• Tidak ada hasil yang ditemukan

SPINAL CORD INJURY A.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SPINAL CORD INJURY A."

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

SPINAL CORD INJURY

A. Pengertian Spinal Cord Injury

Tulang belakang (vertebra) adalah tulang yang memanjang dari leher sampai ke selangkangan. Tulang vertebra terdiri dari 33 tulang, antara lain: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebra. Di dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian saraf-saraf, yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi saraf-saraf tersebut.

Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai servikal, torakalis dan lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dan sebagainya yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang belakang sehingga mengakibatkan defisit neurologis.

Spinal Cord Injury (SCI) adalah cedera yang terjadi karena trauma sumsum tulang belakang atau tekanan pada sumsum tulang belakang karena kecelakaan yang dapat mengakibatkan kehilangan atau gangguan fungsi baik sementara atau permanen di motorik normal, indera, atau fungsi otonom serta berkurangnya mobilitas atau perasaan (sensasi).

Spinal cord injury terjadi ketika sesuatu (tulang atau benda asing lain) masuk atau mengenai spinal cord dan merusakkan spinal cord atau suplai darah.

B. Klasifikasi Spinal Cord Injury

American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan Internasional Medical Society Of Paraplegia (IMSOP) telah mengembangkan dan mempublikasikan standart internasional untuk klasifikasi fungsional dan neurologis cedera medula spinalis.

Klasifikasi ini berdasarkan pada Frankel pada tahun 1969. Klasifikasi ASIA/ IMSOP dipakai di banyak negara karena sistem tersebut dipandang akurat dan komperhemsif. Skala kerusakan menurut ASIA/ IMSOP adala sebagai berikut:

Grade (A) Fraktur komplit. Tidak ada fungsi motorik maupun sensorik di seluruh segmen dermatom dari titik lesi hingga S4-S5.

Grade (B) Fraktur inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi (termasuk segmen S4-S5) terganggu, namun fungsi sensorik masih berjalan dengan baik.

Grade (C) Fraktur inkomplit. Fungsi motorik di bawah lesi masih berfungsi dan mayoritas otot-otot penting dibawah lesi memiliki nilai kurang dari 3.

Grade (D) Fraktur Inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi dan mayoritas otot-otot penting memiliki nilai lebih dari 3.

Grade (E) Normal. Fungsi motorik dan sensorik normal.

Cedera umum medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplit berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Terdapat 5 sindrom

(2)

utama cedera medula spinalis inkomplet menurut American Spinal Cord Injury Association yaitu :

(1) Central Cord Syndrome (2) Anterior Cord Syndrome (3) Brown Sequard Syndrome (4) Cauda Equina Syndrome (5) Posterior Cord Syndrome

Nama Sindroma Pola dari lesi saraf Kerusakan Central cord syndrome Cedera pada posisi

sentral dan sebagian daerah lateral.

Sering terjadi pada trauma daerah servikal

Menyebar ke daerah sacral.

Kelemahan otot

ekstremitas atas lebih berat dari ekstremitas bawah.

Brown- Sequard Syndrome

Cedera pada sisi anterior dan posterior dari medula spinalis.

Cedera akan

menghasilkan

gangguan medulla spinalis unilateral

Kehilangan proprioseptif dan kehilangan fungsi motorik secara ipsilateral

Anterior cord syndrome Kerusakan pada anterior dari daerah putih dan abu- abu medulla spinalis

Kehilangan funsgsi motorik dan sensorik secara komplit.

Posterior cord syndrome Kerusakan pada posterior dari daerah putih dan abu- abu medulla spinalis

Kerusakan proprioseptif diskriminasi dan getaran.

Fungsi motorik juga terganggu

Cauda equine syndrome Kerusakan pada saraf lumbal atau sacral sampai ujung medulla spinalis

Kerusakan sensori dan lumpuh flaccid pada ekstremitas bawah dan kontrol berkemih dan defekasi.

Selain itu, Spinal Cord Injury juga dibagi menjadi 3 fase yaitu:

(3)

1) Fase akut / spinal shock ( 2-3 minggu ), cirinya : a. Gangguan motorik

Bila terjadi pada daerah cervical maka kelumpuhan terjadi pada ke empat extremitas yang disebut tetraplegi, sedangkan pada lesi di bawah daerah cervical akan terjadi kelumpuhan pada anggota gerak bawah yang disebut paraplegi.

b. Gangguan sensorik

Sensasi yang terganggu sesuai dengan deramtom di bawah lesi, hal yang terganggu berupa sensasi raba, sensasi nyeri, sensasi temperatur ataupun sensasi dalam.

c. Gangguan fungsi autonom (bladder, bowel, dan seksual )

Di sini bisa terjadi gangguan pengosongan kandung kemih dan saluran pencernaan, fungsi seksual, fungsi kelenjar keringat dan juga tonus pembuluh darah di bawah lesi. Pada fase ini urine akan terkumpul di dalam kandung kemih sampai penuh sekali dan baru dapat keluar apabila sudah penuh.

d. Gangguan respirasi (tergantung letak lesi )

Dapat terjadi gangguan respirasi jika terletak lesi yang terkena level C4 yaitu cabang dari C4 adalah keluarnya n.prenicus yang mempersarafi tractus respiratorius, jika terkena maka diafragma pasien tidak akan bekerja secara maksimal sehingga dapat terkena gangguan pernafasan.

e. Hipotensi orthostatik

Tidak adanya tonus otot di daerah abdomen dan extremitas inferior menyebabkan darah terkumpul di daerah tersebut, akibatnya terjadi penurunan tekanan darah. Problem ini timbul pada saat pasien bangkit dari posisi terlentang ke posisi tegak atau perubahan posisi tubuh yang terlalu cepat. Hal ini terjadi pada pasien yang bed rest lama dan endurancenya menurun.

2). Fase sub akut / recovery (3 minggu – 3 bulan) Dibagi dalam kriteria:

a. Kriteria 1

Komplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik, motorik, vegetatif, flacciditas dan arefleksia.

b. Kriteria 2

Komplit lesi UMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik, motorik, vegetatif, spastik, dan hiperrefleksia.

c. Kriteria 3

(4)

Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi sensorik/ motorik/ vegetatif, lalu ada hiporefleksia dan hipotonus.

d. Kriteria 4

Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi sensorik/motorik, vegetatif, lalu ada hiperrefleksia, dan spastis.

3). Fase kronik (di atas 3 bulan)

Cirinya apabila setelah fase recovery kondisi pasien menjadi complete / incomplete maka akan timbul gambaran klinis lain, yaitu :

Setelah fase recovery kondisi pasien complete/ incomplete vital sign pasien menurun dan autonomic dysrefleksia, yaitu suatu kondisi yang berlebihan pada sistem autonom. Fenomena ini tampak pada cedera medula spinalis di atas Th6. Hal ini disebabkan aksi relatif dari sistem saraf otonom sebagai respon dari beberapa stimulus, seperti kandung kemih, fesces yang mengeras (konstipasi), iritasi kandung kemih, manipulasi rectal, stimulus suhu atau nyeri dan distensi visceral. Tandanya yaitu hipertensi mendadak, berkeringat, kedinginan, muka memerah, dingin dan pucat dibawah level lesi, hidung buntu, sakit kepala, pandangan kabur, nadi cepat lalu menjadi lambat.

C. Gejala Spinal Cord Injury

Spinal Cord Inury mempunyai gambaran klinik yang berbeda-beda tergantung letak lesinya. Pasien dengan cedera medulla spinalis dapat merasakan nyeri yang hebat atau mati rasa pada area-area tertentu pada tubuhnya. Selain itu, cedera tulang belakan dapat menyebabkan gangguan kontrol otot seperti tidak terkontrol, melemah, sampai tidak dapat digerakkan. Selain itu, dapat juga ditemui adanya gangguan fungsi otot autonom sehingga pasien tidak dapat menahan BAB maupun BAK.

Pada cedera medulla spinalis terutama cedera cervical, gejala-gejala yang timbul antara lain:

Cedera pada segmen C1-C2 menyebabkan gangguan bernafas Cedera pada segmen C3 menyebabkan gangguan fungsi diafragma

Cedera pada segmen C4 menyebabkan hilangnya fungsi otot bisep dan bahu

Cedera pada segmen C5 menyebabkan hilangnya gerakan pergelangan tangan dan telapak tangan

Cedera pada segmen C6 menyebabkan berkurangnya kontrol pergelangan tangan dan kehilangan fungsi telapak tangan

Cedera pada segmen C7 menyebabkan berkurangnya fungsi jari-jari

(5)

D. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto Polos Vertebra

Merupakan langkah awal untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang melibatkan medula spinalis, kolumna vertebralis dan jaringan di sekitarnya. Pada trauma servikal digunakan foto AP, lateral, dan odontoid. Pada cedera torakal dan lumbal digunakan foto AP dan lateral.

2. CT-scan Vertebra

Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan jaringan lunak, struktur tulang, dan kanalis spinalis dalam potongan aksial. CT-Scan merupakan pilihan utama untuk mendeteksi cedera fraktur pada tulang belakang.

3. MRI Vertebra

MRI dapat memperlihatkan seluruh struktur internal medula spinalis dalam sekali pemeriksaan.

E. Rehabilitasi Medis pada Spinal Cord Injury

Rehabilitasi medis pada Spinal Cord Injury dibagi menjadi 3 yaitu:

1. Fase akut a. Positioning

Positioning dapat dilakukan oleh perawat maupun fisioterapis, terutama jika pasien hanya mampu bergerak dengan bantuan orang lain. Positioning diperlukan untuk mengatur posisi anggota gerak agar tidak terjadi deformitas maupun timbulnya kelainan lain seperti decubitus.

b. Latihan gerak pasif.

Latihan gerak pasif harus dilakukan pada semua sendi pada anggota gerak yang mengalami plegi. Pada lesi di lumbal yang harus diperhatikan adalah saat menggerakkan hip jangan sampai spine juga ikut bergerak. hal yang sama juga perlu diperhatikan saat menggerakkan anggota gerak atas bila lesi terdapat pada cervical.

c. Chest terapi

Chest terapi dilakukan pada pasien-pasien dengan gangguan nafas atau penyakit paru kronik. Pasien dengan tetraplegi memerlukan chest terapi karena dapat terjadi atopi pada otot-otot intercostalis.

d. Exercise

1) Paraplegi : Latihan penguatan untuk anggota gerak atas dilakukan seawal mungkin 2) Tetraplegi : Gerakan aktif pada anggota gerak atas dilakukan pada posisi yang tidak mengganggu posisi cervical.

(6)

2. fase pemulihan a. Paraplegia 1) Sitting balance

Walau terjadi gangguan sensasi pada bagian bawah tubuh, namun sitting balance bisa dicapai. Pasien dapat belajar untuk menggunakan sensasi pada bagian atas tubuh dan menggunakan pandangan dengan lebih intensif. Ada banyak metode yang dapat digunakan dalam melatih balance.

2) Mobilisasi dengan kusi roda

Kursi roda yang digunakan bisa berupa kursi roda manual ataupun kursi roda elektrik. Penggunaan kursi roda ini sangat penting bagi pasien untuk dapat bergerak dan membangun kemandirian. Pasien dengan kursi roda manual dapat berlatih untuk mengoperasikan kursi rodanya pada jalan yang menanjak atau menurun serta pada jalan yang ada tangganya.

3) Transfer

Pada saat awal pasien dapat diajarkan untuk miring kanan dan miring kiri dan duduk di atas tempat tidur. Lalu dapat dilanjutkan untuk berpindah dari tempat tidur ke kursi roda dan sebaliknya.

4) Perawatan diri

Perawatan diri harus dimulai saat awal terapi. Pasien harus diajarkan untuk mengurangi tekanan-tekanan pada bagian tubuhnya (dudukannya) setiap 10 – 15 menit, sehingga selanjutnya hal tersbut dapat menjadi suatu reaksi yang otomatis. Pasien juga harus diajarkan cara mengobservasi daerah yang tertekan, atau bila areanya tidak dapat terlihat oleh pasien, maka harus ada orang lain yang dapat mengobservasinya.

Pasien diajarkan untuk melatih gerakan pasif sendiri dan melaporkan kepada terapis bila ada gerakan yang sulit dilakukan. Pasien diajarkan untuk melakukan beberapa kegiatan fungsional yang mungkin untuk dilakukannya, seperti berpakaian dan mandi.

5) Penguatan anggota gerak atas

(7)

Hal ini dapat dilakukan pada matras atau kursi roda. Untuk memulai latihan, pasien dapat menggunakan tahanan secara manual. Selanjutnya pasien dapat menggunakan paralatan dengan beban atau dengan menggunakan beban berat badannya sendiri. Selain itu pasien dapat melakukan olah raga untuk meningkatkan kekuatan otot ekstemitas.

6) Latihan berdiri dan berjalan

Seperti saat latihan duduk, pasien harus diajarkan untuk mengkompensasi sensoris yang hilang pada tubuh bagian bawah. Untuk dapat berdiri dan berjalan pasien akan membutuhkan beberapa orthosis atau dengan menggunakan kruk, tergantung level lesi yang terkena dan kondisi pasien.

7) Kemandirian

Untuk seorang muda yang menderita paraplegia, kemungkinan besar ia akan dapat hidup secara mandiri dan dapat kembali bekerja. Modifikasi pekerjaan mungkin diperlukan apabila pekerjaannya yang lama tidak dapat dilakukan dengan nyaman pada kondisinya saat ini. Hal yang penting adalah bahwa persiapan untuk hidup mandiri harus dilakukan sejak awal program terapi.

b. Tetraplegia

Walaupun beberapa tujuannya sama, pada kondisi tetraplegia dibutuhkan waktu yang lama dan akan lebih sulit untuk mencapai target terapi. Salah satu masalah yang timbul pada SCI yang lebih tinggi adalah adanya hipotensi postural yang timbul akibat hilangnya kontrol vasomotor. Pasien dapat diajarkan untuk beradaptasi dengan perubahan posisi, dan mereka harus mengenali tanda-tanda bila ia akan pingsan.

Kursi roda yang akan digunakan memerlukan adaptasi, seperti sandaran yang tinggi. Pada kondisi pasien dengan lesi pada cervical bawah, pasien mampu untuk transfer, namun pada lesi cervical atas, akan memerlukan bantuan untuk transfer.

Pada pasien dengan tetraplegi, tidak mudah untuk melakukan perawatan diri, tapi pasien harus mampu mengetahui apa yang ia butuhkan dan tahu kapan ia harus memerlukan bantuan dari orang lain. Derajat kemandirian yang dapat dicapai oleh

(8)

seorang dengan tetraplegi tidak akan setinggi penderita paraplegia, sehingga ia harus diperiksa dengan hati-hati.

3. Evaluasi

Evaluasi dapat dilakukan secara berkala, dimana tujuan dari evaluasi ini adalah untuk mengetahui apakah terapi yang kita berikan bermanfaat atau berguna bagi penyembuhan pasien ataukah harus diubah jika ada perubahan terhadap penyembuhan masalah yang dihadapi pasien.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini ditunjukan pada temperatur 1200°C, dengan reduktor arang kayu dan waktu reduksi 2 jam menghasilkan sponge iron dengan persen metalisasi sebesar 97,43% lebih tinggi dibanding

Dan untuk proses perancangan suatu ruang terbuka perlu juga memperhatikan delapan kriteria tersebut diatas secara integral didalam perancangan kawasan kota sehingga

Sesuai dengan tugas pokok dimaksud, Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pekalongan merencanakan pelayanan kepegawaian untuk tahun 2011 – 2016 terhadap Pegawai Negeri Sipil

Pesatnya perkembangan media sosial juga dikarenakan semua orang seperti bisa memiliki Pesatnya perkembangan media sosial juga dikarenakan semua orang seperti bisa memiliki

Penelitian kualitatif menempatkan peneliti sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor konstektual, untuk itu jumlah sumber data atau nara sumber dalam penelitian kualitatif

Sebagai sarana penunjangnya, maka lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan pondok pesantren Ta'sisut Taqwa bergabung dengan lembaga pendidikan Ma'arif pada tahun 1986, 2

Ketoprofen tersalut gel kitosan- alginat dengan agen pengikat silang glutaraldehid, jumlah pelepasan ketoprofen pada menit ke-15 dari medium lambung dan usus

Fatkhiyatul Inayah. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2015. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: 1) media pembelajaran