid Nyata, Tabloid Nova, dan Harian Republika.
Sejak penayangan perdana pada 25 November 2007, JAM selalu setia hadir di layar Trans TV setiap hari Minggu, pukul 18.00-18.30 WIB. JAM saat ini adalah satu-satunya karya Divisi News yang ditayangkan di prime time. Meski perolehan rating dan
share-nya belum menembus angka bonus, JAM di slot itu hanya kalah oleh sinetron di stasiun-stasiun TV kompetitor.
Secara tak langsung, JAM adalah jawaban Trans TV terhadap tudingan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang selalu mengritik tayangan yang dianggap tidak mendidik, mengajarkan takhyul, mengumbar aurat, dan mengeksploitasi kekerasan. JAM tidak memberikan mimpi, tetapi justru memperkenalkan penonton pada kehidupan orang kecil seperti apa adanya, serta mempromosikan solidaritas dan kepekaan sosial.
Program JAM menggambarkan kehidupan orang kecil dengan profesi atau
pekerjaan tertentu, yang biasanya dianggap ―gurem‖ oleh masyarakat. Seperti: petani, nelayan, pemulung, seniman kecil, tukang pijat, penjual air, penjual rujak, dan sebagainya. Yang dipilih jadi narasumber adalah orang yang tetap jujur, sabar, tekun, gigih berjuang, meski hidupnya miskin dan penuh kesusahan.
Harus memberi inspirasi
seberapa miskin dan susahkah narasumber itu. Lalu, aspek-aspek apa dari kehidupannya, yang layak untuk ditayangkan.
Sebagai contoh, ketika membuat pilot project JAM tahun 2007, crew JAM butuh waktu tiga hari di lapangan, untuk menemukan seorang nelayan yang paling miskin di Indramayu. Ia beserta istri dan dua anaknya tinggal di gubuk, yang sebenarnya lebih tepat disebut kandang kambing! Karena miskinnya, mereka biasa makan nasi aking, yaitu nasi basi yang dikeringkan, dan lalu direbus lagi untuk dimakan.
Dalam memilih nara sumber, JAM tak akan pernah memprofilkan pengemis, karena –menurut Pak Chairul Tanjung—Trans TV harus menampilkan tokoh yang memberi inspirasi pada penonton (inspiring people). Sedangkan pengemis, yang tak mau bekerja dan hanya suka meminta-minta, bukanlah profil yang layak ditampilkan.
Yang menjadi talent di dalam JAM biasanya seorang gadis dari kota, usia 23-28 tahun, yang cukup good looking, gaul, dan relatif ―tidak pernah mengalami hidup susah.‖
Talent inilah yang berinteraksi dengan narasumber dan keluarganya, dan melalui talent
inilah penonton diperkenalkan pada kehidupan narasumber. Mulai dari aspek yang lucu, unik, mengharukan, sampai yang memberi pelajaran tentang kehidupan.
Karena harus berinteraksi dengan orang miskin dan susah, tidak sembarang orang layak jadi talent. Biar gadis itu cantik, tetapi kalau jutek dan tak punya rasa empati pada orang kecil, ia tidak akan dipakai di JAM. Faktor krusial inilah yang membuat crew JAM sering repot dalam memilih talent. Dari sekian banyak yang melamar, hanya sedikit yang memenuhi kriteria.
JAM juga sengaja tidak menggunakan artis atau bintang sinetron sebagai talent, karena khawatir tayangan di JAM oleh penonton dianggap hanya sebagai acting. Padahal JAM adalah tayangan yang semi reality. Jika si talent atau narasumber terlihat terharu atau menangis di layar, itu betul-betul ekspresi murni mereka, bukan direkayasa oleh crew JAM. JAM juga tidak menyediakan skrip untuk talent dan narasumber, agar dialognya sealami mungkin.
Dengan segala pengakuan dan pujian dari berbagai pihak saat ini, bagaimanapun JAM masih harus berjuang, untuk betul-betul mendapat tempat utama di prime time. InsyaAllah, asalkan terus konsisten menjaga kualitas tayangan, JAM akan berjaya! ***
Jakarta, Februari 2008
Biodata Penulis:
* Satrio Arismunandar adalah anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994), Sekjen AJI (1995-97), anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1993-95. Pernah menjadi jurnalis Harian Pelita (1986-88), Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia (2000-Maret 2001), Produser Eksekutif Divisi News Trans TV (Februari 2002-Juli 2012), dan Redaktur Senior Majalah Aktual – www.aktual.co (sejak Juli 2013). Alumnus Program S2 Pengkajian Ketahanan Nasional UI ini sempat jadi pengurus pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia) 2002-2011.
Kontak Satrio Arismunandar:
E-mail: satrioarismunandar@yahoo.com; arismunandar.satrio@gmail.com
Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com