BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP KESELAMATAN KESEHATAN KERJA (K3) DAN SISTEM MANAJEMEN K3
A. Keselamatan dan Kesehatan Kerja Menurut Undang-undang 1. Sejarah Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Di Indonesia
Dengan memperhatikan keadaan hukum kerja di zaman prakemerdekaan,
tentunya dapat diperkirakan bagaimana riwayat kesehatan kerja ini. Perbudakan,
perhambaan, rodi, dan poenale sanksi yang mewarnai hubungan kerja di zaman itu
menunjukkan pula kurangnya perhatian pemerintah Hindia Belanda akan
kesehatan kerja. Hal yang dicari pada saat itu adalah pengeksplotasian tenaga
kerja secara penuh demi kepentingan pihak penjajah, sedangkan kepentingan
tenaga kerja tidak diperhatikan sama sekali.43
Zaman Perbudakan
Zaman perbudakan ini secara legistis yaitu menurut peraturan
perundangan dinyatakan berakhir pada tanggal 31 Desember 1921. Jika
dibandingkan dengan Negara lain, berkat aturan adat yang dijiwai oleh
kepribadian bangsa, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab para budak agak
lumayan kedudukannya.44
Regerings Reglement (RR) tahun 1818 (semacam Undang-undang Dasar
Hindia Belanda) pada pasal 115 memerintahkan supaya diadakan
peraturan-43
Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja,
(Jakarta : Raja Grafindo), 2007 hlm. 80
44
perturan mengenai perlakuan terhadap keluarga budak. Peraturan pelaksananya
dimuat dalam Staatsblad 1825 No.44 ditetapkan bahwa :45
1. Harus dijaga agar anggota-anggota keluarga budak bertempat tinggal
bersama-sama, maksudnya seorang budak yang telah berkeluarga tidak
boleh dipisahkan dari istri dan anaknya.
2. Para pemilik diwajibkan bertindak baik terhadap para budak mereka.
3. Penganiayaan seorang budak diancam dengan pidana berupa denda antara
Rp.10,00 dan Rp.500,00 dan pidana lain yang dijatuhkan oleh pengadilan
untuk penganiayaan biasa.
Usaha dari pihak tidak resmi seperti dari “Javaans Menschlievend
Genootschaap” yaitu nama baru bagi “Java Benevolent Institution” dari zaman
pemerintahan Thomas Stamford Raffles antara tahun 1818 dan 1824 mencoba
untuk menghapuskan perbudakan tetapi tidak membawa hasil. Terjadi
pertentangan pendapat yang menyatakan bahwa penghapusan budak merupakan
pelanggaran besar terhadap hak para pemilik budak dan disisi lain berpendapat
bahwa kezaliman lebih besar apabila merendahkan manusia menjadi barang
milik.46
Baru pada tahun 1854 dalam Regeringsreglement 1854 pasal 115 sampai
117 kemudian menjadi pasal-pasal 169 sampai 171 Indische Staatsregeling 1926,
dengan tegas ditetapkan penghapusan perbudakan. Pasal 115 menetapkan paling
lambat 1 Januari 1860 perbudakan di seluruh Indonesia dihapuskan dan selnjutnya
45
Ibid
46
memerintahkan supaya diadakan peraturan-peraturan persiapan dan pelaksanaan
tentang penghapusan dan ganti rugi sebagai akibat penghapusan.47
Zaman Rodi
Zaman rodi atau kerja paksa ini berlaku bersamaan dengan zaman
perbudakan dan berakhir resminya di Jawa dan Madura pada tanggal 1 Februari
1938, kecuali di tanah partikelir yang baru dihapuskan pada tahun 1946 oleh
Coamacab (Commando Officer Allied Military Administration, Civil Affairs
Branch) dalam Noodverordening Particuliere Landrijen 1946 Java en Madura.48
Kesehatan kerja bagi pekerja rodi lebih diperuntukkan pada kekhawatiran
kehabisan jumlah pekerja paksa, bukan karena prikemanusiaan. Kesehatan kerja
pada bidang rodi ini lebih terletak pada pembatasan jam kerja. Misalnya hanya
boleh sehari seminggu dan paling banyak 52 hari dalam setahun dan seharinya
tidak boleh lebih dari 12 jam kerja rodi. Jarak antara rumah dan tempat kerja juga
diperhatikan. Tetapi hal ini pun dilanggar oleh pihak yang berkepentingan karena
kurangnya pengawasan. Penghapusan rodi dilakukan dengan membayar uang
pembebasan atau tebusan kepada Pemerintah dan bersamaan dengan itu gaji
pegawai dinaikkan dengan uang pembebasan itu.49
Poenale Sanksi
Zaman poenale sanksi meliputi antara tahun 1872 dan 1879 serta antara
masa 1880 dan 1941, berakhir pada tanggal 1 Januari 1942. Kedudukan
buruh/pekerja dalam hubungannya dengan majikan ditetapkan sebagai berikut :50
47
Ibid
48
Prof. Iman Supomo, “Hukum Perburuhan Bidang……..”,Op.Cit, hlm 11
49
Ibid
50Ibid
1. buruh tidak boleh meninggalkan perusahaan, tanpa izin tertulis dari
pengusaha, administrasi atau pegawai yang diberi wewenang untuk itu.
Apabila hal itu tetap dilakukan maka buruh dikenai tindak pidana yang
disebut melarikan diri. Hukuman untuk itu adalah denda atau kerja dengan
makan tanpa upah, biasanya disebut “krakal” selama-lamanya 1 bulan.
2. buruh wajib secara teratur melakukan pekerjaannya.
3. jika buruh meninggalkan perusahaan, ia wajib selalu membwa dan atas
permintaan yang berwajib memperhatikan kartu keterangan yang memuat
identitas buruh dan lamanya hubungan kerja.
4. jika buruh dalam masa hubungan kerja diadili atau menjalani pidana, maka
sesudahnya atas biaya perusahaan ia dapat di bawa kembali ke perusahaan.
Demikian pula jika buruh setelah menjalani istirahat, sakit dan sebagainya
jika tidak kembali lagi ke perusahaan maka dapat dipanggil kembali.
5. dilarang memberi pemondokan kepada seorang buruh yang tidak dapat
membuktikan kebebasannya dari kewajiban bekerja.
6. dalam keadaan bagaimanapun, buruh tidak dapat memutuskan hubungan
kerjanya secara sepihak.
Dalam lembaga poenale sanksi yang menyerahkan pribadi buruh
sepenuhnya kepada wewenang perusahaan / majikan tidak dapat diharapkan
adanya perlindungan buruh. Satu-satunya jalan untuk memberikan perlindungan
bagi buruh itu pda kedudukan manusia social adalah penghapusan poenale sanksi
yang terjadi pada tangga 1 Januari 1942.
Kesehatan kerja di Indonesia dimulai pada dasawarsa ketiga abad XX.
Kesehatan kerja pertama kali diatur dalam :51
1. Maatregelen ter Beperking van de Kindearrbied en de Nachtarbeid van de
Vroewen, yang biasanya disingkat Maatregelen, yaitu peraturan tentang
pembatsan pekerjaan anak dan wanita pada malam hari, yang dikeluarkan
dengan Ordonantie No. 647 Tahun 1925, mulai berlaku tanggal 1 Maret
1926.
2. Bepalingen Betreffende de Arbeit van Kinderen en Jeugdige Persoonen
ann Boord van Scepen, biasanya disingkat ‘Bepalingen Betreffende’, yaitu
peraturan tentang pekerjaan anak dan orang muda di kapal, yang
diberlakukan dengan Ordonantie No. 87 tahun 1926, mulai berlaku 1 Mei
1926.
Selain Maatregelen dan Bepalingen Betreffende, peraturan lain yang
dikwalifikasi sebagai peraturan kesehatan kerja, yang dikeluarkan oleh pemerintah
Hindia Belanda adalah :52
1. Mijn Politie Reglement, Stb No. 341 tahun 1931 (peraturan tentang
pengawasan di tambang).
2. Voorschriften omtrent de dienst en rushtijden van bestuur der an
motorrijtuigen (tentang waktu kerja dan waktu mengaso bagi pengemudi
kendaraan bermotor).
3. Riauw Panglongregeling (tentang panglong di Riau)
4. Panglongkeur Soematra Oostkust (tentang panglong di Sumatera Timur).
51
Zaeni Asyhadie,SH.,M.Hum, Op.Cit, hlm.81
52Ibid
5. Aanvullende Plantersregeling (peraturan perburuhan di perusahaan
perkebunan).
6. Arbeidsregeling nijverheidsberijvn (peraturan perburuhan di perusahaan
perindustrian).
Di Indonesia secara historis peraturan keselamatan dan kesehatan kerja
telah ada sejak pemerintahan Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan dan
diberlakukannya Undang-undang Dasar 1945, maka beberapa peraturan termasuk
peraturan keselamatan kerja yang pada saat itu berlaku yaitu Veiligheids
Reglement telah dicabut dan diganti dengan Undag-undang Keselamatan Kerja
No.1 Tahun 1970.53
Setelah kemerdekaan pula yang pertama-tama menjadi perhatian
pemerintah adalah masalah kesehatan kerja. Sewaktu Imdonesia masih berbentuk
serikat beribukota di Yogyakarta pada tannga 20 April 1948 mengundangkan
Undang-undang No.12 Tahun 1948 tentang kerja. Setelah Indonesia berbentuk
Negara kesatuan UU No.12 tahun 1948 ini di berlakukan ke seluruh wilayah
Indonesia dengan UU No.2 Tahun 1951. Undang-undang pokok kerja ini mamuat
aturan dasar mengenai :54 1. Pekerjaan anak
2. Pekerjaan orang muda
3. Pekerjaan wanita
4. Waktu kerja, istirahat, dan mengaso
53
Departemen Tenaga Kerja, Op.Cit, BAB II, hlm.42
54
5. Tempat kerja dan perumahan buruh, untuk semua pekerjaan tidak
membeda-bedakan tempatnya, misalnya di bengkel, di pabrik, di rumah
sakit, di perusahaan pertanian, perhubungan, pertambangan, dan lain-lain.
Undang-undang No.12 Tahun 1948 merupakan undang-undang pokok
sehingga memerlukan peraturan pelaksana yang lebih rinci. Mengingat keadaaan
Indonesia yang masih di awal kemerdekaan, maka peraturan pelaksana dibuat
secara bertahap. Peraturan pelaksana yang sempat dikeluarkan pada masa itu
adalah :55
1. Peraturan pemerintah No.3 Tahun 1950 yang memberlakukan aturan
waktu kerja, istirahat, dan mengaso serta mengatur tata cara pengusaha
untuk dapat mengadakan penyimpangan dari waktu kerja.
2. Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 1954 yang mengatur tentang
berlakunya ketentuan cuti tahunan bagi pekerja/buruh.
Berbeda dengan undang-undang pokok lainnya, undang-undang kerja
mempunyai ketentuan bahwa semua ketentuan yang ada hanya akan berlaku jika
ada peraturan pelaksananya. Sampai saat undang-undang kerja dicabut dan
digantikan dengan Undng-undang No.13 Tahun 2003, peraturan pelaksana yang
baru keluar hanya kedua peraturan tersebut. Maka hanya kedua aturan
undang-undang kerja itu yang sempat berlaku.56
2. Ruang LingkupKeselamatan Kerja
Keselamatan kerja termasuk dalam perlindungan teknis, yaitu
perlindungan terhadap pekerja/buruh agar selamat dari bahaya yang dapat
ditimbulkan oleh alat kerja atau bahan yang dikerjakan. Keselamatan kerja tidak
55
Ibid
56Ibid
hanya memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh, tetapi juga kepada
pengusaha dan pemerintah :57
a. Bagi pekerja/buruh, adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja akan
menimbulkan suasana kerja yang tenteram sehingga pekerja/buruh akan
dapat memusatkan perhatiannya pada pekerjaannya semaksimal mungkin
tanpa khawatir sewaktu-waktu akan tertimpa kecelakaan kerja.
b. Bagi pengusaha, adanya pengaturan keselamatan kerja di perusahaannya
akan dpat mengurangi terjadinya kecelakaan yang dapat mengakibatkan
pengusaha harus memberikan jaminan social.
c. Bagi pemerintah (dan masyarakat), dengan adanya dan ditaatinya
peraturan keselamatan kerja, maka apa yang direncanakan pemerintah
untuk menyejahterakan masyarakat akan tercapai dengan meningkatnya
produksi perusahaan baik kualitas maupun kuantitasnya.
Untuk mewujudkan perlindungan keselamatan kerja, maka pemerintah
telah melakukan upaya pembinaan norma di bidang ketenagakerjaan. Dalam
pengertian pembinaan norma ini sudah mencakup pengertian pembentukan,
penerapan dan pengawasan norma itu sendiri.58
Ditinjau dari segi keilmuan, keselamatan dan kesehatan kerja diartikan
sebagai ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah
kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Keselamatan dan
kesehatan kerja harus diterapkan dan dilaksanakan di setiap tempat kerja
57
Zaeni Asyhadie,SH.,M.Hum, Op.Cit, hlm.94-95
58
(perusahaan). Tempat kerja adalah setiap tempat yang di dalamnya terdapat 3
(tiga) unsur, yaitu :59
a. Adanya suatu usaha, baik itu usaha yang bersifat ekonomis maupun social.
b. Adanya sumber bahaya.
c. Adanya tenaga kerja yang bekerja di dalamnya, baik secara terus menerus
maupun hanya sewaktu-waktu.
Undang-undang No.1 Tahun 1970 menetukan bahwa tempat-tempat yang
dimaksud dengan tempat kerja adalah tempat-tempat di darat, di dalam tanah, di
permukaan air, di dalam air maupun di udara yang berada di wilayah kekuasaan
hukum Indonesia, dimana :
a. dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat, perkakas,
peralatan atau instalasi yang berbahaya atau dapat menimbulkan
kecelakaan atau peledakan;
b. dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut, atau
disimpan atau bahan yang dapat meledak, mudah terbakar, menggigit,
beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi;
c. dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau
pembongkaran rumah, gedung atau bangunan lainnya termasuk bangunan
perairan, saluran atau terowongan di bawah tanah dan sebagainya atau
dimana dilakukan pekerjaan persiapan.
d. dilakukan usaha: pertanian, perkebunan, pembukaan hutan, pengerjaan
hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya, peternakan, perikanan
dan lapangan kesehatan;
59Ibid
e. dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan : emas, perak, logam atau
bijih logam lainnya, batu-batuan, gas, minyak atau minieral lainnya, baik
di permukaan atau di dalam bumi, maupun di dasar perairan;
f. dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik di darat,
melalui terowongan, dipermukaan air, dalam air maupun di udara;
g. dikerjakan bongkar muat barang muatan di kapal, perahu, dermaga, dok
stasiun atau gudang;
h. dilakukan penyelamatan, pengambilan benda dan pekerjaan lain di dalam
air;
i. dilakukan pekerjaan dalam ketinggian diatas permukaan tanah atau
perairan;
j. dilakukan pekerjaan di bawah tekanan udara atau suhu yang tinggi atau
rendah;
k. dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, kejatuhan,
terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, hanyut atau
terpelanting;
l. dilakukan pekerjaan dalam tangki, sumur atau lobang;
m. terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, suhu, kotoran, api, asap, uap,
gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran;
n. dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau limbah;
o. dilakukan pemancaran, penyinaran atau penerimaan radio, radar, televisi,
atau telepon;
p. dilakukan pendidikan, pembinaan, percobaan, penyelidikan atau riset
q. dibangkitkan, dirobah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau
disalurkan listrik, gas, minyak atau air;
r. diputar film, pertunjukan sandiwara atau diselenggarakan reaksi lainnya
yang memakai peralatan, instalasi listrik atau mekanik.
Pasal 3 Undang-undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
menentukan bahwa syarat-syarat keselamatan kerja yang harus diperhatikan oleh
pengusaha akan diatur lebih lanjut. Namun, peraturan perundangan yang
dimaksudkan sampai sekarang belum ada. Peraturan perundangan warisan Hindia
Belanda masih dapat dijadikan pedoman syarat-syarat keselamatan kerja, yaitu :60 a. Mencegah dan mengurangi kecelakaan
Untuk mencegah atau mengurangi kecelakaan ini banyak sekali upaya
yang dapat dilakukan oleh pengusaha. Dalam Veiligheidregelement (Peraturan
Keamanan Kerja), antara lain dinyatakan bahwa agar peralatan pabrik tidak atau
kurang menimbulkan bahaya, maka :
1) Ban penggerak, rantai, dan tali yang berat harus diberikan alat
penadah, jika putus tidak akan menimbulkan bahaya.
2) Mesin-mesin harus terpelihara dengan baik, mesin yang berputar harus
diberikan penutup agar jangan saampai beterbangan jika kurang tahan
dalam putaran yang keras.
3) Ban penggerak, rantai, atau tali yang dilepaskan harus tergantung,
maka gantungan itu harus dibuat sedemikian rupa agar tidak
menyentuh ban penggerak.
4) Harus tersedia alat pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K).
60
b. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran, yang dapat
dilakukan dengan menyediakan alat-alat pemadam kebakaran,
memberikan kesempatan atau jalan menyelamatkan diri bagi pekerja/buruh
jika terjadi kebakaran, dan memberikan alat perlindungan lainnya untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya kebakaran.
c. Mencegah atau mengurangi bahaya peledakan. Peledakan biasanya sering
terjadi pada perusahaan-perusahaan yang mengerjakan bahan-bahan yang
mudah meledak. Perusahaan-perusahaan yang demikian pada setiap
ruangan kerja haruslah disediakan sekurang-kurangnya satu pintu yang
cepat terbuka untuk keluar. Bahan-bahan yang akan dikerjakan di ruang
kerja tidak boleh melebihi jumlah yang seharusnya dikerjakan. Harus pula
dipasang alat-alat kerja yang menjamin pemakaiannya akan aman dari
bahaya peledakan.
d. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai, menyelenggarakan suhu
udara yang baik, memelihara ketertiban dan kebersihan, mengamankan
dan memelihara bangunan.
e. Mencegah agar jangan sampai terkena aliran listrik yang berbahaya. Hal
ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1) bagian alat listrik yang mempunyai tegangan minimal 250 volt
haruslah tertutup.
2) Sambungan-sambungan kabel listrik harus diberikan pengaman.
3) Bangunan-bangunan yang diatasnya terbentang kawat listrik harus
diperiksa sewaktu-waktu dan jika perlu diberikan pembungkus
Peraturan Menteri Perburuhan pada pasal 2 menetapkan bahwa setiap
bangunan perusahaan harus memenuhi syarat-syarat untuk :61
a. Menghindarkan kemungkinan bahaya kebakaran dan kecelakaan.
b. Menghindarkan kemungkinan bahaya keracunan, penularan penyakit atau
timbulnya penyakit kerja.
c. Memajukan kebersihan dan ketertiban.
d. Terdapat penerangan yang cukup dan memenuhi syarat untuk melakukan
pekerjaan.
e. Mendapat suhu yang layak dan peredaran udara yang cukup.
f. Menghindarkan gangguan debu, gas, uap dan bauan yang tidak
menyenangkan.
Keselamatan kerja bertalian dengan kecelakaan kerja yaitu kecelakaan
yang terjadi di tempat kerja atau dikenal dengan kecelakaan industri. Kecelakaan
industri ini dapat diartikan : suatu kejadian yang tidak diduga semula dan tidak
dikendaki yang mengacaukan proses yang telah diatur aktivitasnya. Suatu
kejadian atau peristiwa tertentu adalah sebab musababnya demikian pula
kecelakaan industri/kecelakaan kerja ini.62 Rangkaian kejadian dan factor penyebab kecelakaan dikeal dengan “teori domino”, yaitu :63
a. Kelemahan pengawasan oleh manajemen (lack of control management).
Pengawasan ini diartikan sebagai fungsi manajemen yaitu perencanaan,
pengorganisasian kepemimpinan (pelaksana) dan pengawasan. Partisipasi
aktif manajemen sangat menetukan keberhasilan usaha pencegahan
61
Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) RI No.7 Tahun 1964 tentang Syarat Kesehatan, Kebersihan, dan Penerangan dalam Tempat Kerja. Pasal 2
62
Lalu Husni,SH.,M.Hum, Op.Cit, hlm.142
63
kecelakaan seorang pimpinan unit disamping memahami tugas
operasional tapi juga harus mampu :
- memahami program pencegahan kecelakaan
- memahami standard, mencapai standard
- membina, mengukur, dan mengevaluasi performance bawahannya.
Inilah yang dimaksud dengan control
b. Sebab dasar. Penyebab dasar terjadinya kecelakaan adalah unsafe
condition dan unsafe action. Pendapat berbagai ahli K3 yang cukup
radikal, 2 ( dua ) factor diatas merupakan gejala akibat buruknya
penerapan dan kurangnya komitmen manajemen terhadap K3 itu sendiri.
Beberapa contoh unsafe condition :64
- Peralatan kerja yang sudah usang ( tidak layak pakai ).
- Tempat kerja yang acak-acakan
- Peralatan kerja yang tidak ergonomis.
- Roda berputar mesin yang tidak dipasang pelindung ( penutup ).
- Tempat kerja yang terdapat Bahan Kimia Berbahaya yang tidak
dilengkapi sarana pengamanan ( labeling, rambu) dll.
Beberapa contoh unsafe action :
- Karyawan bekerja tanpa memakai Alat Pelindung Diri Pekerja yang
mengabaikan Peraturan K3.
- Merokok di daerah Larangan merokok.
- Bersendau gurau pada saat bekerja. Dan lain-lain.
64
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang bertindak Kurang
aman dalam melakukan pekerjaan, antara lain :
- Tenaga kerja tidak tahu tentang :
1. Bahaya – bahaya di tempat kerjanya
2. Prosedur Kerja Aman
3. Peraturan K3
4. Instruksi Kerja dll.
- Kurang terampil ( unskill ) dalam :
1. Mengoperasikan Mesin Bubut.
2. Mengemudikan Kenderaan.
3. Mengoperasikan Fire Truck.
4. Memakai alat – alat kerja ( Tool ) dll.
- Kekacauan sistem manajemen K3
1. Menempatkan tenaga kerja tidak sesuai dengan keahliannya.
2. Penegakan Peraturan yang lemah.
3. Paradigma dan Komitmen K3 yang tidak mendukung.
4. Tanggungjawab K3 tidak jelas.
5. Anggaran Tdk Mendukung.
6. Tidak Ada audit K3 dll.
c. Sebab yang merupakan gejala (sympton). Disebabkan masih adanya
keselahan. Dalam hal ini kita kenal dengan tindakan tak man dan kondisi
tak aman. Factor-faktor ini sebenarnya adalah symptom (gejala) atau
pertanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres apakah pada system ataukah
pada manajemen.
d. Kecelakaan. Jika ketiga urutan diatas tercipta, maka besar atau kecil akan
timbul peristiwa atau kejadian yang tidak diinginkan dan tidak
direncanakan yang dapat mengakibatkan kerugian dalam bentuk cidera
dan kerusakan akibat kontak dengan sumber energi melebihi nilai ambang
batas badan atau struktur.
Disamping ada sebabnya maka suatu kejadian juga akan membawa akibat.
Akibat dari kecelakaan industri ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
pertama kerugian yang bersifat ekonomis, antara lain kerusakan / kehancuran
mesin, peralatan, bahan dan bangunan. Biaya pengobatan dan perawatan korban.
Tunjangan kecelakaan. Hilangnya waktu kerja. Menurunnya jumlah maupun mutu
produksi. Kedua kerugian yang bersifat non ekonomis. Pada umumnya berupa
penderitaan manusia yaitu tenaga kerja yang bersangkutan, baik itu merupakan
kematian, luka/cedara berat maupun ringan.65
Menurut International LabourOrganization (ILO) ada beberapa cara atau
langkah yang perlu diambil untuk menanggulangi kecelakaan yang terjadi di
tempat kerja, yaitu melalui :66
a. Peraturan perundang-undangan.
• Adanya ketentuan dan syarat-syarat K3 yang selalu mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan, teknik dan teknologi (up to date).
65
Lalu Husni,SH.,M.Hum, Op.Cit, hlm. 143
66
• Penerapan semua ketentuan dan persyaratan keselamatan dan
kesehatan kerja sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku
sejak tahap rekayasa.
• Penyelenggaraan pengawasan dan pemantauan pelaksanaan K3
melalui pemeriksaan-pemeriksaan langsung di tempat kerja.
b. Standarisasi. Merupakan suatu ukuran terhadap besaran-besaran nilai.
Dengan adanya standard K3 yang maju akan menentukan tingkat
kemajuan K3, karena pada dasarnya baik buruknya K3 di tempat kerja
diketahui melalui pemenuhan standard K3.
c. Inspeksi. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka pemeriksaan
dan pengujian terhadap tempat kerja, mesin, pesawat, alat dan instalasi,
sejauh mana masalah-masalah ini masih memenuhi ketentuan dan
persyaratan K3.
d. Riset, meliputi :
• Riset teknik, penelitian terhadap benda dan karakteristik bahan-bahan
berbahaya. Mempelajari pengaman mesin, pengujian alat pelindung
diri, penyelidikan tentang desain yang cocok untuk instalasi industri.
• Riset medis, meliputi hal-hal khusus yang berkaitan dengan penyakit
akibat kerja dan akibat medis terhadap manusia dari berbagai
kecelakaan kerja.
• Riset psikologis, penelitian terhadap pola-pola pdikologis yang dapat
menjurus kearah kecelakaan kerja.
e. Pendidikan. Pemberian pengajaran dan pendidikan cara pencegahan
orangnya (korban), jenis kecelakaan, factor penyebab, sehingga dapat
ditentukan pola pencegahan kecelakaan yang serupa.
f. Training (latihan). Pemberian instruksi atau petunjuk-petunjuk melalui
praktek kepada para pekerja mengenai cara kerja yang aman.
g. Persuasi. Menanamkan kesadaran akan pentingnya keselamatan dan
kesehatan kerja dalam upaya untuk mencegah terjadinya kecelakaan,
sehingga semua ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja dapat diikuti
oleh semua tenaga kerja.
h. Asuransi. Upaya pemberian insentif dalam bentuk reduksi terhadap premi
asuransi kepada perusahaan yang melakukan usaha-usaha keselamatan dan
kesehatan kerja atau yang berhasil menurunkan tingkat kecelakaan di
perusahaannya.
i. Penerapan K3 di tempat kerja. Langkah-langkah tersebut haris dapat
diaplikasikan di tempat kerja dalam upaya memenuhi syarat-syarat K3 di
tempat kerja.
3. Ruang Lingkup Kesehatan Kerja
Kesehatan kerja adalah bagian dari ilmu kesehatan yang bertujuan agar
tenaga kerja memperoleh keadaan kesehatan yang sempurna baik fisik, mental
maupun social sehingga memungkinkan dapat bekerja secara optimal. Tujuan
kesehatan kerja adalah :67
67
1. Meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan tenaga kerja yang
setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun social.
2. Mencegah dan melindungi tenaga kerja dari gangguan kesehatan yang
disebabkan oleh konisi lingkungan kerja.
3. Menyesuaikan tenaga kerja dengan pekerjaan atau pekerjaan dengan
tenaga kerja.
4. Meningkatkan produktivitas pekerja.
a. Ketentuan Umum
Peraturan kesehatan kerja yang terdapat dalam Undang-undang No.13
Tahun 2003 meliputi tentang pekerjaan anak, wanita, waktu kerja, waktu istirahat.
Berikut uraian materi peraturan kesehatan kerja.
Pekerjaan Anak
Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas)
tahun.68 Undang-undang No.13 tahun 2003 mengatur tentang norma kerja mulai pasal 68, yang mana pasal ini melarang keras pengusaha mempekerjakan anak.
Anak dianggap bekerja apabila berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya.69
Secara umum larangan mutlak bagi anak untuk melakukan pekerjaan ini
adalah tepat, sebab akan terdapat beberapa kerugian atau dampak negative jika
anak melakukan pekerjaan, diantaranya adalah :70
1. Menghambat atau memperburuk perkembangan jasmani maupun rohani
anak.
2. Menghambat kesempatan belajar bagi anak.
68
Undang-undang No.13 Tahun 2003, Op.Cit, pasal 1 ayat (26)
69
Zaeni Asyhadie,SH.,M.Hum, Op.Cit, hlm. 84
70
3. Dalam jangka panjang perusahaan akan menderita beberapa kerugian
apabila mempekerjakan anak, misalnya kwalitas produksi rendah,
pemborosan dan lain sebagainya.
Undang-undang No.13 Tahun 2003 lebih lanjut mengatur tentang
pekerjaan anak ini sebagai berikut :
a. Bagi anak yang berumur antara 13 sampai dengan 15 tahun diperbolehkan
untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu
perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan social.71 Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan dimaksud harus memenuhi
persyaratan :72
1) izin tertulis dari orang tua atau wali;
2) perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
3) waktu kerja maksimal maksimal 3 jam;
4) dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
5) keselamatan dan kesehatan kerja
6) adanya hubungan kerja yang jelas;
7) menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku (pasal 69
ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003.
b. Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian
dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang
berwenang.73 Pekerjaan tersebut juga dapat dilakukan dengan syarat :74
71
Undang-undang No.13 Tahun 2003, Op.Cit, pasal 69 ayat (1)
72
Ibid, pasal 69 ayat (2)
73
Ibid, pasal 70 ayat (1)
74Ibid,
1) diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta
bimbingan dan pengawasan dalam melakukan pekerjaan;
2) diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
c. Anak dapat juga melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan
minatnya.75 Hal ini dimaksudkan untuk melindungi anak agar pengembangan bakat dan minat anak yang pada umumnya muncul pada
usianya tersebut tidak terhambat. Untuk itu, pengusaha yang
mempekerjakan anak dalam pekerjaan yang berkaitan dengan
perkembangan minat dan bakat ini, diwajibkan untuk memenuhi
persyaratan :76
1) di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
2) waktu kerja paling lama tiga jam sehari ;
3) kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan
fisik, mental, social, dan waktu sekolah.
Berkaitan dengan larangan untuk mempekerjakan anak, UU No.13 Tahun
2003 lebih menekankan lagi, “siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan
anak pada pekerjaan-pekerjaan terburuk”.77 Pekerjaan terburuk yang dimaksud adalah :78
a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan dan sejenisnya;
b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan
anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau
perjudian;
75
Ibid, pasal 71 ayat (1)
76
Ibid, pasal 71 ayat (2)
77
Ibid, pasal 74 ayat (1)
78Ibid,
c. segala pekerjaan yang memafaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak
untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotik, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya; dan / atau
d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral
anak.
Dalam pasal 75 UU No.13 Tahun 2003 dijelaskan tentang pekerjaan anak
yaitu :
“Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang
bekerja di luar hubungan kerja. Anak yang bekerja di luar hubungan kerja
misalnya anak penyemir sepatu atau anak penjual koran dan sebagainya”.
Penanggulangan ini dimaksudkan untuk menghapuskan atau mengurangi
anak yang bekerja di luar hubungan kerja tersebut. Upaya itu harus dilakukan
secara terencana, terpadu, dan terkoordinasi dengan instansi terkait.79
Pekerja Perempuan
Mempekerjakan perempuan di perusahaan tidaklah semudah yang
dibayangkan. Ada hal-hal yang harus dijadikan bahan pertimbangan, yaitu :80 a. para wanita umumnya bertenaga lemah, halus tetapi tekun;
b. norma-norma susila harus diutamakan, agar tenaga-tenaga kerja wanita
tersebut tidak terpengaruh oleh perbuatan-perbuatan negative dari tenaga
kerja lawan jenisnya, terutama kalau dikerjakan pada malam hari;
c. para tenaga kerja wanita itu umumnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan
halus yang sesuai dengan kahalusan sifat dan tenaganya;
79
Zaeni Asyhadie,SH.,M.Hum, Op.Cit, hlm.87
80
G. Kartasapoetra, dkk, Hukum Perburuhan Di Indonesia Berlandaskan Pancasila,
d. para tenaga kerja wanita itu ada yang masih gadis dan ada pula yang telah
bersuami atau berkeluarga yang dengan sendirinya mempunyai
beban-beban rumah tangga yang harus dilaksanakannya pula.
Semua itu harus menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan norma
kerja bagi perempuan. Ketentuan dalam peraturan perundangan tentang norma
kerja perempuan yaitu :81
1. Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas)
tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul
07.00.
2. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang
menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan
kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 07.00.
3. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul
23.00 sampai dengan 07.00 wajib :
a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
4. Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh
perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai
dengan 05.00.
Waktu Kerja, Mengaso, dan Istirahat (Cuti)
Undang-undang No.13 Tahun 2003 hanya mengenal 2 istilah yaitu ‘waktu
kerja’ dan ‘waktu istirahat’. Menurut Iman Supomo dalam hal ini digunakan 3
81
istilah yaitu ‘waktu kerja’, ‘waktu mengaso’ dan ‘waktu istirahat. Pengertian
ketiga istilah itu adalah pertama waktu kerja adalah waktu efektif dimana
pekerja/buruh hanya melaksanakan pekerjaannya. Kedua waktu mengaso adalah
waktu antara, yaitu waktu istirahat bagi pekerja/buruh setelah melakukan
pekerjaan empat jam beturut-turut yang tidak termasuk waktu kerja. Ketiga waktu
istirahat adalah waktu cuti, yaitu waktu dimana pekerja/buruh diperbolehkan
untuk tidak masuk bekerja karena alasan-alasan tertentu yang diperbolehkan oleh
undang-undang.82
Yang meliputi waktu kerja adalah :83
1. 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu untuk 6 (enam)
hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
2. 8 (delapan) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu untuk 5 (lima)
hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Waktu kerja tersebut harus diselingi waktu mengaso paling sedikit 30 (tiga
puluh) menit setelah pekerja/buruh bekerja selama 4 (empat) jam berturut-turut.84 Ketentuan waktu kerja tersebut tidak berlaku bagi sector usaha atau
pekerjaan tertentu.85 Mempekerjakan pekerja lebih dari waktu kerja sedapat mungkin dihindari, karena pekerja membutuhkan waktu untuk memulihkan
tenaganya dan tentu untuk tetap menjaga kesehatannya. Dalam hal-hal tertentu
terdapat kebutuhan yang mendesak, yang harus segera diselesaikan dan tidak
dapat dihindari pekerja harus bekerja melebihi waktu kerja. Pengusaha yang
82
Zaeni Asyhadie,SH.,M.Hum, Op.Cit, hlm. 89-90
83
Undang-undang No.13 Tahun 2003, Op.Cit, pasal 77 ayat (2)
84
Zaeni Asyhadie,SH.,M.Hum, Op.Cit, hlm. 90
85
mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja harus memenuhi beberapa syarat,
yaitu :86
1. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan;
2. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak tiga jam dalam
satu hari dan empat belas jam dalam satu minggu.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh untuk kerja lembur wajib
membayar upah kerja lembur sesuai dengan ketentuan yang berlaku.87
Secara yuridis, waktu istirahat (cuti) bagi pekerja ada empat macam, yaitu
istirahat (cuti) mingguan, istirahat (cuti) tahunan, istirahat (cuti) panjang, serta
istirahat (cuti) hamil / bersalin dan haid bagi pekerja perempuan, yaitu :88
a. Istirahat (cuti) mingguan. Istirahat mingguan ditetapkan satu hari untuk
enam hari kerja dalam satu minggu, atau dua hari untuk lima hari kerja
dalam satu minggu.
b. Istirahat (cuti) tahunan. Sekurang-kurangnya dua belas hari kerja setelah
pekerja yang bersangkutan bekerja selama dua belas bulan secara terus
menerus.
Istirahat (cuti) tahunan ini harus dimohonkan kepada pengusaha, artinya
harus ada persetujuan pengusaha. Meskipun cuti tahunan ini adalah hak pekerja,
ketentuan permohonan ini dilakukan untuk melihat apakah pekerjaan sedang
menumpuk atau tidak. Apabila sedang menumpuk maka pengusaha berhak
menangguhkan permohonan cuti pekerja.89
86
Ibid, pasal 78 ayat (1)
87
Ibid, pasal 78 ayat (2)
88
Ibid, pasal 79 ayat (2) huruf b, c, d
89
c. Istirahat (cuti) panjang. Cuti panjang ini dilakukan sekurang-kurangnya
dua bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan
masing-masing satu bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun
berturut-turut pada perusahaan yang sama, dengan ketentuan pekerja
tersebut tidak berhak lagi untuk istirahat (cuti) tahunan dalam dua tahun
berjalan.90
Selama pekerja cuti tahunan, pekerja diberikan uang kompensasi hak
istirahat tahunan kedelapan ½ (setengah) bulan gaji. Bagi perusahaan yang
membuat ketentuan tentang cuti tahunan sendiri yang dianggap lebih baik,
perusahaan tersebut tidak diperkenankan merubah ketentuan UU No. 13 Tahun
2003.91
Pengusaha juga diwajibkan untuk memberikan kesempatan secukupnya
kepada pekerja untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan agama.92
d. Istirahat (Cuti) haid, hamil/bersalin. Bagi pekerja wanita yang merasa sakit
sewaktu mengalami ‘haid’ haru membertitahukan kepada pengusaha, dan
tidak wajib bekerja untuk hari pertama dan kedua di masa haidnya
tersebut.93
Pekerja wanita berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan
sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan setelah
melahirkan menurut perhitungan dokter atau bidan.94
90
Undang-Undang No.13 Tahun 2003, Op.Cit, pasal 79 ayat (1) huruf d
91
Zaeni Asyhadie, Ibid
92
Undang-Undang No.13 Tahun 2003, Op.Cit, pasal 80
93
Ibid, pasal 81 ayat (1)
94Ibid,
Bagi pekerja wanita yang mengalami keguguran kandungan berhak untuk
istirahat 1,5 (satu setengah) bulan sesuai dengan surat keterangan dokter
kandungan atau bidan.95
Selama menjalankan istirahat/cuti pekerja tetap berhak menerima upah
atau gaji penuh.96
Pasal 85 Undang-undang No.13 tahun 2003 menentukan beberapa hal lain
yang berkaitan dengan cuti/libur :
1. pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi
2. pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada
hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan harus dilaksanakan tau
dijalankan secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan
kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
3. pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan
pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud wajib membayar upah kerja
lembur.
4. ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
b. Pengenalan Bahaya Di Lingkungan Kerja
Bahaya di lingkungan kerja dapat didefinisikan sebagai segala kondisi
yang dapat memberi pengaruh yang merugikan terhadap kesehatan atau
95
Ibid, pasal 82 ayat (2)
96Ibid,
kesejahteraan orang yang bekerja. Faktor bahaya di lingkungan kerja meliputi
faktor Kimia, Biologi, Fisika, Fisiologi dan Psikologi.97
Bahaya Kimia. Jalan masuk bahan kimia ke dalam tubuh: Pernapasan ( inhalation ), Kulit (skin absorption ), Tertelan ( ingestion ). Racun dapat menyebabkan efek
yang bersifat akut,kronis atau kedua-duanya.
Korosi. Bahan kimia yang bersifat korosif menyebabkan kerusakan pada permukaan tempat dimana terjadi kontak. Kulit, mata dan sistem pencernaan
adalah bagain tubuh yang paling umum terkena. Contoh : konsentrat asam dan
basa , fosfor.
Iritasi. Iritasi menyebabkan peradangan pada permukaan di tempat kontak. Iritasi kulit bisa menyebabkan reaksi seperti eksim atau dermatitis. Iritasi pada alat-alat
pernapasan yang hebat dapat menyebabkan sesak napas, peradangan dan oedema (
bengkak ). Contoh :
o Kulit : asam, basa,pelarut, minyak .
o Pernapasan : aldehydes, alkaline dusts, amonia, nitrogen dioxide,
phosgene, chlorine ,bromine, ozone.
Reaksi Alergi. Bahan kimia alergen atau sensitizers dapat menyebabkan reaksi alergi pada kulit atau organ pernapasan. Contoh :
97
o Kulit : colophony ( rosin), formaldehyde, logam seperti chromium atau
nickel, epoxy hardeners, turpentine.
o Pernapasan : isocyanates, fibre-reactive dyes, formaldehyde, nickel.
Asfiksiasi. Asfiksian yang sederhana adalah inert gas yang mengencerkan atmosfer yang ada, misalnya pada kapal, silo, atau tambang bawah tanah.
Konsentrasi oksigen pada udara normal tidak boleh kurang dari 19,5% volume
udara. Asfiksian kimia mencegah transport oksigen dan oksigenasi normal pada
darah atau mencegah oksigenasi normal pada kulit. Contoh :
o Asfiksian sederhana : methane, ethane, hydrogen, helium
o Asfiksian kimia : carbon monoxide, nitrobenzene, hydrogen cyanide,
hidrogen sulphide
Kanker. Karsinogen pada manusia adalah bahan kimia yang secara jelas telah terbukti pada manusia. Kemungkinan karsinogen pada manusia adalah bahan
kimia yang secara jelas sudah terbukti menyebabkan kanker pada hewan . Contoh:
o Terbukti karsinogen pada manusia : benzene ( leukaemia); vinylchloride
( liver angiosarcoma); 2-naphthylamine, benzidine (kanker kandung
kemih ); asbestos (kanker paru-paru , mesothelioma);
o Kemungkinan karsinogen pada manusia : formaldehyde, carbon
tetrachloride, dichromates, beryllium
yang dapat memberikan pengaruh negatif pada keturunan orang yang terpapar,
sebagai contoh aborsi spontan. Contoh :
o Manganese, carbondisulphide, monomethyl dan ethyl ethers dari
ethylene glycol, mercury. Organic mercury compounds,
carbonmonoxide, lead, thalidomide, pelarut.
Racun Sistemik. Racun sistemik adalah agen-agen yang menyebabkan luka pada organ atau sistem tubuh. Contoh :
o Otak : pelarut, lead,mercury, manganese
o Sistem syaraf peripheral : n-hexane,lead,arsenic,carbon disulphide
o Sistem pembentukan darah : benzene,ethylene glycol ethers
o Ginjal : cadmium,lead,mercury,chlorinated hydrocarbons
o Paru-paru : silica,asbestos, debu batubara ( pneumoconiosis )
Bahaya Biologi
Bahaya biologi dapat didefinisikan sebagai debu organik yang berasal dari
sumber-sumber biologi yang berbeda seperti virus, bakteri, jamur, protein dari
binatang atau bahan-bahan dari tumbuhan seperti produk serat alam yang
terdegradasi. Bahaya biologi dapat dibagi menjadi dua yaitu yang menyebabkan
infeksi dan non-infeksi. Bahaya dari yang bersifat non infeksi dapat dibagi lagi
menjadi organisme viable, racun biogenik dan alergi biogenik.
Penyakit akibat kerja karena infeksi relatif tidak umum dijumpai. Pekerja
yang potensial mengalaminya a.l.: pekerja di rumah sakit, laboratorium,
jurumasak, penjaga binatang, dokter hewan dll. Contoh : Hepatitis B, tuberculosis,
anthrax, brucella, tetanus, salmonella, chlamydia, psittaci
Organisme viable dan racun biogenic.
Organisme viable termasukdi dalamnya jamur, spora dan mycotoxins;
Racun biogenik termasuk endotoxins, aflatoxin dan bakteri. Perkembangan
produk bakterial dan jamur dipengaruhi oleh suhu, kelembapan dan media dimana
mereka tumbuh. Pekerja yang beresiko: pekerja pada silo bahan pangan, pekerja
pada sewage & sludge treatment, dll. Contoh : Byssinosis, “grain
fever”,Legionnaire’s disease
Alergi Biogenik
Termasuk didalamnya adalah: jamur, animal-derived protein, enzim.
Bahan alergen dari pertanian berasal dari protein pada kulit binatang, rambut dari
bulu dan protein dari urine dan feaces binatang. Bahan-bahan alergen pada
industri berasal dari proses fermentasi, pembuatan obat, bakery, kertas, proses
pengolahan kayu , juga dijumpai di bioteknologi ( enzim, vaksin dan kultur
jaringan). Pada orang yang sensitif, pemajanan alergen dapat menimbulkan gejala
alergi seperti rinitis, conjunctivitis atau asma. Contoh : Occupational asthma :
wool, bulu, butir gandum, tepung bawang dsb.
Kebisingan
Kebisingan dapat diartikan sebagai segala bunyi yang tidak dikehendaki
yang dapat memberi pengaruh negatif terhadap kesehatan dan kesejahteraan
seseorang maupun suatu populasi. Aspek yang berkaitan dengan kebisingan antara
lain : jumlah energi bunyi, distribusi frekuensi, dan lama pajanan. Kebisingan
dapat menghasilkan efek akut seperti masalah komunikasi, turunnya konsentrasi,
yang pada akhirnya mengganggu job performance tenaga kerja. Pajanan
kebisingan yang tinggi (biasanya >85 dBA) pada jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan tuli yang bersifat sementara maupun kronis. Tuli permanen adalah
penyakit akibat kerja yang paling banyak di klaim . Contoh : Pengolahan kayu,
tekstil, metal, dll.
Getaran
Getaran mempunyai parameter yang hampir sama dengan bising seperti:
frekuensi, amplitudo, lama pajanan dan apakah sifat getaran terus menerus atau
intermitten. Metode kerja dan ketrampilan memegang peranan penting dalam
memberikan efek yang berbahaya. Pekerjaan manual menggunakan “powered
tool” berasosiasi dengan gejala gangguan peredaran darah yang dikenal sebagai ”
Raynaud’s phenomenon ” atau ” vibration-induced white fingers”(VWF).
Peralatan yang menimbulkan getaran juga dapat memberi efek negatif pada sistem
saraf dan sistem musculo-skeletal dengan mengurangi kekuatan cengkram dan
sakit tulang belakang. Contoh : Loaders, forklift truck, pneumatic tools, chain
Radiasi Non Mengion
• Radiasi non mengion antara lain : radiasi ultraviolet, visible radiation,
inframerah, laser, medan elektromagnetik (microwave dan frekuensi radio)
.
• Radiasi infra merah dapat menyebabkan katarak.
• Laser berkekuatan besar dapat merusak mata dan kulit.
• Medan elektromagnetik tingkat rendah dapat menyebabkan kanker.
• Contoh :
o Radiasi ultraviolet : pengelasan.
o Radiasi Inframerah : furnacesn/ tungku pembakaran
o Laser : komunikasi, pembedahan .
Pencahayaan ( Illuminasi )
• Tujuan pencahayaan :
o Memberi kenyamanan dan efisiensi dalam melaksanakan pekerjaan
o Memberi lingkungan kerja yang aman
• Efek pencahayaan yang buruk: mata tidak nyaman, mata lelah, sakit
kepala, berkurangnya kemampuan melihat, dan menyebabkan kecelakaan.
• Keuntungan pencahayaan yang baik : meningkatkan semangat kerja,
produktivitas, mengurangi kesalahan, meningkatkan housekeeping,
kenyamanan lingkungan kerja, mengurangi kecelakaan kerja.
Bahaya Psikologi
• Stress adalah tanggapan tubuh (respon) yang sifatnya non-spesifik
terhadap setiap tuntutan atasnya. Manakala tuntutan terhadap tubuh itu
berlebihan, maka hal ini dinamakan stress.
• Gangguan emosional yang di timbulkan : cemas, gelisah, gangguan
kepribadian, penyimpangan seksual, ketagihan alkohol dan psikotropika.
• Penyakit-penyakit psikosomatis antara lain : jantung koroner, tekanan
darah tinggi, gangguan pencernaan, luka usus besar, gangguan pernapasan,
asma bronkial, penyakit kulit seperti eksim,dll.
Bahaya Fisiologi
Pembebanan Kerja Fisik. Beban kerja fisik bagi pekerja kasar perlu memperhatikan kondisi iklim, sosial ekonomi dan derajat kesehatan. Pembebanan
tidak melebihi 30 – 40% dari kemampuan kerja maksimum tenaga kerja dalam
jangka waktu 8 jam sehari. Berdasarkan hasil beberapa observasi, beban untuk
tenaga Indonesia adalah 40 kg. Bila mengangkat dan mengangkut dikerjakan lebih
dari sekali maka beban maksimum tersebut harus disesuaikan. Oleh karena
penetapan kemampuan kerja maksimum sangat sulit, parameter praktis yang
digunakan adalah pengukuran denyut nadi yang diusahakan tidak melebihi 30-40
permenit di atas denyut nadi sebelum bekerja.
Daftar penyakit akibat kerja dapat dilihat pada Lampiran I
c. Evaluasi Lingkungan Kerja Dengan Pengukuran
Evaluasi lingkungan dilakukan kepada factor-faktor fisik, kimia, dan
factor-faktor penyebab sakit yang bersifat bahan-bahan kimia dapat dilakukan dengan
berbagai cara, yaitu :98
1. subyektif oleh indera manusia, indera manusia kadang-kadang dapat
dipakai untuk evaluasi kadar bahan-bahan di lingkungan kerja. Pada jenis
zat-zat tertentu manusia dapat mencium, melihat dan merasa kadar zat
menurut pengalaman. Dalam beberapa hal, apabila indera manusia telah
dapat mengenal adanya suatu zat diudara yang masih ajuh dari nilai
ambang batas maka indera manusia digunakan untuk pencegahan agar
manusia terhindar dari factor-faktor kimia dalam lingkungan kerja.
2. dengan menggunakan hewan-hewan, hewan-hewan yang sering digunakan
untik menilai bahan-bahan kimia di udara adalah burung kenari, tikus,
kelinci, kera dan lain-lain.
3. dengan memakai alat-alat detector, indicator dan detector yang biasanya
khusus untuk gas dan uap. Indicator-indikator yang sederhana didasarkan
atas perubahan warna sebagai akibat reaksi kimia. Detector adalah alat
khusus yang dibuat untuk menentukan bahan-bahan di udara secara
kwalitatif maupun kwantitatif.
4. pengambilan sample dan pemeriksaan laboratorium, dilakukan dengan 4
cara. Pertama absorbsi kepada bahan padat. Kedua dengan melalui udara
pada cairan yang mampu mengikat bahan-bahan itu di udara. Ketiga
kondensasi yaitu dengan menurunkan suhu udara yang mengandung uap,
sehingga uapnya mengebun. Keempat dengan membakar bahan-bahan di
98
udara pada kawat pijar dengan katalisator tertentu, yang hasilnya
ditampung oleh air atau larutan.
d. Pencegahan Gangguan Kesehatan dan Daya Kerja
Perlindungan kesehatan kerja meliputi pengaturan tentang pencegahan
gangguan-gangguan kesehatan dan daya kerja. Cara-cara mencegah gangguan
tersebut adalah :99
1. Substitusi, yaitu mengganti bahan yang lebih bahaya dengan bahan yang
krang bahaya atau tidak berbahaya sama sekali.
2. Ventilasi umum, yaitu mengalirkan udara sebanyak menurut perhitungan
kedalam ruang kerja, agar kadar dari bahan-bahan yang berbahaya oleh
pemasukan udara ini lebih rendah dari pada kadar yang membahayakan,
yaitu kadar Nilai Ambang Batas (NAB).
3. Ventilasi keluar setempat (local exhausters), ialah alat menghisap udara di
suatu tempat kerja tertentu, agar bahan-bahan yang membahayakan dapat
dihisap dan dialirkan keluar.
4. Isolasi, mengisolasi operasi atau proses dalam perusahaan yang
membahayakan.
5. Pakaian pelindung, misalnya masker, kacamata, sarung tangan, sepatu,
topi, dan lain-lain.
6. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pemeriksaan kesehatan pada calon
pekerja untuk mengetahui keserasian antara pekerja dengan pekerjaan
yang akan dijalaninya.
99
7. Pemeriksaan kesehatan berkala, untuk evaluasi apakah penyebab dari
gangguan kesehatan yang dialami pekerja.
8. Penerangan sebelum kerja, agar pekerja mengetahui dan mentaati
peraturan-peraturan, dan pekerja menjadi lebih berhati-hati.
9. Pendidikan tentang kesehatan dan keselamatan kepada pekerja secara
kontiniu, maksudnya pekerja tetap waspada dalam menjalankan pekerjaan.
4. Tanggung Jawab Perusahaan Berdasarkan Peraturan Perundangan
Materi Undang-undang No.1 Tahun 1970 lebih dominan berisi mengenai
hak dan atau kewajiban tenaga kerja dan pengusaha/pengurus dalam pelaksanaan
K3, dan kewajiban pengusaha/pengurus adalah :
Pasal 3 ayat 1 : Melaksanakan syarat-syarat keselamatan untuk :
a. Mencegah dan mengurangi kecelakaan
b. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran. Peraturan
pelaksananya Kepmenaker RI No. Kep.186/Men/1999 tentang Unit
Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja
c. Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan
d. Memberikan kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu
kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya
e. Memberikan pertolongan pada kecelakaan
f. Memberikan alat-alat perlindungan diri pada para pekerja. Peraturan
pelaksananya Instruksi Menteri Tenaga Kerja No.Ins.2/M/BW/BK/1984
tentang Pengesahan Alat Pelindung Diri. Instruksi Menteri Tenaga Kerja
RI No.Ins.05/M/BW/97 tentang Pengawasan Alat Pelindung Diri. Surat
Pelindung Diri. Dan Surat Edaran Menteri Dirjen Binawas
No.SE.06/BW/1997 tentang Pendaftaran Alat Pelindung Diri.
g. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebarluasnya suhu,
kelembaban, debu, kotoran, asap, gas, dan hembusan
h. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik
maupun psikis, peracunan, infeksi dan penularan
i. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai. Peraturan pelaksananya
diatur dalam Peraturan Menteri Perburuhan No.7 Tahun 1964 tentang
Syarat Kebersihan Serta Penerangan Dalam Tempat Kerja.
j. Menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang cukup
k. Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup
l. Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban
m. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, lingkungan, cara dan proses
kerjanya
n. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan
penyimpanan barang
o. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan
p. Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya
q. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang
bahaya kecelakaan menjadi bertambah tinggi
Pasal 8
Ayat 1 : Pengurus diwajibkan memeriksa kesehatan badan, kondisi mental, dan
kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan
Peraturan pelaksananya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi
Nomor Per-02/Men/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja Dalam
Penyelenggaraan Keselamatan Kerja.
Ayat 2 : Pengurus diwajibkan memeriksa semua tenaga kerja yang berada di
bawah pimpinannya, secara berkala pada dokter yang ditunjuk oleh pengusaha
dan dibenarkan oleh direktur. Peraturan pelaksananya Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor Per-03/Men/1982 tentang Pelayanan Kesehatan
Kerja. Selain itu ada juga Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
Per-01/Men/1998 tentang Penyelenggaraan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Tenaga
Kerja Dengan Manfaat Lebih Baik Dari Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Dasar Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Pasal 9
Ayat 1 : Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga
kerja baru tentang :
a. Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta yang dapat timbul dalam tempat
kerja
b. Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam
tempat kerja
c. Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan
d. Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya
Ayat 2 : Pengurus hanya dapat mempekerjakan tenaga kerja yang bersangkutan
setelah ia yakin bahwa tenaga kerja tersebut telah memahami syarat-syarat
Ayat 3 : Pengurus diwajibkan menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga
kerja yang berada di bawah pimpinannya, dalam pencegahan kecelakaan dan
pemberantasan kebakaran serta peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja,
pula dalam pemberian pertolongan pertama pada kecelakaan.
Ayat 4 : Pengurus diwajibkan memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi usaha dan tempat kerja yang dijalankan.
Pasal 10 ayat 1 : Menteri Tenaga Kerja berwenang membentuk Panitia Pembina
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) guna mengembangkan kerjasama,
saling pengertian dan partisipasi efektif dari pengusaha atau pengurus dan tenaga
kerja dalam tempat-tempat kerja untuk melaksanakan tugas kewajiban bersama di
bidang K3, dalam rangka melancarkan usaha berproduksi. Peraturan pelaksananya
adalah Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-125/MEN/82 tentang Dewan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Wilayah dan Panitia Pembina Keselamatan dan
Kesehatan Kerja, yang disempurnakan dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
No. KEP-155/MEN/84. Dan juga Keputusan Menteri Tenaga Kerja
No.KEP-04/MEN/87 tentang Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta Tata
Cara Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja.
Pasal 11 ayat 1 : Pengurus diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi
dalam tempat kerja yang dipimpinnya pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
Tenaga Kerja. Peraturan pelaksananya Permenaker RI No. Per.03/Men/1998
tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan. Permenaker RI No.
Per.04/Men/1993 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja.
a. Secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua
syarat-syarat keselamatan kerja yang diwajibkan, sehelai undang-undang
ini dan semua peraturan pelaksananya yang berlaku bagi tempat kerja yang
bersangkutan, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca dan
menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli kselamatan kerja.
b. Memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya semua gambar
keselamatan kerja yang diwajibkan dan semua bahan pembinaan lainnya,
pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca menurut petunjuk
pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.
c. Menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang
diwajibkan pada tenaga kerja berada di bawah pimpinannya dan
menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut,
disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk
pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja.
Peraturan pelaksana dari ketentuan pasal-pasal UU RI No.1 Tahun 1970
(pasal 15 ayat 1 UU RI No.1 Tahun 1970). UU RI No.1 Tahun 1970 masih
bersifat umum (lex generalist), peraturan pelaksananya dijabarkan secara teknis
dan rinci dalam bentuk PP, Keppres, Permenaker, Kepmenaker, SE Menaker dan
Kepdirjen Binwasnaker Depnakertrans RI.
Pelanggaran terhadap peraturan pelaksana UU No.1 Tahun 1970
(peraturan perundangan K3) dapat memberikan ancaman pidana dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah) sebagaimana ditetapkan pada pasal 15 ayat 2
pengusaha yang melanggar UU No.1 Tahun 1970 (termasuk peraturan
pelaksananya) dilihat dari masa hukuman kurungan begitu singkat dan denda uang
yang dikenakan terlalu sedikit mengingat dimungkinkan banyak tenaga kerja pada
satu tempat kerja (perusahaan) yang mengalami cidera berat bahkan kematian
serta menderita penyakit akibat kerja.
Tidak adil apabila masalah K3 ini hanya dilimpahkan kepada perusahaan /
pengusaha saja. Karena masalah K3 juga merupakan tanggung jawab pekerja
sebagai objek dari K3 ini. Untuk itu pekerja juga memiliki hak dan kewajiban
terkait dengan K3 ini yaitu :
a. Memberikan keterangan apabila diminta oleh Pegawai Pengawas / Ahli K3
b. Memakai alat-alat pelindung diri
c. Mentaati syarat-syarat K3 yang diwajibkan
d. Meminta pengurus untuk melaksanakan syarat-syarat K3 yang diwajibkan
e. Menyatakan keberatan terhadap pekerjaan dimana syarat-syarat K3 dan
alat-alat pelindung diri tidak menjamin keselamatannya
5. Sistem Pengawasan Ketenagakerjaan Terhadap Pelaksanaan K3
Adapun yang menjadi latar belakang pengawasan pelaksanaan K3 :100
100
• Setiap tenaga kerja selalu berhadapan dengan potensi bahaya terjadinya
kecelakaan dan penyakit akibat kerja sesuai dengan jenis atau karakteristik
perusahaan tempatnya bekerja.
• Kasus kecelakaan dan penyakit akibat kerja akan memberikan dampak
yang sangat merugikan bagi tenaga kerja, perusahaan dan masyarakat pada
umumnya.
• Kasus kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dicegah melalui
pengawasan ketenagakerjaan di bidang K3 umumnya dan kesehatan kerja
khususnya.
Pengawasan ketenagakerjaan merupa kan unsur penting dalam
perlindungan tenaga kerja, sekaligus sebagai uapaya penegakan hukum
ketenagakerjaan secara menyeluruh. Penegakan hukum ditempuh dalam 2 (dua)
cara, yaitu preventif dan represif. Pada dasarnya kedua cara itu ditempuh sangat
bergantung dari tingkat kepatuhan masyarakat (pengusaha , pekerja, serikat
pekerja) terhadap ketentuan hukum ketenagakerjaan. Tindakan preventif
dilakukan jika memungkinkan dan masih adanya kesadaran masyarakat untuk
mematuhi hukum. Namun, bila tindakan preventif tidak efektif lagi, maka
ditempuh tindakan represif dengan maksud agar masyarakat mau melaksankan
hukum walaupun dengan keterpaksaan.101
Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan untuk menjamin pelaksanaan
peraturan ketenagakerjaan (pasal 176 Undang-undang No.13 Tahun 2003).
Dengan demikian, sasaran pengawasan ketenagakerjaan ialah meniadakan atau
101
memperkecil adanya pelanggaran Undang-undang Ketenagakerjaan, sehingga
proses hubungan industrial dapat berjalan dengan baik dan harmonis.102
Yang bertugas mengawasi atas ditaatinya atau tidak peraturan
perundangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja ini adalah :103
1. Pegawai pengawas keselamatan dan kesehatan kerja yaitu pegawai teknis
berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh
Menteri Tenaga Kerja.
2. Ahli keselamatan dan kesehatan kerja yaitu tenaga teknis berkeahlian
khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri
Tenaga Kerja.
Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah
unit organisasi pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja sesuai dengan
ketentuan pasal 10 Undang-undang No.14 Tahun 1969 dan pasal 5 ayat (a)
Undang-undang No.1 Tahun 1970. Secara operasional dilakukan oleh Pegawai
Pengawas Ketenagakerjaan yang berfungsi untuk :104
1. Mengawasi dan memberi penerangan pelaksanaan ketentuan hukum
mengenai keselamatan dan kesehatan kerja.
2. Memberikan penerangan teknis serta nasehat kepada pengusaha dan
tenaga kerja tentang hal-hl yang dapat menjamin pelaksanaan secara
efektif dari peraturan-peraturan yang ada.
Dalam melaksanakan tugasnya pegawai pengawas berhak dan wajib
melakukan :105
102
Ibid
103
Lalu Husni,SH.,M.Hum, Op.Cit, hlm. 139
104
Departemen Tenaga Kerja, Op.Cit, BAB III hlm.33
105
1. Memasuki semua tempat dimana dijalankan atau biasa dijalankan
pekerjaan atau dapat disangka bahwa disitu dijalankan pekerjaan dan juga
segala rumah yang disewakan atau dipergunakan oleh pengusaha atau
wakilnya untuk perumahan atau perawatan pekerja.
2. Jika terjadi penolakan untuk memasuki tempat-tempat tersebut, petugas
pengawas berhak meminta bantuan Polri.
3. Mendapatkan keterangan sejelas-jelasnya dari pengusaha atau wakilnya
dan pekerja mengenai kondisi hubungan kerja pada perusahaan yang
bersangkutan.
4. Menanyai pekerja tanpa dihadiri pihak ketiga.
5. Harus melakukan koordinasi dengan serikat pekerja.
6. Wajib merahasiakan segala keterangan yang di dapat dari pemeriksaan
tersebut.
7. wajib mengusut pelanggaran.
Pasal 181 Undang-undang No.13 Tahun 2003 mengaskan bahwa
pengawas wajib : pertama merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya
patut dirahasiakan. Kedua tidak menyalahgunakan kewenangannya.106
Yang berhak melakukan pemeriksaan kesehatan pekerja adalah dokter
yang ditunjuk oleh pimpinan tempat perusahaan / kerja dan yang disetujui oleh
Departemen Tenaga Kerja. Pelaksanaan pengawasan kesehatan kerja ditujukan
kepada :107
1. Tempat Kerja, yaitu :
a. Kebersihan dan perawatannya
106
Ibid
107
b. Kondisi lingkungan kerja
2. Proses kerja yaitu perlu diteliti bagaimana proses kerjanya dimulai dari
gudang bahan baku, persiapan pengolahan pengepakan sampai
pendistribusian.
3. Tenaga Kerja / Pekerja, yaitu yang perlu diperhatikan :
b. Alat pelindung diri
c. Sikap kerjanya
d. Jenis kelamin
e. Usia
f. Baban kerja
g. Gizi tenaga kerja
4. Pelayanan kesehatan kerja
5. Fasilitas kesehatan
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, aturan-aturan kesehatan ini
bersifat memaksa. Dan pihak perusahaanlah yang pada umumnya diwajibkan
melaksanakan aturan kesehatan kerja dan bertanggung jawab atas pelaksanaannya.
Walaupun demikian, pihak perusahaan masih diberi kesempatan untuk
mengadakan penyimpangan dalam aturan kesehatan kerja ini, misalnya :108
1. Perusahaan dapat melakukan penyimpangan dalam hal waktu kerja.
Larangan melakukan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan lebih dari 40
jam seminggu, dapat dikesampingkan apabila berkaitan dengan
pembangunan Negara.
108
2. Perusahaan dapat mengenyampingkan aturan waktu istirahat dan ketentuan
hari libur serta larangan bekerja lebih dari 7 jam sehari, 40 jam seminggu
apabila dalam waktu tersebut terdapat pekerjaan yang harus segera
diselesaikan.
Untuk mengadakan penyimpangan ini pihak perusahaan harus mendapat
ijin terlebih dahulu dari Pengawasan Perburuhan. Pemberian ijin ini disebut
pengawasan preventif. Pengawasan represif dilakukan oleh pegawai pengawasan
perburuhan dengan cara mengunjungi tempat kerja pada pada waktu tertentu.
Dengan mengunjungi tempat kerja, pegawai pengawas mepunyai tugas :109
1. Melihat dengan jalan memeriksa dan menyelidiki sendiri ketentuan
peraturan perundangan dijalankan oleh perusahaan dan jika tidak, pegawai
pengawas dapat mengambil tindakan yang wajar demi menjamin
pelaksanaannya.
2. Membantu baik pihak pekerja maupun pengusaha atau pimpinan
perusahaan dengan jalan memberi penjelasan teknis dan nasehat yang
mereka perlukan agar mereka memahami apa dan bagaimana pelaksanaan
peraturan perundangannya.
3. Menyelidiki keadaan perburuhan dan mengumpulkan data yang
diperlukan untuk menyusun perundang-undangan perburuhan dan
penetapan kebijakan pemerintah.
Pengawasan ketenagakerjaan terhadap pelakasanaan K3 tidak akan efektif
apabila tidak dibarengi dengan sanksi-sanksi bagi pelanggarnya. Sayangnya
Undang-undang Ketenagakerjaan tidak ada mengatur tentang ketentuan pidana
109Ibid
terhadap pelanggaran pelaksanaan K3. Tetapi terdapat ketentuan sanksi
administratif : 110 a. Teguran
b. Peringatan tertulis
c. Pembatasan kegiatan usaha
d. Pembekuan kegiatan usaha
e. Pembatalan persetujuan
f. Pembatalan pendaftaran
g. Penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi
h. Pencabutan izin
Ketentuan sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran pelaksanaan K3
tidak hanya diatur dalam undng-undang Ketenagakerjaan tetapi juga diatur dalam
undang-undang Keselamatan Kerja pasal 15 ayat (2) :
“peraturan perundangan tersebut pada ayat (1) dapat memberikan ancaman
pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan
selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.100.000,- (seratur
ribu rupiah).”
B. Sistem Menajemen K3 Berdasarkan Permenaker No.5 Tahun 1996
Sistem Manajemen K3 di lingkungan kerja adalah bagian dari sistem
manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan,
tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumberdaya yang dibutuhkan
bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan
kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko
110
yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman,
efisien dan produktif.111
Pendekatan manajemen secara professional tidak akan efektif apabila tidak
memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :112
1. Manajer harus memperhatikan adanya alat pelindung (safety) dan
kesehatan (health). Beberapa problem seperti ini 85% dapat dikontrol oleh
pihak manajemen.
2. Manajer berpengaruh terhadap peluang perusahaan untuk mendapatkan
keuntungan. Menekan kerugian dapat meningkatkan keuntungan.
3. Manajemen control kerugian akan menguntungkan seluruh strategi
operasional manajemen.
Tujuan dan sasaran Sistem Manajemen K3 adalah menciptakan suatu
sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur
manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam
rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta
terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif. 113 Tujuan lainnya yaitu :114
8. Menempatkan tenaga kerja sesuai dengan harkat dan martabatnya
sebagai manusia (pasal 27 ayat 2 ) UUD 1945.
111
Permenaker No.PER-05/MEN/1996, tentang Sistem Manajemen Kselamatan dan Kesehatan Kerja, pasal 1 ayat (1)
112
Dr.Gempur Santoso,Drs.,M.Kes, Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja,
(Jakarta : Prestasi Pustaka), 2004, hlm.16
113
Permenaker No.PER-05/MEN1996, Op.Cit, pasal 2
114