• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN ORGANOLOGIS KULCAPI PADA MASYARAKAT KARO BUATAN BAPAK PAUJI GINTING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KAJIAN ORGANOLOGIS KULCAPI PADA MASYARAKAT KARO BUATAN BAPAK PAUJI GINTING"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

0

KAJIAN ORGANOLOGIS KULCAPI PADA MASYARAKAT

KARO BUATAN BAPAK PAUJI GINTING

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

NAMA: BERI PANA SITEPU

NIM: 070707012

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

MEDAN

(2)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karo merupakan salah satu etnis di Sumatera Utara yang sangat kaya akan

Kesenian. Salah satu dari kesenian yang terus berkembang hingga saat ini adalah seni

musik. Dalam kesenian masyarakat Karo terdapat dua jenis ansambel musik tradisional

yang dipakai dalam upacara ritual maupun pertunjukan kesenian yaitu gendang lima sendalanen biasa juga disebut dengan gendang sarune dan gendang telu sendalanen atau biasa juga disebut gendang kulcapi yang di dalamnya terdapat beberapa jenis instrumen musik tradisional Karo. Pada pembahasan selanjutnya gendang lima sendalanen akan disebutkan gendang sarune dan gendang telu sendalanen akan disebutkan gendang kulcapi.

Di dalam ansambel gendang kulcapi terdapat beberapa buah instrumen musik salah satunya adalah kulcapi. Instrumen ini merupakan salah satu di dalam ansambel musik gendang kulcapi yang dalam klasifikasi alat musiknya termasuk ke dalam kordofon.1 (two-strenged fretted-necked lute) Kulcapi sering sekali dipergunakan pada upacara ritual, upacara adat Karo maupun pertunjukan kesenian musik Karo. Kulcapi

terbuat dari kayu tualang2. Dalam ensambel gendang kulcapi , kulcapi berfungsi sebagai pembawa melodi utama.

Hingga sekarang alat musik tersebut masih memegang peranan di dalam

masyarakat Karo. Sejauh pengetahuan penulis, pembuat kulcapi ada beberapa orang

yaitu Baji SEmbiring dari desa Seberaya kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo, Ropo

Tarigan (bp.Dep) dari Berastagi Kabupaten Karo, Pulungenta Sembiring bearasal dari

1Kordofon

adalah klasifikasi alat musik yang memiliki prinsip kerja utama dengan terjadinya getaran pada senar sebagai sumber bunyi.

2Tualang

(3)

2

Desa Sarimunte kecamatan Munte Kabupaten Karo kini tinggal di kota Medan, Bangun

Tarigan dari Kabanjahe dan Muhammad Pauji Ginting yang awalnya tinggal di desa

Lingga kecamatan Simpang Empat kabupaten Karo, kini tinggal di Desa Hulu

Jl.Dewantara, Pancur Batu.

Diantara pembuat kulcapi tersebut, penulis mengkaji kulcapi buatan bapak Muhammad Pauji Ginting. Dalam hal membuat dan memainkan alat musik Kulcapi, bapak Pauji Ginting dipandang mahir dan piawai oleh masyarakat pendukungnya.

Selain bermain dan membuat Kulcapi, beliau juga aktif dalam beberapa kegiatan kesenian Karo, yang salah satunya memegang peranan Koordinator dalam sebuah grup

Gallery yang bernama Gallery Mejuah-juah3.

Dalam Proses pemilihan bahan baku serta pembuatanya bapak .Pauji Ginting

masih menggunakan alat-alat tradisional. Menurut Bapak Pauji Ginting Kulcapi hasil buatannya sudah dipergunakan oleh pemain Kulcapi profesional seperti : Jasa Tarigan,

Sorensen Tarigan, Ramona Purba dll, juga dipergunakan dalam pertunjukan skala

nasional seperti JCC (Jakarta Convention Center) pada acara Produk Kreatif anak

bangsa, Gendang Merga Silima di kota Balam, Riau. Selain itu Kulcapi buatan bapak Pauji Ginting sudah pernah di kirim ke berbagai daerah seperti, TMII (Taman Mini

Indonesia Indah), Jakarta, Museum GBKP di Taman Jubelium Suka Makmur, Deli

Serdang, Gedung Kesenian Karo program Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Kabupaten Karo, bahkan sampai ke luar negeri yaitu negara Belanda dan kulcapi tersebut juga sering dipakai pada rekaman VCD lagu-lagu karo seperti ; album

tradisional karo “peratah-ratahi bulung si kerah” copyright 2010 rekaman BS record,

album gendang salih copyright 2011 rekaman Emma record, lagu-lagu karo “Karina”

copyright 2012 rekaman BS record, dll..

3Gallery Mejuah-juah

(4)

3

Dari latar belakang tersebut di atas maka penulis tertarik untuk meneliti,

mengkaji serta menuliskannya dalam sebuah tulisan ilmiah dengan judul:Kajian Organologis Kulcapi pada Masyarakat Karo buatan Bapak Pauji Ginting.

1.2.

Pokok Permasalahan

Dari latar belakang yang penulis kemukakan di atas maka permasalahan

dalam penulisan ini adalah:

1.

Bagaimana proses dan teknik pembuatan

Kulcapi

buatan Bapak Pauji

Ginting.

2.

Bagaimana keberadaan (eksistensi) alat musik

Kulcapi .

pada

masyarakat Karo.

3.

Bagaimana fungsi alat musik

kulcapi

dalam ensambel

gendang

kulcapi

.

4.

Bagaimana teknik permainan

kulcapi.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian kulcapi adalah:

1.

Untuk mengetahui proses dan teknik pembuatan

kulcapi

oleh Bapak

Pauji Ginting di Desa Hulu, Jl. Dewantara Kecamatan Pancur Batu

Kabupaten Deli Serdang.

2.

Untuk mengetahui keberadaan (eksistensi) alat musik

kulcapi

pada

masyarakat Karo.

3.

Untuk mengetahui fungsi alat musik

kulcapi

4.

Untuk mengetahui teknik permainan

kulcapi.

1.3.2 Manfaat Penelitian

(5)

4

1.

Sebagai bahan referensi untuk menjadi acuan pada penelitian yang

relevan di kemudian hari

2.

Sebagai informasi kepada masyarakat atau lembaga yang mengemban

visi dan misi kebudayaan khususnya di bidang musik tradisional

3.

Bahan motivasi bagi setiap pembaca khususnya generasi muda

masyarakat Karo untuk melestarikan musik tradisional

4.

Syarat untuk mencapai gelar Sarjana di Departemen Etnomusikologi

Fakultas Ilmu Budaya USU.

1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Konsep adalah penggambaran atas image sebelumnya dengan meletakkan

perbedaanya (Schopenhauer 1992). Pemahaman konsep diperoleh melalui proses

belajar. Sedangkan belajar merupakan proses kognitif yang melibatkan tiga proses yang

berlangsung hampir bersamaan. Ketiga proses tersebut adalah, (1) memperoleh

informasi baru, (2) transformasi informasi, dan (3) menguji relevansi dan ketetapan

pengetahuan.

Dalam kedua konteks di atas, tidak akan terlepas dari kata observasi dan

pengamatan, di mana observasi adalah satu penelitian secara sistematis menggunakan

indera manusia.dan pengamatan merupakan a powerful tool indeed (Suwardi Endraswara, 2006:133) dalam hal ini observasi dan pengamatan mengenai organologi

yang mana organologi merupakan ilmu tentang instrumen musik (alat musik) yang

seharusnya tidak hanya mencakup sejarah dan deskripsi instrumen saja, tetapi juga

sama pentingnya, walaupun sebagai aspek yang terabaikan dalam ”ilmu” instrumen

musik, seperi teknik-teknik tertentu dalam memainkan, fungsi secara musik, hiasan

(yang dibedakan dari konstruksi) dan berbagai pendekatan tentang sosial budaya.

(6)

5

Kulcapi adalah alat musik tunggal maupun ensambel. Kulcapi terbuat dari kayu

ingul, jalutung, kayu tualang dan kayu keras lainnya yang sudah tua yang dibentuk menyerupai gitar, bagian belakang kulcapi dikorek, namun tidak sampai tembus

kebagian depan.kemudian ditutup dengan papan tipis sehingga berfungsi sebagai kotak

resonansi. Pada bagian ujung kulcapi dibuat dua lobang tempat cupingan dan pada

bagian perutnya dibuat bantalan yang juga berfungsi sebagai ganjalan untuk tempat

tali.Tali senar kulcapi dibuat dari akar enau atau ijuk riman, namun akhir-akhir ini telah

diganti dengan kawat baja atau nylon. Pada bagian ujung, diukir motif manusia,

sedangkan badannya penuh dengan ukiran dengan motif karo. Kulcapi mempunyai dua

senar, berdasarkan pengklasifikasian alat musik oleh curt sach dan hornbostel kulcapi

termasuk ke dalam long neck lute, Kulcapi dipetik seperti memainkan gitar. Untuk menentukan tinggi dan rendahnya nada, senar dapat dikencangkan dan dikendorkan

dengan alat putar yang terdapat pada bagian kepala.

1.4.2 Teori

Teori dianggap sebagai sarana pokok untuk menyatakan hubungan sistematik

dalam gejala sosial maupun natura yang ingin diteliti dan juga merupakan alat dari ilmu

(tool of science). Di lain pihak, teori juga merupakan alat penolong, teori mempunyai

peranan sebagai: (a) teori sebagai orientasi utama dari ilmu, (b) teori sebagai

konseptualisasi dan klasifikasi, (c) teori meringkas fakta, (d) teori memprediksi

fakta-fakta, dan (e) teori memperjelas celah kosong. Teori mempunyai hubungan yang erat

dengan penelitian dan juga dapat meningkatkan arti dari penemuan penelitian. Tanpa

teori, penemuan tersebut akan merupakan keterangan-keterangan empiris yang

berpencar (Moh. Nazir, 1983:22-25)

Setelah beberapa penjelasan mengenai teori di atas, maka di dalam penulisan

skripsi yang membahas tentang pendeskripsian alat musik dalam hal ini alat musik tiup

kulcapi, penulis menggunakan landasan teori. Penulis berharap teori tersebut akan mampu menjadi landasan atau acuan maupun pedoman dalam menyelesaikan

(7)

6

Untuk pendeskripsian mengenai alat musik dalam hal ini alat musik kulcapi

penulis menggunakan pendekatan struktuiral dan pendekatan fungsional yang dikemukakan oleh Susumu Khasima yaitu dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk

membahas alat musik, yakni pendekatan struktural dan fungsional. Secara struktural

yaitu aspek fisik instrumen musik, pengamatan, mengukur, merekam, serta

menggambar bentuk instrumen, ukurannya, konstruksinya, dan bahan yang dipakai.

Di sisi lain, secara fungsional, yaitu : fungsi instrumen sebagai alat untuk

memproduksi suara, meneliti, melakukan pengukuran dan mencatat metode,

memainkan instrumen, penggunaan bunyi yang diproduksi, (dalam kaitannya dengan

komposisi musik) dan kekuatan suara. Di dalam penulisan ini selain teori yang

dikemukakan oleh Susumu Khasima di atas penulis juga menggunakan teori-teori lain

yang menyinggung tentang pendeskripsian alat musik khususnya alat musik tiup,

sebagai acuan dalam pendeskripsian alat musik kulcapi.

Sedangkan mengenai klasifikasi alat musik kulcapi dalam penulisan ini penulis

mengacu pada teori yang di kemukakan oleh Curt Sachs dan Hornbostel (1961)

mengenai pengklasifikasian alat musik yaitu: ”Sistem pengklasifikasian alat musik

berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi

empat bagian yaitu: idiofon, penggetar utama bunyinya adalah badan dari alat musik itu

sendiri, aerofon, penggetar utama bunyinya adalah udara, membranofon, penggetar utama bunyinya adalah kulit atau membran, kordofon, penggetar utama bunyinya adalah senar atau dawai.

Salah satu perhatian etnomusikologi adalah studi tentang peralatan musik yang

dipakai sebagai media ekspresi dari sebuah kebudayaan (musikal). Hal ini dipertegas

lagi dengan pendapat bahwa kajian etnomusikologi bukan hanya dari aspek yang

berhubungan dengan bunyi musikal, aspek sosial, konteks budaya psikologis dan

estetika melainkan juga paling sedikit ada enam aspek yangb menjadi perhatiannya.

Salah satu diantaranya adalah materi kebudayaan musikal (Merriam, 1964: 45). Bidang

(8)

7

etnomusikologi itu sendiri. Pembahasan bidang ilmu ini meliputi bidang semua aspek

yang berkaitan dengan alat musikal,sepertiukuran dan bentuk (termasuk pola hiasan)

fisiknya,bahan dan prinsip pembuatannya,metode dan teknik

memainkannya,bunyi/nada dan wilayah nada yang dihasilkannya.serta aspek sosial

budaya yang berkaitan dengan alat musik tersebut. Hal ini dikuatkan lagi dengan

pendapat,bahwa organologi tidak hanya membahas masalah teknik

memainkannya,fungsi musikal,dekorasi (pola hiasan) fisik,dan aspek

sosial-budaya,melainkan termasuk didalamnya sejarah dan deskripsi alat musik tersebut

secara konstruksional. (Hood,1982: 124)

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah mengemukakakan secara teknis tentang strategi yang

digunakan dalam penelitian kebudayaan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan

metode penelitian kualitatif untuk memahami permasalahan yang terdapat dalam pembuatan alat musik kulcapi buatan Bapak Pauji Ginting. Menurut rumusan penelitian kualitatif adalah kajian fenomena (budaya ) empirik di lapangan. Kajian ini

akan meliputi berbagai hal, tahap sebelum ke lapangan (pra lapangan), tahap kerja

lapangan, analisis data, dan penulisan laporan (Moleong, 2002:109).

1.5.1 Studi Kepustakaan

Sebelum mengadakan penelitian lapangan, terlebih dahulu dilakukan studi

kepustakaan yaitu dengan membaca bahan yang relevan, baik itu tulisan-tulisan ilmiah,

literatur, majalah, situs internet dan catatan-catatan yang berkaitan dengan objek

penelitian. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data relevan untuk mendukung

penulisan skripsi ini

1.5.2 Kerja Lapangan

Kerja lapangan ini dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat. Dalam hal

ini menggunakan teknik obeservasi atau pengamatan. Dapat dijelaskan bahwa observasi

(9)

8

pendapat pendapat tersebut di atas, maka penelitian yang dilakukan di lapangan adalah

dengan pengamatan terlibat agar penulis dapat mengamati serta memahami objek yang

diteliti secara langsung. Di samping itu, pengamatan ini bertujuan untuk menciptakan

komunikasi serta interaksi yang baik antara penulis sendiri dengan objek yang diteliti

dalam hal kulcapi buatan Bapak Pauji Ginting, sehingga data yang dibutuhkan dapat diperoleh secara lebih akurat .

1.5.2.1 Wawancara

Wawancara berbeda dengan percakapan sehari-hari. Wawancara adalah a conversation with purpose (percakapan yang memiliki tujuan seperti halnya penelitian). Wawancara sebagai wahana strategis pengambilan data memerlukan kejelian dan

teknik-teknik tertentu. Koentjaraningrat (1986:136) membagi wawancara ke dalam dua

golongan besar yaitu wawancara berencana dan wawancara tak berencana. Dalam

bagian ini penulis menggunakan teknik wawancara terfokus dan wawancara sambil lalu

mengacu pada bagian wawancara yang dikemukakan Koenjaraningrat (1985:139),

yaitu: wawancara berfokus (focused interview), wawancara bebas (free interview),

wawancara sambil lalu (casual interview). Dalam hal ini penulis menyipakan daftar

pertanyaan yang di ajukan sesuai dengan keadaan di lapangan ,pertanyaan yang

diajukan tidak berdasarkan urutan yang telah ditentukan pada daftar pertanyaan ,tetapi

dapat berkembang sesuai dengan pembicaraan. Walaupun demikian

pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu terpusat pada pokok permasalahan dan tujuan penelitian

yang ingin dicapai. Dalam wawancara penulis menngunakan tape recorder dan kamera

untuk pengambilan dan penyimpanan data yang diperlukan.

Pada tahap wawancara, penulis akan mengadakan wawancara dengan

informan kunci yaitu bapak Pauji Ginting. Beliau adalah pembuat kulcapi yang

berasal Dari desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo dan kini

bertempat tinggal di Desa Hulu Jl. Dewantara, Pancur Batu. Sedangkan informan

pendukung adalah bapak Sorensen Tarigan yang merupakan seorang seniman Karo,

(10)

9

kulcapi buatan bapak Pauji Ginting. Informan pendukung lainnya adalah Benson

Adisaputra Kaban. S.Sos yang merupakan seorang produser lagu-lagu daerah Karo

dan sudah pernah merekam permainan Kulcapi buatan bapak Pauji Ginting dan

Desnalri Sinulingga, S.Pd yang ikut membantu bapak Pauji Ginting dalam pemasaran

hasil kerajinan tangan bapak Pauji Ginting.

1.5.3 Kerja Laboratorium

Semua data yang diperoleh di lapangan dicatat, kemudian diolah dan di

analisis dengan teliti.hasil olahan dan analisis tersebut dijadikan sebagai bahan

tulisan. Selanjutnya hasil-hasil dari pengolahan dan analisis data tersebut baik berupa

data tulisan, gambar, maupun suara disususn secara sistematis ,sehingga hasilnya

dapat dilihat dalam satu bentuk laporan ilmiah yaitu skripsi.

1.5.4 Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian penulis adalah di desa Hulu Jl. Dewantara, Pancur

Batu, Deli Serdang. Di lokasi tersebut merupakan tempat kediaman dari bapak Pauji

Ginting. Di rumah ini juga dilakukan aktivitas pembuatan kulcapi, dari tahap awal

sampai akhir. Di rumah ini pula dilakukan latihan-latihan bersama sanggar pimpinan

(11)

10 BAB II

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

DAN BIOGRAFI SINGKAT BAPAK PAUJI GINTING.

2.1 Sejarah Terbentuknya Kecamatan Pancur Batu

Sebelum tahun 1945 atau pada zaman Pemerintahan Belanda Kecamatan

Pancur Batu disebut dengan Sinuan Bungan dengan Ibu Kota Arhnemia. Pada

tahun 1952 Gubernur Kepala Daerah Tk.I Sumatera Utara yakni Abdul Hakim

mengadakan perubahan Pamong Sipil Kabupaten Daerah Tk.II Deli Serdang

secara Administratif yang dibagi atas 6 (enam) kewedanan yang terdiri dari 30

kecamatan , salah satunya adalah Kecamatan Pancur Batu dengan kewedanaan

Deli Hulu.

Pada tahun 1974 sejalan dengan perluasan Kotamadya Medan bahwa

Desa Lau Cih , Desa Namo Gajah , Desa Simalingkar-B , Desa Kemenangan

Tani dan sebahagian Desa Baru telah menjadi Kodya Medan hingga sekarang.

Pada masa sebelum tahun 1990 Kecamatan Pancur Batu terdiri atas 59

Desa dan atas ketentuan yang membentuk beberapa Desa digabung menjadi satu

, sehingga sampai saat ini Kecamatan Pancur Batu menjadi 25 Desa dengan luas

areal 11.147,35 Ha.

2.2 Lokasi penelitian

Lokasi penelitian yang penulis teliti berada di Kecamatan Pancur Batu

yang merupakan tempat tinggal sekaligus sebagai bengkel instrumen bapak

Pauji Ginting, yang bertempat tinggal di Desa Hulu Jl. Dewantara Kecamatan

(12)

11

Secara Geografis batas-batas wilayah Kecamatan Pancur Batu adalah sebagai

berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Medan Tuntungan dan Medan

Sunggal

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sibolangit

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Namo Rambe

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kutalimbaru

Jarak Ibu Kecamatan Pancur Batu dengan :

- Ibu Kota Propinsi Sumatera Utara sepanjang 17 Km

- Ibu Kota Kabupaten Deli Serdang sepanjang 35 Km

Dan keadaan alam Kecamatan Pancur Batu adalah datar, landai dan

berbukit (dataran tinggi) dengan ketinggian rata-rata 60m diatas permukaan

laut, beriklim sedang serta dipengaruhi musim panas dan musim penghujan.

Nama-nama Camat yang pernah menjabat di Kecamatan Pancur Batu

adalah :

(13)

12

12

Drs. Herman Sinar Ginting

1993 s/d 1995

13

Drs. Suhatsyah D. Nasution

1995 s/d 1998

14

Drs. Jupiter K. Purba

1998 s/d 2001

15

Drs. Neken Ketaren

2001 s/d 2005

16

SP. Tambunan, SE

2005 s/d 2008

17 Drs. Haris Binar Ginting

2008 s/d 2010

18

Suryadi Aritonang, S.Sos, M.Si

2010 s/d sekarang

Sumber : Kantor Camat Pancur Batu Profil Kecamatan Pancur Batu, tahun 2009

2.3. Keadaan penduduk

Penduduk Kecamatan Pancur Batu pada saat ini berjumlah 77.267 jiwa,

yang terhimpun dalam 18.425 Kepala Keluarga (KK). Adapun penduduk yang

mendiami Kecamatan Pancur Batu terdiri dari berbagai suku antara lain :

Tabel 1 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku

No Suku

Jumlah (KK)

Sumber : Kantor Camat Pancur Batu Profil Kecamatan Pancur Batu, tahun 2009

Dari Tabel 1 diatas dapat disimpulkan bahwa di Kecamatan Pancur Batu

mayoritas penduduk nya dihuni oleh masyarakat yang bersuku Karo dengan

jumlah 6.588 KK dan yang paling sedikit bersuku Tamil dengan jumlah 65 KK

(14)

13

Penduduk di Kecamatan Pancur Batu memiliki jenis pekerjaan yang

beragam, adapun klasifikasi jenis pekerjaan penduduk di Kecamatan Pancur

Batu dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan

No Jenis Pekerjaan

Presentase

1

Petani

72 %

2

Pedagang

12 %

3

Pegawai Negeri Sipil

8%

4

Karyawan

5%

5

Buruh Harian Lepas

4%

Sumber : Kantor Camat Pancur Batu Profil Kecamatan Pancur Batu, tahun 2009

Dari tabel 2 tersebut dapat disimpulkan bahwa pekerjaan yang paling

mendominasi di Kecamatan Pancur Batu tersebut adalah sebagai petani, yang

mencapai persentase hingga 72% dari total keseluruhan. kemudian diikuti oleh

pedagang , pegawai negeri sipil , karyawan dan buruh/ pegawai swasta.

Penduduk di Kecamatan Pancur Batu tersebut tergolong memiliki jenis

pekerjaan yang beragam.

2.3.2. Agama

Penduduk di Kecamatan Pancur Batu menganut agama yang

berbeda-beda diantara enam agama yang diakui di Indonesia. Untuk melihat komposisi

penduduk di Kecamatan Pancur Batu berdasarkan agama yang dianut dapat

dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 3

Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

No Agama

Jumlah

(15)

14

2

Kristen

37.441 orang

3

Hindu

151 orang

4

Budha

301 orang

Jumlah

77.267 orang

Sumber : Kantor Camat Pancur Batu Profil Kecamatan Pancur Batu, tahun 2009

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa mayoritas penduduk

Kecamatan Pancur Batu memeluk agama Islam dengan jumlah 39.374 orang

dari total populasi yang ada. Sedangkan pada urutan yang kedua yaitu agama

Kristen berjumlah sebanyak 37.441 orang dan sisanya menganut agama Hindu

dan Budha.

2.4 Sistem Bahasa

Sejak berabad-abad yang lampau suku-suku bangsa yang tinggal di

berbagai kepulauan di Nusantara memiliki bahasa masing-masing yang

dipergunakan dalam pergaulan dan komunikasi antar sesama suku tersebut.

Bahasa itu dinamakan sebagai “bahasa daerah” yang disebutkan sesuai dengan

suku bangsa yang memiliki bahasa tersebut.

2.5 Sistem Kesenian

Kesenian adalah merupakan ekspresi perasaan manusia terhadap

keindahan, dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat

deskriptif (Koentjaraniningrat, 1980:395-397). Rohidi (2000:28) mengatakan

bahwa berekspresi estetik merupakan salah satu kebutuhan manusia yang

tergolong kedalam kebutuhan integratif. Kebutuhan integratif ini muncul karena

adanya dorongan dalam diri manusia yang secara hakiki senantiasa ingin

merefleksikan keberadaannya sebagai mahluk yang bermoral, berakal, dan

(16)

15

Berekspresi melalui kesenian merupakan salah satu aktivitas manusia

yang

sangat umum dalam setiap kelompok masyarakat pada umumnya.. Dengan

demikian kesenian merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam masyarakat

untuk mengekspresikan dirinya sebagai manusia yang memiliki perasaan indah,

senang, gembira maupun perasaan sedih.

Suku Karo sebagai salah satu etnik dari beratus etnik yang dimiliki

Nusantara tentu memiliki keunikan kesenian tersendiri. Keunikan Kesenian

Karo ini lah yang menjadi kebanggaan suku Karo dalam menjalankan tutur

budayanya.

Untuk itu dibawah ini penulis memapaparkan kesenian-kesenian yang dimiliki

oleh masyarakat Karo dalam budayanya.

2.5.1 Seni Sastra

Kesusasteraan Karo memiliki dua bentuk, yakni lisan dan tulisan.

Namun,

sastra bentuk, lisan lebih dikenal dan lebih sering digunakan dibandingkan

tulisan.

2.5.1.1Sastra Lisan

Pada umumnya dalam berkomunikasi dengan sesamanya, orang Karo

mempergunakan bahasa Karo. Dalam berkomunikasi atau pembicaraan

sehari-hari, penggunaan bahasa Karo ini tidak memerlukan suatu bentuk atau susunan

dan aturan yang baku, yang penting apa yang dikehendaki atau yang perlu

disampaikan bisa dimengerti oleh lawan bicara/pendengar.

Namun untuk keperluan tertentu, seperti ungkapan keluh kesah,

(17)

16

kata yang dianggap paling sesuai. Kosa kata yang dimaksud adalah apa yang

disebut oleh orang Karo sebagai cakap lumat (bahasa halus). Cakap lumat

adalah dialog yang diselang-selingi dengan pepatah, perumpamaan, pantun dan

gurindam. Pemakaian cakap lumat ini sering dipergunakan dalam upacara adat

seperti Upacara perkawinan, memasuki rumah baru, dan dalam pergaulan

muda-mudi (ungkapan percintaan).

Berdasarkan dari beberapa sumber,, penulis menyimpulkan bahwa seni

sastra Karo dibedakan atas beberapa kategori, diantaranya:

1. Tabas-abas (mantra), yaitu sejenis mantra yang diucapkan atau dilantunkan

untuk mengobati orang yang sakit. Mantra ini biasanya diucapkan/digunakan

oleh seorang Guru sibaso (dukun).

2. Kuning-kuningen, yaitu sejenis teka-teki yang biasa digunakan oleh

anak-anak, muda-mudi maupun orang tua di waktu senggang, sebagai permainan

untuk mengasah otak.

3. Ndung-dungen, yaitu sejenis pantun Karo yang terdiri dari empat baris. Dua

baris terdiri dari sampiran, dan dua baris berikutnya merupakan isi.

4. Bilang-bilang, yaitu dendang duka yang merupakan ratapan seseorang yang

sedang berduka. Misalnya kerana teringat dengan ibunya yang telah meninggal

dunia; ataupun meratapi kekasih yang telah meninggalkan dirinya kerana

sesuatu hal. Dahulu Bilang-bilang ini ditulis dengan aksara Karo di sepotong

bambu atau kulit kayu, isinya adalah jeritan hati sipenulisnya. Semenjak dahulu

bilang-bilang ini biasanya terfokus pada suasana kepedihan/kesedihan. Oleh

karena itu ada juga yang mengatakan bilang-bilang sebagai “Dengang duka”.

5. Turi-turin, adalah cerita yang berbentuk prosa yang isinya tentang asal-usul

(18)

17

sebagainya. Turi-turin biasanya diceritakan orang-orang tua kepada anak atau

cucunya pada malam hari sebagai pengantar tidur.

Beberapa judul ceritanya antara lain: Beru Patimar, Panglima Cimpa

Gabor-gabor, Gosing si Aji Bonar, dan sebagainya.(ibid & blog Julianus Limbeng)

2.5.1.2 Sastra Tulis

Aksara Karo merupakan salah satu bentuk kekayaan sastra Karo.

Menurut sejarahnya aksara Karo bersumber dari aksara Sumatera Kuno yaitu

campuran aksara Rejang, Lebong, Komering dan Pasaman. Kemungkinan

aksara ini dibawa dari India Selatan, kemudian ke Myanmar/Siam dan akhirnya

sampai ke Tanah Karo. Aksara ini hampir mirip dengan aksara Simalungun dan

Pakpak Dairi, yaitu berupa huruf silabis (semua huruf atau silabel dasarnya

berbunyi a) yang biasa disebut: haka bapa nawa yang merupakan enam silabel

pertama.

Pada umumnya tulisan atau aksara Karo tempo dulu digunakan untuk

menuliskan ramuan-ramuan obat, mantra atau cerita. Tulisan ini di ukir di kulit

kayu atau bambu yang di bentuk sedemikian rupa agar dapat dilipat-lipat, dan

biasanya huruf-huruf ini diukir dengan menggunakan ujung pisau dan setelah

itu tulisan tersebut diwarnai (dihitamkan) dengan bahan baku tertentu.

Gambar 1 . Aksara Karo

Sumber : http://www.wikipedia.com/karo.html

(19)

18

Dalam berkesenian, orang Karo tidak mengenal istilah seni suara

(vokal), namun biasanya orang bernyanyi sering disebut rende, dan penyanyi

berarti perende-ende. Jika seorang perende-ende juga pandai menari (Landek)

dan sudah biasa bernyanyi sekaligus menari dalam suatu pesta Gendang

guro-guro aron, maka sebutan uuntuknya telah berubah menjadi Perkolong-kolong..

Kemampuan ini tidak terbatas hanya pada kemampuan menyanyikan lagu-lagu

Karo yang bertemakan percintaan atau muda mudi, namun juga mampu

menyanyikan lagu-lagu yang bertemakan pemasu-masun (nasihat-nasihat) yang

secara teks atau liriknya sangat bergantung kepada konteks suatu upacara.

Artinya melodi lagu pemasu-masun memang telah diketahui atau dihapal,

namun lirik dari melodi tersebut harus dibuat (dinyanyikan) sendiri oleh

Perkolong-kolong tersebut pada saat bernyanyi sesuai dengan konteks upacara

yang sedang berlangsung pada saat itu.

Diperkirakan pada zaman dahulu masyarakat Karo belum mengenal seni

suara secara nyata. Kemudian dalam perkembangannya muncullah lagu-lagu

yang dibawakan seseorang sebagai ‘Perende-rende’ (penyanyi). Lagu-lagunya

masih cenderung berteme kesedihan, dan lagu ini biasanya dibawakan untuk

pengantar sebuah cerita atau memuja seseorang, juga dibawakan untuk

menyampaikan doa seperti lagu didong-didong.

Sementara dalam perkembangan selanjutnya budaya Karo mengenal

beberapa jenis seni vokal diantaranya:

• Katoneng-katoneng (nyanyian yang berisikan pengharapan),

• Didong didong (nyanyian yang berisikan nasehat-nasehat),

• Mangmang (nyanyian yang berisikan doa-doa),

(20)

19

• Turi-turin (nyanyian untuk menceritakan sesebuah cerita),

• Ende-enden (nyanyian muda-mudi).

Penyajian seni vokal Katoneng-katoneng dan Ende-enden dilakukan

oleh seorang penyanyi dan penari tradisional Karo (Perkolong-kolong) di dalam

acara adat dan hiburan. Sementara nyanyian Mangmang dilakukan oleh seorang

Guru sibaso (Dukun) di dalam upacara yang berkaitan dengan kepercayaan

tradisional (ritual). Sedangkan, nyanyian Tangis-tangis dilakukan pada upacara

kematian, dan didong-dong biasanya dinyanyikan dalam upacara perkawinan.

2.5.3. Seni Tari

Secara umum, tari pada masyarakat Karo disebut “Landek”. Dalam

budaya Karo, penyajian Landek sangat kontekstual. Dengan kata lain,

keberadaan Landek ditentukan dengan konteks penyajiannya. Selain itu setiap

gerakan-gerakan dalam Landek dalam masyarakat Karo juga berhubungan

dengan perlambangan-perlambangan dan makna-makna tertentu.

Adapun beberapa makna gerakan dalam Landek masyarakat Karo adalah

sebagai berikut:

1. Gerak tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah, melambangkan tengah

rukur, maknanya adalah menimbang-nimbang sebelum berbuat.

2. Gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke bawah melambangkan

sisampat-sampaten, maknanya adalah saling tolong-menolong dan saling

membantu.

3. Gerakan tangan kiri ke kanan ke depan melambangkan ise pa la banci ndeher

adi langa sioraten, artinya siapa pun tak boleh mendekat jika belum tahu

(21)

20

4. Gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan perarihen enteguh,

yaitu mengutamakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah untuk mencapai

mufakat,

5. Gerakan tangan ke atas, melambangkan ise pe la banci ndeher, siapa pun tak

bisa mendekat dan berbuat secara sembarangan,

6. Gerak tangan sampai ke kepala dan membentuk posisi seperti burung merak,

melambangkan beren rukur, yang maknanya adalah menimbang-nimbang

sebelum memutuskan, pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna,

7. Gerak tangan kanan dan kiri sampai di bahu melambangkan beban simberat

ras simenahang ras ibaba, artinya mampu berbuat harus mampu pula

menanggung akibatnya, atau berarti juga sebagai rasa sepenanggungan,

8. Gerakan tangan di pinggang melambangkan penuh tanggung jawab, dan

9. Gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri

melambangkan ise pe reh adi enggo ertutur ialo-alo alu mehuli, maknanya tanpa

memandang bulu siapa pun manusianya apabila sudah berkenalan akan diterima

dengan segala senang hati.

Sejauh ini dari beberapa referensi yang penulis peroleh, bahwa konteks

penyajian Landek pada masyarakat. Karo secara umum dapat dibagi menjadi

tiga, yaitu :

1. Konteks penyajian dalam adat istiadat

2. Konteks penyajian dalam religi/ritual, dan

3. Konteks penyajian untuk hiburan.

Pola-pola dasar Landek pada masyarakat Karo terbentuk atas 3 (tiga)

unsur, yakni: endek (gerakan menekuk lutut), odak atau pengodak (gerakan

(22)

21

lainnya yang juga membentuk keindahan tari Karo adalah lempir tan (gemulai

tangan), dan ncemet jari (lentik jari).

Endek merupakan salah satu unsur penting dalam tari Karo. Endek

dibentuk dengan gerakan menekuk lutut kebawah dan kembali lagi keatas.

Gerakan itu mengakibatkan posisi tubuh bergerak keatas dan kebawah secara

vertikal. Gerakan endek itu harus disesuaikan dengan buku gendang (bunyi

gung dan bunyi penganak dalam permainan musik Karo yang sedang

mengiringi). Ketepatan posisi endek dalam kaitannya dengan buku gendang

merupakan sebuah keharusan untuk memperlihatkan keindahan dalam tari Karo,

di beberapa Landek penyesuaian itu bisa terlihat ketika gung dan penganak

berbunyi tubuh penari sudah atau sedang berada di posisi atas.

Odak atau pengodak adalah gerakan penari ketika melangkah maju dan

mundur, maupun melangkah serong kekiri atau kekanan. Odak harus dimulai

dengan gerakan kaki kanan, serta dilakukan pada saat gung (Gong) berbunyi.

Dalam gerakan odak atau pengodak, unsur endek seperti yang telah dijelaskan

di atas harus tetap terlihat, Maksudnya, ketika penari melakukan odak

(melangkah), penari tersebut tetap melakukan endek dalam upaya penyesuaian

gerakan odak dengan musik.

Sementara itu, Ole atau jemolah jemole merupakan gerakan goyangan

atau ayunan badan kedepan dan ke belakang, atau kesamping kiri dan kanan.

Gerakan ole juga mengikuti bunyi gung dan penganak.

Dari penjelasan diatas, diketahui bahawa bunyi gung dan penganak

merupakan patokan dasar bagi seorang penari Karo untuk melakukan endek,

odak, maupun ole. Sedangkan, unsur-unsur lempir tan maupun ncemet jari

(23)

22

ketika akan membentuk pola gerak tertentu dari tari Karo, misalnya ketika

posisi kedua tangan diatas bahu. Sedangkan ncemet jari diperlukan saat

melakukan petik (gerakan tangan mengepal), dan pucuk (jari diletakkan dimuka

kening penari) terutama pada tari muda-mudi.

Dalam tarian Karo, geseran kaki, goyang pinggang/pinggul, dan main

mata tidak diperbolehkan, karena dianggap tidak sopan dan melanggar

norma-norma adat istiadat masyarakat Karo. Idealnya dalam menarikan tarian Karo,

gerakan kaki harus dilakukan dengan melangkah atau odak, gerakan pinggang

harus mengikuti ayunan badan atau ole, serta pandangan mata penari hanya

boleh mengarah diagonal kebawah, tertuju pada lutut pasangan menarinya.

Namun belakangan ini, dalam budaya kontemporer Karo, terutama

setelah populernya lagu-lagu Karo versi baru, maka terciptalah beberapa tari

baru dengan peraturan tertentu, seperti Piso Surit, Tari Terang Bulan, Tari

Mbuah Page, dan lain-lain. Dengan demikian secara otomatis terjadi juga

perubahan-perubahan norma dalam budaya tari Karo dalam konteks global.

Tari pada masyarakat Karo dalam penggunaannya dibedakan dalam tiga

bagian, yaitu:

2.5.3. 1 Tari yang Berkaitan dengan Adat/ Komunal

Tari yang berkaitan dengan adat adalah tari yang merupakan bagian dari

suatu upacara adat. Upacara yang dimaksud adalah upacara memasuki rumah

baru, pesta perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Tarian adat yang

bersifat komunal biasanya dilakukan oleh kelompok merga atau kelompok

sangkep nggeluh, bersama-sama dengan kelompok sukut (pemilik hajatan/tuan

(24)

23

Bagi kelompok sukut tarian itu merupakan tarian penyambutan atau

penghormatan atas kehadiran tamu-tamu adat.

Sedangkan bagi kelompok tamu adat, tarian ini merupakan aktivitas

pembuka sebelum mereka menyampaikan kata-kata adat (berisikan pesan dan

nasehat) kepada keluarga yang memiliki hajatan.

2.5.3. 2 Tari yang Berkaitan dengan Religi/Ritual

Tari yang berkaitan dengan ritual ini biasanya dibawakan oleh seorang

Guru sibaso (dukun) dalam upacara ritual. Tari yang dibawakan oleh Guru,

disesuaikan dengan keperluan atau jenis upacara yang dilaksanakan. Beberapa

tari Karo yang berkaitan dengan upacara ritual adalah; Tari tungkat (tari untuk

mengusir roh-roh jahat), Tari njujung baka (tari yang menggunakan keranjang

yang berisi sesaji untuk persembahan), Tari seluk (tarian kesurupan), dan lain

sebagainya.

Upacara yang berkaitan dengan ritual yang dilakonkan oleh Guru sibaso

(dukun), adalah berdasarkan tuntunan ilmu atau roh penuntunnya. Kerana ketika

seorang guru (dukun) memimpin upacara, biasanya beliau memanggil

jinujung-nya (junjungan-jinujung-nya) untuk ‘masuk’ ke dalam dirijinujung-nya. sehingga gerakan tarijinujung-nya

tidak lagi memiliki struktur yang baku, berbeda dengan pola gerak tari Karo

pada umumnya.

Tetapi secara umum gerakan yang khas pada tarian ini adalah gerakan

murjah-urjah (melompat dengan mengangkat kaki secara bergantian).

2.5.3. 3 Tari Yang Berkaitan Dengan Hiburan

Tari Karo yang sifatnya hiburan biasanya ditarikan oleh dua orang atau

(25)

24

pecat-pecat seberaya, Tari lima serangke, Tari piso surit, Tari roti manis, dan

lain sebagainya.

Tari-tarian jenis ini pada umunya sudah memiliki komposisi yang baku,

dengan kata lain koreografinya telah tersusun dengan tetap. Tari-tarian hiburan

lain yang sangat digemari oleh masyarakat Karo, diantaranya adalah Ndikar

(tari pencak silat), Adu Perkolong-kolong (tarian yang dibawakan oleh sepasang

Perkolong-kolong dan melakukan aksi atau cerita lucu yang menghibur), serta

Gundala-gundala (drama tari topeng Karo).

2.5.4. Seni Pahat (Ukir)

Walaupun kehidupan masyarakat Karo pada waktu dulu dalam keadaan

serba sederhana, namun beberapa orang “Pande tukang” (sebutan bagi orang

yang ahli membuat bangunan Karo) mampu menyumbangkan karya-karyanya.

Beberapa dari karya itu umumnya dimulai dengan sederhana dan dengan

maksud untuk menolak bala, menangkal roh jahat, dan sebagai media yang

kemudian dipercaya memiliki kemampuan pengobatan.

Kemudian dalam perkembangannya dari waktu ke waktu, kebiasaan

membuat ukiran tersebut tidak lagi dipandang dari segi kekuatan daya

penangkalnya (mistis) saja. Tetapi lukisan itu telah dipandang sebagai sesuatu

yang memiliki nilai keindahan sehingga kemudian dikembangkan sebagai

sebuah karya seni.

Secara garis besar ada empat tempat dimana karya seni ini biasa

ditempatkan, antara lain:

• Pada bangunan tradisional Karo seperti rumah adat, jambur, geriken, dan

gereta guro-guro aron,

(26)

25

abal, busan, petak, tagan, kampil, dan alat kesenian, dan

• Pada pakaian adat Karo seperti pada uis kapal, uis nipes, dan baju, serta

• Ukiran pada berbagai benda perhiasan seperti gelang, cincin, kalung, pisau,

ikat pinggang, dan lain sebagainya.

Di bawah ini penulis memaparkan beberapa jenis pola dan gambar

ukiran

masyarakat Karo dan tempat di mana ukiran itu biasa di terapkan.

• Ampik-ampik Alas (Indung Bayu-bayu)

Motif : Terdiri dari bermacam-macam

motif

yang bergabung yaitu: Bunga Gundur,

Duri Ikan,

Tempune-tempune, Pakau-pakau,

Anjak-anjak beru Ginting dan Pancung-pancung

Cekala.

Fungsi : Tolak bala / hiasan

Tempat : Pada anyaman ayo-ayo rumah adat.

Sumber : http://www.gratis45.com/berita/images/ampik.jpg

Gambar 2 : Ampik-ampik Alas

Gambar 3 : Ukiran pada Piso Tumbuk Lada

(27)

26

http://www.gratis45.com/berita/TumbukLada2.jpg

• Gambar 4 : Tapak Raja Sulaiman

Motif :Geometris

Fungsi :Tolak bala

Tempat :Melmelen, Ukat, Gantang beru-beru, Buku

Pustaka

Sumber : http://www.gratis45.com/berita/images/sulaiman.jpg

• Gambar 5 :Bindu Matagah

Motif :Geometris

Pelambang :Tolak bala

Tempat :Melmelen, Ukat, Gantang

beru-beru, Buku Pustaka

Sumber http://www.gratis45.com/berita/images/bindumatagah.jpg

Gambar 6 : Pahai

Motif : Geometris

Pelambang : Tolak bala, Ngenen gerek-gereken

Tempat : Kalung anak-anak, Buku Pustaka, dl

(28)

27

Gambar 7 : Bindu Matoguh

Motif : Geometris

Pelambang : Tolak bala

Tempat : Melmelen, Ukat, Gantang beru-beru, dll

Sumber http://www.gratis45.com/berita/images/bindumatoguh.jpg

Gambar 8 : Lukisan Suki

Motif : Geometris

Pelambang : Hiasan

Tempat : Ujung kiri dan kanan Melmelen

Sumber http://www.gratis45.com/berita/images/lukisansuki.jpg

Bila dilihat dari bentuk dan nama ukiran Karo tersebut , beberapa di

antaranya tercipta atas dorongan dan pengaruh lingkungan alam, manusia,

binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Selain ornmen-ornamen di atas masih terdapat

beberapa ornamen lain di antaranya adalah: Tupak salah silima-lima, Tupak

salah sipitu-pitu, Desa siwaluh, Panai, Bindu metagah, Bindu matoguh, Tapak

raja Sulaiman, Pantil manggus, Indung-indung simata, Tulak paku petundal,

Lipan nangkih tongkeh, Kite-kite perkis, Tutup dadu/cimba lau, Cenkili

kambing, Ipen-ipen, Lukisan suki, Pucuk merbung bunga bincole, Surat buta,

Pengretret, Bendi-bendi (pengalo-ngalo), Embun sikawiten, Pucuk tenggiang,

Litab-litab Lembu, Lukisan tonggal, Keret-keret ketadu, Taruk-taruk,

(29)

28

gundur, Raja Sulaiman, Bunga lawang, Tudung teger, Lukisan umang, Lukisan

para-para (gundur mangalata), Embun sikawiten II, Tulak paku, Lukisan kurung

tendi, Osar-osar, Ukiren sisik kaperas, Galumbang sitepuken, Ukiren kaba-kaba,

Likisen tagan, dan masih banyak lagi jenis ornamen yang lain.

2.5.5 Seni Tenun (Mbayu)

Pakaian tradisional Karo tentunya merupakan salah satu hasil dari

kebudayaan Karo, oleh karena itu, seiring berkembangnya kebudayaan,

masyarakat Karo telah memiliki banyak ragam pakaian dengan fungsi-fungsi

yang berbeda.

Secara tradisional pakaian ini di tenun oleh para wanita Karo dengan

menggunakan kembaya (semacam kapas) yang dijadikan benang dan dicelup

dengan alat pewarna yang dibuat dari bahan kapur, abu dapur, kunyit, dan telep

(sejenis tumbuhan).

Secara umum pakaian tradisional Karo dapat dibagi atas tiga kelompok,

yaitu: pakaian sehari hari, pakaian untuk pesta, dan pakaian kebesaran. Pakaian

yang biasa digunakan pria adalah pakaian dengan model batu gunting cina

lengan panjang, tutup kepala yang disebut tengkuluk atau bulang dan sarung,

sedangkan untuk wanita terdiri dari baju kebaya leher bulat, sarung (abit), tutup

kepala (tudung), dan kain adat bernama Uis Gara yang diselempangkan.

Pakaian pesta hampir sama dengan pakaian sehari-hari. Hanya saja,

pakaian pesta lebih bersih atau baru dan dikenakan dengan baik, sehingga

terlihat lebih sopan, dan pakaian kebesaran terdiri dari pakaian dengan

aksesoris-aksesoris yang lengkap serta digunakan pada saat pesta saja, seperti

pesta perkawinan, memasuki rumah baru, upacara kematian, dan pesta kesenian.

(30)

29

masyarakat Karo, yaitu antara lain;

• Uis Arinteneng

Uis Arinteneng terbuat dari kapas atau kembayat yang ditenun.

Warnanya hitam pekat hasil pencelupan yang disebut ipelabuhken. Pakaian ini

digunakan untuk alas pinggan pasu tempat emas kawin dan tempat makanan

bagi pengantin sewaktu acara mukul (acara makan bersama) pada malam hari

setelah selesai pesta adat, uis ini juga digunakan sebagai pembalut tiang pada

peresmian atau acara adat memasuki rumah baru, dan membayar hutang adat

kepada kalimbubu dalam upacara adat kematian.

• Uis Julu

Bahannya sama dengan bahan Uis Arinteneng. Warnanya hitam dengan

corak garis-garis putih berbentuk liris-liris. Keteng-keteng-nya berwarna merah

dan hitam dan disebut Keteng-ketang Bujur. Ada juga yang disebut

keteng-keteng sirat denan diberi ragam corak ukiran serta di sisi ujungnnya terdapat

rambut (jumbai). Pakaian ini diguanakan sebagai Gonje (sarung lakilaki),

membayar hutang adat (maneh-maneh), nambari (mengganti) pakaian orang tua

laki-laki, dan digunakan juga sebagai selimut (cabin).

• Uis Teba

Hampir sama dengan Uis Julu. Perbedaannya ialah garis-garis Uis Teba

lebih jarang sedangkan Uis Julu lebih rapat. Warnanya hitam, di sisi ujungnya

juga memiliki rambut (jumbai). Sama seperti uis Julu ,Uis ini juga digunakan

(31)

30

meninggal, tudung bagi perempuan, mengganti pakaian orang tua (bagi ibu),

dan alas pinggan pasu tempat emas kawin sewaktu melaksanakan pembayaran

kepada pihak mempelai perempuan dalam upacara adat Perkawinan.

• Uis Gatip

Uis Gatip ini berwarna hitam dan berbintik-bintik putih di tengah, tepian

kain warnanya hitam pekat dan ujungnya terjalin dan berumbai. Jenis kainnya

lebih tebal sehingga sering disebut dengan Uis kapal (kain tebal). Uis ini

dipakai sebagai ose (pakaian) laki-laki pada upacara-upacara adat perkawinan,

memasuki rumah baru, guro-guro aron (pesta muda-mudi) dsb.

• Uis Jongkit

Warna dan bahan Uis ini sama dengan Uis Gatip, hanya saja Uis Jongkit

memakai benang emas dengan motif melintang pada bagian tengah kain

tersebut, hingga warna dan bentuknya lebih cerah. Penggunaan Uis ini juga

sama seperti Uis Gatip, tapi kain inisekarang lebih disenangi dan banyak

dipakai pada upacara-upacara adat.

• Uis Beka Buluh

Warna dasar kain Uis Beka Buluh ini merah cerah, bagian tengah

bergaris Kuning, Ungu, Putih dan pada tepian dan ujung kain terdapat

motif-motif ukiran Karo yang dibuat dengan benang emas. Kain ini dipakai sebagai

Bulang (penutup kepala/topi) pada laki-laki, dan juga dipakai sebagai

cekok-cekok (penghias bahu) yang diletakan sedemikian rupa pada bahu lakilaki,

selain itu kain ini juga biasa diletakkan di atas tudung wanita.

• Uis Kelam-Kelam

Warnanya hitam pekat, bahan kainnya lebih tipis dari Uis yang lain dan

(32)

31

keras dibanding Uis yang lain. Uis ini biasa dipakai oleh wanita sebagai tudung

pada upacara-upacara adat, tudung yang bahannya dari uis kelam-kelam ini

disebut

Tudung Teger Limpek dengan bentuknya yang khas dan unik. Memang

proses pembuatan tudung ini sangat sulit dan unik, hingga saat ini tidak semua

orang dapat membuat tudung ini.

• Uis Jujung-jujungen

Warnanya merah bersulamkan emas dan kedua ujungnya juga berumbai

benang emas, kain ini tidak selebar kain yang lainnya, bentuknya hampir sama

dengan selendang. Uis ini biasanya dipakai oleh wanita dan biasanya letaknya

diatas tudung dengan rumbainya terletak disebelah depan. Pada saat sekarang

uis ini jarang digunakan, dan kebanyakan telah digantikan dengan uis beka

buluh.

• Uis Nipes

Kain ini jenisnya lebih tipis dari kain-kain lainnya dan memiliki

bermacam-macam motif dan warna (merah, coklat, hijau, ungu dan sebagainya),

(33)

32

Gambar 8 . Ragam Uis

Keterangan gambar :

1. Uis Gatip

4. Uis Kelam-kelam

2. Uis Nipes

5. Uis Teba

3. Uis Jujung-jujungen

6. Uis Jongkit

Selain beberapa jenis Uis yang telah dijelaskan secara singkat di atas,

masih terdapat beberapa jenis Uis yang lain, diantaranya :Uis Batu Jala, Uis

Gobar Dibata, Uis Pengalkal, dan lain-lain.

2.5.6 Seni Drama

Dari beberapa referensi yang penulis peroleh, seni drama tergolong

langka pada masyarakat Karo. Kalaupun ada biasanya berhubungan dengan

tarian seperti Tari Mondong-Ondong yang berhubungan dengan drama Perlanja

Sira (Pemikul Garam), Tari Tungkat dan Tari Guru serta Gundala-gundala

(34)

33

2.5.7 Seni Musik

Berekspresi melalui kesenian merupakan salah satu aktivitas manusia

yang sangat umum dalam kehidupan bermasyarakat, dengan demikian kesenian

merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam sebuah masyarakat untuk

mengekspresikan dirinya sebagai manusia yang memiliki perasaan indah,

senang, gembira maupun sedih. Salah satu media pengekspresian kesenian

tersebut adalah melalui musik. Musik tersebut dapat berupa musik

instrumentalia, musik vocal, atau gabungan antara keduanya.

Orang Karo menyebut musik dengan istilah Gendang. Dan dalam

masyarakat Karo gendang itu sendiri mempunyai beberapa pengertian,

diantaranya;

1. Gendang, sebagai pengertian untuk menunjukkan jenis musik tertentu

(Gendang Karo, Gendang Melayu),

2.

Gendang,

sebagai

nama

sebuah

instrumen

musik

(Gendang

singindungi,Gendang singanaki),

3. Gendang, untuk menunjukkan jenis lagu atau komposisi tertentu (Gendang

simalungun rayat, Gendang peselukken),

4. Gendang, untuk menunjukkan ensembel musik tertentu (Gendang Lima

Sendalanen, Gendang telu sendalanen),

5. Gendang untuk mengartikan sebuah upacara tertentu (Gendang cawir metua,

Gendang guro-guro aron).3

Selain itu masyarakat Karo juga memiliki beberapa jenis musik yang

biasanya digunakan dalam kesenian tradisionalnya. Ada alat musik yang

(35)

34

(solo). Selain alat musik, terdapat pula beberapa genre musik vocal (nyanyian),

baik yang dinyanyikan secara solo, maupun diiringi alat musik.

2.6 Sistem Kekerabatan

System kekerabatan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan sehari-hari yang terwujud pada sikap dan perilaku, fungsi dan

tanggungjawab suatu keluarga dengan keluarga lainnyasecara menyeluruh

sehingga seluruh keluarga terintegrasi di dalam system kekerabatan masyarakat

tersebut.

Kekerabatan terbentuk karena terjadinya perkawinan antar keluarga.

Sehingga terbentuk keluarga baru disamping keluarga yang lama. Dengan

demikian terjadilah pertukaran kedudukan dan fungsi.

Dalam masyarakat Karo, terdapat suatu sistem kekerabatan atau biasa

disebut sebagai

Sangkep Nggeluh

yang di dalamnya terdiri dari 4 unsur yakni:

Sembuyak, Anak Beru,Kalimbubu, Senina.

2.6.1 Sembuyak

Sembuyak adalah mereka yang satu subclan, atau orang-orang yang

seketurunan (dilahirkan dari satu rahim), tetapi tidak terbatas pada lingkungan

keluarga batih, melainkan mencakup saudara seketurunan di dalam batas sejarah

yang masih jelas diketahui. Saudara perempuan tidak termasuk sembuyak

walaupun dilahirkan dari satu rahim, hal ini karena perempuan mengikuti

suaminya.

Peranan sembuyak adalah bertanggungjawab kepada setiap upacara adat

sembuyak-sembuyaknya, baik ke dalam maupun keluar. Bila perlu mengadopsi

(36)

35

sesuai dengan konsep sembuyak, sama dengan seperut, sama dengan saudara

kandung. Satu subclan sama dengan saudara kandung.

Sembuyak dapat dibagi dua bagian

1.

Sembuyak berdasarkan tutur. Mereka bersaudara karena sesubklen

(merga).

2.

Sembuyak berdasarkan kekerabatan, ini dapat dibagi atas:

1.

Sembuyak Kakek adalah kakek yang bersaudara kandung.

2.

Sembuyak Bapa adalah bapak yang bersaudara kandung.

3.

Sembuyak Nande adalah ibu yang bersaudara kandung.

2.6.2 Anak Beru

Anak beru adalah status suatu keluarga lain bila pihak keluarga laki-laki

keluarga yang bersangkutan kawin atau mengambil anak perempuan keluarga

tersebut. Golongan anak beru memiliki jenjang atau tingkatan derajatyang

dibedakan berdasarkan keturunan atas perkawinan, untuk dapat membedakan

satu dengan yang lainnya antara lain. :

a.

Anak Beru taneh : golongan anak beru yang ikut mendirikan suatu

kampong, atau pihak pertama sekali memerima pihak perempuan ketika

suatu kampong baru saja selesai didirikan. Anak beru demikian disebut

juga anak beru singian rudang, karena begitu lama hubungan

kekerabatannya.

b.

Anak beru tua : anak beru langsung dari turunan, yang secara terus

menerus selam tiga generasi menjadi anak beru yang kemudian

dinyatakan sebagi anak beru nenek.

c.

Anak beru sincekuh baka tutp : anka beru langsung dari keluarga ayah,

(37)

36

biasa juga disingkat anak beru cekuh baka, yang artinya tidak

sungkan-sungkan lagi melakukan apapun di rumah kalimbubunya, biasanya anak

beru demikian minimal telah dua kali mengambil dara dari

kalimbubunya tersebut.

d.

Anak beru iangkip atau anak beru iperdemui : anak beru langsung

karena terjadi perkawinan.

e.

Anak beru menteri : Anak berunya anak beru

f.

Anak beru singukuri : \Anak berunya Anak beru menteri

2.6.3.Kalimbubu

Kalimbubu adalah pihak keluarga dari perempuan yang dikawini oleh

seorang pria yang kemudian menempatkan nenek, ayah, dan anak-anak serta

semua keluarga pihak perempuan menjadi golongan kalimbubu. Kedudukan

Klaimbubu sangat dihormati sehingga disebut sebagai “Dibata ni idah” yang

artinya Tuhan dapat dilihat. Status kalimbubu dapat dibedakan menurut asal dan

tingkatnya adalah

a.

Kalimbubu

taneh/kalimbubu

simajek

lulang/kalimbubu

bena-bena/kalimbubu tua : kalimbubu yang sudah memiliki hubungan sejak

tingkat nenek atau minimal tiga generasi, dalam hal ini termasuk

saudara, anak dan cucunya.

b.

Kalimbubu simada dareh/simupus :ayah atau saudar laki-laki dari ibu

seseorang.

c.

Kalimbubu iperdemui : kalimbubu langsung karena mengawini seorang

perempuan dalam hal ini termasuk bapak, saudara dan anak dari

keluarga pihak perempuan yang dijadikan istri tersebut.

(38)

37

Senina adalah golongan yang unsure-unsurnya diambil dari golongan

ayah atau bias juga juga dari hubungan lain, namun memiliki hubungan analog

denga keluarga ibu dari isteri dan anak. Terdapat empat nama senina yang

penyebab keberadaannya hampir sama dengan cirri yang telah disebutkan diatas

antara lain

a.

Senina sepemeren : senina yang disebabkan berdasarkan karena ibu

bersaudara.

b.

Senina siparibanen : disebabkan karena isteri bersaudara

c.

Senina Sepengalon (Sendalanen

)

persaudaraan karena pemberi wanita

yang berbeda merga dan berada dalam kaitan wanita yang sama. Atau

mereka yang bersaudara karena satu subclan (

beru

) istri mereka sama.

Tetapi dibedakan berdasarkan jauh dekatnya hubungan mereka dengan

clan istri. Dalam musyawarah adat, mereka tidak akan memberikan

tanggapan atau pendapat apabila tidak diminta.

d.

Senina sicimbangen : di sebabkan karena suami bersaudara.

2.7 Sistem Kepercayaan

Pada awalnya masyarakat Karo memeluk kepercayaan animism dan

dinamisme. Menurut kepercayaan ini yang disembah adalah para

begu

yang

terdapat pada tempat- tempat keramat, seperti gunung, batu besar, sungai dan

pohon besar, atau tempat-tempat yang tidak lazim lainnya. Dengan memberikan

persembahan da sessajian seperti jeruk purut, jeruk manis, kemenyan,

daun-daun serta rempah-rempah lainnya yang ditaruh dia atas akan memberikan

berkatnya pada manusia.

Kemudian timbul keyakinan atas

Dibata

(Dewata

1

), yang menurut

(39)

38

masing-masing baik secara imajiner maupun realita. Masyarakat Karo

membedakan Dibata kedalam dua jenis, yaitu: Dibata yang kelihatan dan kasat

mata (

Dibata Idah

) dan Dibata yang tidak dapat dilihat (

Dibata La Idah

).

Selanjutnya

Dibata La Idah

, terbaga atas: Dibata Atas (

Dibata Idatas

) yang

bernama

Batara Guru

2

y7ang berkuasa disunia atas atau langit yang dapat

diidentikkan dengan surge, Dibata Tengah (

Dibata Itengah

) atau

Tuhan Paduka

Ni Aji

yang berkuasa didunia tengah atau bumi sebagai dunia manusia, dan

Dibata Bawah (

Dibata Iteruh

) atau sering juga dinamakan

Banua Koling

3

yang

berkuasa didunia bawah yang dapat diidentikkan dengan neraka.

Pembahasan akan dilakukan secara menyeluruh mengenal Debata Si

Telu beserta unsure kekuatan yang menyertainya agar gambaran tentang mereka

menjadi lebih jelas. Jauh sebelum dunia ini tercipta, ketiga anggota para dewa,

Dibata Si Telu

yaitu

Batara Guru

,

Tuhan Padukah Ni Aji

dan

Tuhan Banua

Koling

serta

Sinarmataniari

sudah ada.

Dibata la Idah

dari Dunia atas

menurunkan

Tuhan Banua Koling

ke dunia bawah untuk memrintah dan

berkuasa di sana.

Tuhan Padukah Ni Aji

diutus ke dunia tengah dan

mengizinkannya

untuk

menciptakan

dunia

serta

menguasai

serta

memerintahnya. Sesampainya didunia tengah, maka Tuhan Padukah Ni Aji pun

menciptakan angin topan untuk meniup dan merusak bumi.

Sinarmataniari

melihat kemarahan, kejengkelan hati dan pikiran

Tuhan Banua Koling

atas

Bumi yang diciptakan Tuhan Padukah Ni Aji itu. Lalu dia memanasi bumi yang

masih muda lagi lembekitu sehingga menjadi berkembang dan terjadilah

gunung-gunung, bukit dan lembah-lembah yang berisi air, terjadilah pemisahan

darat dan laut. Demikianlah cara terbentuknya bumi. (Tarigan 1990 :82:84).

Konsepsi kosmologi tersebut analog dengan susunan masyarakat dan

(40)

39

kepercayaannya, tetapi misionaris Kristen menamainya

Perbegu

(orang yang

percaya kepada begu). Masyarakat Karo membedakan antara

begu

dengan

tendi

.

Begu

adalah arwah dari orang yang telah meninggal dunia, sebaliknya

tendi

adalah jiwa (arwah) orang yang masih hidup. Sebagai reaksi atas

penamaan

perbegu

, maka setelah kemerdekaan Indonesia ketua-ketua adat Karo

menamakan kepercayaan tersebut sebagai agama asal (

Pemena

). Sampai

sekarang kepercayaan ini masih dianut sebagian masyarakat, mereka disebut

perbegu

,

perodak-odak

, dan

perijinujang

.

Selain dari Dewa-dewa diatas terdapat beberapa sembahan lain yang

disebut

biak

, seperti dewa penjaga tanah (

sibiak taneh

),

sibiak kerangen

, dewa

penjaga rumah (

sibiak jabu

),

sibiak kesain

,

sibiak juma

dll. Ada kalanya orang

yang meninggal dikatakan sebagai “

Dibata

“ yaitu seseorang yang disebut

jenujung

(yang dijunjung). Akan tetapi mereka ini tidak sama kekuasaanya

dengan Dibata utama. Masyarakat Karo melalui kepercayaannya juga mengenal

sejenis surge dan neraka. Surga digambarkan sebagai kehidupan dibawah pohon

beringin (

Jabi-jabi juma ajar

) yang menjadi tempat bersandar, akar gantung

tempat ayunan, daunnya menjadi pelindung terhadap hujan dan matahari.

Sebaliknya neraka digambarkan sebagai kehidupan dibawah pohon jeruk yang

patah pucuknya. Berbagai upacara agama sangat besar dalam masyarakar Karo

seperti

erpanger kulau

,

ndilo wari

dan lain sebagainya. Pimpinan upacara

dikenal dengan sebutan Guru atau

Sibaso

. Kitab suci mereka adalah Pustaka,

salah satu diantaranya adalah pustaka yang asli (

Pustaka Na jati

).

2.8 Biografi Singkat Bapak Pauji Ginting

Pada Sub Bab ini, penulis akan membahas tentang riwayat hidup bapak

Gambar

Tabel 1 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku
Tabel 2 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan
Gambar 1  . Aksara Karo
Gambar 3 : Ukiran pada Piso Tumbuk Lada
+7

Referensi

Dokumen terkait

dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c untuk retribusi pelayanan pasarbagi wajib.. retribusi yang menggunakan kios dan/atau los dan retribusi

antiformalisme, dan antikemapanan dalam teori dan filsafat hukum yang dipengaruhi oleh pola pikir postmodern, neo marxisme, dan realisme hukum secara radikal mendobrak paham

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati Sleman Nomor 45 Tahun 2012

Kerja kreatif garap Musik tari

Berdasarkan Hasil Evaluasi Kualifikasi yang tertuang dalam Berita Acara Evaluasi Kualifikasi Nomor : 09/POKJA-ULP/GDG-KNTR/SAR-MKW/VII/2015 tanggal 26 Juli 2015 dinyatakan

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebaikbaiknya. HESTI OKTAVIA

Tujuan desain TCP/IP adalah karena standard protocol yang open sehingga TCP/IP dapat diimplementasikan pada platform hardware yang beragam, tidak tergantung pada jaringan fisik

[r]