2.1.1 Pengertian
Menurut Thoha (1996) pola asuh orangtua adalah suatu cara terbaik
yang dapat ditempuh orangtua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa
tanggungjawab kepada anak. Sedangkan menurut Hurlock (1998) pola asuh
orangtua adalah suatu metode disiplin yang diterapkan orangtua terhadap
anaknya. Metode disiplin ini meliputi dua konsep yaitu konsep negatif dan konsep
positf. Menurut konsep negatif, disiplin berarti pengendalian dengan kekuasaan.
Ini merupakan suatu bentuk pengekangan melalui cara yang tidak disukai dan
menyakitkan. Sedangkan menurut konsep positif, disiplin berati pendidikan dan
bimbingan yang lebih menekankan pada disiplin dan pengendalian diri.
Lebih jauh Hurlock (1998) juga menyebutkan bahwa fungsi pokok dari
pola asuh orangtua adalah untuk mengajarkan anak menerima
pengekangan-pengekangan yang diperlukan dan membantu mengarahkan emosi anak ke dalam
jalur yang berguna dan diterima secara sosial. Dari uraian di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa pola asuh orangtua adalah cara mengasuh dan metode disiplin
orangtua dalam menjalankan perannya yang berhubungan dengan anaknya dengan
tujuan membentuk karakter, kepribadian dan perilaku anak hingga anak dewasa.
2.1.2 Jenis-jenis Pola Asuh
Baumrind (1966) menyebutkan hasil penelitian sebelumnya tentang
sosialisasi kompetensi bahwa pola asuh orangtua yang berbeda menghasilkan
diturunkan dari dua dimensi kerangka konsep Baumrind yaitu respon dan tuntutan
(Watabe & Hibbard, 2014).
Afriani et al. (2012) menyatakan respon mengacu pada sejauh mana
orangtua mendorong anak, mendukung dan sepakat dengan permintaan anak-anak
dengan kehangatan dan komunikasi. Sedangkan tuntutan mengacu pada klaim
orangtua pada anak-anak untuk terintegrasi ke dalam masyarakat oleh perilaku
regulasi, konfrontasi langsung, serta batas waktu (kontrol perilaku) dan
pengawasan atau pemantauan kegiatan anak-anak.
Dari dua dimensi tersebut, Baumrind (1966) mengekstrak tiga kategori
pola asuh, yaitu:
a. Pola AsuhAuthoritarian
Baumrind (1966) menjelaskan pola asuh authoritarian (otoriter)
adalah pola asuh yang membatasi, menghukum dan menuntuk anak untuk
mengikuti perintah-perintah-perintah orangtua dan menghormati pekerjaan serta
usaha. Orangtua menuntut anak mengikuti perintah-perintahnya, sering memukul
anak, memaksakan aturan tanpa penjelasan, dan menunjukkan amarah. Orangtua
yang otoriter menetapkan batas-batas yang tegas dan tidakmemberi peluang yang
besar kepada anak-anak untuk berbicara atau bermusyawarah.
Menurut Hurlock (2010), peraturan yang keras untuk memaksa
perilaku yang diinginkan menandai semua jenis pola asuh yang otoriter.
Tekniknya mencakup hukuman yang berat bila terjadi kegagalan memenuh
standar dan sedikit, atau sama sekali tidak adanya persetujuan, pujian atau
Orangtua tidak mendorong anak untuk mandiri dengan mengambil
keputusan-keputusan yang berhubungan dengan tindakan mereka. Sebaliknya, mereka hanya
mengatakan apa yang harus dilakukan. Jadi anak-anak kehilangan kesempatan
belajar bagaimana mengendalikan perilaku mereka sendiri.
Dengan cara otoriter, ditambah sikap keras, menghukum dan
mengancam akan menjadikan anak patuh di hadapan orangtua, tetapi di
belakangnya ia akan menentang atau melawan karena anak merasa dipaksa.
Reaksi menentang bisa ditampilkan dalam tingkah laku yang melanggar
norma-norma lingkungan rumah, sekolah dan pergaulan (Gunarsa, 2008). Efek
pengasuhan ini akan membuat anak mengalami inkompetensi sosial, sering
merasa tidak bahagia, kemampuan komunikasi lemah, tidak memiliki inisiatif
melakukan sesuatu, dan kemungkinan berperilaku agresif (Soetjiningsih, 2012).
Anak dari orangtua yang otoriter seringkali tidak bahagia, ketakutan, minder
ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas,
dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah, serta sering berperilaku
agresif (Santrock, 2002).
b. Pola AsuhPermissive
Baumrind (1966) menjelaskan bahwa pola asuh permissive
(permisif) adalah pola asuh dimana orang orangtua sangat tidak terlibat dalam
kehidupan anak. Anak mengembangkan perasaan bahwa aspek-aspek lain
kehidupan orangtua lebih penting daripada diri mereka. Biasanya pola asuh
permisif tidak membimbing anak ke pola perilaku yang disetujui secara sosial dan
dalam situasi yang terlalu sulit untuk ditanggulangi oleh mereka sendiri tanpa
bimbingan atau pengendalian. Anak sering tidak diberi batas-batas atau kendala
yang mengatur apa saja yang boleh dilakukan. Mereka diijinkan untuk mengambil
keputusan sendiri dan berbuat sekehendak mereka sendiri (Hurlock, 2010).
Menurut Gunarsa (2008), karena harus menentukan sendiri, maka
perkembangan kepribadian anak menjadi tidak terarah. Pada anak tumbuh
egosentrisme yang terlalu kuat dan kaku, dan mudah menimbulkan
kesulitan-kesulitan jika harus menghadapi larangan-larangan yang ada dalam masyarakat.
Efek pengasuhan ini anak akan memiliki kendali diri yang buruk, inkompentensi
sosial, tidak mandiri, harga diri rendah, tidak dewasa, rasa terasing dari keluarga,
serta pada saat remaja akan suka membolos dan nakal (Soetjiningsih, 2012). Anak
dari orangtua yang permisif akan memiliki harga diri yang rendah, tidak dewasa,
kesulitan belajar menghormati orang lain, kesulitan mengendalikan perilakunya,
egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan dalam berhubungan dengan teman
sebaya (Santrock, 2002).
c. Pola AsuhAuthoritative
Baumrind (1966) menjelaskan bahwa pola asuh authoritative
(demokratis) adalah pola asuh yang mendorong anak-anak agar mandiri tetapi
masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka.
Musyawarah verbal yang ekstensif dimungkinkan dan orangtua memperlihatkan
kehangatan serta kasih sayang kepada anak. Pengasuhan yang demokratif
Menurut Hurlock (2010), metode demokratis menggunakan
penjelasan, diskusi dan penalaran untuk membantu anak mengerti mengapa
perilaku tertentu diharapkan. Metode ini lebih menekankan aspek edukatif dari
disiplin daripada aspek hukumannya. Pola asuh ini menggunakan hukuman dan
penghargaan, dengan penekanan yang lebih besar pada penghargaan. Hukuman
tidak pernah keras dan biasanya tidak terbentuk hukuman badan. Hukuman hanya
digunakan bila terdapat bukti bahwa anak-anak sadar menolak melakukan apa
yang diharapkan dari mereka. Bila perilaku anak memenuhi standar yang
diharapkan, orangtua yang demokratis akan menghargainya dengan pujian atau
persetujuan oranglain.
Dengan cara demokratis ini pada anak akan tumbuh rasa
tanggungjawab untuk memperlihatkan sesuatu tingkah laku dan selanjutnya
memupuk rasa percaya dirinya. Anak akan mampu bertindak sesuai norma dan
menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Gunarsa, 2008). Efek pengasuhan
demokratis, yaitu anak mempunyai kompetensi sosial percaya diri dan
bertanggungjawab secara sosial. Juga tampak ceria, bisa mengendalikan diri dan
mandiri, berorientasi pada prestasi, mempertahankan hubungan ramah dengan
teman sebaya, mampu bekerja sama dengan orang dewasa, dan mampu mengatasi
stres dengan baik (Soetjiningsih, 2012). Anak dari orangtua yang demokratis
ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi,
mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman
sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan bisa mengatasi stres dengan baik
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh
Dalam memberlakukan pola asuh di lingkungan keluarga, orangtua
dipengaruhi oleh beberapa hal. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pola
asuh orangtua terhadap anak menurut Hurlock (2010) adalah:
a. Kesamaan dengan disiplin yang digunakan orangtua
Jika orangtua mereka memberikan pola asuh yang baik maka akan
mereka tetapkan juga pada anak mereka, namun sebaliknya jika kurang sesuai
maka akan digunakan cara yang berlawanan.
b. Penyesuaian dengan cara yang disetujui kelompok
Semua orangtua lebih dipengaruhi oleh apa yang oleh anggota
kelompok mereka dianggap sebagai cara terbaik, daripada oleh pendirian mereka
sendiri mengenai apa yang terbaik.
c. Usia orangtua
Orangtua yang lebih muda cenderung demokratis dan permisif
dibandingkan dengan mereka yang tua. Mereka cenderung mengurangi kendali
ketika anak beranjak remaja.
d. Pendidikan untuk menjadi orangtua
Orangtua yang belajar cara mengasuh anak dan mengerti kebutuhan
anak akan lebih menggunakan pola asuh yang demokratis daripada orangtua yang
e. Jenis kelamin
Wanita pada umumnya lebih mengerti anak dan kebutuhannya
dibanding pria, dan mereka cenderung kurang otoriter. Hal ini berlaku untuk
orangtua maupun pengasuh lainnya.
f. Status sosial ekonomi
Orangtua dari kalangan menengah ke bawah akan lebih otoriter dan
memaksa daripada mereka yang dari menengah ke atas. Semakin tinggi
pendidikan pola asuh yang digunakan semakin cenderung demokratis.
g. Konsep mengenai peran orang dewasa
Orangtua yang mempertahankan konsep tradisional mengenai
peran orangtua, cenderung lebih otoriter dibandingkan orangtua yang telah
menganut konsep modern.
h. Jenis kelamin anak
Orangtua pada umunya akan lebih keras terhadap anak perempuan
daripada terhadap anak laki-lakinya.
i. Usia anak
Pola asuh otoriter digunakan untuk anak kecil, karena anak-anak
tidak mengerti penjelasan sehingga mereka memusatkan perhatian pada
pengendalian otoriter.
j. Situasi
Ketakutan dan kecemasan biasanya tidak diganjar hukuman,
sedangkan sikap menantang, negativitisme, dan agresi kemungkinan lebih
2.1.4 Aspek-aspek Pola Asuh Orangtua
Dalam menerapkan pola asuh terdapat unsur-unsur penting yang dapat
mempengaruhi pembentukan pola asuh pada anak. Hurlock (2010)
mengemukakan bahwa pola asuh orangtua memiliki aspek-aspek berikut ini:
a. Peraturan, tujuannya adalah untuk membekali anak dengan
pedoman perilaku yang disetujui dalam situasi tertentu. Hal ini berfungsi untuk
mendidik anak bersikap lebih bermoral. Karena peraturan memiliki nilai
pendidikan mana yang baik serta mana yang tidak, peraturan juga akan membantu
mengekang perilaku yang tidak diinginkan. Peraturan haruslah mudah dimengerti,
diingat dan dapat diterima oleh anak sesuai dengan fungsi peraturan itu sendiri.
b. Hukuman, yang merupakan sangsi pelanggaran. Hukuman
memiliki tiga peran penting dalam perkembangan moral anak. Pertama, hukuman
menghalangi pengulangan tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat.
Kedua, hukuman sebagai pendidikan, karena sebelum anak tahu tentang peraturan
mereka dapat belajar bahwa tindakan mereka benar atau salah, dan tindakan yang
salah akan memperoleh hukuman. Ketiga, hukuman sebagai motivasi untuk
menghindari perilaku yang tidak diterima oleh masyarakat.
c. Penghargaan, bentuk penghargaan yang diberikan tidaklah harus
yang berupa benda atau materi, namun dapat berupa kata-kata, pujian, senyuman,
ciuman. Biasanya hadiah diberikan setelah anak melaksanakan hal yang terpuji.
Fungsi penghargaan meliputi penghargaan yang mempunyai nilai yang mendidik,
perilaku yang disetujui secara sosial, dan tidak ada penghargaan yang
melemahkan keinginan untuk mengulang perilaku itu.
d. Konsistensi, berarti kestabilan atau keseragaman. Sehingga anak
tidak bingung tentang apa yang diharapkan dari mereka. Fungsi konsistensi adalah
mempunyai nilai didik yang besar sehingga dapat memacu proses belajar,
memiliki motivasi yang kuat dan mempertinggi penghargaan terhadap peraturan
dan orang yang berkuasa. Oleh karena itu kita harus konsiten dalam menetapkan
semua aspek disiplin agar nilai yang kita miliki tidak hilang.
2.2 Usia Prasekolah
2.2.1 Pengertian Anak Prasekolah
Anak usia prasekolah merupkan fase perkembangan individu sekitar 2-6
tahun, ketika anak memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita,
dapat mengatur diri dalam buang air (toilet training), dan mengenal beberapa hal
yang dianggap berbahaya (mencelakakan dirinya) (Yusuf, 2011). Batasan anak
usia prasekolah adalah dari setelah kelahiran 0 tahun hingga usia sekitar 6 tahun
(Prastisti, 2008).
Anak prasekolah adalah anak yang berusia antara tiga setengah hingga
enam tahun, sebelum anak memulai pendidikan formal di sekolah. Anak
prasekolah tidak lagi nampak seperti bayi, dia belajar bersikap lebih dewasa dan
bisa melakukan hal yang menyenangkan bagi orang-orang dewasa dalam
hidupnya ketika dia mendapatkan pengakuan dan pujian atas karyanya (Hagan,
Maka dapat disimpulkan bahwa anak prasekolah adalah anak yang
berusia tiga hingga enam tahun, sebelum anak memulai pendidikan formal.
2.2.2 Perkembangan Anak Prasekolah
Wong (2008), kombinasi pencapaian biologis, psikososial, kognitif,
spiritual, dan sosial selama periode prasekolah (usia 3 sampai 5 tahun)
mempersiapkan anak prasekolah untuk perubahan gaya hidupnya yang paling
bermakna yaitu masuk sekolah. Kontrol mereka terhadap fungsi tubuh,
pengalaman periode perpisahan yang pendek dan panjang, kemampuan
berinteraksi secara kerjasama dengan anak lain dan orang dewasa, penggunaan
bahasa untuk simbolisasi mental, dan meningkatnya rentang perhatian dan
memori mempersiapkan mereka untuk periode mayor berikutnya, masa sekolah.
Keberhasilan pencapaian tingkat pertumbuhan dan perkembangan sebelumnya
sangat penting bagi anak prasekolah untuk memperhalus tugas-tugas yang telah
mereka kuasai selama masa toodler.
Dalam Wong (2008) disebutkan bahwa pertumbuhan dan
perkembangan anak pada usia 5 tahun selama masa prasekolah, antara lain:
a. Fisik: 1) denyut nadi dan respirasi sedikit menurun, 2) rata-rata
berat badan 18,7 kg, 3) rata-rata tinggi badan 110 cm, 4) erupsi gigi permanen
mungkin sudah mulai, dan 5) dominansi tangan sudah tercapai (sekitar 90% tidak
kidal).
b. Motorik kasar: 1) lompat tali dengan melompat kanan-kiri secara
bergantian, 2) melempar dan menangkap bola dengan baik, 3) lompat tali, 4)
dengan tumit ke jari, 6) Melompat dari ketinggian 30 cm dan mendarat pada jari
kaki, dan 7) keseimbangan berjalan dengan kaki kanan-kiri secara bergantian
dengan mata tertutup.
c. Motorik halus: 1) mengikat tali sepatu, 2) menggunakan gunting,
peralatan sederhana, atau pensil dengan sangat baik, 3) dalam menggambar,
menyiplak wajk dan segitiga, tambahkan tujuh sampai sembilan bagian untuk
membentuk suatu gambar, cetak beberapa surat, atau kata-kata seperti nama
pertama.
d. Bahasa: 1) memiliki perbendaharaan sekitar 2100 kata, 2)
menggunakan kalimat yang terdiri atas enam sampai delapan kata,dengan semua
bagian percakapan, 3) menamakan koin (misalnya, nikle, dime), 4) menamakan
empat warna atau lebih, 5) menerangkan gambar atau lukisan dengan banyak
komentar dan menyebutkan satu per satu, 6) mengetahui nama-nama hari dalam
satu minggu, bulan dan kata-kata yang berhubungan dengan waktu lainnya, 7)
mengetahui komposisi benda seperti “sepatu terbuat dari....”, dan 8) dapat
mengikuti tiga perintah secara berturut-turut.
e. Sosialisasi: 1) sifat pemberontak dan menyukai percekcokan lebih
jarang dari usia 4 tahun, 2) lebih mapan dan memiliki hasrat besar dalam
menjalankan kesibukan, 3) pikiran dan perilaku tidak sama terbuka dan
terjangkaunya dengan pada tahun-tahun sebelumnya, 4) mandiri tetapi dapat
dipercaya, tidak keras kepala, lebih bertanggung jawab, 5) ketakutannya lebih
sedikit, percaya pada otoritas di luar untuk mengontrol dunia, 6) sangat
lain, berusaha hidup dalam aturan, 7) perilakunya lebih baik, 8) mengasuh diri
sendiri secara total, terkadang perlu supervisi dalam berpakaian atau hygiene, 9)
tidak siap untuk berkonsentrasi pada pekerjaan dekat atau cetakan kecil karena
agak rabun dekat dan koordinasi mata-tangannya masih belum halus, dan 10)
bermain bersifat aosiatif, mencoba mengikuti aturan tetapi mungkin bermain
curang untuk menghindari kekalahan.
f. Kognisi: 1) mulai mempertanyakan tentang apa yang dipikirkan
orangtu dengan membandingkan mereka terhadap teman sebaya dan orang dewasa
lain, 2) dapat memperhatikan adanya prasangka dan bias di dunia luar, 3) lebih
mampu melihat perspektif orang lain tetapi lebih menoleransi perbedaan daripada
memahaminya, 4) mulai memperlihatkan pemahaman terhadap perccakapan
tentang jumlah melalui penghitungan benda-benda tanpa memerhatikan
susunannya, 5) menggunakan kata-kata berorientasi waktu dengan pemahaman
yang lebih baik, dan 6) Sangat ingin tahu mengenai informasi nyata berkenaan
dengan dunia.
g. Hubungan keluarga: 1) bekerja sama dengan orangtua secara baik,
2) mungkin lebih sering mencri orangtua dibandingkan usia 4 tahun untuk
mencari rasa aman dan ketenangan, terutama ketika masuk sekolah, 3) mulai
menanyakan pemikiran dan prinsip orangtua, 4) sangat mengidentifikasi orangtua
dengan jenis kelamin yang sama, terutama anak lelaki dengan ayahnya, dan 5)
menyukai aktivitis seperti olahraga, memasak, dan berbelanja dengan orangtua
2.3 Konsep Urutan Kelahiran Anak
Penelitian-penelitian longitudinal yang telah dilakukan mengenai efek
berbagai posisi urutan realatif hanya sedikit. Namun beberapa penelitian terhadap
anak-anak yang lebih besar, remaja-remaja dan orang-orang dewasa dari berbagai
posisi urutan menunjukkan betapa posisi urutan dapat menjadi faktor yang kuat
dalam menentukan jenis penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial yang harus
dilakukan individu sepanjang rentang kehidupannya.
Beberapa ciri umum sehubungan dengan urutan kelahiran anak menurut
Hurlock (1980):
1. Anak pertama: 1) berperilaku secara matang karena berhubungan dengan
orang-orang dewasa dan karena diharapkan memikul tanggung jawab, 2) benci
terhadap fungsinya sebagai teladan bagi adik-adiknya sebagai pengasuh mereka,
3) cenderung mengikuti kehendak dan tekanan kelompok dan mudah dipengaruhi
untuk mengikuti kehendak orangtua, 4) mempunyai perasaan kurang aman dan
perasaan benci sebagai akibat dari lahirnya adik yang sekarang menjadi pusat
perhatian, 5) kurang agresif dan kurang berani karena perlindungan orangtua yang
berlebihan, 6) mengembangkan kemampuan memimpin sebagai akibat dari harus
memikul tanggungjawab di rumah. Tetapi ini sering disanggah dengan
kecenderungan untuk menjadi bos, 7) biasanya berprestasi tinggi atau sangat
tinggi karena tekanan dan harapan orangtua dan keinginan untuk memperoleh
kembali perhatian orangtua bila ia merasa bahwa adik-adiknya merebut perhatian
orangtua dari dirinya, dan 8) sering tidak bahagia karena adanya perasaan kurang
adik-adiknya dan benci karena mempunyai tugas dan tanggungjawab yang lebih
banyak daripada adik-adiknya.
2. Anak tengah: 1) belajar mandiri dan bertualang adalah akibat dari
kebebasan yang lebih banyak, 2) menjadi benci atau berusaha melebihi perilaku
kakaknya yang lebih diunggulkan, 3) tidak menyukai keistimewaan yang
diperoleh kakaknya, 4) bertingkah dan melanggar peraturan untuk menarik
perhatian orangtua bagi dirinya sendiri dan merebut perhatian orangtua dari kakak
atau adik-adiknya, 5) mengembangkan kecenderungan untuk menjadi bos,
mengejek, mengganggu, atau bahkan menyerang adik-adiknya yang memperoleh
lebih banyak perhatian orangtua, 6) mengembangkan kebiasaan untuk tidak
berprestasi tinggi karena kurangnya harapan-harapan orangtua dan kurangnya
tekanan untuk berprestasi, 7) mempunyai tanggung jawab yang lebih sedikit
dibandingkan tanggung jawab anak pertama. Sering ditafsirkan bahwa anak
tengah lebih rendah daripada anak pertama. Hal ini melemahkan pengembangan
sifat-sifat kepemimpinan, 8) terganggu oleh perasaan-perasaan diabaikan orangtua
yang selanjutnya mendorong timbulnya perkembangan gangguan perilaku. Hal ini
seringkali mengakibatkan penyesuaian sosial yang lebih baik daripada
penyesuaian anak pertama, dan 9) mencari persahabatan dengan teman-teman
sebaya di luar rumah, hal ini seringkali mengakibatkan penyesuaian sosial yang
lebih baik daripada penyesuaian anak pertama.
3. Anak bungsu: 1) cenderung keras dan banyak menuntut sebagai akibat
dari kurang ketatnya disiplin dan dimanjakan oleh anggota-anggota keluarga, 2)
pernah disaingi oleh saudara-saudaranya yang lebih muda, 3) biasanya dilindungi
orangtua dari serangan fisik atau verbal kakak-kakaknya dan hal ini mendorong
ketergntungan dan kurangnya rasa tanggung jawab, 4) cenderung tidak berprestasi
tinggi karena kurangnya harapan dan tuntutan orangtua, 5) mengalami hubungan
sosial yang baik di luar rumah dan biasanya populer tetapi jarang menjadi
pemimpin karena kurangnya kemauan memikul tanggung jawab, dan 6)
cenderung merasa bahagia karena memperoleh perhatian dan dimanjakan
anggota-anggota keluarga selama awal masa kanak-kanak.
2.4 Kemandirian Anak
2.4.1 Konsep Kemandirian
Dalam teori kemandirian yang dikembangkan Steinberg (1995) istilah
independence dan autonomy sering disejajarartikan secara berganti
(interchangeable) sesuai dengan konsep kedua istilah tersebut. Meski secara
umum kedua istilah tersebut memiliki arti yang sama yakni kemandirian, tetapi
sesungguhnya secara konseptual kedua istilah tersebut berbeda. Secara leksikal
independence mengacu kepada kapasitas individu untuk memperlakukan diri
sendiri. Steinberg (1995) menyatakan independence generally refers to
individuals’ capacity to behave on their own. Berdasarkan konsep independence
ini Steinberg (1995) menjelaskan bahwa anak yang sudah mencapaiindependence
ia mampu menjalankan atau melakukan sendiri aktivitas hidup terlepas dari
pengaruh kontrol orang lain terutama orangtua. Misalnya, ketika anak ingin buang
air kecil ia langsung pergi ke toilet, tidak merengek-rengek meminta dibantu buka
konsepindependence ini merupakan bagian dari perkembangan autonomyselama
masa remaja, hanya autonomy mencakup dimensi emosional, behavioral, dan
nilai. Steinberg (1995) menegaskan the growth of independence is surely a part of
becoming autonomous during adolescence.
Wijaya (1986), mengemukakan tiga istilah yang bersepadanan untuk
menunjukkan kemampuan berdikari anak, yaitu autonomy, kompetensi, dan
kemandirian. Menurutnya, kompetensi berarti kemampuan untuk bersaing dengan
individu-individu lain yang normal. Kompetensi juga menunjuk pada suatu taraf
mental yang cukup pada individu untuk memikul tanggungjawab atas
tindakan-tindakannya. Istilah autonomy seringkali disamaartikan dengan kemandirian,
sehingga didefenisikan bahwa individu yang otonom ialah individu yang mandiri,
tidak mengandalkan bantuan atau dukungan orang lain yang kompeten, dan bebas
bertindak. Padahal dalam perspektif Widjaja (1986) autonomy dan kemandirian
adalah dua konsep yang berbeda. Menurutnya, kemandirian menunjuk pada
adanya kepercayaan akan kemampuan diri untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan tanpa bantuan khusus dari orang lain, keengganan untuk dikontrol orang
lain, dapat melakukan sendiri masalah-masalah yang dihadapi.
Berdasarkan konsep-konsep di atas dapat disimpulkan bahwa
kemandirian adalah kemampuan untuk menguasai, mengatur, atau mengelola diri
sendiri.
2.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemandirian
Setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda antara anak yang
kemampuan individual anak. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
kemandirian anak (Soetjiningsih, 1995):
a. Faktor Internal
1) Faktor emosi ditujukkan dengan kemampuan mengontrol
emosi dan tidak terganggunya kebutuhan emosi anak.
2) Faktor intelektual yang ditujukkan dengan kemampuan untuk
mengatasi masalah yang dihadapi anak.
b. Faktor Eksternal
1) Lingkungan merupakan faktor yang menentukan tercapai atau
tidaknya kemandirian anak prasekolah. Pada usia ini anak membutuhkan
kebebasan untuk bergerak kesana-kemari dan mempelajari lingkungan.
2) Karakteristik sosial mempengaruhi kemandirian anak,
misalnya tingkat kemandirian anak dari keluarga miskin berbeda dengan
anak-anak dari keluarga kaya.
3) Anak yang mendapat stimulus terarah dan teratur akan lebih
cepat mandiri dibanding dengan anak yang kurang mendapat stimulasi.
4) Pola asuh, anak dapat mendiri dengan diberi kesempatan,
dukungan dan peran orangtua sebagai pengasuh.
5) Cinta dan kasih sayang kepada anak hendaknya diberikna
sewajarnya karena jika diberikan berlebihan, anak menjadi kurang mandiri. Hal
ini dapa diatasi bila interaksi dua arah antara orangtua dan anak berjalan lancar
6) Kualitas informasi anak dan orangtua yang dipengaruhi
pendidikan orangtua, dengan pendidikan yang baik, informasi dapat diberikan
pada anak karena orangtua dapat menerima informasi dari luar terutama cara
meningkatkan kemandirian anak.
7) Status pekerjaan ibu, apabila ibu bekerja di luar rumah untuk
mencari nafkah maka ibu tidak bisa memantau kemandirian anak sesuai
perkembangan usianya. Sedangkan ibu yang tidak bekerja, ibu dapat memantau
langsung kemandirian anak dan bisa memandirikan anaknya.
2.4.3 Bentuk Kemandirian Berdasarkan Usia
Orangtua sudah saatnya mengetahui tentang standart kompetensi anak,
yaitu kompetensi anak sesuai tahapan usia dari berbagai aspek perkembangan. Hal
ini perlu diketahui agar para orangtua mengetahui kompetensi apa yang
sepatutnya dimiliki oleh anaknya. Salah satu manfaatnya adalah untuk
menghindari orangtua menetapkan standart di atas kemampuan anak sebenarnya.
Berikut bentuk kemandirian anak berdasarkan usia menurut Wening
(2012 dalam Putra, 2012):
a. Usia 3-4 tahun
Bentuk kemandirian anak pada usia prasekolah ini adalah sikat gigi
sendiri meski belum sempurna, membuka dan memakai pakaian kaos dan celana
berkaret, memakai sepatu berperekat, mandiri sendiri pada waktunya, buang air
kecil di kamar mandi, mencuci tangan tanpa bantuan sebelum dan sesudah
beraktifitas, menuang air tanpa tumpah dan minum sendiri dengan gelas tanpa
diingatkan, membantu membersihkan lingkungan, mampu berpisah dengan
orangtua tanpa menangis, memiliki kebiasaan yang teratur seperti makan, mandi,
dan tidur.
b. Usia 5-6 tahun.
Bentuk kemandirian pada usia ini adalah menggunakan pisau untuk
memotong makanan, membuka dan memakai baju berkancing depan, membuka
dan menutup celana bersleting, menalikan sepatu, mandi sendiri tanpa arahan,
cebok setelah buang air kecil atau besar, menyisir rambut, mampu makan sendiri,
mampu berpisah dengan ibu tanpa menangis, mampu BAB dan BAK sendiri, dan
mampu berpakaian sendiri tanpa bantuan, membuang sampah pada tempatnya,
merapika mainan setelah digunakan, menaati peraturan yang berlaku dn pergi ke
sekolah tepat waktu.
2.5 Personal Hygiene
2.5.1 Pengertianpersonal hygiene
Pemeliharaanpersonal hygiene berarti tindakan memelihara kebersihan
dan kesehatan diri seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikisnya. Seseorang
dikatakan memiliki personal hygiene baik apabila, orang tersebut dapat menjaga
kebersihan tubuhnya yang meliputi kebersihan kulit, gigi dan mulut, rambut,
mata, hidung, dan telinga, kaki dan kuku, genitalia, serta kebersihan dan
kerapihan pakaiannya.
2.5.2 Macam-macam tindakanpersonal hygiene
Menurut Potter dan Perry (2005) macam-macampersonal hygiene:
Kulit berfungsi sebagai pertukaran oksigen, nutrisi, dan cairan
dengan pembuluh darah yang berada di bawahnya; mensintesa sel baru; dan
mengeliminasi sel mati, sel yang tidak berfungsi. Sel-sel integumen memerlukan
nutrisi dan hidrasi yang cukup untuk menahan cedera dan penyakit. Sirkulasi yang
adekuat penting untuk memelihara kehidupan sel. Kulit seringkali merefleksikan
perubahan pada kondisi fisik dengan perubahan pada warna, ketebalan, tekstur,
turgor, temperatur, dan hidrasi. Umur mempengaruhi kondisi normal kulit dan
tipe tindakan hygiene yang diperlukan. Dengan demikian anak-anak memiliki
resistensi yang terbesar untuk infeksi dan iritasi kulit. Anak-anak lebih aktif
bermain, dan ketiadaan kebiasaan hygiene yang dibentuk, perhatian terbesar
diperlukan orangtua dan pemberi asuhan untuk memberikanhygienedan memulai
pengajaran kebiasaanhygieneyang baik.
Salah satu cara untuk menjaga kebersihan kulit adalah dengan
mandi. Dimana mandi bertujuan untuk: membersihkan kulit, yaitu pembersihan
mengurangi keringat, beberapa bakteria, sebum dan sel kulit yang mati, yang
meminimalkan iritasi kulit dan mengurangi kesempatan infeksi; stimulasi
sirkulasi, yaitu sirkulasi yang baik ditingkatkan melalui penggunaan air hangat
dan usapan yang lembut pada ekstremitas; peningkatan citra diri, mandi
meningkatkan relaksasi dan perasaan segar kembali dan kenyamanan;
pengurangan bau badan, yaitu sekresi keringat yang berlebihan dari kelenjar
apokrin berlokasi di area aksila dan pubik menyebabkan bau badan yang tidak
menyenangkan; dan peningkatan rentang gerak, yaitu gerakan ekstremitas selama
Pembersihan mengangkat minyak yang berlebihan, keringat, sel
kulit mati, dan kotoran yang meningkatkan perkembangan bakteri dapat dilakukan
dengan mandi setiap hari. Setelah mandi seluruh tubuh dikeringkan supaya tidak
terjadi kelembapan yang berlebihan yang akan menyebabkan maserasi kulit, yang
meningkatkan perkembangan bakteri. Kebersihan kulit juga dijaga dengan
membersihkan perineal setiap kali uang air besar dan buang air kecil, sebab
sekresi keringat yang berlebihan dari kelenjar apokrin di daerah aksila dan pubis
menyebabkan bau yang tidak sedap. Dan sekresi yang terakumulasi pada
permukaan kulit sekitar genitalia berperan sebagai tempat penyimpanan infeksi.
2. Kebersihan kaki dan kuku
Kaki dan kuku seringkali memerlukan perhatian khusus untuk
mencegah infeksi, bau dan cedera pada jaringan. Perawatan dapat digabungkan
selama mandi atau pada waktu yang terpisah. Seringkali, orang tidak sadar akan
masalah kaki dan kuku sampai terjadi nyeri atau ketidaknyamanan. Masalah
dihasilkan karena perawatan yang salah atau kurang terhadap kaki dan tangan
seperti menggigit kuku atau pemotongan yang tidak tepat, pemaparan dengan
zat-zat kimia yang tajam, dan pemakaian sepatu yang tidak pas. Ketidaknyamanan
dapat mengarah pada stres fisik dan emosional.
Jenis alas kaki yang dipakai dapat mempengaruhi masalah kaki dan
kuku klien. Anak-anak seperti dewasa muda yang secara teratur gagal memakai
kaus kaki akan memiliki keringat yang berlebihan yang meningkatkan
pertumbuhan jamur. Sepatu sempit atau kurang pas, kaus kaki, ikat kaus kaki, atau
mengganggu sirkulasi kaki. Pengulangan pemakaian alas kaki juga menyebabkan
infeksi. Karena itu gunakan kaus kaki dan stoking yang bersih setiap hari. Ganti
kaus kaki dua kali sehari jika kaki berkeringat banyak. Kaus kaki harus bebas
lubang atau jahitan yang menyebabkan tekanan. Dan jangan berjalan dengan kaki
tanpa sepatu atau kaus kaki.
Beberapa masalah umum kaki dan kuku antara lain: infeksi jamur
kaki (tinea pedis), kuku yang tumbuh ke dalam, dan bau kaki. Infeksi jamur kaki
merupakan ketidaksamaan sisi dan keretakan kulit terjadi antara jari dan tumit
kaki. Kaki yang melepuh kecil berisi cairan dapat terlihat. Masalah ini disebabkan
pemakaian alas kaki yang ketat. Implikasi dari infeksi jamur dapat menyebar ke
bagian tubuh yang lain, khususnya tangan. Hal ini sangat menular dan seringkali
kambuh. Intervensi untuk mengatasi kondisi ini sebaiknya kaki berventilasi baik.
Pengeringan kaki dengan baik setelah mandi dan penggunaan bedak membantu
mencegah infeksi. Mengenakan kaus kaki atau stoking yang bersih mengurangi
insiden. Masalah kuku yang tumbuh ke dalam yaitu dimana jari kaki atau jari
tangan masuk ke dalam jaringan yang halus sekitar kuku. Kuku yang masuk ke
dalam akibat dari pemotongan kuku yang tidak tepat. Hal ini bisa menyebabkan
nyeri lokal jika terkena tekanan. Intervensinya adalah sering berendam pada
larutan antiseptik yang panas dan pengangkatan bagian kuku yang telah tumbuh
ke dalam bagian kulit. Masalah lain yaitu bau kaki, dimana hal ini terjadi karena
akibat keringat yang berlebihan yang meningkatkan perkembangan
mikroorganisme. Implikasinya yaitu dapat menyebabkan ketidaknyamanan akibat
deodorant kaki dan bedak, dan pemakaian alas kaki yang bersih mencegah atau
mengurangi masalah.
3. Kebersihan mulut
Hygiene mulut yang baik termasuk kebersihan, kenyamanan, dan
kelembaban struktur mulut. Hygiene mulut membantu mempertahankan status
kesehatan mulut, gigi, gusi, dan bibir. Menggosok membersihkan gigi dari
partikel-partikel makanan, plak; memasase gusi; dan mengurangi
ketidaknyamanan yang dihasilkan dari bau dan rasa yang tidak nyaman. Flossing
membantu lebih lanjut dalam mengangkat plak dan tartar di antara gigi untuk
mengurangi inflamasi gusi dan infeksi. Hygienemulut yang lengkap memberikan
rasa sehat dan selanjutnya menstimulus nafsu makan. Sepanjang masa hidup
seseorang, perubahan fisiologi mempengaruhi kondisi dan penampilan struktur
rongga mulut. Anak dapat terjadi karies gigi pada gigi susu karena pola makan
atau kurangnya perawatan gigi. Pada anak usia 8-6 tahun 20 gigi susu telah ada.
Usia 2 tahun anak mulai menggosok gigi dan belajar praktik hygiene dari
orangtua, karies gigi menjadi masalah jika mengabaikan kebersihan gigi. Pada
usia 6 tahun, gigi bayi mulai tanggal dan digantikan gigi permanen.
Tujuan pembersihan mulut antara lain, supaya mukosa mulut
terhidrasi dengan baik dan mulut tetap terasa nyaman. Dua tipe masalah besar
mulut adalah karies gigi (lubang) yang paling sering dialami oleh orang muda dan
penyakit periodontal yang sering dialami oleh orang dewasa. Perkembangan
lubang merupakan proses patologi yang melibatkan kerusakan email gigi pada
gigi menjadi kecoklatan atau kehitaman. Masalah mulut lainnya yaitu: halitosis
(bau napas) yang merupakan akibat dari hygiene mulut yang buruk, pemasukan
makanan tertentu, atau proses infeksi atau penyakit. Hygiene mulut yang tepat
dapat mengeliminasi bau kecuali penyebabnya adalah kondisi sistemik seperti
penyakit liver atau diabetes; keilosis, gangguan bibir yang retak terutama pada
sudut mulut. Pemberian minyak pada bibir mempertahankan kelembaban, dan
salep antijamur atau antibakteri memperkecil perkembangan mikroorganisme.
Mukosa, lidah, dan bibir akan menjadi merah muda, lembab, dan
utuh serta gigi akan bebas dari partikel makanan jika dilakukan perawatan mulut
setelah makan dan sebelum tidur, seperti menggosok gigi dengan sikat gigi lembut
dengan gerakan horizontal dan mencuci mulut juga bibir. Hal ini akan
meningkatkan jaringan gusi, mengurangi kotoran, dan menghasilkan pengontrolan
plak. Sikat gigi yang lembut dengan gerakan horizontal membantu melindungi
jaringan gusi yang lembut dan mencegah perdarahan. Gosok gigi dengan teliti
sedikitnya empat kali sehari (setelah makan dan waktu tidur) adalah dasar
program hygiene mulut yang efektif. Sikat gigi harus memiliki pegangan yang
lurus, dan bulunya harus cukup kecil untuk menjangkau semua bagian mulut.
Sikat gigi harus diganti setiap 3 bulan. Bahkan, permukaan sikat yang bulat
dengan bulu yang lembut, banyak, dari nilon adalah yang terbaik. Bulu halus yang
bundar menstimulasi gusi tanpa menyebabkan abrasi atau perdarahan. Baik sikat
atau spon yang digunakan, membilas dengan teliti setelah menggosok gigi penting
untuk mengurangi partikel makanan yang dikeluarkan atau kelebihan pasta gigi.
Bagaimanapun penggunaan obat kumur dalam jangka waktu yang lama akan
mengeringkan mukosa.
4. Kebersihan rambut
Rambut normal adalah bersih, bercahaya dan tidak kusut, untuk
kulit kepala harus bebas dari lesi. Sepanjang hidup, perubahan dan perkembangan,
distribusi, dan kondisi rambut dapat mempengaruhi hygiene yang dibutuhkan
seseorang. Praktik keperawatan rambut yang baik harus dilakukan rutin untuk
memenuhi kebutuhan hygiene seseorang. Perawatan rambut dan kulit kepala
bertujuan untuk membersihkan kulit kepala dan rambut sehingga tetap terjaga
sehat dan mencapai rasa nyaman dan harga diri yang baik.
Penyikatan yang sering membantu mempertahankan kebersihan
rambut dan mendistribusi minyak secara merata sepanjang helai rambut.
penyisiran hanya membentuk gaya rambut dan mencegah rambut kusut. Sisir
bergerigi pendek cukup untuk rambut pendek, tapi sisir bergerigi panjang dipilih
untuk rambut keriting. Sisir bergerigi tajam dan tidak beraturan dapat melukai
kulit kepala. Selain dari itu, bersampo juga sangat mempengaruhi kebersihan kulit
kepala dan rambut. Bersampo membuat rambut bersih. Frekuensi bersampo
tergantung rutinitas pribadi sehari-hari dan kondisi rambut. Tetapi sampo yang
tersisa menyebabkan rambut kusam. Sampo yang mengering menyebabkan iritasi
kulit kepala.
5. Kebersihan mata, telinga, dan hidung
Perhatian khusus diberikan untuk membersihkan mata, telinga, dan
diperlukan untuk mata karena secara terus-menerus dibesarkan air mata, dan
kelopak mata dan bulu mata mencegah masuknya partikel asing. Seseorang hanya
memerlukan untuk memindahkan sekresi kering yang terkumpul pada kantus
sebelah dalam atau bulu mata. Pembersihan mata biasanya dilakukan selama
mandi dan melibatkan pembersihan dengan waslap bersih yang dilembabkan
dengan air. Sabun yang menyebabkan panas dan iritasi biasanya dihindari.
Hygienetelinga mempunyai implikasi utuk ketajaman pendengaran
bila substansi lilin atau benda asing berkumpul pada kanal telinga luar, yang
mengganggu konduksi suara. Pembersihan telinga merupakan bagian rutin dalam
kegiatan mandi di tempat tidur. Pembersihan berakhir dengan waslap yang
dilembabkan, dirotasikan ke kanal telinga dengan lembut, kerja terbaik untuk
pembersihan.
Hidung memberikan indera penciuman tetapi juga memantau
temperatur dan kelembapan udara yang dihirup serta mencegah masuknya partikel
asing ke dalam sistem pernapasan. Pembersihan hidung biasanya dilakukan
dengan mengangkat sekresi hidung secara lembut dengan menggunakan tissue.
Hal ini menjadi hygiene harian yang diperlukan. Jika mengeluarkan kotoran
dengan kasar bisa mengakibatkan tekanan yang mencederai gendang telina,
mukosa hidung, dan bahkan struktur mata yang sensitif. Perdarahan hidung adalah
tanda kunci dari pengeluaran yang kasar, iritasi mukosa, atau kekeringan.
2.5.3 Faktor-faktor yang MempengaruhiPersonal Hygiene
Menurut Potter dan Perry (2005), sikap seseorang melakukanpersonal
1. Citra tubuh (Body Image)
Penampilan umum pasien dapat menggambarkan pentingnya
personal hygiene pada orang tersebut. Citra tubuh merupakan konsep subjektif
seseorang tentang penampilan fisiknya. Citra tubuh dapat berubah, karena operasi,
pembedahan atau penyakit fisik maka perawat harus membuat suatu usaha ekstra
untuk meningkatkan hygiene dimana citra tubuh mempengaruhi cara
mempertahankanhygiene. Body image seseorang berpengaruhi dalam pemenuhan
personal hygiene karena adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli
terhadap kebersihannya.
2. Praktik sosial
Kelompok-kelompok sosial wadah seorang pasien berhubungan
dapat mempengaruhi bagaimana pasien dalam pelaksanaan praktik personal
hygiene. Perawat harus menentukan apakah pasien dapat menyediakan
bahan-bahan yang penting seperti deodorant, sampo, pasta gigi, dan kosmetik. Perawat
juga harus menentukan jika penggunaan dari produk-produk ini merupakan bagian
dari kebiasaan sosial yang dipraktekkan oleh kelompok sosial pasien.
3. Status sosial ekonomi
Pendapatan keluarga akan mempengaruhi kemampuan keluarga
untuk menyediakan fasilitas dan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan untuk
menunjang hidup dan kelangsungan hidup keluarga. Sumber daya ekonomi
seseorang mempengaruhi jenis dan tingkatan praktik personal hygiene. Untuk
memadai, seperti kamar mandi, peralatan mandi, serta perlengkapan mandi yang
cukup (misalnya sabun, sikat gigi, sampo, dll).
4. Pengetahuan
Pengetahuan tentang personal hygiene sangat penting, karena
pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Pengetahuan tentang
pentingnya hygiene dan implikasinya bagi kesehatan mempengaruhi praktik
hygiene. Kendati demikian, pengetahuan itu sendiri tidaklah cukup, pasien juga
harus termotivasi untuk memelihara personal higiene. Individu dengan
pengetahuan tentang pentingnya personal higeneakan selalu menjaga kebersihan
dirinya untuk mencegah dari kondisi atau keadaan sakit.
5. Kebudayaan
Kebudayaan dan nilai pribadi mempengaruhi kemampuan
perawatan personal higiene. Seseorang dari latar belakang kebudayaan yang
berbeda, mengikuti praktek perawatan personal higiene yang berbeda. Keyakinan
yang didasari kultur sering menentukan defenisi tentang kesehatan dan perawatan
diri. Dalam merawat pasien dengan praktik higiene yang berbeda, perawat
menghindari menjadi pembuat keputusan atau mencoba untuk menentukan
standar kebersihannya.
6. Pilihan pribadi
Setiap individu memiliki keinginan dan pilihan tentang kapan
untuk mandi, bercukur, dan melakukan perawatan rambut. Individu memilih
pilihan dan kebutuhan pribadi. Klien juga memiliki pilihan bagaimana melakukan
hygiene.
7. Kondisi fisik
Orang yang menderita penyakit tertentu atau yang menjalani
operasi seringkali kekurangan energi fisik atau ketangkasan untuk melakukan
personal higiene. Seorang pasien yang menggunakan gips pada tangannya atau
menggunakan traksi membutuhkan bantuan untuk mandi yang lengkap. Kondisi
jantung, neurologis, paru-paru, dan metabolik yang serius dapat melemahkan atau
menjadikan pasien tidak mampu dan memerlukan perawatan personal higiene
total.
2.5.4 Dampak yang Sering Timbul pada MasalahPersonal Hygiene
Kebersihan diri sangatlah penting dalam kehidupan anak kebersihan diri
yang terjaga denganbaik akan membuat anak menjadi sehat, dan terhindar dari
berbagai macam penyakit. Berikut ini adalah dampak yang ditimbulkan jika anak
tidak menjada kebersihan diri dengan baik (Tarwoto & Wartonah, 2010):
a. Dampak Fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpelihara dan kebersihan perorangan denganbaik. Gangguan fisik yang sering
terjadi adalah gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut,
b. Dampak Psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygieneadalah
gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan
harga diri, aktualisasi diri, dan gangguan interaksi sosial.
2.6 Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Tingkat Kemandirin Personal
Hygienepada Anak Usia Prasekolah
Dalam literatur psikologi barat, dijelaskan bahwa untuk mengetahui
hubungan antara pola asuh orangtua dan masalah perilaku pada anak telah melalui
penelitian yang panjang. Meskipun masalah hubungan kausal antara
variable-variabel tetap tidak terselesaikan, peran pola asuh orangtua dalam membentuk
perilaku anak sangat penting. Pola asuh orangtua seperti kehangatan, regulasi,
pendekatan, penegakan hukuman secara tegas, pengakuan demokratis sudut
pandang anak telah konsisten dikaitkan dengan rendahnya tingkat masalah
perilaku pada anak, khususnya kenakalan, perilaku eksternalisasi dan
penyimpangan (Sharma and Sandhu, 2006).
Sejalan dengan hal tersebut, Stansbury et al. (2012) menyampaikan hasil
dari penelitian Baumrind yang mengungkap bahwa pola asuh yang berkaitan
dengan pertumbuhan kemampuan diri untuk mengontrol dan mengarahkan
tingkah laku secara mandiri adalah orangtua yang memberikan kebebasan kepada
anaknya untuk menentukan pilihan yang berhubungan dengan kepentingan dirinya
sendiri namun tetap menuntut tanggungjawab serta mengarahkan anaknya melalui
diskusi yang menjelaskan alasan yang logis dan rasional dibalik peraturan dan
Belsky (2008) berpendapat bahwa anak-anak yang diperlakukan dengan
kehangatan, rasa hormat dan pengharapan dari orangtua sejak kecil, mereka akan
memiliki keyakinan untuk belajar dan berkembang melalui eksplorasi
sensorik-motorik. Kehangatan dari orangtua dan kepekaan terhadap kebutuhan anak-anak
adalah dimensi pola asuh yang paling berpengaruh selama masa pertumbuhan dan
memberikan dasar bagi banyak sosialisasi yang tejadi pada anak-anak.
Putra (2012) mengatakan bahwa seorang anak akan tumbuh menjadi
seorang yang mandiri baik dalam hal emosi, bertindak, maupun berprinsip dimana
hal tersebut sangat dipengaruhi oleh gaya pengasuhan orangtua dalam lingkungan
keluarganya. Sehubungan dengan gaya pengasuhan orangtua dan hubungannya
dengan kemandirian pada anak dengan usia prasekolah, hal yang terpenting
diketahui oleh para orangtua bahwa seorang anak sangat membutuhkan dukungan
daripada sekedar pengasuhan, seorang anak juga membutuhkan bimbingan
daripada perlindungan, seorang anak juga membutuhkan pengarahan daripada
sekedar sosialisasi,dan kasih sayang (kebutuhan psikis) daripada sekedar
pemenuhan kebutuhan fisik atau materi semata. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
tersebut sangat terkait pula dengan gaya pengasuhan yang diperankan oleh para
orangtuanya, yang pada akhirnya juga sangat berpengaruh pada tumbuhnya
kemandirian pada diri seorang anak ketika ia tumbuh menjadi seorang yang
dewasa dan kemandirian dalam personal hygiene ini nantinya akan mempunyai