74
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Bab ini berisi dua hal sebagaimana judul bab ini. Pertama akan
dikemukakan hasil penelitian dan yang kedua adalah analisis.
Dalam bagian hasil penelitian, akan diuraikan secara lengkap tentang
Putusan 1887 yang menjadi objek analisis, berupa penerapan prinsip-prinsip
hukum yang adapada Bab II. Adapun tujuan dari pemaparan ini adalah dalam
rangka tindak lanjut, usaha untuk menjawab perumusan masalah sebagaimana
telah dikemukakan dalam Bab I1.
3.1.
Hasil Penelitian
Adapun rumusan penelitian, yang intisarinya sebagaimana telah Penulis
kemukakan pada bagian 2 pada Bab terdahulu dari skripsi ini adalah sebagai
berikut. Putusan 1887 bermula dari suatu sengketa yang pada intinya, adalah
sebagai berikut:
Pada Akhir tahun 1982/permulahan tahun 1983, PT. Gespamindo
mengimpor pupuk dari Phosphate Mining Co., sebanyak 3000 metric ton. Nilai
1
75
3000 metric ton pupuk tersebut adalah seharga seluruhnya US.$ 195.000,-. Pupuk
tersebut sebetulnya adalah pesanan PT. Patra Buana, PT. Kapuas Dua Belas
danPT. Sinar Mulia Buana, masing-masing memesan 1000 metric ton pupuk.
Untuk membayar harga 3000 metric ton pupuk impor tersebut kepada penjualnya
di Australia, PT. Gespamindo mengajukan permohonan kredit kepada PT.
Sajahtera Umum
PT. Gespamindo membuka 3 buah L/C di PT. Sajahtera Bank (the issuing
Bank) melalui the Chartered Bank (Corresponding Bank) di Jakarta.
Ketiga buah L/C untuk dibayarkan kepada penjual pupuk (Phosphate
Mining Co.) sebagai pihak beneficiary tersebut, yang keseluruhannya berjumlah
US.$ 195.000,-. Pupuk impor yang dibeli dari Phosphate Mining Co. tersebut
telah dikirim dan diangkut olep PT. Samudera Indonensia, sesuai B/L. Pengiriman
dilakukan dari Melbourne tertanggal 24 Maret 1983, menuju pelabuhan (port)
tujuannya, yaitu Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. PT. Sajahtera Bank yang telah
membayar harga pupuk impor tersebut kepada Phosphate Mining Co. di Australia
melalui the Chartered Bank di Jakarta.Dengan demikian otomotis PT. Sajahtera
Bank menguasai B/L sebagai the Issuing Bank. Termasuk di dalam paket
documentary credit tersebut adalah dokumen pengangkutan, dalam hal ini B/L
yang diterbitkan oleh pengangkut.
Ternyata seluruh pupuk impor yang dibeli oleh PT. Gespamindo telah
diserahkan kepada pemesannya melalui pengangkut. Diduga penyerahan
76
Gespamindo kepada PT. Sajahtera Bank yang telah membeli (negotiate) dari the
Chartered Bank di Jakarta senilai total sisa seluruhnya US.$ 169.000,-2.
Berhubung PT. Gespamindo tidak melakukan pembayaran atas sisa
kewajibanya, maka dalam pandangan PT. Sajahtera Bank, PT. Gespamindo telah
melakukan perbuatan melawan hukum. Pengacara PT. Sajahtera Bank juga
menyeret pengangkut, dalam hak ini PT. Samudera Indonesia, ke dalam sengketa
mereka, dengan tuduhan bahwa PT. Samudera Indonesia sebagai pengangkut
terikat dalam perikatan tanggung-menanggung dengan PT. Gespamindo untuk
memenuhi pelunasan kewajiban mereka kepada PT. Sajahtera Bank3.
Hakim yang berhasil diyakinkan, kemudian menghukum untuk
bertanggung jawab secara renteng PT. Gespamindo dan PT. Samudera Indonesia,
membayar kepada PT. Sajahtera Bank secara tunai dan sekaligus, masing-masing
setengah bagian dari US.$ 169.000,- + bunga sebesar US.$ 36. 378,72,-. Menurut
Hakim “adil” apabila resiko atas gagal bayar PT. Gespamindo itu dipikul oleh PT.
Gespamindo sendiri dan PT. Samudera Indonesia secara bersama-sama. Kedua
pihak itu, oleh Hakim, masing-masing dihukum untuk membayar kepada PT.
Sajahtera Bank uang sejumlah US. $ 84.500,-.
2
Lihat juga uraian dan analisis dalam hal., 43 pada Bab II skripsi ini.
3
77
3.2.
Analisis
Sesuai dengan fakta yang dapat dilihat dalam gugatan, yang menjadi
pokok perkara, kerugian yang dialami oleh Issuing Bank yang merupakan akibat
dari tidak dilunasinya kewajiban PT. Gespamindo kepada PT. Sajahtera Bank dan
perbuatan pengangkut PT. Samuderta Indonesia yang menyerahkan pupuk kepada
PT. Gespamindo tanpa B/L. Sehingga hakim mengadili sendiri, mengakui bahwa
adanya kerugian yang sebabkan oleh tidak diserahkannya B/L yang masih
“ditahan” oleh the Issuing Bank dan memutus perkara dengan menggunakan
hukum positif Indonesia yaitu KUH Perdata Pasal 1365 Perbuatan Melawan
Hukum.
Hanya saja, dalam pandangan Penulis, mestinya Mahkamah Agung dalam
memutus Perkara 1887 menggunakan prinsip dan kaedah-kaedah dalam hukum
perdagangan internasional yaitu konversi dan sekaligus sebagai upaya
memperbaiki pandangan hakim yang memutus perkara pada tingkat Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No.
009/PDT/1985/PN.JKT.BAR., yaitu putusan tanggal 18 September 1985,
menyatakan Tergugat I, PT. Samudera Indonesia telah melakukan perbuatan
konversi sebagai perbuatan melawan hukum dalam perdagangan internasional,
yakni dalam kedudukannya sebagai pengangkut dan/atau sebagai agen pelayaran
telah menyerahkan barang berupa 3000 metric ton pupuk phosphate kepada pihak
78 169.000,-, para hakim itu menghukum Tergugat I untuk membayar dengan tunai
dan sekaligus, dengan penerimaan surat tanda pembayaran yang sah, dengan kurs
US.$ 1 = Rp. 1.072,- atau kurs yang sedang berlaku pada saat pembayaran
dilakukan.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 009/PDT/G/1985/PN.JKT.
BAR., di atas yaitu, putusan mana dalam tingkat banding atas permohonan
Tergugat I telah diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusannya
tanggal 8 Januari 1986 No. 544/PDT/1985/PT.DKI., yang dimohonkan banding
ini, akan tetapi dengan perbaikan sehingga berbunyi antara lain; Tergugat I, PT.
Samudera Indonesia dalam kedudukannya sebagai pengangkut dan sebagai agen
pelayaran dengan menyerahkan barang berupa 3000 metric ton pupuk phospate
kepada pihak ketiga tanpa B/L dan PT. Gespamindo yang telah meminta agar
3000 metric ton itu diserahkan tanpa B/L, telah melakukan perbuatan melawan
hukum, dan oleh sebab itu para hakim telah menghukum importir dan pengangkut
secara tanggung renteng untuk membayar kepada the issuing Bank secara tunai
dan sekaligus uang sejumlah US.$ 169.000,- dengan nilai tukar rupiah pada saat
pembayaran dilakukan, ditambah dengan ganti rugi sebesar 6% setahun dari
jumlah tersebut mulai dari gugatan didaftarkan sampai dibayar lunas.
Menurut Penulis, sikap hakim menjatuhkan putusan dengan keyakinan
adanya perbuatan melawan hukum (hukum positif Indonesia) sebagaimana telah
dikemukakan di atas telah mengesampingkan prinsip hukum perdagangan
79 terjadi karena alasan belum dipahami lembaga atau konsep hukum asing itu di
dalam hukum positif Indonesia.
Penulis juga berpendapat bahwa, hakim dalam memutuskan perkara 1887
seharusnya berusaha menemukan kaidah-kaidah hukum yang sejalan dengan
hakikat dari suatu hubungan hukum dan hakikat atau inti dari suatu hubungan
hukum yang terletak pada faktor-faktor yang menyebabkan hubungan hukum itu
menjadi khas (karakteristik) sifatnya, bukan sebaliknya menggunakan
ukuran-ukuran yang tidak selalu sesuai dengan prinsip dan sistem hukum asing yang
seharusnya diberlakukan.
Jika diperhatikan Putusan 1887 seperti sudah dikemukakan di atas,
merupakan suatu persoalan yang mengandung unsur-unsur konversi, maka dalam
penerapan hukum yang lebih berlaku di dalam transaksi adalah adil bila para
hakim dalam mengadili dan memutus perkara Putusan 1887 mengikuti saja
prinsip ilmu hukum dengan cara menetapkan lex causae dan menerapkan prinsip
hukum perdagangan internasional yaitu lex mercatoria, khususnya konversi.
Aspek selanjutnya dalam analisi ini perlu dikemukakan bahwa baik PMH
maupun konversi, di sana-sini telah dinyatakan mempunyai unsur yang sejatinya
sama, menurut pandangan penulis pada prinsipnya adalah perikatan-perikatan
(obligations) atas kontrak-kontrak (contracts) yang lahir karena adanya perbuatan
melawan hukum, dalam hal ini adalah perbuatan melawan hak dalam perdagangan
80
3.3.
Matrix Perbandingan Wanprestasi dan PMH
Seperti telah dipaparkan diawal tulisan ini bahwa putusan 1887 dikritik
oleh Derry Firmansyah4seperti dalam judul skripsi yang telah dikemukakan di
atas. Derry Firmansyah berpendapat bahwa tidak setuju dengan hakim yang
menyatakan perbuatan melawan hukum. Seharusnya Hakim wajib mengenakan
hukum tanggung jawab secara renteng, karena pengangkut memang nyata
membuat perjanjian dengan issuing Bank dan kerugian yang dialami oleh Issuing
Bank adalah akibat dari ingkar janji atau wanprestasi atau breach of contract dari
pengangkut bersama-sama dengan PT. Gespamindo.
Lebih lajut Derry menilai bahwa seharusnya pihak pembeli kemudian
menunjukkan B/L kepada pengangkut. Tetapi dalam kasus tersebut, PT.
Gespamindo tidak menunjukkan B/L kepada PT. Samudera Indonesia. Alhasil,
hakim yang telah dapat diyakinkan oleh pihak dari PT. Sajahtera Bank juga
memperoleh keyakinan bahwa pengangkut turut melakukan perbuatan melawan
hukum. Hal ini dikarenakan secara tanpa hak PT. Samudera Indonesia
menyerahkan pupuk yang diangkutnya kepada pihak ketiga tanpa dapat
menunjukan B/L. Kemudian Derry berpendapat bahwa dasar hakim menjatuhkan
putusan seperti itu dengan kenyakinan bahwa ada perbuatan melawan hukum
adalah keliru5.
Rasionalisasi pemikiran tersebut menurut Derry adalah karena ia melihat
bahwa kedah hukum dalam perdagangan internasional yang berlaku, bahwa B/L
4
Derry Firmansyah,Op.Cit.,hlm., 71.
81 mempunyai beberapa fungsi yang salah satunya adalah sebagai kontrak
pengangkutan laut antara tiga pihak6, yaitu shipper (pengirim/eksportir), carrier
(perusahan pelayaran), dan consignee (penerima barang/importir), carrier
(perusahan pelayaran), dan consignee (penerima barang/importir)7.
Dengan perkataan lain, B/L yang merupakan atau masuk dalam kategori
surat berharga (negotiable instrument) meskipun hanya merupakan suatu
document of title to goods, namun, berdasarkan kaedah hukum, bahwa si drawer
B/L, dalam hal ini adalah PT. Samudera Indonesia sebagai pengangkut “terikat”
secara tanggung-menanggung terhadap the Issuing Bank, yang dalam kenyataanya
telah menegotiate B/L dari the Standart Chartered Bank Jakarta. Dengan
menegotiate B/L dari the Standart Chartered Bank, maka the Issuing Bank
menjadi dapat mengklaim barang, karena memegang B/L sebagai the document of
title to goods dari PT. Samudera Indonesia sebagai drawer8.
Dari alur pemikiran di atas Derry menganalisis bahwa, hubungan tersebut
adalah hubungan kontraktual atau perikatan yang lahir karena perjanjian, bukan
karena undang-undang, dan oleh sebab itu lebih tepat menurut Derry, jika
perbuatan itu adalah bukan suatu PMH (perbuatan melawan hukum), tetapi suatu
wanprestasi karena ada tindakan yang melanggar prestasi9.
6
Rivai Wirasasmita SH., dkk., Seluk Beluk Kredit Berdokumen dan Peraturan Devisa, Penerbit Pionir Jaya, Bandung 1999, hlm., 138.
7
Derry Firmansyah., op.cit., hlm., 74.
8Ibid.
hlm., 75.
82 Dari analisis Derry Firmasnyah terhadap Putusan 1887 di atas menurut
Penulis;bahwa hakim dalam Putusan 1887 tidak serta merta keliru dalam memutus
perkara 1887 sebagai perbuatan melawan hukum. Hanya saja perbuatan melawan
hukum dari PT. Samudera Indonesia selaku pengangkut yang menyerahkan
seluruh pupuk kepada pemesannya melalui PT. Gespamindo, harus mendasarkan
pada asas dan kaedah-kaedah hukum perdagangan internasional yaitu konversi.
Hal ini berangkat dari elaborasi dan analisis mengenai unsur-unsur dari suatu
konversi yang dipandang, secara hakiki dapat disebut sebagai suatu PMH atau
perbuatan melawan hukum.
Pada prinsipnya unsur-unsur konversi yang dapat disebut sebagai
perbuatan melawan hukum dalam perdagangan internasional tersebut adalah
adanya kepemilikan barang;adanya kelalaian, dan terdapat kerugian.
Pertama, tentang kepemilikan barang sebagai syarat konversi terletak pada
si penjual (eksportir ). Rasionalisasinya terletak pada adanya transferable L/C,
disebabkan kadangkala penjual/eksportir itu sebenarnya bukanlah
penjual/eksportir dari barang. Ia hanya sebagai perantara (pihak bank), akan tetapi
karena bonafiditasnya dan reputasinya baik maka relasi luar negeri itu hanya
mengenal dia dan menginginkan dia sebagai penyelenggara dari transaksi. Namun
dalam kasus Putusan 1887, unsur kepemilikan yang terlanggar atau yang secara
aktif di lawan oleh PT. Gespamindo maupun oleh PT. Pelayaran Indonesia adalah
tidak digubrisnya B/L sebagai bukti kepemilikan atas barang (pupuk) bahwa
83 telah dilawan oleh PT. Gespamindo maupun PT. Samudera Indonesia. Sehingga
terpenuhilah unsur pertama yaitu perlawanan terhadap hak kepemilikan.
Kedua, kelalaian dalam Putusan 1887 terletak pada PT. Gespamindo dapat
mengalihkan penguasaan atas barang-barang yang dia beli dari Phosphate
Mining,Co di Australia dari pihak pengangkut tanpa menunjukan konosemen B/L.
Maka hal ini sejalan dengan praktek yang berkembang akhir-akhir ini, bahwa
banyak sekali pengangkut yang melepas barang-barang tanpa adanya penunjukan
konosemen. Padahal konosemen adalah berfungsi sebagai bukti adanya jaminan
dan warranties. Sebagai contoh dalam putusan 1887 PT. Samudara Indonesia
menyerahkan barang berupa pupuk kepada PT. Gespamindo tanpa PT.
Gespamindo menunjukan konosemen. Seharusnya, dokumen-dokumen itu diambil
terlebih dahulu dari pihak bank (PT. Sajahtera Bank) sebagaimana dikehendaki di
dalam L/C. Dengan tidak ditunjukannya dokumen yang diperoleh dari pihak bank,
PT. Gespamindo sebagai pembeli tidak mempunyai hak untuk mengambil
barang-barang itu dari pihak pengangkut.
Ketiga, kerugian yang dialami oleh Issuing Bank dalam Putusan 1887
dikarenakan telah diserahkan barang (pupuk) yang diangkut oleh pengangkut,
yang atas permintaan importir kepada pemesanya, padahal importir belum
melakukan kewajiban pembayaran kepada issuing bank uang sejumlah US.$
169.000,- sebagai akibat dibukanya L/C untuk mengimpor pupuk dari Australia.
Sehingga akan merupakan tindak konversi sebab perpindahan penguasaan barang,
84 menyerahkan barang-barang itu secara melawan hak sehingga menimbulkan