Relasi Orang Miskin dan Kebijakan
Penanggulangan Kemiskinan
1Dr. Sugeng Harianto, M.Si.2
Universitas Negeri Surabaya, Surabaya, Indonesia harianto1964@yahoo.com
Abstrak
Indonesia tidak luput dari masalah kemiskinan, bahkan bisa dikatakan menjadi masalah serius dan sangat memprihatinkan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia dari tahun ke tahun dapat dikatakan masih besar. Berbagai upaya penanggulangan kemiskinan sebenarnya telah lama dilakukan oleh pemerintah, namun tidak berdampak secara signifikan pada penurunan angka kemiskinan. Penelitian ini ingin menjawab secara empiris masalah bagaimana relasi antara orang miskin dengan kebijakan-kebijakan penanggulangan kemiskinan pemerintah. Penelitian yang mengambil lokasi di Desa Mulyodadi Kecamatan Wonoayu Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian ini menemukan bahwa masyarakat miskin di wilayah pedesaan sebenarnya telah tersentuh oleh berbagai macam program penanggulangan kemiskinan empat klaster, namun, di mata masyarakat dan aparatur birokrasi desa, program-program itu bersifat langsung, topdown, karitatif, dan berjangka pendek. Alih-alih program-program semacam ini menanggulangi kemiskinan, justru memunculkan kemiskinan baru dengan adanya fenomena rumahtangga yang
berasal dari strata sosial menengah dan atas “memiskinkan diri.” Salah satu penyebab program penanggulangan kemiskinan tidak efektif adalah terjadinya disfungsi sosialisasi program penanggunalan kemiskinan di level desa. Program-program penanggulangan kemiskinan ternyata hanya mampu meringankan beban rumahtangga miskin, namun tidak mampu mengentaskan rumahtangga miskin dari perangkap kemiskinan. Aagar program penanggulangan kemiskinan mempunyai dampak signifikan hendanya ada pembedaan antara prgram kemiskinan untuk rumahtangga miskin usia produktif dan usia tidak produktif.
Kata kunci: kemiskinan, kemudayaan kemiskinan, moving out
1 Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Riset Inovatif (SENARI) III, yang diselenggarakan
oleh Lembaga Penelitian Universitas Pendidikan Ganesha Bali, di Hotel Grand Inna Kuta Bali 18 – 19 Nopember 2015
2 Tenaga pengajar di Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri
A. Latar Belakang
Indonesia tidak luput dari masalah kemiskinan, bahkan bisa dikatakan menjadi masalah serius dan sangat memprihatinkan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia dari tahun ke tahun dapat dikatakan masih besar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2010 sebesar 31,7 juta orang (Kompas,
20 September 2010). Tjondroengoro
mengatakan, jumlah penduduk miskin sangat ditentukan oleh kriterium atau ukuran yang digunakan. Pada tahun 2008 bila kemiskinan diukur menggunakan kriterium Bank Dunia, dimana orang miskin adalah orang yang (43,5%) jumlah penduduk Indonesia. Berkaitan dengan fenomena kemiskinan di wilayah pedesaan ini, James C. Scott (1989) dengan meminjam metafora Tawney menggambarkan
“ada daerah-daerah di mana posisi penduduk pedesaan ibarat orang yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai leher, sehingga ombak yang kecil sekalipun sudah cukup
menenggelamkannya.” Metafora ini
menggambarkan bahwa masyarakat desa hidup
dalam kondisi kemiskinan. Kemiskinan
masyarakat terlihat dari kehidupannya yang subsisten.
Berbagai upaya penanggulangan
kemiskinan sebenarnya telah lama dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah Orde Baru,
misalnya, telah menjalankan beberapa
kebijakan untuk menanggulangi kemiskinan, di antaranya program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan beras untuk rakyat miskin (Raskin).
Pemerintah pasca Orde Baru
mempertahankan program Raskin, bahkan pada
masa pemerintahan Soesilo Bambang
Yudhoyono menambahkan program bantuan tunai langsung (BLT), asuransi kesehatan untuk
masyarakat miskin (askeskin), bantuan
operasional sekolah (BOS), dan
sebagainya.Meskipun pemerintah telah
menjalankan berbagai kebijakan untuk
menanggulangi kemiskinan, namun tidak berdampak pada penurunan angka kemiskinan.
Dillon (dalam Kompas, 2001a)
mengatakan, pemerintah Indonesia (state), baik rezim Soekarno, Soeharto, maupun Megawati Soekarno Putri, dapat disebut telah gagal
menanggulangi masalah kemiskinan. Khusus program Askeskin, Robert Sparrow, dkk. (2010), melakukan kajian yang hasilnya menunjukkan bahwa program itu hanya jangka pendek dan terdapat kekacauan. Untuk efektivitas program Raskin, kajian Olken, dkk. (2001) dan Sugeng
Harianto, dkk. (2002, 2002,003,2009)
menunjukkan penyaluran Raskin di wilayah pedesaan menimbulkan banyak masalah. David T. Ellwood menanbahkan bahwa program penanggulangan kemiskinan terjebak pada program-program yang bersifat karitatif dan populis (Kompas, 16 September 2010). Bagong Suyanto (Kompas, 18 September 2010) melihat kelemahan-kelemahan itu disebabkan karena kemiskinan dilihat sebagai fenomena single dimension, yaitu semata-mata masalah kekurangan pendapatan atau modal berusaha saja.
B. Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang itu
penelitian ini menjawab masalah secara empiris: bagaimana hubungan dialektikan antara orang
miskin dengan kebijakan-kebijakan
penanggulangan kemiskinan pemerintah?;
Penelitian ini bertujuan membangun proposisi-proposisi tentang strukturasi kemiskinan yang dialami oleh masyarakat pedesaan yang diharapkan menjadi jembatan di antara dua kutup teori antara teori-teori modernisasi, terutama teori kebudayaan kemiskinan dan teori-teori structural konflik dengan cara memahami: hubungan dialektika atau pengaruh mempengaruhi antara orang miskin sebagai
agen dengan kebijakan-kebijakan
penanggulangan kemiskinan pemerintah.
Hasil penelitian ini diharapkan
mempunyai kontribusi penting terhadap
pengayaan pengembangan kajian sosiologi, khususnya sosiologi pedesaan. Proposisi-proposisi yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat mengisi spektrum kosong di antara teori-teori modernisasi, terutama teori
kebudayaan kemiskinan, dan teori-teori
structural konflik. Hasil penelitian ini juga diharapkan mempunyai kontribusi praktis bagi
pengembangan berbagai kebijakan
penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
C. Metode Penelitian
rumahtangga miskin dan aparatus pemerintah desa sebagai unit analisis. Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah suami dan istri serta aparatur pemerintah desa. Penelitian ini mencoba memahami realitas dialektika orang
miskin dan kebijakan penanggulangan
kemiskikan dari perspektif subjek penelitian. Penelitian menggunakan teknik observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) untuk mengumpulkan data primer. Setelah data dikumpulkan, data dianalisis secara kualitatif melalui tahapan reduksi data, pemrosesan satuan, dan menemukan dan menyusun kategorisasi.
D. Temuan dan Diskusi Penelitian 1. Menimbulkan Kemiskinan Baru
Masyarakat miskin di wilayah pedesaan sebenarnya telah tersentuh oleh berbagai macam program penanggulangan kemiskinan. Program-program penanggulangan kemiskinan dilaksanakan di desa penelitian meliputi empat klaster yang dikembangkan oleh pemerintah, walaupun ada kesan lebih banyak program penanggulangan kemiskinan klaster satu. Program-program yang dilaksanakan di desa itu antara lain Raskin, BLT, PKH, Gerdu Taskin, PNPM Mandiri Perdesaan, renovasi rumah (topengan), dan Jamkesmas. Namun, di mata masyarakat dan aparatur birokrasi desa,
program-program itu bersifat langsung,
topdown, karitatif, dan berjangka pendek.
Alih-alih program-program semacam ini selain tidak efektif menurunkan jumlah orang miskin, justru memunculkan kemiskinan baru dengan adanya fenomena rumahtangga yang berasal dari strata sosial menengah dan atas
“memiskinkan diri.” Temuan penelitian ini justru
menjadi antitesis dari tesis Oscar Lewis. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa yang
menjadi subjek dari cara hidup “memiskinkan diri” (baca meminta-minta) bukanlah rumahtangga dari strata sosial paling rendah, namun justru dikembangkan oleh rumahtangga dari strata masyarakat menengah dan atas di masyarakat pedesaan. Selain itu, cara hidup
“memiskinkan diri” juga bukan sebagai bentuk
adaptasi yang rasional dalam upaya mengatasi kemiskinan, namun lebih sebagai bentuk kecemburuan sosial ketika merespon
program-program penanggulangan kemiskinan dari
pemerintah yang bersifat karitatif dan langsung. Bahkan respon ini juga dikaitkan dengan hak dan kewajiban sebagai penduduk desa.
2. Disfungsi Sosialisasi Program
Agar program-program penanggulangan kemiskinan itu dapat dilaksanakan secara efektif dan mencapai tujuan yang diinginkan maka program-program itu terlebih dahulu harus
dikomunikasikan baik kepada aparatur
pelaksana maupun penerima sasaran. Dengan kata lain dibutuhkan sosialisasi program-program itu ke aparatur pelaksana di level bawah dan masyarakat sebagai penerima
manfaat. Sebenarnya pemeritah telah
melakukan sosialisasi program-program itu secara berjenjang, mulai tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota. Namun sosialisasi yang berjenjang itu mengalami disfungsi ketika sampai pada level desa. Pemerintah desa tidak
melakukan sosialisasi dengan benar ke
masyarakat desa. Pemerintah desa melakukan sosialisasi hanya untuk memenuhi formalitas. Sosialisasi dilakukan sekedar untuk mencari legitimasi tindakan pemerintah desa untuk membagi secara merata kepada seluruh rumahtangga yang membutuhkan. Akibatnya masyarakat Desa Mulyodadi tidak mempunyai pemahaman secara baik dan benar tentang hakikat, latar belakang, tujuan, sasaran, penerima manfaat, dan mekanisme pencairan.
Salah satu program yang acapkali
menimbulkan masalah adalah Raskin.
Permasalahan dimulai dari proses pendataan calon penerima Raskin. Empatbelas kriteria atau ukuran dari tidak bisa sepenuhnya diterapkan di desa penelitian. Bila 14 ukuran diterapkan, sulit menemukan rumahtangga miskin di desanya. Dalam kondisi seperti itu, pemerintah desa
mengalami kesulitan untuk menentukan
rumahtangga miskin. Lebih sulit lagi bila pemerintah desa harus memilah rumahtangga tidak mampu ke dalam kategori rumahtangga hampir miskin, rumahtangga miskin, dan rumahtangga sangat miskin. Untuk mengatasai ketidakakuratan ukuran BPS itu pemerintah desa memutuskan tidak menggunakan data berbasis 14 kriteria itu. Untuk menentukan
rumahtangga miskin, pemerintah desa
mengambil kebijakan melakukan pendataan sendiri dengan menggunakan tiga kriteria atau ukuran, yaitu pekerjaan, pendapatan, dan kondisi fisik bangunan rumah. Pemerintah desa tidak melakukan sendiri kegiatan pendataan itu. Pemerintah desa melibatkan RT yang ada di
lingkungan desa penelitian. Alih-alih
memperoleh data rumahtangga miskin yang objektif, pendataan yang dilakukan oleh RT
menimbulkan praktik nepotisme. RT
dan pertemanan daripada ukuran pekerjaan, pendapatan, dan kondisi fisik bangunan rumah. Akibatnya, data hasil pendataan RT mengalami bias kepentingan. Untuk mengatasai masalah itu pemerintah desa menggunakan mediasi sebagai solusi dengan cara menggelar rapat desa yang melibatkan rumahtangga miskin yang
menjadi penerima Raskin. Berdasarkan
kesepakatan rumahtangga miskin penerima Raskin, rapat desa memutuskan untuk membagi
rata Raskin kepada rumahtangga yang
membutuhkan.
3. Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Kebutuhan
Program-program penanggulangan
kemiskinan ternyata hanya mampu meringankan beban rumahtangga miskin, namun tidak mampu mengentaskan rumahtangga miskin dari
perangkap kemiskinan. Bahkan
program-program itu tidak mampu menurunkan angka
kemiskinan sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan. Sebagai gambaran pemerintah menaikan kuota jumlah penerima manfaat Raskin di Desa Mulyodadi dari 46 RTS menjadi 165 RTS.
Rumahtangga miskin usia produktif menilai program penanggulangan kemiskinan dari pemerintah, baik pusat, propinsi, maupun kabupaten, tidak berbasis pada kebutuhan rumahtangga miskin. Rumahtangga miskin
kategori ini menilai program-program
penanggulangan kemiskinan dari pemerintah
tidak efektif untuk memberdayakan dan
mengentaskan mereka dari kemiskinan.
Program-program seperti Raskin, BLT, PNPM Mandiri, Gerdu Taskin, dan PKH hanya berjangka pendek, bersifat sementara, dan sekedar meringankan beban rumahtangga miskin. Aparatur birokrasi di tingkat desa juga mempunyai penilaian yang sama.
Oleh karena itu, baik rumahtangga miskin maupun aparatur birokrasi di tingkat desa, mengusulkan harus dibedakan antara program-program penanggulangan kemiskinan untuk rumahtangga miskin usia produktif dan rumahtangga miskin usia tidak produktif. Untuk rumahtangga miskin usia produktif harus dirancang program-program penanggulangan
kemiskinan yang berjangka panjang,
memberdayakan rumahtangga miskin, dan berbasis kebutuhan/realitas. Sementara, untuk rumahtangga miskin usia tidak produktif masih
relavan program-program penanggulangan
kemiskinan seperti Raskin, BLT, PKH, dan BOS,
dengan kualitas dan kuantitas sesuai kebutuhan rumahtangga miskin kategori ini.
E. Penutup
Penelitian ini menemukan bahwa
masyarakat miskin di wilayah pedesaan
sebenarnya telah tersentuh oleh berbagai macam program penanggulangan kemiskinan empat klaster, namun, di mata masyarakat dan aparatur birokrasi desa, program-program itu bersifat langsung, topdown, karitatif, dan berjangka pendek. Alih-alih program-program semacam ini menanggulangi kemiskinan, justru memunculkan kemiskinan baru dengan adanya fenomena rumahtangga yang berasal dari strata
sosial menengah dan atas “memiskinkan diri.”
Salah satu penyebab program penanggulangan kemiskinan tidak efektif adalah terjadinya disfungsi sosialisasi program penanggunalan kemiskinan di level desa. Pemerintah desa tidak melakukan sosialisasi dengan benar ke masyarakat desa. Pemerintah desa melakukan sosialisasi hanya untuk memenuhi formalitas. Program-program penanggulangan kemiskinan ternyata hanya mampu meringankan beban rumahtangga miskin, namun tidak mampu
mengentaskan rumahtangga miskin dari
perangkap kemiskinan. Bahkan
program-program itu tidak mampu menurunkan angka
kemiskinan sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan.
Rumahtangga miskin usia produktif menilai program penanggulangan kemiskinan dari pemerintah, baik pusat, propinsi, maupun kabupaten, tidak berbasis pada kebutuhan rumahtangga miskin. Rumahtangga miskin
kategori ini menilai program-program
penanggulangan kemiskinan dari pemerintah
tidak efektif untuk memberdayakan dan
mengentaskan mereka dari kemiskinan.
Program-program seperti Raskin, BLT, PNPM Mandiri, Gerdu Taskin, dan PKH hanya berjangka pendek, bersifat sementara, dan sekedar meringankan beban rumahtangga miskin. Aparatur birokrasi di tingkat desa juga mempunyai penilaian yang sama. Oleh karena itu, baik rumahtangga miskin maupun aparatur birokrasi di tingkat desa, mengusulkan harus
dibedakan antara program-program
penanggulangan kemiskinan untuk
rumahtangga miskin usia produktif dan
rumahtangga miskin usia tidak produktif. Untuk rumahtangga miskin usia produktif harus dirancang program-program penanggulangan
memberdayakan rumahtangga miskin, dan berbasis kebutuhan/realitas. Sementara, untuk rumahtangga miskin usia tidak produktif masih
relavan program-program penanggulangan
kemiskinan seperti Raskin, BLT, PKH, dan BOS, dengan kualitas dan kuantitas sesuai kebutuhan rumahtangga miskin kategori ini.
F. Daftar Pustaka
Harianto, Sugeng. Dkk. 2002. Evaluasi
Pelaksanaan Program Beras Untuk Keluarga Miskin Tahun Anggaran 2002.
Surabaya: Lembaga Penelitian
Universitas Negeri Surabaya.
Harianto, Sugeng. Dkk. 2003. Evaluasi Pelaksanaan Program Beras Untuk Keluarga Miskin Tahun Anggaran 2003.
Surabaya: Lembaga Penelitian
Universitas Negeri Surabaya.
Harianto, Sugeng. Dkk. 2004. Evaluasi
Pelaksanaan Program Beras Untuk Keluarga Miskin Tahun Anggaran 2004.
Surabaya: Lembaga Penelitian
Universitas Negeri Surabaya.
Harianto, Sugeng. Dkk. 2009. Inisiatif Lokal tentang Mekanisme Penanganan dan Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Bondowoso. Laporan Penelitian Strategi Nasional (Stranas). Surabaya: Lembaga Penelitian Unesa.
Olken, Benjamin A.. Et.Al. 2001. Sharing the Wealth: How Villages Decide to Distribute OPK Rice. Research Report. Jakarta: SMERU Research Instutute.
Scott, James C.. 1989. Moral Ekonomi Petani Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Terjemahan. Jakarta: LP3ES. Sparrow, Robert. Et.Al. 2010. Social Health
Insurance for the Poor: Targeting and
Impact of Indonesia’s Askeskin Program.
Research Report. Jakarta: SMERU
Research Institute.
Kompas 2000. “Program Pengentasan Kemiskinan akan Dibuat Terpadu.” Sabtu,
15 April.
Kompas 2001a. “Pemberantasan Kemikinan, Jangan Lagi Dijadikan Proyek.” Kamis, 8
November
Kompas 2010. ”Rakyat Indonesia Masih Miskin.”
Senin, 20 September.
Kompas 2010. ”4 Syarat Hapus Kemiskinan.”
Kamis, 16 September.
Kompas 2010. ”Kekeliruan Atasi Kemiskinan.”