13
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP KODOKUSHI
2.1. Definisi Kodokushi
Kata kodokushi Jika dilihat dari makna kanjinya maka 孤 独(kodoku)
berarti kesepian atau kesunyian, sedangkan死 (shi) yang memiliki arti kematian.
Jadi 孤独死 (kodokushi) secara harafiah berarti mati kesepian atau mati dalam
kesendirian tanpa ada keluarga yang mendampingi. Fenomena kodokushi banyak
dialami oleh para lansia di Jepang saat ini dan makin bertambah setiap tahunnya mengingat tingginya jumlah penduduk lanjut usia (lansia).
Fenomena kodokushi sendiri awalnya disebabkan adanya pencanangan
program pemerintah pasca Perang Dunia II. Tepatnya pada tahun 1947 pemerintah Jepang mencanangkan sebuah program diet nasional yang disebut kokkai yang jika diterjemahkan berarti “hari beras”. Fungsi program ini adalah untuk
menyehatkan pemerintah, terutama untuk merestorasi keuangan Jepang yang hancur total akibat mendanai perang. Ternyata program ini juga diikuti oleh
program-program nasional lainnya, diantaranya adalah program yang menyehatkan badan masyarakat Jepang. Hal ini berdasarkan pada pemikiran
bahwa jika masyarakat mampu menjaga badannya agar tetap sehat maka mereka juga akan mampu menjaga negaranya agar tetap aman, karena masyarakatnya hidup sehat maka tingkat harapan hidup makin tinggi. Karena hal inilah
digalakkan program kesehatan masyrakat Jepang. (http://www.wfs.org/sept-Oct07 files/Trend2so07.htm)
14
Pada dasarnya hal ini merupakan sesuatu yang baik karena menunjukkan kualitas
hidup yang baik, kemajuan teknologi kedokteran, serta pelayanan kesehatan yang modern. Namun diluar dugaan hal ini menimbulkan masalah dibelakang hari
karena menyebabkan makin meningkatnya populasi manusia lanjut usia (manula) yang berbanding terbalik dengan jumlah kelahiran.
Istilah kodokushi sendiri sebenarnya telah ada pada era 1980-an. Pada
1980 sampai awal 1990-an dimana ketika itu permasalahn mengenai koreika shakai atau masyarakat yang mulai beranjak tua, banyak menghiasi halaman
media utama Jepang. Terminologi ini kemudian dilanjutkan dengan korei shakai
atau masyarakat lanjut usia. Pada akhir 1990-an, istilah ini berubah menjadi
chokoreika shakai masyarakat yang mulai beranjak sangat tua dan chokorei shakai atau masyarakat sangat tua.
Peningkatan jumlah manula berarti dibutuhkan perawatan yang lebih bagi
para manula tersebut, namun peralihan masyarakat Jepang dari masyarakat agraris menajadi masyarakat industri membuat perawatan lansia tidak lagi terjamin. Peralihan ini mengubah pola keluarga di Jepang yang awalnya berupa dozoku
(sistem keluarga besar) berubah menjadi kaku kazoku (keluarga inti). Dalam sistem dozoku dalam satu rumah tangga dapat tinggal dua sampai tiga generasi,
hal ini berbeda dengan kaku kazoku. Menurut Murdock dalam Alimansyar (2004: 25) mendefinisikan keluarga inti (kaku kazoku) sebagai keluarga yang terdiri dari
sepasang suami-istri dan anak-anak yang belum menikah. Pola masyarakat industri ini juga turut mengubah pola pikir wanita Jepang dimana para wanitanya sangat sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak memiliki waktu berada dirumah dan
harus hidup terpisah dengan orangtuanya. Kondisi ini mempengaruhi perawatan
15
bagi lansia, para lansia terpaksa dititipkan dirumah jompo atau tinggal sendiri
karena keluarganya tidak memiliki waktu untuk mengurus mereka. Hal ini menyebabkan banyak para lansia yang mengalami depresi karena kesepian dan
akhirnya meninggal dunia. Dari sinilah mulai berkembang istilah kodokushi.
Meski begitu fenomena kodokushi mulai muncul ke permukaan pasca gempa bumi Kobe tahun 1995 dimana ketika itu ditemukan 207 lansia yang
meninggal, termasuk bunuh diri, di rumah penampungan sementara (temporary shelter housing). Mereka adalah para orang tua yang tidak memiliki keluarga dan
merasa kesepian. Akibat rasa kesepian karena disisihkan oleh keluarga dan masyarakat banyak dari mereka akhirnya mengalami ketergantungan alkohol sebagai bentuk pelampiasan dari keadaan yang dialami. Sebagian lagi ditemukan
meninggal karena mengalami kelaparan, kekurangan gizi, sakit lever, dan lain sebagainya. Para lansia ini merasa tidak memiliki tujuan hidup lagi.
Istilah kodokushi digunakan oleh media sebagai judul berita yang sensasional dengan tujuan menarik perhatian masyarakat terkait masalah pasca gempa bumi Kobe yang terjadi pada 24 April 1998. Kata kodokushi sering
menyebabkan ketegangan bila digunakan, meski tidak mengejutkan, juga menggambarkan kesedihan dan menarik perhatian publik jika mengingat orang
tua yang meninggal karena kesepian. Media Jepang menyatakan kasus kodokushi
dapat terus diberitakan jika hal tersebut dapat membuat masyarakat untuk peduli
pada masalah ini, meskipun hal ini tidak dapat mencegah orang dari mati kesepian. Meski begitu berita yang dilaporkan tidak terkait dengan kasus kodokushi tertentu, melainkan kodokushi secara umum.
16
Sebuah artikel surat kabar Jepang memandang kodokushi sebagai
fenomena simbolik yang menunjukkan kegagalan pemerintah untuk berkolaborasi dengan warga guna mengembangkan komunitas yang saling peduli.
2.1.1. Pertumbuhan Penduduk Jepang
Dampak pertumbuhan penduduk disuatu negara dipengaruhi oleh tiga hal
yaitu angka kelahiran (birth rate), angka kematian (mortality rate), serta migrasi (out migration and in migration). Birth rate mengacu pada jumlah kelahiran hidup
dalam satu tahun pada seribu penduduk pada pertengahan tahun. Mortality rate
mengacu pada jumlah kematian pada seribu penduduk dalam satu tahun pada pertengahan tahun. Out migration menyangkut migrasi yang meninggalkan daerah
sedangkan in migration menyangkut migrasi yang memasuki suatu daerah (Sunarto, 2000: 173).
Umumnya tingkat kelahiran dan kematian di negara berkembang sangat pesat dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi, kurangnya sosialisasi mengenai keluarga berencana, serta sedikitnya fasilitas dan akses
kesehatan. Hal ini berbanding terbalik dengan negara maju yang angka kelahiran dan kematiannya relatif rendah. Para ahli demografi cenderung mengaitkan hal
tersebut dengan kemajuan perindustrian. Atas dasar keterkaitan ini, mereka membuat teori kependudukan yang dikenal dengan teori transisi demografi
(demographic transition theory). Menurut teori ini, masyarakat yang mengalami proses industrialisasi akan melewati tiga tahap. Tahap pertama, yaitu tahap pra industri, tingkat kelahiran dan kematian tinggi dan stabil. Pada tahap kedua, tahap
transisi, terjadi peningkatan kelahiran akibat meningkatnya kualitas kesehatan.
17
Pada tahap ketiga tingkat kelahiran dan kematian rendah dan stabil (Sunarto,
2000: 175)
Jepang adalah salah satu negara maju yang melewati tahap tersebut dan
sekarang telah sampai ditahap ketiga dimana terjadi penurunan jumlah kelahiran yang sangat drastis. Hal tersebut dapat terlihat pada table (Thang, 2001: 174)
Sources: (Up to 1995) Institute of Population Problems, Ministry of Health and Welfare. Latest Demographic Statistics 1995, Tokyo; Statistics Bureau, Management and Cordination Agency. Quick Report on One-percent Sample Tabulations of the 1995 Population Census, Tokyo, 1996. (From 2000) Institute of Population Problems, Ministry of Health and Welfare, Population Projections for Japan: 1991-2090, Tokyo,1992 (cited in Kono 1996, 10-11)
18
Seperti diketahui di Jepang antara tahun 1947 dan 1949 terjadi baby boom
sejumlah 2,7 juta per tahun sebagai akibat kembalinya tentara Jepang yang selamat dari medan pertempuran lalu menikah, namun hal ini diikuti dengan
kurangnya perumahan yang tidak memungkinkan penyebaran penduduk menjadi faktor utama dalam peningkatan jumlah penduduk. Penurunan jumlah tersebut baru dimulai bersama dengan terjadinya peralihan dari masa pemulihan menuju
pertumbuhan. Pada tahun 1955 rata-rata keluarga mempunyai 4,97 anggota, kira-kira sama seperti sebelum perang dan berangsur-angsur turun setiap tahunnya
(Fukutake, 1988: 38). Meski begitu antara tahun 1971 dan 1974 terjadi lagi baby boom dengan skala yang lebih kecil (2,14 anak per wanita pada 1973), tapi setelah itu terjadi penurunan kelahiran secara berkelanjutan hingga mencapai 1,43 persen
per wanita pada tahun 1995 (Thang, 2001: 174).
Jepang merupakan salah satu negara dengan angka harapan hidup tertinggi
di dunia, dengan kata lain masyarakat yang memiliki umur panjang. Selain itu Jepang menempati urutan teratas dengan jumlah lansia terbanyak dibandingkan dengan angka kelahiran bayi disana. Estimasi Kementrian Kesehatan Jepang
menyatakan jumlah penduduk di Jepang menurun hingga 244 ribu orang pada 2013. Jumlah tersebut lebih banyak daripada jumlah merosotnya populasi Jepang
pada 2012 yaitu sebanyak 219 ribu jiwa. Jumlah tersebut turun 0,21% dari tahun 2012, tahun 2013 pemerintah setempat menyatakan jumlah penduduk di Jepang
menurun 0,17%, yakni menjadi 127,2 juta. Jumlah tersebut termasuk warga asing yang lama tinggal di Jepang. Menurut penelitian U.S. Census Bureau (Internasional Data Base) dan Kementrian Kesehatan dan Kesejahteraan
diperkirakan pada tahun 2050 jumlah kelahiran di Jepang mencapai titik terendah.
19
Pada 2008 jumlah lansia Jepang mencapai seperlima dari populasi dan rata-rata
harapan hidup orang Jepang meningkat pula, yaitu menjadi 82 tahun dibandingkan dengan tahun 1947 yang hanya mencapai 50 tahun. Ini turut mengubah bentuk
grafik masyarakat Jepang yang awalnya berbentuk pohon dengan jumlah kelahiran bayi yang besar menjadi layang-layang dengan proporsi penduduk lansia yang makin meningkat.
(http://abgnet.blogspot.com/2008/05/jumlah-penduduk-lansia-jepang-meningkat.html)
Meningkatnya jumlah lansia di Jepang secara berkelanjutan merupakan masalah serius yang harus dihadapi. Ini berarti semakin meningkatnya biaya kesejahteraan dan perawatan yang harus diberikan pemerintah kepada lansia
20
padahal biaya kesejahteraan itu diambil dari pajak penghasilan masyarakat Jepang,
namun berkurangnya tenaga muda yang bekerja menyebabkan berkurangnya pajak penghasilan yang didapat. Selain itu menurut lembaga survei diwilayah
metropolitan Tokyo saja lansia yang hidup sendiri yang awalnya sebanyak 11,1% (1,87 juta) pada 1990 meningkat menjadi 24,8% (4,76 juta) pada 2010 (Thang, 2001: 177). Sedangkan angka kelahiran di Jepang saat ini adalah yang terendah
yaitu sekitar 1,3 per pasangan, sementara itu jumlah penduduk lansia mencapai 23,3% pada 2011 dan diprediksi akan mencapai 38,5% pada tahun 2050.
(http//www.anthropoetics.ucla.edu/ap1801/1801taylor.pdf).
Hal tersebut menunjukkan kurangnya tenaga muda produktif yang akan menanggung biaya hidup para lansia. Pada tahun 1990, dalam setiap enam orang
tenaga kerja produktif terdapat satu lansia, angka ini terus menurun setiap tahunnya menjadi empat orang tenaga produktif yang harus menanggung satu lansia pada tahun 2000. Tahun 2010 menjadi tiga tenaga produktif membiayai
satu lansia. pada 2025 diperkirakan tinggal dua tenaga produktif menanggung satu lansia.
2.1.2. Pelaku Kodokushi
Kodokushi atau mati dalam kesepian dapat menimpa siapa saja baik kaum muda maupun tua. Namun di Jepang fenomena ini banyak dialami oleh kaum
lansia mengingat saat ini Jepang merupakan negara dengan jumlah penduduk senior tertinggi didunia.
Pada lansia kasus kodokushi banyak terjadi pada laki-laki yang hidup sendiri, terasing, dan berada dibawah garis kemiskinan menurut standar Jepang. Biasanya menimpa kaum pria yang memasuki masa pensiun. Mayoritas
21
masyarakat Jepang, terutama kaum pria, lebih mementingkan pekerjaan sehingga
mereka akan merasa terbuang apabila memasuki masa pensiun atau kehilangan pekerjaan. Hal ini dikarenakan kehidupan sosial mereka hanya seputar pekerjaan
dan hanya bergaul dengan kerja mereka, ini bukan hal yang mengherankan mengingat mereka bekerja seharian sampai kira-kira jam 19.30 dan sebelum pulang biasanya minum-minum dengan teman kantor hingga jam 21.00. Mereka
tidak memiliki waktu untuk berinteraksi dengan tetangga disekitar lingkungannya, bahkan mereka jarang bercengkrama dengan anak istrinya. Dihari minggu pun
mereka jarang di rumah, terkadang bermain golf dengan atasan di kantor. Hampir setiap hari anak mereka jarang bertatap muka dengan ayahnya, kondisi ini menyebabkan lemahnya ikatan kekeluargaan. Karena hal tersebut ketika
memasuki masa pensiun atau kehilangan pekerjaan, mereka tidak lagi memiliki teman untuk menghabiskan waktu dan berbagi hingga akhirnya merasa kesepian
dan tidak lagi memiliki tujuan hidup.
Jumlah kasus kodokushi yang dialami laki-laki dua kali lebih banyak jika dibandingkan perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Doshisha
pada tahun 1997 menemukan bahwa sebagian besar orang yang meninggal kesepian adalah mereka yang berusia diatas 50 tahun, sedangkan wanita pada usia
diatas 70 tahun. Kasus kodokushi pada laki-laki berusia 50-an dan 60-an tahun terhitung hampir setengah dari total kasus kodokushi.
22
2.2. Penyebab Terjadinya Kodokushi
Peningkatan jumlah lansia di Jepang dari tahun ke tahun menyebabkan makin meningkatnya kasus kodokushi yang terjadi. Adapun fenomena kodokushi
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Hidup sendiri tanpa keluarga
Fenomena kodokushi turut dipicu oleh berubahnya struktur keluarga yaitu dari
sistem ie berubah menjadi kaku kazoku (keluarga inti). Perubahan ini disebabkan oleh industrialisasi yang mendorong kaum muda di Jepang melakukan urbanisasi
dan beralih pekerjaan dari sektor agraris ke sektor industri. Pada masa sebelum perang ie menjamin kehidupan para lansia karena harta warisan yang ada tidak dibagi-bagi, melainkan diwariskan kepada anak tertua dengan syarat pewaris akan
menjaga dan merawat orangtuanya dimasa tua mereka (Fukutake, 1988: 45-46). Namun berubahnya sistem keluarga menjadi keluarga inti (kaku kazoku)
menyebabkan banyak lansia yang harus hidup terpisah dari anak dan cucu mereka. Alasannya sebagian besar anak-anak tinggal dan menetap di kota atau tempat lain karena penempatan kerja. Selain itu pasangan suami-istri yang baru saja menikah
lebih suka hidup terpisah dari orang tua mereka. Keluarga kelas atas, meskipun mempunyai ruangan di rumah lama bagi pengantin baru, lebih suka membangun
rumah baru bagi mereka. Sedangkan pasangan dari kelas menengah bawah yang baru menikah biasanya tidak mempunyai dana untuk menjamin kemandirian
mereka dan kerap kali mereka hidup terpisah dari orang tua mereka dalam kamar sewaan dengan bantuan dari orang tua (Fukutake, 1988: 45).
Okamoto mengatakan bahwa orang tua yang terbiasa hidup dalam
keluarga besar menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari,
23
kesehatan yang buruk, kesepian, dan bunuh diri. Sebenarnya antrian untuk masuk
rumah jompo memang tinggi namun masih banyak yang memilih untuk hidup sendiri, mereka ingin mempertahankan sosialisasi dalam komunitas yang mereka
kenal. Alasan lain mereka hidup sendiri karena mereka tidak pernah menikah sebelumnya sehingga tidak ada keluarga yang mengurus mereka ketika tua.
2. melemahnya interaksi sosial (fureai)
Masyarakat Jepang saat ini menghabiskan seluruh waktunya ditempat kerja menyebabkan mereka apatis terhadap orang-orang dilingkungan tempat
tinggalnya. Kesibukan tersebut akhirnya menyebabkan para tetangga yang rumahnya berdekatan tidak lagi sering saling menyapa sehingga ketika di tempat mereka tinggal ada orang tua, yang rentan terhadap penyakit dan tentunya
kecelakaan didalam maupun diluar rumah, luput dari perhatian dan tidak menyadarinya. Selain itu sifat masyarakat Jepang yang cenderung tertutup
menyebabkan mereka tidak ingin mencampuri urusan orang lain dan sebaliknya tidak ingin urusannya dicampuri. Menurut sebuah survei yang dikutip penyiaran TBS menyatakan 70 persen penduduk Jepang tidak menginginkan tetangga untuk
masuk dalam kehidupan mereka. Ini mengindikasikan meskipun terjadi interaksi antar tetangga hanya berupa ucapan salam dan obrolan ringan saja. Akibatnya
banyak orang yang memilih meninggal sendirian di apartemen atau rumah mereka karena tidak lagi memiliki keinginan untuk berkomunikasi dan bersosialisasi,
mereka merasa tersisihkan dari lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan survei nilai dunia yang dilakukan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang meminta para responden
memberitahu tentang kontak sosial mereka didapati bahwa Jepang merupakan
24
salah satu negara paling kesepian di dunia. Orang Jepang tampaknya memiliki
paling sedikit kontak sosial dengan teman-teman, rekan kerja, dan kenalannya. Tidak heran keadaan ini menyebabkan para lansia merasa kesepian. Kata-kata
seperti masyarakat, relawan, kodokushi, mengembangkan tsunagari (hubungan), seikatsu fukko (rekonstruksi kehidupan), fureai (interaksi sosial), dan yang berkaitan dengan kepedulian sosial menjadi kosa kata yang umum untuk dibahas
baik oleh media maupun pidato pemerintah setempat.
3. kondisi ekonomi
Jepang merupakan negara dengan tingkat perekonomian terbesar ketiga di dunia. Jepang telah mengambil berbagai langkah untuk memacu pertumbuhan perekonomiannya hingga menjadi salah satu negara dengan pereokonomian
terbesar di dunia setelah bertahun-tahun mengalami stagnansi, namun tingkat kemiskinan meningkat 15,7 persen ditahun 2007. Satu dari enam penduduk
Jepang berada dibawah garis kemiskinan. Menurut OECD mereka yang masuk kategori miskin adalah mereka yang berpenghasilan setengah dari penghasilan rata-rata pendudk Jepang, yaitu sekitar Rp 79 juta per tahun. Angka ini termasuk
besar jika dilihat dari kacamata orang Indonesia namun di Jepang hanya untuk membayar sewa rumah sudah menghabiskan setengah dari gaji yang didapat. Ini
belum termasuk biaya makan, kesehatan, transportasi, dan lain-lain. Maka jumlah ini tidak mencukupi. Menurut kementrian kesehatan, ketenagakerjaan, dan
kesejahteraan, sejak tahun 2000 lebih dari 700 orang meninggal karena kelaparan. Masalah ekonomi ini juga menjadi masalah yang sangat mengkhawatirkan bagi penduduk lansia yang hidupnya hanya tergantung pada uang pensiun. Kaum
lansia Jepang tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk memenuhi
25
kebutuhan hidupnya. Hal ini terbukti dari banyaknya laporan yang menyatakan
bahwa lansia yang meninggal dunia tidak mampu mebayar tagihan listrik dan gas, sewa rumah, bahkan banyak dari mereka yang meninggal karena kelaparan
sehingga terserang berbagai penyakit.
4. Rendahnya angka kelahiran
Rendahnya angka kelahiran turut pula memperparah keadaan para lansia.
Kementrian komunikasi dan urusan dalam negeri Jepang memprediksi di Tokyo saja jumlah anak dibawah 15 tahun menurun 160 ribu orang dibandingkan tahun
2013. Itu adalah penurunan tertinggi sejak pemerintah setempat memulai sensus tahunan pada 1950. Jumlah anak-anak saat ini hanya 12,8% dari populasi Jepang. Jika dibandingkan negara lain yang berpenduduk diatas empat puluh juta, Jepang
memiliki rasio jumlah anak-anak terendah.
(http://internasional.kompas.com/read/2014/01/03/0837105/Penurunan.Populasi.C
atat.Rekor.Tertinggi.di.Jepang).
Menurunnya populasi di Jepang berarti berkurangnya tenaga kerja produktif untuk merawat lansia dan menurunnya pajak penghasilan yang didapat untuk
membiayai lansia. Akibat jumlah lansia yang meningkat setiap tahunnya berarti memerlukan tenaga medis dan perawat yang lebih banyak sedangkan populasi
penduduk muda Jepang terus menurun pada tahap yang mengkhawatirkan. Diperkirakan ada beberapa penyebab rendahnya angka kelahiran, antara lain:
1. Tidak ingin memiliki anak karena biaya pendidikan anak yang sangat mahal.
2. Tidak ingin memiliki anak karena ketika mempunyai anak seorang wanita
harus menghentikan karirnya (keluar dari pekerjaan) dan harus
26
menghabiskan banyak waktu untuk merawat anak, di Jepang tidak ada
asisten rumah tangga.
3. Tidak ada kewajiban merawat orang tua, apalagi jika punya anak
perempuan yang marga-nya berubah ketika telah menikah.
4. Meski punya anak tidak ada jaminan akan dirawat dihari tua karena tempat tinggal yang terpisah bahkan jauh. Di hari tua pun mereka tetap tinggal
sendiri, apalagi jika pasangannya telah meninggal. (http://majalah1000guru.net/2011/02/lansia-di-jepang/)
Saat ini di Jepang juga muncul istilah “anak kunci”, yaitu suatu kondisi dimana ketika seorang anak pulang ke rumah mereka mendapati rumah itu kosong sehingga mereka harus membawa kunci rumah atau apartemen (Fukutake, 1988:
45). Baik suami maupun istri terus bekerja untuk meningkatkan taraf hidup mereka agar bisa meninggalkan perumahan umum dan memasuki rumah milik
sendiri sehingga mengakibatkan pembatasan jumlah anak yang sebenarnya tidak mereka inginkan.
Berkurangnya angka kelahiran ini terkait dengan peningkatan jumlah wanita
yang ikut berpartisipasi dalam angkatan kerja dan banyaknya jumlah wanita yang baru melahirkan anak pertama mereka pada usia tua. Beberapa kritikus
menafsirkan bahwa merosotnya angka kesuburan merupakan pembalasan kaum wanita Jepang yang menentang sistem sosial patriarkal dan dominasi kaum pria,
serta institusi-institusi terkait.
Akibat dari penurunan jumlah kaum muda ini mengindikasikan di masa yang akan datang jumlah perawat lansia akan semakin berkurang. Masalah lain yang
menyebabkan kurangnya tenaga perawat adalah perawat untuk usia lanjut di
27
Jepang kebanyakan bekerja dimalam hari seperti memandikan pasien. Orang yang
berhenti dari perawat orang jompo biasanya disebabkan depresi, sakit pinggang, dan lain-lain. Mereka merasa tidak sanggup lagi bekerja. Yang lebih fatal lagi,
menjadi perawat jompo menyebabkan meningkatnya presentase perceraian di Jepang.
Penurunan angka kelahiran membawa dampak negatif bagi negara maju dan
harus mendapat perhatian khusus. Kementrian menyatakan secara resmi bahwa ancaman berkurangnya penduduk produktif semakin nyata. Sebuah penelitian
pada 2012 memprediksi bahwa Jepang akan punah seribu tahun lagi. Sebab, rendahnya tingkat kelahiran membuat jumlah anak-anak menurun seorang setiap seratus detik. Hiroshi Yoshida, Profesor Ekonomi di Universitas Tohoku
menyatakan jika penurunan rasio ini berlanjut, kami akan merayakan Hari Anak 5 Mei pada 3011 tanpa ada anak-anak di Jepang.
5. Budaya malu
Jepang merupakan negara yang masyarakatnya sangat menjunjung tinggi budaya malu. Terdapat beberapa hal yang mendasari sikap orang Jepang dalam bertindak, yaitu bertindak dengan menghindari “rasa malu” karena rasa malu
merupakan sanksi yang utama dalam kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu
sebelum sanksi masyarakat itu jatuh pada dirinya, mereka bertindak seolah-olah mengungkapkan pengakuan dirinya dengan sikap rasa bersalah. Rasa malu adalah
reaksi terhadap kritik yang dibayangkan seolah-olah dia sedang diperolok-olok oleh orang lain, sedangkan rasa bersalah merupakan bagian dari tata karma dalam bertindak. Bersikap yang didasari atas rasa malu dan rasa bersalah ini sudah
merupakan bagian sikap yang sudah melekat pada orang Jepang. Berdasarkan
28
kedua hal tersebut ini merupakan bagian dari tata krama dalam bertindak.
Berdasarkan kedua hal ini Ruth Benedict mengatakan bahwa, budaya malu (haji no bunka) dan budaya rasa bersalah (tsumi no bunka) merupakan budaya yang
berlangsung dalam kehidupan masyarakat Jepang. Untuk menghindari rasa malu, masyarakat Jepang dalam bersosialisasi berusaha menjaga hubungan dengan memegang prinsip “meiwakuni sarenaiyouni meiwakuwo shinai” yang artinya
jangan mengusik orang, supaya tidak di usik.
(http://ameliaazzahra.weebly.com/26/post/2012/06/kajian-kebudayaan-orang-jepang-sekarang-sudah-berubah.html)
Rakyat Jepang mempunyai kecendrungan mendalam untuk menganggap bantuan keringanan penderitaan sebagai sesuatu yang memalukan; kemiskinan itu
adalah sesuatu yang harus ditanggung oleh keluarga dan sanak saudara. Kemiskinan yang tidak dapat ditangani dengan cara ini dianggap sebagai suatu
masalah orang-orang bernasib malang dan harus ditangani melalui kegiatan-kegiatan karitatif. Orang-orang yang tidak mempunyai sanak saudara untuk membantu mereka hanya dipandang sebagai yang terendah diantara orang-orang
yang malang nasibnya. Sama sekali tidak terdapat suatu sikap bahwa orang-orang itu mempunyai hak untuk memperoleh bantuan dari masyarakat melalui sistem
kesejahteraan nasional (Fukutake, 1988: 140). Karena sikap tersebut ketika para lansia mengalami kesulitan mereka tidak mau meminta bantuan kepada orang lain
maupun memanfaatkan fasilitas yang diberikan pemerintah karena menganggap hal tersebut dianggap sesuatu yang memalukan.
29
6. Semakin meningkatnya jumlah wanita yang bekerja
Wanita dari dulu sampai sekarang merupakan perawat utama dalam keluarga. Menurut Spitze dan Logan dalam Suleeman (1999: 108), ada dua alasan kenapa
lebih banyak wanita yang merawat orang tuanya dibandingkan pria.
Pertama, baik pria maupun wanita percaya bahwa anak perempuan secara alamiah mempunyai sifat merawat sehingga tugas wanita berkisar dibidang perawatan dan
pengasuhan. Sebelum menikah dia mengasuh adiknya, setelah menikah dia merawat anak, suami, dan orang tua mereka yang sudah lanjut usia.
Kedua, wanita biasanya tidak mencari nafkah, atau kalaupun mencari nafkah, biasanya mereka bekerja paruh waktu (part time) sehingga mereka memiliki waktu lebih banyak untuk merawat orang tua mereka dibandingkan dengan pria.
Namun saat ini sangat sulit bagi wanita yang juga mempunyai pekerjaan diluar rumah untuk dapat melaksanakan perannya dengan baik dalam hal merawat
lansia, baik orang tuanya sendiri maupun mertua, yang berada dalam kondisi fisik yang lemah di rumah. Banyak dari wanita Jepang saat ini mengambil pekerjaan
full time. Di kota padat seperti Tokyo dimana suami-istri benar-benar harus bekerja keras untuk membiayai hidup, bahkan untuk mempunyai anak saja tidak ada waktu, mengurus orang tua atau para lansia mereka adalah sebuah hal yang
berat. Menurut survey tahun 1975 mengenai tenaga kerja, hampir separuh (47%) dari karyawan wanita yang bekerja penuh dalam pekerjaan bukan pertanian dan
bukan kehutanan adalah wanita-wanita yang telah menikah. Dan kira-kira seperempat dari jumlah wanita yang tidak bekerja menginginkan pekerjaan; 40 persen atau lebih dari mereka mengatakan “ini bukanlah karena kita mengalami
kesulitan untuk mencari nafkah; saya hanya ingin mencari uang untuk biaya
30
pengeluaran tambahan bagi rumah tangga (Fukutake, 1988: 48). Jumlah ini
meningkat dari tahun ke tahun, Jeff Kingston menyatakan pada tahun 2010 sebanyak 55% pasangan suami-istri Jepang bekerja sehingga beban perempuan
menjadi lebih berat. Bahkan karena kesibukan pekerjaan wanita Jepang saat ini banyak dari mereka lebih memilih karir daripada harus menikah. Karena tidak memiliki waktu mereka lebih memilih menitipkan orang tua mereka di panti
jompo atau health care manula. Mereka berpendapat bahwa hal ini lebih baik daripada membiarkan orang tua mereka mati kesepian.
2.3. Perubahan Perilaku Sosial Masyarakat Jepang terhadap Lansia
Di masa lampau, ketika orang Jepang belum banyak dipengaruhi oleh
modernisasi, mereka senantiasa diliputi rasa berhutang budi (on) kepada orang tua, para penguasa, masyarakat dan negara. Karena adanya rasa berhutang budi, maka
orang Jepang merasa berkewajiban untuk membalas budi baik kepada orang tua, para penguasa, masyarakat dan negara; rasa berkewajiban itu dinamakan gimu. Inilah yang memperkuat solidaritas kelompok dan patriotismenya. Di Jepang tidak
ada pendidikan khusus mengenai patriotisme, apalagi setelah Perang Dunia II. Tetapi karena kuatnya sifat berkewajiban membalas budi itu, maka patriotisme
tetap kuat diantara rakyat Jepang yang telah mengalami modernisasi yang tinggi. Selain itu, orang Jepang selalu merasa berkewajiban untuk membalas sikap atau
kebaikan yang telah diterima dari orang lain dengan setimpal, yang disebut giri
(Suryoharjodiprojo, 1982: 47-48).
Namun masyarakat Jepang yang dahulu memiliki komitmen untuk
menghormati orang tua kini telah banyak berubah, modernisasi Jepang
31
menyebabkan berkurangnya rasa berhutang budi itu, meskipun belum sepenuhnya
hilang. Perubahan ini mulai terjadi setelah Perang Dunia II dan juga disebabkan hilangnya sistem Ie dimana ketika itu seseorang menjadi ayah dan pemimpin
rumah tangga, didampingi oleh istrinya sebagai ibu. Kalau anak laki-laki tertua telah menikah dan meningkat umurnya, maka dia harus beralih menjadi pimpinan rumah tangga, sedangkan ayah yang telah menjadi kakek beralih menjadi
pinisepuh rumah tangga dan tinggal dalam lingkungan rumah tangga sampai mereka meninggal (Suryoharjodiprojo, 1982: 45). Dalam sistem ini juga sang
nenek memiliki peranan penting. Ie merupakan dasar pendidikan dalam keluarga tersebut. Anak-anak dalam keluarga ie biasanya diasuh dibawah bimbingan nenek yang memanjakan daripada oleh ibu mereka sendiri yang tidak memiliki
kewibawaan nyata untuk mengatur mereka. Bagi seorang ibu mempunyai anak sendiri berarti mempunyai persyaratan untuk mendapatkan jaminan akan dapat
tinggal dalam keluarga suaminya. Anak-anak dalam keluarga tradisional ini mendapatkan dari ibu dan nenek mereka disiplin yang menumbuhkan apa yang oleh Ruth Benedict disebut shame culture atau budaya rasa malu (Fukutake, 1988:
54).
Namun saat ini wewenang tersebut tidak berlaku lagi. Generasi
kakek-nenek tidak lagi dapat mempertahankan hak-hak istimewa mereka dalam mendidik anak-anak yang dahulu mereka miliki sebelum perang karena
berubahnya bentuk keluarga luas menjadi keluarga inti. Dalam keluarga inti tidak terdapat tekanan psikologis yang disebabkan tinggalnya dua generasi dalam satu rumah tangga. Mungkin mereka akan lebih bahagia namun jika melihat masa
depan mereka tentulah masa depan mereka tidak terjamin. Ini karena
32
aggota keluarga dalam sistem seperti ini tidak dapat menjamin kehidupan hari tua
mereka. Dalam keluarga inti para ibu bebas dari campur tangan ibu mertua, tetapi mereka kehilangan kesempatan untuk belajar lebih banyak dari generasi tua.
Sebelum perang, orang-orang cacat fisik dan mental, yatim piatu, dan orang-orang tua yang kesepian tanpa keluarga dapat menghidupi dirinya melalui pertolongan sanak saudara atau menerima belas kasihan dari tetangga sekitarnya.
Namun hal ini sudah mulai pudar, generasi saat ini menganggap bahwa hal tersebut bukan tanggung jawab mereka. Survei pendapat umum oleh kantor
perdana menteri mengenai kehidupan dan masalah penduduk berusia lanjut menunjukkan bahwa angka perbandingan orang-orang yang beranggapan jaminan hari tua sebagai tanggung jawab keluarga adalah 34% pada tahun 1969, tetapi
menurun menjadi 22% pada tahun 1973. Sebaliknya yang beranggapan bahwa tanggung jawab itu harus ditanggung oleh negara atau masyarakat meningkat dari
15% menjadi 24%. Survei ini juga menunjukkan bahwa orang-orang berusia lanjut seharusnya diurus oleh mereka sendiri atau masyarakat, semakin banyak dianut oleh responden yang usianya lebih muda (Fukutake, 1988: 47-48).
Saat ini di Jepang mulai bermunculan bentuk keluarga ie dimana dalam satu rumah terdapat dua rumah tangga (nisetai juutaka), maksudnya kakek-nenek
tinggal dilantai yang berbeda atau sisi yang berbeda dari anak-cucu mereka juga memiliki dapur, kamar mandi, dan kadang pintu masuk masing-masing. Kikuko
kato menyebut hal ini sebagai keluarga “ie modifikasi” karena meskipun dalam satu rumah hidup tiga generasi dan berbagi alamat yang sama, pada dasarnya terdapat dua keluarga inti dalam generasi yang berurut. Bentuk keluarga ie saat ini
berbeda jauh dengan ie sebelumnya, meski kakek-nenek hidup dalam satu rumah
33
dengan cucu mereka namun mereka tidak dapat menjadi pendorong dan pendidik
karena terhalang oleh generasi tengah (Thang, 2011: 140-141).
Seringnya media melaporkan kasus mengenai banyaknya lansia yang
hilang, namun keluarga yang harusnya merupakan paling dekat dengan orang tua mereka tidak mengetahui keberadaannya dan dalam banyak kasus tidak mau meminta polisi untuk mencari mereka menunjukkan lemahnya ikatan sosial
bahkan diantara keluarga.
Perbedaan jarak umur antara generasi tua dan generasi muda juga turut
membuat mereka menjauh. Banyak pelajaran di Jepang pada persepsinya para lansia difokuskan bagi pelajar SMA dan mahasiswa sebagai bahan perbincangan. Koyano dalam Thang (2011: 179) mengatakan pelajaran-pelajaran ini secara
keseluruhan menyimpulkan sikap remaja Jepang kepada lansia ditandai oleh stereotip negatif. Sebuah survei perbandingan Internasional tentang pandangan
mahasiswa kepada lansia di Jepang oleh The United States, Great Britain, dan
Sweden lebih lanjut menunjukkan bahwa banyak remaja Jepang menganggap para lansia suka mengeluh dan keras kepala, hanya sedikit yang melihat mereka
sebagai orang yang baik dan jujur melebihi teman sebaya. Ini menunjukkan bahwa remaja Jepang memandang lansia dengan anggapan negatif dan hal ini
berlawanan dengan ajaran Jepang yang idealis untuk hormat dan peduli terhadap lansia. Meski begitu anggapan negatif terhadap lansia tidak berlaku bagi
anak-anak yang berusia 9-12 tahun, survei yang dilakukan kepada mereka menunjukkan bahwa mereka memiliki pandangan positif terhadap lansia. namun ketika mereka memasuki SMP, Tim peneliti menemukan bahwa gambaran positif terhadap lansia
sedikit demi sedikit menurun seiring dengan pertambahan umur si anak.
34
Meningkatnya pandangan negatif diantara anak SMP mungkin dipengaruhi oleh
usia kakek-nenek mereka yang tinggal dengan mereka. Karena kemungkinan banyak dari kakek-nenek ini yang telah memasuki kategori usia old-old (75 tahun
keatas) ketika cucu-cucu mereka masuk SMP atau juga dipengaruhi oleh gambaran stereotip negatif mengenai lansia yang didominasi oleh media.
2.4. Contoh-contoh Kejadian Kodokushi
Kasus kodokushi melonjak tajam dari tahun ke tahun. Diketahui bahwa
kasus kodokushi yang disebabkan oleh bunuh diri (jisatsu) melonjak tajam dari hanya dua puluh tiga ribu kasus ditahun 1997 melonjak menjadi tiga puluh ribu kasus di tahun berikutnya. Tanggal 9 Januari 2000, sebuah surat kabar Asahi
melaporkan telah terjadi 38 kasus kodokushi dan bunuh diri di perumahan rekonstruksi negara, disamping 230 kasus kodokushi yang terjadi di tempat
penampungan sementara. Menurut biro kesejahteraan sosial dan kesehatan masyarakat disebuah Kota pada tahun 2008 diketahui bahwa lebih dari dua ribu dua ratus orang berusia 65 tahun menjadi pelaku kodokushi.
Berikut ini beberapa contoh kejadian kodokushi yang dialami oleh lansia di Jepang:
1. Di sebuah hari yang panas akhir Juli, polisi Jepang menemukan jenazah Sogen Kato, yang sudah menjadi mumi, masih terbaring di atas tempat
tidur tempat dia meninggal 30 tahun yang lalu. Pada usia 111 tahun dia merupakan pria Jepang tertua. Putrinya, yang berusia 81 tahun, menyembunyikan kematiannya dan mengantungi US$ 106.000 lebih dari
uang pensiun ayahnya, seperti kata polisi.
35
(http://BBC Indonesia - Majalah - Hilangnya Manula di Jepang.htm)
2. Di Prefektur Saitama yang terletak tidak jauh dari Tokyo, tiga orang anggota keluarga ditemukan meninggal dalam keadaan lapar. Jasad mereka
baru ditemukan setelah lebih dari enam bulan. Mereka adalah pasangan berusia sekitar 60 tahun dan yang seorang berusia sekitar 30 tahun. Di rumah sewanya yang belum dibayar selama enam bulan, diketahui bahwa
listrik, air, dan gas diputus karena belum dibayar. Hanya ditemukan beberapa batang permen dan beberapa uang koin satu yen. Sang ibu pernah
meminta bantuan kepada salah satu tetangganya namun ditolak dan disarankan untuk pergi ke kantor pemerintah untuk meminta dana kesejahteraan namun ia tidak melakukannya.
3. Kasus lainnya adalah dua orang saudara perempuan berusia 40 tahun ditemukan meninggal pada Februari 2012 dalam apartemen mereka di
Sapparo, Hokaido. Mereka nampaknya meninggal karena kedinginan. Tidak ada pemanas dalam apartemen meskipun suhu dapat mencapai minus nol derajat.
4. Masih di tahun yang sama, kasus lain juga terjadi di Tokyo. Jasad seorang wanita berusia 45 tahun dan anaknya yang berusia 4 tahun ditemukan
dalam apartemennya di Tachikawa, Tokyo. Mereka telah meninggal berbulan-bulan yang lalu. Sang ibu diketahui meninggal karena pendarahan
otak dan anaknya yang cacat, tidak mampu memberi makan dirinya sendiri, akhirnya meninggal karena kelaparan.
(http://tutee.wordpress.com/2012/03/06/kodokushi/)