• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahap Perkembangan Moral Perspektif Bara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tahap Perkembangan Moral Perspektif Bara"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

PERKEMBANGAN MORAL

(PERSPEKTIF BARAT DAN ISLAM )

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Perkembangan Peserta Didik Pendidikan Dasar

Dosen Pengampu : Dr. Hj. Lilik Sriyanti, M.Si

Disusun oleh :

Munari, S.Pd.I

NIM : 12020160006

PROGRAM PASCASARJANA

ILMU PENDIDIKAN DASAR ISLAM

(2)

1

BAB I

PENDAHULUAN

Dewasa ini bangsa kita sedang terpuruk mengalami banyak krisis, lebih tepatnya krisis

multidimensional. Salah satu sektor yang sangat memerlukan penanganan khusus adalah krisis moral, maka sudah seharusnya pendidikan sebagai agent of change mengambil peranan utama yang berdiri di garda terdepan sebagai benteng moral bangsa. Menurut Ki Hajar Dewantara,

pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan

batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak.

Di dalam Bab II Pasal 3 UU Sisdiknas 2003 juga dituliskan bahwa “Pendidikan nasional

berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang

bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya

potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya pendidikan moral dan pembangunan karakter

bangsa. Pendidikan moral merupakan bagian integral yang sangat penting dari pendidikan kita.

Untuk itu dunia pendidikan harus mampu menjadi motor penggerak untuk memfasilitasi

pembangunan moral bangsa, sehingga setiap peserta didik mempunyai kesadaran kehidupan

berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan

sendi-sendi NKRI dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama.

Faktanya meskipun pendidikan karakter dan moral menjadi prioritas utama pendidikan bangsa kita, tetapi rupanya belum membuahkan hasil yang memuaskan. Terbukti berdasarkan

hasil survei yang dihimpun oleh BPS (Badan Pusat Statistik) justru kenakalan remaja

mengalami kenaikan sepanjang tahun.

Berikut adalah data peningkatan kenakalan remaja dari tahun ketahun diambil dari Badan

Pusat Statistik (BPS), Pada tahun 2013 angka kenakalan remaja di Indonesia mencapai 6325

kasus, sedangkan pada tahun 2014 jumlahnya mencapai 7007 kasus dan pada tahun 2015

mencapai 7762 kasus. Tahun 2016 mencapai 8597,97 kasus, dan diprediksi tahun 2017 sebesar

9523.97 kasus. Berdasarkan data diatas maka kenakalan remaja mengalami kenaikan rata-rata

(3)

2

Dari uraian diatas memunculkan berbagai pertanyaan; bagaimana menanamkan moral pada

peserta didik agar tindak perbuatan amoral semakin menurun? Bagaimana tahapan-tahapan

dalam perkembangan moral peserta didik?

Maka menurut hemat penulis, untuk mampu menjawab dua pertanyaan tadi diatas maka

pemahaman kita sebagai pendidik akan urgensi tahapan-tahapan perkembangan sangat perlu untuk dipahami, agar dalam implementasinya kita tidak melenceng dari koridor dan kaidah

dasar dalam pendidikan moral. Sehingga sesuai harapan kita bersama pendidikan mampu

menanamkan moral dan mampu melaksanakanya secara tepat guna.

Penulis berharap makalah sederhana ini dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai

(4)

3

BAB II

PERKEMBANGAN MORAL

A. Pengertian Moral

Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan kemampuan

seseorang untuk mengetahui baik dan buruk suatu perbuatan, kesadaran untuk melakukan

perbuatan baik, kebiasaan melakukan baik, dan rasa cinta terhadap perbuatan baik. Moral

berkembang sesuai sendiri berasal dari kata mos yang berarti kesusilaan, tabiat, atau kelakuan.

Selanjutnya. Salam mengartikan moral sebagai hal-hal yang berkaitan dengan kesusilaan

(Masganti Sit: 2012, hal. 142)

Secara terminologi perkataan moral berasal dari ungkapan bahasa latin ‘mores’ yang merupakan bentuk jamak dari perkataan ‘mos’ yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (daring, ed.III) adalah penentuan baik buruk terhadap

perbuatan dan kelakuan. Istilah moral biasanya dipergunakan untuk menentukan batas-batas

suatu perbuatan, kelakuan, sifat dan perangai dinyatakan benar, salah, baik, buruk, layak atau

tidak layak, patut maupun tidak patut. Moral dalam istilah dipahami juga sebagai (1) prinsip

hidup yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk. (2) kemampuan untuk

memahami perbedaan benar dan salah. (3) ajaran atau gambaran tentang tingkah laku yang

baik.

Pendidikan moral sebagai bagian dari pendidikan nilai di sekolah, adalah upaya untuk

membantu subyek didik mengenal , menyadai pentingnya, dan menghayati nilai-nilai moral

yang seharusnya dijadikan panduan bagi sikap dan perilakunya sebagai manusia, baik secara

perorangan maupun bersama-sama dalam suatu masyarakat.

Menurut Piaget (Inggridwati; 2008, h.3-21), hakikat moralitas adalah kecenderungan

menerima dan menaati sistem peraturan. Sedangkan, menurut Kohlberg (Inggridwati; 2008,

h.3-22) mengemukakan bahwa aspek moral adalah sesuatu yang tidak dibawa dari lahir, tetapi

sesuatu yang berkembang dan dapat diperkembangkan/dipelajari. Perkembangan moral

merupakan proses internalisasi nilai/norma masyarakat sesuai dengan kematangan dan

kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap aturan yang berlaku dalam

kehidupannya. Jadi, perkembangan moral mencakup aspek kognitif yaitu pengetahuan tentang

baik/buruk atau benar/salah, dan aspek afektif yaitu sikap perilaku moral mengenai bagaimana

(5)

4

Disamping perilaku moral, ada juga perilaku tak bermoral yaitu perilaku yang tidak sesuai

dengan harapan sosial karena sikap tidak setuju dengan standar sosial yang berlaku atau kurang

adanya perasaan wajib menyesuaikan diri; serta perilaku amoral atau nonmoral yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial karena ketidakacuhan atau pelanggaran terhadap

standar kelompok sosial.

B. Tahap-Tahap Perkembangan Moral

Sebagai seorang pendidik atau calon pendidik terutama di lembaga pendidikan dasar

(SD/MI) sudah seharusnya kita mengetahui dan memahami tahap-tahap perkembangan moral

peserta didik. Agar pembahasan tidak meluas maka penulis kerucutkan pembahasan pada

perkembangan moral peserta didik. Para ahli berbeda dalam men-klasifikasikan

tahapan-tahapan dalam perkembangan moral, meskipun diantaranya memiliki titik persamaan dan

perbedaan, penulis uraikan pendapat para ahli sebagai berikut :

1. Tahapan Perkembangan Moral Anak Menurut Piaget

Menurut Piaget, dalam pengamatan dan wawancaranya pada anak usia 4-12 tahun

menyimpulkan bahwa anak melewati dua tahap yang berbeda dalam cara berpikir tentang

moralitas yaitu:

a. Tahap Moralitas Heterogen

Anak usia 4-7 tahun menunjukkan moralitas heterogen, yaitu tahap pertama dari

perkembangan moral. Anak berpikir bahwa keadilan dan peraturan adalah perangkat dunia

yang tidak bisa diubah dan dikontrol oleh orang (absolut). Anak berpikir bahwa peraturan dibuat oleh orang dewasa dan terdapat pembatasan-pembatasan dalam bertingkah laku. Pada

masa ini anak menilai kebenaran atau kebaikan tingkah laku berdasarkan konsekuensinya,

bukan niat dari orang yang melakukan. Anak juga percaya bahwa aturan tidak bisa diubah atau

diturunkan oleh sebuah otoritas yang berkuasa (Masganti Sit: 2012, hal. 149).

Anak berpikir bahwa mereka tidak berhak membuat peraturan sendiri, melainkan dibuatkan

aturan oleh orang dewasa. Dalam tahapan ini seyogianya orang dewasa perlu memberikan

kesempatan pada anak untuk membuat peraturan, agar anak menyadari bahwa peraturan

berasal dari kesepakatan dan dapat diubah.

b. Tahap Moralitas Otonomi

Usia 7 – 10 tahun, anak berada dalam masa transisi dan menunjukkan sebagian ciri-ciri

dari tahap pertama perkembangan moral dan sebagian ciri dari tahap kedua yaitu moralitas

(6)

5

ketika menilai sebuah perbuatan, anak akan mempertimbangkan niat dan konsekuensinya

(subjektif). Moralitas akan muncul dengan adanya kerjasama atau hubungan timbal balik antara anak dengan lingkungan dimana anak berada (Masganti Sit: 2012, hal. 150).

Pada masa ini anak percaya bahwa ketika mereka melakukan pelanggaran, maka otomatis akan

mendapatkan hukumannnya. Hal ini seringkali membuat anak merasa khawatir dan takut

berbuat salah. Namun, ketika anak mulai berpikir secara heteronom (ketergantungan dengan peraturan yang dibuat) , anak mulai menyadari bahwa hukuman terjadi apabila ada bukti dalam

melakukan pelanggaran.

Piaget meyakini bahwa dengan semakin berkembang cara berpikir anak, anak akan

semakin memahami tentang persoalan-persoalan sosial dan bentuk kerjasama yang ada didalam

lingkungan masyarakat.

2. Tahapan Perkembangan Moral Anak Menurut L. Kohlberg

Lawrence Kohlberg juga menekankan bahwa cara berpikir anak tentang moral

berkembang dalam beberapa tahapan (Masganti Sit: 2012, hal. 151). Kohlberg

menggambarkan 3 (tiga) tingkatan penalaran tentang moral, dan setiap tingkatannya memiliki 2

(dua) tahapan, yaitu :

a. Moralitas Prakonvensional

Penalaran prakonvensional adalah tingkatan terendah dari penalaran moral, pada tingkat

ini baik dan buruk diinterpretasikan melalui reward (imbalan) dan punishment (hukuman)

eksternal. Pertama, Moralitas Heteronom adalah tahap pertama pada tingkatan penalaran prakonvensional. Pada tahap ini, anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman, anak

berpikir bahwa mereka harus patuh dan takut terhadap hukuman. Moralitas dari suatu

tindakan dinilai atas dasar akibat fisiknya.

Contoh : “Bersalah” dicubit. Kakak membuat adik menangis, maka ibu memukul tangan kakak

(dalam batas-batas tertentu).

Kedua, individualisme, hedonisme. Pada tahap ini, anak berpikir bahwa mementingkan diri sendiri adalah benar dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. Karena itu, anak berpikir

apapun yang mereka lakukan harus mendapatkan imbalan atau pertukaran yang setara. Jika ia

berbuat baik, maka orang juga harus berbuat baik terhadap dirinya, anak menyesuaikan

terhadap harapan sosial untuk memperoleh penghargaan.

Contoh : berbuat benar ia dipuji “ baik sekali”. Mampu mengerjakan perintah/intruksi dengan

(7)

6

b. Moralitas Konvensional

Penalaran konvensioanal adalah tingkat kedua atau menengah dalam tahapan Kohlberg.

Pada tahapan ini, individu memberlakukan standar tertentu , tetapi standar ini ditetapkan oleh

orang lain, misalnya oleh orang tua atau pemerintah (orang yang memerintah).

Moralitas atas dasar persesuaian dengan peraturan untuk mendapatkan persetujuan orang lain

dan untuk mempertahankan hubungan baik dengan mereka.

Pertama, ekspektasi interpersonal, hubungan dengan orang lain, pada tahap ini anak menghargai kepercayaan, perhatian, dan kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar penilaian

moral. Pada tahap ini, anak menyesuaiakan dengan peraturan untuk mendapatkan persetujuan

orang lain dan untuk mempertahankan hubungan baik dengan mereka.

Contoh adalah mengembalikan krayon ketempat semula sesudah digunakan (nilai moral =

tanggung jawab).

Kedua, moralitas norma sosial, pada tahap ini penilaian moral didasari oleh pemahaman tentang keteraturan dimasyarakat, hukum, keadilan, dan kewajiban.

Seseorang yakin bahwa bila kelompok sosial menerima peraturan yang sesuai bagi seluruh

kelompok, maka mereka harus berbuat sesuai dengan peraturan sosial agar terhindar dari

ketidakamanan dan ketidaksetujuan sosial. Contohnya adalah bersama-sama membersihkan

kelas, semua anggota kelompok wajib membawa alat kebersihan (nilai moral = gotong royong).

3. Moralitas Pascakonvensional

Penalaran pascakonvensional merupakan tahapan tertinggi dalam tahapan moral

Kohlberg, pada tahap ini seseorang menyadari adanya jalur moral alternatif, dapat memberikan

pilihan, dan memutuskan bersama tentang peraturan, dan moralitas didasari pada

prinsip-prinsip yang diterima sendiri. Ini mengarah pada moralitas sesungguhnya, tidak perlu disuruh

karena merupakan kesadaran dari diri orang tersebut.

Pertama, hak individu, pada tahap ini individu menalar bahwa nilai, hak, dan prinsip lebih utama. Seseorang perlu keluwesan dalam adanya modifikasi dan perubahan standar moral

apabila itu dapat menguntungkan kelompok secara keseluruhan. Contoh pada tahun ajaran

baru sekolah memperkenankan orangtua menunggu anaknya selama lebih kurang satu minggu,

setelah itu anak harus berani ditinggal.

(8)

7

bukan untuk menghindari kecaman sosial (orang yang tetap mempertahankan moralitas tanpa

takut dari kecaman orang lain).

Contohnya adalah anak secara sadar merapikan kamar tidurnya segera setelah ia bangun tidur

dengan harapan agar kamarnya terlihat selalu dalam keadaaan rapih.

Demikian tahapan-tahapan perkembangan moral menurut Piaget dan Kohlberg. Kalo

penulis cermati teori perkembangan moral piaget dan kohlberg memilik titik persamaan yaitu;

bahwa prinsip nilai-nilai moral tidak hanya didapatkan oleh peserta didik melalui sosialisasi atau pelajaran di sekolah, tetapi juga melalui interaksi sosial mereka dengan komunitas mereka, baik teman, keluarga dan masyarakat disekitarnya.

C. Moral Dalam Perspektif Islam

Islam merupakan agama yang syamil dan kamil (menyeluruh dan sempurna) memberikan aturan dan penjelasan disegala bidang, termasuk di dalamnya adalah aturan dalam ber-etika

atau ber-moral.

Islam sebagai agama moral sudah tentu kaya akan konsep dan kaidah, baik terkait dengan

ketuhanan maupun kemanusiaan, konsep relasi yang sehat secara vertikal dan horizontal,

seperti konsep tauhid, keadilan, persamaan (equality), toleransi (tasamuh), sampai yang terkait dengan kebersihan. Konsep-konsep ini diturunkan dan disyariatkan sebagai ajaran moral demi

terciptanya relasi yang sakral vertikal antara manusia dengan Tuhannya dan relasi harmonis,

dinamis, dan konstruktif fungsional horizontal yang duniawi antara manusia dengan manusia,

serta dengan makhluk di seluruh alam.

Dalam Islam istilah moral lebih dikenal dengan akhlak (Adian Husaini: 2016, h. 70),

meskipun diantara keduanya terdapat perbedaan yang signifikan dalam substansinya, kata

akhlak berasal dari bahasa Arab “قَالْخَأ” yang merupakan bentuk jamak dari “khuluq”. Secara

bahasa “akhlak” berarti budi pekerti, tabi’at, watak. Ahmad Amin mendefinisikan akhlak

sebagai kehendak yang biasa dilakukan. Ibnu Maskawih mengemukakan bahwa akhlak adalah

perilaku jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan tanpa melalui

pertimbangan (sebelumnya). Sedangkan Al-Ghazali memberikan definisi, akhlak adalah segala

sifat yang tertanam dalam hati, yang menimbulkan kegiatan-kegiatan dengan ringan dan mudah

tanpa memerlukan pemikiran sebagai pertimbangan.

Jadi pada hakekatnya akhlak (budi pekerti) ialah suatu kondisi atau sifat yang telah

meresap dalam jiwa dan telah menjadi kepribadian, hingga dari situ timbul berbagai macam

(9)

8

Apabila dari kondisi tadi timbul kelakuan yang baik dan terpuji menurut pandangan syari’at

dan akal pikiran, maka ia dinamakan budi pekerti yang mulia dan sebaliknya apabila yang lahir

kelakuan yang buruk, maka disebutlah budi pekerti yang tercela.

Salah satu contoh bahwa Islam mengajarkan akhlak adalah sabda Nabi Muhammad :

ُُءاَيَحـْلا ِمَالْسِإلْا ُقُلَخَو اًقُلُخ ٍنْيِد ِّلُكِل َّنِإ

Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu. (HR. Ibnu Majah) Dari Ibnu Umar r.a ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda “Malu itu pertanda dari iman.”

(HR Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits yang lain nabi SAW bersabda, “ Sesungguhnya aku diutus untuk

menyempurnakan akhlak yang mulia.” (Al Bukhari)

Akhlak adalah perhiasan yang paling utama karena orang mukmin yang paling sempurna

imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dengan akhlak yang baik, seorang mukmin dapat

mencapai derajat seperti orang yang siang harinya selalu berpuasa dan dimalam hari selalu

shalat malam.

“Tidak ada sesuatupun yang lebih berat dalam timbangan daripada akhlak yang baik.”(HR.

Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

D. Tahapan Perkembangan Moral Dalam Islam

Berbeda dengan perspektif barat, dalam Islam perkembangan dan penanaman nilai

akhlak dibagi dalam beberapa tahap;

Pertama, masa prenatal (نينجلا) dalam Islam masa prenatal sudah dihitung sebagai tahap awal perkembangan, karena Islam menganggap bahwa janin itu hidup, aktif dan mampu menerima

stimulus, sehingga dapat ditanamkan nilai-nilai akhlak dengan cara mendoakan janin,

memberikan gizi yang baik, dibacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an, dlsb.

Hal ini dijelaskan Allah seperti terlihat dalam Q.S.Al-A’raaf ayat 172 :

و

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunanُanak-anak Adam dari sulbi mereka

dan Allah mengambil kesaksian terhadap nyawa (ruh) mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Mereka menjawab: “Betul, (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”.

(kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan :

(10)

9

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwasannya ruh (nyawa) sesungguhnya memberi r espon

kepada setiap stimulus yang diberikan. Dengan demikian jelas bahwa anak di dalam

kandungan sudah bisa menerima stimulus/didikan.

Kedua, Pasca lahir (لفطلا) usia 0-2 tahun, masa ini anak berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan (koordinasi motorik halus dan kasar), intelegensi (daya pikir, daya cipta,

kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual), sosial emosional (sikap dan perilaku serta

agama), bahasa dan komunikasi yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan

perkembangan anak penanaman akhlak pada usia ini melalui bisyarah (ungkapan kegembiraan/syukur), mengadzani ketika lahir, melakukan rutinitas positif dan mentahniq

(oleh orang soleh) dengan harapan agar anak bisa meneladani keutamaan orang soleh

tersebut.

Ketiga, masa kanak-kanak (ةلوفطلا) 3-5 tahun, masa ini anak sudah mampu menggunakan kemampuan kognitifnya sehingga tepat untuk menanamkan nilai-nilai tauhid kepada anak

melalui pendekatan yang merangsang anak untuk memiliki tauhid yang aktif (yang

mendorongnya untuk bergerak melakukan sesuatu yang baik menurut Allah).

Keempat, anak usia sekolah (زّيمتُلا) usia 6-10 tahun, fase ini anak sudah mulai mampu membedakan baik dan buruk berdasarkan nalarnya sendiri sehingga di fase inilah kita sudah

mulai mempertegas pendidikan akhlak dan pokok-pokok syariat. Adapun yang dimaksud

dengan usia sekolah adalah kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan

perkembangan (koordinasi motorik halus dan kasar), intelegensi (daya pikir, daya cipta,

kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual), sosial emosional (sikap dan perilaku serta

agama), bahasa dan komunikasi yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan

perkembangan anak. Pendidikan akhlak pada anak usia sekolah dilaksanakan dalam suatu

lembaga pendidikan yang melaksanakan pembinaan pendidikan dan pengajaran dengan

sengaja, teratur dan terencana, yaitu di sekolah. Dan guru sebagai pelaksana dalam tugas

pembinaan, pendidikan dan pengajaran adalah orang yang telah dibekali dengan

pengetahuan tentang anak didik dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas

kependidikan.

Kelima, Masa Amrad (10-15 tahun) fase ini adalah fase dimana anak mulai mengembangkan potensi dirinya guna mencapai kedewasaan dan memiliki kemampuan bertanggung jawab

(11)

10

sehingga sudah semakin pandai menggunakan akalnya secara penuh. Salah satu yang menjadi

tuntutan bagi anak kemudian adalah kepandaiannya dalam mengatur harta yang dimulai

dengan kemampuan mengatur anggaran untuk dirinya sendiri.

Keenam, Masa Taklif (15-18 tahun) pada masa ini anak sudah sampai pada titik bernama taklif atau bertanggung jawab, baik kepadara pribadinya, keluarganya dan Tuhannya. Bagi lelaki

setidaknya fase ini paling lambat dicapai di usia 18 tahun dan bagi anak perempuan paling

lambat dicapai di usia 17 tahun. Tanggung jawab yang dimaksud selain pada diri sendiri juga

tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat sekitar dan masyarakat secara keseluruhan.

Sehingga pada tahap ini orang tua maupun pendidik lebih bersifat membimbing dan

mengarahkan bukan mengatur.

Secara ringkas keseluruhan tahapan di atas dapat kita lihat pada bagan di bawah ini

(12)

11

E. Implementasi Pendidikan Moral di Sekolah Dasar

Setelah kita mempelajari dan memahami tahap perkembangan moral pada anak maka

langkah yang dapat kita lakukan sebagai pendidik adalah sebagai berikut :

1) Memahami bahwa perkembangan moral berlangsung secara bertahap, sehingga

hendaknya seorang pendidik menanamkan nilai-nilai moral sesuai tahapanya, dimulai

dengan nilai-nilai yang konkrit berlanjut ke konsep abstrak.

2) Lakukanlah penanaman nilai moral melalui pembelajaran yang menyenangkan, aktif

dan kreatif karena tahap perkembangan usia SD/MI adalah masa aktifnya anak,

sehingga anak tidak mudah bosan.

3) Mulailah menanamkan nilai-nilai moral dengan yang asas terlebih dahulu, seperti

akhlak kepada tuhan-nya, keluarganya, kejujuran, disiplin, bertanggung jawab, adil,

kasih sayang, dll.

4) Bekerja samalah dengan orangtua (co parenting) orang tua murid harus menjadi partner

dalam membentuk moral anak, bahkan mempunyai peran utama. Sekolah yang

menjalankan pendidikan moral harus mempunyai rencana yang jelas tentang kegiatan

yang dapat dilakukan bersama orang tua murid agar pembentukan karakter anak dapat

(13)

12

Psychology of Moral Development, Lawrence Kohlberg menyimpulkan terhadap hasil

penelitian empiriknya terhadap perkembangan moralitas anak-anak dari berbagai latar

belakang agama, yaitu Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, dan Islam, bahwa agama dan institusi

agama tidak memiliki pengaruh terhadap perkembangan moral seseorang. Teori yang

dihasilkan dari penelitian Kohlberg dikenal dengan teori kognitif-developmental, yaitu 3 (tiga) tingkatan dan 6 (enam) tahapan perkembangan moral yang menegaskan bahwa pada intinya

moralitas mewakilil seperangkat pertimbangan dan putusan rasional yang berlaku untuk

setiap kebudayaan, yaitu prinsip kesejahteraan dan prinsip keadilan. Menurutnya, prinsip

keadilan merupakan komponen pokok dalam proses perkembangan moral yang kemudian

diterapkan dalam proses pendidikan moral.

Teori Kohlberg tentang perkembangan penalaran moral lebih spesifik dan lebih

kompleks daripada Piaget. Teori Kohlberg memungkinkan kita memperoleh pengertian yang

lebih luas dan lebih kaya tentang hakekat perkembangan penalaran moral dan faktor -faktor

yang mempengaruhinya. Teori Kolhberg lebih banyak membahas tentang penalaran terhadap

masalah-masalah sosial khususnya mengenai perkembangan penalaran moral, sedangkan

Piaget lebih banyak membahas tentang perkembangan penalaran terhadap masalah-masalah

fisik dan logika. Piaget menggambarkan proses dua-tahap perkembangan moral, sedangkan

teori perkembangan moral Kohlberg digariskan enam tahap dalam waktu tiga tingkat yang

berbeda. Kohlberg memperluas teori Piaget, mengusulkan bahwa pengembangan moral

adalah proses berkesinambungan yang terjadi selama kehidupan. Teori Islam membahas

pentingnya altruisme atau sikap tidak mementingkan diri sendiri, menyuruh kita menekan

agresivitas, dan bersikap adil terhadap sesama sesuai dengan apa yang tercantum di Al -Qur’an

dan Al-Hadis.

Pendekatan Kohlberg yang sangat empirik tersebut tidak mempertimbangkan potensi suci (fitrah), qalbu, ruh, akal yang dimiliki oleh setiap manusia yang sangat berpengaruh

dalam proses perkembangan moral dan pembentukan perilaku, sebagaimana yang ada dalam

(14)

13

kognitif seseorang. Ini dapat dimaklumi sebagai tradisi ilmiah Barat yang hanya menumpukan

pada konsep empirisme, apa yang terlihat oleh analisis penelitian. Sementara potensi fitrah

merupakan konsep keagamaan yang dianggap tidak empirik karena di dalamnya memuat

keyakinan tentang struktur jiwa manusia, seperti ruh, akal, qalb dan nafs (jiwa).

Kohlberg dan Piaget lebih memandang manusia dari kaca mata empiristik. Sedangkan

dalam perspektif Islam, manusia dipahami sebagai makhluk yang memiliki potensi fitrah

dimana terdapat daya-daya yang dapat memunculkan sebuah sikap dan perilaku yang tidak

lepas dari stimulus dari luar.

Teori Kohlberg dan Piaget tidak bisa menjawab persoalan mengapa moral anak muda

pada masa sekarang dinilai bobrok dan sangat mengkhawatirkan. Islam mempunyai jawaban

untuk semua hal tersebut. Jawaban yang paling mendasar adalah tidak adanya keimanan.

Dalam teori ini tidak berangkat dari apa yang menjadi inti dari kebutuhan dan keperluan

manusia. Dasar yang dipakai adalah moral berdasarkan penstrukturan kognitif, namun hal

yang paling penting adalah keimanan yang menjadi dasar kehidupan manusia. Tinggi

rendahnya moral seseorang dilihat dari sikap dan perilaku dia menghadapi dilema atau

masalah yang dihadapi. Dalam Islam keimanan sangat menentukan pada perilaku dan sifat

seseorang. Jika keimanannya tinggi maka perilakunya akan baik dan moralnya pun akan

tinggi. Namun jika moralnya rendah maka dapat dipastikan perilaku dan moralnya pun akan

rendah. Keimanan juga yang menentukan kebersihan atau kekotoran hati.

(15)

14

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Sulaiman. Panduan Mendidik Anak Usia Pra Sekolah. Terjemahan A. Amin Sjihab. Jakarta: Darul Haq, 2016.

Ahmad, Sulaiman. Panduan Mendidik Anak Usia Sekolah. Terjemahan A. Amin Sjihab. Jakarta: Darul Haq, 2016.

Andi, AG, “Membentuk Karakter Melalui Pendidikan Moral Pada Anak Usia Dini Di

Sekolah Raudhatul Athfal (R.A) Habibillah”, Jurnal Ilmiah WIDYA, Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013.

Baharuddin & Nur Wahyuni, E. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015.

Bahraen, Raehanul. Psikologi Islam Yang Sempurna. Bekasi: Rumah Ilmu, 2016.

Fatimah, Ibda, “Perkembangan Moral Pada Anak Dan Relevansinya Dengan Pendidikan”,

Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA Februari 2011 VOL. XI NO. 2, 380-391.

Hasbullah. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers, 2015.

Husaini, Adian. Pendidikan Berbasis Adab. Depok: Attaqwa Press, 2016.

Inggridwati, K., dkk. Perkembangan Belajar Peserta Didik. Jakarta: Dirjen Dikti, 2008.

Iredho, F.R, “Hubungan Antara Religiusitas Dengan Moralitas Pada Remaja Di Madrasah

Aliyah”, Humanitas, Vol. X No.2 Agustus 2013.

Lulu, Putri, “Kenakalan dan Degradasi Remaja”, Lomba Esai Nasional Pendidikan

Nonformal, 2016.

Masganti, Sit, Perkembangan Peserta Didik. Medan: Perdana Publishing, 2012.

Muhammad, Yusuf. Pendidikan Anak Dalam Islam. Terjemahan M. Yusuf Harun. Jakarta: Darul Haq, 2014.

(16)

15

Rachman Shaleh, Abdul. Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa. Jakarta: Rajawali Pers, 2006.

Ramayulis. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: Kalam Mulia, 2015.

Wan Daud, Wan Mohd. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Bandung: Mizan, 2006.

http://www.aniszaqiyatun.wordpress.com diakses tanggal 02 Maret 2017

http://www.parenting.co.id dikases tanggal 03 Maret 2017 pukul 20.15

http://www.pengertianpakar.com diakses tanggal 03 Maret 2017 pukul 20.13

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Oleh karena itu, dengan penambahan bahan organik berupa pupuk kandang dan Crotalaria juncea diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil serta menurunkan

Kemudian peneliti sepakat mengadakan penelitian tindakan kelas dengan model pembelajaran kooperatif jigsaw dalam pembelajaran mata pelajaran Pkn di kelas VIII D SMP

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan manfaat antara lain sebagai berikut : bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bone Bolango

Buku referensi ini berisikan antara lain konsep dan landasan pedagogik berkaitan model, pendekatan, metode, dan strategi pembelajaran sains inovatif kreatif yang

Indikator ini dapat berupa kertas, tetapi ada juga yang berupa larutan, yang dapat menunjukkan harga jangkauan pH suatu larutan yang lebar. Jika kertas indikator ini

Dalam indikator tersebut, terdapat berbagai parameter, yaitu : rata-rata jumlah item obat per lembar resep, persentase peresepan obat dengan nama generik, persentase

Berdasarkan rukun akad dan syarat yang dijelaskan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa jual beli di Desa Batumarta 1 Kecamatan Lubuk Raja terpenuhi rukun objek akad