• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Karakter Morfologi Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) Generasi M2 Hasil Induksi Mutasi Sinar Gamma di Cicurug Dan Cibadak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Karakter Morfologi Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) Generasi M2 Hasil Induksi Mutasi Sinar Gamma di Cicurug Dan Cibadak"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

MUTASI SINAR GAMMA DI CICURUG DAN CIBADAK

Oleh Sri Wahyuni

A34404060

PROGRAM STUDI

PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

MUTASI SINAR GAMMA DI CICURUG DAN CIBADAK

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh Sri Wahyuni

A34404060

PROGRAM STUDI

PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

RINGKASAN

SRI WAHYUNI. Evaluasi Karakter Morfologi Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) Generasi M2 Hasil Induksi Mutasi Sinar Gamma di Cicurug Dan Cibadak. Dibimbing oleh YUDIWANTI WAHYU E. KUSUMO.

Percobaan ini dilakukan untuk mengevaluasi karakter morfologi purwoceng

(Pimpinella pruatjan Molk.) generasi M2 di Kebun Percobaan Balittro Cicurug (550 m

dpl) dan di Kebun Percobaan BB Biogen Cibadak (950 m dpl) pada bulan Maret 2008

sampai Maret 2009. Purwoceng merupakan tanaman obat langka bernilai ekonomi tinggi

asli Indonesia yang ditemukan di dataran tinggi Dieng (1.800 m dpl). Iradiasi sinar

gamma pada benih purwoceng untuk mendapatkan genotipe toleran dataran rendah telah

dilakukan dengan dosis iradiasi 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 krad. Benih purwoceng generasi M1

yang berhasil berkecambah dan diamati pada percobaan ini di lokasi Cicurug adalah

benih tanaman kontrol, 3 krad, dan 5 krad, sedangkan di lokasi Cibadak adalah benih

tanaman kontrol, 1 krad, 3 krad, dan 5 krad (jumlah keseluruhan 292 tanaman). Bahan

lain yang digunakan adalah media tanam campuran tanah setempat : pupuk kandang

(1:1), polibag berdiameter 10 cm, polibag atau pot berdiameter 30 cm, dan paranet.

Percobaan menggunakan alat pertanian dan alat ukur panjang secara umum, serta

perlengkapan TLC scanner untuk analisis kadar metabolit sekunder yang dilakukan di

Balittro. Analisis kadar saponin dan fitosterol dilakukan secara terpisah antara akar

dengan batang dan daun terhadap sampel tunggal purwoceng generasi M1 semua dosis

iradiasi dari lokasi Cibadak dan Cicurug, serta dari lokasi Tawang Mangu dan Dieng

(umur 6 bulan). Uji-t rata-rata hasil pengamatan dilakukan antar pasangan populasi.

Tidak terdapat perbedaan keragaan akibat iradiasi sinar gamma pada karakter

kualitatif (bentuk dan warna daun serta tangkai daun, dan tipe kanopi) maupun kuantitatif

(jumlah dan panjang tangkai daun, diameter kanopi, dan jumlah anakan) antar purwoceng

generasi M2 asal benih dengan dosis iradiasi 3 dan 5 krad di lokasi Cicurug serta dosis

iradiasi 1, 3, dan 5 krad di lokasi Cibadak, juga pada perbandingan karakter kuantitatif

purwoceng generasi M2 di lokasi Cicurug dan Cibadak pada umur 0, 4, dan 8 MSP.

Pertumbuhan vegetatif yang cukup baik tetapi sulit berbunga menunjukkan bahwa

purwoceng generasi M2 belum dapat beradaptasi jika ditanam sejak awal di dataran lebih

rendah. Hasil analisis terhadap sampel tunggal purwoceng generasi M1 menunjukkan

bahwa metabolit sekunder pendukung khasiat obat purwoceng terkandung dalam

tanaman yang dipindahkan ke lokasi Cibadak dan Cicurug, serta menunjukkan bahwa

kadar metabolit sekunder antara akar dengan batang dan daun purwoceng tidak berbeda

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : EVALUASI KARAKTER MORFOLOGI PURWOCENG

(Pimpinella pruatjan Molk.) GENERASI M2 HASIL INDUKSI MUTASI SINAR GAMMA DI CICURUG DAN CIBADAK

Nama : Sri Wahyuni

NRP : A34404060

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Dr Ir Yudiwanti Wahyu E. Kusumo, MS NIP. 19631107 198811 2 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr Ir Didy Sopandie, M.Agr NIP 19571222 198203 1 002

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di rumah sakit PT Caltex Pacific Indonesia distrik

Rumbai, provinsi Riau pada tanggal 21 Agustus 1986. Penulis adalah anak keempat

dari enam bersaudara dari Bapak (alm.) Abdurrahman dan Ibu Nur Asma.

Tahun 1998 penulis lulus dari SD Cendana Duri, Riau. Tahun 2001

penulis lulus dari SLTP Cendana Duri. Selanjutnya pada tahun 2004 penulis

menyelesaikan studi di SMU Cendana Duri. Tahun 2004 penulis diterima di IPB

melalui jalur SPMB sebagai mahasiswa Program Studi Pemuliaan Tanaman dan

Teknologi Benih, Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian.

Selama menempuh studi di IPB, penulis aktif dalam kepengurusan LDK

DKM Al-Hurriyyah sebagai anggota (2005), staf PSDM (2006-2007), dan staf

Personalia (2008). Penulis juga aktif sebagai pengurus DKM Al-Fallah FKRD-A

(2006) dan staf Keputrian FKRD-A (2007). Penulis juga berpartisipasi pada

beberapa kepanitiaan, diantaranya pada Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa

Baru (2005), Masa Perkenalan Departemen (2006), Ekspresi Muslimah II (2006),

dan Masa Perkenalan Fakultas (2008). Pada tahun 2007 penulis bersama tim

mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan dan lolos

(6)

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala

rahmat, hidayah, dan kekuatan yang telah diberikan-Nya sampai saat ini, serta atas

terselesaikannya penelitian ini dengan baik. Penulis juga menyampaikan salawat

serta salam kepada rasulullah Muhammad SAW yang telah mengajarkan umatnya

dengan kebenaran dan kesabaran yang luar biasa. Terima kasih dan penghargaan

penulis sampaikan kepada orang tua dan keluarga atas dukungan dan

kepercayaannya kepada penulis.

Terima kasih kepada Dr Ir Yudiwanti Wahyu E. Kusumo, MS yang telah

membimbing dan mengarahkan penulis dengan penuh ketulusan dan kesabaran

selama kegiatan penelitian sampai penulisan skripsi. Penulis juga menyampaikan

terima kasih kepada seluruh staf pengajar baik di Departemen Agronomi dan

Hortikultura IPB maupun di departemen-departemen lain yang telah memberikan

ilmu-ilmunya selama perkuliahan, juga kepada seluruh staf dan pekerja di tempat

penelitian yang telah memberikan banyak bantuan selama pelaksanaan penelitian.

Terima kasih kepada teman-teman di PS-PMTTB, teman-teman di LDK DKM

Al-Hurriyyah, teman-teman di FKRD-A, dan pihak-pihak lain yang telah

memberikan semangat dan perhatian.

Penelitian mengenai evaluasi karakter morfologi purwoceng (Pimpinella

pruatjan Molk.) generasi M2 ini terdorong oleh rasa kecintaan penulis terhadap

komoditas tanamanan obat. Purwoceng merupakan salah satu tanaman obat asli

Indonesia yang tergolong hampir punah sehingga sangat penting untuk

mengupayakan pelestariannya. Penelitian ini merupakan kerjasama antara Institut

Pertanian Bogor dengan Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Kerjasama

antara universitas dengan balai-balai penelitian sangat diperlukan untuk kemajuan

ilmu pengetahuan dan teknologi serta penerapannya di Indonesia. Penulis

berharap penelitian ini bermanfaat sebaik-baiknya di masa yang akan datang.

Bogor, Desember 2009

(7)

Halaman

PENDAHULUAN ...………... 1

Latar Belakang ...………. 1

Tujuan ...………... 3

Hipotesis ...………... 3

TINJAUAN PUSTAKA ...………... 4

Purwoceng ...………..…….. 4

Pemuliaan Mutasi ...………...…….. 9

BAHAN DAN METODE ...………...…….. 11

Tempat dan Waktu Percobaan ...……….. 11

Bahan dan Alat ...……….……. 11

Metode Percobaan ...………... 11

Pelaksanaan Percobaan ...………. 12

Penanaman ...………... 12

Pemeliharaan ...………... 12

Pengamatan ...………...………... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN ...……… 16

Kondisi Umum Percobaan ...……… 16

Karakter Kualitatif ...……….………... 19

Bentuk Daun ...………... 19

Warna Daun ...………... 20

Warna Tangkai Daun ...……….... 21

Tipe Kanopi ...………... 22

Karakter Kuantitatif ...………... 22

Perbandingan Karakter Kuantitatif Antar Dosis Iradiasi di Lokasi Cicurug dan Cibadak ...……….... 22

Jumlah Daun ...………. 22

Panjang Tangkai Daun ...………....…. 25

Diameter Kanopi ...……….. 27

Jumlah Anakan ...………....……. 31

Perbandingan Karakter Kuantitatif Antar Lokasi ...…... 32

Fase Generatif Tanaman ...………... 33

Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Purwoceng Generasi M1 di Beberapa Lokasi ...………. 34

KESIMPULAN DAN SARAN ...……… 37

Kesimpulan ...………....….…….. 37

Saran ...………....………. 37

DAFTAR PUSTAKA ...……….. 38

(8)

Nomor Halaman

1. Jumlah Tanaman Purwoceng Generasi M2 pada Umur yang

Berbeda di Lokasi Cicurug ...………... 16

2. Jumlah Tanaman Generasi M2 Purwoceng pada Umur yang

Berbeda di Lokasi Cibadak ...………... 16

3. Hasil Uji-t Jumlah Daun Purwoceng Antar Dosis Iradiasi pada

Generasi M2 di Lokasi Cicurug ...………... 23

4. Rata-rata Jumlah Daun Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis

Iradiasi di Lokasi Cibadak ...……….…... 24

5. Hasil Uji-t Jumlah Daun Purwoceng Antar Dosis Iradiasi pada

Generasi M2 di Lokasi Cibadak .……….…...………... 25

6. Hasil Uji-t Panjang Tangkai Daun Purwoceng Antar Dosis Iradiasi

pada Generasi M2 di Lokasi Cicurug ...…...………... 26

7. Rata-rata Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 Semua

Dosis Iradiasi di Lokasi Cibadak ...………...…. 27

8. Hasil Uji-t Diameter Kanopi Purwoceng Antar Dosis Iradiasi pada

Generasi M2 di Lokasi Cicurug ....…....…...………... 29

9. Rata-rata Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis

Iradiasi di Lokasi Cibadak ...………...………... 30

10. Hasil Uji-t Diameter Kanopi Purwoceng Antar Dosis Iradiasi pada

Generasi M2 di Lokasi Cibadak ...…..…...………...………... 30

11. Jumlah Tanaman yang Memiliki Anakan dan Rata-rata Jumlah

Anakan Purwoceng Generasi M2 di Lokasi Cicurug ... 31

12. Purwoceng di Lokasi Cicurug yang Berumur Paling Panjang ... 34

13. Hasil Uji-t Kadar Zat Saponin dan Fitosterol pada Akar serta Batang dan Daun Purwoceng Generasi M1 serta Kadar Zat Saponin dan

(9)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Tanaman Purwoceng ...………...………... 4

2. Pertanaman Purwoceng dalam Polibag di Bawah Naungan Paranet ... 12

3. Sketsa Keragaman Bentuk Anak Daun Purwoceng ...…….……... 13

4. Sketsa Keragaman Tipe Kanopi Purwoceng ...…….…... 14

5. Curah Hujan di Lokasi Balittro Cicurug Tahun 2008 ...…….…... 17

6. Pengaruh Lingkungan pada Purwoceng ...………...………….. 18

7. Serangan Hama pada Tanaman Purwoceng ...………...…….... 18

8. Keragaman Keragaan Bentuk Daun Purwoceng ..……...………... 19

9. Sketsa Keragaman Susunan Anak Daun Purwoceng ...…….…... 20

10. Keragaman Keragaan Warna Daun Purwoceng ...………...….. 21

11. Warna Tangkai Daun Purwoceng ...………...……….... 21

12. Tipe Kanopi Purwoceng ...………...………... 22

13. Rata-rata Jumlah Daun Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis Iradiasi di Lokasi Cicurug ...……...………... 24

14. Rata-rata Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis Iradiasidi Lokasi Cicurug ...………...………... 25

15. Rata-rata Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis Iradiasi di Lokasi Cicurug ... 28

16. Anakan Purwoceng ...………...………...………... 32

17. Rata-rata Jumlah Daun Purwoceng Generasi M2 3 krad, 5 krad, dan Kontrol di Lokasi Cicurug dan Cibadak pada 0-8 MSP ...……... 32

18. Rata-rata Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 3 krad, 5 krad, dan Kontrol di Lokasi Cicurug dan Cibadak pada 0-8 MSP ... 32

19. Rata-rata Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M2 3 krad, 5 krad, dan Kontrol di Lokasi Cicurug dan Cibadak pada 0-8 MSP ... 33

20. Purwoceng Generasi M2 yang Berbunga ...…………...……....… 34

21. Kadar Saponin Akar Purwoceng Generasi M1 dari Empat Lokasi .... 35

22. Kadar Saponin Batang dan Daun Purwoceng Generasi M1 dari Empat Lokasi ...………...………... 35

23. Kadar Fitosterol Akar Purwoceng Generasi M1 dari Empat Lokasi ... 35

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Warna Daun dan Tangkai Daun Tanaman Purwoceng Kontrol

di Lokasi Cicurug ...………...……...….... 41

2. Warna Daun dan Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 3 krad

di Lokasi Cicurug ...………...……... 43

3. Warna Daun dan Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 5 krad

di Lokasi Cicurug ...………...…………... 44

4. Warna Daun dan Tangkai Daun Tanaman Purwoceng Kontrol

di Lokasi Cibadak ...………...………... 47

5. Warna Daun dan Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 1 krad

di Lokasi Cibadak ...………...…………... 47

6. Warna Daun dan Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 3 krad

di Lokasi Cibadak ...………...…………... 48

7. Warna Daun dan Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 5 krad

di Lokasi Cibadak ...………...…………... 48

8. Rata-rata Jumlah Daun Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis

Iradiasi di Lokasi Cicurug …….……..………... 48

9. Rata-rata Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 Semua

Dosis Iradiasi di Lokasi Cicurug ... ………... 49

10. Rata-rata Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis

Iradiasi di Lokasi Cicurug ....…... ………... 49

11. Hasil Uji-t Panjang Tangkai Daun Purwoceng Antar Dosis Iradiasi

pada Generasi M2 di Lokasi Cibadak ... ………... 50

12. Hasil Uji-t Perbandingan Jumlah Anakan Purwoceng

Generasi M2 kontrol dan 5 krad di Lokasi Cicurug ...…………... 50

13. Hasil Uji-t Rata-rata Populasi Purwoceng Generasi M2 3 krad, 5 krad dan Kontrol di Lokasi Cicurug dan Cibadak pada Umur

0, 4, dan 8 MSP ...…………...….………...……... 50

14. Persentase Kadar Saponin Akar Purwoceng di Empat Lokasi ... 51

15. Persentase Kadar Saponin Batang dan Daun Purwoceng

di Empat Lokasi ...………...…………....………...……... 51

16. Persentase Kadar Fitosterol Akar Purwoceng di Empat Lokasi ..…. 51

17. Persentase Kadar Fitosterol Batang dan Daun Purwoceng

(11)

MUTASI SINAR GAMMA DI CICURUG DAN CIBADAK

Oleh Sri Wahyuni

A34404060

PROGRAM STUDI

PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH

FAKULTAS PERTANIAN

(12)

MUTASI SINAR GAMMA DI CICURUG DAN CIBADAK

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh Sri Wahyuni

A34404060

PROGRAM STUDI

PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH

FAKULTAS PERTANIAN

(13)

RINGKASAN

SRI WAHYUNI. Evaluasi Karakter Morfologi Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) Generasi M2 Hasil Induksi Mutasi Sinar Gamma di Cicurug Dan Cibadak. Dibimbing oleh YUDIWANTI WAHYU E. KUSUMO.

Percobaan ini dilakukan untuk mengevaluasi karakter morfologi purwoceng

(Pimpinella pruatjan Molk.) generasi M2 di Kebun Percobaan Balittro Cicurug (550 m

dpl) dan di Kebun Percobaan BB Biogen Cibadak (950 m dpl) pada bulan Maret 2008

sampai Maret 2009. Purwoceng merupakan tanaman obat langka bernilai ekonomi tinggi

asli Indonesia yang ditemukan di dataran tinggi Dieng (1.800 m dpl). Iradiasi sinar

gamma pada benih purwoceng untuk mendapatkan genotipe toleran dataran rendah telah

dilakukan dengan dosis iradiasi 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 krad. Benih purwoceng generasi M1

yang berhasil berkecambah dan diamati pada percobaan ini di lokasi Cicurug adalah

benih tanaman kontrol, 3 krad, dan 5 krad, sedangkan di lokasi Cibadak adalah benih

tanaman kontrol, 1 krad, 3 krad, dan 5 krad (jumlah keseluruhan 292 tanaman). Bahan

lain yang digunakan adalah media tanam campuran tanah setempat : pupuk kandang

(1:1), polibag berdiameter 10 cm, polibag atau pot berdiameter 30 cm, dan paranet.

Percobaan menggunakan alat pertanian dan alat ukur panjang secara umum, serta

perlengkapan TLC scanner untuk analisis kadar metabolit sekunder yang dilakukan di

Balittro. Analisis kadar saponin dan fitosterol dilakukan secara terpisah antara akar

dengan batang dan daun terhadap sampel tunggal purwoceng generasi M1 semua dosis

iradiasi dari lokasi Cibadak dan Cicurug, serta dari lokasi Tawang Mangu dan Dieng

(umur 6 bulan). Uji-t rata-rata hasil pengamatan dilakukan antar pasangan populasi.

Tidak terdapat perbedaan keragaan akibat iradiasi sinar gamma pada karakter

kualitatif (bentuk dan warna daun serta tangkai daun, dan tipe kanopi) maupun kuantitatif

(jumlah dan panjang tangkai daun, diameter kanopi, dan jumlah anakan) antar purwoceng

generasi M2 asal benih dengan dosis iradiasi 3 dan 5 krad di lokasi Cicurug serta dosis

iradiasi 1, 3, dan 5 krad di lokasi Cibadak, juga pada perbandingan karakter kuantitatif

purwoceng generasi M2 di lokasi Cicurug dan Cibadak pada umur 0, 4, dan 8 MSP.

Pertumbuhan vegetatif yang cukup baik tetapi sulit berbunga menunjukkan bahwa

purwoceng generasi M2 belum dapat beradaptasi jika ditanam sejak awal di dataran lebih

rendah. Hasil analisis terhadap sampel tunggal purwoceng generasi M1 menunjukkan

bahwa metabolit sekunder pendukung khasiat obat purwoceng terkandung dalam

tanaman yang dipindahkan ke lokasi Cibadak dan Cicurug, serta menunjukkan bahwa

kadar metabolit sekunder antara akar dengan batang dan daun purwoceng tidak berbeda

(14)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : EVALUASI KARAKTER MORFOLOGI PURWOCENG

(Pimpinella pruatjan Molk.) GENERASI M2 HASIL INDUKSI MUTASI SINAR GAMMA DI CICURUG DAN CIBADAK

Nama : Sri Wahyuni

NRP : A34404060

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Dr Ir Yudiwanti Wahyu E. Kusumo, MS NIP. 19631107 198811 2 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr Ir Didy Sopandie, M.Agr NIP 19571222 198203 1 002

(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di rumah sakit PT Caltex Pacific Indonesia distrik

Rumbai, provinsi Riau pada tanggal 21 Agustus 1986. Penulis adalah anak keempat

dari enam bersaudara dari Bapak (alm.) Abdurrahman dan Ibu Nur Asma.

Tahun 1998 penulis lulus dari SD Cendana Duri, Riau. Tahun 2001

penulis lulus dari SLTP Cendana Duri. Selanjutnya pada tahun 2004 penulis

menyelesaikan studi di SMU Cendana Duri. Tahun 2004 penulis diterima di IPB

melalui jalur SPMB sebagai mahasiswa Program Studi Pemuliaan Tanaman dan

Teknologi Benih, Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian.

Selama menempuh studi di IPB, penulis aktif dalam kepengurusan LDK

DKM Al-Hurriyyah sebagai anggota (2005), staf PSDM (2006-2007), dan staf

Personalia (2008). Penulis juga aktif sebagai pengurus DKM Al-Fallah FKRD-A

(2006) dan staf Keputrian FKRD-A (2007). Penulis juga berpartisipasi pada

beberapa kepanitiaan, diantaranya pada Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa

Baru (2005), Masa Perkenalan Departemen (2006), Ekspresi Muslimah II (2006),

dan Masa Perkenalan Fakultas (2008). Pada tahun 2007 penulis bersama tim

mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan dan lolos

(16)

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala

rahmat, hidayah, dan kekuatan yang telah diberikan-Nya sampai saat ini, serta atas

terselesaikannya penelitian ini dengan baik. Penulis juga menyampaikan salawat

serta salam kepada rasulullah Muhammad SAW yang telah mengajarkan umatnya

dengan kebenaran dan kesabaran yang luar biasa. Terima kasih dan penghargaan

penulis sampaikan kepada orang tua dan keluarga atas dukungan dan

kepercayaannya kepada penulis.

Terima kasih kepada Dr Ir Yudiwanti Wahyu E. Kusumo, MS yang telah

membimbing dan mengarahkan penulis dengan penuh ketulusan dan kesabaran

selama kegiatan penelitian sampai penulisan skripsi. Penulis juga menyampaikan

terima kasih kepada seluruh staf pengajar baik di Departemen Agronomi dan

Hortikultura IPB maupun di departemen-departemen lain yang telah memberikan

ilmu-ilmunya selama perkuliahan, juga kepada seluruh staf dan pekerja di tempat

penelitian yang telah memberikan banyak bantuan selama pelaksanaan penelitian.

Terima kasih kepada teman-teman di PS-PMTTB, teman-teman di LDK DKM

Al-Hurriyyah, teman-teman di FKRD-A, dan pihak-pihak lain yang telah

memberikan semangat dan perhatian.

Penelitian mengenai evaluasi karakter morfologi purwoceng (Pimpinella

pruatjan Molk.) generasi M2 ini terdorong oleh rasa kecintaan penulis terhadap

komoditas tanamanan obat. Purwoceng merupakan salah satu tanaman obat asli

Indonesia yang tergolong hampir punah sehingga sangat penting untuk

mengupayakan pelestariannya. Penelitian ini merupakan kerjasama antara Institut

Pertanian Bogor dengan Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Kerjasama

antara universitas dengan balai-balai penelitian sangat diperlukan untuk kemajuan

ilmu pengetahuan dan teknologi serta penerapannya di Indonesia. Penulis

berharap penelitian ini bermanfaat sebaik-baiknya di masa yang akan datang.

Bogor, Desember 2009

(17)

Halaman

PENDAHULUAN ...………... 1

Latar Belakang ...………. 1

Tujuan ...………... 3

Hipotesis ...………... 3

TINJAUAN PUSTAKA ...………... 4

Purwoceng ...………..…….. 4

Pemuliaan Mutasi ...………...…….. 9

BAHAN DAN METODE ...………...…….. 11

Tempat dan Waktu Percobaan ...……….. 11

Bahan dan Alat ...……….……. 11

Metode Percobaan ...………... 11

Pelaksanaan Percobaan ...………. 12

Penanaman ...………... 12

Pemeliharaan ...………... 12

Pengamatan ...………...………... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN ...……… 16

Kondisi Umum Percobaan ...……… 16

Karakter Kualitatif ...……….………... 19

Bentuk Daun ...………... 19

Warna Daun ...………... 20

Warna Tangkai Daun ...……….... 21

Tipe Kanopi ...………... 22

Karakter Kuantitatif ...………... 22

Perbandingan Karakter Kuantitatif Antar Dosis Iradiasi di Lokasi Cicurug dan Cibadak ...……….... 22

Jumlah Daun ...………. 22

Panjang Tangkai Daun ...………....…. 25

Diameter Kanopi ...……….. 27

Jumlah Anakan ...………....……. 31

Perbandingan Karakter Kuantitatif Antar Lokasi ...…... 32

Fase Generatif Tanaman ...………... 33

Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Purwoceng Generasi M1 di Beberapa Lokasi ...………. 34

KESIMPULAN DAN SARAN ...……… 37

Kesimpulan ...………....….…….. 37

Saran ...………....………. 37

DAFTAR PUSTAKA ...……….. 38

(18)

Nomor Halaman

1. Jumlah Tanaman Purwoceng Generasi M2 pada Umur yang

Berbeda di Lokasi Cicurug ...………... 16

2. Jumlah Tanaman Generasi M2 Purwoceng pada Umur yang

Berbeda di Lokasi Cibadak ...………... 16

3. Hasil Uji-t Jumlah Daun Purwoceng Antar Dosis Iradiasi pada

Generasi M2 di Lokasi Cicurug ...………... 23

4. Rata-rata Jumlah Daun Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis

Iradiasi di Lokasi Cibadak ...……….…... 24

5. Hasil Uji-t Jumlah Daun Purwoceng Antar Dosis Iradiasi pada

Generasi M2 di Lokasi Cibadak .……….…...………... 25

6. Hasil Uji-t Panjang Tangkai Daun Purwoceng Antar Dosis Iradiasi

pada Generasi M2 di Lokasi Cicurug ...…...………... 26

7. Rata-rata Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 Semua

Dosis Iradiasi di Lokasi Cibadak ...………...…. 27

8. Hasil Uji-t Diameter Kanopi Purwoceng Antar Dosis Iradiasi pada

Generasi M2 di Lokasi Cicurug ....…....…...………... 29

9. Rata-rata Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis

Iradiasi di Lokasi Cibadak ...………...………... 30

10. Hasil Uji-t Diameter Kanopi Purwoceng Antar Dosis Iradiasi pada

Generasi M2 di Lokasi Cibadak ...…..…...………...………... 30

11. Jumlah Tanaman yang Memiliki Anakan dan Rata-rata Jumlah

Anakan Purwoceng Generasi M2 di Lokasi Cicurug ... 31

12. Purwoceng di Lokasi Cicurug yang Berumur Paling Panjang ... 34

13. Hasil Uji-t Kadar Zat Saponin dan Fitosterol pada Akar serta Batang dan Daun Purwoceng Generasi M1 serta Kadar Zat Saponin dan

(19)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Tanaman Purwoceng ...………...………... 4

2. Pertanaman Purwoceng dalam Polibag di Bawah Naungan Paranet ... 12

3. Sketsa Keragaman Bentuk Anak Daun Purwoceng ...…….……... 13

4. Sketsa Keragaman Tipe Kanopi Purwoceng ...…….…... 14

5. Curah Hujan di Lokasi Balittro Cicurug Tahun 2008 ...…….…... 17

6. Pengaruh Lingkungan pada Purwoceng ...………...………….. 18

7. Serangan Hama pada Tanaman Purwoceng ...………...…….... 18

8. Keragaman Keragaan Bentuk Daun Purwoceng ..……...………... 19

9. Sketsa Keragaman Susunan Anak Daun Purwoceng ...…….…... 20

10. Keragaman Keragaan Warna Daun Purwoceng ...………...….. 21

11. Warna Tangkai Daun Purwoceng ...………...……….... 21

12. Tipe Kanopi Purwoceng ...………...………... 22

13. Rata-rata Jumlah Daun Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis Iradiasi di Lokasi Cicurug ...……...………... 24

14. Rata-rata Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis Iradiasidi Lokasi Cicurug ...………...………... 25

15. Rata-rata Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis Iradiasi di Lokasi Cicurug ... 28

16. Anakan Purwoceng ...………...………...………... 32

17. Rata-rata Jumlah Daun Purwoceng Generasi M2 3 krad, 5 krad, dan Kontrol di Lokasi Cicurug dan Cibadak pada 0-8 MSP ...……... 32

18. Rata-rata Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 3 krad, 5 krad, dan Kontrol di Lokasi Cicurug dan Cibadak pada 0-8 MSP ... 32

19. Rata-rata Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M2 3 krad, 5 krad, dan Kontrol di Lokasi Cicurug dan Cibadak pada 0-8 MSP ... 33

20. Purwoceng Generasi M2 yang Berbunga ...…………...……....… 34

21. Kadar Saponin Akar Purwoceng Generasi M1 dari Empat Lokasi .... 35

22. Kadar Saponin Batang dan Daun Purwoceng Generasi M1 dari Empat Lokasi ...………...………... 35

23. Kadar Fitosterol Akar Purwoceng Generasi M1 dari Empat Lokasi ... 35

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Warna Daun dan Tangkai Daun Tanaman Purwoceng Kontrol

di Lokasi Cicurug ...………...……...….... 41

2. Warna Daun dan Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 3 krad

di Lokasi Cicurug ...………...……... 43

3. Warna Daun dan Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 5 krad

di Lokasi Cicurug ...………...…………... 44

4. Warna Daun dan Tangkai Daun Tanaman Purwoceng Kontrol

di Lokasi Cibadak ...………...………... 47

5. Warna Daun dan Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 1 krad

di Lokasi Cibadak ...………...…………... 47

6. Warna Daun dan Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 3 krad

di Lokasi Cibadak ...………...…………... 48

7. Warna Daun dan Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 5 krad

di Lokasi Cibadak ...………...…………... 48

8. Rata-rata Jumlah Daun Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis

Iradiasi di Lokasi Cicurug …….……..………... 48

9. Rata-rata Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 Semua

Dosis Iradiasi di Lokasi Cicurug ... ………... 49

10. Rata-rata Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis

Iradiasi di Lokasi Cicurug ....…... ………... 49

11. Hasil Uji-t Panjang Tangkai Daun Purwoceng Antar Dosis Iradiasi

pada Generasi M2 di Lokasi Cibadak ... ………... 50

12. Hasil Uji-t Perbandingan Jumlah Anakan Purwoceng

Generasi M2 kontrol dan 5 krad di Lokasi Cicurug ...…………... 50

13. Hasil Uji-t Rata-rata Populasi Purwoceng Generasi M2 3 krad, 5 krad dan Kontrol di Lokasi Cicurug dan Cibadak pada Umur

0, 4, dan 8 MSP ...…………...….………...……... 50

14. Persentase Kadar Saponin Akar Purwoceng di Empat Lokasi ... 51

15. Persentase Kadar Saponin Batang dan Daun Purwoceng

di Empat Lokasi ...………...…………....………...……... 51

16. Persentase Kadar Fitosterol Akar Purwoceng di Empat Lokasi ..…. 51

17. Persentase Kadar Fitosterol Batang dan Daun Purwoceng

(21)

Latar Belakang

Indonesia dapat disebut sebagai megadiversitas dunia karena

keanekaragaman hayati darat dan laut yang sangat besar. Keanekaragaman hayati

darat terdiri atas sekitar 30000 spesies tumbuhan, dan lebih dari 2000 spesies

tumbuhan tersebut merupakan tumbuhan obat (Zuhud, 2007). Kekayaan tumbuhan

obat yang sangat besar ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal sehingga

belum dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri obat-obatan dengan baik.

Tanaman obat belum dapat memasok kebutuhan industri karena belum

dibudidayakan dengan baik sehingga penyediaannya tidak kontinyu dan

kualitasnya tidak mantap. Menurut Purwakusumah (2007), hanya sekitar 20%

tanaman obat hasil budidaya yang dapat memenuhi pangsa pasar, sedangkan

sisanya masih berasal langsung dari alam. Seharusnya karakteristik bahan baku

obat alami yang diharapkan adalah berkualitas mantap dan memenuhi standar,

kontinyuitas terjaga, dan kuantitas terpenuhi. Selain itu pemanfaatan tanaman

hasil budidaya lebih diutamakan daripada pemanenan langsung tumbuhan liar.

Budidaya tanaman obat tidak hanya bertujuan menaikkan suplai, tetapi juga untuk

meningkatkan kualitas produk, dalam hal ini kadar zat bioaktifnya.

Salah satu komoditas tumbuhan obat yang tergolong langka adalah

purwoceng (Pimpinella pruatjan Molkenb. atau Pimpinella alpina Kds.).

Purwoceng ditemukan di dataran tinggi Dieng (sekitar 1800 m dpl) dan banyak

dicari dan dipanen langsung dari alam. Bentuknya seperti tanaman wortel dengan

umbi berwarna kecoklatan (Djuki, 2007).

Purwoceng dapat dimanfaatkan keseluruhan bagiannya sebagai ramuan

obat. Masyarakat umum mengenal purwoceng sebagai pemulih stamina, serta

penambah jumlah hormon testosteron dan spermatozoid. Purwoceng sudah

banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai obat dalam bentuk ramuan dan tidak

berbahaya. Bentuk ramuan yang sudah banyak dibuat adalah dalam kemasan teh

(22)

Kendala dalam pembudidayaan purwoceng adalah persyaratan tempat

tumbuh yang cukup tinggi sehingga lahannya terbatas. Lahan di dataran tinggi tidak

seluas dataran rendah dan penggunaannya bersaing dengan komoditas hortikultura.

Upaya pengadaptasian purwoceng di dataran yang lebih rendah dari habitat aslinya

(Dieng, ketinggan 1800-3000 m dpl dan suhu 13-17˚C) telah berhasil dilakukan di

Kebun Percobaan Balittro Gunung Putri, Cianjur (ketinggian sekitar 1545 m dpl dan

suhu 17-19˚C) yang masih tergolong dataran tinggi (Wahyuni et al., 1997).

Kelangkaan purwoceng ini menyebabkan harga jualnya menjadi sangat tinggi

mencapai Rp 90.000,00-Rp 100.000,00 per kg basah. Suatu kelompok tani dengan

luas lahan petani sekitar 10-400 m2 di desa Sekunang, salah satu dari empat desa

kecil tempat pembudidayaan purwoceng di dataran tinggi Dieng, masih sulit untuk

memenuhi permintaan purwoceng segar atau kering untuk bahan baku obat

tradisional secara kontinyu. Beberapa industri jamu meminta pasokan sekitar

50-200 kg secara rutin setiap minggu, tetapi kemampuan kelompok tani tersebut

hanya sekitar 40-50 kg per bulan (Yuhono, 2004). Kesulitan pembudidayaan ini juga

disebabkan oleh panjangnya umur purwoceng. Purwoceng mulai berkecambah pada

umur 40 hari setelah tanam, mulai berbunga pada umur 10 bulan setelah tanam, dan

mati setelah menghasilkan benih 1-2 bulan kemudian (Wahyuni et al., 1997).

Salah satu upaya untuk mengatasi masalah ini dapat dilakukan melalui

program pemuliaan tanaman untuk mendapatkan tanaman purwoceng yang

dapat dibudidayakan pada daerah yang lebih rendah dan berumur genjah.

Makmur (1992) menyatakan bahwa tujuan utama program pemuliaan tanaman

adalah untuk mendapatkan varietas yang lebih baik, sebagai contoh pada

program Revolusi Hijau, program pemuliaan tanaman digunakan untuk

mendapatkan varietas baru yang melampaui daerah adaptasi geografis, secara

latituda atau altituda, dari varietas yang telah ada.

Definisi pemuliaan tanaman menurut Makmur (1992) adalah suatu metode

yang secara sistematis merakit keragaman genetik menjadi bentuk yang bermanfaat

bagi kehidupan manusia dengan persyaratan empat hal, yaitu adanya keragaman

genetik, sistem-sistem logis dalam pemindahan dan fiksasi gen, konsepsi dan tujuan

yang jelas, dan adanya mekanisme penyebarluasan hasilnya kepada masyarakat.

Ragam genetik terjadi apabila dalam suatu populasi tanaman terdapat karakter

genetik yang berbeda. Faktor yang menyebabkan keragaman genetik antara lain

(23)

Purwoceng diduga memiliki keragaman genetik yang rendah dalam

sifat adaptasi geografis terhadap ketinggian tempat. Bunganya yang berukuran

kecil mengakibatkan sulit dilakukan persilangan. Hal-hal tersebut menjadi

alasan dipilihnya metode mutasi. Mutasi menurut Makmur (1992) adalah

perubahan tiba-tiba pada material genetik, yaitu pada gen dari satu alel kepada

alel lainnya, susunan kromosom, dan kehilangan atau penambahan bagian

kromosom. Mutasi gen dapat terjadi secara alami maupun buatan dengan

menggunakan mutagen kimia atau radiasi ion. Walaupun perubahan gen atau

kromosom umumnya tidak sesuai keinginan, pemuliaan dengan mutasi induksi

tetap dicoba jika sumber plasma nutfah tidak tersedia. Kusumo et al. (2007)

telah melakukan iradiasi sinar gamma pada benih purwoceng dengan tujuan

percobaan jangka panjang untuk merakit varietas baru purwoceng yang toleran

dataran rendah serta berdaya hasil tinggi dengan kandungan fitosterol dan

saponin yang tinggi. Pulungan (2008) melaporkan keragaan karakter tanaman

purwoceng hasil induksi mutasi tersebut (generasi M1). Percobaan ini

merupakan kelanjutan dari percobaan tersebut.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengevaluasi karakter morfologi purwoceng generasi M2 di lokasi Cicurug

dan Cibadak

2. Mendapatkan genotipe-genotipe yang dapat dijadikan populasi dasar untuk

mendapatkan varietas tanaman purwoceng yang toleran dataran rendah

3. Membandingkan kadar metabolit sekunder purwoceng generasi M1 antara

bagian akar dengan batang dan daun, serta antara lokasi Cicurug dan Cibadak

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Terdapat kesamaan sifat morfologi antara populasi purwoceng generasi M2 di

lokasi Cicurug dan Cibadak

2. Terdapat genotipe tanaman purwoceng yang dapat tumbuh baik dan

menghasilkan benih di dataran rendah untuk tahap pemuliaan berikutnya

3. Tidak terdapat perbedaan kadar metabolit sekunder purwoceng generasi M1

(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Purwoceng

Purwoceng (Gambar 1) adalah tumbuhan endemik Indonesia yang

sudah lama dikenal berkhasiat obat. Purwoceng merupakan tanaman berumah

satu tetapi dapat juga menyerbuk silang (Rahardjo et al., 2005). Klasifikasi

purwoceng adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Anak Divisi: Angiospermae

Kelas : Dycotiledonae

Anak Kelas: Dialypetalae

Bangsa : Apiales (Umbelliflorae)

Suku : Apiaceae (Umbelliferae)

Marga : Pimpinella

Jenis : Pimpinella pruatjan Molk. atau P. alpina Kds.

Gambar 1. Tanaman Purwoceng. Purwoceng di petakan koleksi kebun percobaan Gunung Putri (a), muncul tandan bunga pertama (b), memiliki banyak tandan bunga (c), bunga bermahkota merah keunguan (d), buah muda berwarna hijau (e), simplisia kering (f)

d c

b

e

(25)

Tjitrosoepomo (1994) mendeskripsikan tumbuhan yang termasuk dalam

bangsa Apiales sebagian besar merupakan terna, jarang yang berupa tumbuhan

berkayu. Daunnya tunggal atau majemuk tanpa daun penumpu.

Jaringan-jaringannya sering memiliki saluran-saluran resin atau minyak. Bunganya

tersusun seperti payung, berumah satu, aktinomorf, berbilangan empat atau lima.

Kelopak bunga sangat kecil, mahkota-mahkota bebas, benang-benang sari dalam

satu lingkaran dan berhadap-hadapan dengan kelopak-kelopaknya. Bakal buah

terbenam, seringkali memiliki ruang-ruang dengan satu atau dua bakal biji dalam

tiap ruangnya. Bakal biji kebanyakan hanya memiliki satu integumen. Biji

mempunyai endosperm dan lembaga yang kecil.

Selanjutnya Tjitrosoepomo (1994) mendeskripsikan tumbuhan yang

termasuk suku Apiaceae sebagai terna yang berumur pendek atau panjang dengan

batang berongga dan beralur atau bergerigi membujur pada permukaannya.

Daunnya tersebar, berseling atau berhadapan, majemuk ganda atau banyak

berbagi, tanpa daun penumpu tetapi memiliki pelepah yang pipih besar

(perikladium) dan tidak membungkus batang. Bunganya majemuk dan tersusun

seperti payung atau suatu kapitulum, berukuran kecil, berumah satu, aktinomorf

atau sedikit zigomorf, dan berbilangan lima. Kelopaknya sangat kecil,

mahkotanya berjumlah lima dengan ujung yang melengkung ke dalam, berwarna

kuning atau keputih-putihan, jarang berwarna merah muda atau lembayung.

Benang sari berjumlah lima yang berseling dengan mahkota. Bakal buah

tenggelam, tertutup oleh bantal tangkai putik yang berbagi dua, beruang dua, dan

dalam tiap ruang terdapat satu bakal biji yang bergantungan. Tangkai putik

berjumlah dua dan letaknya terpisah. Buahnya berbelah dua (diakenium), tiap

bagian buah tetap berlekatan pada suatu karpofor. Dalam kulit buah terdapat

saluran-saluran minyak atsiri. Endosperm biji mempunyai tanduk. Sifat-sifat

anatomis yang penting antara lain adanya saluran-saluran resin skizolisigen dalam

gelam akar, batang, dan kulit buahnya, adanya kolenkim dalam korteks primer

batang dan dalam rigi-rigi buah, adanya perforasi sederhana dalam trakea, adanya

(26)

Pulungan (2008) mendeskripsikan purwoceng sebagai tanaman semak

penutup tanah dengan tinggi sekitar 25 cm. Batangnya merupakan batang semu,

berbentuk bulat, lunak, dan berwarna hijau pucat. Daunnya merupakan daun

majemuk dengan pertulangan daun menyirip. Tangkai daun berwarna coklat

kehijauan dengan panjang sekitar 5 cm. Anak daun berbentuk jantung yang

tepinya bergerigi, berujung tumpul dan pangkal bertoreh, berukuran panjang

sekitar 3 cm dan lebar sekitar 2.5 cm. Bunga purwoceng merupakan bunga

majemuk berbentuk payung. Tangkai bunga berbentuk silindris dengan panjang

sekitar 2 cm. Kelopak bunga berbentuk tabung berwarna hijau, benang sari

berwarna putih, putik berbentuk bulat berwarna hijau, dan mahkota berambut

berwarna coklat. Buah berbentuk lonjong kecil berwarna hijau, dan biji berbentuk

lonjong kecil berwarna coklat. Akar merupakan akar tunggang yang berwarna

putih kotor.

Rahardjo et al. (2005) mengemukakan bahwa tangkai bunga purwoceng

memiliki cabang-cabang. Purwoceng memiliki sekitar 7.4 tangkai bunga primer,

setiap tangkai primer memiliki sekitar tiga tangkai sekunder, setiap tangkai

sekunder memiliki sekitar 2 tangkai tertier, dan setiap tangkai tertier memiliki

sekitar 5-8 tandan bunga yang membentuk bunga payung. Pada setiap tandan

bunga terdapat sekitar 5-10 bunga yang akan menghasilkan sekitar 8.6 biji

sehingga satu tanaman purwoceng dapat menghasilkan 2260 biji. Biji yang telah

matang berwarna hitam, berukuran sangat kecil dengan bobot 1000 butirnya

sekitar 0.52 g.

Heyne (1987) mendeskripsikan purwoceng sebagai tanaman terna dengan

tinggi antara 15 sampai 50 cm yang tumbuh pada dataran tinggi, sekitar

2000-3000 m dpl di Jawa Barat, Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Tanaman ini

memiliki nama daerah yang berbeda-beda, antara lain antanan gunung, gebangan

depok, rumput dempo, atau suripandak abang. Purwoceng banyak dicari orang

karena memiliki khasiat obat yang bersifat diuretik terutama digunakan sebagai

afrodisiak. Artha (2007) mengemukakan bahwa purwoceng juga memiliki khasiat

menambah stamina tubuh, analgetika (penghilang rasa sakit), antipiretika

(27)

Purwoceng memiliki khasiat obat karena mengandung beberapa metabolit

sekunder di antaranya saponin dan fitosterol atau sterol tumbuhan. Nio (1989) dan

Robinson (1996) menjelaskan bahwa saponin adalah suatu glikosida yang terdapat

pada banyak jenis tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif dengan

permukaan kuat yang dapat menimbulkan busa jika dikocok dalam air bahkan

pada konsentrasi sangat rendah sekalipun. Sifat saponin yang menyerupai sabun

ini menjadi sebab penamaan saponin berasal dari kata sapo, kata dalam bahasa

latin yang berarti sabun. Saponin tertentu menjadi penting karena dapat digunakan

sebagai bahan baku sintesis hormon steroid.

Konsentrasi saponin berbeda pada bagian-bagian tumbuhan dipengaruhi oleh

tahap pertumbuhan serta komposisi aglikon (sapogenin) dan karbohidrat yang

berbeda tergantung jenis tanaman. Fungsi saponin pada tumbuhan diduga sebagai

penyimpanan karbohidrat atau sisa metabolisme, atau sebagai pelindung dari

serangan hama. Saponin berasa pahit dan sangat beracun bagi ikan dan amfibi, namun

ikan yang mati karena saponin dapat dikonsumsi manusia karena saponin tidak

meracuni manusia. Contoh lainnya adalah bir yang busanya disebabkan oleh saponin.

Saponin membentuk persenyawaan dengan kolesterol dan hidroksisteroid lainnya,

dan jika dihidrolisis lengkap akan menghasilkan sapogenin (aglikon) dan karbohidrat

(heksosa, pentosa, dan asam sakarida). Berdasarkan sifat kimiawinya saponin dibagi

dalam dua kelompok, yaitu steroid (27 atom C) dan triterpenoid (30 atom C).

Bradford dan Awad (2007) menjelaskan bahwa fitosterol merupakan fitokimia

spesifik yang strukturnya menyerupai kolesterol tetapi hanya ditemukan pada

tumbuhan baik dalam bentuk testerifikasi maupun bebas. Fitosterol berbeda-beda

konsentrasinya sesuai jenis tumbuhan dan banyak terkandung dalam tanaman yang

menghasilkan lipid tinggi seperti kacang tanah dan wijen. Fitosterol telah terbukti dapat

menurunkan kolesterol dalam tubuh manusia sehingga mengurangi resiko terkena

penyakit jantung serta sebagai antikanker. Fitosterol yang sering dikonsumsi manusia

terdiri dari ß-sitosterol, stigmasterol (29 atom C), dan kampesterol (28 atom C) yang

hanya didapatkan melalui makanan nabati dengan penyerapan yang sangat terbatas.

Ketersediaan fitosterol didalam tubuh (bioavailability) sekitar 10 % untuk kampesterol,

(28)

Purwoceng dengan khasiat-khasiat di atas sangat potensial sebagai

komplemen dan substitusi ginseng impor sehingga dapat menghemat devisa negara.

Produk setengah jadi purwoceng adalah simplisia dan ekstrak, produk industri

dalam bentuk jamu seduh, minuman kesehatan, pil atau tablet/kapsul. Investasi

yang dibutuhkan untuk sektor hulu meliputi perbenihan, penyediaan lahan, dan

budidaya. Biaya kebutuhan benih (per hektar per tahun) purwoceng adalah sebesar

94.00 juta rupiah dengan rasio B/C sebesar 3.09. Kebutuhan investasi agribisnis

hilir, yaitu pembuatan simplisia purwoceng sebesar 35.37 milyar rupiah. Nilai

investasi untuk produksi ekstrak purwoceng 194.28 milyar rupiah. Nilai investasi

produk turunan purwoceng 108.53 milyar rupiah (Deptan, 2007).

Purwoceng sebelum ditemukan sebagai tanaman obat merupakan tanaman

liar sehingga tidak cocok ditanam di daerah terbuka yang langsung terkena sinar

matahari. Pembudidayaannya memerlukan naungan untuk pertumbuhan yang

baik. Purwoceng dapat diperbanyak dengan benih. Purwoceng akan berbunga

sekitar enam bulan setelah tanam dan sekitar dua bulan kemudian benihnya

matang. Tiap tanaman menghasilkan banyak benih bernas yang berwarna cokelat

kehitaman yang setelah dipanen dapat dikeringkan. Benih dapat disemai di bak

semai berukuran satu meter persegi yang tanahnya telah digemburkan dan diberi

pupuk kandang. Hama yang menyerang purwoceng adalah keong dan kutu daun,

sedangkan penyakitnya adalah busuk batang. Penyebab penyakit ini belum

diketahui, sehingga pencegahan penularannya dilakukan dengan mencabut

tanaman yang terserang lalu mengubur atau membakarnya (Artha, 2007).

Usaha pembudidayaan purwoceng tergolong sangat menguntungkan.

Hasil analisis usaha tani purwoceng di desa Sekunang yang menggunakan cara

budidaya sederhana pada lahan seluas 1000 m2 dapat memproduksi 550 kg basah

purwoceng (sekitar 17-20 rumpun) sehingga menghasilkan keuntungan bersih

(29)

Pemuliaan Mutasi

Pada program pemuliaan tanaman, penggunaan induksi mutasi buatan

tergantung pada jumlah variabilitas alami yang tersedia. Jika di alam telah tersedia

alela yang diinginkan, maka pemulia lebih memilih menggunakan alela tersebut

daripada mengubah komposisi genetik melalui mutasi buatan. Induksi mutasi

buatan umumnya relatif lebih baik dilakukan pada tanaman yang menyerbuk

sendiri dibandingkan pada tanaman yang menyerbuk silang. Pada tanaman yang

menyerbuk sendiri, sebagian besar alela dengan nilai adaptasi tinggi biasanya

akan cepat lenyap karena sifat homozigositasnya sehingga memperkecil

variabilitas genetik. Hal ini menjadikan peluang memperoleh mutagen dan

variabilitas genetik yang diinginkan melalui cara-cara buatan pada tanaman yang

menyerbuk sendiri secara teoritis lebih tinggi (Welsh, 1991).

Induksi mutasi dengan iradiasi atau menggunakan bahan kimia dapat

menimbulkan mutasi gen atau mutasi kromosom. Semakin banyak bahan yang

diperlakukan maka akan semakin besar kemungkinan timbulnya mutan-mutan.

Pengujian-pengujian terhadap mutan dapat menghasilkan varietas baru atau

setidak-tidaknya meningkatkan variabilitas tanaman tersebut sehingga dapat

digunakan untuk pemuliaan tanaman secara konvensional (Soetarto, 1972). Tipe

perubahan genetik yang terjadi akibat mutasi bersifat acak sehingga terdapat

kemungkinan perubahan tersebut meningkatkan kemampuan organisme untuk

bertahan hidup, tumbuh, dan bereproduksi (Aisyah, 2006).

Pada tanaman budidaya yang bereproduksi secara seksual, perlakuan

terhadap benih merupakan cara yang paling umum digunakan untuk induksi

mutasi. Selain itu juga perlakuan terhadap semai yang masih muda. Kedua cara

tersebut dapat menimbulkan kimera, yaitu suatu segmen jaringan tanaman yang

mempunyai genetik berbeda dengan sel-sel di sekitarnya. Jika ingin diwariskan

kepada keturunannya secara seksual, mutasi harus terjadi pada jaringan meristem

pada sel-sel reproduksi. Penggabungan kimera terjadi bila jaringan tanaman

merupakan kombinasi sel dari tanaman yang ada dan tanaman keturunan, tetapi

penggabungan demikian bukan merupakan peristiwa mutasi (Welsh, 1991).

Aisyah (2006) menyatakan bahwa oksigen sangat berperan untuk

meningkatkan efek radiasi dalam sistem biologi. Pada jaringan yang mengandung

kadar air rendah, radikal-radikal yang diinduksi dari iradiasi akan merusak dengan

(30)

Welsh (1991) menjelaskan bahwa metode umum penerapan mutasi pada

tanaman yang direproduksi secara seksual dapat dilakukan dengan seleksi tanpa

melakukan manipulasi pemuliaan melalui persilangan, yaitu menggunakan seleksi

program pemuliaan konvensional. Material mutan yang diinginkan dihasilkan dari

benih-benih yang diharapkan menghasilkan variabilitas unggul. Seleksi alela yang

diinginkan dicari pada generasi-generasi berikutnya. Bila alela yang bermutasi

adalah resesif, maka akan lebih sering tampak pada tanaman budidaya menyerbuk

sendiri, karena alela-alelanya secara normal dikendalikan oleh sifat

homozigositas. Jika alela yang bermutasi bersifat dominan, maka tanaman akan

lebih mudah diidentifikasi.

Hal tersebut juga dijelaskan oleh Aisyah (2006), bahwa pada generasi M1,

yaitu tanaman yang tumbuh dari benih yang diiradiasi, hanya mutasi dominan

yang akan terekspresi karena bersifat heterozigot akibat adanya gen-gen mutan

baru. Kemudian pada saat tanaman generasi M1 menyerbuk sendiri, gen-gen akan

bersegregasi menjadi fenotipe mutan dan non-mutan pada generasi M2, yaitu

tanaman yang tumbuh dari benih keturunan generasi M1, sehingga mutan resesif

yang baru terinduksi akan terekspresikan dan dapat dilihat pada generasi M2

tersebut.

Indonesia merupakan negara pertama dalam sejarah perkembangan

pemuliaan mutasi yang telah menggunakan hasil mutannya untuk tanaman yang

dianjurkan, yaitu tanaman tembakau yang diperoleh dari hasil penyinaran dengan

sinar X di Jawa Tengah di tahun 1930-an (Ismachin dan Hendratno, 1972). Sinar

gamma seperti halnya neutron mengionisasi atom-atom dalam jaringan dengan

melepaskan elektron-elektron dari atomnya. Induksi mutasi menggunakan sinar

gamma dari Cobalt-60 telah berhasil memperpendek umur tanam, memperpendek

ukuran, dan meningkatkan produksi tanaman padi (Moebarokah, 1972). Badan

Tenaga Atom Nasional (BATAN) memiliki sarana pemuliaan mutasi

menggunakan iradiasi sinar gamma dari Cobalt-60 yang terletak di Pasar Jumat,

(31)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Percobaan

Percobaan dilakukan di dua lokasi dengan ketinggian berbeda. Lokasi

pertama sebagai sasaran ketinggian yang diharapkan adalah Kebun Percobaan

Cicurug, Sukabumi (ketinggian sekitar 550 m dpl, suhu 31-36°C) milik Balai

Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro). Lokasi kedua sebagai pembanding

adalah Kebun Percobaan Cibadak, Cianjur (ketinggian sekitar 950 m dpl, suhu

23-27°C) milik Balai Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya

Genetik Pertanian (BB Biogen). Analisis metabolit sekunder dilakukan di Balittro.

Percobaan dilaksanakan pada bulan Maret 2008 sampai Maret 2009.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan adalah semai tanaman purwoceng generasi M2

yang berasal dari tanaman induk yang dipelihara di masing-masing lokasi, yaitu

semai yang dihasilkan oleh tanaman generasi M1 yang berasal dari benih purwoceng

koleksi Kebun Percobaan Balittro Gunung Putri yang diiradiasi sinar gamma dengan

dosis 0 (kontrol), 1, 2, 3, 4, dan 5 krad di Badan Tenaga Atom Nasional (Pulungan,

2008). Benih purwoceng yang menjadi sumber awal koleksi Kebun Percobaan

Balittro Gunung Putri berasal dari desa Sekunang, Dieng (Wahyuni et al., 1997).

Bahan lain yang digunakan adalah media tanam berupa campuran tanah

setempat dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1, polibag kecil (diameter

10 cm), polibag besar atau pot (diameter 30 cm), dan paranet dengan kerapatan

65%. Alat yang digunakan adalah alat pertanian dan alat ukur panjang secara

umum, serta seperangkat perlengkapan Thin Layer Chromatography scanner

(TLC scanner) untuk analisis kadar metabolit sekunder.

Metode Percobaan

Setiap populasi terdiri dari tanaman yang berasal dari benih yang secara alami

dibiarkan berkecambah setelah luruh dari tanaman induknya. Benih purwoceng

generasi M1 yang berhasil berkecambah dan diamati pada percobaan ini adalah

292 tanaman, yaitu 247 tanaman di lokasi Cicurug yang berasal dari benih

tanaman kontrol (106 tanaman), 3 krad (30 tanaman), dan 5 krad (111 tanaman)

serta 45 tanaman di lokasi Cibadak yang berasal dari benih tanaman kontrol

(32)

Analisis kadar metabolit sekunder yaitu saponin dan fitosterol (terdiri

dari ß-sitosterol dan stigmasterol) dilakukan terhadap sampel tunggal tanaman

purwoceng generasi M1 semua dosis iradiasi yang berumur 6 bulan dari lokasi

Cibadak dan Cicurug, serta sampel tunggal tanaman purwoceng dengan umur

yang sama dari lokasi Tawang Mangu dan Dieng sebagai pembanding. Analisis

dilakukan terpisah antara akar dengan batang dan daun menggunakan metode

kromatografi lapis tipis (KLT). Pengujian rata-rata populasi untuk hasil

pengamatan dilakukan antar pasangan populasi menggunakan uji-t.

Pelaksanaan Percobaan Penanaman

Seluruh kecambah di persemaian yang telah memiliki dua atau tiga daun

tunggal dipindahkan masing-masing ke dalam satu polibag kecil. Setelah berumur

sekitar 5-6 minggu di polibag kecil, tanaman muda kemudian dipindahkan ke dalam

pot atau polibag besar. Sejak tanaman berkecambah sampai dewasa, seluruhnya

ditempatkan di bawah naungan paranet di masing-masing lokasi (Gambar 2).

Gambar 2. Pertanaman Purwoceng dalam Polibag di Bawah Naungan Paranet. Lokasi Cicurug (kiri) dan di lokasi Cibadak (kanan)

Pemeliharaan

Penyiraman minimal dua hari sekali dilakukan jika tidak hujan. Pengendalian

gulma dan hama sedapat mungkin dilakukan secara manual jika diperlukan.

Pemupukan dilakukan sebulan dua kali mulai umur dua bulan setelah tanaman

dipindahkan ke polibag besar sampai muncul bunga menggunakan pupuk anorganik

(33)

P

sekali tiap du

di lokasi Cib

yang diamati

ke dalam po

(MSP). Sela

ua minggu sa

badak dilakuk

i mencakup

antitatif yan

anopi, jumla

erikut cara pe

Daun

dua bentuk

bergerigi (G

3. Sketsa Ke bergerigi (

aun

tan warna da

mukaan atas d

merahan.

angkai Daun

angkai daun

ara keseluru

warna yang d

hadap berba

ot atau poliba

anjutnya peng

ampai tanama

kan pada um

bentuk dan w

ng diamati m

ah anakan,

engamatan te

anak daun

Gambar 3).

eragaman Be (atas) dan bu

aun dilakukan

dan bawah d

n

ditentukan d

uhan pada s

ditemukan pa

agai peubah

ag besar, yan

gamatan purw

an berbunga,

mur 0, 4, dan

warna daun

mencakup ju

fase generat

erhadap karak

secara umu

entuk Anak ulat bergerig

n pada daun

daun. Ada du

dengan meli

setiap tanam

ada daun, ya

h dilakukan

ng dicatat ber

woceng di lo

, sedangkan p

8 MSP. Kar

serta tangkai

umlah daun,

tif tanaman,

kter-karakter

um, yaitu be

Daun Purw gi (bawah)

muda dan d

ua warna yan

ihat kecende

man. Warna

aitu hijau dan

n pada saa

rumur 0 min

okasi Cicurug

r kualitatif:

entuk jantung

oceng. Bent

daun tua mas

ng lazim, yait

erungan war

yang ditemu

n hijau keme

at tanaman

nggu setelah

g dilakukan

purwoceng

atif tanaman

tipe kanopi.

ngkai daun,

r metabolit

g bergerigi

tuk jantung

sing-masing

tu hijau dan

rna tangkai

ukan sama

(34)

4

4. Tipe Kano

Tipe kano

2. Panjang T

Data panj

leher akar

5. Fase Gen

am satu tana

permukaan ta

4. Sketsa Ker rebah (kan

rakter kuanti

Daun

mlah daun di

nak daun yan

Tangkai Dau

jang tangkai

ngan menguk

an tanah sam

r Kanopi

meter kano

un terluar yan

Anakan

lah anakan p

tanaman yan

neratif Tanam

ng dicatat ad

cul tangkai

gamatan terh

etabolit Sek

dilakukan s

rol, dan ß-sit

sing-masing d

ng ditentukan

aman, yaitu

anah (Gamba

ragaman Tip nan)

tatif diamati

idapatkan de

ng telah terbu

un

daun purwo

kur panjang

mpai di temp

opi purwoce

ng letaknya b

purwoceng di

ng ditandai ole

man

dalah umur

bunga prim

hadap karak

kunder

secara terpis

tosterol) pad

dosis iradiasi

n dengan mel

tegak tidak

ar 4).

pe Kanopi Pu

i dengan cara

engan mengh

uka, baik dau

oceng didapa

mer yang per

ter-karakter

sah untuk m

da masing-m

serta lokasi s

lihat kecende

menyentuh

urwoceng. Ti

a sebagai be

hitung selur

un tunggal ma

atkan dari ta

al tangkai d

ya anak daun

kan dengan

engan mengh

a daun-daun t

at memasuk

rtama. Setel

r kualitatif m

masing-masin

masing bagian

sehingga terd

erungan tang

permukaan

ipe tegak (ki

erikut:

ruh tangkai

aupun daun m

angkai daun t

daun yang te

n terbawah.

n mengukur

hitung anakan

tunggal beruk

ki fase gener

lah itu tidak

maupun kuan

ng metabolit

n akar serta

dapat 84 kali a

gkai-tangkai

tanah atau

iri) dan tipe

daun segar

majemuk.

terpanjang,

epat di atas

r jarak dua

n baru pada

kuran kecil.

ratif, yaitu

k dilakukan

ntitatif.

t (saponin,

batang dan

(35)

Analisis kadar saponin dilakukan dengan lebih dahulu memisahkan

fraksi-fraksi ekstrak kasar saponin dengan metode KLT menggunakan

campuran 4-metoksi-benzaldehida : asam sulfat pekat : asam asetat glasial

(1:2:100). Adanya saponin ditunjukkan dengan munculnya warna ungu setelah

pelat KLT diberi pewarna dan dipanaskan pada suhu 105˚C. Fraksi-fraksi

saponin yang dominan selanjutnya dikumpulkan dan dihidrolisis untuk

memisahkan sapogenin dan gula sehingga didapatkan kadar saponin murni

(Nuraini, 2005).

Kadar fitosterol diketahui dengan menganalisis kadar stigmasterol dan

ß-sitosterol. Ekstrak kental yang diperoleh dengan etanol 96% dipertisi dengan

kloroform : etanol (1:1). Metode KLT densitometri digunakan untuk penetapan

kadar stigmasterol. Sampel diteteskan pada pelat silika gel F254, dielusi

dengan n-heksana-etilasetat (20:5) ditambah empat tetes asam asetat glasial.

Bercak stigmasterol terlihat pada Rf 0.3 setelah disemprot dengan

anisaldehida-asam sulfat dan dipanaskan pada suhu 100˚C selama 3 menit. Pengukuran

kadar dengan TLC scanner dilakukan pada panjang gelombang 366 nm

(Izatunnafis, 2008). Selanjutnya kadar ß-sitosterol dianalisis dengan metode KLT

yang sama menggunakan standar ß-sitosterol, fase gerak n-heksana-etilasetat

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Percobaan

Perkecambahan benih-benih purwoceng terjadi pada waktu yang

berbeda-beda karena tidak dilakukan persemaian serempak. Tanaman dikelompokkan

sesuai umur untuk pengolahan data percobaan (Tabel 1 dan 2).

Tabel 1. Jumlah Tanaman Purwoceng Generasi M2 pada Umur yang Berbeda di Lokasi Cicurug

Umur Tanaman Jumlah Tanaman

0 krad 3 krad 5 krad

0 MSP 57 30 70

2 MSP 96 30 76

4 MSP 97 30 110

6 MSP 87 26 108

8 MSP 80 26 101

10 MSP 76 22 96

12 MSP 66 20 86

14 MSP 53 16 82

16 MSP 49 10 50

18 MSP 47 12 58

20 MSP 40 8 50

22 MSP 33 2 42

24 MSP 28 2 31

26 MSP 23 1 25

28 MSP 17 0 17

30 MSP 12 0 11

32 MSP 1 0 9

34 MSP 0 0 7

36 MSP 0 0 2

Tabel 2. Jumlah Tanaman Generasi M2 Purwoceng pada Umur yang Berbeda di Lokasi Cibadak

Umur Tanaman Jumlah Tanaman

0 krad 1 krad 3 krad 5 krad

0 MSP 3 5 5 5

4 MSP 3 13 0 11

(37)

Gambar 5. Curah Hujan di Lokasi Cicurug Tahun 2008

Kondisi cuaca pada saat percobaan ini dilakukan sangat mempengaruhi

tanaman. Curah hujan di lokasi Cicurug pada tahun 2008 ditunjukkan pada Gambar 5.

Pada bulan Juli hingga September 2008 terjadi kekeringan karena sangat jarang hujan

dan panas terus-menerus sehingga beberapa tanaman menjadi layu dan akhirnya mati.

Selanjutnya mulai bulan November 2008 terjadi hujan dengan curah hujan sangat

tinggi sehingga menyebabkan beberapa tanaman menjadi busuk dan mati

(Gambar 6a-c). Busuk yang terjadi pada berbagai bagian tanaman menunjukkan

gejala bagian tanaman tersebut menjadi lunak dan berwarna kecoklatan. Organisme

penyebab busuk ini belum dipelajari. Selama pengamatan ditemukan bahwa tanaman

yang mulai layu akan segera mati, tidak akan bertahan dalam waktu lama.

Naungan paranet yang digunakan pada awal percobaan (kerapatan 65%)

terlalu rapat sehingga menyebabkan pertumbuhan tangkai daun purwoceng

mengalami etiolasi, terlihat pada tangkai daun menjadi kurus dan lebih panjang.

Kemudian dilakukan penjarangan paranet menjadi 50% dan selanjutnya dilakukan

pemasangan plastik di atas paranet pada musim hujan (Gambar 6d).

Terdapat beberapa tanaman muda yang baru dipindahkan ke pot besar

mengalami gejala bintik-bintik putih pada daun (Gambar 6e). Hal ini disebabkan

oleh kurangnya unsur N dan hara lainnya pada tanah. Gejala bintik putih pada

daun tidak muncul lagi setelah dilakukan pemupukan.

Bulan 36

524.6 643.9

270.5

75.7 167.2

16 112.3

35 217.4

476.3

403

0 100 200 300 400 500 600 700

(38)

Gambar 6. Pengaruh Lingkungan pada Purwoceng. Daun layu dan mengering (a), daun membusuk (b), tanaman mati (c), daun berbintik-bintik putih (d), naungan paranet dilapisi plastik (e)

Gambar 7. Serangan Hama pada Tanaman Purwoceng. Kutu daun di permukaan bawah daun (a), tanaman berkerut (b), nematoda membentuk bintil-bintil akar (c), daun tanaman terserang belalang (d)

Seluruh tanaman terserang kutu daun Aphis sp. (Gambar 7a) dengan

tingkat serangan berbeda disertai kelompok semut yang juga ikut mengerubungi

tanaman. Pengendalian kutu daun dilakukan dengan menyemprotkan larutan

furadan atau larutan deterjen, tetapi hanya dapat mengusir kutu sementara.

Pengendalian kutu daun yang paling efektif adalah dengan menggunakan tangan.

Kutu daun menghisap cairan tanaman sehingga daun menjadi berkerut (Gambar 7b).

Selain itu juga terjadi serangan sejenis nematoda yang membentuk bintil-bintil

pada akar dan menghisap sari tanaman (Gambar 7c). Hama lain yang menyerang

tanaman adalah belalang yang memakan daun sehingga tinggal tangkainya

(Gambar 7d).

d

c b

e a

(39)

B

pada satu tan

pengamatan

Bentuk anak

(Gambar

8c-tangkai daun

pada tanama

n awal yang

ncapai 2 M

un tunggal m

gkan daun ma

ngkai daun

tidak berbed

k daun secara

-d). Pasanga

but dibuat sk

ar 8. Keraga (a), da jantun

Kara

g muncul pa

SP kemudia

merupakan d

ajemuk adala

(Gambar 8a

da antar tana

a umum adal

an anak daun

ung tangkai d

.08/5 KRAD ng bergerigi (

akter Kualit

ada tanaman

an terbentuk

daun dengan

ah daun yang

a-b). Bentuk

aman genera

lah bentuk ja

n pada daun

daun terdapat

D/20 di lokas

i anak daun

atakan bahw

gan-penyimp

man susunan a

k daun maje

satu helai d

g memiliki be

anak daun p

asi M2 untu

antung berger

majemuk te

t satu anak da

si Cicurug d

n yang terli

wa banyak ta

pangan bentu

anak daun pu

k Daun Purw daun bulat b

yimpangan b

d

g adalah dau

emuk sampa

daun pada s

eberapa hela

purwoceng b

uk semua do

rigi atau bul

erletak berhad bentuk daun

un tunggal.

ai tanaman

atu tangkai

i anak daun

berdasarkan

sis iradiasi.

at bergerigi

dapan pada

un demikian

usunan anak

ang-cabang

g diiradiasi

Berdasarkan

ambar 9).

un tunggal anak daun

(e)

(40)

W

dan ada yang

Pada

sedangkan t

kombinasi 1

dua tanaman

generasi M2 kombinasi 1

masing dua t

menyatakan

sedikit atau s

mbar 9. Skets tidak

un

na hijau pad

h gelap (Gamb

g samar atau

a daun purwo

permukaan d

aan bawah

aan atasnya d

aan bawah

an permukaa aman-tanama

an seluruh k

kontrol lebih

tanaman-tana

(27 tanama

n pada masin

2 semua dos 1. Kombinas

tanaman gene

bahwa kom

anya berupa

nsitas warna k

baan ditemuk

erah atau hija haya (Gambar

han memben

cu oleh cahay

sama sekali ti

sa Keragama bercabang (

da daun muda

mbar 10a). Wa

hanya sembu

oceng terdap

daun muda d

daun mud

dan kedua pe

daun muda

an atas kedu an generasi

kombinasi w

h banyak me

aman gener

an). Kombin

ng-masing do

sis iradiasi d si 2 ditunju

erasi M2 3 k r 10c). Salisb

ntuk pigmen

ya. Cahaya m

dak berfotosi

an Susunan (kiri) dan ma

a terlihat leb

arna kemerah

urat (Gambar

pat tiga komb

dan daun tua

da berwarn

ermukaan da

a dan daun

uanya berwar M2 semua

warna di atas

enunjukkan k

rasi M2 3

nasi 3 terdap

osis iradiasi

di lokasi Ci ukkan pada t

krad dan 5 kra

na daun ini

n tanaman ter

apat bertamb

a tanaman d

n yang didug bury dan Ross

antosianin p

memacu sintes

intesis, misal

Anak Daun ajemuk berca

bih cerah, se

han pada dau

r 10b).

binasi kedua

a berwarna h

na hijau k

aun tua berw

tua berwa

rna hijau dosis iradi

s.

Tanaman-kombinasi 2

krad lebih

at pada sedi

(Lampiran 1

ibadak secar tiga tanama

ad (Lampiran

i bukan mer

rhadap lingku

ah atau berku

dengan kedu

ga disebabkan s (1995) men

pada beberapa

sis pigmen te

lnya pada dau

Purwoceng

warna hijau

arna hijau k

iasi di loka

-tanaman ge an kontrol d

n 4-7). Pulun

rupakan akib

ungan.

urang. Pada d

ua permukaan

n oleh faktor nyatakan bahw

a sel terspesi

ersebut pada

un yang akan

. Majemuk n)

da daun tua

terlihat jelas

yaitu:

sedangkan

kemerahan,

asi Cicurug

enerasi M2

7 tanaman),

bat radiasi,

dua bulan di

n daun tua

lingkungan wa sebagian

ialisasi, dan

organ yang

(41)

W

daun, yaitu

intensitas wa

daun hijau, y

ambar 10. Ke ber kem wa

ngkai Daun

na yang dite

hijau dan hi

arna kemera

mbar 11. Wa wa

ruh tanaman

au kecuali sa

nya dengan

s iradiasi m

arna hijau ke

yaitu dua tan

eragaman K rbeda pada merahan dom arna kemerah

emukan pad

ijau kemera

ahan pada tan

arna Tangka arna hijau ke

n generasi M

atu tanaman,

tanaman di

menunjukkan

emerahan ke

naman pada

a

Keragaan Wa daun muda minan pada han pada dau

da tangkai sa

han (Gamba

ngkai juga d

ai Daun Pur emerahan (ka

M2 di lokas

yaitu I/1R/2

lokasi Cicu

salah satu

ecuali bebera

masing-mas

rna Daun Pu a dan daun

permukaan un tua (c)

ama dengan

ar 11). Sama

dapat bertamb

rwoceng. W anan)

si Cibadak m

9-12-07/SAM

urug, seluruh

dari kedua

apa tanaman

sing dosis ira

b

urwoceng. W n tua (a), w

bawah daun

yang ditem

a halnya den

bah atau ber

Warna hijau

memiliki tan

MPEL5 (Lam

h tanaman ge

warna, nam

n dengan war

adiasi (Lamp

Warna hijau warna hijau

n muda (b),

mukan pada

ngan daun,

rkurang.

(kiri), dan

ngkai daun

mpiran 4-7).

enerasi M2

mun secara

rna tangkai

piran 1-3).

Gambar

Gambar 2. Pertanaman Purwoceng dalam Polibag di Bawah Naungan Paranet. Lokasi Cicurug (kiri) dan di lokasi Cibadak (kanan)
Tabel 2. Jumlah Tanaman Generasi M2 Purwoceng pada Umur yang Berbeda di Lokasi Cibadak
Tabel 3. Hasil Uji-t Jumlah Daun Purwoceng Antar Dosis Iradiasi pada Generasi M2 di Lokasi Cicurug
Tabel 4. Rata-rata Jumlah Daun  Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis Iradiasi di Lokasi Cibadak
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dar i hasil kajian ini menunjukkan bahw a pember ian jer ami padi baik dalam bentuk setengah melapuk maupun dalam bentuk kompos jer ami yang telah matang

CEO transformational leadership and the new product development process: The mediating roles of organizational learning and innovation culture.. Seen Yu Ng, Garib Singh SK.,

Mi : tidak berpikir terlalu banyak/berat tentang sakit yang diderita, menganggap hal yang biasa jika dirinya menjadi beban bagi keluarganya, menerima sakit sebagai takdir,

Here, the objective of this paper was to apply a method as the assessment of vegetation monitoring using satellite data in the integration of conservation education forest

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.. The Subjective Workload Assessment Technique: a

process_loop task , merupakan firmware utama dari sistem personal tracking ini, Data format NMEA yang telah dilakukan pemilahan pada task gtop_handler kemudian diteruskan

Petunjuk : Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan memberi jawaban yang paling sesuai pada tempat yang sudah disediakan.. Pengukuran kelelahan menurut skala Industrial Fatigue

Sedangkan faktor lingkungan yang mempengaruhi angka kematian bayi adalah jumlah sarana kesehatan, jumlah tenaga medis, persentase persalinan yang dilakukan dengan bantuan