Vol 04 No 01 Pebruari 2016 | 77
RIWAYAH BIL-MA’NA SEBAGAI METODE PERIWAYATAN HADITH
Oleh : Ahmad Karomi
A. Pendahuluan
Hadith merupakan penuntun ummat Islam setelah Al-Qur‘an, memiliki sejarah yang
tidak bisa terlepas dari segala hal yang berkaitan dengan Nabi Muhammad. Peranan hadith sebagai sumber ajaran Islam sangat penting untuk dikaji lebih mendalam. Sebab hadith telah melewati fase yang sangat panjang, dimana fase-fase tersebut ternoda oleh beberapa faktor. Diantara faktor-faktor itu adalah maraknya pemalsuan hadith yang meskipun bukan untuk menjerumuskan kaum muslimin namun tetaplah menyimpang dari sabda asli Nabi Muhammad. Dari sinilah perlunya sebuah penelitian, kritikan baik sanad maupun matan hadith.
Sejak masa sahabat, kaum muslimin banyak mencurahkan konsentrasi pada kritik
sanad. Mereka membahas berbagai perawi dari segi ke-{„adalah-an dan ke-d{abit{-an.
Dengan dua poin inilah mereka bisa melakukan praktek jarh{{-ta‟dil (mencacat dan
mendukung), tawthiq dan tad{„if (menganggap kuat dan menganggap lemah). Ketika
rangkaian sanad sebuah riwayat begitu panjang para ulama melangkah ke tingkatan lain, yakni menguji ketersambungan dan keterputusan riwayat, sebab masih dikuatirkan
adanya kualitas perawi dalam hal ‗adalah dan d{abit{-nya yang masih dipertanyakan.
Dengan kata lain, sanad yang thiqah tidak harus berarti matannya thiqah
Pentingnya penerapan metode kritik matan ini berdasarkan kenyataan bahwa: 1)
autentifikasi dan penilaian ―buruk‖ seorang perawi berdasarkan pada sebuah asumsi; 2)
seorang perawi yang dianggap thiqah oleh seorang kritikus hadith, pada saat yang sama
bisa dianggap sebaliknya oleh seorang kritikus hadith yang lain; dan 3) selalu mungkin
bahwa seorang perawi yang dianggap thiqah melakukan sebuah kesalahan, maka kritik
matan tetap menjadi prasyarat.
Dengan kritik matan, kesalahan yang diperbuat oleh seorang perawi dapat dikontrol dan penilaian seorang kritikus terhadap sebuah hadith dapat diverifikasi. Disamping itu,
para perawi dapat dinilai thiqah atau sebaliknya, hanya setelah menguji riwayat mereka
dan meneliti matannya. Demikian pula, kenyataan bahwa sejumlah hadith yang
kontradiktif dengan sanadnya yang thiqah dapat ditemukan dalam kitab-kitab hadith,
menjadikan studi matan hadith tidak dapat diabaikan. Apakah matan hadith mendapat perhatian yang layak dari para pengkaji hadith? Sejauh mana mereka melakukan hal itu?
Seperti diketahui fenomena riwayah bil-ma‟na membuat para ulama berbeda pendapat
terkait boleh dan tidaknya mengamalkan dan mengambil hadith dengan riwayah
bil-ma‟na, disamping itu juga terjadi pemalsuan hadith yang telah menyebar dimana-mana dan menghinggapi hampir semua perawi hadith bahkan perawi yang saleh. Sehingga sulit
untuk meneliti antara hadith yang riwayah bil-ma‟na dan hadith yang palsu. Oleh karena
78 | Vol 04 No 01 Pebruari 2016
B. Riwayah bil-ma‟na
Secara etimologis kata riwayah bil-ma‟na terdiri dari kata riwayah dan ma‟na.
Riwayah adalah mas{dar dari kata rawa yakni penukilan, penyebutan, pemberian minum
sampai puas.46 Sedangkan riwayah menurut istilah ilmu hadith adalah memindahkan
hadith dan menyandarkannya dengan metode tertentu,47 atau kegiatan penerimaan dan
penyampaian hadith serta penyandarannya kepada rangkaian para periwayat dengan
bentuk-bentuk tertentu.48
Sedangkan ma‟na diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan makna yang berarti
maksud, arti atau apa-apa yang dikehendaki oleh sesuatu.49 Dalam hal ini, ma‟na berarti
kontekstual. Maka definisi riwayah bil ma‟na adalah periwayatan hadith yang dilakukan
oleh seorang periwayat dengan menggunakan lafal (redaksi) dari dirinya sendiri, baik keseluruhan maupun sebagiannya saja dengan tetap menjaga artinya tanpa menghilangkan apapun apabila dihadapkan dengan hadith yang diriwayatkan menurut redaksi aslinya (bil-lafziy ).50
Konsep riwayah bil-ma‟na masih sering dipahami salah oleh sebagian umat Islam,
diantaranya memahami bahwa setiap perbedaan redaksi pada hadith disebabkan oleh riwayah bil-ma‟na. Sehingga mencakup semua hadith yang membahas tema yang sama dengan redaksi yang berbeda. Jadi, bila hadith ditemukan dengan redaksi yang
berbeda-beda untuk satu tema, maka akan diklaim sebagai riwayah bil-ma‟na.51
Adanya perbedaan redaksi hadith bukan hanya disebabkan oleh riwayah bil-ma‟na,
tetapi disebabkan banyak faktor. Diantaranya Nabi sering menyelenggarakan majlis
ta‘lim. Kadang ada sahabat yang menerima satu tema hadith pada kesempatan yang berbeda. Ada kalanya Nabi bersabda dan menjawab pertanyaan dan disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penanya untuk satu macam pertanyaan dengan lafal dan ungkapan yang berbeda.
Keberadaan riwayah bil-ma‟na secara otomatis akan menimbulkan perbedaan redaksi
yang akhirnya berujung berbeda maknanya, namun ada juga yang tidak mempengaruhi
makna atau maksud hadith. Untuk membuktikan hadith riwayah bil-ma‟na atau bukan
haruslah diteliti dengan cermat dan diperhatikan terlebih dahulu asbabul wurud dan kapan
hadith itu muncul.52
C. Problematika Riwayah bil-ma’na
Pada awalnya penulisan hadith masih diperselisihkan oleh para sahabat. Ada yang memperbolehkan dan ada yang melarang. Alas an dilarangnya penulisan itu berdasarkan
hadith Nabi diriwayatkan Abu Sa‘id Al-Khudriy:
هحمٌلف نارقلارٌغ ًنع بتك نمو ًنع اوبتكت لا لاق الله لوسر نا يردخلا دٌعس ًبا نع
46Louis Ma‘luf, Al-Munjid fillughah wal-A‟lam (Beirut: Dar Al-Mashriq, 1986), 289
47 Jalaluddin Al-Suyuti, Tadrib Al-Rawi fi Sharh{ Taqrib Al-Nawawiy, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1994), 13 48 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad hadith, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), 23
49 Peter Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern English Press, 1991), 916 50 Mustafa Amin Ibrahim At-Taziy, Muhadarat fi Ulum Al-Hadith , (Mesir: Dar Al-Ta‘lif, tt), v:1, 19 51 Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadith, (Yogyakarta: Teras, 2009), 46
Vol 04 No 01 Pebruari 2016 | 79 Artinya:… dari Abu Said Al-Khudriy bahwa Rasulullah bersabda: janganlah kamu menulis dariku, barangsiapa yang telah menulisnya selain Al-Quran maka hendaknya dihapus. 53
Diantara sahabat yang melarang penulisan hadith adalah Umar bin Khattab, Ibnu
Mas‘ud, Zaid bin Thabit, Abu Said Al-Khudriy.54 Sedangkan sahabat yang membolehkannya berdasarkan riwayat hadith Abu Shah Al-Yamaniy yang diperintahkan
untuk menulis khutbah yang didengarnya ketika fath makkah adalah Umar bin Khattab
yang akhirnya mendukung penulisan hadith, Ali bin Abi Talib, Anas, Jabir, Ibnu Abbas, Qatadah, Umar bin Abdul Aziz, Said bin Jabir.
Pada dasarnya yang dikehendaki dari sebuah hadith adalah maknanya, bukan
lafalnya,55maka riwayah bil-ma‟na diperbolehkan guna mempermudah dan meringankan
umat Islam dalam menerima dan menyampaikan hadith.56 Mengingat bahwa tidak seluruh
hadith ditulis oleh para sahabat yang hanya mengandalkan lisan dan hafalan, sedangkan kapasitas intelektualnya berbeda-beda, maka diperlukan sikap hati-hati.
Sekiranya setiap matan hadith telah secara meyakinkan berasal dari Nabi Muhammad, maka penelitian matan dan sanad sudah tidak diperlukan. Namun kenyataannya seluruh matan hadith berkaitan erat dengan sanadnya. Perlunya penelitian matan hadith tidak hanya karena keadaan matan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh keadaan sanad saja,
tetapi juga karena dalam periwayatan hadith dikenal adanya riwayah bil-ma‟na.57
Dengan adanya riwayah bil-ma‟na, maka untuk meneliti hadith tertentu semisal hadith
yang berkenaan tentang peperangan, sasaran penelitian pada umumnya tidak tertuju pada kata perkata dalam matan itu, tetapi sudah dianggap cukup bila penelitian tertuju kepada kandungan atau ungkapan hadith yang bersangkutan. Lain halnya bila yang diteliti adalah matan yang mengandung ajaran Nabi tentang suatu ibadah tertentu misalnya bacaan salat,
maka masalah yang diteliti meliputi keadaan kata perkata.58
Adanya periwayatan hadith secara makna (bil-ma‟na ) telah menyebabkan satu
problem tersendiri, yakni penelitian matan dengan pendekatan semantik yang jelas tidak mudah dilakukan. Kesulitan itu terjadi karena matan hadith yang sampai ke tangan mukharrij-nya masing-masing terlebih dahulu beredar pada sejumlah periwayat yang berbeda generasi, latar belakang budaya dan kecerdasan mereka.
Perbedaan generasi dan budaya dapat menyebabkan timbulnya perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata ataupun istilah, sedang perbedaan kecerdasan dapat menyebabkan pemahaman terhadap matan hadith yang diriwayatkan tidak sejalan atau sepaham. Walaupun penelitian matan hadith dengan pendekatan semantik atau bahasa sulit dilakukan namun hal ini tetap diperlukan. Sebab bahasa hadith adalah bahasa Arab
yang mana Rasulullah menyampaikannya dengan susunan yang baik dan benar.59
53 Abu Al-Husaiyn bin Hajjaj bin Muslim al-Naysaburiy, Sahih Muslim (Beirut: Dar Kutub Ilmiyyah, tt), juz 2, 597
54 Ibnu Kathir, Al-Ba‟ith Al-H{athith fi Ikhtisar Ulum Al-Hadith (Beirut: Dar Al Fikr, tt) 69 55 Muhammad Muhammad Abu Zahw, Al-Hadith wa Al-Muhaddithun(Mesir: Matba‘ah Misr, tt) 18
56 Ibid
57 Muhammad ‗Ajjaj Al-Khatib, Al-Sunnah Qablattadwin , (Kairo: Maktabah Wahbah, 1963), 126 58M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadith, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 26
80 | Vol 04 No 01 Pebruari 2016 Untuk meneliti matan hadith dari aspek kandungannya, acapkali juga diperlukan penggunaan pendekatan rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Dengan demikian, kesahihan matan hadith yang dihasilkan tidak hanya dilihat dari sisi bahasa saja, tetapi juga dilihat dari sisi yang mengacu kepada rasio, sejarah, dan prinsip-prinsip
ajaran Islam.60
Penelitian matan dengan beberapa macam pendekatan tersebut ternyata masih tidak mudah dilakukan. Apalagi bila sebagian dari kandungan atau ungkapan matan hadith berhubungan dengan keyakinan, hal-hal gaib, dan petunjuk-petunjuk agama yang bersifat ta‟abbudi. Dengan begitu penelitian matan hadith sangat memerlukan kecerdasan seorang peneliti dalam menggunakan acuan pendekatan yang relevan dengan masalah yang diteliti.61
Kesulitan penelitian matan juga tidak bisa terlepas dari referensi kitab-kitab yang mengulas tentang kritik matan, namun kitab-kitab tersebut masih sangat langka. Sehingga tenaga dan waktu seorang peneliti terkuras oleh penelitian sanad. Hal ini sangat dimaklumi bahwa bila masalah sanad tidak segera mereka tangani, maka kerumitan penelitian hadith akan semakin bertambah lagi.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan kesulitan atau problematika
meneliti hadith riwayah bil-ma‟na disebabkan oleh beberapa faktor, yakni:
1. Tidak seluruh hadith Nabi diriwayatkan secara mutawatir (lafz{iy).
2. Pada masa Nabi sampai masa sahabat, hadith Nabi belum dibukukan
(tadwin), bahkan pada awalnya para sahabat tidak menulis hadith, kecuali sahabat-sahabat tertentu. Sebab periwayatan hadith lebih banyak secara lisan.
3. Memerlukan pendekatan dengan beberapa instrument selain semantik.
4. Perbedaan kemampuan dalam menghapal dan meriwayatkan hadith Nabi.
5. Hanya hadith yang berbentuk sabda (qauliyyah) saja yang mungkin
diriwayatkan secara tekstual. Padahal hadith bisa berupa sabda, perbuatan, taqrir
dan hal ihwal.62
D. Justifikasi Riwayah bil-ma’na
Riwayah bil-ma‟na merupakan salah satu metode periwayatan yang telah ditempuh oleh para sahabat sejak masa Nabi. Para ulama sepakat bahwa periwayat yang tidak menguasai bahasa dan tidak mengetahui hal-hal yang merubah makna, tidak diperbolehkan meriwayatkannya secara makna. Para ulama juga sepakat akan keharusan
periwayatannya bil-lafziy untuk beberapa hadith berikut ini:
1. Hadith-hadith yang berkaitan dengan penyebutan nama-nama Allah dan
sifat-sifatNya. Sebab hal ini bersifat tawqify dan tidak boleh diganti kalimat lain
walau semakna.
2. Hadith-hadith yang mengandung lafal-lafal yang dianggap ibadah, misalnya
hadith-hadith doa, hadith tentang azan, iqamat, sighat shahadat, sighat aqad.
3. Hadith–hadith tentang jawami‟ Al-Kalim yang mengandung nilai balaghah
tinggi dan periwayatannya secara makna tidak mungkin bisa mewakili seluruh
kandungan makna hadith yang dimaksud.63
60 Ibid 61 Ibid
Vol 04 No 01 Pebruari 2016 | 81 Sejarah perjalanan hadith diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah periwayatan hadith itu diperketat agar tidak terjadi periwayatan sesuatu yang bukan dari Nabi Muhammad tetapi disandarkan kepada Nabi Muhammad. Di samping itu, periwayatan hadith harus dilakukan apa adanya, tidak ada penambahan atau pengurangan. Ada sebuah hadith berbunyi:
هعوس بوك بثٌذَ بٌه عوس اشها للَّ شضً Artinya: Allah memuji orang yang mendengar hadith dariku kemudian menyampaikannya seperti apa yang didengarnya
Di situ ada redaksi ―menyampaikan seperti apa yang didengarnya‖, sehingga
periwayatan redaksi hadith dituntut sama persis. Disebutkan bahwa Barra‘ bin ‗Azib
pernah diajari oleh Rasulullah sebuah doa sebelum tidur sebagai berikut:
ِإ يِشْهَأ ُجْضَّىَفَو َكٍَْلِإ ًِهْجَو ُجْوَلْسَأ َّنُهَّللا َّلاِإ َكٌِْه بَجٌَْه َلاَو َأَجْلَه َلا َكٍَْلِإ ًتَبْهَسَو ًتَبََْس َكٍَْلِإ يِشْهَظ ُثْأَجْلَأَو َكٍَْل
َأَف َكِخَلٍَْل ْيِه َّجُه ْىِئَف َجْلَسْسَأ يِزَّلا َكٍِِّبٌَِبَو َجْلَضًَْأ يِزَّلا َكِببَخِكِب ُجٌَْهآ َّنُهَّللا َكٍَْلِإ ِةَشْطِفْلا ىَلَع َجًْ
ُنَّلَكَخَح بَه َشِخآ َّيُهْلَعْجاَو
َكِببَخِكِب ُجٌَْهآ َّنُهَّللا ُجْغَلَب بَّوَلَف َنَّلَسَو ِهٍَْلَع ُ َّللَّ ىَّلََ ًِِّبٌَّلا ىَلَع بَهُحْدَّدَشَف َلبَِ ِهِب َكٍِِّبًََو َلا َلبَِ َكِلىُسَسَو ُجْلُِ َجْلَضًَْأ يِزَّلا
َجْلَسْسَأ يِزَّلا .64
Di dalam redaksi hadith ini terdapat kata َكٍِِّبٌَِبَو yang mana Barra‘ menanyakan
apakah kata itu dapat diganti dengan كِلىُسَشَبو beliau menolak dan tetap meneruskan
dengan kata yang pertama yakni َكٍِِّبٌَِبَو. tetapi dalam kenyataan banyak dijumpai hadith
yang kandungan maknanya atau maksudnya sama diungkapkan dengan redaksi yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, sering dijumpai komentar hadith ―muttafaq alaih,
wal-lafdhu lil muslim atau lil-bukhari‖. Dari sinilah bisa ditarik kesimpulan bahwa riwayat
hadith bil ma‟na memang ada.
Hadith bukanlah hanya berupa ucapan Nabi saja namun juga terkadang berupa tingkah laku Nabi. Dalam mendeskripsikan tingkah laku Nabi yang disaksikan oleh para sahabat boleh jadi akan muncul redaksi yang berbeda-beda meskipun maksudnya sama. Bahkan karena daya tangkap masing-masing sahabat berbeda, maka boleh jadi kesimpulannya berbeda.
Ada sebuah hadith yang menggambarkan bahwa hadith riwayah bil ma‟na itu bisa
ditolerir, hadith ini menceritakan Abdullah bin Sulaiman Al-Laith yang menyampaikan keterbatasan kemampuannya menerima hadith secara utuh, artinya ia mengaku tidak mampu menangkap hadith persis seperti apa yang didengarnya, hurufnya kadang bertambah kadang berkurang, atas keluhan ini Nabi bersabda:
ارإ نل اىُّلِحُح بهاشَ لاو اىهشحح لالاَ نخبَأو ىٌعولا لاف َطأب
Artinya: apabila kamu tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang
halal dan maknanya kamu peroleh dengan tepat, maka tidak apa-apa.65
Al-Sakhawi berpendapat bahwa hadith ini dinilai mud{tarib, tidak sahih. Terlepas dari
sahih atau tidaknya hadith ini terbukti sering dijadikan dasar periwayatan hadith
bil-ma‟na oleh muhaddithin. Berkenaan dengan ini ada beberapa penjelasan dari para muhaddithin misalnya:
ذَاو ىٌعولاو عفللا ًف فلخخٌ نهلك ةششع يع ثٌذحلا جعوس بوبس لبِ يٌشٍس يب ذوحه يع ةىٌا يعو
63 Al-Taziy, Muhadarat…, 19
82 | Vol 04 No 01 Pebruari 2016 Riwayat lain berbunyi:
اىعوخجاو عفللا ًف اىفلخخبف نعلَ ًبٌلا ةبحَ ا يه ةذع جٍقل لبِ ىفوا ًبا يب ةساسص يع ةدبخِ يع يوسو ىٌعولا ًف
Di kalangan ulama hadith periwayatan lafal hadith itu sangat dipentingkan. Bahkan ada yang tidak mengizinkan murid meriwayatkan hadith hanya didasarkan hafalan sebelum menulisnya, dikhawatirkan terjadi kesalahan dalam hafalan.
Fenomena riwayat hadith bil-ma‟na terdapat perbedaan pendapat dikalangan
muhaddithin. Sebagian ulama hadith dan fiqih berpendapat bahwa riwayat hadith
bil-ma‟na harus disertai dengan lafal (matan) apa adanya seperti contoh binabiiyyika tidak
dapat ditukar dengan birasulika. Keberadaan teks asli mempunyai kedudukan yang sangat
tinggi. Jika periwayatan hadith bil-ma‟na diperbolehkan dengan tanpa adanya teks yang
asli maka dikhawatirkan akan terjadi perbedaan yang sangat tajam antara teks asli dengan teks yang dibuat oleh periwayat dari segi makna.
Adapun pendapat jumhur ulama memperbolehkan riwayat hadith bil-ma‟na dengan
syarat periwayat hadith harus faham dan menguasai betul bahasa arab yang digunakan oleh Nabi Muhammad dan masyarakatnya pada saat itu (sesuai konteksnya). Perawi harus mengerti mana makna yang bergeser dan mana yang tidak.
Persyaratan yang dibebankan untuk para perawi hadith bil-ma‟na bertujuan untuk
mempertegas bahwa riwayah bil-ma‟na sangat membutuhkan keakuratan dalam
mengungkap maksud sebuah hadith, jika persyaratan ini tidak dipenuhi, maka tidak
diperkenankan untuk riwayat hadith bil-ma‟na.
E. Pro Kontra Hadith Riwayah Bil-Ma’na
Menurut Shafi‘i seorang perawi diperbolehkan riwayat hadith bil-ma‟na apabila memiiki sifat loyal atau setia kepada agamanya, mengerti kebenaran di dalam hadith,
cerdas dan paham mana makna yang bisa mengubah makna hadith.66
Al-Suyut{i berpendapat bahwa riwayah bil-ma‟na diperbolehkan apabila tidak
mengubah makna hadith. Akan tetapi Al-Suyuti tidak setuju riwayat bil-ma‘na yang
berkaitan dengan lafal ibadah seperti azan, doa, tasyahud, dan jawami‘ al-kalam.67
Dengan demikian bisa ditarik benang merah bahwa ulama sepakat agar sedapat
mungkin riwayat hadith hendaknya bil-lafz{i tidak bil-ma‟na. Apabila memang
meriwayatkan hadith bil-ma‟na maka harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan
dalam periwayatan hadith bil-ma‟na. Namun apabila riwayah bil-lafz{i sudah mencukupi,
maka tidak perlu adanya riwayah bil-ma‟na.
F. Riwayah bil-Ma’na Sebagai Metode Periwayatan Hadith
Sebagai sebuah teks, hadith menghadapi problem yang sama sebagaimana yang dihadapi teks-teks lainnya, yakni tidak bisa mempresentasikan keseluruhan gagasan dan setting situasional pelakunya. Begitu teladan Nabi sebagai wacana yang dinamis dan kompleks dituliskan, maka penyempitan dan pengeringan makna dan nuansa tidak bisa dihindari.
66 Ajjaj Al-Khatib, Al-Sunnah…, 251
Vol 04 No 01 Pebruari 2016 | 83 Berdasarkan struktur berfikir yang seperti ini, maka perumusan metodologi
pemahaman dan penafsiran hadith menjadi sangat penting dalam rangka ―mencairkan‖
kebekuan teks-teks hadith sehingga menjadi wacana yang hidup dan mampu berdialog dengan situasi zaman yang selalu berubah.
Seperti yang kita ketahui bahwa riwayah bil-ma‟na diperbolehkan dengan syarat
tertentu dan alasan-alasan tertentu. Alasan utama adalah ketidakmungkinan seluruh
ucapan Nabi disampaikan secara lafal. Bisa dikatakan riwayah bil-ma‘na terjadi sebelum
lahirnya kaedah kesahihan hadith. Hal ini mengasumsikan bahwa masa hidup Nabi, para sahabat telah meriwayatkan hadith Nabi kepada sahabat lainnya atau bisa dikatakan tidak semua sahabat meriwayatkan hadith langsung kepada Nabi.
Kaedah kesahihan hadith sebagaimana dikemukakan ulama hadith mencakup sanad
bersambung, perawi ‗adalah, dabit, sanad dan matan terhindar dari shadh dan illat.
Apabila kaedah ini dikaitkan dengan riwayah bil-ma‟na maka persoalannya berhubungan
dengan matan hadith, yakni terhindar dari illat dan shadh.
1. Analisis „Illah Hadith
Illah pada matan adalah penyebab yang sulit terdeteksi keberadaannya dan tidak transparan, tetapi jika terdeteksi maka matan hadith yang semula sahih bisa menjadi turun derajatnya dan dinyatakan tidak sahih. Sulitnya terdeteksi dan tidak transparan ini berlaku
bagi peneliti hadith yang kurang mahir. Imam Al-Hakim mengingatkan bahwa ‗illah
hadith tidak berhubungan dengan jarh wa ta‘dil dan perangkat uji akurat para perawi.
Sebab gambaran formalitas tersebut jika diteliti lebih dalam ternyata bisa terjadi
keterputusan sanad (mursal/inqita‟) antar periwayat yang sezaman tidak pernah
berkomunikasi dan sighat yang tertulis tidak adanya proses tahammul wal ada‟.
Untuk hal yang berkaitan dengan illah ini, ulama menyatakan bahwa pada umumnya
illah hadith berbentuk: a) sanad yang muttasil dan marfu‘ ternyata muttasil tetapi mawquf, b) sanad yang tampak muttasil dan marfu‘ ternyata muttasil tetapi mursal, c) terjadi percampuran hadith dengan bagian hadith lainnya, d) terjadi kesalahan penyebutan
periwayat karena ada nama-nama yang mirip tetapi berlainan personalnya.68 Contoh
hadith yang tampak sahih tetapi setelah diteliti ada „illah, hadith tentang fadail sahabat,
hadith Qutaibah bin Uqbah dari Sufyan dari Khalid Al-Hazza‘ dan Asim bin Abi Qilabah
yang berbunyi: مَحْرَأ ًِتَّم أ ًِتَّم أِب و بَأ رْكَب ْم هُّدَشَأ َو ًِف ِرْمَأ َِّالله رَم ع ْم ه قَدْصَأ َو ءاٌََح ناَمْث ع ْم ه ؤَرْقَأ َو ِباَتِكِل َِّالله ًَُّب أ نْب بْعَك ْم ه ضَرْفَأ َو دٌَْز نْب تِباَث ْم ه مَلْعَأ َو ِل َلََحْلاِب ِماَرَحْلا َو ذاَع م نْب لَبَج َلاَأ َّنِإ َو ِّل كِل ةَّم أ ا نٌِمَأ َّنِإ َو َنٌِمَأ ِهِذَه ِةَّم ْلْا و بَأ َةَدٌَْب ع نْب ِحاَّرَجْلا 69
Teks matan hadith ini termuat dalam Al-Jami‘ Al-Tirmizi Syarah Ibn Al-Arabi, Sunan
Ibnu Majah, Sahih Ibnu Hibban, Mustadak Hakim, Tarikh Dimashq, Sunan Kubra Al-Bayhaqi. Hadith ini dari sisi sanad dan matan sekaligus ungkapannya mendapat predikat sahih oleh beberapa ulama, misalnya Tirmizi, Ibnu Hibban, Al-Hakim, namun setelah
dilakukan cross reference ke berbagai kitab hadith terungkap beberapa data sebagai
berikut:
68 Syuhudi Ismail, Metodologi…, 132
84 | Vol 04 No 01 Pebruari 2016
a. Terjadi percampuran antara matan hadith Anas bin Malik yang khusus
menampilkan reputasi ‗Ubaidah bin Jarrah yang bersanad mawsul dan musnad menyatu
dengan matan yang panjang yang merinci reputasi keenam sahabat lain yang sanadnya mursal. Berarti telah ada idraj/idtirab dalam matan.
b. Sifat ke-marfu‘an matan hadith untuk penggalan yang mengurai reputasi
keenam sahabat tidaklah benar. Yang benar, kualitas sanad tersebut adalah mursal, kecuali teks terakhir tentang reputasi Ubaidah bin Jarrah yang seharusnya berakhir sanad
pada Anas bin Malik benar-benar marfu‘.Dari analisa tersebut bisa ditemukan adanya
tadlis fil-isnad.
c. Terjadi pembauran antara substansi matan yang marfu‟ (khusus untuk reputasi
Abu ‗Ubaidah bin Jarrah) dengan yang mursal melalui Abu Qilabah.
Dengan demikian secara teoritis metodologis apabila suatu hadith matannya mengandung unsur percampuran hadith dengan bagian hadith lainnya yang mungkin
disebabkan oleh periwayatan secara makna, maka hadith tersebut da‘if. Karena tidak
terpenuhinya „adam „Illat. Dengan kata lain, riwayah bil-ma‘na dalam sebagian
bentuknya menyebabkan matan suatu hadith bercampur dengan bagian matan lainnya,
dan dapat menyebabkan da‘if, karena kurang kuatnya hafalan perawi.
Selanjutnya, langkah metodologis yang harus ditempuh oleh peneliti dalam melacak „illah matan hadith adalah sebagai berikut; 1) melakukan takhrij untuk mengetahui
seluruh sanadnya, 2) melakukan i‟tibar untuk mengkategorikan mutabba‟ tam/ qasir dan
menghimpun matan hadith yang bertema sama sekalipun berujung akhir sanad berupa
nama sahabat yang berbeda (shahid), 3) mencermati data dan mengukur segi-segi
perpadanan atau keekatan pada nisbah ungkapan nara sumber, pengantar riwayat, sighat tahdis dan susunan kalimat matannya, dan menentukan sejauh mana unsure perbedaan
yang teridentifikasi.70
2. Analisis Shudhudh hadith
Riwayah bil-ma‟na bila dikaitkan dengan unsur terhindar dari shadh maka diteliti
terlebih dahulu riwayah bil-ma‟na tersebut mengandung shadh atau tidak. Yakni
kejanggalan yang disertai penyendirian pada sanad atau matan. Langkah ini bisa dibuktikan dengan meng-komparasikan dengan kitab-kitab yang lain.
Tujuan tidak adanya shadh disini untuk klarifikasi keseimbangan antara matan hadith
yang sama-sama satu tema, mengetahui „adalah dan dabit-nya perawi dalam memahami
hadith. Diperlukan dua prasyarat untuk mengklasifikasikan shadh pada hadith, yaitu: a)
fakta penyendirian (infirad) oleh perawi yang maqbul, b) bukti perbedaan (ikhtilaf) pada
isi atau format pemberitaan matan ketika diperbandingkan dengan sejumlah matan hadith yang setingkat sanadnya atau lebih berkualitas. Contoh karena penyendirian:
َّدَح ِدِحا َوْلا دْبَع اَنَثَّدَح او لاَق َةَرَسٌَْم ِنْب َرَم ع نْب ِ َّالله دٌَْب ع َو لِماَك و بَأ َو ٌدَّدَس م اَنَثَّدَح ًِبَأ ْنَع َُمْعَ ْلْا اَنَث
َلاَق َةَرٌَْر ه ًِبَأ ْنَع حِلاَص ِحْبُّصلا َلْبَق ِنٌَْتَعْكَّرلا ْم ك دَحَأ ىَّلَص اَذِإ َمَّلَس َو ِهٌَْلَع َّالله ىَّلَص ِ َّالله لو سَر َلاَق
ِهِنٌِمٌَ ىَلَع ْعِجَطْضٌَْلَف 71
70 Ibid
Vol 04 No 01 Pebruari 2016 | 85 Seluruh periwayat yang mendukung mata rantai sanad hadith ini tergolong thiqqah, namun Al-Bayhaqy menemukan data kejanggalan (shadh) yakni format matan untuk tema
diatas yang diriwayatkan oleh A‘mash, sebagaimana dikutip oleh murid-muridnya selain
Abdul Wahid bin Ziyad mengambil bentuk ungkapan hadith fi‟ly, bukan format qauly
yang bernada perintah/himbauan. Koreksi Al-Bayhaqy ini bisa dikonfirmasikan dengan
kesaksian A‘ishah:
ْدَق َو َيِو ر ْنَع َةَشِئاَع َّنَأ ًَِّبَّنلا ىَّلَص َّالله ِهٌَْلَع َمَّلَس َو َناَك اَذِإ ىَّلَص ًَْتَعْكَر ِرْجَفْلا ًِف ِهِتٌَْب َعَجَطْضا ىَلَع
ِهِنٌِمٌَ
ْدَق َو ىَأَر ضْعَب ِلْهَأ ِمْلِعْلا ْنَأ َلَعْف ٌ اَذَه باَبْحِتْسا 72 ا
Dengan koreksi tersebut maka matan hadith yang berstatus mahfuz{ adalah yang
mengambil format perbuatan (fi‟ly) seperti kesaksian A‘ishah. Sedangkan matan yang
dinisbahkan kepada Abdul Wahid dinyatakan Shadh atau janggal.
Bertolak dari status mahfuz{ untuk matan berbentuk fi‟ly, maka kebiasaan Nabi tidur
dengan memiringkan badan ke rusuk kanan setelah salat sunnah fajar harus dipahami
sebagai dorongan (kecenderungan) pribadi, bukan cermin dari tata cara ibadah syar‘i yang
harus diikuti umat.
Dengan demikian, apabila terdapat matan hadith yang menyalahi kebanyakan matan
hadith dari para perawi yang lebih banyak (mutawatir) atau lebih thiqqah, maka matan
tersebut mengandung Shudhud.
Selanjutnya, merujuk kepada definisi riwayah bil-ma‟na, ada beberapa hal yang
menjadi dampak (implikasi) dari adanya perwayatan bil-ma‘na, diantaranya: Al-Ikhtisar
dan At-Taqti‟, Al-Taqdim dan Al-Ta‟khir, Al-Ziyadah dan Al-Nuqsan, dan Al-Ibdal yang kesemuanya mempunyai persyaratan-persyaratan tertentu.
G. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas maka bisa disimpukan bahwa riwayah bil-ma‟na terjadi
untuk satu hadith dalam satu peristiwa yang diungkapkan oleh para perawi dengan redaksi yang berbeda-beda, bukan perbedaan redaksi karena perbedaan peristiwa. Perbedaan ini mengakibatkan ada yang merubah makna dan ada yang tidak, sehingga para ulama berpendapat berbeda-beda dalam memperbolehkan mengamalkan riwayah
bil-ma‘na.
Al-Suyut{i berpendapat bahwa riwayah bil-ma‟na diperbolehkan apabila tidak
mengubah makna hadith. Akan tetapi Al-Suyuti tidak setuju riwayah bil-ma‟na yang
berkaitan dengan lafal ibadah seperti azan, doa, tasyahud, dan jawami‘ al-kalam.73
Dengan demikian, pemakalah sependapat dengan pendapat ulama agar sedapat
mungkin riwayat hadith hendaknya bil-lafz{i tidak bil-ma‟na. Apabila memang
meriwayatkan hadith bil-ma‟na maka harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan
dalam periwayatan hadith bil-ma‟na. Namun apabila riwayah bil-lafz{i sudah mencukupi,
maka tidak perlu adanya riwayah bil-ma‟na.
72Muhammad bin Isa Al-Tirmidhi, Al-Jami‟ Al-Sahih wa huwa Sunan Al-Tirmidhi (Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyyah, 1987), 213
73
86 | Vol 04 No 01 Pebruari 2016
Daftar Pustaka
Bukhari (al), Muhammad bin Ismail, 1997.Sahih Bukhari, Juz 1, Beirut: Dar Al-Fikr Dawud, Abu, 1950. Sunan Abi Dawd, II (Mesir: Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra.
Ismail, M. Syuhudi Ismail, 2005. Kaedah Kesahihan Sanad hadith, Jakarta: Bulan Bintang.
_____________________, 1992. Metodologi Penelitian Hadith, Jakarta: Bulan Bintang. Kathir, Ibnu, tt Al-Ba‟ith Al-H{athith fi Ikhtisar Ulum Al-Hadith, Beirut: Dar Al Fikr, tt
Khatib (al), Muhammad ‗Ajjaj, 1963. Al-Sunnah Qablattadwin , Kairo: Maktabah Wahbah.
Ma‘luf, Louis, 1986. Al-Munjid fillughah wal-A‟lam . Beirut: Dar Al-Mashriq. Noorhidayati, Salamah, 2009. Kritik Teks Hadith, Yogyakarta: Teras.
Naysaburiy (al), Abu Al-Husaiyn bin Hajjaj bin Muslim, tt. Sahih Muslim Beirut: Dar Kutub Ilmiyyah Suyut{i (al), Jalaluddin, 1994. Tadrib Al-Rawi fi Sharh{ Taqrib Al-Nawawiy, Beirut: Dar Al-Fikr. Salim, Peter. 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer , Jakarta: Modern English Press. Taziy (at), Mustafa Amin Ibrahim, tt, Muhadarat fi Ulum Al-Hadith , Mesir: Dar Al-Ta‘lif.
Tirmidhi (al), Muhammad bin Isa, 1987. Al-Jami‟ Al-Sahih wa huwa Sunan Al-Tirmidhi, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah