• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Variabel Fundamental dan Risiko

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengaruh Variabel Fundamental dan Risiko"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TELAAH PUSTAKA 2.1. Landasan Teori

2.1.1. Pasar Modal

Seperti halnya pasar pada umumnya, pasar modal merupakan tempat

bertemunya antara pembeli dan penjual dengan resiko untung dan rugi. Pasar

modal merupakan sarana perusahaan untuk meningkatkan kebutuhan dana jangka

panjang dengan menjual saham atau mengeluarkan obligasi. Pada pasar modal

para pelaku pasar yaitu individu-individu atau badan usaha yang memiliki

kelebihan dana (surplus fund) melakukan investasi dalam surat berharga yang

ditawarkan oleh emiten. Menurut Martono dan Harjito, (2011:383), pasar modal

adalah suatu pasar dimana dana-dana jangka panjang baik hutang maupun modal

sendiri diperdagangkan. Dana jangka panjang yang di perdagangkan tersebut

diwujudkan dalam bentuk surat-surat berharga. Jenis surat berharga yang diperjual

belikan di pasar modal memiliki jatuh tempo lebih dari satu tahun dan ada yang

tidak memiliki jatuh tempo. Dana jangka panjang berupa hutang yang

diperdagangkan biasanya obligasi (bond), sedangkan dana jangka panjang yang

merupakan modal sendiri berupa saham biasa (common stock) dan saham preferen

(preferred stock).

Pasar modal terdiri pasar primer atau perdana (primary market) dan pasar

sekunder (secondary market). Pasar primer adalah pasar untuk surat-surat

berharga yang baru diterbitkan. Pada pasar ini dana berasal dari arus penjualan

surat berharga atau sekuritas baru dari pembeli sekuritas (investor) kepada

perusahaan yang menerbitkan sekuritas tersebut (emiten). Sedangkan pasar

(2)

Uang yang mengalir dari transaksi ini tidak lagi mengalir ke perusahaan penerbit

efek, tetapi hanya mengalir dari pemegang sekuritas yang satu kepada pemegang

sekuritas yang lain.

Menurut undang-undang Pasar Modal No. 8 tahun 1995 “Pasar modal

adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan

efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya serta

lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek”. Menurut Sunariyah (2004

dalam Novitasari, 2013) pasar modal secara umum adalah suatu sistem keuangan

yang terorganisasi, termasuk didalamnya adalah bank-bank komersial dan semua

lembaga perantara dibidang keuangan, serta keseluruhan surat-surat berharga yang

beredar.

Pasar modal mempunyai peranan sangat penting dalam perekonomian

suatu negara, hal ini dikarenakan pasar modal menjalankan fungsi ekonomi

sekaligus fungsi keuangan (Absari et al, 2013). Di lihat dari sudut pandang

ekonomi, pasar modal berfungsi sebagai salah satu sistem mobilitas dana jangka

panjang yang efisien bagi pemerintah. Melalui pasar modal pemerintah dapat

mengalokasikan dana masyarakat ke sektor investasi yang produktif. Di lihat

dari sudut pandang keuangan, pasar modal berfungsi sebagai salah satu media

yang efisien untuk mengalokasikan dana dari pihak-pihak yang mempunyai

kelebihan dana yaitu investor dan pihak yang membutuhkan dana yaitu

perusahaan.

2.1.2. Investasi

Investasi secara sederhana diartikan sebagai penanaman modal yang

(3)

keuntungan (nilai lebih) dari modal yang ditanamkan. Menurut kholidiah dan

Wanny (2013:1) investasi adalah komitmen untuk mengorbankan konsumsi

sekarang dengan tujuan memperbesar konsumsi dimasa yang akan datang.

Sedangkan menurut Jogiyanto (2000:5) kegiatan investasi adalah penundaan

konsumsi sekarang untuk digunakan di dalam produksi yang efisien selama

periode waktu tertentu.

Investasi juga diartikan oleh Tandelilin (2001:3) sebagai komitmen atas

sejumlah dana atau sumber daya lainnya yang dilakukan pada saat ini, dengan

tujuan memperoleh sejumlah keuntungan di masa yang akan datang. Investasi

merupakan penanaman dana yang dilakukan oleh suatu perusahaan ke dalam

suatu aset (aktiva) dengan harapan memperoleh pendapatan di masa yang akan

datang (Martono dan Harjito, 2011:144). Pengertian investasi tersebut

menunjukkan bahwa tujuan investasi adalah meningkatkan kesejahteraan investor,

baik sekarang maupun dimasa yang akan datang (Dhuwinta, 2003).

Dari pendapat-pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa

menempatkan sejumlah dana selama periode tertentu dengan harapan dapat

memperoleh peningkatkan kesejahteraan secara finansial di masa yang akan

datang. Investasi bisa dilakukan dimana saja termasuk di pasar modal. Dalam

melakukan investasi seorang investor selalu berhadapan dengan faktor resiko.

Menurut Tandelilin (2001:48), risiko merupakan kemungkinan perbedaan antara

return aktual dengan yang diharapkan. Semakin besar kemungkinan

perbedaannya, berarti semakin besar risiko investasi tersebut.

Adanya risiko atau ketidakpastian ini berarti investor akan memperoleh

(4)

Penyimpangan hasil pengembalian yang semakin besar menunjukan bahwa

investor akan menanggung risiko yang juga semakin besar (Puspita, 2011). Ketika

pemodal menghadapi kesempatan investasi yang berisiko, pilihan investasi tidak

dapat hanya mengandalkan pada tingkat keuntungan yang diharapkan. Yang bisa

dilakukan adalah memperkirakan berapa keuntungan yang diharapkan dari

investasinya, dan seberapa jauh kemungkinan hasil yang diharapkan. Karena itu

perlu dipahami proses investasi. Menurut Pramesti (2008) proses investasi

menunjukan bagaimana pemodal seharusnya melakukan investasi dalam sekuritas

dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Menentukan kebijakan investasi. 2. Analisis sekuritas.

3. Pembentukan portofolio. 4. Melakukan revisi portofolio. 5. Evaluasi kinerja portofolio.

Menurut Pramesti (2008) secara umum investasi dapat dibedakan menjadi

dua jenis, yaitu investasi riil dan investasi finansial. Investasi riil adalah kegiatan

investasi yang dilakukan dengan menanamkan modal dan terlibat langsung di

sektor riil seperti tanah, mendirikan pabrik, membangun gedung, mesin, maupun

investasi pada aset berwujud lainnya. Sedangkan investasi finansial adalah

kegiatan investasi yang dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui instrumen

keuangan atau surat berharga seperti saham, obligasi, Sertifikat Bank Indonesia

(SBI), dan sebagainya. Investasi pada surat-surat berharga ini dilakukan dengan

membeli aktiva keuangan perusahaan yang diperjualbelikan di pasar uang, pasar

(5)

komoditas yang obyek investasinya berupa komoditas dalam arti barang komoditi.

Investasi ini seringkali disebut sebagai perdagangan berjangka (future trading). Pada perekonomian modern, kegiatan investasi yang lebih banyak

dilakukan individu adalah investasi finansial. Hal ini salah satunya dikarenakan

investasi ini relatif lebih mudah dan praktis. Namun tidak berarti investasi

finansial lebih baik dibandingkan dengan investasi riil ataupun sebaliknya, karena

kedua bentuk investasi ini bersifat komplementer dengan segala kelebihan dan

kekurangannya masing-masing.

2.1.3. Tujuan Investasi

Pada dasarnya tujuan setiap individu dalam melakukan investasi adalah

untuk meningkatkan kesejahteraannya secara finansial. Tandelilin (2001:5)

menjelaskan bahwa alasan yang mendorong individu untuk melakukan investasi

adalah sebagai berikut:

1) Untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak di masa datang

Seorang yang bijaksana akan berpikir bagaimana meningkatkan taraf hidupnya

dari waktu ke waktu atau setidaknya berusaha bagaimana mempertahankan

tingkat pendapatannya yang ada sekarang agar tidak berkurang di masa yang akan

datang.

2) Mengurangi tekanan inflasi

Dengan melakukan investasi dalam pemilihan perusahaan atau obyek lain,

seseorang dapat menghindarkan diri dari risiko penurunan nilai kekayaan atau hak

(6)

3) Dorongan untuk menghemat pajak

Beberapa negara di dunia banyak melakukan kebijakan yang bersifat

mendorong tumbuhnya investasi di masyarakat melalui pemberian fasilitas

perpajakan kepada masyarakat yang melakukan investasi pada bidang-bidang

usaha tertentu.

2.1.4. Saham

Saham merupakan tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau

badan usaha dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Wujud saham adalah

selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik

perusahaan yang menerbitkan surat berharga tersebut. Porsi kepemilikan

ditentukan oleh seberapa besar penyertaan yang ditananmkan diperusahaan

tersebut.

Suatu perusahaan dapat menjual hak kepemilikannnya dalam bentuk

saham. Menurut Undang-undang Republik Indonesia nomer 8 tahun 1995

mengenai pasar modal (investorindonesia.com), saham adalah bukti kepemilikan

seseorang atau badan pada suatu Perseroan Terbatas. Jenis saham berdasarkan

cara peralihannya dibedakan menjadi saham atas unjuk (brearer stock) dan Saham

atas nama (registered stock) (Martono dan Harjito, 2011:392). Saham atas unjuk

nama pemilik saham tidak dituliskan di atas sertifikat. Dengan pemilikan saham

atas unjuk, seorang pemilik sangat mudah untuk mengalihkan atau

memindahkannnyakepada orang lain karena sifatnya mirip dengan uang. Saham

(7)

pemilik saham akan tercantum dalam daftar pemegang saham perseroan

bersangkutan. Keuntungan yang dapat dinikmati oleh pemegang saham berasal

dari pembayaran deviden yang diterima, tergantung pada keputusan Rapat Umum

Pemegang Saham. Menurut Jogiyanto (2000, dalam Novitasari, 2013), saham

diklasifikasikan menjadi tiga yaitu:

1) Saham Preferen

Merupakan saham yang mempunyai sifat gabungan antara obligasi dan

saham biasa. Dibandingkan dengan saham biasa, saham preferen mempunyai

beberapa hak, yaitu hak atas dividen tetap dan hak pembayaran terlebih dahulu

jika terjadi likuidasi. 2) Saham Biasa

Saham yang dikeluarkan oleh perusahaan berupa satu kelas saham saja. 3) Saham Treasuri

Adalah saham milik perusahaan yang sudah pernah dikeluarkan dan

beredar yang kemudian dibeli kembali oleh perusahaan untuk tidak dipensiunkan

tetapi disimpan sebagai treasuri.

Pemegang saham adalah pemilik dari perusahaan yang mewakilkan

kepada manajemen untuk menjalankan operasi perusahaan. Dalam menilai saham

dikenal adanya tiga jenis nilai, yaitu: nilai buku, nilai pasar dan nilai intrinsik

saham (Tandelilin, 2001:183). Nilai buku merupakan nilai yang dihitung

berdasarkan pembukuan perusahaan penerbit saham (emiten). Nilai tersebut

mencerminkan nilai perusahaan, dan nilai perusahaan tercermin pada nilai

kekayaan bersih ekonomis yang dimilikinya. Perhitungan nilai buku perlembar

saham adalah nilai kekayaan bersih (total aktiva – total kewajiban) ekonomis

dibagi dengan jumlah saham biasa yang beredar. Nilai pasar adalah nilai saham di

(8)

dilihat pada harga saham di Bursa Efek. Hargapasar menggambarkan nilai yang

terbentuk dari kekuatan pasar (permintaan dan penawaran) dari investor di Bursa

Efek. Semakin tinggi permintaan investor akan suatu saham, maka harga saham

tersebut akan semakin mahal, begitu pula sebaliknya. Sedangkn nilai intrinsik atau

dikenal sebagai nilai teoritis adalah nilai saham yang sebenarnya atau seharusnya

terjadi.

Investor berkepentingan untuk mengetahui ketiga nilai tersebut sebagai

informasi penting dalam pengambilan keputusan investasi yang tepat. Menurut

Tandelilin (2001:183) Dalam membeli atau menjual saham, investor akan

membandingkan nilai intrinsik dengan nilai pasar saham bersangkutan. Jika nilai

pasar suatu saham lebih tinggi dari nilai intrinsiknya, berarti saham tersebut

tergolong mahal (overvalued). Dalam situasi seperti ini, investor tersebut bisa

mengambil keputusan untuk menjual saham tersebut. Sebaliknya jika nilai pasar

saham di bawah nilai intrinsiknya, berarti saham tersebut tergolong murah

(undervalued), sehingga dalam situasi seperti ini investor sebaiknya membeli

saham tersebut.

2.1.5. Analisis Investasi Saham

Investasi di pasar modal mengakibatkan meningkatnya jumlah investor

yang beralih dari sektor perbankan ke dalam sektor pasar modal. Tujuan utama

investor melakukan investasi adalah memaksimalkan return, dengan

mempertimbangkan faktor risiko yang dihadapinya, dimana return

(9)

modal pada dasarnya bertujuan untuk memperoleh return, tetapi investor juga

harus berani menanggung risiko dari investasi yang ditanamkannya. Risiko

diidentifikasikan dengan fluktuasi atau ketidakpastian. Walaupun pertumbuhan

dari perolehan diinginkan, tetapi fluktuasi tajam yang memunculkan risiko tinggi

selalu diupayakan ditekan.

Analisis saham dibutuhkan untuk menentukan kelas risiko dan perolehan

surat berharga sebagai dasar keputusan investasi. Analisis tersebut dilakukan

dengan dasar sejumlah informasi yang diterima investor atas suatu jenis saham

tertentu. Hardiningsih, dkk (2002) menyatakan bahwa investasi yang dilakukan

para investor diasumsikan selalu didasarkan pada pertimbangan yang rasional

sehingga berbagai jenis informasi diperlukan untuk pengambilan keputusan

investasi. Sebelum melakukan kegiatan investasi saham, para investor tentunya

melakukan analisis terlebih dahulu terhadap saham suatu perusahaan, hal ini

bertujuan untuk bisa memperoleh tingkat return yang optimal dan sesuai yang

diharapkan. Husnan (2005) menyatakan bahwa untuk melakukan analisis dan

memilih saham terdapat dua pendekatan dasar, yaitu analisis fundamental dan

analisis teknikal.

1. Analisis Fundamental

Analisis fundamental mencoba memperkirakan harga saham di masa yang

akan datang dengan mengestimasi nilai faktor-faktor fundamental yang

mempengaruhi harga saham di masa yang akan datang dan menerapkan hubungan

variabel-variabel tersebut sehingga diperoleh taksiran harga saham. Analisis

(10)

terlebih dahulu kemudian kondisi industri, dan kondisi internal perusahaan itu

sendiri. Dalam menganalisis kondisi perusahaan, biasanya dapat dilihat dari

kinerja keuangan yang dapat diperoleh dari analisis laporan keuangan dengan

menggunakan berbagai alat ukur ekonomi guna melihat seberapa besar

kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan pada suatu periode. 2. Analisis Teknikal

Analisis teknikal merupakan upaya untuk memperkirakan harga saham

(kondisi pasar) dengan mengamati perubahan harga saham tersebut (kondisi

pasar) di waktu yang lalu. Berlainan dengan pendekatan fundamental, analisis

teknikal tidak memperhatikan faktor-faktor fundamental (seperti kebijaksanaan

pemerintah, pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penjualan perusahaan,

pertumbuhan laba, perkembangan tingkat bunga, dan sebagainya), yang mungkin

mempengaruhi harga saham. Pemikiran yang mendasari analisis teknikal adalah

bahwa harga saham mencerminkan informasi yang relevan, bahwa informasi

tersebut ditunjukan oleh perubahan harga di waktu yang lalu, dan karenanya

perubahan harga saham akan mempunyai pola tertentu dan pola tersebut akan

berulang. Analisis teknikal pada dasarnya merupakan upaya untuk menentukan

kapan akan membeli atau menjual saham dengan memanfaatkan

indikator-indikator teknis yang ada seperti harga saham dan volume perdagangan saham.

Peningkatan (penurunan) harga biasanya berkaitan dengan peningkatan

(penurunan) volume perdagangan. Jika harga saham turun biasanya return yang

dihasilkan juga akan berkurang begitu juga sebaliknya.

(11)

Informasi merupakan unsur penting bagi investor dan pelaku bisnis karena

informasi pada hakekatnya menyajikan keterangan, catatan atau gambaran baik

untuk keadaan masa lalu, saat ini maupun keadaan masa yang akan datang bagi

kelangsungan hidup suatu perusahaan dan bagaimana pasaran efeknya. Teori

signaling dikembangkan dalam ilmu ekonomi dan keuangan untuk

memperhitungkan kenyataan bahwa orang dalam (insiders) perusahaan pada

umumnya memiliki informasi yang lebih baik dan lebih cepat berkaitan dengan

kondisi mutakhir dan prospek perusahaan dibandingkan dengan investor luar.

Teori ini menjelaskan bahwa laporan keuangan yang baik merupakan sinyal atau

tanda bahwa perusahaan juga telah beroperasi dengan baik.

Menurut Sunardi (2010) informasi yang dipublikasikan sebagai suatu

pengumuman akan memberikan signal bagi investor dalam pengambilan

keputusan investasi. Jika pengumuman tersebut mengandung nilai positif, maka

pasar akan bereaksi baik dengan pihak lain. Reaksi pasar ditunjukkan dengan

adanya perubahan volume perdagangan saham. Pada waktu informasi diumumkan

dan semua pelaku pasar sudah menerima informasi tersebut, pelaku pasar terlebih

dahulu menginterpretasikan dan menganalisis informasi tersebut sebagai signal

baik bagi investor, maka terjadi perubahan dalam volume perdagangan saham. Teori sinyal menjelaskan alasan perusahaan menyajikan informasi untuk

p a s a r modal ( W o l k e t a l , 200 1 :375). Teori sinyal menunjukkan adanya

asimetri informasi antara manajemen perusahaan dan pihak-pihak yang

berkepentingan dengan informasi tersebut. Teori sinyal mengemukakan tentang

(12)

laporan keuangan. Teori signaling menyatakan bahwa perusahaan yang

berkualitas baik dengan sengaja akan memberikan sinyal pada pasar yang berupa

informasi, dengan demikian pasar diharapkan akan dapat membedakan

perusahaan yang berkualitas baik dan buruk (Arista, 2012 dalam Novitasari,

2013).

Informasi merupakan unsur penting bagi investor dan pelaku bisnis,

karena pada dasarnya informasi menyajikan keterangan catatan atau

gambaran baik untuk keadaan di masa lalu, sekarang dan masa yang akan

datang bagi kelangsungan hidup suatu perusahaan dan bagaimana pasaran

efeknya sendiri (Arista, 2012 dalam Novitasari, 2013). Investor selalu

membutuhkan informasi yang simetris sebagai pementauan dalam menanamkan

dana pada suatu perusahaan. Jadi sangat penting bagi perusahaan untuk

memberikan informasi setiap account (rekening) pada laporan keuangan dimana

merupakan sinyal untuk diinformasikan kepada inestor maupun calon investor

(Widyawati, 2013 dalam Novitasari, 2013).

Teori Sinyal juga mengemukakan tentang bagaimana seharusnya sebuah

perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Sinyal

tersebut berupa informasi mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik ataupun

pihak yang berkepentingan. Sinyal yang diberikan dapat juga dilakukan melalui

pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan atau dapat berupa

promosi serta informasi lain yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih

baik dari pada perusahaan lain. Menurut Jogiyanto (2000 dalam Kusumo, 2011),

informasi yang dipublikasikan sebagai suatu pengumuman akan memberikan

(13)

tersebut mengandung nilai positif, maka diharapkan pasar akan bereaksi pada

waktu pengumuman tersebut diterima oleh pasar.

Teori signaling menjelaskan bahwa perusahaan melaporkan secara suka

rela ke pasar modal agar investor mau menginvestasikan dananya, kemudian

manajer akan memberikan sinyal dengan menyajikan laporan keuangan dengan

baik agar nilai saham meningkat (Arista, 2012 dalam Novitasari 2013). Sinyal

tersebut berupa informasi mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik ataupun

pihak yang berkepentingan. Sinyal yang diberikan dapat juga dilakukan melalui

pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan atau dapat berupa

promosi serta informasi lain yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih

baik dari pada perusahaan lain.

2.1.7. Current Ratio (CR)

Likuiditas perusahaan menggambarkan kemampuan perusahaan dalam

memenuhi kewajiban jangka pendeknya (Utomo, 2004). Bukan hanya Bank

dan para kreditor jangka pendek saja yang tertarik dengan angka-angka rasio

likuiditas, rasio likuiditas juga berguna bagi kreditor jangka panjang dan

pemegang saham yang akhirnya atau setidaknya ingin mengetahui prospek dari

deviden dan pembayaran bunga di masa yang akan datang (Munawir, 2004

dalam Novitasari, 2013). Rasio likuiditas yang paling umum digunakan untuk

menganalisa posisi modal kerja suatu perusahaan adalah dengan menggunakan

Current Ratio (CR) (Novitasari, 2013).

Menurut Martono dan Harjito (2011:55) current ratio merupakan

perbandingan antara aktiva lancar (current assets) dengan hutang lancar (current

(14)

persediaan. Sedangkan hutang lancar terdiri dari hutang dagang, hutang wesel,

hutang pajak, hutang gaji/upah, dan hutang jangka pendek lainnya. Current

Ratio merupakan rasio yang menghitung kemampuan perusahaan dalam

membayar utang lancar dengan mengunakan aktiva lancar yang tersedia

(Syamsyudin, 2009). Current Ratio dapat dihitung mengunakan rumus (Martono

dan Harjito, 2011:56):

Aktiva Lancar

Current Ratio = x 100 Kewajiban Lancar

Current Ratio untuk perusahaan yang normal berkisar pada angka 2,

meski[un tidak ada standart yang pasti untuk penentuan current ratio yang

seharusnya (Halim dan Hanafi, 2009:75). Current Ratio yang rendah

menunjukan risiko likuiditas yang tinggi, sedangkan current ratio yang tinggi

menunjukan adanya kelebihan aktiva lancar, yang akan mempunyai pengaruh

yang tidak baik terhadap profitabilitas perusahaan.

2.1.8. Pengaruh Current Ratio terhadap Return Saham

Rasio likuiditas digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk

memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Current ratio digunakan untuk mencari

nilai likuiditas tersebut. Current Ratio yang rendah akan menyebabkan terjadi

penurunan harga pasar dari harga saham yang bersangkutan (Prihatini, 2009).

Sebaliknya current ratio terlalu tinggi juga belum tentu baik, karena pada kondisi

tertentu hal tersebut menunjukkan banyak dana perusahaan yang menganggur

(aktivitas sedikit) yang akhirnya dapat mengurangi kemampuan laba perusahaan. Menurut Prihantini (2009) semakin besar current ratio yang dimiliki

(15)

operasionalnya terutama modal kerja yang sangat penting untuk menjaga

perfomance kinerja perusahaan yang pada akhirnya mempengaruhi performance

harga saham. Hal ini dapat memberikan keyakinan kepada investor untuk

memiliki saham perusahaan tersebut sehingga dapat meningkatkan return saham.

Ang (1997 dalam Astuti, 2006) juga menuturkan bahwa current ratio bertujuan

untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka

pendeknya. Semakin tinggi current ratio suatu perusahaan berarti semakin kecil

resiko kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya.

Akibatnya resiko yang ditanggung perusahaan juga semakin kecil. Dengan

semakin kecilnya resiko yang ditanggung perusahaan maka diharapkan akan

meningkatkan minat para investor untuk menananamkan dananya dalam

perusahaan tersebut, sehingga investor lebih menyukai current ratio yang tinggi

dibandingkan current ratio yang rendah.

2.1.9. Return on Equity (ROE)

Profitabilitas modal sendiri dalam hal ini merupakan hasil pengembalian

atas ekuitas pemegang saham biasa yang digunakan untuk mengukur tingkat laba

yang dihasilkan dari investasi pemegang saham. Hal ini sangat penting

menyangkut kepada para investor dan pihak kreditur sebagai dasar pengambilan

keputusan. Jika ingin melakukan investasi pada suatu perusahaan investor atau

calon investor memerlukan informasi mengenai kemampuan perusahaan dalam

menghasilkan laba yang di lihat dari tingkat pengembalian yang diterima oleh

investor dan melihat bagaimana perusahaan tersebut mengolah aktivanya. Pihak

(16)

investor dan calon investor dalam mengolah dananya tersebut. Apabila dana

tersebut bisa dikelola dengan baik maka dapat meningkatkan laba yang diperoleh

dan berarti return yang dihasilkan akan meningkat pula. Hal ini akan dilihat oleh

para kreditur untuk menentukan kebijakan dalam menyalurkan dananya. Menurut

Martono dan Harjito (2011, 61) Return on Equity sering disebut rentabilitas modal

sendiri yang dimaksudkan untuk mengukur seberapa banyak keuntungan yang

menjadi hak milik modal sendiri.

Return on Equity adalah rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat

penghasilan bersih yang diperoleh perusahaan atas modal yang diinvestasikannya.

Return on Equity merupakan salah satu alat utama investor yang paling sering

digunakan dalam menilai suatu saham. Rasio ini penting bagi pihak pemegang

saham, untuk mengetahui efektifitas dan efesiensi pengelolaan modal sendiri yang

dilakukan pihak manajemen perusahaan. Semakin tinggi rasio ini berarti semakin

efesien penggunaan modal sendiri yang dilakukan pihak manajemen perusahaan

(Sudana, 2009). Semakin besar rasio Return on Equity mengambarkan semakin

baik keadaan perusahaan, sehingga akan meningkatkan kepercayaan investor

untuk menanamkan modalnya. Rasio Return on Equity dirumuskan sebagai

berikut (Syamsyudin, 2009;74):

Laba bersih sesudah pajak

ROE = x 100

Modal bersih

2.1.10. Pengaruh Return on Equity terhadap Return Saham

Return on Equity merupakan suatu pengukuran dari penghasilan (income)

yang tersedia bagi para pemilik perusahaan atas modal yang mereka investasikan

(17)

merupakan ukuran kemampuan perusahaan (emiten) dalam menghasilkan

keuntungan dengan menggunakan modal sendiri. Menurut Martono dan Harjito

(2011, 61) Return on Equity sering disebut rentabilitas modal sendiri yang

dimaksudkan untuk mengukur seberapa banyak keuntungan yang menjadi hak

milik modal sendiri. Investor yang akan membeli saham akan tertarik dengan

ukuran profitabilitas ini, atau bagian dari total profitabilitas yang bisa

dialokasikan ke pemegang saham. Seperti diketahui, pemegang saham

mempunyai klaim residual (sisa) atas keuntungan yang diperoleh. Keuntungan

yang diperoleh perusahaan pertama akan dipakai untuk membayar bunga utang,

kemudian saham preferen, baru kemudian (kalua ada sisa) diberikan ke pemegang

saham biasa. Puspita (2011) juga menuturkan bahwa Return on Equity yang tinggi

dapat diartikan bahwa perusahaan memberikan peluang tingkat pengembalian atau

pendapatan yang cukup besar bagi para investor.

Rasio ini diperoleh dengan membagi laba setelah pajak dengan

rata-rata modal sendiri. Dari sudut pandang investor, Return on Equity merupakan

salah satu indikator penting untuk menilai prospek perusahaan di masa

mendatang (Absari et al, 2013). Indikator Return on Equity sangat penting

diperhatikan untuk mengetahui sejauh mana investasi yang akan dilakukan

investor di suatu perusahaan mampu memberikan return yang sesuai dengan

tingkat yang diharapkan investor. Dalam menentukan pilihannya, investor

biasanya akan mempertimbangkan perusahaan yang mampu memberikan

kontribusi Return on Equity yang lebih besar. Semakin tinggi Return on Equity

menunjukkan kinerja perusahaan semakin baik dan berdampak pada

(18)

maka return saham juga akan meningkat, maka secara teoritis, sangat

dimungkinkan Return on Equity berpengaruh positif terhadap return saham.

2.1.11.Debt to Equity Ratio (DER)

Pada rasio solvabilitas, Debt to Equity Ratio (DER) lebih dikenal dengan

financial leverage yang menunjukkan proporsi atas penggunaan utang untuk

membiayai investasinya (Sartono, 2001:120). Debt to Equity Ratio (DER)

merupakan salah satu ratio leverage yang mengukur seberapa besar operasi

perusahaan dibiayai oleh hutang bila dibandingkan dengan operasi perusahaan

yang dibiayai oleh Equitas (Tinneke, 2007). Menurut Bambang (1993 dalam

Novitasari, 2013) Debt to Equity Ratio (DER) merupakan perbandingan antara

seluruh hutang perusahaan baik hutang jangka panjang maupun hutang jangka

pendek dengan modal sendiri yang dimiliki. Debt to Equity Ratio (DER)

digunakan untuk mengukur tingkat penggunaan hutang terhadap total

shareholder’s equity yang dimiliki perusahaan (Islami, 2011). Semakin tinggi

Debt to Equity Ratio (DER) menunjukkan semakin besar total utang terhadap

total ekuitasnya (Ang,1997).

Para investor cenderung menghindari saham-saham yang memiliki nilai

Debt to Equity Ratio (DER) yang tinggi karena nilai Debt to Equity Ratio (DER)

yang tinggi mencerminkan risiko perusahaan yang relative tinggi (Ang,

1997). Ketika jumlah hutang secara absolute maka akan menurunkan tingkat

solvabilitas perusahaan, bahkan menimbulkan risiko yang juga besar yang

(19)

Menurut Malintan (2013 dalam Novitasari, 2013) Dengan semakin tingginya

Debt to Equity Ratio (DER), maka akan menunjukkan semakin besarnya

ketergantungan perusahaan terhadap pihak luar (kreditur) sehingga tingkat resiko

perusahaan semakin besar. Untuk itu, semakin tinggi Debt to Equity Ratio (DER)

maka akan menunjukkan komposisi total utang yang semakin besar dibandingkan

dengan total modal sendiri sehingga akan meningkatkan tingkat resiko investor

karena hal tersebut akan berdampak pada menurunnya harga saham. Islami

(2011) juga menuturkan bahwa kreditor jangka panjang umumnya menyukai Debt

to Equity Ratio (DER) yang kecil, Karena semakin kecil Debt to Equity Ratio

(DER) maka semakin kecil nilai hutang yang dimiliki perusahaan. Semakin kecil

hutang mencerminkan semakin baik kinerja perusahaan tersebut. Kinerja yang

baik mendorong investor untuk tertarik berinvestasi pada perusahaan tersebut.

Rumus dari Debt to Equity Ratio (DER) menurut Sartono (1994) adalah: Total utang

DER =

Total Modal Sendiri

2.1.12. Pengaruh Debt to Equity Ratio dengan Return Saham

Keputusan pendanaan berkaitan dengan sumber dana, baik yang berasal

dari internal maupun dari eksternal perusahaan. Sumber dana internal berasal dari

dana yang terkumpul dari laba yang ditahan yang merupakan hasil dari kegiatan

perusahaan. Sedangkan sumber dana eksternal berasal dari pemilik yang

merupakan komponen modal sendiri dan dana yang berasal dari kreditur yang

merupakan pinjaman atau utang. Debt to Equity Ratio (DER) termasuk bagian

(20)

neraca, yaitu dari pos-pos aktiva dan pos-pos hutang (Puspita, 2011). Debt to

Equity Ratio (DER) digunakan untuk mengukur tingkat leverage (penggunaan

hutang) terhadap total shareholders equity yang dimiliki perusahaan (Ang, 1997

dalam Novitasari). Debt to Equity Ratio (DER) juga memberikan jaminan tentang

seberapa besar hutang-hutang perusahaan dijamin modal sendiri.

Debt to Equity Ratio (DER) memberikan gamabaran kemampuan

perusahaan melunasi seluruh hutangnya bila dibandingkan dengan modal yang

dimiliki dari pihak internal (Kusumo, 2011). Besarnya hutang yang terdapat dalam

struktur modal perusahaan sangat penting untuk memahami keseimbangan antara

risiko dan laba yang didapat. Hutang membawa risiko karena setiap hutang ajan

menimbulkan ketertarikan yang tetap bagi perusahaan berupa kewajiban untuk

membayar beban bunga beserta cicilan kewajiban pokoknya (principal) secara

periodik.

Menurut Wibowo dan Sudarno (2013) nilai Debt to Equity Ratio (DER)

yang tinggi menunjukkan perbandingan utang yang lebih besar daripada ekuitas

pemilik. Ini berarti perusahaan melakukan kegiatan dengan menggunakan lebih

banyak sumber daya eksternal dibandingkan dengan sumber daya internal

perusahaan seperti laba ditahan. Hal ini akan menyebabkan para investor ragu

menanamkan modalnya pada perusahaan karena resiko hutang yang tinggi. Disisi

lain, peningkatan Debt to Equity Ratio (DER) bisa juga disebabkan karena nilai

modal sendiri yang dimiliki perusahaan jauh lebih kecil bila dibandingkan

dengan hutang dari pihak eksternal. Sehingga akan menyebabkan perusahaan

sangat tergantung pada kreditur. Semakin tinggi rasio Debt to Equity Ratio

(21)

ditanggung oleh investor akan semakin tinggi karena tingkat hutang yang tinggi

berarti beban bungan yang semakin tinggi yang akan mengurangi resiko, dan

berakibat menurunkan return saham (Ang, 1997 dalam Kusumo, 2011).

2.1.13.Earning Per Share (EPS)

Earning per share (EPS) merupakan salah satu rasio pasar. Menurut Ang

(1997 dalam Novitasari, 2013), rasio pasar pada dasarnya mengukur kemampuan

manajemen dalam menciptakan nilai pasar yang melampaui pengeluaran

investasi. Dalam menanamkan modalnya investor mengharapkan manfaat yang

akan dihasilkan dalam bentuk laba per lembar saham (EPS). Earning per share

(EPS) adalah rasio yang menunjukkan kemampuan perlembar saham

menghasilkan laba (Harahap, 2001:306 dalam Suarjaya dan Rahyuda, 2012).

investor akan mengharapkan manfaat dari investasinya dalam bentuk laba per

lembar saham sebab Earning per share (EPS) ini menggambarkan jumlah

keuntungan yang diperoleh setiap lembar saham biasa, dimana jumlah Earning

per share (EPS) yang akan didistribusikan kepada investor saham tergantung

pada kebijakan perusahaan dalam hal pembayaran deviden (Mulyono, 2000). Earning per share (EPS) dapat menunjukan tingkat kesejahteraan

perusahaan, apabila laba per lembar saham (EPS) yang dibagikan perusahaan

tinggi maka menandakan bahwa perusahaan tersebut mampu memberikan tingkat

kesejahteraan yang baik kepeda pemegang saham (Islami, 2011). Earning per

share (EPS) dapat dijadikan sebagai indikator tingkat nilai perusahaan. Serta

dapat menunjukan kemampuan manajemen perusahaan dalam menghasilkan laba

(22)

perusahaan sedang dalam tahap pertumbuhan atau kondisi keuangannya sedang

mengalami peningkatan dalam penjualan dan laba, atau dengan kata lain semakin

besar Earning per share (EPS) menandakan kemampuan perusahaan dalam

menghasilkan keuntungan bersih setiap lembar saham (Arista, 2012 dalam

Novitasari, 2013). Menurut Priatinah dan Kusuma (2012), Earning per share

(EPS) dapat dihitung dengan formula sebagai berikut:

Laba bersih setelah pajak EPS =

Jumlah saham biasa yang beredar

2.1.14. Pengaruh Earning per Share (EPS) terhadap Return Saham

Salah satu indikator kinerja saham dapat dilihat dari besarnya

Earning per Share (EPS). Earning per Share (EPS) merupakan perbandingan

antara jumlah earning after tax (EAT) dengan jumlah saham yang beredar (Absari

et al, 2013). Earning per Share (EPS) menggambarkan jumlah rupiah yang

diperoleh untuk setiap lembar saham biasa (Syamsyudin, 2007: 66). Kenaikan

pada Earning per Share (EPS) berarti perusahaan sedang dalam tahap

pertumbuhan atau kondisi keuangannya sedang mengalami peningkatan dalam

penjualan dan laba, atau dengan kata lain semakin besar Earning per Share

(EPS) menandakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan

bersih setiap lembar saham (Arista, 2012 dalam Novitasari, 2013).

Hal tersebut sesuai dengan teori signalling yang pada umumnya

manajemen perusahaan, pemegang saham biasa dan calon pemegang saham

sangat tertarik akan Earning per Share (EPS), karena hal ini menggambarkan

(23)

pemegang saham tertarik dengan Earning per Share (EPS) yang besar, karena

hal ini merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu perusahaan (Widayanti

dan Haryanto, 2013). Seorang investor membeli dan mempertahankan saham

suatu perusahaan dengan harapan akan memperoleh dividend atau capital gain.

Laba biasanya menjadi dasar penentuan pembayaran dividend dan kenaikan

nilai saham dimasa datang (Wibowo dan Sudarno2013). Dengan kata lain,

Earning per Share (EPS) menggambarkan prospek earning perusahaan di masa

mendatang, maka semakin besar Earning per Share (EPS) akan menarik

investor untuk melakukan investasi diperusahaan tersebut (Absari et al, 2013).

Oleh karena itu, Investor biasanya tertarik dengan angka Earning per

Share (EPS) yang dilaporkan perusahaan.Apabila Earnings per Share (EPS)

perusahaan tinggi, mengakibatkan permintaan akan saham meningkat dan harga

saham akan meningkat, dengan demikian Earning per Share (EPS) berpengaruh

positif terhadap return saham. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian

yang dilakukan oleh Wibowo (2013), bahwa Earning per Share (EPS)

berpengaruh positif dan signifikan terhadap return saham.

2.1.15. Price Earning Ratio (PER)

Harga pasar saham biasa dapat dinyatakan sebagai kelipatan laba untuk

mengevaluasi daya tarik saham biasa sebagai suatu investasi. Pengukuran ini

disebut sebagai rasio Price Earning Ratio (PER). Price Earning Ratio (PER)

merupakan variabel dari rasio pasar dimana rasio pasar digunakan untuk

mengevaluasi kinerja perusahaan melalui basis per saham. Menurut Sartono

(24)

kepercayaan pasar terhadap prospek pertumbuhan perusahaan. Price Earning

Ratio (PER) merupakan ukuran nilai penting yang digunakan para pemodal di

bursa (Tinneke, 2006). Price Earning Ratio (PER) digunakan pemodal untuk

menilai saham, yang dimana Price Earning Ratio (PER) memberi indikasi jangka

waktu yang diperlukan untuk mengembalikan dana pada tingkat harga saham dan

keuntungan pada suatu periode (Wany dan Kholidiah, 2013).

Sulistyandito dan Hakim (2013) mengartikan bahwa Price Earning Ratio

(PER) merupakan rasio antara harga saham dengan pendapatan setiap lembar

saham, dan merupakan indikator perkembangan atau pertumbuhan perusahaan di

masa yang akan datang (prospects of the firm). Kegunaan dari Price Earning

Ratio (PER) adalah untuk melihat bagaimana pasar menghargai kinerja saham

suatu perusahaan terhadap kinerja perusahaan yang dicerminkan oleh EPS-nya

(Savitri, 2012). Semakin tinggi Price Earning Ratio (PER) menunjukkan prospek

harga saham suatu perusahaan dinilai semakin tinggi oleh investor terhadap

pendapatan per lembar sahamnya, sehingga Price Earning Ratio (PER) yang

semakin tinggi juga menunjukkan semakin mahal saham tersebut terhadap

pendapatannya (Rio Malintan, 2013 dalam Novitasari, 2013). Dengan tingginya

harga saham maka return yang akan di dapat investor tinggi, karena terjadinya

selisih harga saham antar periode sebelumnya dengan periode sekarang yang

mengakibatkan capital gain (actual return). Rasio Price Earning Ratio (PER)

dapat dihitung mengunakan rumus (Martono dan Harjito, 2011:398):

Harga Saham PER =

(25)

2.1.16. Pengaruh Price Earning Ratio (PER)terhadap Return Saham

PER menggambarkan apresiasi pasar terhadap kemampuan perusahaan

dalam menghasilkan laba atau menggambarkan rasio atau perbandingan antara

harga saham terhadap earning perusahan. Dengan kata lain, PER menunjukkan

seberapa besar investor berminat untuk membayar tiap satuan moneter untuk

pendapatan yang di terimanya (Tandelilin, 2010: 375). PER berpengaruh positif

terhadap return saham, yang artinya semakin tinggi PER mengindikasikan

prospek pertumbuhan perusahaan di masa depan akan semakin baik (sulistyandito

dan Hakim, 2013). Semakin tinggi PER semakin nampak rendah nilai EPS

apabila dibandingkan dengan harga sahamnya (Husnan, 2005). Hal itu berarti

bahwa jika nilai PER naik maka harga saham mengalami kenaikan dan return

saham juga mengalami kenaikan. Menurut Tinneke (2006), semakin tinggi PER

menunjukan harga saham dinilai semakin tinggi oleh investor terhadap

pendapatan per lembar sahamnya, sehingga PER yang semakin tinggi juga

menunjukan tingginya harga saham tersebut terhadap pendapatannya. Jika harga

saham semakin tinggi maka selisih harga saham periode sekarang dengan periode

sebelumnya semakin besar, sehingga capital gain-nya juga semakin meningkat.

Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Farkhan

dan Ika (2013), bahwa PER berpengaruh signifikan terhadap return saham.

2.1.17. Return dan Risiko

Return dan risiko merupakan pasangan yang tidak mungkin dipisahkan

dalam konteks investasi (Wany dan Kholidiah, 2013:47). Return dan risiko

(26)

keuntungan (return) yang diharapkan (Hanafi dan Halim,2009). Return

merupakan tingkat pengembalian hasil yang diperoleh oleh para investor yang

menanamkan atau menginvestasikan sejumlah dana pada saham dan periode

tertentu. Menurut Martono dan harjito (2011:414), return diklasifikasikan menjadi

2 kelompok yaitu return realisasi (realized return atau actual return) dan return

yang diharapkan. (expected return). Return realisasi atau return aktual merupakan

pengembalian hasil suatu investasi saham yang telah terjadi pada periode waktu

yang lalu. Sementara return yang diharapkan (expected return) merupakan

pengembalian hasil yang akan datang (saat ini belum ada realisasinya). Oleh

karena itu return ini belum terjadi dan dapat digunakan sebagai dasar

pertimbangan dalam memutuskan investasi saham. Hal ini karena dengan

mengetahui tingkat pengembalian yang diharapkan dari berbagai keadaan

investasi saham, maka calon investor dapat mengambil keputusan investasi pada

saham apa saja yang paling menguntungkan dengan risiko tertentu.

Risiko adalah merupakan penyimpangan hasil (return) yang diperoleh dari

rencana hasil (return) yang diharapkan (Martono dan harjito, 2011:415). Oleh

karena itu, membicarakan risiko investasi saham berarti menganalisis

kemungkinan tidak tercapainya hasil (keuntungan) yang diharapkan. Risiko suatu

saham dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu komponen risiko diversifiable

atau unsystematic risk dan komponen risiko undiversiable atau systematic risk

atau risiko pasar (market risk). Unsystematic risk yaitu risiko yang dapat

dikurangi dengan melakukan diversifikasi saham. Systematic risk atau risiko pasar

(27)

penurunan pasar saham secara umum. Systematic risk ini tidak dapat dihilangkan

dengan diversifikasi.

2.1.18. Beta (β) Saham (Risiko sistematik)

Risiko sistematik melekat pada semua investasi dan tidak dapat

dihindarkan oleh investor. Risiko sistematik disebabkan oleh faktor-faktor yang

dapat mempengaruhi harga dari surat berharga (Islami, 2011). Ada beberapa

sumber risiko yang bisa mempengaruhi besarnya risiko suatu investasi.

Sumber-sumber tersebut antara lain adalah, risiko suku bunga, risiko pasar, risiko inflasi,

risiko bisnis, risiko finansial, risiko likuidas, risiko nilai tukar mata uang dan

risiko negara (Tandelilin, 2001:89).

Risiko sistematik (systematic risk) merupakan risiko yang tidak dapat

dihilangkan dengan melakukan diversifikasi, karena fluktuasi risiko ini

dipengaruhi oleh faktor-faktor makro yang dapat mempengaruhi pasar secara

keseluruhan (Absari et al, 2013). Sebagai pengukur risiko sistematis (systematic

risk) digunakan beta (β) pasar, yaitu beta (β) dari suatu sekuritas relatip terhadap

risiko pasar (Jogiyanto H.M, 2003). Risiko ini adalah risiko yang disebabkan oleh

faktor-faktor yang secara bersamaan mempengaruhi harga saham di pasar modal

(Paramitasari, 2011). Menurut Sudiyanto dan Nuswandhari (2009), beta (β) pasar

sebagai pengukur risiko dikarenakan bahwa beta (β) pasar mengukur respon dari

masing-masing sekuritas terhadap pergerakan pasar. Jadi fluktuasi dari

return-return suatu sekuritas secara statistik mengikuti fluktuasi dari return-return-return-return pasar,

(28)

Perubahan-perubahan yang terjadi di pasar ini diluar dari keadaan

perusahaan itu sendiri, biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, kondisi

perekonomian di masa itu, inflasi, perubahan tingkat suku bunga, perubahan nilai

tukar mata uang, sistem perpajakan yang diberlakukan pemerintah, siklus bisnis,

kebijakan pemerintah, dan faktor makro lainnya. Semua ini dapat menyebabkan

reaksi pasar modal yang dapat dilihat dari indeks pasar. Menurut Wany dan

Kholidiah (2013:93), beta (β) merupakan pengukuran volatilitas (fluktuasi),

sensitifitas return suatu sekuritas atau return portofolio terhadap return pasar.

Dengan demikian beta merupakan pengukur sistematik dari suatu sekuritas atau

portofolio relatif terhadap resiko pasar. Sebelum investor menghitung return yang

diharapkan baik aktiva individual maupun portofolio, investor dapat

memperkirakan atau mengestimasi beta (β). Beta (β) yang dihitung berdasarkan

data pasar (return sekuritas, dan return pasar). Beta (β) pasar dapat diestimasi

dengan mengumpulkan nilai-nilai historis return dari sekuritas dan return pasar

selama periode tertentu, dengan asumsi bahwa hubungan antara return-return

sekuritas dan return-return pasar adalah linier. Menurut Jogiyanto (2004:371),

menghitung beta (β) pasar dapat menggunakan formula berikut:

n

Σ (Rit- it).(Rmt- mt)

t=1

β =

n

Σ (Rmt- mt)

2

t=1

Keterangan:

(29)

n = Periode

2.1.19. Pengaruh Beta (β) Saham terhadap Return Saham

Risiko sistematik dari suatu sekuritas atau portofolio yang relatif terhadap

risiko pasar dapat diukur dengan beta (β). Beta (β) saham mengukur tingkat

kepekaan saham terhadap perubahan pasar (Absari et al, 2013). Fluktuasi

yang disebabkan oleh risiko ketidakpastian yang dihadapi oleh investor dapat

menyebabkan naik turunnya harga saham (Hijria, 2007:78). Hal ini dikarenakan

setiap investor memiliki tingkat ketidaksukaan risiko yang berbeda.

Saham dengan beta (β) lebih besar dari satu (>1) merupakan saham yang

sangat peka terhadap perubahan pasar dan disebut sebagai saham agresif (Husnan,

1994). Sedangkan saham dengan beta (β) kurang dari satu (<1) merupakan saham

yang kurang peka terhadap perubahan portofolio pasar dan disebut sebagai saham

defensif (Husnan, 1994). Semakin besar beta suatu sekuritas semakin besar

kepekaan return sekuritas tersebut terhadap perubahan return pasar (Tandelilin,

2010: 68). Meningkatnya risiko sistematik suatu saham akan mengurangi

minat investor. Dengan demikian, semakin besar beta maka semakin besar pula

tingkat keuntungan yang diharapkan, semakin berisiko suatu investasi (yang

ditunjukkan oleh koefisien betanya), semakin rendah pula harga sahamnya.

2.1.20. Return Saham

Pasar modal sebagai wahana alternatif investasi menawarkan suatu tingkat

pengembalian (return) pada tingkat risiko tertentu (Ellen, 2011 dalam Novitasari,

(30)

tujuan utama untuk mendapatkan keuntungan yang disebut return, baik langsung

maupun tidak langsung (Ang, 1997). Return Saham adalah tingkat keuntungan

yang dinikmati oleh pemodal atas suatu investasi yang dilakukannya. Return

yang diterima oleh seorang pemodal yang melakukan investasi tergantung dari

instrumen investasi yang di beli. Return atau hasil investasi merupakan tujuan

utama bagi investor. Return realisasi merupakan return yang terjadi yang

dihitung berdasarkan data historis dan berfungsi sebagai salah satu pengukur

kinerja perusahaan. Return historis juga berguna sebagai dasar penentuan

return ekspetasi (expected return) di masa datang. Return ekspetasi merupakan

return yang diharapkan akan diperoleh investor di masa mendatang (Hartono,

2003: 109).

Pada umumnya, nilai return yang sering digunakan adalah return total

(Kusumo, 2011). Return pada dasarnya dibagi menjadi dua jenis yaitu capital

gain/loss dan yield. Yield merupakan presentase penerimaan kas periodik terhadap

harga investasi. Keuntungan ini biasanya diterima dalam bentuk kas atau setara

dengan kas sehingga dapat diuangkan dengan cepat. Capital gain merupakan

selisih dari harga investasi sekarang dengan harga periode yang lalu. Jika harga

investasi sekarang lebih tinggi dari harga investasi periode lalu berarti terjadi

keuntungan modal (capital gain) dan sebaliknya. Capital gain sangat tergantung

dari harga pasar intrument investasi yang bersangkutan, yang berarti bahwa

intrument investasi tersebut harus diperdagangkan di pasar (Widyawati, 2013).

Dengan adanya perdagangan maka akan timbul perubahan nilai suatu instrumen

(31)

besarnya capital gain dilakukan dengan analisis return historis yang terjadi pada

periode sebelumnya sehingga dapat ditentukan besarnya tingkat kembalian yang

diinginkan. Adapun return saham dapat dihitung dengan menggunakan rumus

(Jogiyanto, 2000):

Return Saham = ��− (��-1)

(��-1)

Keterangan :

R = Return sekarang Pt = Harga saham sekarang

Pt-1 = Harga saham periode lalu

2.2. Penelitian Sebelumnya

Njo Anastasia, Yanny Widiastuty Gunawan dan Imelda Wijianti

melakukan penelitian mengenai “Analisis Faktor Fundamental dan Risiko

Sistematik terhadap Harga Saham Properti di BEJ”. Berdasarkan kriteria saham

properti yang diteliti ada 13 sampel, yaitu : Bhuwanatala Indah Permai, Ciputra

Development, Duta Anggada Realty, Dharmala Intiland, Duta Pertiwi, Jakarta

Internasional Hotel Development, Kawasan Industri Jababeka, Lippo Karawaci,

Lippo Land development, Putra surya Perkasa, Pakuwon Jati, Suryamas Duta

Makmur Summarecon Agung. Analisis Fundamental dilakukan dengan

menghitung rasio ROA, ROE, BV, Payout Ratio dan DER. Sedangkan Resiko

Sistematik dilakukan dengan menghitung Beta (β). Kemudian faktor-faktor

fundamental dan resiko sistematik dianalisis untuk mengukur seberapa

pengaruhnya terhadap harga saham properti. Hasil analisis faktor fundamental dan

resiko sistematik terhadap harga saham properti, disimpulkan bahwa secara

empiris faktor fundamental dan resiko sistematik mempunyai pengaruh yang

(32)

Penelitian mengenai “Pengaruh Variabel Fundamental terhadap Harga

Saham” yang dilakukan oleh Aditya Rusli menggunakan sampel perusahaan

pertambangan yang go publik di Bursa Efek Indonesia periode tahun 2003 sampai

tahun 2007. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan peneliti ada 10 perusahaan yang

dapat dijadikan sampel antara lain : Alter Abadi Tbk, Aneka Tambang (Persero)

Tbk, Apexindo Pratama Duta Tbk, Bumi Resource. Tbk, Citalah Industri Marmer

Tbk, Central Korporindo International Tbk, International Nickel Indonesia

(INCO) Tbk, Medco Energi Internatonal Tbk, Tambang Batubara Bukit Asam tbk

dan Tambang Timah Tbk. Hasil analisis menyatakan bahwa analisis fundamental

menyatakan bahwa harga saham dapat diprediksi berdasarkan kinerja keuangan

internal perusahaan, dan variabel Price Earning Ratio, Price to Book value, Debt

Equity Ratio, Total Asset turnover, Return on Investment, Return on Equity,

Operating Profit Margin dan Net Profit Margin secara bersama-sama (simultan)

memiliki pengaruh signifikan terhadap harga saham sedangkan Price Earning

Ratio, Return on Investment, Return on Equity, dan Operating Profit Margin

secara parsial memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap harga saham.

Faktor fundamerntal Price Earning Ratio mempunyai pengaruh yang dominan

terhadap perubahan harga saham.

Farkhan dan ika (2013) melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Rasio

Keuangan terhadap Return Saham Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek

Indonesia”. Yang menjadi penelitian ini perusahaan manufaktur yang sektor food

and beverage yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode tahun 2005 – 2009.

Rasio keuangan yang dipakai dalam penelitian ini Current Ratio, Debt to Equity

(33)

hasil analisis ROA dan PER berpengaruh secara parsial terhadap return saham.

Sedangkan untuk CR, DER, TATO, ROA, PER berpanguh secara simultan

terhadap variabel ROE. Hasil penggujian determinasi menunjukan bahwa model

persamaan regresi menunjukan nilai variabel CR, DER, TATO, ROA dan PER

pengaruh terhadap return saham sebesar 14,6% sisanya di jelaskan variabel lain

dari variabel model.

Penelitan mengenai pengaruh variabel fundamental terhadap return saham

dilakukan oleh Satrio Adi Wibowo (2013) yang meneliti tentang “Analisis

Pengaruh Variabel Fundamental, Risiko Sistematik, dan Jenis Perusahaan

terhadap Return Saham”. Perusahaan yang menjadi sampel pada penelitian ini

adalah semua perusahaan industri manufaktur yang terdaftar di BEI dari bulan

Januari 2009 sampai Desember 2011. Pada analisis fundamental dilakukan dengan

menghitung Return on Asset (ROA), Debt to Equity Ratio (DER) dan Earning Per

Share (EPS). Sedangkan untuk resiko sistematik menggunakan tingkat inflasi

untuk menentukan return saham. Dan untuk mengukur pengaruh jenis industri

terhadap return saham menggunakan variabel dummy. Berdasarkan hasil analisis

profitabilitas (ROA) tidak berpengaruh terhadap return saham sedangkan laverage

(DER) dan kinerja saham ( EPS) berpengaruh terhadap return saham. Sedangkan

inflasi sebagai Resiko Sistematik tidak berpengaruh terhadap return saham dan

jenis industry berpengaruh terhadap return saham. Tingkat resiko saham

perusahaan cenderung seragam pada industri manufaktur.

I Wayan Adi Suarjaya dan Henny Rahyuda melakukan penelitian tentang

(34)

Makanan dan Minuman di BEI”. Berdasarkan kriteria peneliti menghasilkan 12

perusahaan sebagai sampel. Faktor fundamental yang digunakan untuk melakukan

analisis yaitu DER, EPS, NPM dan PBV. Hasil analisis dari penelitian

menyebutkan bahwa secara parsial hanya DER yang berpengaruh signifikan

terhadap return saham perusahaan makanan dan minuman di BEI periode

2008-2011 sedangkan EPS, NPM, PBV tidak ada pengaruh signifikan secara parsial

terhadap return saham perusahaan makanan dan minuman di BEI periode

2008-2011. Untuk DER, EPS, NPM dan PBV secara simultan berpengaruh signifikan

terhadap harga saham pada perusahaan makanan dan minuman yang terdaftar di

BEI. Sehingga dapat disimpulkan faktor fundamental secara simultan

menyebabkan perubahan return saham. Dapat disimpulkan bahwa DER

merupakan faktor fundamental yang dominan mempengaruhi return saham pada

perusahaan makanan dan minuman.

2.3. Hipotesis

Berdasarkan latar belakang dan didukung dengan landasan teori, maka

penulis mengajukan suatu hipotesis, yaitu diduga bahwa:

H1 : Variabel fundamental (CR, ROE, DER, EPS, PER) dan risiko sistematik

(β) memiliki pengaruh secara simultan terhadap return saham. H2.1 : Current Ratio (CR) berpengaruh terhadap return saham perusahaan.

H2.2 : Return on Equity (ROE) berpengaruh terhadap return saham.

H2.3 : Debt to Equity Ratio (DER) berpengaruh terhadap return saham.

H2.4 : Earning Per Share (EPS) berpengaruh terhadap return saham.

H2.5 : Price Earning Ratio (PER) berpengaruh terhadap return saham.

(35)

2.4. Model Analisa

Return Saham

Risiko Sistematik (β) Variabel Fundamental:

Current Ratio (CR)

Return on Equity (ROE)

Debt to Equity Ratio (DER)

Earning Per Share (EPS)

Referensi

Dokumen terkait

Kampung Sumber Alam Resort merupakan kawasan wisata yang terletak di Kabupaten Garut yaitu objek wisata Cipanas yang tepatnya berada di Kecamatan Tarogong Kidul atau

Faktor konstruksi yang dituntut untuk membuat kandang puyuh yang baik antara lain meliputi ventilasi, dinding, lantai, atap, dan bahan bangunan..

Pengelolaan dana infaq Yayasan Dana Sosial Al-Falah Surabaya hanya diperuntuhkan untuk pemberdayaan ekonomi umat, dengan prosedur sebagai berikut: pertama pengelolaan dana

Penelitian ini bertujuan untuk : (a) Menelaah kualitas kemampuan penalaran dan koneksi matematis siswa setelah pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran biasa, (b)

Untuk realisasi dana GDM Tahun 2017 sebagaimana yang telah di intruksikan di dalam Perbub Nomor 5 Tahun 2017, bahwa pelaksanaan dana Gerakan Dusun Membangun (GDM) Tahun 2017

Dalam pasal 225 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditentukan, bahwa benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam

 Membuat laporan portofolio dalam berbagai bentuk seperti tulisan, foto dan gambar yang mendeskripsikan pengetahuan modifikasi, bahan, alat, teknik, dan proses pembuatan karya

Selain dari struktur sisik, jumlah rigi-rigi pada bagian belakang duri terakhir sirip dorsal ikan brek juga lebih dekat ke B.balleroides , yaitu mempunyai kisaran