11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Agency
Teori keagenan (agency theory) menjelaskan bahwa hubungan agensi
muncul ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent)
untuk melakukan suatu kegiatan dan kemudian mendelegasikan wewenang
pengambilan keputusan tersebut kepada agen tersebut. (Jensen dan Meckling,
1976).
Perusahaan dipandang sebagai sekumpulan kontrak antara manajer
perusahaan dan pemegang saham (stakeholders). Kegitan pengelolaan perusahaan
diserahkan kepada pihak manajemen. Dalam mengambil keputusan bagi
perusahaan manajer sering mengutamakan kepentingan pribadi sehingga tidak
sejalan dengan pemegang saham. Manajer sebagai pihak yang diberikan
wewenang atas kegiatan perusahaan dan kewajiban menyediakan laporan
keuangan akan cenderung melaporkan sesuatu yang memaksimalkan utilitasnya
dan mengorbankan kepentingan pemegang saham.
Eisenhardt (dikutip oleh Permanasari 2010), menggunakan tiga asumsi
sifat dasar manusia guna menjelaskan teori agensi yaitu : (1) manusia pada
umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya
pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3)
manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar
manusia tersebut manajer sebagai manusia kemungkinan besar akan bertindak
12
Menurut Jensen dan Meckling (1976), adanya masalah keagenan
memunculkan biaya agensi yang terdiri dari :
1. The monitoring expenditure by the principle, yaitu biaya pengawasan yang
dikeluarkan oleh prinsipal untuk mengawasi perilaku dari agen dalam mengelola
perusahaan.
2. The bounding expenditure by the agent (bounding cost), yaitu biaya yang
dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa agen tidak beritindak merugikan
prinsipal.
3. The residual Loss, yaitu penurunan tingkat utilitas prinsipal maupun agen
karena adanya hubungan agensi.
Konflik antara manajer dan pemegang saham atau yang sering disebut
dengan masalah keagenan dapat diminimumkan dengan suatu penerapan
mekanisme pengawasan yang dapat mensejajarkan kepentingan-kepentingan
tersebut, yang dapat mengurangi biaya keagenan (agency cost). Ada beberapa
alternatif untuk mengurangi agency cost, salah satu diantaranya adalah penerapan
Good Corporate Governance ( Priyatna dan Imam (2013).
2.2 Teori Legitimasi
Menurut Haniffa et al., (2005) dalam legitimacy theory perusahaan
memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan
nilai-nilai justice, dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok
kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan. Oleh karena itu perusahaan
13
bergantung pada faktor keuangan, tetapi juga hubungan yang baik perusahaan
dengan masyarakatnya dan lingkungan dimana perusahaan melakukan semua
aktivitasnya.
Defenisi tersebut mengisyaratkan bahwa legitimasi merupakan sistem
pengelolaan yang berorientasi pada keberpihakan terhadap masyarakat (society),
pemerintah, individu dan kelompok masyarakat. Untuk itu suatu sistem yang
mengedepankan keberpihakan kepada society, operasi perusahaan harus kongruen
dengan harapan masyarakat.
Uraian di atas menjelaskan bahwa teori legitimasi merupakan salah satu
teori yang mendasari pengungkapan CSR. Pengungkapan tanggung jawab sosial
perusahaan dilakukan untuk mendapatkan nilai positif dan legitimasi dari
masyarakat.
2.3 Corporate Social Responsibility
Konsep CSR sebagai salah satu tonggak penting dalam manajemen
korporat. Konsep mengenai CSR mulai diperkenalkan Bowen pada tahun 1953
dalam sebuah karya seminarnya mengenai tanggung jawab sosial pengusaha.
Menurut Bowen, tanggung jawab sosial diartikan sebagai, “it refers to the
obligations of businessman to persue those policies, to make those decisions, ot to
follow those lines of action which ar desirable in term of the objectives and value
of our society.”
Menurut Carroll (dikutip dari Permanasari, 2010), konsep CSR memuat
14
1. Economic responsibilities
Tanggung jawab sosial perusahaan yang utama adalah tanggung
jawab ekonomi karena lembaga bisnis terdiri dari aktivitas ekonomi yang
menghasilkan barang dan jasa bagi masyarakat secara menguntungkan.
2. Legal responsibilities
Masyarakat berharap bisnis dijalankan dengan mentaati hukum dan
peraturan yang berlaku pada hakikatnya dibuat oleh masyarakat melalui
lembaga legistatif.
3. Ethical responsibilities
Masyarakat berharap perusahaan menjalankan bisnis secara etis
yaitu menunjukan refleksi moral yang dilakukan oleh pelaku bisnis secara
perorangan maupun kelembagaan unutk menilai suatu isu dimana
penilaian ini merupakan pilihan terhadap nilai yang berkembang dalam
suatu masyarakat.
4. Discretionary responsibilities
Masyarakat mengharapkan keberadaan perusahaan dapat
memberikan mamfaat bagi mereka.
Dengan meluasnya konsep CSR, diluar peran tradisionalnya untuk
menyediakan laporan keuangan pada pemegang saham, perusahaan juga harus
menjaga tanggung jawab sosialnya.
Di Indonesia, kewajiban harus melakukan tanggung jawab sosial dan
lingkungan baru dimulai sejak awal 1990-an melalui progam PUKK (Pembinaan
15
Progam Kemitraan dan Bina Lingkungan (PK-BL) yang dilaksanakan oleh
BUMN dan Swasta yang telah diatur dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas. Selain itu pemerintah melalui Keputusan Ketua
Bapepam No: kep-134/BL/2006 juga mengatur mengenai pengungkapan
informasi dalam laporan keuangan tahunan perusahaan-perusahaan di indonesia.
Pengungkapan informasi yang diatur oleh pemerintah memiliki tujuan untuk
melindungi kepentingan para investor dari ketidakseimbangan informasi antara
manajemen dengan investor karena adanya kepentingan manajemen.
2.4 Pengertian Bank
Bank merupakan lembaga keuangan yang menawarkan jasa keuangan
seperti kredit, tabungan, pembayaran jasa dan melakukan fungsi-fungsi keuangan
lainnya secara profesional (Maharani, 2009).
Keberhasilan bank ditentukan oleh kemampuan mengidentifikasi
permintaan masyarakat akan jasa-jasa keuangan kemudian memberikan pelayanan
secara efisien dan menjualnya dengan harga bersaing. Menurut Undang-Undang
No.7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No.10 tahun 1998 pasal 1 angka 2, pengertian bank adalah sebagai
sebagai berikut :
16
Pengertian diatas memiliki kandungan filosofis yang tinggi. Pengertian
yang lebih teknis dapat ditemukan pada Standar Akuntasi Keuangan (PSAK).
Pengertian bank menurut PSAK No.31 dalam Standar Akuntansi Keuangan
(1999:31.1) adalah :
Bank adalah suatu lembaga keuangan yang berperan sebagai perantara keuangan antar pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dan pihak-pihak yang memerlukan dana, serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancarkan lalu lintas pembayaran.
Sedangkan berdasarkan SK Menteri Keuangan RI No.792 tahun 1990,
Bank merupakan suatu badan yang kegiatannya di bidang keuangan yang
melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama guna
membiayai investasi perusahaan.
Berdasarkan defenisi-defenisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa bank
adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun dana dan menyalurkan
dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi memperlancar lalu lintas
pembayaran (Maharani, 2009).
2.4.1 Jenis dan Kegiatan Usaha Bank
Jenis bank bermacam-macam, tergantung pada cara klasifikasinya.
Menurut Kasmir (2004: 15), klasifikasi bank dapat dilakukan berdasarkan hal-hal
17 1. Jenis bank menurut fungsinya :
a. Bank Sentral, yaitu Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
UU No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, kemudian dicabut dengan
UU No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
b. Bank Umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. (Pasal 1
angka 3 UU Perbankan tahun 1998).
c. Bank Perkreditan Rakyat, yaitu bank yang melaksanakan usaha
secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. (Pasal 1
angka 4 UU Perbankan tahun 1998).
d. Bank Umum yang mengkhususkan diri untuk melaksanakan
kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada
kegiatan tertentu. Hal tersebut dimungkinkan oleh ketentuan pasal 5 ayat
(2) UU Perbankan tahun 1992.
Yang dimaksud dengan mengkhususkan diri untuk melaksanakan
kegiatan tertentu adalah antara lain melaksanakan kegiatan pembiayaan
jangka panjang. Pembiayaan untuk mengembangkan koperasi,
18
pengembangan ekspor non migas dan pengembangan pembangunan
perumahan.
Sedangkan prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan
hukum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dan atau
pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai
dengan prinsip syariah, antara lain pembiataan berdasarkan prinsip abgi
hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan penyertaan modal
(musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah) atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan
kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain
(ijarah istisna). Sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 33 UU Perbankan
tahun 1998.
2. Jenis bank menurut kepemilikannya :
a. Bank Umum Milik Negara, yaitu bank yang hanya dapat didirikan
berdasarkan Undang-Undang.
b. Bank Umum Swasta, yaitu bank yang hanya dapat didirikan dan
menjalankan usahanya setelah mendapat izin dari pimpinan Bank
Indonesia. Ketentuan-ketentuan tentang perizinan, bentuk hukum dan
kepemilikan bank umum swasta yang ditetapkan dalam pasal 16, pasal 21,
dan pasal 22 UU No.7 tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian
19
c. Bank Campuran, yaitu bank umum yang didirikan bersama oleh
satu atau lebih bank umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan
oleh Warga Negara Indonesia dan atau badan hukum yang dimiliki
sepenuhnya oleh Warga Negara Indonesia, dengan satu atau lebih bank
yang berkedudukan di luar negeri.
d. Bank Milik Pemerintah Daerah, yaitu bank pembangunan daerah.
Berdasarkan pasal 54 UU Perbankan tahun 1992 dimana dinyatakan
bahwa UU No.13 tahun 1962 tentang ketentuan-ketentuan pokok bank
pembangunan daerah dinyatakan hanya berlaku untuk jangka waktu satu
tahun sejak mulai berlakunya UU tersebut, maka bentuk Bank
Pembangunan Daerah (BPD) tersebut akan disesuaikan menjadi bank
umum sesuai dengan UU Perbankan tahun 1992.
2.4.2 Perkembangan Perbankan
Jumlah bank meningkat pesat dengan adanya ketentuan Paket Oktober
1988 yang memberikan peluang untuk membuka bank-bank baru (Kasmir,
2004:3). Setelah tahun 90-an jumlah bank mengalami banyak penuruan terus
seiring dengan kebijakan-kebijakan Bank Indonesia untuk membentuk Sistem
Perbankan yang kuat. Dengan jumlah bank pada awal tahun 1997 sebanyak 238
bank, mengalami penurunan pada akhir tahun 1997 menjadi 222 bank. Penurunan
bank terus terjadi karena pada tahun 1998 ada 10 bank yang di BBKU ( Bank
Beku Kegiatan Usaha), 8 bank take over (BTO). Pembekuan terjadi lagi pada
20
Progam rekapitulasi untuk bank swasta dilakukan pada tahun 1999 untuk 9
bank dan bulan Maret 2000, Bank Danamon melakukan merger dengan 7 BTO
dan pada tahun yang sama Bank Bali dan Bank Niaga ikut progam rekapitulasi.
Pada Bank Daerah, progam rekapitulasi dilakukan bulan Mei 1999 sebanyak 12
BPD diikuti dengan rekapitulasi Bank Pemerintah yakni Bank Mandiri merger
dari BEII, BBD, BDN, dan BAPINDO, BNI, BRI, dan BTN.
2.5 Good Corporate Governance
Tujuan good corporate governance adalah untuk mengoptimalisasi hasil
ekonomi, dengan penekanan kuat pada kesejahteraan para pihak yang
berkepentingan dan pemegang saham (Untung, 2014: 6). Pihak-pihak yang
berkepentingan adalah pihak internal yang meliputi dewan komisaris, direksi,
karyawan, dan pihak eksternal yang meliputi investor, kreditur, pemerintah,
masyarakat dan pihak lain yang berkepentingan (stakeholders).
Di Indonesia GCG telah diatur sedemikian rupa dalam beberapa peraturan
perundang-undangan seperti dalam ketentuan UU. No 19 Tahun 2003 tentang
BUMN dalam pasal 36 perihal Maksud dan Tujuan Perusahaan BUMN dan Pasal
73 perihal Restrukturisasi. Perusahaan harus memerhatikan GCG tersebut. Selain
peraturan tersebut, sebelumnya pemerintah juga mengisyaratkan untuk
menerapkan prinsip GCG ini dalam BUMN dengan Surat Keputusan Menteri
BUMN No. Kep. 117/M-MBU/2002 tentang penerapan GCG di BUMN sebagai
21
Untuk perusahaan swasta dalam hal penanaman modal juga telah diatur dalam
pasal 15 UU. No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Menurut Untung (2014:7) prinsip-prinsip yang diatur dalam GCG secara
umum terdiri dari 4 prinsip, yaitu :
1. Akuntabilitas (accountability)
Prinsip ini mewajibkan direksi perushaan bertanggung jawab atas
keberhasilan pengelolaan perusahaan untuk mewujudkan tujuan dari
perusahaan tersebut.
2. Keterbukaan (transparency)
Adanya informasi yang akurat dan dapat diaudit oleh pihak ketiga yang
independen sebagai laporan kepada pemegang saham, sehingga pemegang
saham dapat mengetahui perkembangan dan kemerosotan perusahaan.
3. Kewajaran (fairness)
Prinsip ini memberikan perlindungan terhadap kepentingan minoritas,
khususnya para pemegang saham minoritas untuk dapat memiliki
perlakukan yang adil.
4. Tanggung Jawab (responsibility)
Prinsip ini menegaskan konsep fiduciary duty dari para pengguna
perseroan untuk lebih mematuhi aturan-aturan yang digariskan dalam
22
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua proksi GCG untuk menilai
pengaruhnya terhadap nilai perusahaan. Kedua proksi tersebut adalah
Kepemilikan Manajemen dan Kepemilikan Institusional.
2.5.1 Kepemilikan Manajerial
Manajer mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam kepemilikan
saham dengan tujuan mensetarakan dengan pemegang saham. Melalui kebijakan
ini diharapkan manajer dapat menghasilkan kinerja yang baik serta mengarahkan
dividen pada tingkat yang paling rendah (Dewi, 2008). Dengan penetapan dividen
rendah perusahaan memiliki laba ditahan yang tinggi sehingga memiliki sumber
dana internal relatif tinggi untuk membiaya investasi di masa yang akan datang.
Berdasarkan teori keagenan, perbedaan kepentingan antara manajer dan
pemegang saham mengakibatkan terjadinya konflik yang sering disebut agency
conflict. Konflik kepentingan yang sering terjadi ini menyebabkan pentingnya
suatu mekanisme yang diterapkan guna melindungi kepentingan pemegang saham
(Jensen dan Meckling, 1976). Mekanisme pengawasan terhadap manajemen
tersebut menimbulkan biaya yaitu biaya keagenan, oleh karena itu salah satu cara
mengurangi agency cost adalah dengan adanya kepemilikan saham oleh pihak
manajemen.
Kepemilikan saham oleh pihak manajemen perusahaan akan
23
mengurangi konflik keagenan. Meningkatnya kepemilikan manajerial maka para
manajer perusahaan akan mengurangi perilaku yang merugikan perusahaan.
Pengambilan keputusan perusahaan pada manajer juga akan mendapat manfaat
langsung dan apabila keputusan yang diambil salah maka para manajer juga akan
menanggung resiko langsung, sehingga para manajer pun akan berhati-hati dalam
mengambil keputusan. Keputusan yang diambil akan mempengaruhi nilai
perusahaan sehingga apabila para manajer dalam mengambil keputusan dapat
efektif dan efisien maka nilai perusahaan juga akan meningkat. Peningkatan
kepemilikan manajerial membantu untuk menghubungkan kepentingan pihak
internal dan pemegang saham, dan mengarah ke pengambilan keputusan yang
lebih baik dan meningkatnya nilai perusahaan.
Menurut Shleifer dan Vishny (Siallagan dan Machfoedz, 2006)
menyatakan bahwa kepemilikan saham yang besar dari segi nilai ekonomisnya
memiliki insentif untuk memonitor. Secara teoritis ketika kepemilikan manajemen
rendah, maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya perilaku oportunistik
manajer akan meningkat (Siallagan dan Machfoedz, 2006).
Menurut Jensen dan Meckling kepemilikan manajemen terhadap saham
perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara
pemegang saham luar dengan manajemen. Dengan adanya kepemilikan
manajemen dalam sebuah perusahaan akan menimbulkan dugaan yang menarik
bahwa nilai perusahaan meningkat sebagai akibat kepemilikan yang meningkat.
Kepemilikan oleh manajemen yang besar akan efektif memonitoring aktivitas
24
2.5.2 KepemilikanInstitusional
Kepemilikan institusional merupakan saham perusahaan yang dimiliki
oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan
investasi, dan kepemilikan institusi lain (Tarjo, 2008). Menurut Che Hat et al.
(Permanasari, 2010) kepemilikan institusional adalah persentase saham yang
dimiliki oleh orang di luar perusahaan terhadap total saham perusahaan.
Tingkat saham insttitusional yang tinggi akan menghasilkan upaya-upaya
pengawasan yang lebih intensif sehingga dapat membatasi perilaku opportunistic
manajer, yaitu manajer melaporkan laba secara oportunis untuk memaksimalkan
kepentingan pribadinya (Permanasari, 2010).
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional
memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan
yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor
institusional dianggap mampu meningkatkan nilai perusahaan, karena segala
aktivitas perusahaan akan diawasi oleh pihak institusi. Investor institusional
terlibat dalam pengambilan keputusan yang strategis sehingga tidak mudah
percaya terhadap tindakan manipulasi laba (Permanasari, 2010).
Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan yang
dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan
investasi dan kepemilikan institusi lain. Kepemilikan institusional memiliki peran
25
institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal.
Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha
pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat
menghalangi perilaku opportunistic manajer. Menurut Shleifer and Vishny
(Permanasari, 2010) bahwa institusional shareholders, dengan kepemilikan saham
yang besar, memiliki insentif untuk memantau pengambilan keputusan
perusahaan.
Kepemilikan Institusional memiliki kelebihan antara lain :
1. Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi sehingga dapat
menguji keandalan informasi.
2. Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan lebih ketat
atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan.
2.6 Nilai Perusahaan
Tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan
melalui peningkatan kemakmuran pemilik atau para pemegang saham. Nilai
perusahaan pada dasarnya dapat dilihari dari beberapa aspek salah satunya adalah
harga saham perusahaan, karena harga pasar saham mencerminkan penilaian
investor atas keseluruhan kegiatan perusahaan. Nurlela dan Islahuddin (2008)
menjelaskan bahwa enterprise value (EV) atau dikenal juga sebagai firm value
(nilai perusahaan) merupakan konsep penting bagi investor, karena merupakan
26
Nilai perusahaan juga diartikan sebagai harga yang bersedia dibayar oleh
calon pembeli andai perusahaan tersebut dijual. Nilai perusahaan sering dikaitkan
dengan harga saham yang tinggi membuat nilai perusahaan maka akan diikuti
oleh tingginya kemakmuran pemegang saham.
Nilai perusahaan yang tinggi menjadi keinginan para pemilik perusahaan,
karena menunjukan kemakmuran pemegang saham juga tinggi. Nilai perusahaan
didefenisikan sebagai nilai pasar, karena nilai perusahaan dapat memberikan
kemakmuran pemegang saham secara maksimun apabila harga saham perusahaan
meningkat.
Indikator rasio yang dipakai untuk mengukur nilai perusahaan dalam
penelitian ini adalah Tobin’s Q. Rasio ini dikembangkan oleh Profesor James
Tobin (1976) (Permanasari, 2010). Rasio ini memberikan informasi yang baik,
karena memasukan unsur hutang, modal saham perusahaan, dan seluruh aset
perusahaan karena rasio ini menjelaskan bahwa nilai perusahaan yang baik dapat
dilihat dari sisi pemegang saham ataupun kreditor. Jadi semakin besar nilai
Tobin’s Q menunjukan bahwa perusahaan memiliki prospek pertumbuhan yang
baik.
Hal ini dapat terjadi karena semakin besar nilai pasar aset perusahaan
dibandingkan dengan nilai buku aset perusahaan maka semakin besar kerelaan
investor untuk mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk memiliki perusahaan
27
2.7 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang dijadikan referensi dalam penelitian ini dijelaskan
sebagai berikut :
Tabel 2.1 Penlitian Terdahulu
No Nama peneliti dan Tahun
Penelitian
Judul Penelitian Variabel
Penelitian
Hasil Penelitian
1 Rachman (2012) Pengaruh corporate social responsibility, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan
institusional terhadap nilai perusahaan pada perusahaan
manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2008-2010
X1 : corporate social responsibility X2 : kepemilikan manajerial X3: kepemilikan institusional Y : nilai perusahaan
Corporate social dan corporate social responsibility pada nilai perusahaan
X1 : Kepemilikan Manajerial X2 : Kepemilikan Institusional X3 : Kepemilikan Publik
X4 : CSR
Y : Nilai perusahan
Kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kepemilikan publik dan csr tidak nilai perusahaan pada perusahaan
manufaktur di bursa efek indonesia
28
perusahaan 4 Amantih (2012) Pengaruh Good
Corporate (studi kasus pada perusahaan rokok yang terdaftar di BEI)
X1 : Good corporate governancce X2 : Pengungkapan CSR
5 Michelle (2014) Pengaruh kepemilikan manajerial dan kepemilikan
institusional terhadap nilai perusahaan (studi empiris pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI)
X1 : Kepemilikan manajerial X2 : kepemilikan institusional
Sumber : Rachman (2012), Komang (2013), Aditama (2013), Amantih (2012), dan Michelle (2014)
2.8 Kerangka Konseptual
Menurut agency theory, pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan
perusahaan dapat menimbulkan konflik keagenan. Konflik keagenan disebabkan
prinsipal dan agen mempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang saling
bertentangan karena agen dan prinsipal berusaha memaksimalkan utilitasnya
masing-masing.
Menurut Tendi Haruman (2008), perbedaan kepentingan antara
manajemen dan pemegang saham mengakibatkan manajemen berperilaku curang
dan tidak etis sehingga merugikan pemegang saham. Oleh karena itu diperlukan
suatu mekanisme pengendalian yang dapat mensejajarkan perbedaan kepentingan
29
meningkatkan nilai perusahaan karena dengan meningkatkan nilai perusahaan,
maka nilai kekayaannya sebagai pemegang saham akan meningkat juga
(Permanasari, 2010).
Kepemilikan institusional, dimana umumnya dapat bertindak sebagai
pihak yang memonitor perusahaan. semakin besar kepemilikan institusional maka
semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan dan diharapkan juga dapat
bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan oleh
manajemen (Faizal, 2004). Begitu pula menurut Wening (2009) semakin besar
kepemilikan oleh institusi keuangan maka semakin besar pula kekuatan suara dan
dorongan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan.
Tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan. Nilai
perusahaan akan terjamin tumbuh secara berkelanjutan jika perusahaan
memperhatikan dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup karena
keberlanjutan merupakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan
ekonomi, lingkungan dan masyarakat. Oleh karena itu dengan adanya praktik
CSR yang baik, diharapkan nilai perusahaan akan dinilai dengan baik oleh
investor (Rika dan Islahuddin, 2008).
Kerangka konseptual dari penelitian ini adalah menggambarkan hubungan
antara variabel independen dengan variabel dependen. Yang merupakan variabel
independen dalam penelitian ini adalah kepemilikan manajerial dan kepemilikan
institusional, sedangkan yang merupakan variabel dependen dari penelitian ini
30
Sumber : Rachman (2012), Komang (2013), Aditama (2013), Amantih (2012), dan Michelle (2014)
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
2.9 Hipotesis Penelitian
Menurut Sugiyono (2012: 93), “hipotesis merupakan jawaban sementara
terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian
biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan”.
Dari kerangka konseptualdiatas, maka hipotesa yang diajukan dalam
penelitian ini ialah kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional dan
pengungkapan CSR berpengaruh terhadap nilai perusahaan perbankan yang
terdaftar yang terdaftar di BEI periode 2011-2013. Kepemilikan Manajerial (X1)
Nilai Perusahaan (Y) Kepemilikan Institusional (X2)