TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst)
Gadung (Dioscerea hispida Dennst., suku gadung-gadungan atau
dioscoreaceae) tergolong tanaman umbi-umbian yang cukup populer walaupun kurang mendapat perhatian. Gadung menghasilkan umbi yang dapat dimakan, namun mengandung racun yang dapat mengakibatkan pusing dan muntah apabila kurang benar pengolahannya. Produk gadung yang paling dikenal adalah dalam bentuk keripik meskipun rebusan gadung juga dapat dimakan. Di Indonesia, tumbuhan ini memiliki nama seperti bitule (Gorontalo), gadu (Bima), gadung
(Bali, Jawa, Madura, Sunda), Iwi (Sumba), kapak (Sasak), salapa (Bugis), sikapa
(Makasar), (Anonim, 2014).
Taksonomi
Taksonomi umbi gadung sebagai berikut: Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Dioscoreales Famili : Dioscoreaceae Genus : Dioscorea
Gambar 2. Umbi Gadung Hutan (Sibuea, 2002)
Gadung dapat menjadi sumber pangan alternatif selain sebagai sumber pangan pokok seperti beras, jagung, singkong, gandum, dan lain-lain. Gadung memang tidak sulit untuk didapatkan, tanaman ini tumbuh liar di hutan-hutan. Selama masa pertumbuhan gadung ini tidak memerlukan perawatan khusus atau penanganan khusus. Biasanya masyarakat yang mengkonsumsinya melakukan pengolahan terhadap umbi gadung ini pada saat musim kemarau panjang tiba. Ketika kemarau datang masyarakat pergi mencari umbi hutan dan kemudian mengolahnya menjadi bahan makanan (Ode, 2007).
Morfologi
tipis lemas, bentuk lonjong, ujung meruncing, pangkal tumpul, permukaan kasar (Ndaru, 2012).
Untuk membedakan antar spesies dalam gadung dapat dibedakan berdasarkan arah lilitan batang, bentuk batang, ada atau tidaknya duri pada batang, bentuk dan jumlah helaian daun, ada tidaknya buah di atas (Anonim, 2014). Ada beberapa varietasnya, diantaranya yang berumbi putih (yang besar dikenal sebagai gadung punel atau gadung ketan, sementara yang kecil berlekuk-lekuk disebut gadung suntil dan yang berumbi kuning antara lain gadung kuning,
gadung kunyit atau gadung padi. Gadung kuning umumnya lebih besar umbinya bila dibandingkan gadung putih. Jumlah umbi dalam satu kelompok dapat mencapai 30 umbi (Anonim, 2014).
Komposisi Kimia Umbi Gadung
Umbi Gadung adalah jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai alternatif sumber karbohidrat dan merupakan komoditi yang mempunyai prospek yang sangat baik. Kandungan gizi gadung dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Umbi Gadung
Parameter Komposisi
beberapa masyarakat yang pernah mengkosumsi umbi hutan ini apabila diolah secara benar maka akan didapatkan makanan olahan yang enak dan bergizi, (Sibuea, 2002).
Beberapa jenis nutrisi yang ditemukan didalam gadung ini ternyata juga merupakan kandungan utama bahan pangan yang dijadikan masyarakat Indonesia sebagai pokok selama ini, yaitu padi (Oryza sativa Linn) dan jagung (Zea mays
Linn). Disamping kandungan nutrisi tersebut, ternyata ubi hutan juga mengandung zat yang bersifat toksik atau anti nutrisi, yakni glikosida sianogenik, alkaloid dioscorin dan senyawa pahit yang terdiri dari saponin dan sapogenin (Webster et al., 1984).
HCN dalam Gadung
Glikosida sianogenik yang dikandung umbi hutan (Dioscorea hispida
Keracunan karena HCN pernah dilaporkan terjadi dia Mauritius tahun 1844 setelah mengkosumsi jenis kacangan yang disebut Phaseolus lunatus, sedangkan keracunan karena mengkosumsi singkong ketela pohon dilaporkan terjadi di Nigeria tahun 1965 dan di India tahun 1973. Juga pernah dilaporkan keracunan karena mengkosumsi bambu muda (rebung), almond pahit, biji peach, apricot dan chezzy. Di Indonesia, laporan tentang keracunan setelah mengkosumsi umbi hutan terjadi di kabupaten Sikka, Nusa Tenggara timur, november 2006, dan di Bengkulu tahun 2002.
Senyawa racun dalam gadung berupa senyawa glukosida sianogenik. Senyawa ini dapat terpecah menjadi asam sianida apabila terhidrolisis oleh enzim atau berada pada pH asam. Pada sistem pencernaan yang bersuasana asam senyawa ini akan melepaskan HCN yang bisa meracuni tubuh. Oleh karena itu detoksifikasi harus difokuskan pada pengurangan senyawa kompleks tersebut. Menurut Damardjati dkk (1991), pengelompokan kadar sianida adalah < 50 ppm tidak beracun, 50-80 ppm agak beracun, 80-100 ppm beracun dan > 100 ppm sangat beracun.
air mendidih selama 30 menit bisa mengakibatkan enzim linamarase dan glukosidase tidak aktif dan pembentukan asam sianida pun menjadi terputus (Pambayun, 2000).
Pati
Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks, tidak larut dalam air dingin, berwujud bubuk, tawar dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka panjang. Hewan dan manusia juga menjadikan pati sebagai sumber energi yang penting. Pati tersusun dari dua macam karbohidrat, amilosa dan dan amilopektin dalam komposisi yang berbeda-beda.
Pati (starch) alami memiliki keterbatasan dalam kegunaannya untuk aplikasi komersial. Sifat alami pati antara lain diantaranya tidak larut dalam air dingin dan tidak dapat dicerna oleh tubuh manusia (Hay, 2002). Wurzburg (1989) telah memberikan pengetahuan yang mendalam tentang sifat fisika dari pati alami dibandingkan dengan pati modifikasi. Modifikasi pati memberikan perubahan dari sifat fisika dan sifat kimia. Perubahan ini mempunyai sasaran utama untuk aplikasi produk makanan lebih spesifik yang dapat memperbaiki sifat fungsional produk terhadap viskositas, stabilitas, integritas, tekstur dan pengemulsi sebagaimana keterbatasan dalam bentuk alaminya.
sebagai pengental ataupun pembentukan gel hidrokoloid lainnya meliputi samping itu banyak pati digunakan untuk pengikat lemak dan pembantu pembentukan emulsi (Hawab, 2004). Perbedaan amilosa dengan amilopektin yaitu amilosa memberikan sifat keras, sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket. Amilosa memberikan warna ungu pekat amilopektin tidak bereaksi. Secara struktur amilosa dan amilopektin memiliki perbedaan. bahan penyusunan yang granula-granula berukuran gum, pektin, gelatin, selulosa agar, dan lainnya.
Pati merupakan cadangan karbohidrat dalam tumbuh-tumbuhan dan merupakan karbohidrat utama yang dikonsumsi manusia seluruh dunia. Komposisi amilosa dan amilopektin pada setiap jenis berbeda. Amilopektin pada umumnya terdapat dalam jumlah lebih besar. Sebagian besar pati mengandung antara 15% dan 35% amilosa. Dalam butiran pati, rantai-rantai amilosa dan amilopektin tersusun dalam bentuk semi kristal, yang menyebabkan tidak larut dalam air dan memperlambat proses pencernaannya oleh amilase pankreas. Bila dipanaskan dengan air, struktur kristal rusak dan rantai polisakarida akan mengambil posisi acak. Hal inilah yang menyebabkan mengembang dan memadat (gelatinisasi). Cabang-cabang yang terletak pada bagian amilopektin yang terutama sebagai penyebab terbentuknya gel yang cukup stabil. Proses pemasakan pati disamping menyebabkan terbentuknya gel juga dapat melunakkan dan memecahkan sel, sehingga mempermudah pencernaan. Dalam proses pencernaan semua bantuk pati akan terhidrolisa sebagian besar menghasilkan glukosa (Afrianti, 2004).
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik.
serta lurus atau bercabangkah rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut dinamakan amilosa dan fraksi tidak terlarut dinamakan amilopektin. Amilosa menpunyai struktur lurus dangan
cabang ikatan α- (1,4) D-glukosa sebanyak 4,5 5 dari berat total (Winarno, 2004).
Peranan perbandingan amilosa dan amilopektin terlihat jelas pada serealia contohnya pada beras, semakin kecil kandungan amilosa atau semakin tinggi kandungan amilopektin semakin lekat nasi tersebut. Amilosa adalah molekul
berantai linier yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4 dari sejumlah 500-5000 unit
glukosa. Amilosa bertindak sebagai pengisi amorf dalam granula, dalam perdagangan dikenal dua macam pati, yaitu pati yang belum dimodifikasi dan pati yang telah dimodifikasi. Pati yang tidak dimodifikasi atau pati biasa adalah semua jenis pati yang dihasilkan di pabrik pengolahan dasar, misalnya tepung tapioka, (Abu Bakar, 1986). Kandungan pati di dalam bahan cukup penting, sehingga semakin tinggi kandungan pati semakin dikehendaki konsumen. Kandungan pati didalam bahan bakunya akan dipengaruhi oleh umur tanaman dan lama penyimpanan setelah panen. Oleh karena itu pada pembuatan tepung umbi dikehendaki kandungan patinya maksimum, maka umbi hasil panen sebaiknya segera diolah dan tidak dilakukan penyimpanan (Antarlina dan Utomo, 1999).
Hidrolisis Pati Secara Enzimatis
Reaksi hidrolisa berlangsung lambat, untuk dapat mempercepat digunakalah katalisator. Katalisator adalah zat yang dapat mempercepat reaksi tetapi dia tidak ikut bereaksi pada prosesnya secara keseluruhan. Pada hidrolisa pati katalisator yang digunakan adalah enzim. Enzim adalah zat organik yang dihasilkan oleh sel hidup baik tanawan, hewan maupun mikroorganisme (Sherman, 1962).
Faktor – faktor yang berpengaruh pada hidrolisis pati menjadi glukosa : Suhu
Pengaruh suhu terhadap enzim ternyata agak kompleks, misalnya suhu yang terlalu tinggi dapat mempercepat pemecahan atau perusakan enzim. Sebaliknya semakin tinggi suhu (dalam batas tertentu) semain aktif enzim tersebut. Bila suhu naik terus laju kerusakan enzim akan melampaui reaksi katalisis enzim (Winarno, 1984). Reaksi paling cepat terjadi pada suhu optimum, oleh karena penentuan suhu optimum aktivitas enzim sangat perlu karena apabila suhu terlalu rendah maka kestabilan enzim akan naik namun aktitivitas menurun, sedangkan pada suhu tinggi aktivitas enzim akan naik namun kestabilan menurun. Kebanyakan enzim tidak aktif pada suhu 55ºC-60ºC (Rabyt dan White, 1987). Waktu
Semakin lama waktu reaksi, maka kadar glukosa yang dihasilkan semakin besar. Lamanya waktu reaksi juga dipengaruhi atau bergantung oleh banyaknya substrat yang di hidrolisa dan jumlah enzim yang ditambahkan.
pH
Sebagian besar aktivitas enzim dipengaruhi derajat keasaman media tempat enzim tersebut melakukan kegiatan katalitiknya. Derajat keasaman optimal yang ditunjukan oleh enzim tertentu tidak selalu konstan. Masih ada berbagai faktor lain yang memberikan pengaruh atas aktivitas enzim tersebut.
Kadar Suspensi Pati
meningkat. Hal ini mengakibatkan proses hidrolisa tidak dapat berjalan dengan baik atau sempurna. Semakin tinggi kadar suspensi pati yang dihidrolisa, maka waktu proses yang diperlukan untuk menghidrolisa pati tersebut akan semakin lama. Jumlah enzim yang dibutuhkan juga semakin banyak.
Jumlah Penambahan Enzim
Semakin banyak jumlah enzim yang ditambahkan pada pati, akan menghasilkan kadar glukosa yang semakin banyak pula. Keadaan ini juga
semakin mempercepat reaksi hidrolisa, untuk enzim α- amilase digunakan
perbandingan 2kg enzim untuk setiap ton pati, sedangkan untuk enzim glukoamilase digunakan sebanyak 0,5-1,1 L untuk setiap ton pati.
Aktivator dan Inhibitor
Beberapa enzim memerlukan aktivator dalam reaksi katalisnya. Aktivator adalah senyawa atau ion yang dapat menaikkan kecepatan reaksi enzimatis. Komponen kimia yang membentuk aktivitas enzim disebut juga kofaktor. Kofaktor tersebut dapat berupa ion anorganik seperti Zn2+, Fe2+, Ca2+ atau dapat pula sebagai molekul organik komplek yang disebut koenzim. Pada umumnya ikatan senyawa organik dengan protein enzim itu lemah apabila iktannya kuat. Selain aktivator juga dipengaruhi oleh inhibitor, inhibitor adalah senyawa atau ion yang dapat menghambat aktivitas enzim pada saat enzim bekerja pada substrat (Lehninger, 1982).
Enzim α-amilase dan Sifat-Sifatnya
Hidrolisis amilosa oleh enzim α-amilase terjadi dalam dua tahap, pertama,
cepat pula. Kedua, relatif sangat lambat yaitu pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhirnya (Muchtadi dkk., 1992). Sebagian besar enzim bekerja khas yaitu artinya setiap jenis enzim hanya dapat bekerja pada satu macam senyawa atau reaksi kimia. Hal ini disebabkan perbedaan struktur kimia tiap enzim yang bersifat tetap. Sebagai contoh, enzim α-amilase hanya dapat digunakan pada proses perombakan pati menjadi glukosa.
Cara kerja α-amilase pada molekul amilosa akan menghasilkan glukosa,
maltosa dan berbagai jenis α-limit dekstrin. Jenis α-limit dekstrin yaitu
oligosakarida yang terdiri dari 4 atau lebih residu glukosa yang semuanya
mengandung ikatan α-1,6. Laju hidrolisis akan meningkat bila tingkat
polimersisasi menurun, dan laju hidrolisis akan lebih cepat pada rantai yang lurus (Winarno,1995).
Gambar 3. α-amilase yang memotong rantai pati pada ikatan α-1,4 (Purba dan Elida, 2009).
Pembuatan Maltodekstrin dari Pati Umbi Gadung Secara Enzimatis
Liquifikasi merupakan kombinasi dari dua proses, pertama yaitu hidrasi atau gelatinisasi dari polimer pati, untuk mempermudah serangan-serangan hidrolitik, yang kedua yaitu dekstrinasi, sehingga dapat mencegah terjadinya retrogradasi untuk tahap selanjutnya (Muchtadi et al., 1992).
Maltodekstrin
Maltodekstrin merupakan polimer dari glukosa dengan panjang ikatan rata-rata 5-10 unit rantai glukosa per molekul. Maltodekstrin banyak digunakan dalam industri makanan sebagai pengisi, dan dalam industri farmasi sebagai pengisi tablet, (Anwar, 2002). Maltodekstrin adalah turunan pati yang dihasilkan dari degradasi rantai amilosa dan amilopektin secara kimia atau enzimatis menjadi dekstrin, memiliki DE dari 2-30. Beberapa DE yang rendah telah dipatenkan terbukti dapat digunakan sebagai pengganti lemak. Maltodekstrin 2-5 mempunyai sifat fungsional membentuk gel dalam air panas pada konsentarsi diatas 15%. Maltodekstrin dengan DE rendah sangat cocok sebagai bahan pengganti lemak (Ingglet dan Grismore, 1991).
Tabel 2. Jenis Dextrin dan Penggunaannya Berdasarkan Nilai DE Nama Hasil Hidrolisis Pati Nilai DE Aplikasi Penggunaannya
Maltodekstrin 2-5
5 9-12
Pengganti lemak susu didalam makanan dan pencuci mulut, yoghurt, produk bakery dan es krim.
Bahan tambahan margarine. Cheesecake filling.
Thin Boiling >20 Kembang gula, pastellis dan jeli
Oligosakarida >50 Pemanis
Maltodekstrin memiliki kelarutan yang lebih tinggi, mampu membentuk film, memiliki higroskopisitas rendah, mampu menghambat kristalisasi dan memiliki daya ikat kuat, (Luthana, 2008). Maltodektrin tidak berasa dan dikenal sebagai bahan tambahan makanan yang aman, (Blancard dan Katz, 1995). Maltodektrin lebih mudah larut dari pada pati, maltodekstrin juga mempunyai rasa yang enak dan lembut, (Sadeghi, et al., 2008). Maltodekstrin telah banyak digunakan pada industri makanan, seperti pada minuman, susu bubuk, minuman berenergi dan minuman prebiotik, (Blancard dan Katz, 1995).
Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya
Triyono (2007) telah melakukan penelitian “Peningkatan Fungsional Pati
dari Ubi Jalar dengan Enzim α-Amilase Sebagai Bahan Subsitusi Pengolahan
Pangan”, diperoleh hasil terbaik pada konsentrasi enzim sebesar 0,5% dan pH
kondisi 6 dengan nilai DE sebesar 5-6 dan nilai kelarutan sebesar 98%.
Anita et al (2009) telah melakukan penelitian berupa “Pembuatan
Maltodekstrin Dengan Proses Hidrolisa Pati Singkong Menggunakan Enzim α
-Amilase” didapatkan bahwa harga DE dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya waktu dekstrinasi dan pH proses. Semakin lama waktu dekstrinasi maka semakin besar pula harga DE. Perlakuan terbaik didapatkan pada kondisi pH 6 dengan waktu 120 menit nilai DE 19,56 sedangkan pada pH 7 dengan waktu 60 menit didapatkan DE sebesar 11,79. Syarat mutu Maltodekstrin secara umum disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Syarat Mutu Dekstrin SNI 01 2593 1992
Komponen Persyaratan
Warna Putih sampai
Kekuningan
Warna dengan Lugol Ungu Kecoklatan
Kehalusan Mesh 80 % b/b Min 90 mesh Lolos
berasa dan dikenal sebagai bahan tambahan makanan yang aman, (Blancard dan Katz, 1995). Maltodektrin lebih mudah larut dari pada pati, maltodekstrin juga mempunyai rasa yang enak dan lembut, (Sadeghi et al., 2008). Maltodekstrin telah banyak digunakan pada industri makanan, seperti pada minuman, susu bubuk, minuman berenergi dan minuman prebiotik, (Blancard dan Katz, 1995).
Proses Pembuatan Pati Gadung (Dioscorea hispida Dennst)
Bubur Umbi Gadung
Umbi gadung di kupas lalu dibersihkan Kemudian diiris tipis-tipis
Irisan umbi gadung direndam pada air yang mengalir selama 3 hari berturut-turut untuk selanjutnya dikeringkan selama 3 hari sehingga umbi gadung kering.
Kemudian irisan umbi gadung dihaluskan dan ditambah air dengan Disaring dengan kain saring untuk
memisahkan ampasnya lalu diendapkan.
Endapan pati gadung dipisahkan dari supernatant dan dicuci dengan penambahan air 1:2 (b/v)
Diaduk, dan kembali diendapkan. Pencucian diulangi ±10 kali