PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA TAYANGAN
GALAU NITE
DI METRO TV: ANALISIS PRAGMATIK
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta
untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
guna Memperoleh Gelar
Sarjana Sastra
oleh:
Mawaddatun Nasihah
NIM 08210141018
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
i
Diajukan Kepada Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta
untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
guna Memperoleh Gelar
Sarjana Sastra
oleh:
Mawaddatun Nasihah
NIM 08210141018
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
PERSETUJUAN
Skripsi yang berjudul
Pelanggaran Prinsip Kerja Sarna Tayangan Galau Nite di
Metro TV: Analisis Pragrnatik
ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diujikan.
Yogyaka11a, 25 Agustus 2015
Pembimbing I,
セ
Prihadi, M. Hum.
NIP 19630330 19900 I 1 001
11
Yogyakarta, 25 Agustus 2015
Pembimbing II,
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya
Nama
: Mawaddatun Nasihah
NIM
:
08210141018
Program Studi
Fakultas
: Bahasa dan Sastra Indonesia
: Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta
menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil pekeIjaan saya sendiri. Sepanjang
pengetahuan saya, skripsi ini tidak berisi materi yang ditulis oleh orang lain,
kecuali bagian-bagian tertentu yang saya ambil sebagai acuan dengan mengikuti
tata cara dan etika penulisan karya ilmiah yang lazim.
Apabila temyata terbukti bahwa pemyataan ini tidak benar, sepenuhnya
menjadi tanggungjawab saya.
Yogyakarta, 24 Agustus 2015
Penulis,
v
MAN JADDA WA JADAA
Jangan sengaja pergi untuk dicari.
Jangan sengaja lari untuk dikejar.
Berjuang tak sebercanda itu.
(Sudjiwo Tedjo)
Tidak menjadi yang tercepat, bukan berarti tidak akan pernah
sampai.
vi
PERSEMBAHAN
Demi wujud baktiku, ku persembahkan karya ini untuk:
Mak’
e, Bapak, Cak Put, dan Cak Abib,
vii
Penyayang. Berkat rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “
Pelanggaran Prinsip Kerja Sama Tayangan Galau Nite di Metro
TV: Analisis Pragmatik
”
.
Penyusunan skripsi ini tidak luput dari segala hambatan dan rintangan.
Namun dengan semangat, motivasi, kerja keras, dan diiringi dengan doa serta
bantuan dari berbagai pihak, baik secara materiil maupun nonmateriil maka dapat
terselesaikan dengan baik.
Rasa hormat dan terima kasih tidak terhingga saya sampaikan kepada
kedua pembimbing, yaitu Bapak Prihadi, M.Hum dan Ibu Ari Listiyorini, M.Hum
yang penuh kesabaran dan kelapangan hati meluangkan waktu untuk membimbing
saya di sela-sela kesibukannya. Kepada Bapak Ibnu Santosa, M.Hum yang telah
memberikan saran dan motivasi selama proses akademis. Bapak dan Ibu dosen
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia atas ilmu dan pengetahuan yang
Bapak dan Ibu berikan.
Terima kasih dan rasa sayang terbesar saya kepada
Mak‟e
, Bapak, Cak
Put, dan Cak Abib karena mereka skripsi ini bisa terbentuk dengan perjuangan
sampai titik darah penghabisan. Untuk dukungan, motivasi, saran, masukan, dan
kasih sayang yang selalu tercurah untuk saya. Baik materil maupun nonmateril.
Terima kasih kepada Paklik Man dan Mak Ti (almh) yang sudah menjadi
viii
Terima kasih kepada Faisal Rohman yang selalu ada di saat saya
menyebalkan maupun menyenangkan.
Kepada sahabat sekaligus saudara: Wick, Ize, Etez, dan Mbok Bar
(B*KIDS), terima kasih untuk kesetiakawanan selama 13 tahun ini. Kepada Erma
Nurianti, Siti Romadhoni, Maulida, Syamsi (emak), Annisa, Tuwin, Novi
Purwaningsih, dan Okta yang selalu menularkan semangatnya, terima kasih atas
kebersamaan kita selama ini, kalian luar biasa. Dan seluruh teman-teman jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2008.
Terima kasih untuk keluarga besar KGKY: Mbak Ipa, Asha, Jojo, Dewi,
Tekang, Vincent, dan semua orang yang berjasa dalam hidup saya yang tidak
tersebutkan, terima kasih banyak untuk dukungan dan kebersamaan.
Terima kasih kepada semua pihak yang banyak berjasa dalam hidup saya.
Dan akhirnya, skripsi ini bisa terselesaikan juga. Semoga karya ini bisa
memberikan manfaat bagi pembacanya, karena saya menyadari skripsi ini masih
jauh dari kata sempurna, maka kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca sangat diharapkan demi pencapaian yang lebih baik.
Yogyakarta, 24 Agustus 2015
Penulis,
ix
HALAMAN PERSETUJUAN ...
ii
HALAMAN PENGESAHAN ...
iii
HALAMAN PERNYATAAN . ...
iv
HALAMAN MOTTO . ...
v
HALAMAN PERSEMBAHAN ...
vi
KATA PENGANTAR ...
vii
DAFTAR ISI ...
viii
DAFTAR TABEL . ...
xi
DAFTAR LAMPIRAN . ...
xii
ABSTRAK ...
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ...
1
B.
Identifikasi Masalah ...
6
C.
Pembatasan Masalah ...
6
D.
Rumusan Masalah ...
7
E.
Tujuan Penelitian ...
8
F.
Manfaat Penelitian ...
8
G.
Batasan Istilah ...
9
BAB II KAJIAN TEORI
A.
Pragmatik ...
10
B.
Situasi tutur ...
12
C.
Prinsip Kerja sama ...
15
D.
Tujuan Tuturan ...
25
E.
Galau Nite ...
30
x
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Desain Penelitian ...
33
B.
Subjek dan Objek Penelitian ...
34
C.
Teknik Pengumpulan Data ...
35
D.
Instrumen Penelitian ...
37
E.
Teknik Analisis Data ...
39
F.
Keabsahan Data ...
40
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil Penelitian ...
41
B.
Pembahasan ...
47
1.
Pelanggaran Maksim Tunggal ...
49
a.
Pelanggaran Maksim Kuantitas pada Tayangan
Galau Nite
di Metro TV 49
a)
Pelanggaran Maksim Kuantitas dengan Tujuan Tindak Representatif 49
b)
Pelanggaran Maksim Kuantitas dengan Tujuan Tindak Direktif ..
52
c)
Pelanggaran Maksim Kuantitas dengan Tujuan Tindak Ekspresif
55
b.
Pelanggaran Maksim Kualitas pada Tayangan
Galau Nite
di Metro TV
58
a)
Pelanggaran Maksim Kualitas dengan Tujuan Tindak Representatif
58
b)
Pelanggaran Maksim Kualitas dengan Tujuan Tindak Direktif ....
60
c)
Pelanggaran Maksim Kualitas dengan Tujuan Tindak Ekspresif .
63
c.
Pelanggaran Maksim Relevansi pada Tayangan
Galau Nite
di Metro TV 64
a)
Pelanggaran Maksim Relevansi dengan Tujuan Tindak Representatif 64
b)
Pelanggaran Maksim Relevansi dengan Tujuan Tindak Direktif .
67
c)
Pelanggaran Maksim Relevansi dengan Tujuan Tindak Ekspresif..
69
d.
Pelanggaran Maksim Cara pada Tayangan
Galau Nite
di Metro TV
75
a)
Pelanggaran Maksim Cara dengan Tujuan Tindak Representatif...
75
b)
Pelanggaran Maksim Cara dengan Tujuan Tindak Direktif...
78
c)
Pelanggaran Maksim Cara dengan Tujuan Tindak Ekspresif...
81
2.
Pelanggaran Maksim Ganda ...
86
xi
Nite
di Metro TV ...
89
a)
Pelanggaran Maksim Kuantitas dan Maksim Cara dengan Tujuan
Tindak Representatif ...
89
b)
Pelanggaran Maksim Kuantitas dan Maksim Cara dengan Tujuan
Tindak Ekspresif ...
91
d.
Pelanggaran Maksim Kualitas dan Maksim Relevansi dengan Tujuan
Tindak Ekspresif ...
93
e.
Pelanggaran Maksim Relevansi dan Maksim Cara dengan Tujuan pada
Tuturan Tayangan
Galau Nite
di Metro TV ...
95
a)
Pelanggaran Maksim Relevansi dan Maksim Cara dengan Tujuan
Tindak Representatif ...
95
b)
Pelanggaran Maksim Relevansi dan Maksim Cara dengan Tujuan
Tindak Direktif... ...
97
c)
Pelanggaran Maksim Relevansi dan Maksim Cara dengan Tujuan
Tindak Ekspresif... ...
100
BAB V PENUTUP
A.
Simpulan ...
102
B.
Implikasi ...
103
C.
Keterbatasan Penelitian ...
104
D.
Saran ...
105
DAFTAR PUSTAKA ...
106
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Indikator Pelanggaran Prinsip Kerja Sama ...
38
Tabel 2: Indikator Tujuan Pelanggaran Prinsip Kerja Sama ...
38
Tabel 3: Frekuensi Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dalam Tayangan
Galau Nite
di Metro TV ...
43
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Transkrip Tayangan
Galau Nite
di Metro TV ...
108-152
Lampiran 2: Analisis Pelanggaran Prinsip Kerja Sama Tayangan
Galau Nite
di
xiii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan jenis-jenis pelanggaran
prinsip kerja sama yang terjadi dalam tayangan
Galau Nite
di Metro TV.
Penelitian ini juga bertujuan untuk mendeskripsikan tujuan-tujuan tertentu dari
setiap pelanggaran prinsip kerja sama yang terjadi dalam tayangan
Galau Nite
di
Metro TV.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Subjek penelitian
ini adalah peristiwa tutur yang terjadi pada tayangan
Galau Nite
di Metro TV.
Objek penelitian ini adalah data yang mengandung bentuk pelanggaran dalam
peristiwa tutur pada tayangan
Galau Nite
di Metro TV. Teknik yang digunakan
dalam mengumpulkan data menggunakan teknik simak tidak berpartisipasi dan
teknik catat. Instrumen penelitian yang digunakan berupa
human instrumen
. Data
dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif dengan langkah transkrip data dan
klasifikasi data. Keabsahan data diperoleh melalui trianggulasi teori dan teknik
ketekunan pengamatan.
Hasil penelitian ini menunjukkan dua kesimpulan. Pertama, bentuk
pelanggaran prinsip kerja sama yang terjadi dalam tayangan
Galau Nite
di Metro
TV yang terdiri atas empat maksim tunggal, yaitu (1) maksim kuantitas, (2)
maksim kualitas, (3) maksim relevansi, dan (4) maksim cara/ pelaksanaan, dan
lima maksim ganda, yaitu (1) maksim kuantitas dan maksim kualitas, (2) maksim
kuantitas dan maksim relevansi, (3) maksim kuantitas dan maksim cara, (4)
maksim kualitas dan maksim relevansi, dan (5) maksim relevansi dan maksim
cara. Kedua, yaitu tiga tujuan dari pelanggaran prinsip kerja sama, yaitu (1) tujuan
representatif (berupa: memberikan informasi/ memberi penjelasan, memastikan,
menyatakan harapan, dan menegaskan); (2) tujuan direktif (berupa: menyindir,
mengejek, memberikan saran, dan mengkritik/ protes); dan (3) tujuan ekspresif
(berupa: berbohong, menyombongkan diri, menyatakan tidak suka, menyatakan
prihatin, merayu/ menggoda, memuji, bingung, dan menciptakan humor).
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kegiatan berbicara merupakan kegiatan penting dalam kehidupan manusia.
Kegiatan berbicara disebut juga sebagai percakapan. Dalam percakapan
dibutuhkan minimal dua orang di dalamnya. Satu pihak sebagai penutur dan
pihak lain sebagai mitra tutur dengan bahasa sebagai sarana berkomunikasi yang
dipahami oleh keduanya. Bahasa yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra
tutur merupakan salah satu syarat terciptanya kelancaran dalam berkomunikasi.
Sebagai makhluk sosial, manusia melakukan percakapan untuk
membentuk interaksi antarindividu. Percakapan juga dilakukan untuk memelihara
hubungan sosial manusia itu sendiri. Selain untuk bertukar informasi, percakapan
dapat dilakukan untuk menunjukkan keberadaan manusia lain terhadap
lingkungannya. Dalam berinteraksi, manusia menggunakan bahasa dalam
bertutur.
Bertutur merupakan kegiatan yang berdimensi sosial. Seperti lazimnya
kegiatan-kegiatan sosial lainnya, kegiatan bertutur dapat berlangsung secara baik
apabila para peserta pertuturan itu semuanya terlibat aktif di dalam proses
bertutur. Apabila terdapat salah satu pihak yang tidak terlibat aktif dalam kegiatan
bertutur, dapat dipastikan bahwa peristiwa tutur tersebut tidak dapat berjalan
dengan lancar. Dengan demikian, agar proses komunikasi antara penutur dan
mitra tutur dapat berjalan dengan baik dan lancar, maka keduanya harus saling
(implikatur)
suatu ungkapan yang disampaikan oleh penutur, meskipun maksud
tersebut tidak dapat disampaikan secara eksplisit.
Brown dan Yule (via Rani, dkk; 2006: 230) menyatakan bahwa kegiatan
percakapan merupakan salah satu wujud interaksi. Bahasa merupakan media
utama yang dipakai dalam percakapan. Bahasa dapat digunakan untuk
mengekspresikan emosi, menginformasikan suatu fakta, mempengaruhi orang
lain, mengobrol, bercerita, dan sejenisnya.
Ketika seorang penutur dan mitra tutur sedang berkomunikasi akan terjadi
proses saling memahami makna tuturan yang disampaikan oleh peserta tutur.
Makna dalam tuturan hendaknya memperhatikan konteks yang melingkupi
tuturan, kepada siapa penutur sedang bertutur, dan dalam situasi yang bagaimana
tuturan tersebut berlangsung.
Adanya tuturan-tuturan dalam tayangan Galau Nite di Metro TV
menunjukkan terjadinya kegiatan berkomunikasi antara penutur dan mitra tutur.
Dalam berkomunikasi, terkadang mitra tutur menanggapi atau memberikan
pernyataan yang tidak sesuai atau tidak relevan dengan topik pembicaraan yang
dimaksudkan oleh penutur. Selain itu, ada pula peserta tutur yang memberikan
tanggapan atau jawaban yang berlebihan, memberikan informasi yang tidak benar
ataupun tidak berdasarkan fakta yang ada, dan juga memberikan informasi yang
ambigu. Hal itu merupakan fenomena pelanggaran prinsip kerja sama yang
terjadi pada tayangan Galau Nite di Metro TV. Pelanggaran tersebut dapat
terjadi karena adanya tujuan-tujuan tertentu yang sengaja dilakukan oleh peserta
3
Kasus pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara
Galau Nite
di Metro
TV menunjukkan bahwa dalam komunikasi membutuhkan sarana yang mengatur
supaya komunikasi berjalan dengan komunikatif, efektif, dan efisien. Sarana
yang dimaksudkan adalah dengan berdasar kepada empat maksim dalam prinsip
kerja sama yang dikemukakan oleh Grice (via Chaer, 2010: 34), yaitu maksim
kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi (hubungan), dan maksim cara
(pelaksanaan).
Maksim kuantitas menghendaki agar peserta tutur harus seinformatif
mungkin dan tidak berlebihan dalam memberikan informasi yang dibutuhkan
oleh mitra tutur. Maksim kualitas menghendaki peserta tutur agar tidak
mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan faktanya. Maksim relevansi
menghendaki agar peserta tutur diharapkan relevan terhadap informasi yang
diberikan sesuai dengan topik percakapan. Maksim cara menghendaki peserta
tutur dalam berkomunikasi memberikan informasi yang jelas, dan tidak ambigu.
Penaatan prinsip kerja sama terjadi jika peserta tutur mematuhi maksim-maksim
prinsip kerja sama. Sebaliknya, apabila dalam bertutur tidak sesuai dengan
aturan maksim-maksim dalam prinsip kerja sama, percakapan tersebut dinyatakan
melanggar prinsip kerja sama.
Galau Nite
merupakan tayangan
talkshow
ringan semi humor yang tayang
di sebuah stasiun televisi, Metro TV setiap hari Sabtu pukul 22:30 WIB. Acara
tersebut dipandu seorang pembawa acara dan juga menampilkan beberapa bintang
tamu dari kalangan selebritis maupun kalangan lainnya yang dalam
Galau Nite
“galau adalah hak asasi setiap manusia, dan kami hadir membuat galau
anda
menjadi lebih berkualitas
”
menjadikan acara
Galau Nite
digemari dan menjadi
salah satu tontonan menarik. Selain menyajikan tema-tema yang unik dan juga
inspiratif setiap episodenya, acara
Galau Nite
menjadi sarana protes dan kritikan
terhadap kondisi yang terjadi pada pemerintahan negara Indonesia maupun
permasalahan yang sedang marak diperbincangkan. Tentu saja protes serta
kritikan disampaikan peserta tutur dalam acara
Galau Nite
dengan cara gaya
humor (banyolan), supaya menghindari kesalahfahaman yang akan terjadi dan
juga tidak menyinggung perasaan yang bersangkutan.
Pelanggaran prinsip kerja sama dapat terjadi karena adanya tujuan
tertentu serta faktor-faktor yang melatarbelakangi, misalnya karena adanya
pengetahuan bersama (
common ground
) yang dimiliki oleh peserta tutur dan
mitra tutur dalam membicarakan suatu permasalahan. Faktor lain misalnya jika
antara peserta tutur dan mitra tutur berminat untuk membicarakan sesuatu yang
serius dan penting sehingga dalam bertutur tidak berkelakar, maka mereka akan
menaati prinsip kerja sama. Prinsip kerja sama juga dapat terjadi jika antara
peserta tutur dan mitra tutur tidak memiliki hubungan yang dekat/ intim
(
intimate
), sehingga apabila mereka ingin melanggar prinsip kerja sama, mereka
akan merasa tidak enak atau merasa canggung.
Komunikasi yang terjadi selain menaati prinsip kerja sama, juga
terkadang melanggar prinsip kerja sama, yaitu seringkali masalah yang
dibicarakan tidak relevan, tidak sesuai fakta yang ada, ambigu, dan informasi
5
antarpeserta tutur. Pengetahuan yang tidak dimiliki bersama antara peserta tutur
dan mitra tutur menjadi salah satu hambatan dalam berkomunikasi. Misalnya,
peserta tutur memberikan pertanyaan kepada mitra tutur, tetapi karena pertanyaan
yang diberikan oleh penutur tidak dapat ditangkap oleh mitra tutur, atau dengan
kata lain mitra tutur tidak bisa menangkap maksud yang diharapkan oleh
penutur, maka secara otomatis mitra tutur akan memberikan kontribusi jawaban
yang tidak sesuai seperti yang diharapkan oleh penutur.
Pelanggaran prinsip kerja sama dapat juga terjadi karena adanya tujuan
tertentu, misalnya untuk melucu supaya situasi tidak terlalu beku. Misalnya,
penutur sedang mengungkapkan rasa sedih karena terkena musibah terhadap mitra
tutur, dengan harapan mitra tutur dapat mengetahui kesedihan yang sedang
dirasakan oleh penutur. Namun, karena mitra tutur merasa pembicaraan yang
sedang berlangsung itu terlalu serius, dia mencoba untuk mengalihkan perhatian
kepada masalah lain yang lucu/ jenaka supaya penutur merara terhibur dan
melupakan kesedihan yang sedang dirasakannya. Kasus tersebut dapat
digolongkan ke dalam pelanggaran maksim relevansi, yaitu penutur menanggapi
sesuatu tetapi menyimpang dari masalah yang sedang dibicarakan.
Dalam tuturan acara
Galau Nite
, setiap pelanggaran prinsip kerja sama
yang terjadi memiliki tujuan maupun alasan tertentu yang ingin disampaikan oleh
penutur maupun mitra tutur. Empat pelanggaran prinsip kerja sama dalam
tayangan
Galau Nite
berupa maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim
relevansi, dan maksim cara (pelaksanaan), yang masing-masing memiliki tujuan
berupa tindak representatif, tindak direktif, dan tindak ekspresif. Selain
menemukan tujuan dari pelanggaran prinsip kerja sama yang terjadi dalam
tayangan Galau Nite, alasan mengapa peneliti memilih acara
Galau Nite
untuk
diteliti karena dalam acara tersebut ditemukan fenomena kebahasaan yang
berkaitan dengan ilmu pragmatik, yaitu berupa pelanggaran prinsip kerja sama
serta tujuan dari bentuk pelanggaran yang terjadi dalam peristiwa tutur pada acara
Galau Nite.
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah ditemukan berbagai permasalah yang
timbul. Adapun pemasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai
berikut.
1.
Bentuk pelanggaran prinsip kerja sama yang terdapat dalam acara
Galau Nite
di MetroTV.
2.
Tujuan/ alasan pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara
Galau Nite
di
MetroTV.
3.
Fungsi pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara
Galau Nite
di Metro TV.
4.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi pelanggaran prinsip kerja sama yang
dilakukan oleh peserta tutur dalam acara
Galau Nite
di MetroTV.
5.
Efek dari pelanggaran prinsip kerja sama yang dilakukan oleh para peserta
7
C.
Pembatasan Masalah
Mengingat kompleksnya permasalahan yang dipaparkan dalam identifikasi
masalah dan keterbatasan penulis dalam segi waktu dan kemampuan, maka
diperlukan pembatasan masalah. Penelitian ini difokuskan pada penelitian
kualitatif dengan subjek peristiwa tuturan yang terjadi pada tayangan Galau Nite
di Metro TV dengan batasan masalah mengenai bentuk dan tujuan/ alasan
pelanggaran prinsip kerja sama yang terjadi dalam tayangan Galau Nite.
Diharapkan, dengan adanya pembatasan masalah tersebut, peneliti dapat
menyusun sebuah penelitian yang sesuai dengan tujuan yang direncanakan.
Harapannya, dengan pembatasan masalah tersebut, juga akan menjadikan
penelitian ini lebih fokus pada satu sasaran, sehingga hasilnya juga lebih efektif.
Oleh karena itu, penelitian ini dibatasi menjadi dua permasalahan yaitu sebagai
berikut.
1.
Bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara
Galau Nite di Metro TV
.
2.
Alasan/ tujuan pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara
Galau Nite di
Metro TV
.
D.
Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah, masalah dalam
penelitian ini dapat dirumuskan menjadi dua hal sebagai berikut.
1.
Bagaimana bentuk pelanggaran prinsip kerja sama yang terdapat dalam acara
2.
Alasan/tujuan pelanggaran prinsip kerja sama yang terdapat dalam acara
Galau
Nite
Di Metro TV.
E.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini, maka tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Mendeskripsikan bentuk pelanggaran kerja sama yang terdapat dalam acara
Galau Nite
di Metro TV.
2.
Mendeskripsikan alasan pelanggaran prinsip kerja sama yang terjadi dalam
acara
Galau Nite
di Metro TV.
F.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu manfaat
teoretis dan praktis. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut.
1.
Secara teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah jumlah penelitian bahasa
dalam bidang linguistik, khususnya prangmatik, yaitu dengan mengkaji
penggunaan ataupun pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara
talkshow
yang
semi humor seperti ini.
2.
Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan referensi
tentang pelanggaran prinsip kerjasama yang terjadi pada acara
Galau Nite.
9
pembawa acara dan juga pengisi acara (peserta tutur) supaya tercipta tujuan
komunikasi, yaitu komunikasi yang komunikatif. Komunikasi yang komunikatif
tersebut didasarkan pada teori prinsip kerja sama dengan sejumlah
maksim-maksimnya, yakni maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan
maksim cara.
G.
Definisi Operasional Istilah
Adapun definisi operasional yang terdapat dalam penelitian yang berjudul
Pelanggaran Prinsip Kerja Sama Tayangan Galau Nite di Metro TV: Sebuah
Analisis Pragmatik
ini sebegai berikut.
1.
Pragmatik adalah keterampilan menggunakan bahasa menurut partisipan, topik
pembicaraan, situasi, dan tempat berlangsungnya pembicaraan.
2.
Pelanggaran prinsip kerja sama adalah palanggaran kepada seperangkat asumsi
atau aturan yang mengatur suatu pertuturan supaya peserta tutur bertutur
secara efektif dan efisien.
3.
Maksim adalah pernyataan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran.
4.
Galau Nite
adalah sebuah acara
talkshow
ringan yang semi humor, tayang di
salah satu stasiun televisi yakni Metro TV pada hari Sabtu malam, pukul 22:30
10
permasalahan pada penelitian ini. Teori ini digunakan untuk mendukung
penelitian yang dilakukan yang diharapkan dapat memperkuat keakuratan data.
Teori-teori tersebut adalah pragmatik, situasi tutur, prinsip kerja sama, tujuan
tuturan, dan penelitian yang relevan. Adapun uraian selanjutnya akan disampaikan
pada paparan sebagai berikut.
A.
Pragmatik
Menurut Yule (1996: 3), pragmatik merupakan studi tentang makna yang
disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau
pembaca). Yule (1996: 3) juga menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1)
bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna
menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang
diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh
pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial
yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Pentingnya
pragmatik dalam linguistik, yaitu pragmatik merupakan satu-satunya tataran
dalam linguistik yang mengkaji bahasa dengan memperhitungkan juga
penggunanya.
Leech (1993: 8) berpendapat bahwa pragmatik adalah bidang linguistik
yang mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi tutur (
speech
11
mengemukakan bahwa pragmatik ialah mengkaji maksud penutur ketika
melakukan komunikasi.
Berkaitan dengan definisi pragmatik, Chaer (2004: 220) dan Mulyana
(2005: 78) mengungkapkan bahwa menurut mereka, pragmatik adalah
keterampilan menggunakan bahasa menurut partisipan, topik pembicaraan, situasi
dan tempat berlangsungnya pembicaraan. Wijana (1996: 2) menjelaskan bahwa
pragmatik merupakan kajian tentang cara bagaimana para penutur dapat
memahami tuturan sesuai dengan konteks situasi yang tepat. Tarigan (1986: 37)
menyimpulkan bahwa pragmatik adalah telaah makna dalam situasi ujar.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pragmatik
merupakan kajian yang menghubungkan antara ujaran dengan konteksnya.
Dengan kata lain, pragmatik ialah menelaah makna eksternal. Apabila seorang
penutur dan mitra tutur saling berkomunikasi, maka terjadilah proses saling
memahami makna dalam ujaran yang disampaikan oleh peserta tutur. Untuk
memahami makna tuturan, peserta tutur hendaknya memperhatikan konteks yang
melingkupi ujaran tersebut. Jadi, dalam berkomunikasi hendaknya memperhatikan
kepada siapa tuturan tersebut dialamatkan, dimaksudkan, dan dalam situasi yang
seperti apa tuturan itu berlangsung. Ilmu yang mengkaji hubungan antara ujaran
dengan konteks ujaran adalah pragmatik.
B.
Situasi Tutur
Hubungan antara tindak tutur dan pragmatik pada dasarnya merupakan
fenomena dalam masalah yang lebih luas, yang lebih dikenal dengan istilah
pragmatik. Pragmatik sendiri didefinisikan sebagai “telaah mengenai hubungan
antara lambang dan penafsiran”
(Purwo via Chaer, 2004: 56). Yang dimaksudkan
dengan lambang di sini adalah satuan ujaran yang mengandung makna tertentu
yang dalam pragmatik ditentukan atas hasil penafsiran si pendengar.
Menurut Tarigan (1986: 34) teori tindak ujar adalah bagian dari pragmatik.
Pragmatik mencakup bagaimana cara pemakai bahasa menerapkan pengetahuan
dunia untuk menginterpretasikan ucapan-ucapan. Komunikasi harus ada pihak
pembicara dan pendengar. Komunikasi yang dilakukan dengan konteks yang jelas
maka akan terjalin komunikasi yang baik dan lancar. Komunikasi yang lancar
mempunyai tujuan yang jelas.
Dalam kajian pragmatik, situasi tutur yang terdapat dalam suatu tuturan
amat diperhitungkan. Maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi
melalui situasi tutur yang mendukungnya. Sehubungan dengan situasi tutur ini,
Leech (via Rohmadi, 2004: 23-26) mengemukakan sejumlah aspek yang harus
dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik. Aspek-aspek tersebut secara
ringkas dijelaskan sebagai berikut.
a.
Penutur dan lawan tutur
Aspek-aspek yang terkait dengan penutur dan lawan tutur adalah usia, latar
belakang sosial ekonomi, tingkat pendidikan, jenis kelamin, tingkat
keakraban, dan lain-lain. Konsep ini juga mencakup penulis dan pembaca
bila keduanya berkomunikasi melalui media tulis.
b.
Konteks tuturan
13
yang terdiri atas kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang mendahului dan
mengikuti tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi. Konteks linguistik
disebut pula dengan istilah koteks. Keempat, konteks sosial yaitu relasi
sosial dan latar (
setting
) yang melengkapi hubungan antara penutur dan
mitra tutur.
c.
Tujuan tuturan
Tujuan tuturan adalah maksud yang ingin dicapai oleh penutur dengan
melakukan tindakan bertutur. Bentuk-bentuk tuturan yang dilakukan oleh
penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tuturan. Bentuk-bentuk
tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan satu
maksud atau sebaliknya satu maksud dapat disampaikan dengan berbagai
bentuk tuturan.
d.
Tuturan sebagai bentuk tindakan dan aktivitas
Pragmatik berhubungan dengan tindak verbal
(verbal act)
yang terjadi
dalam situasi tertentu. Berkaitan dengan hal ini, pragmatik menangani
bahasa dalam tingkatannya yang lebih konkret di bandingkan dengan tata
bahasa. Tuturan sebagai entitas, mempunyai peserta tutur, waktu, dan
tempat pengutaraan yang jelas.
e.
Tuturan sebagai produk tindak verbal
Sesuai dengan kriteria keempat, tuturan yang digunakan dalam rangka
pragmatik merupakan bentuk dari tindak verbal. Berpijak dari hal tersebut,
tuturan dapat dibedakan dari kalimat. Kalimat adalah entitas gramatika
sebagai hasil kebahasaan yang diidentifikasikan lewat penggunaannya
dalam situasi tertentu.
Peristiwa tutur dan tindak tutur merupakan dua gejala berbahasa yang
terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi. Peristiwa tutur lebih
menitikberatkan pada tujuan peristiwa (
event
), sedangkan tindak tutur lebih
menitikberatkan pada makna atau arti tindak dalam suatu tuturan.
Menurut seorang sosiolinguis, Hymes (via Chaer, 2004: 48-49), suatu
peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen tutur yang diakronimkan
menjadi SPEAKING. Kedelapan komponen tersebut yaitu sebagai berikut.
1)
S:
(setting and scene)
berkenaan dengan waktu dan tempat tutur
berlangsung, sedangkan
scene
mengacu pada situasi tempat dan waktu,
yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang
berbeda.
2)
P:
(participant)
pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa
pembicara dan pendengar (peserta tutur), penyapa dan pesapa, atau
pengirim dan penerima (pesan).
3)
E:
(ends)
merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur
yang terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu
kasus perkara, namun, para partisipan di dalam peristiwa tutur itu
mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan si
terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa si terdakwa tidak
bersalah, sedangkan hakim berusaha memberi keputusan yang adil.
4)
A:
(act squence)
mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran
ini
berkenaan
dengan
kata-kata
yang
digunakan,
bagaimana
penggunaannya, dan hubungan antara apa yang digunakan dengan topik
pembicaraan.
5)
K:
(key)
mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan
disampaikan. Dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan
sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga
ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.
6)
I:
( instrumentalities)
mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti
jalur lisan, tulisan, melalui telegraf atau telepon.
Instrumentalities
ini juga
mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, fragam,
15
7)
N:
(norm of interaction and interpretation)
mengacu pada norma atau
aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara
berinterupsi, dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran
terhadap ujaran dari lawan bicara.
8)
G:
(genre)
mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi,
pepatah, doa, dan sebagainya.
Keseluruhan komponen-komponen tutur yang dikemukakan Hymes dalam
sebuah peristiwa berbahasa itulah yang disebut dengan peristiwa tutur. Pada
dasarnya, peristiwa tutur merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur yang
terorganisasikan untuk mencapai satu tujuan.
C.
Prinsip Kerjasama
Berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti halnya aktivitas-aktivitas sosial
yang lain, kegiatan berbahasa baru terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya.
Di dalam berbicara, penutur dan lawan tutur sama-sama menyadari bahwa ada
kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan
interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Setiap
peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan
terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual itu (Allan via Wijana,
1996: 45).
Grice (via Tarigan, 2009: 36) mengemukakan bahwa di dalam suatu
percakapan biasanya membutuhkan kerjasama antara penutur dan mitra tutur
antar penutur dan mitra tutur dalam tindak tutur dinamakan prinsip kerjasama
(cooperative principle)
. Dalam rangka melaksanakan prinsip kerjasama, setiap
penutur harus mentaati empat maksim percakapan
(conversational maxim)
, yaitu
maksim kuantitas
(maxim of quantity)
, maksim kualitas
(maxim of quality)
,
maksim relevansi
(maxim of relevance)
, dan maksim pelaksanaan/ cara
(maxim of
manner)
. Aturan empat maksim yang dikemukakan oleh Grice (via Tarigan, 2009:
36) sebagai berikut.
1.
Maksim kuantitas (
maxim of quantity
): berilah informasi yang tepat, yakni;
a.
Buatlah sumbangan/ informasi anda seinformatif mungkin.
b.
Jangan membuat sumbangan/ informasi anda berlebihan dari apa yang
dibutuhkan
2.
Maksim kualitas (
maxim of quality
): cobalah membuat kontribusi anda
merupakan sesuatu yang benar, seperti;
a.
Jangan katakan apa yang anda yakini salah.
b.
Jangan katakan apa yang anda tidak tahu persis.
3.
Maksim relevansi (
maxim of relevance
): jagalah kerelevansian.
4.
Maksim cara/ pelaksanaan (
maxim of manner
): tajamkanlah pikiran, yakni;
a.
Hindarilah ketidakjelasan ekspresi.
b.
Hindarilah ketaksaan (ambiguitas)
c.
Berilah informasi/ kontribusi singkat (hindari informai yang bertele-tele)
d.
Tertib dan rapilah selalu.
Dalam rangka melakukan percakapan, perlu adanya prinsip kerja sama.
Grice (via Wijana, 1996: 46-53) mengemukakan bahwa penutur harus memenuhi
empat maksim percakapan (
conversational maxim
) dalam rangka melaksanakan
prinsip kerja sama. Keempat maksim tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Maksim Kuantitas (
The maxim of quantity
)
Kuantitas dalam hal ini menyangkut jumlah kontribusi terhadap koherensi
17
memadai, relatif cukup, tidak kurang, dan tidak lebih dari yang dibutuhkan.
Menurut Grice (1975: 45 via Rahardi, 2005: 53), dalam maksim kuantitas terdapat
dua aturan.
(1) Make your kontribution as informative as required;
(2) Do not make your contribution more informative than required.
Nababan (1987:31) mengemukakan bahwa sebenarnya aturan yang kedua
dalam maksim kuantitas Grice tidak perlu, hal ini dikarenakan tidak ada salahnya
kelebihan informasi. Akan tetapi, selain hal ini membuang waktu, informasi yang
berlebihan akan dianggap sengaja dilakukan untuk mencapai efek tertentu atau
tujuan tertentu, dengan demikian bisa terjadi salah pengertian.
Dalam maskim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat memberikan
informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi
demikian tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dbutuhkan oleh mitra
tutur. Tuturan yang tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh
diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam prinsip
kerjasama Grice.
Di bawah ini merupakan contoh tuturan yang memenuhi pematuhan dan
juga melanggar prinsip kerja sama maksim kuantitas (via Wijana, 1996: 47).
(1)
A: siapa namamu?
B: Ani,
A: Rumahmu di mana?
B: Klaten, tepatnya di Pedan,
A: Sudah bekerja?
B: Belum, masih mencari-cari
(2)
A: Siapa namamu?
bersaudara. Saya pernah kuliah di UGM, akan tetapi karena tidak adanya
biaya saya berhenti kuliah.
Tuturan B pada contoh (1) di atas menunjukkan tuturan yang bersifat
cooperatif, yaitu memberikan kontribusi yang secara kuantitas memadai pada
setiap tahapan komunikasi. Sedangkan Peserta tutur B dalam contoh (2) di atas
menunjukkan tuturan yang tidak kooperatif dikarenakan memberikan kontribusi
yang berlebihan dan belum dibutuhkan.
2.
Maksim Kualitas (
The maxim of quality
)
Sama halnya seperti maksim kuantitas di atas, Grice (via Rahardi, 2005:
53) menyatakan bahwa maksim kualitas juga mempunyai dua aturan.
(1) Do not say what you belive to be false;
(2) Do not say that for which you lack adequate evidence
Dalam maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat
menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta. Sebenarnya di dalam
bertutur, fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas.
Wijana (1996: 48-49) mengemukakan bahwa maksim kualitas mewajibkan
setiap peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang mmadai.
Berhubungan dengan hal ini, dapat diperhatikan tuturan pematuhan dan
pelanggaran maksim kualitas sebagai berikut.
(3)
A: Ini sate ayam atau kambing?
B: Sate kambing.
(4)
A: Coba kamu Andi, apa ibu kota Bali?
B: Surabaya, Pak Guru.
19
Contoh (3) di atas menjelaskan bahwa tuturan B menunjukkan tuturan
yang mematuhi maksim kualitas, karena B menyampaikan sesuatu yang nyata dan
sesuai dengan fakta yang didukung dengan bukti-bukti yang jelas. Kemudian pada
contoh (4) di atas, tampak seorang guru A (guru) memberikan kontribusi yang
melanggar maksim kualitas. Guru mengatakan ibu kota Jawa Timur Denpasar
bukannya Surabaya. Jawaban yang tidak mengindahkan maksim kualitas ini
diutarakan sebagai reaksi terhadap jawaban B (Andi) yang salah. Dengan jawaban
tersebut, B (Andi) yang memiliki kompetensi komunikatif akan mencari jawaban
mengapa A (guru) membuat pernyataan yang salah, jadi ada alasan pragmatis
mengapa A (guru) dalam contoh di atas memberikan kontribusi yang menyimpang
dari maksim kualitas.
Rahardi (2005: 55) mengemukakan bahwa dalam komunikasi sebenarnya,
penutur dan mitra tutur sangat lazim menggunakan tuturan dengan maksud yang
tidak senyatanya dan tidak disertai dengan bukti-bukti yang jelas. Bertutur yang
terlalu langsung dan tanpa basa-basi dengan disertai bukti-bukti yang jelas dan
apa adanya pun akan membuat tuturan menjadi kasar dan tidak sopan. Dengan
kata lain, untuk bertutur yang santun maksim kualitas ini sering kali tidak
dipatuhi.
3.
Maksim relevan (
The maxim of relevance
)
Berbeda dengan maksim kuntitas dan maksim kualitas yang terdiri dari
dua aturan, Grice (via Rahardi, 2005: 53) menyatakan bahwa maksim relevansi
hanya terdiri dari satu aturan saja, yaitu: “make your contribution relevant” yang
relevansi, Nababan (1978: 32) mengemukakan bahwa walaupun aturan ini
kelihatan kecil, namun ia mengandung banyak persoalan, misalnya: apa fokus dan
macam relevansi itu, bagaimana fokus relevansi berubah selama suatu
percakapan, bagaimana menangani perubahan topik percakapan, dan lain
sebagainya. Aturan relevansi sangat penting karena berpengaruh terhadap makna
suatu ungkapan yang menjadi inti dari implikatur dan juga merupakan faktor yang
penting dalam penginterpretasian suatu kalimat atau ungkapan. Smith dan Wilson
(via Leech, 1993: 144) mengemukakan definisi informal relevansi sebagai
berikut:
“
A remark P is relevant to another remark Q if P and Q, together with
background, yield new information not derivable from either P or Q, together
with background knowladge alone.
”
“
Pernyataan
P
berhubungan dengan pernyataan
Q
bila
P
dan
Q
bersama
pengetahuan latar belakang, menghasilkan informasi baru yang bukan diperoleh
hanya dari
P
atau
Q
, bersama dengan pengetahuan latar belakang.
”
Dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjadi kerja sama yang
baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan
kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan menyimpang dari prinsip
kerja sama. Maksim relevansi dianggap sebagai suatu keinformatifan yang
khusus.
Rahardi (2005: 56) mengatakan bahwa di dalam maksim relevansi
dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra
tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan
21
kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja
sama.
Demikian pula yang dikatakan oleh Wijana (1996: 49), bahwa maksim
relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang
relevan dengan masalah pembicaraan. Berikut dapat dilihat contoh maksim
relevansi.
(5)
A: Ani, ada telepon untuk kamu.
B: Saya lagi di belakang, Bu.
(6)
A: Pukul berapa sekarang, Bu?
B: Tukang koran baru lewat,
Pada contoh di atas, percakapan antara A dan B sepintas tidaklah
berhubungan, tetapi bila dicermati, hubungan implikasionalnya dapat diterangkan.
Jawaban B pada contoh tuturan (5) mengimplikasikan bahwa saat itu ia tidak
dapat menerima telepon itu secara langsung. Ia secara tidak langsung
menyuruh/meminta tolong kepada ibunya untuk menerima telepon tersebut.
Demikian pula, kontribusi B pada contoh tuturan (6) memang tidak secara
eksplisit menjawab pertanyaan A. Akan tetapi, dengan memperhatikan kebiasaan
tukang koran mengantarkan surat kabar atau majalah kepada mereka, tokoh A
dalam tuturan (6) dapat membuat inferensi pukul berapa ketika itu. Dalam tuturan
(6) terlihat penutur dan mitra tutur memiliki asumsi yang sama sehingga hanya
dengan mengatakan “tukang koran baru lewat” tokoh A sudah merasa terjawab
pertanyaannya. Fenomena percakapan pertama (5) dan kedua (6) di atas
mengisyaratkan bahwa kontribusi peserta tindak tutur relevansinya tidak selalu
diimplikasikan ujaran itu. Kecenderungan adanya keterkaitan antara
bagian-bagian ujaran di dalam dialog secara eksplisit ditegaskan oleh Grice sebagai
berikut.
“Our talk exchangesdo not normally consists of a succession of
disconected remarks, and would not be rational if they did. They are
characteristically, or to some degree at least, cooperative efforts; and each
participants recognizes in them... (Grice via Wijana, 1996: 50).
(7)
A: Pak ada tabrakan motor lawan truk di pertigaan depan.
B: Yang menang apa hadiahnya? (Wijana, 1996:49)
Berbeda dengan tuturan A dan B pada percakapan (5) dan (6), percakapan
antara ayah dan anaknya pada tuturan (7) di atas terlihat melanggar maksim
relevansi. Bila sang ayah sebagai peserta percakapan yang kooperatif, maka tidak
selayaknyalah ia menyamakan peristiwa kecelakaan yang dilihat anaknya itu
dengan sebuah pertandingan atau kejuaraan.
4.
Maksim pelaksanaan/cara (
The maxim of manner
)
Dalam maksim pelaksanaan, hal yang ditekankan bukan mengenai apa
yang dikatakan, akan tetapi bagaimana cara mengungkapkan. Sebagai tuturan
utama, Grice (via Rahardi, 2005: 53
) menyebutkan “
Be perspicuous
” atau “anda
harus berbicara jelas”. Selanjutnya Grice
juga menguraikan aturan utama di atas
menjadi empat aturan khusus, yaitu sebagai berikut.
(1) avoid obscurity of expression;
(2) avoid ambiguity;
(3) be brief (avoid unnecessary prolixity), dan
(4) be orderly.
Dalam maksim pelaksanaan, peserta tutur harus bertutur secara langsung,
hal-23
hal di atas dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama Grice karena tidak
mematuhi maksim pelaksanaan.
(8)
A: Ayo, cepat dibuka!
B: Sebentar dulu, masih dingin (Rahardi, 2005: 57-58).
Wacana di atas memiliki kadar kejelasan yang rendah, karena berkadar
kejelasan rendah dengan sendirinya kadar kekaburannya tinggi. Tuturan A sama
sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh si
mitra tutur B. Dapat dikatakan demikian karena tuturan yang disampaikan B
mengandung kadar ketaksaan yang cukup tinggi. Tuturan-tuturan demikian dapat
dikatakan melanggar prinsip kerja sama karena tidak mematuhi maksim
pelaksanaan.
Dengan maksim ini seorang penutur diharuskan menafsirkan kata-kata
yang digunakan oleh lawan bicaranya secara taksa berdasarkan konteks-konteks
pemakaiannya. Hal ini didasari prinsip bahwa ketaksaan tidak akan muncul bila
kerja sama antara peserta tindak tutur selalu dilandasi oleh pengamatan yang
seksama terhadap kriteria-kriteria pragmatik. Menurut Wijana (1996: 51-52)
dalam pertuturan yang wajar, percakapan seperti contoh di bawah ini tidak akan
dijumpai.
(9)
A: Masak Peru ibu kotanya Lima... banyak amat.
B: Bukan jumlahnya, tetapi namanya.
(10)
A: Saya ini pemain gitar solo.
B: Kebetulan saya orang Solo, coba hibur saya dengan lagu-lagu daerah
Solo.
Pada contoh tuturan (9) bila konteks pemakaian dicer
mati, kata “Lima‟
diberi makna „nama bilangan‟ dan pada contoh tuturan (10), kata „s
olo
‟
yang
bermakna tunggal tidak akan ditafsirkan dengan
„nama
sebuah kota di Jawa
Tengah‟
, karena di dalam pragmatik konsep ketaksaan (
ambiguity
) tidak dikenal.
Grice (1975: 47-48) membuat analogi bagi kategori-kategori maksim
percakapannya sebagai berikut.
a.
Quantity: If you are assisting a car, I expect your contribution to be
neither more not less than is required; if for example, at a particular
stage I need four, rather than two or six.
b.
Quality: I expect your contributions to be genuine and not spurious. If I
need sugar as an ingredient in the cake you are assisting me to make, I
do not expect you hand me salt, if I need a spoon, I do not expect a trick
spoon made of rubber.
c.
Relation: I expect a patners contributions to be appropriate to
immediate needs at each stage of the transaction; if I am mixing
ingredient or a cake, I do not expect to be handed a good book, or even
an oven cloth (though this might be an appropriate contribution at latter
stage).
d.
Manner: I expect a patner to make it clear what contribution he is
making, and to execute his performance with reasonable dispatch.
Analogi maksim-maksim yang dikemukakan Grice di atas kurang lebih
memiliki arti sebagai berikut.
a.
Maksim kuantitas: Jika anda membantu saya memperbaiki mobil, saya
mengharapkan kontribusi anda tidak lebih atau tidak kurang dari apa
yang saya butuhkan. Misalnya, jika pada tahap tertentu saya
membutuhkan empat obeng, saya mengharapkan anda mengambilkan
empat bukannya dua atau enam.
b.
Maksim kualitas: Saya mengharapkan kontribusi anda
sungguh-sungguh, bukan sebaliknya. Jika saya membutuhkan gula sebagai bahan
25
saya
membutuhkan
sendok,
saya
tidak
mengharapkan
anda
mengambilkan sendok-sendokan atau sendok karet.
c.
Maksim relevansi: Saya mengharapkan kontribusi teman kerja saya
sesuai dengan apa yang saya butuhkan pada setiap tahapan transaksi.
Jika saya mencampur bahan-bahan adonan kue, saya tidak
mengharapkan diberikan buku bagus atau bahkan kain oven, meskipun
benda terakhir ini saya butuhkan pada tahapan berikutnya.
d.
Maksim pelaksanaan: Saya mengharapkan teman kerja saya memahami
kontribusi yang harus dilakukannya dan melaksanakannya secara
rasional.
D.
Tujuan Tuturan
Leech (via Rohmadi, 2004: 23) mengemukakan bahwa tujuan tuturan
adalah maksud yang ingin dicapai oleh penutur dengan melakukan tindakan
bertutur. Bentuk-bentuk tuturan yang dilakukan oleh penutur dilatarbelakangi oleh
maksud dan tujuan tuturan. Bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat
digunakan untuk menyatakan satu maksud atau sebaliknya satu maksud dapat
disampaikan dengan berbagai bentuk tuturan.
Dalam bertutur, manusia pastilah mempunyai tujuan. Tujuan yang
dimaksud oleh penutur berupa pemberian informasi kepada lawan tutur.
Darjowidjojo (2003: 98) mengemukakan bahwa tujuan tuturan terkait dengan
1.
Tindak Representatif
Menurut Levinson (via Rani, 2006: 241) tindak representatif atau tindak
tutur asertif adalah tindak tutur menyampaikan proposisi yang benar. Hal itu
berarti tindak tutur yang disampaikan oleh penutur lazimnya menghendaki
respons dari mitra tutur. Yang termasuk tindak representatif antara lain tindak
memberi informasi, memberi izin, keluhan, permintaan ketegasan maksud
tuturan, dan sebagainya. Di bawah ini adalah contoh tuturan yang menunjukkan
tindak representatif.
(11)
A: Buku itu bukan milik saya
B: Lalu milik siapa?
A: Saya tidak tahu.
Tuturan di atas merupakan contoh tuturan tindak representatif yang
menunjukkan sebuah penegasan dan menjelaskan. Tuturan penutur (A)
menjelaskan serta menegaskan kepada mitra tutura (B) bahwa buku tersebut
bukan miliknya, (A) pun menegaskan bahwa ia tidak tahu siapa sebenarnya
pemilik buku tersebut.
2.
Tindak Direktif
Menurut Levinson via (Rani, 2006: 234) tindak direktif adalah tindak yang
bermaksud menghasilkan efek melalui suatu tindakan oleh pendengar. Searle
(1987) mengartikan bahwa tindak direktif merupakan tindak yang berupa perintah
atau permintaan, yakni agar penutur/ mitra tutur melakukan tindakan yang
disebutkan di dalam tuturan itu (Rani, 2006: 234). Ada pula yang mengartikan
tindak direktif sebagai tindak tutur yang mengekspresikan maksud penutur agar
27
Ketiga pendapat tiga ahli tersebut mendefinisikan tindak direktif dengan
definisi yang serupa, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud
dengan tindak direktif yaitu tindak yang di dalam tuturannya mengandung maksud
supaya orang lain melakukan suatu tindakan tertentu. Tindak tutur direktif
mencakup tindak tutur meminta informasi, tindak tutur meminta konfirmasi,
tindak tutur menyampaikan saran yang memiliki fungsi turunan tindak tutur
menyuruh, menghimbau, dan menasihati, dan tindak tutur menguji. Berikut ini
adalah contoh tuturan tindak direktif.
(12)
A: Tolong belikan garam di warung Pak Aman!
B: Sekarang Bu?
A: Iya.
Tuturan di atas menunjukkan sebuah tuturan tindak direktif. Tuturan
disampaikan oleh seorang Ibu yang hendak memasak kepada anaknya. Tuturan
tersebut termasuk dalam tindak direktif karena penutur (A) menginginkan mitra
tutur (B) untuk melakukan sesuatu (tindakan) seperti yang dimaksud dalam
tuturan tersebut. Yang menjadi indikator dalam tuturan tindak direktif adalah
adanya suatu tindakan yang harus dilakukan oleh mitra tutur setelah mendengar
sebuah tuturan.
3.
Tindak Ekspresif
Tindak ujaran ekspresif dipakai oleh penutur bila ingin menyatakan
keadaan psikologisnya mengenai sesuatu, misalnya menyatakan, terima kasih,
belansungkawa, menyampaikan ucapan selamat, dan juga mengumpat
(Dardjowidjojo, 2003: 96). Menurut Leech (1993: 164), tujuan dari ekspresif
keadaan yang terjadi, misalnya mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat,
memberi maaf, mengecam, memuji, mengucapkan belasungkawa, dan sebagainya.
Tindak ekspresif adalah tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap
(Rani, 2006: 239). Tindak tersebut dilakukan dengan maksud untuk menilai atau
mengevaluasi hal yang disebutkan di dalam tuturannya itu. Searle (via Rani, 2006:
239) mengemukakan tindak ekspresif berfungsi untuk mengekspresikan sikap
psikologis pembicara/penutur terhadap pendengar/mitra tutur sehubungan dengan
keadaan tertentu. Tindak ekspresif dapat berupa tindak memohon maaf,
berterimaksih, memuji, basa-basi, humor, dan sebagainya. Berikut ini contoh
tuturan tindak ekspresif.
(13)
A: Mengapa kamu belum menyerahkan PR?
B: Maaf Pak, PR itu belum selesai saya kerjakan.
A: Kapan bisa diserahkan?
B: Besok, Pak.
Percakapan di atas menunjukkan tindak ekspresif yang menyatakan
permintaan maaf. Permintaan maaf itu disampaikan oleh seorang murid (B)
kepada guru (A) karena (B) belum selesai ia kerjakan, (A) melakukan/
mengekspresikan tindak ekspresif meminta maaf dengan menggunakan kata
maaf
.
E.
Galau Nite Metro TV
Galau Nite
merupakan tayangan
talkshow
ringan semi humor yang tayang
di salah satu stasiun televisi Indonesia.
Galau Nite
tayang setiap hari Sabtu malam
pukul 22:30 WIB di Metro TV. Acara ini dipandu oleh seorang
presenter
(pembawa acara) yang kocak, yaitu Augie Fantinus, ditemani oleh tiga
29
Dengan mengusung semboyan
“
Galau adalah hak asasi setiap manusia dan
kami hadir membuat galau anda menjadi lebih berkualitas”
. Tidak hanya
membahas tuntas tema-tema tertentu dalam setiap episode/ tayangan, namun juga
memberikan solusi kepada setiap masalah yang dikeluhkan oleh pemirsa/
penonton acara
Galau Nite
. Tentu saja, acara tersebut menghadirkan bintang tamu
yang biasanya dari kalangan selebritis maupun seseorang yang berkecimpung di
dunia hiburan atau
entertainment
.
Tema-tema yang diangkat dalam acara
Galau Nite
tentu saja menjadi
perbincangan menarik yang diharapkan memberikan manfaat kepada pemirsa/
penonton yang menyaksikan acara tersebut. Tidak hanya berhenti di situ, stasiun
televisi swasta Metro TV yang dikenal sebagai televisi yang biasanya menyajikan
acara-acara berita/ informasi mengenai politik dan sekitarnya, kini sedikit berubah
menjadi stasiun televisi yang berani menghadirkan tayangan segar yang dapat
menghibur masyarakat atau penikmat acara pertelevisian.
Alasan mengapa acara
Galau Nite
patut diteliti ialah karena dalam
Galau
Nite
, percakapan/ tuturannya seringkali melakukan pelanggaran prinsip-prinsip
yang diterapkan. Dengan demikian, hal-hal yang terjadi di dalam acara tersebut
tentu akan menjadi hal yang menarik untuk dikaji.
F.
Penelitian Yang Relevan
Sebelumnya, penelitian tentang prinsip kerja sama sudah pernah
dilakukan. Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini, antara lain
Anand Firmansyah (2011) melakukan penelitian tentang penyimpangan
prinsip kerja sama dengan skripsi yang berjudul
“Penyimpangan Prinsip Kerja
Sama dan Prinsip Kesopanan dalam Wacana Humor Verbal Tulis pada Buku
Mang Kunteng”
. Hasil penelitiannya berupa deskripsi penyimpangan prinsip kerja
sama dan prinsip kesopanan dalam setiap kelompok humor pada buku Mang
Kunteng. Penyimpangan prinsip kerja sama meliputi penyimpangan maksim
kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim pelaksanaan.
Penyimpangan prinsip kesopanan pada buku mang kuteng meliputi penyimpangan
maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan, maksim
kesederhanaan, maksim permufakatan, dan maksim kesimpatisan. Pada
penelitiannya, Anand mendeskripsikan penyimpangan maksim kesopanan yang
berupa informasi, berupa perintah kepada lawan tutur, berupa kecaman, berupa
pemutarbalikan fakta, mempermalukan, dan informasi yang membingungkan
lawan tutur.
Fikri Yulaihah (2012) dalam skripsinya yang berju
dul “Analisis Prinsip
Kerja Sama Pada Komunikasi Facebook (Studi Kasus pada Mahasiswa Bahasa
dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta Angkatan 2007)”. Penelitian
ini mendeskripsikan bentuk-bentuk pelanggaran prinsip kerja sama yang terjadi
pada komunikasi facebook oleh mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia UNY
angkatan 2007. Dari hasil dari penelitian tersebut diuraikan sebagai berikut.
Pertama, pelanggaran prinsip kerja sama pada komunikasi facebook oleh
mahasiswa FBS UNY angkatan 2007 terdiri dari empat maksim dan tujuh maksim
31
maksim cara. Kedua, fungsi pelanggaran prinsip kerja sama pada komunikasi
facebook oleh mahasiswa FBS UNY angkatan 2007 terdiri dari tiga fungsi utama,
yaitu, fungsi ekspresif, fungsi direktif, dan fungsi representatif. Ketiga fungsi
tersebut memiliki fungsi tuturan, yaitu fungsi ekspresif terdiri dari fungsi
menyampaikan basa-basi dan memohon maaf; fungsi direktif terdiri dari fungsi
menyampaikan saran, menyindir, meminta informasi, menghina, dan meminta
konfirmasi; serta fungsi representatif terdiri dari fungsi mencurahkan isi hati,
memberi informasi, membenarkan, dan mengungkapkan rasa kesal. Penelitian ini
juga bertujuan untuk mendeskripsikan penyebab pelanggaran terhadap prinsip
kerja sama, yaitu fungsi pelanggaran prinsip kerja sama pada komunikasi
facebook oleh mahasiswa BSI UNY angkatan 2007.
Persamaan penelitian yang berjudul
Pelanggaran Prinsip Kerja Sama
Tayangan Galau Nite di Metro TV: Sebuah Analisis Pragmatik
ini dengan kedua
penelitian tersebut yaitu pada permasalahan yang akan dikaji yang hampir serupa,
yaitu tentang prinsip kerja sama yang dikaji menggunakan disiplin ilmu
pragmatik. Perbedaan penelitian ini dengan kedua penelitian tersebut, yaitu pada
sumber data. Sumber data peneliti pertama melakukan penelitian dengan
mengumpulkan data yang berupa data tertulis yaitu buku humor
Mang Kuteng
.
Kemudian peneliti kedua melakukan penelitian dengan data yang diambil dari
komunikasi di media sosial facebook (sebuah sarana komunikasi antar teman, atau
bahkan antar benua sekaligus) sebagai bahan/data penelitian. Pada penelitian ini
sumber data berasal dari percakapan/ dialog dalam acara
Galau Nite
yang tayang
32
sumber data, subjek dan objek penelitian, metode/ teknik pengumpulan data,
instrumen penelitian, teknik analisis data, dan keabsahan data.
A.
Desain Penelitian
Penelitian tentang pelanggaran prinsip kerja sama dalam tuturan tayangan
talkshow
Galau Nite
di Metro TV ini merupakan penelitian deskriptif dengan
menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan
data, yaitu data yang berupa bentuk pelanggaran dan tujuan pelanggaran prinsip
kerja sama. Penelitian deskriptif hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu
variabel, gejala atau keadaan. Mengenai penelitian deskriptif, Djajasudarma
(1993: 8), mengatakan bahwa penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat
deskripsi, yaitu membuat gambaran, lukisan secara sistematis, faktual, dan
akurat mengenai data, sifat-sifat, serta hubungan fenomena yang diteliti.
Lebih lanjut, Djajasudarma (1993: 15), menjelaskan bahwa pendekatan
deskriptif merupakan gambaran ciri-ciri data secara akurat sesuai dengan sifat
alamiah itu sendiri. Hal itu sesuai yang dengan yang diungkapkan oleh
Sudaryanto (1988: 62), penelitian deskriptif dilakukan semata-mata hanya
berdasarkan fakta yang ada secara empiris hidup pada penutur-penuturnya,
sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang bisa
33
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa data tertulis (Djadjasudarma, 1993: 10). Penelitian dianggap kualitatif
harus dipertimbangkan dari segi metodologi kualitatif itu sendiri. Metodologi
kualitatif merupakan prosedurnyang menghasilkan data deskriptif berupa data
tertulis atau lisan di masyarakat bahasa.
B.
Sub