• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memahami dan Memberi Makna terhadap Perb

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Memahami dan Memberi Makna terhadap Perb"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Memahami dan Memberi Makna terhadap Perbedaan Budaya

Atmazaki

Universitas Negeri Padang

Latar Belakang

Sejak tahun 1995, Universitas Negeri Padang (sebelum tahun 1999 bernama IKIP Padang) melaksanakan kursus intensif bahasa Indonesia untuk mahasiswa dari Universitas Tasmania—sejak tahun 1988 juga untuk mahasiswa dari Universitas Deakin—Australia. Program yang bertajuk In-Country Indonesian Language and Culture Summer Program ini dilaksanakan setiap bulan Desember dan Januari selama enam minggu.

Di samping program kursus bahasa Indonesia, sejak tahun 1988 dilaksanakan pula program pengalaman lapangan kependidikan bagi mahasiswa Fakultas Pendidikan Universitas Tasmania. Program yang diberi nama Teach-Indo Program ini juga dilaksanakan pada bulan yang sama selama tiga minggu. Sampai tahun 2001, lebih kurang sudah 300 orang mahasiswa asing yang belajar bahasa Indonesia di Universitas Negeri Padang.

Meskipun universitas pengirim berasal dari Australia yang “Barat”, namun sebagian mahasiswanya juga berasal dari Asia seperti Malaysia, Singapura, Filipina,Thailand, Jepang, India, dan China. Mereka datang sebagai mahasiswa dari berbagai universitas di Australia yang dikoordinasikan oleh Universita Deakin dan Universitas Tasmania. Baik program kursus maupun mengajar dilaksanakan dalam rangka memperoleh kredit akademik untuk

menyelesaikan studi diploma pada program studi masing-masing. Artinya, nilai yang diperoleh dari kedua program itu dapat dikonversi menjadi nilai mata kuliah pada program studi mereka.

Selama program berlangsung, mahasiswa bertempat tinggal di rumah keluarga-keluarga di sekitar kampus. Setiap keluarga-keluarga menerima, tidak lebih dari, seorang mahasiswa. Hal ini dimaksudkan agar komunikasi dalam bahasa Indonesia lebih intensif.

Hampir semua mahasiswa mengalami apa yang disebut dengan geger budaya (cultural shock) dan atau keterasingan budaya (cultural mismatch). Kedua hal itu sangat “akrab” dengan kehidupan orang asing di luar batas budayanya.

Makalah ini difokuskan pada keterasingan budaya. Observasi dilakukan selama mahasiswa berada di Sumatera Barat, setiap kali program dilaksanakan. Fokus masalah yang diobservasi adalah “Bagaimana mahasiswa dari Australia terlibat dan bereaksi dalam

(2)

masyarakat kota Padang khususnya, dan masyarakat Sumatra Barat (Minangkabau), umumnya.

Sebagai koordinator pelaksana kedua program tersebut, penulis terlibat langsung dengan berbagai persoalan yang dihadapi oleh mahasiswa. Berbagai penemuan dan pengalaman itulah yang akan dideskripsikan di dalam makalah ini.

Deskripsi dan analisis berikut ini mengikuti kerangka semiotik Pierce yang diadaptasi oleh Pine (1999) untuk menganalisis persoalan keterasingan budaya yang dialami dan direaksi oleh mahasiswa ketika mereka berada (masuk) dalam budaya lain. Interpretasi itu dilakukan dengan melihat hukum budaya atau kebiasaan masing-masing negara terhadap cara yang dilakukan mahasiswa dalam menangani persoalan yang mereka alami. Model analisis Pine, yang dikembangkannya berdasarkan model semiotik Pierce, suatu model untuk menganalisis teka-teki, pada dasarnya tidak untuk menganalisis situasi lintas budaya, tetapi ia

menggunakannya dengan adaptasi tertentu untuk menganalisis hal itu. Model ini berasumsi bahwa bahwa “semua keasadaran adalah tanda kesadaran” (Houser and Kloesel, 1992). Proses memahami dan menganalisis adalah seperti gambar di bawah ini.

Interpretasi (interpretation)

Peristiwa kebiasaan budaya

(event) (cultural rule)

Dengan model Pine ini, pertama, dikenali peristiwa yang dapat diidentifikasi sebagai CM dan di mana keanehan terjadi. Kedua, perilaku itu diinterpretasikan dari sudut budaya asing dan budaya setempat, Ketiga, dilihat hukum budaya (kebiasaan) masing-masing. Setelah menganalisis semua peristiwa itu, akhirnya, penulis merekomendasikan beberapa hal berkaitan dengan pelaksanaan program in-country.

Pengalaman Lintas Budaya

Program in-country sudah merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari lagi pada era globalisasi ini. Mahasiswa asing akan datang belajar ke Indonesia dan mahasiswa Indonesia akan datang belajar ke ke luar negeri. Program seperti ini akan memberikan sumbangan yang sangat besar dalam pengembangan/penguasaan ilmu dan keterapilan mahasiswa. Apa yang dikatakan oleh Lo Bianco (1998:1) sebagai “ekspansi ke luar batas negera” dalam memperoleh pendidikan akan semakin banyak pada masa yang akan datang.

(3)

kemampuan ganda: menguasai beberapa bahasa asing dan memahami budayanya sekaligus. Grant dan Secada (dalam Wiest, 1988:358) yang mereviu penelitian tentang penyiapan guru untuk pelajar yang bervariasi menyimpulkan bahwa “pernah hidup bersama masyarakat dari populasi yang beragam” adalah pengalaman lapangan yang sangat bermanfaat. Di dalam memberikan pengalaman lapangan yang terfokus pada memperluas pandangan mahasiswa, ditemukan bahwa pengalaman hidup dalam masyarakat yang berbeda secara intensif dan informal dapat sangat berpengaruh terhadap mahasiswa calon guru dan efeknya sangat kaya. Dengan pengalaman seperti itu, mereka akan mengajar dengan sikap yang lebih baik, mampu mengembangkan program-program yang akan meningkatkan pemahaman murid yang

beragam melalui program pendidikan multikultural.

Menurut Stackowski (dalam Minner, 1995), mahasiswa in-country mesti menyediakan waktu untuk masyarakat sekitar (outside school doors) untuk mendapatkan pengalaman dalam konteks yang asli, tidak cukup hanya dengan membayangkan bagaimana konteks

sesungguhnya mungkin terjadi. Pada program immersi di Northern Arizona Navajo Indian, misalnya, mahasiswa hidup di dalam kultur masyarakat Navajo dan ini menimbulkan kesadaran lintas budaya dan rintangan bahasa untuk mengajar dan belajar. Hasil dari pengalaman Navajo adalah bahwa mahasiswa lebih sensitif secara kultural.

Untuk dapat memahami, berinteraksi dengan dan belajar dari orang-orang yang berbeda, mahasiswa mesti mengembangkan pengetahuan bahwa pandangan dunia kita tidak selalu sama dengan orang lain dan kesadaran lintas budaya diperlukan supaya maksud kita dapat dilihat dan dipahami oleh orang lain. Dalam konteks ini, Crealock (1999, 53)

melaporkan bahwa siswa Jepang merasa tidak dilayani oleh host family di Kanada (desa) karena apa yang sebut sebagai pelayanan oleh siswa Jepang yang biasa tinggal di kota besar berbeda dengan apa yang disebut pelayanan oleh keluarga desa di Kanada. Hal itu

menunjukkan bahwa orientasi sebelum ke luar negeri tidak cukup, ditambah lagi dengan tiadanya pembimbing yang mendampingi siswa.

Penting disadari cara orang lain memahami sesuatu. Di dalam proses mahasiswa bekerja “di dalam” dan “ dengan kebiasaan” masyarakat lain, mereka perlu mempunyai pandangannya sendiri sebagai “orang dalam” dan “orang luar”. Morton (dalam Banks, 1988:6) mengatakan bahwa sebagai “orang dalam” kita hanya dapat memahami budaya secara

subjektif dan sebagai “orang luar” dapat memahaminya dengan objektif.

(4)

dari perspektif yang lain, memperoleh suatu peningkatan simpati terhadap perasaan orang lain ketika keluar dari budaya dominan mereka. Sleeter (dalam Wiest, 1995:358) menemukan mahasiswanya mulai melawan rasa takut, kekeliruan konsepsi, dan ketidaktahuan setelah menyediakan waktu di dalam kelompok sosiokultural orang lain, kendatipun tidak gampang bagi mereka mengadaptasi sebuah “peran sebagai minoritas” di dalam sebuah budaya yang belum akrab dengan mereka.

Keterasingan Budaya

“Terperangkap” pada situasi yang tidak biasa, ketika berada di dalam budaya yang baru di luar negeri adalah hal yang lumrah terjadi, apalagi bagi orang yang belum biasa “melintasi batas budaya”. Mereka mungkin mengalami perasaan kikuk, canggung, atau bingung karena tidak biasa. Hal inilah yang diistilahkan dengan keterasingan budaya atau cultural mismatch (selanjutnya disebut CM): ketika masuk ke dalam kebudayaan lain, seseorang melihat sesuatu yang berbeda tetapi tidak tahu bagaimana bertindak dalam situasi yang tidak menentu itu (Pine, 1997a:1).

Reaksi terhadap situasi seperti itu dapat berupa “bertahan” atau menarik diri:

indikatornya bervariasi seperti bingung, diam, ekspresi wajah tak menentu, bahasa tubuh yang canggung, reaksi verbal “merasa tidak biasa”, tertawa riang, hilang kontak

pandang, atau istilah lainnya. Kondisi ini terjadi karena “...jurang yang membedakan dua budaya untuk mengatakan atau melakukan hal yang sama tetapi artinya berbeda, dan

mengatakan atau melakukan hal yang berbeda tetapi artinya, lebih kurang, sama....” (MacNeal, 1995).

CM, sesungguhnya, berbeda dari kaget budaya atau culture shock (selanjutnya disebut CS). CM muncul dari rasa kaget ketika berhadapan dengan peristiwa konkret yang berbeda dalam kebudayaan lain yang perbedaan-perbedaannya begitu mencolok, meskipun situasinya normal. Reaksi psikologis pada CS, sebagai perbandingan terhadap CM, dapat dilihat dengan jelas seperti tidak bisa makan, menangis, dan histeris yang memperlihatkan sesuatu yang nyata-nyata berbeda. Sebaliknya, CM hanya tampil dalam perasaan dan emosi yang bercampur seperti rikuh, bingung yang timbul dari sesuatu yang seolah-olah normal.

Berikut ini adalah deskripsi peristiwa-peristiwa yang diidentifikasi sebagai CM yang terjadi selama program in-country berlangsung.

(5)

Kelompok pertama adalah tiga peristiwa yang dialami mahasiswa yang berkaitan dengan situasi dan kebiasaan makan.

Kasus 1:

Walaupun tinggal di rumah yang banyak dihuni oleh mahasiswa lain,

mahasiswa sering dibiarkan makan malam sendirian di meja makan. Anggota keluarga juga tidak makan bersama mereka. Mahasiswa merasa kikuk/rikuh dan tidak senang makan sendiri dan secara sembunyi bertanya pada diri sendiri apakah karena dia begitu berbeda (warna kulit, agama, bahasa, dll) sehingga harus dibiarkan sendiri.

Di Australia tidak biasa membiarkan tamu makan sendirian di meja makan, sedangkan di Sumatera Barat tamu biasa dibiarkan makan malam sendiri supaya dia bisa makan dengan bebas/tanpa gangguan. Tidak dianggap persoalan membiarkan tamu makan sendiri di meja makan, apalagi sudah dianggap anggota keluarga.

Kasus 2:

Setelah makan malam di sebuah restoran di kota Padang, atas undangan panitia, mahasiswa ditawari/memesan kopi dan dipersilakan berkaraoke. Tetapi mereka kecewa karena si pengundang tidak ikut minum dan berkaraoke tetapi

meninggalkan restoran, meninggalkan mereka dalam ketidakenakan, bingung, apakah akan minum dan bernyanyi atau pergi bersama si pengundang/panitia.

Mahasiswa menjadi bingung, apakah akan minum kopi dan menyanyi atau ikut dengan pengundang (hosts) karena di Australia berada restoran tidak hanya untuk makan, tetapi juga untuk dialog, hiburan, dan bersantai. Sedangkan di Sumatera Barat, jika makan malam selesai, tidak ada alasan untuk tetap berada di meja makan. Tamu telah dijamu makan malam dan tujuan selesai sehingga bisa meninggalkan meja makan. Di meja makan malam di restoran semata-mata untuk makan malam

Kasus 3:

Mahasiswa juga sering merasa bingung melihat fakta bahwa setelah makan malam di rumah keluarga, anggota keluarga pergi tanpa penjelasan apa-apa sehingga meja makan menjadi sunyi.

Mahasiswa bingung, kenapa keluarga terlihat begitu memperhatikan pada kebanyakan situasi, tetapi tidak pada waktu setelah makan malam. Mereka heran kenapa tidak menyediakan waktu keluarga untuk kebersamaan setelah makan malam. Sedangkan bagi orang Minangkabau, setelah makan malam adalah waktu untuk membiarkan tamu sendiri karena masing-masing anggota keluarga ada tugas lain, waktu personal seperti salat bagi umat Islam.

(6)

kebudayaan Australia adalah waktu untuk bersama, tetapi di dalam kebiasaan/kebudayaan Indonesia adalah waktu pribadi (personal space and time alone).

Peristiwa CM berikut ini terjadi pada mahasiswa yang menyebabkan perasaan seperti lebih dari sekadar kikuk, barangkali hampir merasa marah.

Kasus 4:

Salah seorang mahasiswa meminta pertolongan seorang guru untuk mencuci-cetak film. Keesokan paginya, dia terkejut menemukan para guru telah melihat foto-foto itu bersama-sama tanpa seizinnya.

Mahasiswa marah (dalam hati) karena milik pribadi dilihat orang lain tanpa izin. Di negeri mereka, tidak pernah ada akses atau membuka milik orang lain tanpa izin yang punya. Sementara itu para guru berasumsi bahwa hal itu boleh saja dilihat oleh orang lain di kantor (kalau) karena tidak terkunci

Kasus 5:

Ketika pulang ke rumah keluarga, salah seorang mahasiswa mendapatkan bahwa lemari pakaian di kamarnya telah terbuka. Dia tahu bahwa sesuatu telah disentuh, seperti buku catatan hariannya. Meskipun tidak ada yang hilang, dia bingung dan marah atas kejadian itu.

Mahssiwa marah karena anggota keluarga telah melanggar hak-hak pribadinya karena, di dalam budaya mereka, tidak pernah ada akses pada milik pribadi orang lain tanpa permisi. Sementara itu, di Sumatera Barat bisa saja ada akses pada milik pribadi tamu sepanjang tidak terkunci, dibiarkan terbuka.

Pada peristiwa 4 dan 5, mahasiswa marah karena merasa—sesuai dengan kebiasaan di Australia—hal itu adalah kejahatan yang dapat dituntut di pengadilan. Kebiasaan di Australia, tidak pernah ada akses untuk bisa membuka barang-barang orang lain tanpa seizin pemiliknya; sedangkan di Indonesia, karena tidak terkunci dan dibiarkan tidak terkunci, bi(a)sa saja ada orang yang melihatnya.

Kasus-kasus berikut ini terjadi pada mahasiswa sehubungan dengan tema yang berkaitan dengan hubungan personal dan rasa malu.

Kasus 6:

Selama berada di Padang, mahasiswa sering melihat dua orang laki-laki berjalan berpegangan tangan atau saling memeluk bahu. Bahkan, kepada mahasiswa sendiri cendrung untuk dilakukan oleh orang tersebut karena merasa berteman tetapi mahasiswa merasa malu dan bingung dalam situasi itu.

Di dalam kebudayaan Barat, laki-laki sesama jenis tidak memper-lihatkan persahabatan dengan menyentuh di depan umum. Akan tetapi di Sumatera Barat orang memahami bahwa persahabatan mereka telah begitu dekat, terlihat dengan berpegangan tangan di depan umum. Berpegangan tangan

menunjukkan bahwa persahabatan telah begitu akrab. Laki-laki sesama jenis biasa memperlihatkan persahabatan dengan menyentuh di depan umum.

(7)

Karena merasa sudah akrab dengan rutinitas rumah tangga, dengan semua anggota keluarga, mahasiswa (perempuan) merasa senang duduk bersama ibu, anak-anak, dan pembantu sambil menonton televisi. Mahasiswa kaget karena tiba-tiba, tanpa malu, pembantu (juga perempuan agak tua) memeluk

mahasiswa dan menyentuh tangan dan lututnya.

Di Australia, kedekatan dengan teman baru dapat diperlihatkan dengan komunikasi verbal. Sedangkan di sumatera Barat, rasa dekat dengan tamu (sudah dianggap anggota keluarga) dapat diperlihatkan dengan menyentuh atau memegangnya.

Kasus 8:

Sewaktu duduk bersama anggota keluarga, pada saat pertama sekali (baru tiba dari Australia), mahsiswa (untuk mengakrabkan diri) langsung bertanya pada putri tertua di keluarga itu tentang pacarnya. Pertanyaan itu langsung disambut dengan tertawa besar oleh orang tua dan putrinya sendiri. Mahasiswa merasa malu ditertawai begitu dan seolah-oleh ingin bertanya.

Di Australia, pertanyaan pura-pura tentang hubungan pacaran seperti itu adalah hal biasa. Akan tetapi, di Sumatera Barat, hal itu bisa mendapat reaksi yang cukup keras karena hubungan pacar masih bersifat ‘sembunyi-sembunyi”; masih agak tabu untuk menanyakan hubungan pacaran di depan orang tua.

Kasus 9:

Sewaktu pergi ke pantai dan berenang, banyak teman-teman (lelaki) Indonesia yang menyaksikan mahassiwa (perempuan) dengan pandangan terfokus dan lama. Mahasiswa merasa kikuk dan malu karena diperhatikan fisiknya tetapi tidak bisa marah karena mereka adalah teman yang sudah mereka kenal.

Di Australia, tidak sopan memandang secara terfokus kepada fisik orang yang sedang (berpakaian rnang) mandi karena mandi di pantai dengan pakaian renang adalah biasa—karena sudah biasa melihat sejak kecil sehingga tidak menjadi perhatian. Di Sumatera Barat tidak sopan, tidak mempunyai rasa malu, terutama memperlihtkn fisik kepda lawan jenis. Mereka mandi di tempat tertutup, tidak biasa memperlihat bagian tubuh yang terlalu terbuka di depan orang banyak, yang namanya aurat tetap aurat meskipun di kolam renang.

Pada peristiwa 6,7,8, dan 9 terlihat bahwa ada ketidaksalingpahaman “kedekatan” karena sudah saling mengenal. Sentuhan fisik, hubungan pacaran, pandangan terfokus dimaknai secara berbeda. Masing-masing merasa kikuk dan malu justru karena alasan yang sama.

Pembahasan

Mahasiswa yang melaporkan pengalaman keterasingan budaya di sekitar persoalan waktu makan mengatakan juga bahwa cara-cara yang mereka gunakan untuk mengatasi persoalan bingungnya, pertama-tama, adalah dengan “diam seribu bahasa” dan

(8)

lain yang diambil justru dapat memperburuk suasana, baik bagi dirinya maupun bagi keluarga. Tetapi kemudian ia juga membicarakan dengan teman sesama mahasiswa (dari Australia) untuk mencek apakah temannya mengalami hal yang sama.

Mahasiswa yang mengalami persoalan tentang kasus cuci cetak foto dan yang

lemarinya dibuka tanpa seizinnya, juga mengambil tindakan diam meskipun dalam hati terasa sakit karena hak pribadinya (hal yang sangat mendasar dalam kebudayaan Barat) dilanggar. Mahasiswa ini, akhirnya, hanya menyampaikan kepada koordinator program pada saat program akan berakhir. Ia beralasan, tindakan diam diambil karena tidak tahu tindakan apa yang harus diambil dan takut kalau bertindak justru akan memperburuk suasana.

Mahasiswa yang mengalami “kedekatan persahabatan diterjemahkan dengan sentuhan dekat” juga diam tanpa menolak. Baginya, diam adalah untuk menyembunyikan rasa malu. Sebab, kalau memberi reaksi menolak atau membicarakannya, ia takut teman tersebut tersinggung sehingga perasaan sungkan itu ditahan saja. Sedangkan mahasiswa yang ditertawakan karena pertanyaanya tentang pacar kepada putri keluarga juga ikut tertawa supaya ada kesan “joke”, meskipun rasa malu tetap ada. Ia tidak menyampaikan persoalan itu kepada siapa-siapa, kecuali kepada koordinator program setelah program berakhir. Begitu juga, mahasiswa yang dipandangi sewaktu berenang merasa hak-haknya dilanggar,

kesenangan pribadinya diintervensi. Meskipun begitu, mereka hanya tersenyum sinis, tidak melarang, tidak bertanya kepada yang memandanginya. Hal itu hanya dilaporkan kepada koordinator program.

Dari cara-cara yang dilakukan mahasiswa untuk mengatasi/mereaksi peristiwa-peristiwa keterasingan budaya terlihat bahwa “diam” adalah tindakan yang dominan, disusul dengan memberitahu kepada koordinator program setelah program berakhir, dan yang paling jarang adalah membicarakannya dengan teman, dan sebagian lagi membiarkan peristiwa berlalu begitu saja. Pada satu sisi dapat berarti bahwa mereka tidak berani bertindak karena takut persoalan menjadi “melebar” tetapi pada sisi lain, memang, karena tidak tahu bagaimana harus bertindak yang dapat menyelesaikan masalah.

Meskipun koordinator telah memberikan orientasi kepada peserta sebelum berangkat ke Indonesia, dan sesampai di Indonesia juga diberikan orientasi tentang budaya ditambah dengan suplemen di dalam buku panduan tentang hidup di ranah Minang, mahasiswa tetap saja kurang mengerti bagaimana cara terbaik menghadapi kasus CM. Hal itu disebabkan karena apa yang disampaikan lebih bersifat teoritis, kurang praktis dan hampir tidak ada yang bersifat kasus.

(9)

mencari hiburan dari teman karena tidak mempunyai kontrol yang baik terhadap peristiwa sehari-hari itu.

Bagaimanapun, dengan peristiwa “menyentuh” sesama jenis, mahasiswa terlihat tidak membicarakannya dengan teman atau koordinator karena menganggap peristiwa ini terjadi di luar kontrol mereka. Kelihatannya, kedekatan dalam kebiasaan bersentuhan sesama jenis membuat situasi begitu tidak terlukiskan untuk mahasiswa yang memendam semua perasaan supaya membiarkan suasana berlalu begitu saja sebelum mereka dapat membuat makna dari peristiwa ini.

Tetap diam dan menunggu orang lain bertindak adalah reaksi yang dominan. Mereka tetap diam karena tidak tahu apa yang akan terjadi (reaksi orang lain) jika memberi reaksi. Akankah mahasiswa yang menyaksikan fotonya dipajang di ruang majelis guru berteriak atau merebutnya dengan bengis? Tindakannya yang marah atau kasar boleh jadi menyebabkan kebingungan di antara majlis guru dan mahasiswa sendiri.

Meskipun perasaan paling dalam tidak senang dan bingung, mereka tidak berani mengambil tindakan nyata karena hal itu bisa menyebabkan situasi lebih buruk. Sebenarnya, jika mereka langsung bertanya kenapa hal itu bisa terjadi (“Kenapa foto saya dilihat?”) atau setelah beberapa saat kemudian bertanya, “Apa boleh di sini melihat foto orang lain tanpa seizinnya?” mungkin mereka akan mendapatkan jawaban atau penjelasan untuk dapat memahami kebiasaan orang-orang di sekitar mereka. Begitu juga, sewaktu ditertawai karena menanyakan pacar si gadis, mahasiswa sebaiknya bertanya, “Apa yang salah, kenapa Anda tertawa?” Dia mungkin akan mendapatkan penjelasan terhadap situasi itu. Bahkan, ketika dipandangi berenang, mereka dapat saja melambaikan tangan tanda tidak setuju, tetapi karena orang itu adalah teman, orang yang sudah dikenal, tidak banyak bisa dilakukan mahasiswa.

Mahasiswa harus menyadari bahwa mereka berada di dalam kebudayaan lain yang berbeda. Tetap diam dan merasa masih “berada” di dalam kebudayaan sendiri, sebenarnya, membuat situasi menjadi lebih buruk. Sebagai orang asing, kita harus paham bahwa

“bertanya” adalah bijaksana jika kita ingin menghindari kesalahpahaman antarpribadi. Dengan bertanya, setiap pihak akan tahu posisi masing-masing berdasarkan interpretasi terhadap peristiwa karena suatu peristiwa bisa menimbulkan banyak interpretasi dan interpretasi seseorang bisa sangat berbeda dari interpretasi orang lain, sesuai dengan pandangan etnosentrisiti.

Di samping bertanya, kita harus juga bisa menjelaskan kebiasaan di kebudayaan kita sendiri sehingga orang di sekitar kita mamaklumi jika sesuatu yang membuat rasa rikuh telah terjadi. Jadi, kunci penyelesaiannya adalah BERTANYA dan MENJELASKAN.

(10)

melihat sudat pandang masing-masing, meskipun budaya tetap berbeda karena kebudayaan tidak akan berubah, sementara peristiwa keterasingan budaya terjadi lagi. Apa salahnya, pada situasi santai dan perasaan ringan mahasiswa bertanya, “Kenapa Anda tidak makan bersama saya?” Dengan demikian, situasi bisa cair dan masalah menjadi jelas, bahkan makan sendirian tidak lagi terjadi. Tetap diam dapat menimbulkan stress. Membiarkan masalah tetap

tersembunyi dan menekan perasaan bisa mencekik, apalagi menghindari kontak interpersonal karena takut mengalami persoalan lain.

Reaksi dominan kedua adalah membicarakan perasaan dengan teman. Mereka

membicarakannya dengan teman dekat untuk dapat mencurahkan perasaan atau ketertekanan. Tindakan jenis ini hanya diambil setelah mengalami peristiwa rikuh/tidak menyenangkan. Dibandingkan dengan diam, tindakan terakhir ini lebih bijaksana. Dengan berbicara kepada teman, sekurang-kurangnya sudah ada dua atau beberapa orang yang mengetahui bahwa sesuatu (CM) telah terjadi sehingga bisa didiskusikan. Diskusi itu sendiri akan mengurangi rasa rikuh.

Semua hal di atas bukanlah CS. CS dapat dengan mudah dipahami dan diselesaikan dengan banyak cara. Mahasiswa dapat melengkapi diri dengan bacaan tentang sebuah budaya sebelum pergi ke daerah tersebut. Sebaliknya, pada peristiwa CM, mahasiswa tidak mengerti sama sekali apa yang salah, kenapa tiba-tiba dia mengalami hal yang “aneh”. Oleh sebab itu, kadang-kadang, pengetahuan tentang suatu kebudayaan tidak bisa otomatis membantu

menyelamatkan seseorang dari kasus CM ketika masuk ke kebudayaan itu.

Simpulan dan Saran

Pengalaman berada di dalam kebudayaan baru tidak saja bisa menimbulkan CS tetapi juga CM. Jika CS dengan mudah dapat dikenali seperti pusing karena cuaca dan menu makanan atau rasa rindu kampung, sehingga mudah pula cara menanggulanginya, CM justru agak sulit dikenali sehingga sulit pula dicarikan jalan keluarnya. Meskipun telah dipersiapkan dengan baik untuk bisa menghadapi perbedaan-perbedaan budaya di luar negeri dengan aneka informasi dan dokumentasi tentang CM dan CS, untuk hadir dalam perbedaan-perbedaan, namun kasus CM tetap saja dialami. Semuanya terjadi di luar kontrol.

Dalam menjalani kehidupan biasa sehari-hari di dalam kebudayaan Indonesia (di Sumatera Barat), peristiwa yang tidak diharapkan ini menyebabkan mahasiswa asing mengalami perasaan rikuh, bingung, malu, dan juga perasaan marah. Akan tetapi, tidak ada yang memberi reaksi secara agresif atau langsung menumpahkan kemarahan. Hal ini memperlihatkan bahwa mahasiswa menyadari bahwa mereka mengalami semacam

(11)

atau apakah bantuan diperlukan. Peristiwa sehari-hari itu, dapat dikatakan, menghendaki mahasiswa membicarakan dilemanya dan mencari cara-cara terbaik untuk menyelesaikannya bersama teman. Walaupun sebagian dapat dipahami karena ada penjelasan khusus, tetapi tetap ada peristiwa yang tabu untuk mahasiswa ini yang di luar kelaziman yang mereka alami.

Bagaimana menimbulkan keberanian kepada mahasiswa ini untuk mengajukan pertanyaan langsung adalah masalah yang perlu dicarikan jawabannya. Barangkali hal ini adalah bagian yang harus dijelaskan pada waktu orientasi, ketika mahasiswa baru masuk ke budaya baru.

Semua mahasiswa menganggap bahwa program in-country sangat bernilai bagi mereka secara pribadi dan profesi dalam mengawali karir mereka baik sebagai guru bahasa asing di masa datang maupun profesi lain. Sebagai koordinator yang terlibat di dalam melaksanakan program lintas budaya ini, kami sangat merekomendasikan cara-cara yang dapat diadopsi oleh mahasiswa sebagai penyesuaian lintas budaya dan aspek-aspek saling memahami dari

program pertukaran ini. (1) Sadari bahwa keterasingan budaya akan terjadi pada waktu yang tidak disangka-sangka dan tidak diharapkan. (2) Tetap tenang/diam terlebih dahulu (kecuali berbahaya atau sangat di luar kelaziman) dan sadari bahwa peristiwa ini mungkin CM yang cukup menarik. (3) Pastikan, setelah peristiwa terjadi, apakah ada unsur kontrol dalam situasi itu. Jika seseorang berada pada posisi dapat mengontrol dan peristiwa bisa tidak terjadi lagi sebagaimana sebelumnya, tidak perlu penjelasan dibuat untuk orang lain. Akan tetapi, jika seseorang berada pada posisi tidak bisa mengontrol situasi, dialog harus dimulai dengan orang-orang tertentu. Bertanya untuk klarifikasi adalah kunci untuk diri sendiri dan menjelaskan posisi diri sendiri adalah kunci untuk orang lain.

(12)

Daftar Rujukan

Banks, J.A. 1998. “The Lives and Values of Researchers: Implications for Educating Citizen in a Multicultural Society”, Educational Researcher, Vol.27, No.7.

Crealock, Erin. At all. 1999. “To Homestay or to Stay Home: The Canadian-Japanese Experience” TESL Canada Journal, Vol 16 No.2, Spring 1999

Houser, N. & Kloesel, C. (Eds.) 1992. “The Essential Peirce”: Selected Philosophical Writing, Volume I (1867-1893). Indiana University Press.

Knowles, J. G & Cole, A.L. 1996. “Developing Practice Through Field Experiences”, in Murray, F.B. (Ed.) The Teacher Educator’s Handbook: Building a Knowledge Base for the Preparation of Teacher. Jossey-Bass Publishers: San Francisco.

Lo Bianco, J. 1998. “The Implications for Languages of the Emergence of the International University”. Australian Language Matters. Vol. 6, No.4, Oct/Nov/Dec.

MacNeal, F. 1995. “Cultural Misunderstanding: The France-American Experience”, A Review of General Semantics, Vol 52, No. 1, Spring.

Minner, S. et all. 1995. “Benefit of Cultural Immersion Activities i a Special Education Teacher Training Program”, in Reaching to the Future: Boldly Facing Challenges in Rural Communities (Conference Proseeding of the American Council on Rural Special Education (ACRES), Las Vegas, Nevada, Marc 15-18.

Morine-Dershimer, G. & Leighfield, K. 1995. “Student Teaching Field Experiences,” in Anderson, L.W. (Ed.) International Encyclopedia of Teaching and Teacher Education (second edition) Pergamon.

Pine, N. 1999. “Understanding Cultural Mismatch: Tools for Teacher-Student Intercultural Communication”. Paper presented at The 40th International World Education Fellowship conference Educating for a Better World: Vision to action, Tasmania, Australia, January 2.

Pine, N. & Yafei, Z. 1997a. “Ethnocentricity and Cultural Disequilibrium: Critical Analitical Tools in Comparative International Research”. Paper presented at the Reclaiming Voice: Ethnographic Inquity and Qualitative Research in a Postmodern Age Conference, University of Southern California, June 20-22.

Stachowski, L.L. & Mahan, J.M. 1998. “Cross-cultural Field Placements: Student Teachers Learning from Schools and Communities”. Theory Into Practice, Vol 37, No.2, Spring. Pp 155-162.

Referensi

Dokumen terkait

(Kementrian Koordinator Bidang Kesejahtraan Rakyat, t.t.) Fenomena ini menimbulkan banyaknya merek-merek pakaian, baik lama maupun baru yang meluaskan bahkan merubah fokus nya

Untuk mengecek kebenaran data yang sudah dimasukkan, tekan tombol View data set maka akan muncul tampilan seperti gambar di bawah ini.. Jika ada data yang salah, tekan

Selesai mengikuti perkuliahan ini, diharapkan mahasiswa S2 Prodi PU memiliki kompetensi tentang: (1) Wawasan Konseptual tentang hakikat Pedagogik, (2) Pemahaman

*ormasi kepermukaan se"ara alami. Apabila sumur tersebut sudah tidak memilik i kemampuan untuk mengalirkan Fuida reservoir kepermukaan, dengan kata lain.. sudah tidak

Putusan nomor 71/PID.B/2014/PN.Crp dengan terdakwa pertama bernama Dedi Bastian alias Dedi Jongoa Bin Komarudin, terdakwa kedua bernama Rhivend Reno Rivaldo alias Reno Bib

Jika sistem tidak memiliki huruf yang sesuai dengan permintaan, dia akan mengembalikan sebuah huruf hampir mirip dengan atribut yang diminta.. Huruf adalah sebuah class

BAGI MAHASISWA YANG ADA DI KELAS DIBAWAH INI AGAR SEGERA PINDAH KE KELAS LAIN YANG TERSEDIA... HENDRI

Metode iteratif adalah suatu metode yang digunakan untuk mencari solusi suatu persamaan tak linear yang dimulai dengan memilih nilai awal dan kemudian berusaha