Javid Nama Ayu Laksmi
Magister Administrasi Pendidikan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga [email protected]
ABSTRACT
Teachers frequently struggle with their classes. As a consequence, in order to solve a problem, teachers require guidance. As a result, clinical supervision is required to address the issues that have arisen. The purpose of this study is to determine the implementation of clinical supervision, as well as the stages of implementation, as well as the obstacles and benefits of implementing clinical supervision at SD Negeri Ujung-Ujung 01. In this study, a mixed method with sequential explanatory variables was used. The quantitative approach employs a survey with a rating scale measurement, which is then quantitatively analyzed descriptively. In a qualitative approach, data collection techniques include interviews and document studies, with Miles and Huberman data analysis used to collect, reduce, display, and conclude data.This study discovered that clinical supervision at SD Negeri Ujung-Ujung 01 was well-executed. Although it has been well implemented, there are several obstacles to the implementation of clinical supervision, including the fact that teachers have not requested clinical supervision and it takes a long time to carry out clinical supervision. Furthermore, clinical supervision has the advantage of resolving issues that arise in the classroom.
Principals can be advised to socialize clinical supervision so that teachers are not afraid to be supervised.
Keywords: Clinical Supervision, Principal, Primary School
ABSTRAK
Guru seringkali mengalami kesulitan dalam mengajar. Oleh karenanya, guru membutuhkan bimbingan dalam memecahkan sebuah permasalahan. Untuk itu diperlukan supervisi klinis untuk mengatasi permasalahan yang dialami. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan supervisi klinis dan tahapan pelaksanaannya, serta untuk mengetahui hambatan dan manfaat pelaksanaan supervisi klinis SD Negeri Ujung-Ujung 01. Penelitian ini menggunakan metode campuran dengan sequential explanatory. Pendekatan kuantitatif menggunakan survei dengan pengukuran skala penilaian dan dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Teknik pengumpulan data dalam pendekatan kualitatif adalah wawancara dan studi dokumen, serta menggunakan analisis data Miles dan Huberman dengan mengumpulkan, mereduksi, menampilkan dan menyimpulkan data. Dari penelitian ini ditemukan bahwa supervisi klinis di SD Negeri Ujung-Ujung 01 telah dilaksanakan dengan baik. Meskipun telah dilaksanakan dengan baik, terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaan supervisi klinis yaitu guru belum meminta supervisi klinis dan membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan supervisi klinis. Selain itu, supervisi klinis memiliki manfaat untuk mengatasi permasalahan yang terjadi di dalam kelas. Rekomendasi yang dapat diberikan bagi kepala sekolah adalah mensosialisasikan supervisi klinis dengan tujuannya agar guru tidak takut untuk disupervisi.
Kata Kunci: Kepala Sekolah, Sekolah Dasar, Supervisi Klinis
PENDAHULUAN
Guru terkadang mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugasnya. Diantara kesulitan yang dialami guru adalah dalam penyusunan rencana pembelajaran, mengembangkan kegiatan pembelajaran menarik, menyusun penilaian (Palobo &
Tembang, 2019), penggunaan media (Fauziah et al., 2018) menerapkan model pembelajaran (Fransiska & Ain, 2022), menyusun pembelajaran saintifik (Ningsih et al., 2016) dan lain sebagainya. Masalah-masalah yang dihadapi guru, mengakibatkan kualitas pembelajaran belum maksimal. Akibatnya kebutuhan peserta didik belum terpenuhi, sehingga mutu sekolah pun akan menurun. Namun demikian, guru sering kebingungan untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi. Untuk itu, guru membutuhkan bimbingan untuk mendapat solusi atas masalah yang dihadapinya. Salah satu cara untuk mengatasi masalah dalam pembelajaran yang dialami oleh guru adalah dengan dilakukannya supervisi.
Supervisi merupakan salah satu tugas utama kepala sekolah. Supervisi dalam pendidikan adalah bimbingan profesional kepada guru agar dapat memperbaiki proses pembelajaran. Supervisi yang dilakukan kepala sekolah adalah supervisi akademis yang dibagi menjadi dua yaitu supervisi kelas dan supervisi klinis. Supervisi kelas lebih berfokus pada pengelolaan proses pembelajaran guru yang ada di kelas, sedangkan supervisi klinis berpusat pada masalah-masalah yang dihadapi guru dalam proses belajar mengajar (Kristiawan et al., 2019).
Supervisi klinis adalah bantuan yang diberikan kepada guru dalam melaksanakan tugasnya dalam melaksanakan proses pembelajaran. Supervisi klinis dilakukan dengan tujuan memperbaiki proses pembelajaran melalui hubungan yang dekat antara supervisor dengan guru dengan rancangan kegiatan yang praktis dan rasional (Sohiron, 2015).
Supervisi klinis dibangun dengan prinsip guru sebagai seorang individu (Nur Choliq, 2018). Rohmatika (2017) menambahkan bahwa supervisi klinis adalah proses membimbing guru agar dapat mengatasi masalah yang dihadapi saat mengajar. Jadi dapat dilihat bahwa supervisi klinis merupakan bimbingan kepada guru dengan tujuan memperbaiki masalah yang dialami dalam proses pembelajarannya. Supervisi klinis juga harus dirancang sesuai kebutuhan, fokus dan masuk akal.
Mukhtar dan Iskandar menyebutkan unsur-unsur dalam supervisi klinis yaitu: (1) adanya tatap muka antara guru dan supervisor, (2) observasi dengan sungguh-sungguh, (3) mengamati perilaku guru di kelas, (4) deskripsi hasil observasi yang detail, (5) guru dan supervisor mengevaluasi bersama, (6) fokus dengan kebutuhan atau masalah yang dihadapi guru (Sohiron, 2015). Supervisi klinis berbeda dengan supervisi akademis dimana pada supervisi klinis hanya berfokus pada masalah yang dialami guru.
Tujuan supervisi klinis adalah membantu guru mendiagnosis masalah yang dihadapi, memecahkan masalah yang dihadapi saat mengajar, mengembangkan keterampilan, sehingga guru dapat melaksanakan tugas dan mengembangkan karirnya (Sohiron, 2015). Sejalan dengan hal tersebut, menurut Rohmatika (2018), supervisi klinis bertujuan untuk memperbaiki kelemahan guru dalam mengajar, sehingga kinerjanya semakin baik dan menjadi semakin profesional.
Ciri-ciri supervisi klinis menurut La Sulo adalah: (1) bimbingan bersifat bantuan, bukan perintah, (2) keterampilan yang akan disupervisi disepakati bersama, (3) instrumen supervisi disepakati bersama (4) pengamatan hanya berfokus pada keterampilan yang disepakati, (5) segera memberikan balikan, (6) guru menganalisis penampilannya terlebih dahulu, (7) supervisor mendengar, (8) membangun suasana intim dan terbuka, (9) berlangsung dalam siklus perencanaan, observasi dan umpan balik, dan (10) hasil
supervisi dimanfaatkan untuk perbaikan keterampilan mengajar (Purwanto dalam Sohiron, 2015). Dalam ciri-ciri supervisi yang dikemukakan oleh Sahertian dalam Rohmatika (2018), ada beberapa penambahan yaitu waktu yang disepakati bersama, didasarkan atas inisiatif guru, supervisi juga dilakukan pada kepribadian guru, tidak hanya pada keterampilan mengajar.
Cogan menyebutkan delapan tahapan dalam siklus supervisi klinis yang meliputi:
(1) membangun hubungan antara supervisor dan guru, (2) merencanakan bersama guru, (3) merencanakan observasi, (4) pelaksanaan observasi, (5) analisis proses pembelajaran, (6) merencanakan pertemuan, (7) pertemuan dan (8) merencanakan pertemuan berikutnya. Siklus supervisi klinis secara umum meliputi tahap pertemuan awal, observasi dan tahap pertemuan balikan (Rohmatika, 2017).
Pada tahap pertemuan awal, supervisor dan guru membuat kesepakatan tentang waktu, instrumen dan masalah yang akan disupervisi. Pada tahap observasi mengajar, supervisor masuk ke kelas untuk mengadakan pengamatan sedetail mungkin terhadap aspek-aspek yang diamati dimana telah ditentukan pada pertemuan sebelumnya. Acheson dan Gall menambahkan bahwa pada tahap observasi, supervisor bisa membuat catatan kejadian, merekam video, rekaman tertulis maupun ceklis aktivitas yang dibagi menjadi tiga yaitu pembicaraan guru, pembicaraan murid dan tanpa pembicaraan (Makawimbang, 2011) untuk menunjukkan cara mengajar guru sebagai bahan analisis pada tahap pertemuan balikan. Dalam kegiatan pertemuan balikan, data dari observasi dianalisis dan ditindaklanjuti. Dalam analisis, mendahulukan guru untuk menyatakan perasaannya, menganalisis ketercapaian tujuan, target keterampilan yang diharapkan perasaan guru setelah menganalisis keterampilannya, kemudian supervisor bersama guru menyimpulkan hasil dari supervisi klinis dan menetapkan rencana berikutnya (Makawimbang, 2011)
Supervisi klinis harus dibangun dengan beberapa prinsip yaitu fleksibel, karena ditentukan bersama oleh guru dan supervisor, menciptakan hubungan yang humanis, membangun suasana yang terbuka, sehingga dapat menemukan solusi bersama-sama dan berdasarkan masalah yang benar-benar dialami, sehingga dapat meningkatkan profesionalisme guru (Sohiron, 2015). Dalam supervisi klinis, guru dan kepala sekolah berperan sebagai teman sejawat, tidak sebagai atasan dan bawahan (Nur Choliq, 2018) sehingga guru bisa lebih terbuka. Selain prinsip-prinsip supervisi klinis yang dinyatakan Sohiron, ada beberapa prinsip lain: antara guru dan supervisor, mengadakan diskusi profesional yang bersifat interaktif dan demokratis, guru diberikan kebebasan dalam mengatasi masalah dengan inisiatifnya sendiri sesuai dengan kebutuhannya (Rohmatika, 2017).
Kelebihan dalam supervisi klinis adalah dapat memecahkan masalah secara mendalam, sehingga masing-masing guru bisa merefleksi kekurangan tidak disadari dan menemukan solusi. Dalam menemukan kekurangan, guru dapat dibantu dengan video yang diambil saat observasi. Kelebihan tersebut juga menimbulkan kekurangan dalam supervisi klinis, yaitu membutuhkan tenaga yang besar dan waktu yang lama untuk menghadapi masalah yang ada satu per satu (Sohiron, 2015). Supervisi klinis juga dapat memberikan motivasi kepada guru dalam meningkatkan keterampilan mengajarnya (Gusnilawati, 2021).
Orientasi supervisor menentukan keberhasilan supervisi klinis. Menurut Glickman, orientasi supervisor dibagi menjadi dua yaitu orientasi langsung dan kolaboratif. Pada orientasi langsung, perilaku yang dibutuhkan meliputi klarifikasi, penyajian, pendemonstrasian, menegaskan, menstandarkan dan memberikan penguatan.
Sedangkan pada orientasi kolaboratif meliputi perilaku supervisor dalam mendengarkan guru, menyajikan hasil observasi, memecahkan masalah dan bernegosiasi (Nazarudin, 2019). Sebaliknya, faktor penghambat supervisi klinis yaitu kurangnya pengetahuan kepala sekolah dan guru tentang tahapan supervisi yang benar (Gusnilawati, 2021).
Beberapa variasi dalam supervisi klinis menurut Wallace yaitu: (1) supervisi langsung dimana supervisor langsung memberikan solusi atas masalah yang dihadapi guru, (2) supervisi alternatif dimana supervisor memberi beberapa alternatif pemecahan masalah, (3) supervisi kolaboratif yaitu supervisi yang menggabungkan pemikiran supervisor dan guru dalam memecahkan masalah, (4) supervisi tidak langsung yaitu supervisi yang memberi kebebasan guru untuk memecahkan masalah, (5) supervisi kreatif yang dapat dilakukan dengan menggabungkan beberapa variasi supervisi sebelumnya, dan (6) supervisi mengeksplorasi yaitu guru diminta mencari solusi berdasarkan pengalamannya (Makawimbang, 2011).
Strategi supervisi klinis yang diberikan juga berbeda-beda, tergantung jenis guru.
Guru yang profesional menggunakan strategi non direktif, karena mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan. Sedangkan untuk guru yang masih berkembang, namun vokal dalam memberikan kritikan dan juga guru yang memiliki banyak kesibukan lebih baik menggunakan strategi kolaboratif. Sedangkan untuk guru yang belum kompeten dan cenderung pasif, supervisor harus lebih aktif dan dapat menggunakan strategi supervisi klinis langsung (Nurcholiq, 2018)
Jika kepala sekolah melaksanakan supervisi klinis dengan baik, diharapkan masalah-masalah yang dihadapi guru dapat teratasi, sehingga proses pembelajaran dapat belajar dengan baik. Dengan proses pembelajaran yang baik, diharapkan siswa mendapat pelayanan yang terbaik, sehingga hasil belajarnya dapat meningkat. Dengan meningkatnya hasil belajar siswa, mutu sekolah juga akan semakin baik. Penerapan supervisi klinis dapat meningkatkan kinerja guru secara efektif. Kinerja guru dapat semakin meningkat, karena dalam supervisi klinis, kepala sekolah tidak mendikte guru namun memberikan motivasi dan bimbingan agar guru dapat menyelesaikan masalahnya sendiri (Masmin, 2020). Penelitian lain menemukan bahwa pelaksanaan supervisi klinis belum maksimal karena keengganan guru untuk disupervisi secara menyeluruh dan kurangnya keterbukaan guru kepada supervisor. Selain itu juga ada beberapa kendala, yaitu persepsi guru bahwa supervisi adalah penilaian dan mencari kesalahan saja (Erni et al., 2020).
Selain meningkatkan kinerja guru, supervisi yang dilaksanakan dengan baik juga dapat meningkatkan profesionalisme guru (Tanama et al., 2016). Dalam penelitian tersebut didapatkan usaha-usaha meningkatkan profesionalisme guru dengan kunjungan kelas, pembicaraan profesional secara langsung dengan guru, selalu memotivasi guru dan menugaskan guru untuk mengikuti workshop dan seminar. Dalam penelitian ini juga disebutkan bahwa implementasi supervisi klinis dilakukan dalam pemilihan metode mengajar, pemilihan media pembelajaran juga dalam penguasaan materi.
Pada penelitian, supervisi klinis yang dilakukan dalam penelitian tindakan sekolah dapat meningkatkan mutu guru dalam penyusunan dan pelaksanaan pembelajaran. Dari yang semula pada quality control didapati guru lebih banyak ceramah, pembelajaran yang berbeda dengan di RPP dan jarang melakukan evaluasi, setelah dilakukan supervisi klinis, didapati peningkatan kualitas dengan mengadakan supervisi kelompok (Sari et al., 2017).
Wahyuni (2021) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa supervisi klinis dapat membantu guru mengelola administrasi kelas. Supervisi klinis pada administrasi guru juga dapat meningkatkan profesionalisme mengajar (Gusnilawati, 2021)(Gusnilawati,
2021; Rokhani, 2020). Sejalan dengan penelitian tersebut, penelitian tindakan sekolah yang dilakukan oleh Karmanto (2018) juga menunjukkan bahwa supervisi klinis yang dilakukan dapat meningkatkan kemampuan guru dalam mengajar. Supervisi klinis yang dilakukan dengan FGD dan kunjungan antar kelas dapat meningkatkan kerjasama antar guru.
Meskipun supervisi klinis sudah terbukti memiliki banyak manfaat bagi guru, namun tidak banyak sekolahan yang melakukannya. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat sejauh mana supervisi klinis dilaksanakan. Selain itu penelitian ini juga dilakukan untuk melihat tahapan-tahapan yang dilakukan dalam supervisi klinis, kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan supervisi klinis dan manfaat yang didapatkan dari pelaksanaan supervisi klinis bagi guru maupun untuk sekolah. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah menemukan solusi dari kendala yang dihadapi dalam supervisi klinis serta menjadi tambahan pengetahuan empiris tentang supervisi klinis yang selama ini dilakukan, selain itu juga sebagai bahan renungan untuk
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian sequential explanatory mixed method yang menggabungkan penelitian dengan urutan kuantitatif lalu kualitatif. Teknik pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan survei menggunakan angket, sedangkan penelitian kualitatif yang dilakukan menggunakan teknik pengumpulan data dengan wawancara. Penelitian ini dilakukan di SD Negeri Ujung-Ujung 01, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang.
Data kuantitatif, diperoleh dengan melakukan survei kepada satu guru kelas, guru olahraga dan guru PJOK. Survei ini menggunakan rating scale yang dianalisis menurut persentase dari jawaban peserta dibagi dengan skor ideal untuk setiap indikator. Karena dalam penelitian ini menggunakan lima skala maka persentase tersebut dapat diklasifikasikan kedalam lima interval yaitu, 0%-20% pada kategori sangat kurang, 21%- 40% pada kategori kurang, 41%-60% pada kategori cukup, 61%-80% pada kategori baik dan 81%-100% pada kategori sangat baik (Sugiyono, 2019). Pendekatan kualitatif menggunakan instrumen wawancara, namun dalam pelaksanaannya, jika ada sesuatu yang perlu digali, maka peneliti bisa mengembangkan pertanyaan. Wawancara dilakukan kepada kepala sekolah sebagai pelaksana supervisi klinis dan tiga guru yang dipilih secara acak sebagai pihak yang disupervisi.
Data kuantitatif dianalisis dengan analisis deskriptif kuantitatif. Dengan merinci dan menjelaskan hasil penelitian. Sedangkan data kualitatif dianalisis dengan Teknik analisis data interaktif Miles & Huberman dengan reduksi data, penyajian data dan membuat simpulan. Setelah data dari wawancara terkumpul, maka data tersebut dirangkum, dipilih sesuai focus dan dilihat polanya. Kemudian data tersebut disajikan dengan diorganisasikan agar lebih mudah dipahami. Langkah terakhir dalam teknik analisis ini adalah penarikan kesimpulan (Sugiyono, 2019).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, kami mengambil data tentang sejauh mana supervisi klinis dilakukan di SD. Data tersebut meliputi unsur-unsur dalam supervisi klinis, prinsip- prinsip dalam supervisi klinis, ciri-ciri dalam supervisi klinis, tahapan dalam supervisi klinis dan ketercapaian tujuan dari supervisi klinis. Dari survey yang diberikan kepada tiga orang guru yang dipilih secara acak, didapatkan data sebagai berikut:
Tabel 1. Persentase hasil survey implementasi supervisi klinis Responden Unsur
Supervisi
Prinsip supervisi
Ciri-ciri supervisi
klinis
Tahapan supervisi klinis Ketercapaian tujuan Pertemuan
awal
Observasi Pertemuan balikan
Guru 1 83,3 80 81,6 80 75 80 80
Guru 2 80 80 73,3 80 80 76,6 76,6
Guru 3 80 80 80 80 75 80 80
81,1 80 78,3 80 76,6 78,6 78,6
Berdasarkan hasil survey, dapat dilihat bahwa unsur- unsur supervisi yang meliputi tatap muka antara guru dengan kepala sekolah, pengamatan yang sungguh- sungguh saat tahap observasi, supervisor yang mengamati guru di kelas saat pembelajaran, deskripsi yang detail dari hasil observasi yang ada pada catatan supervisor, guru dan supervisor yang mengevaluasi pembelajaran yang telah dilakukan bersama sama dan supervisor yang berfokus pada masalah yang diamati oleh guru (Mukhtar dan Iskandar dalam Sohiron, 2015), menunjukkan nilai 81,1%. Hal tersebut menunjukkan bahwa unsur-unsur supervisi sudah sangat baik diterapkan dalam pelaksanaan supervisi klinis di SD.
Berikutnya pada prinsip-prinsip dalam supervisi klinis menunjukkan nilai 78,6%, yang artinya prinsip-prinsip dalam supervisi klinis sudah diterapkan dengan baik. Prinsip- prinsip dalam supervisi klinis tersebut meliputi fleksibilitas dimana instrumen, waktu dan masalah yang disupervisi ditentukan bersama, hubungan yang humanis antara guru dan supervisor, suasana yang terbuka, demokratis dan interaktif (Rohmatika, 2017; Sohiron, 2015).
Kemudian dalam penerapan supervisi klinis, didapat nilai persentase 78,3% yang artinya, ciri-ciri dalam supervisi klinis sudah diterapkan dengan baik. Ciri-ciri supervisi klinis seperti yang telah diungkapkan oleh La Sulo dalam Sohiron (2015) dan dilengkapi oleh Sahertian dalam Rohmatika (2017) yaitu, bimbingan yang diberikan bersifat bantuan, bukan perintah. Kemudian keterampilan supervisi yang diamati dalam supervisi didapat melalui kesepakatan bersama, begitu juga waktu pelaksanaan dan instrumen yang digunakan dalam tahap observasi. Selain itu ada juga ciri umpan balik yang segera diberikan, guru menganalisa penampilannya terlebih dahulu, supervisor lebih banyak mendengar, membangun suasana yang intim dan terbuka, supervisi yang dilakukan meliputi siklus perencanaan, observasi dan umpan balik, hasil supervisi yang kemudian dimanfaatkan dalam memperbaiki keterampilan mengajarnya dan supervisi yang berasal dari inisiatif guru.
Untuk tahapan dalam supervisi, disini dibagi menjadi tiga tahapan meliputi pertemuan awal, observasi dan tahap pertemuan balikan. Pada tahap pertemuan awal, didapat nilai 80% yang artinya poin dalam tahap pertemuan awal seperti membuat kesepakatan masalah yang di supervisi, membuat kesepakatan tentang waktu dan instrumen supervisi telah dilaksanakan dengan baik. Sedangkan pada tahap observasi, didapat nilai persentase sebesar 76,6% masih menunjukkan hasil baik, namun ada indikator yang menunjukkan hasil cukup.
Pada tahap observasi ini indikatornya adalah: supervisor mengamati secara mendetail, supervisor mengamati pada aspek yang disepakati untuk disupervisi, supervisor membuat catatan dan supervisor merekam video. Jika dilihat per indikator, komponen yang menunjukkan hasil cukup adalah merekam video. Jadi dalam tahap observasi dalam supervisi klinis, supervisor tidak sering menggunakan bantuan video
untuk merekam aktivitas guru. Namun hal tersebut tidak menjadi masalah, karena supervisor tetap membuat catatan yang detail tentang kegiatan yang dilakukan guru selama tahap observasi. Dalam tahap pertemuan balikan, didapat nilai rata-rata 80%, sehingga dapat dilihat bahwa pertemuan balikan berada pada kriteria baik. Hasil rata rata dalam tahapan supervisi klinis menunjukkan rata-rata 78,8% yang menunjukkan bahwa tahapan dalam supervisi klinis sudah dilakukan dengan baik.
Selanjutnya pada survey tentang ketercapaian tujuan supervisi yang meliputi diagnosis masalah guru dengan benar, dapat memecahkan masalah yang dihadapi oleh guru, dapat mengembangkan keterampilan mengajar guru, membantu guru melaksanakan tugas dengan baik dan membantu guru mengembangkan karirnya memperoleh skor 78,6% yang artinya, tujuan supervisi sudah tercapai dengan baik.
Dari hasil analisis survey tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan, implementasi supervisi klinis sudah dilakukan dengan baik. Unsur-unsur dalam supervisi sudah terlaksana dengan sangat baik. Prinsip dalam supervisi klinis sudah dilaksanakan dengan baik. Ciri-ciri dalam pelaksanaan supervisi klinis juga sudah ada dalam pelaksanaannya. Kemudian untuk tahapan pelaksanaan supervisi klinis juga sudah dilaksanakan dengan baik, hal-hal tersebut membawa dampak ketercapaian tujuan dalam supervisi klinis yang juga tercapai dengan baik.
Supervisi klinis yang diadakan di SD didasarkan pada pelaksanaan supervisi akademis. Supervisi klinis berdasarkan supervisi akademis ini juga dilakukan pada penelitian yang dilakukan oleh Anwar Sewang & Mustafa T (2020). Dengan supervisi akademik rutin, kepala sekolah dapat melihat masalah yang dialami masing-masing guru dalam pembelajaran. Saat supervisi akademis berlangsung, dari hasil observasi dapat dilihat, kompetensi mengajar apa yang masih perlu ditingkatkan. Dalam pelaksanaan supervisi akademik, kepala sekolah mengamati pembelajaran dari membuka pembelajaran, proses atau kegiatan inti pembelajaran sampai dengan kegiatan evaluasi dan penutup. Dalam pengamatan ini, kepala sekolah dapat mengetahui kemampuan guru yang perlu ditingkatkan. Selesai pengamatan dalam supervisi akademik, guru dan kepala sekolah akan mengadakan pertemuan empat mata untuk membahas pelaksanaan pembelajaran. Supervisi akademis perlu ditindak lanjuti dengan supervisi klinis, agar masalah yang dialami dalam pembelajaran dapat diberikan solusi yang tepat (Lina Handayani, 2020)
Pada tahap pemberian umpan balik kepala sekolah bertanya kepada guru tentang apa yang dirasakan guru, apakah guru telah puas dengan pembelajaran yang dilakukan.
Disini guru biasanya mengungkapkan perasaannya setelah disupervisi juga tingkat kepuasan guru setelah mengajar. Ada beberapa guru yang sudah puas dengan cara mereka mengajar dan ada juga yang belum puas terhadap pengajaran yang dilakukan. Jika ada guru yang belum puas terhadap pembelajaran yang dilakukan, kepala sekolah menindaklanjuti dengan pertanyaan tentang apa yang menjadi ketidak puasan guru dalam proses pembelajaran. Pada saat inilah guru mengungkapkan kesulitan atau masalah yang dihadapi saat mengajar. Hal tersebut menjadi informasi bagi kepala sekolah tentang masalah dan kesulitan yang dialami oleh guru.
Selain dengan cara tersebut, apabila ditemui guru yang sudah puas dengan cara mengajarnya, namun dari hasil observasi ditemukan bahwa masih ada hambatan guru dalam melaksanakan pembelajaran, maka kepala sekolah menunjukkan instrumen dan juga catatan selama observasi untuk menunjukkan kepada guru dimana letak kekurangannya, karena guru terkadang tidak menyadari adanya kekurangan dalam pembelajaran, kecuali melalui pengamatan yang dilakukan oleh orang lain. Kepala
sekolah mengungkapkan kelemahan dalam pembelajaran dengan kalimat yang baik sehingga tidak menyakiti guru tersebut. Setelah diperlihatkan instrumen dan catatan observasi, kepala sekolah mendiskusikan dengan guru, apakah hal tersebut memang menjadi masalah yang dialami oleh guru. Berdasarkan hal tersebut bisa ditentukan apakah akan diadakan supervisi lanjutan karena hal tersebut memang menjadi masalah atau bukan. Menentukan masalah yang disupervisi merupakan satu tahapan dalam rencana awal supervisi seperti yang dinyatakan oleh Acheson & Gall dalam Makawimbang (2011) Setelah supervisi akademik selesai dilakukan dan guru mengungkapkan kesulitan yang dialaminya, kemudian kepala sekolah menawarkan untuk mengadakan supervisi lanjutan. Dari sinilah proses supervisi klinis berlangsung. Supervisi klinis di SD memang tidak diberikan kepada semua guru, namun hanya dilakukan kepada beberapa guru yang mengalami kesulitan. Kepala sekolah menawarkan kepada guru untuk melakukan supervisi lanjutan agar masalah yang dialami guru tersebut dapat diatasi. Biasanya guru menerima untuk melakukan supervisi lanjutan atau lebih lanjut akan disebut supervisi klinis. Tahapan ini merupakan salah satu upaya membangun hubungan antara supervisor yaitu kepala sekolah dan guru (Cogan dalam Rohmatika, 2017)
Di SD biasanya memang supervisi klinis tidak berdasarkan permintaan guru, namun dari penawaran oleh kepala sekolah terlebih dahulu. Hal ini mungkin berkaitan dengan budaya Jawa yang merasa tidak enak jika meminta sesuatu. Kebanyakan guru tidak enak untuk meminta disupervisi karena kepala sekolah mempunyai banyak tugas sehingga takut mengganggu aktivitas kepala sekolah. Menurut pengamatan di lingkungan guru, memang masih jarang, bahkan tidak ada guru yang meminta untuk disupervisi. Hal ini dikarenakan kebanyakan guru tidak memahami tentang adanya supervisi klinis. Selain itu kebanyakan guru yang masih menganggap bahwa tujuan supervisi adalah untuk menilai guru. Guru belum memahami bahwa tujuan dari supervisi adalah untuk perbaikan proses pembelajaran yang akan berdampak pada penguasaan keterampilan siswa di kelas.
Selain itu, ada beberapa guru yang merasa terbebani dengan pelaksanaan supervisi karena harus menyiapkan perangkat dan merasa kurang leluasa dalam mengajar dan kurang percaya diri. Hal-hal tersebut menjadi hambatan dalam pelaksanaan supervisi klinis, namun bias diatasi dengan penawaran dari kepala sekolah. Hambatan-hambatan tersebut juga disebutkan dalam penelitian (Pranita et al., 2019) yang menyebutkan bahwa guru merasa tegang saat disupervisi. Dengan demikian, menawarkan kepada guru untuk dilakukan supervisi lanjutan terhadap masalah yang dialami memang dirasa lebih tepat daripada menunggu prakarsa dari guru untuk diberi supervisi klinis.
Setelah kepala sekolah dan guru menyepakati untuk dilakukan supervisi klinis, kepala sekolah bersama guru menentukan instrumen yang akan dipakai. Dalam melakukan supervisi akademik, kepala sekolah menggunakan instrumen IPKG 1 tentang keterampilan membuka pelajaran dan IPKG 2 tentang keterampilan proses pembelajaran.
Dari instrumen IPKG 1 dan 2 ini juga yang dipakai dalam melakukan supervisi klinis, namun hanya terfokus pada masalah yang dihadapi guru. Setelah pada supervisi akademik guru mengemukakan masalah yang dihadapi dan sepakat untuk melakukan supervisi klinis, instrumen dari IPKG yang dipakai lebih spesifik, misal guru hanya bermasalah dalam membuka pelajaran, maka pada IPKG, bagian membuka pelajaran dilingkari sebagai fokus masalah guru yang akan disupervisi klinis. Setelah instrumen supervisi klinis disepakati, kepala sekolah dan guru menentukan waktu observasi supervisi klinis.
Kegiatan ini sesuai tahapan yang diungkapkan oleh Cogan, yaitu merencanakan bersama guru dan merencanakan observasi (Rohmatika, 2017), juga seperti yang telah disebutkan
oleh Acheson & Gall dalam perencanaan awal yang meliputi kesepakatan dalam waktu dan instrumen (Makawimbang, 2011).
Tahapan berikutnya yaitu observasi supervisi klinis, dimana kepala sekolah masuk ke dalam ruang kelas untuk mengamati guru. Ini merupakan tahapan keempat yaitu pelaksanaan observasi (Cogan dalam Rohmatika, 2017). Pada saat observasi, kepala sekolah hanya mengamati bagian instrumen yang telah disepakati. Kepala sekolah mengamati aspek yang telah disepakati secara mendetail. Untuk memudahkan pengamatan, kepala sekolah juga membuat catatan selama observasi berlangsung.
Sebenarnya dalam supervisi klinis, pada saat pelaksanaan observasi, kepala sekolah juga dapat merekam video untuk menunjukkan kepada guru pembelajaran yang telah dilakukan juga respon siswa, sehingga guru bisa menganalisa dengan jelas kelebihan, kekurangan dan masalahnya dalam mengajar seperti yang dinyatakan Acheson & Gall pada tahap observasi (Makawimbang, 2011).
Setelah observasi dilaksanakan, kepala sekolah segera memberikan umpan balik dengan menanyakan tentang perasaan guru setelah dilakukan supervisi klinis dan tingkat kepuasan guru setelah melaksanakan pembelajaran. Dalam pertemuan balikan ini, kepala sekolah hanya membimbing guru, namun guru sendiri yang menganalisis pembelajaran yang dilakukan. Setelah guru menganalisis pembelajaran yang dilakukan, kepala sekolah menanyakan solusi untuk memperbaiki pembelajaran. Guru kemudian menyampaikan apa yang seharusnya dilakukan, kepala sekolah hanya membantu jika seandainya guru tersebut meminta bantuan terhadap masalahnya. Dari pertemuan balikan ini, kemudian kepala sekolah bersama guru mengambil kesimpulan dari supervisi yang telah dilakukan.
Jika pada observasi dirasa masih perlu diadakan supervisi lanjutan, maka kepala sekolah dan guru merencanakan pertemuan supervisi selanjutnya. Namun jika dari hasil supervisi dirasa sudah cukup, maka tidak diadakan pertemuan berikutnya. Pelaksanaan ini merupakan gabungan dari tahapan kelima dan ketujuh menurut Cogan dalam Rohmatika (2017), yaitu analisis proses pembelajaran dan pertemuan, melewati langkah keenam, merencanakan pertemuan, karena pertemuan ini langsung dilakukan .
Pada pertemuan balikan yang dilakukan, kepala sekolah berusaha menciptakan suasana yang intim dan terbuka, sehingga guru tidak merasa terbebani dalam mengungkapkan pikirannya. Suasana intim dan terbuka merupakan salah satu ciri supervisi klinis menurut La Sulo (Sohiron, 2015). Pada pertemuan ini, kepala sekolah juga tidak langsung menunjukkan guru terhadap kekurangannya, tapi mengajak guru untuk berdiskusi dan menganalisa pembelajaran yang telah dilakukannya sendiri, sehingga guru guru lebih reflektif terhadap pembelajaran yang dilakukan. Kemudian kepala sekolah juga menawarkan kepada guru solusi yang mungkin untuk mengatasi masalah yang dimilikinya secara demokratis, tidak memerintah guru secara otoriter untuk melakukan perbaikan dengan cara tertentu seperti yang dinyatakan oleh Sohiron (2015) tentang prinsip supervisi. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa orientasi supervisi yang dilakukan kepala sekolah adalah orientasi kolaboratif seperti yang telah disebutkan oleh Glickman dalam Nazarudin (2019)
Manfaat yang didapat dari supervisi klinis adalah menurunnya masalah atau hambatan yang dialami guru di dalam pembelajaran, terbukti dengan nilai IPKG yang semakin meningkat dan semakin sedikit guru yang harus diberi supervisi klinis. Manfaat tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Gusnilawati, 2021; Karmanto, 2018; Rokhani, 2020; Tanama et al., 2016; Wahyuni, 2021). Namun, walaupun supervisi klinis dapat meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, namun tak dipungkiri ada beberapa kendala yang dihadapi yaitu
kurangnya waktu dari kepala sekolah dalam pelaksanaan supervisi klinis. Terkadang waktu pelaksanaan supervisi klinis yang telah disepakati dengan guru tidak dapat terlaksana karena adanya tugas dadakan seperti rapat dan lain sebagainya yang harus dilakukan oleh kepala sekolah. Hal ini juga diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan Pranita et al. (2019) yang menyebutkan bahwa waktu supervisi klinis harus dibatalkan karena agenda lain.
SIMPULAN
Pelaksanaan supervisi klinis di SD dilaksanakan dengan tahapan: (1) melaksanakan supervisi akademik, (2) memberikan guru kesempatan untuk menemukan masalah dalam pembelajaran, (3) membuat kesepakatan supervisi klinis pada masalah yang ditemukan, (4) menentukan instrumen supervisi dan waktu pelaksanaan supervisi klinis, (5) kepala sekolah melakukan pengamatan di kelas berfokus pada masalah yang disepakati, (6) Kepala sekolah membuat catatan, (7) pertemuan balikan dengan menanyakan perasaan guru, kepuasan dalam melaksanakan pembelajaran dan guru merefleksi pembelajaran yang dilakukan. (8) kepala sekolah meminta guru mencari solusi dari masalahnya jika masih ada, dan (9) menentukan pertemuan berikutnya jika diperlukan. Selain supervisi klinis yang diadakan sebagai tindak lanjut supervisi akademis, kepala sekolah juga mengadakan supervisi klinis pada program induksi guru pemula.
Beberapa hambatan dalam pelaksanaan supervisi klinis di SD yaitu: (1) guru belum memahami tujuan supervisi, (2) tidak enak untuk meminta disupervisi, (3) guru tidak nyaman diawasi, (4) guru kurang percaya diri, dan (5) kesibukan kepala sekolah.
Supervisi klinis SD, bermanfaat dalam meningkatkan keterampilan mengajar guru dan mengatasi masalah yang dialami oleh guru.
Guru diharapkan dapat lebih terbuka tentang masalah yang dialami dan dapat menerima supervisi klinis sehingga meningkatkan pembelajaran. Penelitian ini masih terbatas dilakukan pada jenjang SD, maka dapat dilakukan penelitian untuk jenjang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Sewang, & Mustafa T. (2020). Peningkatan Teacher Skills melalui Supervisi Klinis dengan Pendekatan Kooperatif Learning. Indonesian Journal of Educational Science (IJES), 3(1), 49–68. https://doi.org/10.31605/ijes.v3i1.913
Erni C Ahmad, Abd Hamid Isa, & Mohammad Zubaidi. (2020). Pelaksanaan Supervisi Klinis Untuk Meningkatkan Kinerja Guru Dalam Mengelola Pembelajaran Di TK Dungaliyo Kabupaten Gorontalo. Gorontalo, 2(September), 207–218.
Fauziah, P. S., Kusdiana, A., & S, R. W. (2018). Analisis Kesulitan Guru dalam Penggunaan Media Pembelajaran Bahasa Indonesia. Indonesian Journal of Primary Education, 2(1), 106. https://doi.org/10.17509/ijpe.v2i1.13754
Fransiska, W., Ain, S. Q. (2022). KESULITAN GURU DALAM MENERAPKAN MODEL-MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN KURIKULUM 2013 DI SEKOLAH DASAR Universitas Islam Riau. Islam, Jurnal Pendidikan Vol, Multikulturalisme, 4(1), 309–320.
Gusnilawati, H. (2021). Pelaksanaan Supervisi Klinis Untuk Meningkatkan Proses Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. 9(1), 113–118.
https://doi.org/10.25273/jems.v9i1.8759
Karmanto. (2018). Supervisi Klinis: Peningkatan Kemampuan Guru dalam Mengajar Di Wilayah MI Binaan Kecamatan Semin Gunungkidul Semester I Tahun 2016/2017.
Jurnal Pendidikan Madrasah, 3(2), 379–391. http://ejournal.uin- suka.ac.id/tarbiyah/JPM/article/view/2149/1504
Kristiawan, M., Yuniarsih, Y., Fitria, H., & Refika, N. (2019). Supervisi Pendidikan.
Alfabeta.
Lina Handayani, S. (2020). Perbandingan Efektivitas Pelaksanaan Supervisi Akademik dan Supervisi Klinis Oleh Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru pada SMP 3 Bae Kudus. Edupsycouns, 2, 499–512.
Makawimbang, J. H. (2011). Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan. Alfabeta.
Masmin, D. N. (2020). Penerapan Supervisi Klinis Untuk Meningkatkan Komitmen Kerja Guru. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pendidikan, 4(1), 117.
https://doi.org/10.23887/jppp.v4i1.24985
Nazarudin, N. (2019). Pelaksanaan Supervisi Klinis Kepala Madrasah bagi Guru Pendidikan Agama Islam di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 2 Palembang. Noer Fikri.
Ningsih, H. S., Koryati, D., & Deskoni. (2016). Analisis Kesulitan Guru Dalam Menerapkan Pembelajaran Saintifik Pada Matapelajaran Ips Di Smp Negeri Kota Palembang. Profit, 3(2), 130–138.
Nurcholiq, M. (2018). Supervisi Klinis. Journal EVALUASI, 1(1), 1.
https://doi.org/10.32478/evaluasi.v1i1.62
Palobo, M., & Tembang, Y. (2019). Analisis Kesulitan Guru Dalam Implementasi Kurikulum 2013 Di Kota Merauke. Sebatik, 23(2), 307–316.
https://doi.org/10.46984/sebatik.v23i2.775
Pranita, U., Kurniah, N., & Suprapti, A. (2019). Pelaksanaan Supervisi Klinis Kepala Sekolah Pendidikan Anak Usia Dini Islam Terpadu Kota Bengkulu (Studi Deskriptif Kualitatif di PAUD IT Auladuna Kota Bengkulu). Jurnal Ilmiah Potensia, 3(1), 54–65. https://doi.org/10.33369/jip.3.1.54-65
Rohmatika, R. V. (2017). Model Supervisi Klinis Terpadu Untuk Peningkatan Kinerja Guru Madrasah Aliyah. IAIN Raden Intan.
Rokhani, C. T. S. (2020). Upaya Peningkatan Keterampilan Pengelolaan Kelas Melalui Supervisi Klinis pada Guru Kelas IV, V dan VI di SD Negeri Dengkek Pati.
EduPsyCouns: Journal of Education …, 2(1), 133–155. https://ummaspul.e- journal.id/Edupsycouns/article/view/495
Sari, S. I., Ngaba, A. L., Lalupanda, E. M., & Prastyo Aji, A. G. (2017). Pengendalian Dan Penjaminan Mutu Pengajaran Melalui Supervisi Klinis. Satya Widya, 33(1), 1.
https://doi.org/10.24246/j.sw.2017.v33.i1.p1-10
Sohiron. (2015). Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Kreasi Edukasi.
Sugiyono. (2019). Metode Penelitian Pendidikan (Kuantitatif, Kualitatif, Kombinasi, R&D dan Penelitian Tindakan). Alfabeta.
Tanama, Y. J., Supriyanto, A., Universitas, M. P., & Malang, N. (2016). Implementasi Supervisi Klinis Dalam. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, Dan
Pengembangan, 1(11), 2231–2235.
http://journal.um.ac.id/index.php/jptpp/article/view/8127/3697
Wahyuni, T. (2021). Supervisi Klinis oleh Kepala Sekolah guna Meningkatkan Kompetensi Guru dalam Mengelola Administrasi Kelas di SD Negeri 42 Ampenan.
Jurnal Paedagogy, 8(2), 264. https://doi.org/10.33394/jp.v8i2.3561