• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agenda Good Governance dan Globalisasi Ekonomi: Suatu Tinjauan Kritis | Winarno | Jurnal Hubungan Internasional 327 995 1 PB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Agenda Good Governance dan Globalisasi Ekonomi: Suatu Tinjauan Kritis | Winarno | Jurnal Hubungan Internasional 327 995 1 PB"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Abstract

As a concept, development and good governance are not neutral, but they bring domination and interest. Currently, in era of globalization, there is a trend that shows democratization and the agenda of good governance are suspected to become a neoliberal project aimed to strengthen the domination of market over the state. Therefore, in order to prevent the agenda of good governance serving the interest of global corporations, democracy should be able to guarantee the individual rights, and the government continuously plays its crucial role in pushing the realization of social justice. In the context of maintaining democracy and civil society, the agenda of good governance are not only implemented by public institutions, but also they are done by both global corporations and global governance institutions.

Key words: development, democratization, good governance, and economic globalization.

Abstrak

Sebagai sebuah konsep, pembangunan dan pemerintahan yang baik tidak netral, tapi syarat dengan dominasi dan kepentingan. Di era globalisasi saat ini, ada kecenderungan bahwa demokratisasi dan agenda pemerintahan yang baik diduga menjadi proyek neoliberal yang bertujuan untuk memperkuat dominasi pasar atas negara. Oleh karena itu, untuk mencegah agenda pemerintahan yang baik melayani kepentingan korporasi global, demokrasi harus mampu menjamin hak-hak individu, dan pemerintah terus memainkan peran penting dalam mendorong terwujudnya keadilan sosial. Dalam rangka menjaga demokrasi dan masyarakat sipil, agenda pemerintahan yang baik tidak hanya dilaksanakan oleh lembaga-lembaga publik, tetapi juga dilaksanakan oleh perusahaan global dan lembaga-lembaga pemerintahan global.

Kata Kunci: pembangunan, demokratisasi, pemerintahan yang baik, dan globalisasi ekonomi.

PENDAHULUAN

Rita Abrahamsen (2000), melalui studi yang dilakukan di negara-negara Sub-Sahara Afrika,

menegaskan bahwa konsep good governance, yang dalam

konteks Afrika diperkenalkan pertama kali melalui

laporan Bank Dunia (1989) dengan judul Sub-Saharan

Africa: From Crisis to Sustainable Growth, hendaklah

dilihat secara kritis dan hati-hati. Dari hasil studi yang

kemudian dibukukan dengan judul Disciplining

Democ-racy: Development Discourse and Good Governance in

Africa, ia menegaskan bahwa munculnya konsep good

governance tidak dapat dilepaskan dari sejarah

kemunculan dan kegagalan teori-teori pembangunan.

Dengan mengutip Gilbert Rise (1997), Abrahamsen menyatakan bahwa kekuatan wacana pembangunan muncul dari kemampuannya untuk merayu, membujuk, menarik, membentuk mimpi, dan juga merusak, memalingkan dari kebenaran, dan menipu. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa janji untuk

menghapus kemiskinan begitu menggoda hingga meski sejarah penuh dengan kegagalan, kepercayaan pada pembangunan tetap ada. Menurut Abrahamsen, kegagalan masa lampau memunculkan teori-teori baru, setiap teori mengklaim telah menemukan pemecahan yang sesungguhnya atas persoalan pembangunan.

Agenda

Good Governance

dan

Globalisasi Ekonomi: Suatu

Tinjauan Kritis

Budi Winarno

Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada Bulaksumur, Yogyakarta, 55281

(2)

Dalam konteks ini, agenda good governance hanyalah teori terakhir dari serial panjang teori-teori tersebut,

reproduksi terakhir dari mimpi tersebut (Abrahamsen,

2000: 80).

Jika dikaitkan dengan konteks Indonesia saat ini, maka studi Abrahamsen ini menarik untuk ditelaah

lebih lanjut. Pertama, hampir mirip dengan

negara-negara Dunia Ketiga lainnya, sejarah pembangunan di Indonesia juga banyak menyisakan kegagalan. Tidak seperti ‘dikhotbahkan’ oleh para pendukung

developmentalisme, dalam konteks Indonesia,

pembangunan pada dasarnya gagal meraih tujuan yang diinginkan, yakni masyarakat yang maju dan

berkeadilan sosial-ekonomi. Sebaliknya, ekses pembangunan dalam bentuk pemiskinan dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan menjadi

persoalan yang jauh lebih mengemuka. Kedua, lebih

dari kegagalan-kegagalan di atas, pembangunan yang dilakukan selama lebih kurang 30 tahun telah meninggalkan utang yang tidak sedikit jumlahnya. Hingga Juli 1999, utang Indonesia kurang lebih 150 milyar dollar AS. Suatu jumlah yang mencatat rekor utang terbesar diantara negara pengutang terberat dunia. Berkaitan dengan hal ini, Indonesia sudah dapat dikatakan sebagai kelompok “negara-negara

miskin pengutang berat (Highly Indebted Poor Countries)”

(Sritua Arief, 1999: 6-7). Akibatnya, ekonomi Indonesia

menjadi sangat tergantung kepada kekuatan asing, dan APBN dibebani oleh kewajiban membayar utang yang

sangat memberatkan. Ketiga, di bidang politik,

kegagalan juga nampak dari ketiadaan pembangunan sistem politik demokratis. Sebaliknya, pembangunan selama lebih kurang tiga dekade telah memberi peluang bagi konsolidasi sistem politik otoriter yang menindas. Akhirnya, kegagalan-kegagalan ini berkaitan erat dengan krisis ekonomi yang terjadi pada

pertengahan tahun 1997 telah memancing gerakan massa yang berimbas pada kejatuhan rejim Orde Baru pada pertengahan tahun 1998.

Selanjutnya, kejatuhan rejim yang dikenal korup dan menindas tersebut, telah membuka peluang bagi terjadinya perubahan-perubahan dalam sistem politik dan penyelenggaraan pemerintahan secara

besar-besaran, dan bahkan mungkin radikal. Pers menjadi semakin bebas, partai politik tumbuh subur selama masa reformasi sebagai akibat diperlakukannya sistem multipartai, presiden dipilih secara langsung, dan yang lebih penting diberlakukannya desentralisasi dan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999. Dalam konteks inilah,

agenda good governance menempati posisi sentral dalam

diskusi-diskusi publik

Oleh karena itu, suatu tinjauan kritis terhadap wacana ini adalah penting karena seperti ditunjukkan

oleh Abrahamsen bahwa wacana good governance bukan

merupakan konsep yang netral, tetapi memuat relasi kuasa tertentu. Bahasa juga merupakan suatu medium

dominasi dan kekuasaan (language is also a medium of

domination and power) (Latif dan Ibrahim, 1996: 15), dan

wacana baru pembangunan tidak hanya disampaikan oleh, tetapi juga berfungsi memelihara dan

mereproduksi bentuk-bentuk kekuasaan dan kebijakan

tertentu dalam tata dunia baru (Abrahamsen, 2000:

48). Akhir Perang Dingin membuat agenda good

governance lebih konsisten untuk dipraktikkan, tetapi

ini bukanlah merupakan ekspresi altruisme murni ataupun idealisme. Lebih dari itu, ia hanya merupakan transformasi diskursif dan secara historis tergantung dan menjadikan Barat tetap mampu memelihara hegemoninya atas negara-negara Dunia Ketiga (Abrahamsen, 2000: 78).

Sama halnya dengan kemunculan konsep pembangunan di era tahun 1960-an yang bias kepentingan Barat atau tepatnya Amerika Serikat

(AS), kemunculan konsep good governance ini juga tidak

bisa dilepaskan dari maksud-maksud tersebut. Sebagai contoh, proyek pembangunan yang diprakarsai oleh AS pada tahun 1960-an, setidaknya dilatarbelakangi

oleh dua hal (Abrahamsen, 2000; Muhadi Sugiono,

1999). Pertama, pembangunan di negara-negara Dunia

(3)

menjawab kekhawatiran tersebut. Kedua, persoalan instabilitas dunia. Pada dasarnya, ini merupakan cara pandang yang berbau rasis dalam melihat persoalan negara-negara Dunia Ketiga di mana kemiskinan dilihat sebagai situasi yang potensial dalam mendestabilisasi dunia. Oleh karenanya, pembangunan negara-negara miskin wajib dilakukan sebagai usaha untuk

memelihara stabilitas dunia (khususnya Barat) yang telah mapan.

Atas alasan-alasan inilah, tulisan dalam artikel ini ditujukan untuk melihat kembali secara kritis agenda

good governance terutama dalam konteks globalisasi dan

liberalisasi ekonomi. Namun, untuk menghindari pengulangan dari apa yang telah disampaikan oleh Abrahamsen, tulisan ini lebih difokuskan untuk

menyingkap secara kritis agenda good governance itu

sendiri dalam konteks globalisasi ekonomi. Secara spesifik, tulisan ini ditujukan untuk membahas berbagai persoalan menyangkut makna dan konteks

kemunculan agenda good governance serta implikasinya

dalam penyelenggaraan birokrasi publik. Akhirnya, tulisan ini akan ditutup dengan beberapa catatan kritis

menyangkut implementasi good governance di

Indone-sia. Suatu rekomendasi tindakan adalah perlu dalam rangka tetap memelihara sistem pemerintahan demokratis dan menjamin hak ekonomi, sosial, dan politik warga negara.

PEMBAHASAN

APA ITU GOOD GOVERNANCE?

Uraian dalam tulisan ini akan diawali dengan usaha-usaha untuk mencari pemahaman konseptual

menyangkut makna good governance dan konteks

kemunculan konsep tersebut. Hal ini dilakukan karena suatu kajian kritis konstruktif tidak akan pernah bisa dilakukan jika makna dan maksud dari teori atau konsep yang hendak dikaji tersebut belum dipahami secara baik. Oleh karenanya, suatu tinjauan teoritik tidak saja penting, tetapi juga berguna untuk menyingkap konteks kemunculannya sehingga dapat dicari muatan kepentingan yang berada di balik konsep atau teori tersebut. Asumsinya, tidak ada satupun

teori atau konsep yang diformulasikan dalam ruang hampa. Sebaliknya, ia merupakan interaksi dari berbagai aktor sosial, dalam suatu peristiwa yang kompleks, dan tentunya melibatkan interpretasi subyektif sang aktor. Oleh karenanya, bias kepentingan hampir pasti tidak dapat dihindarkan. Sebagai contoh, munculnya gagasan neoliberal yang diprakarasai oleh Milton Friedman dan Friedrich Hayek, yang

mendominasi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik dewasa ini di mana pasar diberi tempat terhormat, sedangkan negara hampir sama sekali dimarginalkan hendaknya dilihat dalam kaitannya dengan kegagalan kebijakan ekonomi Keynesian waktu itu. Selama beberapa dekade, kebijakan ekonomi Keynesian ini berhasil dalam memacu pertumbuhan ekonomi, tetapi akhirnya terpuruk karena ketidakmampuannya

mengatasi penyakit hiperinflasi. Selanjutnya, peristiwa ini dijadikan momentum oleh para pemikir neoliberal

atau kelompok Kanan Baru (the New Right) untuk

menyerang fondasi ekonomi Keynesian dengan menyatakan bahwa kegagalan ekonomi Keynesian adalah karena negara terlalu intervensif. Untuk mengatasi hal ini, cara yang paling efektif adalah bagaimana mengeluarkan negara dari aktivitas ekonomi dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar. Namun lebih dari itu, gagasan para pemikir neoliberal, yang

oleh Gramsci disebut sebagai intelektual organik1 ini,

juga mengabdi kepada kepentingan tertentu (Sugiono,

1999: 43). Setidaknya, ia merepresentasikan kelas

sosial ekonomi yang mereka wakili.

Kembali ke konsep good governance, pertama kali

konsep ini dipublikasikan oleh Bank Dunia pada

tahun 1992. Menurut Bank Dunia, governance adalah

“the manner in which power is exercised in the management of a country’s social and economic resources for development”,

sedangkan ADB, yang memiliki policy paper sejak tahun

1995 dengan tajuk Governance: Sound Development

Management, mengartikulasikan empat elemen esensial

dari good governance, yakni accountability, participation,

predictability, dan transparancy. Sementara menurut

UNDP, governance meliputi pemerintah, sektor swasta,

dan civil society serta interaksi antarketiga elemen

(4)

governance yang meliputi pengikutsertaan semua, transparansi dan bertanggung jawab, efektif dan adil, menjamin adanya supremasi hukum, dan menjamin bahwa prioritas-prioritas politik, sosial, dan ekonomi didasarkan pada konsensus masyarakat serta

memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam pengambilan keputusan

menyangkut alokasi sumber daya pembangunan (lihat

Sumarto, 2003: 3).

Gambar 1: Aktor-aktor masyarakat urban yang terlibat dalam good governance. Bagan ini di-down

load dari http://www.unescap.org/huset/gg/ governance.htm.

Governance itu sendiri diartikan sebagai mekanisme,

praktik, dan tata cara pemerintah dan warga dalam mengatur sumber daya serta memecahkan masalah-masalah publik. Dalam konsep ini, pemerintah hanya menjadi salah satu aktor dan tidak menjadi satu-satunya aktor paling menentukan. Implikasinya, peran pemerintah sebagai pembangun maupun sebagai penyedia jasa pelayanan dan infrastruktur akan bergeser menjadi badan pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain di komunitas dan sektor swasta untuk ikut aktif melayani sektor tersebut. Definisi yang lain menyebutkan bahwa

governance merupakan proses pembuatan keputusan

dan melalui mana keputusan tersebut dilaksanakan

atau tidak dilaksanakan (governance means the process of

decision making and the process by which decisions are

implemented or not implemented) (www. unescap.org).

Oleh karena merupakan proses pembuatan keputusan,

governance melibatkan banyak aktor sebagaimana

terlihat dalam gambar 1.

Dalam konsep governance paling dasar, terdapat tiga

stakeholders utama yang saling berinteraksi, yakni negara

atau pemerintah (state), dunia usaha atau pihak swasta

(private sector), dan masyarakat (society). Dalam kaitan

ini, terdapat tiga elemen essensial dalam good

gover-nance, yakni: Pertama, adanya kapasitas dalam

pemerintahan untuk membuat kebijakan yang tepat serta adanya administrasi publik yang efisien dan

accountable untuk menjalankannya. Kedua,

demokratisasi dan pembangunan partisipatoris dengan mendorong keterlibatan yang lebih besar dari semua

stakeholders. Ketiga, penghargaan terhadap hak asasi

manusia dan penegakan hukum (Sumarto, 2003:

55-56).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik

benang merah bahwa governance adalah persoalan

pengaturan. Menyangkut bagaimana mengelola sumber-sumber sosial dan ekonomi sebagai cara atau

upaya untuk melakukan pembangunan, sedangkan good

governance lebih merujuk pada bagaimana agar

sumber-sumber tersebut dapat dikelola secara baik atau efisien. Untuk itu, diperlukan akuntabilitas, partisipasi, prediktabilitas, aturan hukum, dan transparansi (lihat

gambar 2). Dengan kata lain, good governance

melibatkan usaha-usaha untuk membangun sistem penyelenggaraan pembangunan yang lebih demokratis.

(5)

Kemudian, jika dilihat dari konteks

kemunculannya, Abrahamsen menegaskan bahwa

konstruksi Bank Dunia tentang good governance dimulai

dari penolakannya terhadap kegagalan pembangunan

masa lalu. Hal ini berarti bahwa agenda good governance

pada dasarnya merupakan hasil koreksi terhadap kelemahan-kelemahan strategi pembangunan yang dilakukan pada masa sebelumnya. Seperti dikemukakan oleh Bank Dunia, upaya-upaya pembangunan pasca-kemerdekaan gagal karena strateginya salah. Dengan kata lain, kegagalan pembangunan pada masa lalu adalah ketiadaan

pemerintahan yang baik (good governance). Oleh karena

itu, konsep good governance yang ditawarkan oleh World

Bank merupakan alternatif bagi usaha-usaha untuk

mengoreksi strategi pembangunan yang gagal tersebut. Tentunya, ini juga merupakan koreksi terhadap karakter birokrasi pemerintahan yang berlaku di negara-negara Dunia Ketiga pada waktu itu. Sulit dipungkiri bahwa birokrasi di negara-negara Dunia Ketiga merupakan birokrasi yang korup dan tidak efisien. Salah satu penyebabnya, kuatnya birokrasi pemerintahan sebagai akibat lemahnya masyarakat sipil. Dalam konteks ini, negara secara sadar

melemahkan masyarakat melalui berbagai cara. Intinya, negara otoritarian sebagaimana dikontestasikan oleh pemerintahan Orde Baru dan negara-negara Dunia Ketiga lainnya dengan struktur birokrasi yang kuat dan

hampir-hampir tidak tersentuh merupakan bad

gover-nance dan menjadi penghalang bagi suatu

pembangunan yang berhasil.

KONTEKS GLOBAL KEMUNCULAN GOOD GOVERNANCE

Jika dilihat dalam konteks yang lebih luas, maka

kemunculan agenda good governance tidak saja

dilatarbelakangi oleh kegagalan pembangunan masa lampau, tetapi juga harus dilihat dalam konteks

kemenangan ideologis kelompok Kanan Baru (the new

right) di Inggris dan Amerika Serikat pada periode

tahun 1970-an. Kemenangan kelompok Kanan Baru ini menandai dimulainya tata ekonomi dunia yang jauh lebih liberal dibandingkan dengan

proteksionisme. Berjalin dengan kemajuan atau

revolusi di bidang teknologi komunikasi dan semakin rendahnya biaya transportasi telah mendorong

liberalisasi dan globalisasi ekonomi dunia berlangsung dalam skala yang lebih luas dibandingkan sebelumnya.

Salah satu ajaran kelompok ini dapat dianggap paling meyakinkan dan diamini oleh lembaga-lembaga

governance global (WTO, IMF, dan World Bank) dan

sebagian besar para pengambil kebijakan publik, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang adalah keyakinan yang sangat kuat terhadap kedaulatan pasar dan marginalisasi peran negara. Biasanya, para pemikir yang berada dalam garis

ini sering disebut sebagai kaum hiperglobalis (David

Held at. all, 1999). Ciri utama pandangan ini adalah

sikap optimistik mereka dalam melihat globalisasi dan pengagungan yang berlebihan terhadap pasar.

Sementara pada waktu bersamaan, mereka ‘menghujat’ habis-habisan peran negara.

Menurut cara pandang kelompok ini, globalisasi didefinisikan sebagai sejarah baru kehidupan manusia di mana “negara tradisional telah menjadi tidak lagi relevan, lebih-lebih menjadi tidak mungkin dalam unit-unit bisnis dalam sebuah ekonomi global. Dalam pandangan kaum hiperglobalis, globalisasi ekonomi membawa serta gejala “denasionalisasi” ekonomi melalui pendirian jaringan-jaringan produksi

transnasional (transnational networks of production),

perdagangan dan keuangan. Dalam lingkungan

ekonomi yang tanpa batas ini (economics borderless),

pemerintahan nasional tidak lebih dari sekedar

trans-mission belts bagi kapital global, atau secara lebih

singkat sebagai institusi perantara yang menyisip diantara kekuatan lokal dan regional yang sedang tumbuh, serta mekanisme pengaturan global. Lebih lanjut, kelompok ini mempunyai keyakinan bahwa globalisasi ekonomi tengah membangun bentuk-bentuk baru organisasi sosial yang tengah

menggantikan atau yang akhirnya akan menggantikan negara bangsa sebagai lembaga ekonomi utama dan unit politik dari masyarakat dunia.

(6)

ini negara-negara bangsa (nation-states) tidak lagi mempunyai sumber-sumber yang tanpa batas yang dapat dimanfaatkan secara bebas untuk mendukung mewujudkan ambisi mereka. Dalam dunia baru, yaitu

“dunia tanpa batas” (a world without borders), demikian

Ohmae mengatakan, negara-negara bangsa dan penguasaan terhadap militer tidak lagi memainkan peran penting. Bahkan, peran mereka semakin memudar, dan secara meyakinkan akan segera

digantikan oleh peran penting yang semakin meningkat oleh aktor-aktor nonteritorial, seperti perusahaan-perusahaan multinasional, gerakan-gerakan

transnasional, dan organisasi-organisasi internasional (Keohane dan Nye, 1977: 3).

Singkatnya, sebuah pergeseran yang besar tengah

terjadi dari state-dominated ke arah market-dominated

ekonomi internasional. Kelumpuhan ekonomi terpimpin Uni Soviet, kegagalan strategi substitusi impor negara-negara Dunia Ketiga, dan keberhasilan ekonomi Amerika Serikat pada era tahun 1990-an

telah mendorong penerimaan unristricted market sebagai

solusi bagi penyakit ekonomi modern. Karena deregulasi dan beberapa reformasi yang lain telah mengurangi peran negara dalam ekonomi, banyak orang mempunyai keyakinan bahwa pasar akan

menjadi mekanisme paling penting dalam menentukan ekonomi domestik maupun internasional, dan

terlebih lagi hubungan-hubungan politik. Dalam suatu ekonomi global yang sudah sangat terintegrasi, negara bangsa, menurut intepretasi ini, akan menjadi anakronisme dan berada dalam situasi kemunduran. Banyak dari mereka percaya bahwa menurunnya peran negara bangsa akan menjadi pembuka ke arah ekonomi global yang sesungguhnya, yang dicirikan oleh

ketiadaan hambatan dalam perdagangan, aliran uang dalam skala global, dan kegiatan internasional dari

perusahaan-perusahaan multinasional (Gilpin, 2001: 8;

Strange, 2000).

Selaras dengan hal ini, globalisasi pada dasarnya juga dapat dimaknai sebagai sebuah preskripsi. Ini berarti bahwa globalisasi meliputi liberalisasi pasar global dan pasar nasional dengan asumsi bahwa arus perdagangan bebas, modal, dan informasi akan

menciptakan hasil yang terbaik bagi pertumbuhan dan

kemakmuran manusia (Petras dan Veltmeyer, 2003: 8).

Pandangan yang sangat optimistik ini telah menjadi sumber inspirasi bagi para pengambil kebijakan publik di negara-negara Dunia Ketiga, seperti di Meksiko

(Heredia dan Purcel, 2003), Brazil, Argentina (Petras dan

Veltmeyer, 2002), Chile (Steven Kangas, 2003), dan

terlebih di lembaga-lembaga-lembaga governance global

seperti World Trade Organization (WTO), International

Monetary Fund (IMF), dan Bank Dunia (Stiglitz, 2002).

Para pengambil kebijakan di negara-negara yang disebutkan tadi, entah secara sukarela atau melalui “paksaan” telah menyandarkan kebijakan ekonomi domestiknya pada keunggulan pasar, dan secara terus menerus meminggirkan peran negara dalam kehidupan ekonomi. Akibatnya, negara tidak lagi mempunyai peran yang signifikan dalam mempengaruhi ekonomi nasional. Suatu kondisi yang menciptakan persoalan lain dalam negara masing-masing.

Sementara itu, lembaga-lembaga global (IMF, WTO, dan Bank Dunia) juga mempunyai peran yang semakin penting dalam kaitannya dengan

kemampuannya untuk mendeterminasi negara-negara Dunia Ketiga. WTO mempunyai peran yang signifikan bahkan paling berkuasa dalam menjamin

terselenggaranya liberalisasi ekonomi (Jhamtani, 2000).

IMF menyediakan utang bagi negara-negara debitur dengan persyaratan ketat yang memungkinkan IMF melakukan restrukturisasi ekonomi. Sementara itu,

Structural Adjustment Bank Dunia juga menggunakan

panduan yang serupa, dan mendorong kecenderungan yang sama dalam mensubordinasikan kebijakan domestik, terutama kebijakan yang berhubungan dengan proteksi dan subsidi. Keduanya lazim disebut sebagai Konsensus Washington. Konsensus ini menekankan liberalisasi pasar, privatisasi BUMN, dan kebijakan lain yang dirancang untuk mendorong investasi asing, termasuk dalam hal ini devaluasi dan

deregulasi (Tabb, 2002: 76).

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana hubungan antara kemenangan Kelompok Kanan Baru, globalisasi

ekonomi, dan agenda good governance yang diprakarsai

(7)

hubungan yang erat dan saling terkait antara ketiganya, dan hubungan tersebut lebih daripada dominasi wacana. Namun, hubungan-hubungan itu juga melibatkan interaksi ideologis dari para pengambil kebijakan di lembaga-lembaga global tersebut dengan kemunculan ideologi pasar bebas, demokratisasi politik, dan munculnya perusahaan-perusahaan multinasional sebagai kekuatan dominan di era globalisasi ekonomi sekarang ini.

Orang-orang yang berada di lembaga-lembaga

governance global saat ini seperti IMF, WTO, dan Bank

Dunia didominasi oleh para pemikir neoliberal. Oleh karena itu, agenda mereka yang penting adalah bagaimana meliberalisasi sistem ekonomi dan politik negara-negara di dunia.. Ini dilakukan untuk menjamin dilaksanakannya kebijakan perdagangan bebas yang diyakini merupakan alat yang paling efektif untuk meraih kemakmuran dan perdamaian dunia. Dalam konteks ini, David Korten menegaskan bahwa para pendukung globalisasi ekonomi, dalam berbagai bentuknya, mempunyai keyakinan bahwa globalisasi ekonomi dan pasar bebas akan mendorong demokrasi dalam skala luas. Oleh karenanya, pembicaraan politik tentang pasar bebas dan perdagangan bebas adalah pesan gigih yang menegaskan bahwa kemajuan pasar

bebas adalah kemajuan demokrasi (Korten, 1997: 108).

Dalam kaitan ini, perekonomian bebas dianggap sangat penting bagi masyarakat sipil, dan fokusnya adalah penciptaan “lingkungan yang memungkinkan” yang dapat “memunculkan kekuatan-kekuatan swasta serta mendorong prakarsa di semua tingkat.

Selanjutnya, perusahaan swasta dianggap sebagai komponen masyarakat sipil yang penting, secara aktif bertindak sebagai pendukung kehidupan masyarakat sipil. Oleh karena itu, tindakan-tindakan yang dilakukan untuk membantu kegiatan sektor swasta, termasuk usaha untuk memprivatisasi perusahaan negara adalah untuk memperkuat masyarakat sipil

(Landel-Mills, 1992; dalam Abrahamsen, 2004: 102).

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa kemunculan

agenda good governance yang diperkenalkan oleh Bank

Dunia pada tahun 1992 tidak bisa dilepaskan dari proyek demokratiasasi politik sebagai usaha untuk

menciptakan iklim yang kondusif bagi berkembangnya

kapital swasta. Ini menjadi jelas jika konsep good

governance sebagaimana dipaparkan di atas kembali

dirujuk. Dalam konsep good governance, setidaknya

terdapat tiga stakeholders yang saling berinteraksi, yakni

pemerintah atau negara, swasta, dan masyarakat. Dengan demikian, logika di balik munculnya konsep

good governance adalah jelas. Neoliberalisme

menghendaki kemajuan pasar bebas dan kemunduran peran negara dalam kegiatan ekonomi, dan globalisasi ekonomi sebagaimana sering dipromosikan oleh

lembaga-lembaga governance global, pada akhirnya

menempatkan swasta pada posisi sentral. Ketika negara telah sedemikian rupa dimarginalkan melalui berbagai regulasi dan proyek privatisasi BUMN yang diprakarsai

oleh IMF dan Bank Dunia, aktor utama good governance

pada akhirnya adalah jelas, yakni swasta. Dengan kata

lain, proyek good governance yang dipromosikan oleh

Bank Dunia di negara-negara Dunia Ketiga ditujukan untuk mendorong proses demokratisasi yang pada akhirnya memberi peran yang lebih besar pada swasta.

Dengan demikian, agenda good governance tidak

hanya dapat dipandang sebagai transformasi diskursif yang, sembari menyatakan akan membebaskan rakyat miskin, memungkinkan untuk melangsungkan hegemoninya terhadap negara-negara Dunia Ketiga sebagaimana dikemukakan oleh Abrahamsen, tetapi dapat juga dilihat dari bagaimana lembaga-lembaga global ini berusaha untuk memperkuat peran swasta dalam kegiatan ekonomi global. Dalam konteks ini,

Tabb (2003: 80; lihat juga Scholte, 2000) menegaskan

bahwa keliru jika memandang negara tidak berdaya dalam ekonomi global, tetapi sesungguhnya yang terjadi adalah kekuasaan negara telah secara sadar dilihat sedemikian rupa untuk mengabdi pada kepentingan korporasi (swasta), bukan kepentingan warga negara. Dalam proses ini, paham demokrasi sosial gaya Keynesianisme nasional, yang dominan sejak Perang Dunia Kedua, digusur oleh neoliberalisme

global. Lembaga-lembaga governance global inilah yang

(8)

adalah negara serba diatur di mana pasar dijauhkan dari campur tangan politik, tetapi keberhasilan sistem kekebalan pasar ini bergantung pada pemahaman bahwa jika tatanan pasar dikehendaki berjalan lancar maka diperlukan adanya lembaga-lembaga pengatur (regulatory institutions) yang kuat (Jayasuriya, 2000: 42), dan nampaknya WTO, IMF, dan Bank Dunia telah mampu menjalankan peran tersebut dengan sangat baik (Stiglitz, 2002).

APA YANG SALAH?

Wacana pembangunan telah mendominasi para intelektual dan para pengambil kebijakan publik di negara-negara Dunia Ketiga sejak tahun 1950-an dan tahun 1960-an. Dalam konteks Indonesia,

pembangunan secara intensif telah dipraktikkan oleh pemerintahan Orde Baru melalui Repelita sejak tahun 1969. Dengan dukungan militer yang kuat, dapat dianggap teknokrat lulusan universitas Barat, yang lebih sering dikenal sebagai ‘Mafia Berkeley’, sebagai arsitek pembangunan Indonesia para era tersebut. Dalam perspektif Gramscian, ini dapat dianggap sebagai bentuk hegemoni Barat (tepatnya AS) terhadap negara Dunia Ketiga (dalam kasus ini, Indonesia). Kemudian, globalisasi ekonomi direspon oleh pemerintahan Orde Baru melalui paket-paket deregulasi sejak tahun 1980-an. Kebijakan ini telah mendorong struktur ekonomi Indonesia menjadi lebih terbuka terhadap investasi asing, dan pada tataran tertentu telah mendorong industrialisasi di Indonesia.

Namun, berbagai upaya pembangunan tersebut dapat dikatakan kurang berhasil jika tidak mau dikatakan gagal. Hal ini karena hasil-hasil

pembangunan hanya dinikmati oleh segelintir elit (ekonomi ataupun politik), dan Indonesia masih tidak beranjak dari kategori negara Dunia Ketiga yang tingkat kemiskinannya masih tinggi.

Ada banyak teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan kegagalan pembangunan tersebut. Bagi para pemikir yang berpijak pada tradisi Marxian atau Neo-marxian, kegagalan pembangunan adalah akibat kendala struktural. Negara-negara Dunia Ketiga sulit untuk dapat mengejar ketertinggalannya dengan

negara-negara Barat karena memang struktur ekonomi politik internasional menghalangi negara-negara tersebut untuk berkembang menjadi negara industri maju. Sementara di sisi yang lain, para pendukung kebijakan developmentalisme melihat bahwa kegagalan

pembangunan adalah, seperti telah disinggung di awal, karena tiadanya pemerintahan yang baik. Oleh karena itu, persoalannya adalah bagaimana membentuk pemerintahan yang baik berdasarkan prinsip-prinsip good governance.

Dengan demikian, munculnya konsep good

gover-nance yang belakangan menjadi isu sentral di kalangan

akademisi, para pengambil kebijakan publik, media, dan elemen masyarakat sipil yang lain nampaknya juga terjebak ke dalam pemahaman ini. Dalam konteks Indonesia, pemahaman seperti ini adalah relevan

berdasarkan beberapa alasan. Pertama, birokrasi

pemerintah yang direpresentasikan oleh Orde Baru adalah suatu birokrasi patrimonial yang korup,

nepotis, dan penuh aroma kolusi (KKN). Kedua,

pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pinjaman luar negeri dan mengejar tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diiringi dengan pembangunan politik yang demokratis. Sebaliknya, pembangunan tersebut telah

‘memapankan’ rejim politik otoriter yang menegaskan konsensus politik yang bersifat elitis dan partisipasi masyarakat dimarginalkan. Sementara dalam waktu bersamaan, birokrasi pemerintah mempunyai tingkat akuntabilitas yang rendah. Singkatnya, pemerintahan

Orde Baru dapat dikategorikan sebagai bad governance

karena ketiadaan transparansi, akuntabilitas,

partisipasi, dan responsibilitas. Oleh karena itu, ketika gerakan reformasi berhasil menumbangkan rejim yang dikenal korup dan menindas tersebut, serta merta

agenda good governance menempati posisi sentral dalam

diskusi-diskusi publik. Seolah-olah, konsep good

governance dianggap menjadi ‘resep mujarab’ bagi

kegagalan pembangunan yang dilaksanakan selama pemerintahan Orde Baru.

Namun, dengan merujuk pada para pemikir kritis seperti sedikit telah dipaparkan sebelumnya,

(9)

menjanjikan kebaikan pemerintahan dan demokrasi hendaknya ia tetap dilihat secara kritis. Oleh karena

itu, kritik yang menyatakan bahwa wacana good

gover-nance sebagai kelanjutan dari wacana pembangunan

yang telah mendominasi Dunia Ketiga pada era

sebelumnya dapat dikatakan sebagai bagian dari proyek global “produksi hegemoni” atau usaha serius

kekuatan-kekuatan dominan di negara-negara maju untuk membentuk sebuah blok historis skala dunia masih tetap relevan. Dengan demikian, muatan ideologis dan ide-ide atau teori yang membentuk wacana itu tidak bisa dikatakan sebagai “obyektif”. Menurut cara pandang ini, teori selalu mendukung tujuan seseorang atau mendukung berbagai tujuan. Dengan kata lain, semua teori mempunyai sebuah

perspektif (Robert Cox, 1995; dalam Sugiono, 1999: 56).

Oleh karena itu, tulisan ini akan berusaha

melanjutkan kritik tersebut pada level yang lebih luas, yakni pada tataran konseptual dan implikasi yang mungkin ditimbulkan akibat diimplementasikannya

good governance. Kritikpertama yang dapat diajukan

adalah menyangkut netralitas konsep good governance.

Pada dasarnya, konsep ini bukanlah merupakan konsep yang netral. Pertama kali, konsep ini dimunculkan

oleh Bank Dunia (Abrahamsen, 2000; Sumarto 2002)

sebagai reaksi atas kegagalan pembangunan masa lampau. Jika kita sepakat bahwa ide-ide dan teori tidak bisa bersifat obyektif dan karenanya ia selalu

mengandung perspektif tertentu, maka menjadi jelas perspektif siapakah yang coba direpresentasikan oleh pemunculan ide atau teori tersebut, yakni para pendukung pasar bebas atau yang sering disebut sebagai kaum neoliberal. Telah menjadi rahasia umum bahwa lembaga-lembaga global seperti WTO, IMF,

dan World Bank, didominasi oleh para pendukung

neoliberalisme ekonomi yang menolak campur tangan negara, sementara di waktu bersamaan mengagungkan kebajikan pasar. Terlepas bahwa pandangan-pandangan kaum neoliberal dianggap gagal dalam mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkeadilan sosial, dan mempunyai relevansi yang sangat rendah pada tataran empiris. Dalam konteks ini, kritik Joseph Stiglitz relevan untuk dikemukakan. Menurut Stiglitz (2002:

92, keberhasilan pembangunan di negara-negara Asia Timur yang termasuk ke dalam Negara Industri Baru

(NICs) adalah karena kebijakan yang bersifat gradual

dalam meliberalisasi perdagangan dan sektor finansial. Ini bertentangan dengan yang direkomendasikan oleh Konsensus Washington sebagaimana dianut oleh lembaga-lembaga global tersebut yang menekankan liberalisasi sektor keuangan dan perdagangan dengan cepat tanpa kontrol negara. Malahan, negara yang melakukan rekomendasi Konsensus Washington ini terbukti gagal dalam melakukan reformasi ekonomi dan politik, dan kini tengah menghadapi masa depan ekonomi dan politik yang tidak pasti seperti yang terjadi di bekas negara Uni Soviet.

Di negara-negara Amerika Latin dan Afrika, liberalisasi dan privatisasi, sebagaimana

direkomendasikan oleh Bank Dunia dan IMF, pada akhirnya lebih menguntungkan perusahaan-perusahaan transnasional dibandingkan dengan masyarakat

domestik negara yang bersangkutan. Dalam konteks ini, persoalan yang muncul adalah kepentingan siapa yang direpresentasikan, dan jawabannya adalah kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional. Rekomendasi kebijakan yang diberikan baik Bank Dunia, maupun IMF pada dasarnya ditujukan untuk mengakomodasi kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional atau secara lebih spesifik perusahaan

transnasional Amerika Serikat (Tabb, 2002; Korten,

2002; dan Stiglizt, 2002). Oleh karena itu, kemunculan

konsep good governance yang diprakarsai oleh Bank

Dunia hendaknya juga dilihat dalam konteks ini. Ini bukan suatu pola pikiran yang picik, tetapi lebih merupakan suatu cara berfikir yang lebih hati-hati sebagai upaya untuk menjaga tetap tegaknya demokrasi

dan keadilan sosial. Singkatnya, kelahiran konsep good

governance hendaknya dilihat tidak hanya sebagai

respon atas kegagalan pembangunan masa lampau karena ketiadaan pemerintahan yang baik, tetapi juga harus dilihat dalam konteks ideologi yang ‘bermain’ di balik kemunculan konsep tersebut, yakni globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang lebih mengabdi kepada kepentingan korporasi global

(10)

governance adalah adanya interaksi yang seimbang antara pemerintah, swasta, dan masyarakat seperti terlihat dalam gambar sebelumnya. Namun, di era globalisasi ekonomi sekarang ini di mana negara telah

dimarginalkan sedemikian rupa dalam melayani kepentingan publik, dan perusahaan-perusahaan multinasional mempunyai kekuatan yang tidak ada bandingnya, apakah masih mungkin membentuk suatu interaksi yang seimbang. Berbagai tulisan yang muncul belakangan menyebutkan bagaimana demokrasi yang

menjadi salah satu landasan diberlakukannya good

governance telah digerogoti sedemikian rupa oleh

perusahaan-perusahaan multinasional melalui aturan

yang direkomendasikan oleh lembaga-lembaga

gover-nance global, seperti IMF, WTO, dan Bank Dunia.

Dalam hal ini, suatu kritik yang cukup tajam dikemukakan oleh David Korten ke dalam hampir

keseluruhan buku yang ditulisnya, the Post Corporate

World: Life After Capitalism (2002). Ia menyatakan

bahwa kekuasaan ekonomi saat ini telah

merepresentasikan dirinya menjadi kekuasaan politik, dan pemerintahan nasional kini lebih mengabdi kepada kepentingan korporasi global dibandingkan dengan kepentingan warga negara.

Dengan demikian, jika liberalisasi ekonomi dan perdagangan bebas dapat dianggap sebagai proyek kaum neoliberal yang lebih bersifat ekonomi sebagai upaya untuk melakukan akumulasi kekayaan melalui lembaga-lembaga transnasional tadi, maka “demokrasi” menjadi proyek politik mereka. Hal ini dapat

disaksikan dari berbagai proyek liberalisasi ekonomi dan perdagangan yang juga diikuti oleh proyek-proyek demokratisasi politik di negara yang bersangkutan. Namun, hal ini hendaknya juga dilihat secara kritis. Seperti pernah ditegaskan oleh William K. Tabb dan Noam Chomsky, proyek demokratisasi pada intinya adalah sebuah bualan belaka. Menurut kedua penulis ini, proyek demokratisasi harus dilihat dalam kaca mata kepentingan negara dominan, dalam hal ini Amerika Serikat. Bagi negara-negara maju, sistem politik otoriter dan proteksionis hampir dapat dipastikan menjadi penghalang utama masuknya investasi perusahaan-perusahaan multinasional

negara-negara maju. Jika hal ini dibiarkan, maka akan menghalangi perusahaan-perusahaan multinasional untuk meraih keuntungan maksimal dari berbagai sumber daya yang mungkin ditawarkan oleh negara tersebut, sementara dilihat dari perspektif politik, hal ini akan menyulitkan negara-negara besar untuk melakukan semacam “infiltrasi” politik ke negara-negara Dunia Ketiga. Oleh karena itu, untuk menjamin investasi perusahaan transnasional bisa masuk, dan negara-negara maju dapat melakukan kontrol terhadap negara-negara Dunia Ketiga maka demokrasi menjadi agenda reformasi berikutnya.

Akhirnya, sulit untuk mengatakan bahwa interaksi

yang seimbang antara aktor-aktor dalam governance akan

terjadi mengingat kekuasaan ekonomi perusahaan multinasional telah menjadi kekuasaan politik yang menghambat demokrasi. Dengan demikian, kita dapat

mengatakan bahwa kemunculan agenda good governance

dapat dianggap sebagai proyek demokratisasi politik yang berujung pada penguasaan aktor-aktor ekonomi global terhadap sumber daya ekonomi nasional.

Sebaliknya, agenda good governance hanya akan menjadi

proyek politis yang menguntungkan korporasi-korporasi global yang kekuatannya sekarang

mengalahkan kemampuan banyak negara Dunia Ketiga. Pada akhir abad 20 saja, mereka berhasil menguasai 67% dari perdagangan antarmereka sendiri, dan 34,1% dari perdagangan dunia. Sementara di bidang investasi, mereka menguasai sekitar 75% dari total investasi

global (Fakih, 2000).

KESIMPULAN

Sebagai catatan penutup, ada beberapa hal yang perlu dikemukakan kembali dan mungkin layak mendapatkan perhatian dari para pengambil kebijakan publik, para akademisi, dan komponen masyarakat

sipil yang lain. Pertama, apakah agenda good governance

ini akan kita tolak ataukah diterima dengan suatu catatan. Saya lebih cenderung untuk menerima dengan

suatu catatan. Persoalan utama dari konsep good

governance yang diprakarsai oleh Bank Dunia ini adalah

(11)

menjadi penyedia regulasi yang menguntungkan kepentingan korporasi-korporasi global sebagaimana dimaksudkan awalnya. Oleh karena itu, hendaknya terdapat regulasi yang menjamin pemerintah untuk melindungi kepentingan masyarakat di luar korporasi global.

Berbagai pengalaman yang ditunjukkan oleh negara-negara Industri Baru menegaskan bahwa keberhasilan industrialisasi karena ditopang oleh peran negara yang sangat kuat dalam “memberi arah” industrialisasi. Model industri di Taiwan, Korea Selatan, dan

Hongkong lebih sesuai dengan model state-led

develop-ment dibandingkan dengan market-driven development.

Tidak selamanya kepentingan korporasi global sesuai dengan kepentingan masyarakat sehingga tidak semua urusan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dapat diserahkan kepada swasta. Oleh karena

itu, good governance hendaknya tetap menjamin

demokrasi dalam arti sebenarnya dengan

mengembalikan dan menghormati hak-hak individu, dan hendaknya pemerintah tetap memainkan peran yang signifikan tidak hanya dalam mengurangi

kegagalan pasar (mitigating market failure), tetapi juga

dalam mendorong keadilan sosial (social justice) (Stiglitz,

2002: 218). Pasar mempunyai kemungkinan untuk

tidak melayani masyarakat yang tidak mempunyai sumber-sumber yang cukup mengingat pasar mempunyai hukumnya sendiri berdasarkan prinsip

supply anddemand. Oleh karena itu, pemerintah dalam

prinsip good governance harus tetap menjamin

tersedianya pelayanan yang cukup bagi masyarakat miskin yang besar kemungkinan tidak akan dilayani oleh pasar. Di negara-negara Asia Timur, Amerika Serikat, dan negara-negara yang paling berhasil,

pemerintah (goverment) memainkan peran yang

signifikan dalam menyediakan infrastruktur, pendidikan yang berkualitas, dan jaring pengaman sosial bagi masyarakat miskin.

Kedua, pendefinisian kembali demokrasi sebagai

penopang good governance. Tipe ideal good governance

mempunyai delapan karakteristik pokok, yakni

partici-patory, consensus oriented, accountable, transparent, respon-sive, effective and efficient, equitable and inclusive and

follows the rule of law (www.unescap.org). Hal ini

dimaksudkan untuk menjamin pengurangan korupsi dan adanya jaminan bahwa suara-suara minoritas dan terpinggirkan diperhatikan dalam proses perumusan kebijakan publik. Selain tentunya untuk menjamin akuntabilitas publik. Ini mengandaikan adanya

masyarakat sipil (civil society) yang kuat di mana

komponen-komponennya tidak ada yang saling mendominasi satu dengan yang lain. Pada masa

lampau, ancaman masyarakat sipil adalah negara, tetapi di era global sekarang ini ancaman terhadap masyarakat sipil tidak hanya berasal dari negara, tetapi juga

korporasi-korporasi global dan lembaga-lembaga global yang hampir tidak mempunyai akuntabilitas sama sekali terhadap masyarakat. Oleh karena itu, agenda

good governance hendaknya tidak hanya dilaksanakan di

lembaga-lembaga publik seperti pemerintah, tetapi

hendaknya juga diberlakukan pada korporasi (corporate

governance), lembaga-lembaga governance global, dan

bahkan Lembaga Swadaya Masyarakat. Kematian

demokrasi (the death of democracy) adalah akibat

semakin berkuasanya korporasi-korporasi global mengungguli negara bangsa. Oleh karena itu, tugas negara selain mendapatkan kembali kontrolnya dalam ekonomi politik domestik adalah mengembalikan hak-hak individu dan tidak memberikannya kepada korporasi-korporasi global yang cenderung

monopolistik dan oligopolistik (Korten, 2002).

CATATAN AKHIR

1 Yang dimaksud dengan intelektual organik adalah setiap intelektual

yang kehadirannya terkait dengan struktur produktif dan politik masyarakat, yakni dengan kelompok atau kelas yang mereka wakili. Dalam kalimat Gramsci, “setiap kelompok sosial, yang muncul di kawasan orisinal sebuah fungsi esensial di dunia produksi ekonomi, menciptakan bersama dirinya sendiri, secara organik, satu atau lebih strata intelektual yang memberikan homogenitas dan kesadaran fungsinya sendiri tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang politik” (lihat Muhadi Sugiono, 1999: 43).

REFERENSI

Abrahamsen, Rita, 2000, Disciplining Democracy: Development Discourse and Good Governance in Africa, New York: Zed Book. Arief, Sritua, 1999, “Kejahatan Hutang Luar Negeri dan Reformasi Bank

(12)

Fakih, Mansour, 2000, “Pembangunan: Pelajaran Apa yang Kita Dapat”,

Jurnal Wacana, edisi 5 Tahun 2000.

Gilpin, Robert (2001), Global Political Economy: Understanding the Economic Order (Princeton University Press).

Held, David at. al., (1999), Global Transformation: Politics, Economics, and Culture, (Stanford: Standford University Press).

Heredia, Carlos dan Mary Purcell, 2003, “Penyesuaian Struktural di Meksiko: Akar Krisis”, dalam William Robinson at. al., Hantu Neoliberalisme, Jakarta: C-Books.

Hirst, Paul and Grahame Thompson, 1996. GlobalizationinQuestion, Blackwell Publisher Ltd., Cambridge.

Jayasuriya, Kanishka, 2000, “Dari Kekuasaan Negara ke Kekuasaan pasar Global”, Jurnal Wacana No. VII Tahun 2000.

Kangas, Steve, 2003, “The Chicago Boys dan “keajaiban Ekonomi Chile”, dalam William Robinson at.al., Hantu neoliberalisme, Jakarta: C-Books.

Keohane, Roberth O. and Joseph S. Nye, 1977. Power and Interdepndence: WorldPolitics in Transition, Little, Brown and Company Inc., Boston.

Korten, David. C, 1997, When Corporations Rule the World (Ketika Korporasi Menguasai Dunia), alih bahasa Agus Maulana, Jakarta: Professional Books.

______________,2002, The Post Corporate World (Kehidupan Setelah Kapitalisme), alih bahasa A. Rahman Zainuddin, Jakarta: Yayasan Obor.

Latif, Yudi dan Idi Subandy Ibrahim, 1996, “Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru”, dalam Yudi Latif dan Idi Subandi Ibrahim, 1996, Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru (Jakarta: Mizan).

Ohmae, Kenichi (1995), “The End of Nation State,” The 1995 Panglaykim MemorialLecture, Jakarta, 4 Oktober.

Petras, James dan Henry Veltmeyer, 2002, Imperialisme Abad 21, Yogyakarta: Kreasi Wacana

Sayer, Andrew, 1995, Radical Political Economy: A Critique, Oxford UK & Cambridge USA, Blackwell.

Scholte, Jan Art, 2000, Globalization: A Critical Introduction, New York: St. Martin Press.

Stiglitz, Joseph E, 2002, Globalization and Its Discontent, Allen Lane: Penguin Books.

Strange, Susan, 2000, “The Declining Authority of State”, dalam David Held dan Anthony McGrew(ed.), The Global Transformations Reader: An Introduction to the Globalization Debate, Cambridge: Polity Press,

Sugiono, Muhadi, 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, PustakaPelajar, Yogyakarta.

Sumarto, Hetifah Sj, 2003, Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Tabb, William K. (2003), Tabir Politik Globalisasi (Yogyakarta: Lafadl).

Artikel dari website

Chomsky, Noam, 1997, “Market Democracy in a Neoliberal Order: Doctrines and Reality”, makalah download dari http:// www.zmag.org/chomsky/index.cfm.

“The Role of the IMF in Governance Issues: Guidance Note”,

Approved by the IMF Executive Board, July 25, 1997, artikel

download from http://www.imf.org/external/pubs/ft/exrp/govern/

govindex.htm

Gambar

gambar 2). Dengan kata lain, good governance

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan Widiyanti dan Kusuma (2013) menyatakan EPS dan LEV memiliki pengaruh negatif pada initial return. Penelitian ini perlu dilakukan karena fenomena underpricing di

Sementara sampai dengan tahun 2014, Penyelian Mitra Tani (PMT) yang merupakan pendamping yang telah direkrut sebanyak 1528 orang, Tujuan PUAP adalah; (1)

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, penelitian ini dilakukan untuk melihat Pengaruh Earning per Share, Return on Equity , dan Net Profit Margin terhadap harga

Segala sesuatu yang dianggap tidak dan/atau belum diatur oleh Anggaran Rumah Tangga ini, akan diatur oleh Pengurus ARJUNA SHC – PCKML di dalam suatu peraturan organisasi..

Kategofi Publikasi Jurnal fltniah , l--l Jurnal Ilmiah InternasionaU Internasional Bereputasi ** {beri tanda { paaakategori }Brg tfpat) f] Jurnal nmiafu y2sional

Carut-marutnya, perpolitikan di negara Indonesia saat ini, lebih disebabkan oleh pemahaman yang dangkal para elit politik terhadap substansi sejarah peradaban dan budaya masa lalu

Studi Kelayakan Proyek : Teori dan Praktek, Konsep dan Kasus,Seri Manajemen Bank No.66, Damarmulia Pustaka, Jakarta.. Manajemen Keuangan Teori, Konsep

Perputaran Modal Kerja = 360 / Jumlah Hari Kerikatan Dana. Menghasilkan berapa kali dalam satu tahun, modal kerja dapat berputar dan kembali menjadi kas. Dengan metode ini juga