• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inisiatif Awal Pengembangan Indikator Ti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Inisiatif Awal Pengembangan Indikator Ti"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1

Inisiatif Aw al Pengembangan Indikator

Tingkat Literasi M edia Baru

Oleh B. Gunt ar t o*

Hasil penelitian tentang Internet Dalam Kehidupan Remaja oleh YPMA tahun 2011 pada 250 siswa SMP-SMA di Kotamadya Depok Jawa Barat menunjukkan bahwa hampir 60% siswa mengenal internet sejak mereka kelas 4-6 SD. Situs favorit mereka adalah facebook, twitter, Youtube, dan online games. Hampir semua responden merasakan manfaat positif dan dampak negatif Internet. Dampak negatinya, misalnya berupa gangguan konsentrasi belajar, telat makan, mengantuk karena tidur tidak teratur, dan siswa yang aktif di media sosial dan game online mengaku hal tersebut mengganggu pada hubungan dengan keluarga dan teman.

Antara peluang dan risiko berinternet pada remaja harus digali lebih jauh. Literasi media baru yang mulai mendapat perhatian besar dari penggiat literasi media di Indonesia, harus dilengkapi dengan indikator yang dapat menunjukkan tingkat literasi seseorang. Indikator ini sangat penting untuk memastikan rancangan bentuk program intervensi yang akan dilakukan.

Makalah ini mengajukan pemikiran awal mengenai serangkaian unsur pokok yang membangun indikator tingkat literasi media baru, seperti persoalan etika yang terdiri atas identitas, privasi, kredibilitas, authorship dan kepemilikan, serta partisipasi. Di samping itu, tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh remaja berkaitan dengan akses media, analisis, evaluasi, dan produksi pesan, adalah indikator yang sangat penting untuk diketahui.

Kata kunci: literasi media baru, tingkat literasi media baru, indikator literasi media baru.

Latar belakang

Literasi media baru, pada dasarnya adalah pengembangan dari model literasi

media konvensional. Hadirnya unsur partisipasi, interaktivitas, kreasi konten

(2)

2

media yang membuat seseorang tidak sekedar pengguna media tapi sekaligus juga

pemroduksi konten media, tentu saja akan membuat pengertian dan batasan

mengenai literasi media baru menjadi berkembang jauh.

Manfaat dari indikator literasi media baru dapat dilihat dalam beberapa tingkatn.

Pada tingkat praktis, informasi mengenai tingkat literasi media dapat menjadi

informasi awal mengenai tingkat literasi media seseorang atau sekelompok orang

merupakan hal penting bagi dasar dalam penyusunan program intervensi literasi

media. Logikanya, setiap kegiatan literasi media harus diawali dengan data

mengenai tingkat literasi media kelompok yang akan menjadi sasaran program.

Pemahaman yang cukup mendalam mengenai kondisi target program, akan

menentukan bentuk intervensi, kurikulum, metode penyampaian, kebutuhan alat

peraga, dsb.

Sebagai sebuah bidang baru yang secara formal belum dapat diakomodir dalam

kurikulum sekolah, maka peran sekolah dapat dikatakan tidak ada berkaitan

dengan tinggi dan rendahnya tingkat literasi media baru seseorang.

Pada tingkat nasional, data tersebut juga dapat menjadi indikator bagi pelaksanaan

sebuah kebijakan, atau memberi petunjuk perlunya sebuah kebijakan yang lain.

Secara logis, dapat diasumsikan bahwa tingkat literasi media baru yang tinggi

akan berkorelasi dengan rendahnya kemungkinan dampak negatif media baru. Hal

ini dapat dipahami dengan logika bahwa pemahaman yang tinggi tentang

unsur-unsur dalam literasi media baru akan membuat seseorang lebih kritis, lebih dapat

mengantisipasi dan menghindari permasalahan yang muncul, dibanding dengan

(3)

3

Struktur penulisan dalam makalah ini terdiri atas bagian pendahuluan, gambaran

mengenai remaja dalam era digital, pengertian tentang media baru dan literasi

media baru, pengembangan indikator tingkat literasi media baru, dan diakhiri

dengan bagian penutup.

Gambaran Remaja Digital

Pada awal Maret 2011, YPMA melakukan penelitian kecil mengenai “Internet

Dalam Kehidupan Remaja”. Penelitian tersebut dilakukan untuk mendapatkan

data dasar mengenai bagaimana sesungguhnya pola penggunaan Internet pada

remaja SMP dan SMA. Data dasar digunakan sebagai bahan penyusunan makalah

dalam seminar dengan para guru dalam acara Himpunan Mahasiswa Ilmu

Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat.

Paparan berikut sumber aslinya adalah makalah berjudul “Memahami Interaksi

Remaja Dengan Internet” tahun 2011 yang disusun oleh Guntarto, Amelia

Virginia, Hendriyani, Mefitia Puspasari, dan M. Topan Nixon.

Dari hasil kuesioner yang disebarkan ke beberapa sekolah menengah pertama dan

atas di Depok Jawa Barat pada awal Maret 2011, didapatkan hasil bahwa para

siswa yang merupakan digital natives di kota Depok mulai mengenal Internet

sejak mereka berada di Sekolah Dasar terutama di kelas 4 sampai kelas 6.

Orangtua, keluarga (kakak, om, tante, dan saudara sepupu), serta guru berperan

(4)

4

yang belajar sendiri. Mereka mencari informasi mengenal Internet di media cetak

baik majalah ataupun buku dan kemudian mempraktekkannya sendiri.

Untuk berselancar di dunia maya, para digital natives itu menggunakan perangkat

seperti personal computer (PC), laptop, handphone, atau BlackBerry. Namun,

dalam hasil pengolahan data survei diperoleh hasil bahwa mayoritas digital

natives mengkases Internet menggunakan personal komputer.

Karena sebagain besar siswa yang menjadi responden memiliki akses Internet di

rumahnya, maka mereka menggunakan PC dan laptop di rumah masing-masing.

Jumlah siswa yang pergi ke warnet jauh lebih sedikit.

Sebagian besar dari responden mengakses Internet pada saat pulang sekolah.

Biasanya, mereka menyempatkan diri menghabiskan waktu 1,5 - 3 jam untuk

mengakses Internet sepulang dari sekolah dan pada malam hari. Namun, ada juga

yang mengakses Internet pada saat jam sekolah melalui handphone atau

BlackBerry. Agaknya, tidak ada larangan untuk menggunakan handphone di

sekolah. Website yang mereka akses adalah google.com. Melalui website ini,

mereka pun memanfaatkan fitur translasi dan pencarian untuk mengerjakan tugas

sekolah.

Situs yang sering diakses oleh para digital natives adalah Facebook, Twitter,

Youtube, Google, dan situs-situ games online. Namun, yang menjadi favorit

mereka adalah Twitter. Melalui situs jejaring sosial ini para digital natives

mengaku sering melakukan aktivitas seperti: update status (tweeting), re-tweet,

(5)

5

Situs kedua yang menjadi favorit para digital natives ini adalah Facebook.

Aktivitas yang sering mereka lakukan di situs jejaring sosial ini antara lain

memantau newsfeed, berkomunikasi melalui fitur wall to wall atau comment,

mengunggah foto dan melakukan photo tagging, bermain game, dan mengisi

permainan dalam bentuk kuis seperti ‘interview friend’.

Dalam menggunakan Facebook, ternyata banyak di antara mereka yang tidak tahu

batas umur penggunanya. Sebagian besar di antara mereka mengira bahwa batas

umur termuda untuk memiliki akun Facebook adalah 17 tahun. Padahal, dalam

peraturan penggunaan (Statement of Rights and Responsibilities) Facebook

disebutkan usia minimum tersebut adalah 13 tahun. Bisa dipastikan, banyak di

antara mereka yang memiliki akun Facebook jauh sebelum batas usia minimum

tersebut.

Masih berkaitan dengan penggunaan Facebook, 50% responden mengatakan

bahwa mereka mengaktifkan fitur pengaturan privasi (seperti: siapa yang dapat

melihat status, foto, dan data pribadi). Mereka yang mengaktifkan fitur pengaturan

privasi ini mengatakan bahwa banyak sekali kejahatan yang terjadi akibat

Facebook. Bagi mereka, pengaturan privasi ini memberikan kontrol atas

informasi/data diri yang penting.

Sementara itu, mereka yang tidak mengaktifkan fitur pengaturan privasi

mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui tentang adanya fitur tersebut atau

tidak dapat melakukan pengaturan fitur tersebut (gagap teknologi). Namun, ada di

antara mereka yang menyebutkan bahwa mereka tidak memberikan data pribadi di

(6)

6

Selain mengakses kedua situs tersebut, para siswa digital natives tersebut juga

gemar mencari video klip yang ada di situs Youtube. Jenis video klip yang dicari

biasanya tergantung dengan jenis musik favorit mereka. Dari data kuesioner,

pencarian video di Youtube bisa sangat variatif, mulai dari boyband seperti Sm*sh

hingga marawis.

Sama halnya dengan aktivitas mengunduh melalui Youtube, para digital natives

juga sering melakukan aktivitas mengunduh melalui situs 4shared.com. Situs ini

digunakan oleh anak-anak untuk mengunduh musik yang mereka sukai. Situs

berbagi file (4shared.com, mediafire.com, indowebster.com dan lain-lain)

merupakan penyedia penyimpanan berkas dalam jaringan. Berkas yang bisa

diunggah melalui media ini adalah musik, film, video, dokumen, gambar, foto,

dan sebagainya.

Meskipun ada aturan jika muatan file yang di-share adalah file dengan konten

untuk orang dewasa, maka pengunggah haruslah memberi password, namun tidak

jarang password tersebut dapat tersebar atau justru tidak diberi password sama

sekali, sehingga anak dan remaja cukup rentan bisa mengakses konten-konten

dewasa melalui situs ini. Terlebih lagi, seseorang yang mengunduh file dalam

situs ini tidak harus menjadi anggota/mendaftar.

Dalam sebuah kasus, password tersebut tersebar di sejumlah website penyedia

link mengunduh secara gratis. Tentu saja dengan adanya penyebaran password

tersebut, Digital Natives dapat dengan mudah mencari tahu password, kemudian

(7)

7

Sementara itu, John Palfrey dan Urs Gasser (2008: 1-15) menyebutkan beberapa

fakta lain tentang digital batives (anak-anak yang lahir ketika sudah ada era

digital, sekitar tahun 1980an). Fakta-fakta tersebut sebagai berikut.

• Generasi ini berbeda. Mereka belajar, bekerja, menulis, dan berinteraksi

dengan orang lain melalui cara yang berbeda dengan generasi sebelumnya.

Generasi ini menjalani sebagian besar waktunya di dunia maya (online),

tanpa membedakan antara online dan offline.

• Mereka lebih memilih untuk membaca blog dibanding surat kabar.

Mereka lebih memilih untuk bertemu orang lain secara online sebelum

bertemu secara langsung.

• Mereka mungkin tidak mengetahui bentuk kartu perpustakaan - meskipun

memilikinya mereka mungkin tidak pernah menggunakannya.

Mereka mendapatkan musik secara online - seringkali secara gratis dan

ilegal -daripada membelinya di toko musik.

Mereka lebih suka mengirimkan instant message (IM) daripada mengangkat

telepon dari teman untuk mengatur waktu pertemuan pada siang hari.

• Mereka mengadopsi dan bermain dengan binatang peliharaan melaui virtual

Neopets secara online daripada bermain dengan hewan peliharaan yanf

sesungguhnya.

• Mayoritas aspek kehidupan mereka berupa interaksi sosial, pertemanan,

aktivitas kemasyarakatan, dimediasi oleh teknologi digital. Mereka tidak

(8)

8

Literasi media baru

Claire Bélisle (2006 dalam Martin, 2009: 7) mengajukan gagasan mengenai

pentingnya literasi yang memungkinkan berbagai kemampuan untuk ditempatkan

dalam konteks makna dan aksi sosial. Ia mengidentifikasi evolusi konsep literasi

ini dalam tiga model.

Pertama, model fungsional yang melihat literasi sebagai penguasaan

keterampilan kognitif dan praktis sederhana, dan berkisar dari pandangan

sederhana dari literasi sebagai keterampilan mekanik membaca dan menulis ke

pendekatan yang lebih maju (misalnya oleh UNESCO tahun 2006) tentang literasi

sebagai keterampilan yang diperlukan untuk berfungsi secara efektif dalam

masyarakat.

Kedua, model praktek sosial-budaya yang mengambil sebagai dasar bahwa

konsep literasi hanya bermakna dalam konteks sosial, dan bahwa untuk menjadi

literate adalah memiliki akses ke struktur budaya, ekonomi dan politik

masyarakat.

Ketiga, model pemberdayaan intelektual berpendapat bahwa literasi tidak hanya

keterampilan untuk menangani teks dan angka dalam konteks budaya dan ideologi

tertentu, tetapi membawa pengayaan yang mendalam dan akhirnya memerlukan

transformasi dari kapasitas pemikiran manusia. Pemberdayaan intelektual ini

terjadi setiap kali manusia memperkaya dirinya dengan perangkat kognitif baru,

seperti misalnya menulis dengan perangkat teknis baru, yang telah dipermudah

(9)

9

Dalam melihat literasi dengan konteks digital maka dikenal istilah literasi digital.

Istilah ini dipopulerkan oleh Paul Gilster (dalam Martin, 2009: 7), yang dalam

bukunya dengan judul yang yang sama menjelaskan sebagai kemampuan untuk

memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai format dari berbagai

sumber yang disajikan melalui komputer.

Konsep literasi tidak sekadar bisa membaca dan menulis saja, melainkan selalu

berarti kemampuan untuk membaca dengan makna dan pemahaman. Literasi

digital juga telah memperluas batas-batas definisi literasi sebelumnya. Tidak

sekedar merupakan keterampilan dalam menemukan informasi namun juga

kemampuan untuk menggunakan hal-hal itu dalam hidup.

Gilster mengidentifikasi berpikir kritis dibanding kompetensi teknis sebagai

elemen inti dari literasi digital. Ia menekankan evaluasi kritis dari apa yang

ditemukan di Web, daripada keterampilan teknis yang diperlukan untuk

mengaksesnya. Dia juga menekankan penggunaan keterampilan yang relevan

"bagi hidup kita" dan tidak sekedar keahlian atau kompetensi.

Sementara itu menurut Allan Martin, literasi digital adalah kesadaran, sikap dan

kemampuan individu untuk dapat menggunakan alat digital dan fasilitas untuk

mengidentifikasi, mengakses, mengelola, mengintegrasikan, mengevaluasi,

menganalisis dan mensintesis sumber daya digital, membangun pengetahuan baru,

mengekspresikan sesuatu melalui media, dan berkomunikasi dengan orang lain,

dalam konteks situasi hidup tertentu, dalam rangka untuk mengaktifkan aksi sosial

(10)

10

Sama seperti halnya dengan tiga model evolusi literasi media di atas, maka literasi

dapat dilihat dibayangkan pada tiga tingkatan (lihat bagan). Pada tingkat pertama

merupakan penguasaan teknis kompetensi digital yang berupa keterampilan,

konsep, pendekatan, dan sikap. Pada tingkat kedua berupa penggunaan digital

yang mempertimbangkan aplikasi kontekstual. Ketiga, pada tingkat refleksi kritis

yakni pemahaman tentang dampak manusia dan sosial transformatif dari tindakan

digital. Model ini juga cocok digunakan dalam pendekatan untuk literasi komputer

yang telah berkembang mencakup semua tiga tingkat.

Tingkatan Dalam Literasi Digital (Martin, 2009)

Implikasi dari definisi tersebut adalah bahwa kita hanya dapat berbicara tentang

literasi digital di tingkat II atau III. Kompetensi digital pada tingkat I adalah

prasyarat bagi literasi digital, tetapi tidak dapat dikatakan sebagai literasi digital.

Pola interaksi anak dan remaja dalam menggunakan media pada masa kini, harus

(11)

11

peran mereka sebagai kreator, penghubung, komunikator, dan kolaborator -

daripada sekadar sebagai konsumen media. Menurut Erin Reilly, anak muda ini

berpartisipasi dalam penciptaan dan distribusi konten media dalam jaringan sosial

yang berkembang dari yang semula berupa lingkaran pertemanan face-to-face ke

komunitas virtual yang sangat luas di seluruh dunia.

Hal-hal seperti itulah yang membedakan antara literasi media yang selama ini

lebih berurusan dengan media konvensional atau media mainstream seperti media

cetak dan elektronik, dengan media baru yang karakteristiknya sangat berbeda

dengan media konvensional.

Hal yang sama sekali baru dalam literasi media baru misalnya adalah adanya

unsur-unsur yang menonjol seperti partisipasi, kolaborasi, dan distribusi konten.

Dalam literasi media yang konvensional, anak mudah didorong untuk mengajukan

pertanyaan mengenai media yang masuk ke rumahnya. Kita tak bisa berasumsi

bahwa mereka mengerti bagaimana merespon dan berinteraksi dengan membuat

isi pesan mereka sendiri serta berbagi dengan teman-temannya. Namun, literasi

media baru diperlukan untuk menerapkan cara terbaik dalam mengajar dan

membimbing kaum muda melalui proses pembelajaran dan menjadi

berpengalaman dalam menafsirkan, menggunakan, dan berbagi pesan.

Istilah literasi media baru ini sering disamakan dengan digital literacy atau literasi

digital karena media baru dapat dikatakan identik dengan media digital, meskipun

tidak selalu berarti Internet. Menurut Media Awareness Network (dengan

memadukan rumusan dari National Broadband Plan Connecting Maerican Section

(12)

12

Digital Economy: Future Directions, p. 44), definisi mengenai literasi digital yang

sudah cukup dikenal adalah:

Keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk menggunakan

berbagai perangkat lunak aplikasi media digital, perangkat keras

seperti komputer, telepon selular, dan teknologi internet; kemampuan

untuk secara kritis memahami konten media digital dan aplikasinya;

dan pengetahuan dan kapasitas untuk menciptakanisi media dengan

teknologi digital.

Jadi, dalam definisi tersebut terkandung tiga kata kerja yang merupakan

karakteristik dari literasi digital, yaitu: use – understand – create. Artinya, literasi

media mencakup kemampuan untuk menggunakan, memahami, dan memproduksi

media digital. Penjelasan lebih jauh mengenai ketika komptensi tersebut adalah

(Sumber:

http://www.media-awareness.ca/english/corporate/media_kit/digital_literacy_paper_pdf/digitalliterac

ypaper_part1.pdf).:

1. Menggunakan – merupakan keahlian teknis yang dibutuhkan untuk terlibat

dengan komputer dan internet. Keahlian ini membentuk dasar untuk

pengembangan literasi digital yang lebih dalam. Keterampilan teknis yang penting

meliputi kemampuan untuk menggunakan program komputer seperti pengolah

kata, web browser, e-mail, dan alat komunikasi lainnya. Untuk mengembangkan

keterampilan ini, warga harus memiliki akses dan dapat memanfaatkan peralatan

dan sumber daya dengan nyaman seperti layanan broadband, komputer, perangkat

(13)

13

2. Mengerti - adalah kemampuan untuk memahami, mengontekstualisasikan, dan

mengevaluasi media digital secara kritis. Individu harus menyadari pentingnya

melakukan evaluasi secara kritis dalam memahami bagaimana konten dan aplikasi

media digital dapat mencerminkan, membentuk, meningkatkan atau memanipulasi

persepsi kita, keyakinan kita, dan perasaan kita tentang dunia di sekitar kita.

Sebuah pemahaman kritis tentang media digital memungkinkan individu untuk

menuai keuntungan - dan mengurangi resiko – serta berpartisipasi penuh dalam

masyarakat digital. Keterampilan ini mencakup juga pengembangan keterampilan

manajemen informasi dan penghargaan terhadap hak dan tanggung jawab terhaap

kekayaan intelektual. Individu perlu tahu bagaimana menemukan, mengevaluasi,

dan menggunakan informasi secara efektif untuk berkomunikasi, berkolaborasi

dan memecahkan masalah dalam kehidupan pribadi dan profesional.

3. Memproduksi - adalah kemampuan untuk membuat konten dan berkomunikasi

secara efektif menggunakan berbagai alat media digital. Produksi konten dengan

menggunakan media digital tidak sekedar kemampuan untuk menggunakan

pengolah kata atau menulis email: namun termasuk di dalamnya kemampuan

berkomunikasi dalam berbagai konteks khalayak; untuk membuat konten dan

berkomunikasi dengan menggunakan berbagai format seperti gambar, video, dan

suara; dan untuk secara efektif dan bertanggungjawab memanfaatkan fasilitas

“Web 2.0 user-generated content” seperti blog dan forum diskusi, berbagai video

dan foto, game sosial, dan bentuk lain dari media sosial. Kemampuan untuk

membuat dengan media digital memastikan bahwa seseorang tidak hanya

(14)

14

Model literasi digital yang dikembangkan dari literasi media konvensional adalah

seperti dalam gambar di bawah ini.

Sumber: Media Awareness Network

(http://www.media-awareness.ca/english/corporate/media_kit/digital_literacy_paper_pdf/digitalliteracypaper_part1.pdf)

Skema di atas memperlihatkan kompetensi aktif seseorang yang memiliki

kemampuan literasi digital, yang terdiri atas menggunakan, memahami, dan

memproduksi konten. Di bawah payung literasi digital terdapat sejumlah

keterampilan yang saling berhubungan mulai dari kesadaran dasar dan pelatihan

untuk mendorong warga yang paham dan percaya diri hingga memiliki

kemampuan literasi, kritis, dan kreatif yang canggih sebagai hasil akhirnya.

Panah yang ada dalam model itu menunjukkan adanya arah perkembangan yang

makin meningkat ke arah transformatif meskipun tidak harus sekuensial karena

(15)

15

Konsep literasi digital memperluas pengertian kita mengenai literasi media yang

konvensional. Negara pengadopsi media literacy seperti Inggris saat ini telah

mencanangkan literasi digital bersama dengan kecakapan hidup digital dan digital

inclusion sebagai komponen penting untuk mendorong partisipasi digital.

Di pihak lain, pemerintah Australia kini telah memfokuskan kegiatan pendidikan

medianya pada digital media literacy. ACMA (Australian Communication and

Media Authority) menggambarkan digital media literacy sebagai kemampuan dan

keterampilan yang dibutuhkan untuk partisipasi yang efektif dalam ekonomi

digital dan mendorong inklusi sosial dalam masyarakat yang berjaringan.

Infrastruktur dan akses fisik ke alat-alat digital merupakan dasar untuk digital

literacy. Untuk memaksimalkan partisipasi, investasi di bidang infrastruktur

haruslah disertai dengan investasi dalam pelatihan tentang cara menggunakan

alat-alat ini. Pada gilirannya keterampilan praktis ini mendukung pengembangan

keterampilan digital literacy yang lebih tinggi yang memungkinkan pengguna

tidak sekadar berpartisipasi namun sampai ke area transformasi inovasi, aksi

sosial yang konstruktif, serta pemikiran kritis dan kreatif.

Upaya menyusun indikator

Ketika orang berpikir tentang literasi, maka yang biasanya muncul adalah hal-hal

yang berkaitan dengan membaca dan menulis, dan juga berbicara, serta

mendengarkan. Hal-hal tersebut sebenarnya memang merupakan unsur dasar dari

(16)

16

komunikasi, maka konsep literasi itu sendiri banyak mengalami berbagai

penyesuaian. Namun secara umum konsep literasi pada dasarnya adalah

kemampuan untuk berbagi makna dengan orang lain agar dapat berpartisipasi di

masyarakat.

Literasi media baru memiliki ciri yang sangat menonjol dalam hal partisipasi. Hal

ini bahkan ada yang menyebut sebagai budaya partisipasi. Sebuah budaya

partisipatif adalah sebuah budaya dengan hambatan yang relatif rendah untuk

ekspresi artistik dan keterlibatan masyarakat, dukungan yang kuat untuk

menciptakan dan berbagi kreasi seseorang, dan beberapa jenis bimbingan

informal, dimana apa yang dikenal oleh paling berpengalaman dilewatkan

bersama untuk pemula.

Sebuah budaya partisipatif juga merupakan salah satu di mana para anggotanya

percaya dengan kontribusi mereka, dan merasa memiliki kesamaan derajat

hubungan sosial satu sama lain. Setidaknya, mereka peduli dengan apa yang orang

lain pikirkan mengenai apa yang mereka ciptakan (Jenkins, 2007: 3).

Lebih jauh Jenkins menjelaskan bentuk-bentuk dari budaya partisipatif itu adalah

afiliasi berupa keanggotaan dalam kelompok atau komunitas tertentu seperti

facebook ataupun mailing list, ekrpresi dalam berbagai format dari tulisan sampai

video, kerjasama dalam mengerjakan sesuatu (misalnya Wikipaedia) atau

menyelesaikan masalah, dan sirkulasi ide atau informasi dengan orang lain.

Jenkins berusaha menggeser diskusi mengenai isu digital divide dari

mempertanyakan akses terhadap teknologi ke mereka yang memiliki peluang

(17)

17

sosial yang diperlukan bagi keterlibatan yang penuh. Sekolah terlalu lambat dalam

bereaksi terhadap munculnya bdaya partisipasi ini. Peluang terbesar untuk

perubahan ditemukan dalam kegiatan sesudah jam sekolah dan belajar secara

informal di masyarakat. Sekolah dan kegiatan sesudah jam sekolah perlu memberi

perhatian lebih pada apa yang disebut dengan wawasan media baru.

Budaya partisipatif bergerak dari fokus literasi dari ekspresi individu kepada

keterlibatn masyarakat. Literasi yang baru hampir melibatkan semua

perkembangan keterampilan sosial melalui kerjasama dan jaringan. Keterampilan

ini dibangun dengan dasar dari literasi tradisional, keterampilan meneliti,

keterampilan teknis, dan keterampilan melakukan analisis kritis yang semuanya

diajarkan di sekolah.

Penelitian mengenai bagaimana mengukur literasi media baru pernah dilakukan

oleh Ioana Literat (2011) dari Annanberg School of Communication yang

menggunakan kerangka kerja yang dikembangkan oleh Henry Jenkin. Ioana

melakukan pengukuran dalam dua format data, yaitu kuantitatif dan kualitatif.

Dalam mengembangkan desain surveinya, Ioana membagi instrumennya dalam 4

bagian, yaitu: data demografis, kebiasaan dalam menggunakan media, literasi

media baru, dan keterlibatan sebagai warga. Khusus mengenai literasi media baru,

Ioana ingin melihat keterampilan literasi media respondennya mencakup

kepribadiannya, keterlibatan sosial dan kultural, interaksi dengan teman secara

online dan offline, gaya belajarnya, dan pola konsumsi dan kreasi media (Ioana,

2011).

(18)

18

tersebut mencakup (Jenkins, 2007):

1. Bermain - kapasitas untuk bereksperimen dengan lingkungan seseorang

sebagai bentuk pemecahan masalah

2. Kinerja - kemampuan untuk mengadopsi identitas alternatif untuk tujuan

improvisasi dan penemuan

3. Simulasi - kemampuan untuk menafsirkan dan membangun model dinamis

dari proses dunia nyata

4. Kecocokan - kemampuan untuk memaknai informasi dan mengemas ulang

konten media

5. Multitasking - kemampuan untuk memindai lingkungan dan seringkali

berpindah fokus perhatian

6. Kognisi Terdistribusi - kemampuan untuk berinteraksi secara bermakna

dengan peralatan yang dapat memperluas kapasitas mental

7. Kecerdasan Kolektif - kemampuan pengetahuan kolam renang dan

membandingkan catatan dengan lain menuju tujuan bersama Penghakiman -

kemampuan untuk mengevaluasi keandalan dan kredibilitas informasi yang

berbeda sumber

8. Penilaian – kemampuan untuk mengevaluasi sumber informasi

9. Navigasi transmedia - kemampuan untuk mengikuti alur cerita dan informasi

dalam berbagai modalitas

10. Jaringan - kemampuan untuk mencari, mensintesis, menyebarkan informasi

11. Negosiasi - kemampuan untuk mendekati komunitas yang beragam,

(19)

19

12. Visualisasi.

Jenkins lebih menekankan budaya partisipatif dan bukan pada interaktivitas

karena interaktivitas adalah properti dari teknologi, sementara partisipasi adalah

properti budaya. Budaya partisipatif muncul sebagai budaya yang menyerap dan

merespon ledakan teknologi media baru yang memungkinkan bagi konsumen

pada umumnya untuk menyimpan, memanfaatkan, dan menyebarluaskan konten

media dengan cara-cara baru yang efektif. Sebuah fokus pada memperluas akses

ke teknologi baru yang terjadi jika kita dapat mendorong keterampilan dan

pengetahuan yang diperlukan untuk menggunakan alat-alat tersebut tujuan kita

sendiri (Jenkins, 2007: 8).

Dengan demikian, setidaknya telah ada perangkat untuk mengukur tingkat literasi

media baru meskipun titik beratnya masih pada keterampilan atau skill, sementara

unsur pengetahuan yang mendasari keterampilan, belum banyak dikembangkan.

Mengacu pada pendapat James Potter (2008: 19), maka dalam pengertian literasi

media termasuk di dalamnya adalah persepektif yang harus dimiliki oleh setiap

orang yang menggunakan media. Perspektif itu terbentuk melalui struktur

pengetahuan, yakni seperangkan informasi yang terorganisasi dalam memori

seseorang dan terbentuk secara sistematis dalam waktu yang lama. Struktur

membantu seseorang dalam melihat pola. Semakin banyak struktur pengetahuan

dimiliki seseorang, akan dapat meningkatkan rasa percaya dirinya dalam

memaknai berbagai pesan media. Dengan struktur pengetahuan yang berkembang,

seseorang dapat memahami seluruh rentang isu media, dan dapat memahami

(20)

20

Penutup

Sebagai sebuah gagasan awal, makalah ini mencoba mengajak kita untuk mulai

memikirkan bagaimana menyusun sebuah instrumen untuk mengetahui tingkat

literasi media baru. Sebagai sebuah bidang yang baru, langkah ini perlu segera

dilakukan agar dapat mengimbangi perkembangan yang ada dan tidak tertinggal

terlalu jauh dengan fenomena yang terjadi di masyarakat.

Indikator yang baik tentu adalah yang dapat menggambarkan atau merefleksikan

dengan tepat kondisi individu atau kelompok yang ingin kita ketahui.

Kompleksitas sebuah indikator tentu tergantung dari kebutuhan dari tujuan yang

telah ditentukan sebelumnya. Indikator bisa sederhana kalau yang ingin diketahui

tidak banyak. Namun indikator juga bisa menjadi kompleks bila yang ingin

diketahui cukup banyak dan saling memiliki keterkaitan. Namun ada cara lain

untuk mengelompokkan hasil pengukuran melalui indikator tadi. Misalnya,

dengan skala rendah – sedang – tinggi.

Sedangkan isu lain yang juga perlu diparhatikan adalah perbedaan yang mungkin

akan muncul ketika sebuah indikator diterapkan pada kelompok usia tertentu –

misalnya anak-anak – dan apakah masih tepat bila diterapkan pada orang dewasa.

Kemudian, apakah indikator untuk responden di wilayah kota besar dengan akses

internet yang tinggi, juga dapat digunakan untuk wilayah dengan akses internet

yang sangat terbatas.

(21)

21

REFERENSI

Buku

Aufderheide, P., ed. 1993. Media Literacy. A report of the national leadership

conference on media literacy. Aspen, CO: Aspen Institute.

Brunner, Cornelia, and Tally, William. 1999. The New Media Literacy Handbook. New York: Anchor Books.

Buckingham, D. 2003. Media Education, Literacy, Learning and Contemporary

Culture. Cambridge: Polity Press.

Guntarto, B. 2007. Pendidikan Media – Buku Pegangan Untuk Guru Sekolah

Dasar. Jakarta: Yayasan Pengembangan Media Anak dan UNICEF.

Jenkins, Henry. 2007. Confronting the Challenges of Participatory Culture: Media Education for the 21st Century. Chicago: MacArthur Foundation.

Kaiser Family Foundation. 2006. The Media Family: Electronic Media in the

Lives of Infants, Toddlers, Preschoolers and Their Parents. California:

Kaiser Family Foundation.

Palfrey, John. dan Gasser, Urs. 2008. Born Digital: Understanding the First

Generation of Digital Natives. New York.

Potter, James W. 2008. Media Literacy 4th ed. Thousand Oaks: Sage Publications. Tyner, Kathleen. 1998. Literacy in a Digital World: Teaching and Learning in the

Age of Information. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

Yayasan Pengembangan Media Anak. 2010. Media Dalam Kehidupan Anak –

Lembar Fakta 2006 - 2010. Jakarta: YPMA.

Jurnal

Brown, J. A. 1998. Media literacy perspectives. Dalam The Journal of

Communication 48 (1):44-57.

Buckingham, D. 2007. Media education goes digital: an introduction. Dalam

Learning, Media and Technology, 32 (2):111-119.

Guntarto, B. 2001. Internet and the New Media: Challenges for Indonesian Children. Dalam Media Asia, 28 (4):195-203.

Hobbs, R. 2004. A review of school-based initiatives in media literacy education.

American Behavioral Scientist 48 (1):42-59.

Marten, Hans. 2010. Evaluating Media Literacy Education: Concepts, Theories and Future Directions. Journal of Media Literacy Education Vol 2(1), 1-22.

Artikel

Guntarto (ed). 2011. Kumpulan Makalah Workshop Nasional: Konsep dan

Implementasi Media Literacy di Indonesia. Jakarta: YPMA.

Guntarto, et.al. 2011. Memahami Interaksi Remaja Dengan Internet: Referensi

Untuk Guru dan Orangtua. Jakarta: Tim Kajian YPMA.

(22)

22

Martin, Allan. 2009. Digital Literacy fot the Third Age: Sustaining Identity in an

Uncertain World. www.elearningpapers.eu.

Internet

http://ictwatch.com/internetsehat/2011/05/13/75-juta-pengguna-facebook-masih-di-bawah-umur/

http://www.asepz.com/2010/02/komnas-anak-ada-36-kasus-kejahatan-anak-remaja-dari-facebook/

Referensi

Dokumen terkait

IOD is one of the interannual climate variability in the Indian Ocean, associated with the negative (positive) SST (Sea Surface Temperature) anomaly in the eastern

c) Siswa membentuk kelompok. Dari 40 siswa, setiap nomor absen ganjil sebagai kelompok responden, dan nomor absen genap sebagai kelompok pengamat atau pencatat waktu dan

orang gila atau barang yang dijual itu barang-barang yang diharamkan syara.. a) Jual beli sesuatu yang tidak ada. Sebagaimana Fuqaha mengatakan bahwa menjual barang yang

Pada sistem Smart i Classyang dibangun berbasis web yang dapat memberikan informasi mengenai kondisi kelas.Selain i itu sistem ii ini juga akan menampilkan i

Tujuannya adalah untuk menganalisis seberapa besar pendapatan yang diperoleh peternak dari usaha penggemukan babi bali yang menggunakan pakan komersial.. Sebanyak 60 ekor anak

Pengujian perangkat lunak“Sistem Informasi Perhitungan Pajak PPh 21 Berbasis Mobile” dilakukan pada beberapa perangkat Android dengan merk dan spesifikasi yang

Kumparan฀ Trafo฀ Kumparan฀ trafo฀ terdiri฀dari฀beberapa฀lilitan฀kawat฀berisolasi฀ membentuk฀ kumparan,฀ dan฀ kumparan฀ tersebut฀ diisolasi,฀ baik฀