• Tidak ada hasil yang ditemukan

PP 18 1947 perun PP 7 1947 grasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PP 18 1947 perun PP 7 1947 grasi"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1947

TENTANG

PERUBAHAN DAN TAMBAHAN LEMBARAN DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 7 TAHUN 1947 DARI HAL PERMOHONAN GRASI.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

bahwa berhubung dengan berlakunya Undang-undang No. 20 tahun 1947 tentang peradilan ulangan di Jawa dan Madura, dan berhubung juga dengan beberapa kekurangan dalam Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1947 tentang permohonan grasi, perlu diadakan perubahan dan tambahan dalam Peraturan Pemerintah.

Mengingat:

Pasal 14 Undang-undang Dasar dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1947. Memutuskan:

Menetapkan peraturan sebagai berikut:

PERATURAN MEMUAT PERUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH No. 7 TAHUN 1947 TENTANG PERMOHONAN GRASI.

Pasal 1.

Peraturan Pemerintah No. 7, tahun 1947 tentang permohonan pasal diubah dan ditambah sebagai berikut:

a. Pasal 1 ayat 2 dihapuskan.

b. Pasal 3 ayat 1 diubah hingga berbunyi demikian:

(1) Hukuman tutupan, penjara dan kurungan, termasuk juga hukuman

(2)

kurungan pengganti, tidak boleh dijalankan, jikalau terhukum mohon supaya penjalanan hukuman ditunda karena permohonan grasi atau kehendaknya akan mengajukan permohonan grasi.

c. Pasal 5 ayat 1 diubah berbunyi demikian:

(1) Permohonan grasi hanya dapat diajukan dalam tempo 14 hari terhitung mulai hari berikut hari keputusam menjadi tetap.

d. Pasal 7 diubah hingga ayat 4 menjadi ayat 5, sedang diantara ayat 3 dan 5 diadakan ayat 4 baru yang berbunyi demikian:

(1) Dalam hal perkara sumir pada Pengadilan Kepolisian, hakim dengan segera meneruskan surat-surat tersebut pada ayat 1 beserta pertimbangannya kepada Ketua Mahkamah Agung.

c. Pasal 9 ayat 2 dihapuskan.

Ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 25 Juli 1947 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SOEKARNO

Menteri Kehakiman, SOESANTO TIRTOPRODJO. Diumumkan

pada tanggal 26 Juli 1947. Sekretaris Negara,

(3)

A.G. PRINGGODIGDO.

PENJELASAN

PERATURAN PEMERINTAH 1947 No. 18. TENTANG

PERMOHONAN GRASI

Dengan berlakunya Undang-undang No. 20 tahun 1947 tentang peradilan ulangan di Jawa dan Madura, maka tempo tersebut dalam pasal 5 ayat 1 untuk memajukan permohonan grasi, sesuai dengan penjelasan tentang pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1947, sebaiknya diubah sehingga tidak lagi dihitung mulai hari berikut hari keputusan diberitahukan kepada terhukum, tetapi dihitung mulai hari berikut hari keputusan menjadi tetap.

Dari sebab tentang hal ini, karena perubahan tersebut tidak ada perbedaan lagi dengan Pengadilan Tentara, maka pasal 9 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1947 tidak ada perlunya lagi, dan karena itu harus dihapuskan.

Untuk menegaskan, bahwa hukuman kurungan pengganti tidak boleh dijalankan, jikalau terhukum mohon supaya penjalanan hukuman itu ditunda, karena permohonan grasi atau kehendaknya akan mengajukan permohonan grasi, maka hukuman tersebut pada pasal 3 ayat 1 ditambah dengan hukuman kurungan pengganti.

Dalam perkara Sumir pada Pengadilan Kepolisian, jaksa umumnya sama sekali tidak campur dalam penuntutan, oleh karena perkara demikian biasanya oleh polisi yang mengurus perkara itu langsung diajukan kehadapan Pengadilan Kepolisian, yang memutus, perkara yang dimaksudkan diluar hadir jaksa. Berhubung dengan itu tidak tepat rasanya mewajibkan jaksa dalam permohonan grasi yang mengenai perkara

(4)

sumir memberikan pertimbangannya. Dari sebab itu maka pasal 7 Peraturan tentang grasi itu harus ditambah dengan ketentuan, bahwa dalam perkara itu, hakim Pengadilan Kepolisian meneruskan surat-surat tersebut pada ayat 1 langsung kepada Ketua Mahkamah Agung.

Berita Negara Republik Indonesia 1947 No. 39.

Referensi

Dokumen terkait

Tata Cara pengangkatan dan pemberhentian Hakim Ad Hoc sebagaimana dimaksud, tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 karena itu sesuai dengan ketentuan

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang dengan ini telah keliru dalam menerapkan hukum acara karena berdasarkan ketentuan Pasal 155 ayat (2) KUHAP,

Sifat acara pemeriksaan perkara di hadapan persidangan Pengadilan di Indonesia berdasarkan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura dan Rechtsreglement Buitengewesten (RBg) untuk luar Jawa dan Madura, dilakukan secara lisan (mondelinge procedure). Acara dengan lisan berarti, bahwa pemeriksaan perkara dilakukan dengan cara kontak langsung berupa tanya jawab dengan lisan antara hakim dengan para pihak atau kuasanya di muka persidangan. Hakim juga mendengarkan sendiri keterangan saksi- saksi yang diajukan oleh para pihak, keterangan saksi ahli apabila diperlukan dan lain-lainnya. Bahkan Hakim dalam setiap perkara perdata, apabila kedua belah pihak hadir di persidangan, wajib mendamaikan kedua belah pihak. (Pasal 154 RBg /130 HIR). Hakim juga berhak untuk memberikan penerangan (penasehatan) kepada kedua belah pihak mengenai cara berperkara atau upaya hukum yang dapat ditempuh agar supaya perkara berjalan baik dan teratur. (Pasal 156 RBg / 132 HIR). Kewajiban mendamaikan dan memberikan penasehatan tersebut tentu saja dilakukan secara lisan. Atas dasar sifat acara pemeriksaan seperti itu, maka hakim dalam melaksanakan tugas pokoknya memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukan oleh para pencari keadilan kepadanya, memerlukan seseorang untuk membantu mencatat hasil pemeriksaannya. Undang-undang menentukan bahwa pekerjaan tersebut diberikan kepada Panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan Panitera yang berkewajiban membantu Hakim dengan menghadiri dan mencatat jalannya sidang pengadilan. Berdasarkan catatan yang dibuat oleh Panitera disusun berita acara persidangan, yang sangat berguna bagi Hakim dalam menyusun putusan pengadilan. Oleh karena pentingnya berita acara persidangan, maka pembuatan / penyusunannya harus dilakukan dengan cermat, teliti dan hati-hati, agar nilainya benar-benar terjaga.