• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PARIWISATA DAN WISATA MINAT KHUSUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PARIWISATA DAN WISATA MINAT KHUSUS"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

7 BAB I

PARIWISATA DAN WISATA MINAT KHUSUS

A. Pariwisata

Pariwisata telah didefinisikan oleh banyak ahli dan lembaga. Salah satu lembaga atau badan pariwisata dunia yang bernama United Nation World Tourism Organization (UNWTO) menyebutkan bahwa pariwisata merupakan suatu kegiatan manusia yang melakukan perjalanan ke dan tinggal di daerah tujuan di luar lingkungan kesehariannya (World Tourism Organization, 2008).

Selain itu juga disebutkan bahwa pariwisata merupakan fenomena sosial, budaya dan ekonomi yang berkaitan dengan perjalanan orang dari negara atau tempat di luar tempat tinggal mereka untuk tujuan pribadi atau bisnis. Orang-orang yang melakukan perjalanan tersebut dinamakan pengunjung atau wisatawan. Pariwisata juga berkaitan dengan kegiatan yang mereka lakukan di daerah tujuan wisata yang menyebabkan adanya pengeluaran pariwisata.

Pariwisata adalah kegiatan perjalanan yang dapat berkontribusi pada penciptaan atau peningkatan kesejahteraan (UNWTO, 2018).

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupaten/ Kota). Pariwisata merupakan bagian dari domain yang lebih luas, yakni kepariwisataan. Di dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisatan).

Mathieson & Wall (1982) mendefinisikan pariwisata sebagai serangkaian aktivitas berupa aktivitas perpindahan orang untuk sementara waktu ke suatu tujuan di luar tempat tinggal maupun tempat kerjanya yang biasa, aktivitas yang dilakukannya selama tinggal di tempat tujuan tersebut, dan kemudahan-

(6)

8 kemudahan yang disediakan untuk memenuhi kebutuhannya baik selama dalam perjalanan maupun di lokasi tujuannya. Pengertian lain tentang pariwisata disebutkan oleh Suwena dan Widyatmaja (2017) yang menggarisbawahi bahwa pariwisata memiliki peran penting dalam pembangunan perekonomian nasional. Selama ini pariwisata terbukti telah mampu memberikan peluang kerja dan menguragi pengangguran, meningkatkan penerimaan pajak dan retribusi daerah, meningkatkan pendapatan nasional (national income), memperkuat posisi neraca pembayaran (net balance payment), serta memberikan multiplier effect atau efek ganda kepada perekonomian destinasi atau daerah tujuan wisata.

Berkaitan dengan pengembangan pariwisata International Union of Official Travel Organization (IUOTO) merekomendasikan agar pariwisata dapat dikembangkan sebagai suatu faktor pengembangan perekonomian nasional dan internasional, sebagai landasan pengembangan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan sarana komunikasi, transportasi, akomodasi, dan jasa pelayanan lainnya. Pariwisata telah bermanfaat sebagai penggerak, pemicu, dan pendukung upaya pelestarian budaya dan nilai-nilai sosial agar memiliki nilai ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, pariwisata juga diharapkan dapat menjadi alat untuk menghasilkan devisa dan pendongkrak perdagangan internasional (Suwena& Widyatmaja, 2017).

Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia kata Wisata berasal dari bahasa Jawa Kuno yang tergolong kata verbal (kata kerja) dan bermakna, (1) berpergian bersama-sama (untuk memperluas pengetahuan, bersenang-senang, dsb), dan (2) piknik.

Wisatawan, sering juga disebut turis ialah orang yang berpergian untuk tujuan tertentu. Dari kata wisata juga terbentuk kata Pariwisata sebagai padanan kata bahasa inggris tourism. Kata pari dalam bahasa jawa kuno bermakna ‘semua’, ‘segala’, ‘sekitar’, atau

‘sekeliling’. Maka pariwisata dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan pariwisata (Sulastiyono, 2016).

Pariwisata merupakan salah satu mesin penggerak perekonomian dunia yang terbukti mampu memberikan kontribusi terhadap kemakmuran suatu negara. Pembangunan pariwisata mampu menggairahkan aktivitas bisnis untuk menghasilkan manfaat sosial, budaya, dan ekonomi yang signifikan bagi suatu negara. Ketika pariwisata direncanakan dengan baik, mestinya akan

(7)

9 dapat memberikan manfaat bagi masyarakat pada sebuah destinasi.

Keberhasilan pariwisata terlihat dari penerimaan pemerintah dari sektor pariwisata dapat mendorong sektor lainnya untuk berkembang. Keberhasilan yang paling mudah untuk diamati adalah bertambahnya jumlah kedatangan wisatawan dari periode ke periode. Pertambahan jumlah wisatawan dapat terwujud jika wisatawan yang telah berkunjung puas terhadap destinasi dengan berbagai atribut yang ditawarkan oleh pengelolanya.

Wisatawan yang puas akan cenderung menjadi loyal untuk mengulang liburannya dimasa mendatang, dan memungkinkan mereka merekomen teman-teman, dan kerabatnya untuk berlibur ke tempat yang sama. Fenomena yang terjadi pada tren pariwisata, khususnya di dunia saat ini adalah pesatnya pertumbuhan wisata kota. Dari perspektif ekonomi, dampak positif pariwisata (kasus: pariwisata Bali-Indonesia) yaitu: (1) mendatangkan devisa bagi negara melalui penukaran mata uang asing di daerah tujuan wisata, (2) pasar potensial bagi produk barang dan jasa masyarakat setempat, (3) meningkatkan pendapatan masyarakat yang kegiatannya terkait langsung atau tidak langsung dengan jasa pariwisata, (4) memperluas penciptaan kesempatan kerja, baik pada sektor-sektor yang terkait langsung seperti perhotelan, restoran, agen perjalanan, maupun pada sektor-sektor yang tidak terkait langsung seperti industri kerajinan, penyediaan produk-produk pertanian, atraksi budaya, bisnis eceran, jasa-jasa lain dan sebagainya, (5) sumber pendapatan asli daerah (PAD), dan (6) merangsang kreaktivitas seniman, baik seniman pengrajin industri kecil maupun seniman

‘tabuh’ dan tayang diperuntukkan konsumsi wisatawan (Som dan Badarneh, 2011).

Camilleri (2018) menyebutkan bahwa pariwisata terdiri atas beberapa elemen pokok. Dalam kontek mengapa seseorang melakukan perjalanan wisata terdapat beberapa persyaratan mendasar yang diharapkan oleh wisatawan dari destinasi yang dikunjungi. Elemen pokok yang merupakan persyaratan mendasar yang harus ada di destinasi wisata tersebut diberi nama komponen 5A, yakni akses, akomodasi, atraksi, aktivitas, dan amenitas atau fasilitas. Berikut adalah penjelasan tentang masing-masing elemen tersebut.

(8)

34 BAB II

PARIWISATA KESEHATAN

A. Pariwisata Kesehatan

Pariwisata kesehatan merupakan fenomena yang relatif baru yang berkembang dalam dua dekade terakhir. Hal tersebut disampaikan oleh Padilla-Melendez (2016) dengan menggarisbawahi pendapat García-Altés (2005), Kaspar (1990), dan Reisman (2010). Selain itu juga terdapat beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa tren pariwisata kesehatan pada awalnya didorong oleh orang-orang yang mencari alternatif pengelolaan kesehatan dengan biaya yang lebih murah. Namun demikian, prosedur kesehatan yang lebih penting (seperti operasi katup jantung atau transplantasi lutut) ditawarkan dan dipertimbangkan di beberapa negara tujuan seperti Thailand, Singapura, India, Taiwan (Padilla-Meléndez, 2016).

Menurut United Nations World Tourism Organization pariwisata kesehatan merupakan salah satu jenis kegiatan pariwisata yang memiliki tujuan utama untuk berkontribusi terhadap kesehatan fisik, mental dan / atau spiritual melalui kegiatan medis berbasis kebugaran yang dititikberatkan pada upaya untuk meningkatkan kapasitas individu guna memenuhi kebutuhannya sehingga dapat mewujudkan perkembangan individu yang lebih baik di lingkungan dan masyarakat (UNWTO, 2018).

Pariwisata kesehatan adalah istilah yang mencakup semua yang berkaitan dengan medis, kesehatan, olahraga / kebugaran, petualangan, atau jenis perjalanan transformasional yang meningkatkan kesejahteraan seseorang (Bushel dan Sheldon dalam Padilla-meléndez, 2016). Mahdavi (2013) menyebutkan bahwa pariwisata kesehatan adalah perjalanan yang direncanakan ke tempat lain untuk memelihara dan memulihkan kesehatan fisik atau mental. Terdapat beberapa jenis wisata kesehatan termasuk wisata medis, wisata pemulihan, dan wisata preventif. Wisata kesehatan adalah salah satu pilihan bagi mereka yang mendambakan kesehatan dan kesejahteraan yang lebih dan untuk mencapainya sesekali perlu meninggalkan kehidupan sehari-hari yang penuh tekanan. Pembangunan wisata kesehatan dapat menjadi bagian dari strategi nasional untuk memanfaatkan secara optimal kapasitas

(9)

35 nasional guna memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dan membangun ketahanan nasional yang tinggi. Sebagai segmen baru pariwisata, pasar pariwisata kesehatan telah diakui sebagai salah satu industri yang menguntungkan dan kompetitif di seluruh dunia.

Di tingkat makro, negara tertarik untuk menikmati keuntungan ekonomi dari industri ini. Hal ini memicu persaingan yang ketat di antara negara-negara berkembang Asia untuk menarik lebih banyak wisatawan. Di sisi lain, pariwisata kesehatan lebih berkembang pesat di negara berkembang yang berakar pada tren globalisasi dan kebijakan pintu terbuka ekonomi di bidang pelayanan kesehatan.

Pariwisata memiliki hubungan fungsional dengan beberapa aspek dalam kehidupan manusia, termasuk kesehatan. Pariwisata memiliki peran dalam menunjang terbangunnya kesehatan seseorang, mulai dari menyehatkan badan secara fisik melalui berbagai kegiatan wisata olah raga (sport tourism activities) dan menyegarkan jiwa dengan mengunjungi lokasi wisata yang memiliki pemandangan indah, suasana damai, dan udara segar. Di samping itu, upaya membangun kesehatan yang disinergikan dengan pariwisata juga dapat berupa kedatangan wisatawan ke lokasi wisata yang menawarkan berbagai produk herbal berupa minuman dan makanan tradisional. Sumber daya alam berupa tanaman berkhasiat obat memiliki peran penting untuk membangun kesehatan seseorang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata herbal memiliki arti nama jenis tumbuhan yang mempunyai batang basah karena banyak mengandung air dan tidak memiliki kayu; (sifat-sifat) yang berkaitan dengan herbal (Wirawan, 2016).

Dalam hal ini pariwisata kesehatan lebih banyak menitikberatkan pada kasus-kasus kuratif bagi orang-orang yang telah memiliki problem kesehatan. Dalam upaya mencari solusi bagi penyembuhan penyakitnya banyak wisatawan pergi ke tempat atau negara lain untuk berobat, melakukan operasi, maupun bentuk pengobatan lainnya. Jenis wisata kesehatan dengan konsep seperti ini telah berkembang cukup lama, termasuk kepergian orang-orang ke suatu Negara untuk melakukan bedah kosmetika. Di sisi lain terdapat kegiatan wisata yang juga bermanfaat untuk menunjang kesehatan namun dilakukan dengan basis preventif. Sebelum mengalami sakit banyak orang berupaya untuk melakukan pencegahan dengan melakukan gaya hidup sehat. Gaya hidup sehat dapat dilakukan dengan mengatur makanan dan minuman yang

(10)

36 dikonsumsi, baik dalam kontek sehari-hari di rumah maupun pada saat melakukan kegiatan wisata. Kesehatan berfokus pada pendekatan holistik, mulai dari segala tindakan pencegahan penyakit, menumbuhkan tanggung jawab diri terhadap kesehatan dan kesejahteraan diri guna manjaga keseimbangan fisik (tubuh), mental (pikiran), sosial, dan spiritual (roh) tubuh (WHO dalam Blazevic, 2016).

Hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok, yakni kesehatan jasmani, kesehatan psikologis, kesehatan sosial, dan kesehatan spiritual. Kesehatan jasmani berkaitan dengan kebugaran secara fisik, mempunyai kekuatan fisik, dan tidak melukai diri sendiri selama beraktivitas. Kesehatan psikologis berkaitan dengan kebahagiaan, kepercayaan diri, nilai atau tujuan hidup, dan memiliki cara berpikir yang positif. Kesehatan sosial termasuk keterlibatan interpersonal dan bantuan yang sesuai untuk keluarga dan teman. Sedangkan kesehatan spiritual masih erat kaitannya dengan kesehatan mental atau pikiran yang dipenuhi melalui bentuk pendekatan spiritual seperti pembersihan hati dari segala perasaan iri, dengki, keserakahan, dan lain sebagainya (Lee, Han

&Ko, 2020).

Sebagai salah satu stream baru dalam pariwisata, pariwisata kesehatan (health tourism) telah diakui sebagai salah satu industri yang menguntungkan dan kompetitif di seluruh dunia. Di tingkat makro, negara tertarik untuk menikmati keuntungan ekonomi dari industri ini. Hal ini memicu persaingan yang ketat di antara negara- negara untuk menarik lebih banyak wisatawan melalui jenis wisata kesehatan. Menurut WTO, nilai bisnis jasa bidang kesehatan pada tahun 2001 adalah sekitar 1,4 triliun dolar (25% dari bisnis dunia) dan angka ini diperkirakan mencapai 50% dari volume bisnis dunia.

Menurut Arisanti (2016) mengemukakan adanya dua definisi pariwisata kesehatan. Definisi pertama dikutip dari Smith

& Puczkó (2015) yang mengatakan bahwa pariwisata kesehatan adalah bentuk pariwisata yang berpusat pada kesehatan fisik, serta meningkatkan kesejahteraan mental dan spiritual, dan meningkatkan kapasitas individu untuk memenuhi kebutuhan dan fungsinya menjadi lebih baik bagi lingkungan dan masyarakat.

Definisi yang kedua dikutip dari Goodrich (1987) yang

(11)

63 BAB III

BIOFARMAKA

A. Pengertian Biofarmaka

Biofarmaka atau tanaman obat adalah jenis-jenis tanaman yang memiliki fungsi dan khasiat sebagai obat dan dipergunakan untuk penyembuhan atau pun pencegahan berbagai penyakit (Sarno, 2019). Tanaman biofarmaka adalah tanaman yang bermanfaat untuk obat-obatan, kosmetik, dan kesehatan yang dikonsumsi atau digunakan dari bagian-bagian tanaman seperti daun, batang, bunga, buah, umbi (rimpang) ataupun akar (Hemani, 2011). Berkhasiat obat mempunyai arti mengandung zat aktif yang bisa mengobati penyakit tertentu atau jika tidak memiliki kandungan zat aktif tertentu tapi memiliki kandungan efek resultan/sinergi dari berbagai zat yang mempunyai efek mengobati.

Penggunaan tanaman obat sebagai obat bisa dengan cara diminum, ditempel, dihirup sehingga kegunaannya dapat memenuhi konsep kerja reseptor sel dalam menerima senyawa kimia atau rangsangan tanaman obat (biofarmaka) yang dapat digunakan sebagai obat, baik yang sengaja ditanam maupun tumbuh secara liar. Tumbuhan tersebut digunakan oleh masyarakat untuk diracik dan disajikan sebagai obat guna penyembuhan penyakit. Tumbuhan obat merupakan salah satu ramuan paling utama produk-produk obat herbal. Tanaman obat adalah bahan yang berasal dari tanaman yang masih sederhana, murni, belum diolah. Tanaman obat adalah tanaman atau bagian tumbuhan yang digunakan menjadi bahan obat tradisional atau obat herbal, bagian tanaman yang dipakai untuk bahan pemula bahan baku obat. Tanaman atau bagian tanaman yang diekstraksi dan ekstrak tumbuhan tersebut dipakai sebagai obat. Tanaman obat adalah obat tradisional yang terdiri dari tanaman-tanaman yang mempunyai khasiat untuk obat atau dipercaya mempunyai khasiat sebagai obat. Di mana khasiatnya diketahui dari hasil penelitian dan pemakaian oleh masyarakat (Sarno, 2019).

B. Jenis Biofarmaka

Tanaman biofarmaka dibedakan menjadi dua kelompok:

Tanaman biofarmaka rimpang yang terdiri dari; jahe,

(12)

64 laos/lengkuas, kencur, kunyit, lempuyang, temulawak, temuireng, temukunci dan dlingo/dringo, dan tanaman biofarmaka non rimpang seperti kapulaga, mengkudu/pace, mahkota dewa, kejibeling, sambiloto dan lidah buaya. Tanaman biofarmaka dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) kategori, yakni jamu, obat herbal terstandar (OHT), dan fitofarmaka (Hemani, 2011). Jamu merupakan bahan obat alam yang sediaannya masih berupa simplisia sederhana seperti irisan rimpang, daun atau akar kering.

Khasiat dan keamanan jamu baru terbukti secara empiris setelah penggunaan secara turun temurun. Sebuah ramuan disebut jamu apabila telah digunakan oleh masyarakat setidaknya lebih dari tiga generasi. Apabila umur satu generasi rata-rata 60 tahun maka sebuah ramuan bisa disebut jamu apabila telah bertahan minimal selama 180 tahun. Jamu berupa ramuan bahan alami yang digunakan dalam pengobatan untuk menjaga kesehatan. Khasiat jamu sudah diyakini secara turun temurun. Saat ini produk jamu banyak beredar dalam bentuk serbuk atau kapsul. Pihak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan standar untuk produksi obat tradisional (jamu) yang dikenal dengan CPOTB (cara pembuatan obat tradisional yang baik).

Obat herbal terstandar (OHT) pada dasarnya adalah jamu yang telah dinaikkan statusnya dengan syarat bentuk sediaannya berupa ekstrak dengan bahan dan proses pembuatan yang terstandarisasi. Dengan demikian obat herbal terstandar adalah obat herbal berbahan baku alami dimana bahan bakunya telah distandarisasi dan telah ada pembuktian keamanan dan khasiatnya secara ilmiah melalui uji praklinik, seperti uji toksisitas (keamanan), kisaran dosis, farmakodinamik (kemanfaatan), terautogenik (keamanan terhadap janin). Uji toksisitas berupa uji toksisitas akut, uji toksisitas subkronis, dan uji toksisitas kronis. Uji khasiat dilakukan terhadap hewan uji yang secara fisiologi dan anatomi dianggap hampir sama dengan manusia. Uji praklinis juga meliputi riset in vivo dan in vitro. Riset in vivo dilakukan terhadap hewan uji seperti mencit, tikus ratus-ratus galur, kelinci atau hewan uji lain. Sedangkan riset in vitro dilakukan pada sebagian organ yang terisolasi, kultur sel atau mikroba. Setelah terbukti aman dan berkhasiat, bahan herbal tersebut berstatus herbal terstandar.

Namun, herbal terstandar belum dapat diklaim sebagai obat.

(13)

65 Fitofarmaka adalah obat herbal terstandar yang telah dinaikkan statusnya melalui uji klinis pada manusia. Pada proses pembuatan fitofarmaka dosis dari hewan coba dikonversi ke dosis aman bagi manusia. Dari uji itu lah dapat diketahui kesamaan efek pada hewan coba dan manusia. Uji klinis fitofarmaka terdiri atas single center dan multi center. Uji klinis single center dilakukan di laboratorium penelitian, sedangkan uji klinis multi center dilakukan di berbagai daerah atau lokasi agar lebih objektif. Setelah lolos uji, produsen dapat mengklaim produknya sebagai obat, meskipun klaim tersebut tidak boleh menyimpang dari materi uji klinis sebelumnya. Dengan demikian fitofarmaka merupakan obat dari bahan alami yang dapat disetarakan dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar serta telah ditunjang dengan bukti ilmiah dengan kriteria memenuhi syarat ilmiah (Hemani, 2011: 22).

Menurut Pujiasmanto (2021) agar masyarakat dapat dengan mudah membedakan tiap-tiap kategori obat tradisional tersebut, maka pemerintah menetapkan logo untuk tiap kategori obat tradisional seperti pada Gambar 5.1 berikut ini.

Gambar 3.1 Logo untuk produk Jamu, Obat Herbal Terstandar (OHT), dan Fitofarmaka.

Pada setiap simbol logo obat tradisional tersebut memiliki makna yang menggambarkan tingkat proses bagaimana obat tradisional tersebut diproduksi:

1) Jamu (Empirical based herbal medicine)

a) Bentuk lingkaran: Lambang sebuah proses dan aman.

b) Warna hijau dan kuning (kontras) perwujudan kekayaan sumber daya alam Indonesia (keanekaragaman hayati).

(14)

78 BAB IV

BIOFARMAKA DAN KESEHATAN

A. Biofarmaka untuk Obat

Lestaridewi, Jamhari & Isnainar (2017) menyatakan bahwa di satu sisi Indonesia sebagai negara yang memiliki pelayanan kesehatan modern telah mengalami perkembangan yang cukup baik. Namun demikian di sisi lain jumlah masyarakat yang memanfaatkan pengobatan tradisional tetap tinggi. Pengobatan tradisional menggunakan tanaman berkhasiat obat telah lama dipercaya oleh sebagian masyarakat dengan berbagai pertimbangan, antara lain terjangkau harganya, bisa diperoleh di alam sekitar, dan tidak memiliki efek samping yang relatif kecil.

Pengobatan dengan menggunakan herbal atau obat tradisional dilakukan oleh masyarakat sebagai upaya untuk hidup sehat secara mandiri (Siahaan dan Aryastami, 2018).

Biofarmaka atau tanaman obat keluarga mempunyai kegunaan untuk mengelola kesehatan masyarakat. Tanaman obat telah lama dimanfaatkan dalam kehidupan manusia terutama untuk keperluan kesehatan. Tanaman obat sebenarnya bukan merupakan hal baru. Semenjak adanya manusia di muka bumi ini, manusia telah dilengkapi dengan karunia berupa alam sekitar dimana antara lain terdapat beragam tumbuhan termasuk biofarmaka. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari utamanya yang berkaitan dengan pengelolaan kesehatan, manusia memanfaatkan alam sekitarnya.

Dari berbagai rangkaian peristiwa dapat dilihat bahwa tanaman biofarmaka dapat digunakan untuk membuat obat-obatan guna mengatasi masalah-masalah kesehatan. Dengan demikian bahan berupa tumbuhan dari alam dapat digunakan untuk mendukung pengelolaan kesehatan masyarakat (Sarno, 2019).

Salah satu fungsi tanaman obat keluarga (toga) adalah sebagai sarana untuk mendekatkan tanaman obat kepada upaya- upaya kesehatan masyarakat yang antara lain meliputi upaya preventif (pencegahan), upaya promotif (meningkatkan derajat kesehatan), dan upaya kuratif (penyembuhan penyakit). Selain fungsi diatas ada juga fungsi lainnya yaitu; (a) sarana untuk memperbaiki status gizi masyarakat, sebab banyak tanaman obat yang dikenal sebagai tanaman penghasil buah-buahan atau sayur-

(15)

79 sayuran misalnya lobak, saledri, pepaya dan lain-lain, (b) sarana untuk pelestarian alam. Apabila pembuatan tanaman obat alam tidak diikuti dengan upaya-upaya pembudidayaannya kembali, maka sumber bahan obat alam itu terutama tumbuh tumbuhan akan mengalami kepunahan, (c) sarana penyebaran gerakan penghijauan.

Untuk menghijaukan bukit-bukit yang saat ini mengalami penggundulan, dapat dianjurkan penyebarluasan penanaman tanaman obat yang berbentuk pohon-pahon misalnya pohon asam, pohon kedaung, pohon trengguli dan lain-lain, (d) sarana untuk pemertaan pendapatan.Toga disamping berfungsi sebagai sarana untuk menyediakan bahan obat bagi keluarga dapat pula berfungsi sebagai sumber pengbasilan bagi keluarga tersebut, (e) sarana keindahan. Dengan adanya Toga dan bila di tata dengan baik maka hal ini akan menghasilkan keindahan bagi orang/masyarakat yang ada di sekitarnya. Untuk menghasilkan keindahan diperlukan perawatan terhadap tanaman yang di tanam terutama yang ditanam di pekarangan rumah (Tukiman, 2014 dalam Sarno, 2019).

Berkaitan dengan efek samping obat tradisional Kumala Sari (2006) menyebutkan bahwa penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dari pada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern apabila digunakan secara tepat. Efek samping obat tradisional relatif kecil jika digunakan secara tepat.

Apabila dimanfaatkan secara tepat biofarmaka sangat mendukung kesehatan. Tanaman obat atau dikenal dengan nama biofarmaka adalah jenis-jenis tanaman yang memiliki fungsi dan berkhasiat sebagai obat dan dipergunakan untuk penyembuhan atau pun mencegah berbagai penyakit. Berkhasiat obat sendiri mempunyai arti mengandung zat aktif yang bisa mengobati penyakit tertentu atau jika tidak memiliki kandungan zat aktif tertentu tapi memiliki kandungan efek resultan/sinergi dari berbagai zat yang mempunyai efek mengobati. Penggunaan tanaman obat sebagai obat bisa dengan cara diminum, ditempel, dihirup sehingga kegunaannya dapat memenuhi konsep kerja reseptor sel dalam menerima senyawa kimia atau rangsangan tanaman obat (biofarmaka) yang dapat digunakan sebagai obat, baik yang sengaja ditanam maupun tumbuh secara liar. Tumbuhan tersebut digunakan oleh masyarakat untuk diracik dan disajikan sebagai obat guna penyembuhan penyakit. Tumbuhan obat

(16)

80 merupakan salah satu ramuan paling utama produk-produk obat herbal. Tanaman obat adalah bahan yang berasal dari tanaman yang masih sederhana, murni, belum diolah. Tanaman obat adalah tanaman atau bagian tumbuhan yang digunakan menjadi bahan obat tradisional atau obat herbal, bagian tanaman yang dipakai untuk bahan pemula bahan baku obat. Tanaman atau bagian tanaman yang diekstraksi dan ekstrak tumbuhan tersebut dipakai sebagai obat. Tanaman obat adalah obat tradisional yang terdiri dari tanaman-tanaman yang mempunyai khasiat untuk obat atau dipercaya mempunyai khasiat sebagai obat (Sarno, 2019).

Tanaman obat sangat bermanfaat dalam dunia farmasi khususnya sebagai sumber bahan baku obat tradisional.

Kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi obat tradisional yang diakibatkan oleh isu gaya hidup “kembali ke alam” atau back to nature dan mahalnya obat-obat modern membuat permintaan tanaman obat semakin meningkat (Herdiani, 2012). Pemanfaatan tanaman biofarmaka sebagai obat tradisional atau obat herbal dinilai memiliki efek samping yang relatif sedikit dibandingkan dengan obat kimia modern. Hal tersebut senada dengan kajian yang dikemukakan oleh Kumala Sari (2006) bahwa penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman karena memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan obat modern. Efek samping obat tradisional relatif kecil apabila digunakan secara tepat dengan memperhatikan hal-hal berikut.

a. Kebenaran bahan. Tanaman obat di Indonesia terdiri dari beragam spesies yang kadang kala sulit untuk dibedakan satu dengan yang lain. Kebenaran bahan menentukan tercapai atau tidaknya efek terapi yang diinginkan.

b. Ketepatan dosis. Tanaman obat seperti halnya obat buatan pabrik memang tak biasa dikonsumsi sembarangan. Tetap ada dosis yang harus dipatuhi, seperti halnya resep dokter.

c. Ketepatan waktu penggunaan. Kunyit diketahui bermanfaat untuk mengurangi nyeri haid dan sudah turun-temurun dikonsumsi dalam ramuan jamu kunir asam yang sangat baik dikonsumsi saat datang bulan.

d. Ketepatan cara penggunaan. Satu tanaman obat dapat memiliki banyak zat aktif yang berkhasiat di dalamnya. Masing-masing zat berkhasiat kemungkinan membutuhkan perlakuan yang berbeda dalam penggunaannya.

(17)

83 BAB V

PARIWISATA KESEHATAN BERBASIS BIOFARMAKA

Akhir-akhir ini dalam konteks global terdapat perubahan minat wisatawan dari dorongan atau keinginan untuk melakukan perjalanan wisata massal konvensional yang mengandalkan daya tarik sun, sand, sea, sex, scenery, menjadi motivasi untuk melakukan perjalanan wisata yang bertumpu pada konsep kembali ke alam (back to nature) yang sekaligus mendukung pembangunan pariwisata berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (Zainuri, Patma, & Purwanti, 2020). Banyak wisatawan mancanegara yang melakukan perjalanan wisata yang mengarah pada kegiatan wisata berwawasan lingkungan ke berbagai kawasan wisata alam di Afrika dan Asia Pasifik. Perubahan tren tersebut antara lain diakibatkan oleh terlalu banyaknya jumlah kunjungan wisatawan pada kawasan wisata yang sudah popular. Selain itu, perubahan tren tersebut juga disebabkan oleh kejenuhan wisatawan mengunjungi daya tarik wisata buatan yang mengubah lansekap alam dan merusak lingkungan. Perubahan tren perjalanan wisata dunia tersebut antara lain menyebabkan timbulnya konsep wisata baru sebagai bentuk wisata alternatif yang dikenal dengan wisata kesehatan (health tourism), yakni sebuah aktivitas perjalanan wisata ke suatu destinasi pariwisata dengan tujuan untuk memperoleh pengobatan atau meningkatkan kesehatan dan kebugaran. Wisata kesehatan merupakan suatu bentuk kesatuan atau integrasi antara atraksi wisata, akomodasi, dan amenitas atau fasilitas pendukung yang terdapat di suatu destinasi pariwisata yang sekaligus berada dalam suatu struktur kehidupan masyarakat di daerah tujuan wisata dan menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (Zainuri, Patma,

& Purwanti, 2020).

Tujuan pengembangan pariwisata kesehatan berbasis biofarmaka antara lain adalah untuk (1) meningkatkan peran masyarakat lokal sebagai pelaku atau subjek dalam pembangunan pariwisata kesehatan, (2) membuka peluang berusaha di berbagai bidang yang terkait dengan pariwisata kesehatan sehingga bisa meningkatkan pendapatan dan perekonomian keluarga, (3) membangun kontribusi positif masyarakat setempat kepada pembangunan pariwisata, terutama pariwisata kesehatan, (4) menumbuhkan sikap dan kesadaran masyarakat setempat sebagai

(18)

84 tuan rumah yang mendukung pengembangan pariwisata kesehatan, (5) memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat untuk bersinergi dan bermitra dengan para pemangku kepentingan terkait untuk membangun pariwisata kesehatan agar dapat meningkatkan perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat, (6) memperkenalkan, mempromosikan, memanfaatkan dan mengembangkan potensi daya tarik wisata kesehatan kepada khalayak luas agar dapat membuka peluang pekerjaan bagi masyarakat setempat (Zainuri, Patma, & Purwanti, 2020).

Wisata kesehatan mengacu kepada kegiatan wisata yang mendukung terbangunnya kesehatan wisatawan. Terdapat kegiatan wisata dimana wisatawan dengan sengaja melakukan kegiatan perjalanan untuk tujuan pengobatan dari penyakit yang diderita serta perawatan kesehatan dan kebugaran. Namun demikian terdapat juga kegiatan wisata dimana para penyedia jasa di lokasi wisata menyediakan berbagai keperluan wisatawan dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip kesehatan, termasuk menyediakan makanan dan minuman untuk kesehatan. Dalam hal ini kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh wisatawan tersebut bisa disebut sebagai wisata sehat.Dalam hal motivasi perjalanan pihak wisatawan pada awalnya cenderung bersifat pasif karena nilai kesehatan lebih diperhatikan oleh para penyedia jasa atau pihak pengelola destinasi pariwisata.Motivasi perjalanan wisatawan lebih banyak didominasi oleh keinginan untuk bersantai, bertamasya, dan melakukan relaksasi dengan tidak secara khusus menggarisbawahi nilai-nilai kesehatan. Dengan kata lain kegiatan wisata sehat secara tidak sengaja terjadi pada situasi dimana wisatawan tidak memiliki motivasi secara langsung untuk melakukan perjalanan wisata demi membangun kesehatan diri.

Wisatawan melakukan perjalanan wisata ke suatu destinasi dan mendapatkan berbagai layanan, termasuk makanan dan minuman berbasis biofarmaka yang dikonsumsi atau dibeli di lokasi wisata, yang mendukung terbangunnya kesehatan wisatawan.

Pembangunan wisata sehat yang memiliki keterkaitan dengan biofarmaka dapat membuka peluang usaha bagi para petani tanaman obat dan para penjual makanan dan minuman yang menggunakan bahan baku berupa tanaman berkhasiat obat.

(19)

85 A. Strategi Pengembangan Pariwisata Kesehatan Berbasis

Biofarmaka

Pariwisata kesehatan memiliki banyak sisi, tergantung dari sudut pandangnya. Apabila dilihat dari manfaat pariwisata kesehatan untuk penyembuhan penyakit, selama ini telah banyak dikembangkan paket wisata kesehatan yang memberikan pelayanan kepada klien untuk berobat di negara lain yang dianggap memiliki fasilitas kesehatan yang lebih lengkap dibandingkan dengan fasilitas kesehatan yang terdapat di negeri sendiri.

Pengembangan wisata sehat berbasis biofarmaka harus memperhatikan dua komponen inti, yaitu wisata dan kesehatan.

Wisata merupakan kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam waktu sementara. Sehat adalah sebuah kondisi kesehatan yang mengacu kepada suatu peluang dimana wisatawan dapat memanfaatkan seluruh kegiatan perjalanan yang dilakukan untuk mendukung terbangunnya kesehatan. Wisata sehat mengutamakan pengembangan sumber daya alam dan budaya serta sumber daya manusia, dalam hal ini utamanya adalah wisatawan. Sumber daya alam dapat berupa berbagai unsur alam yang terdapat di lingkungan sekitar, termasuk biofarmaka, yang dapat dioptimalisasikan fungsinya untuk mendukung kesehatan wisatawan.

Fokus utama dari pengembangan model wisata kesehatan didasarkan atas potensi dasar kepariwisataan dimana kelestarian alam dan budaya lokal dikedepankan, dengan tidak mengembangkan pariwisata dan infrastruktur yang bersifat masal.

Konsep pariwisata kesehatan berkelanjutan (sustainable health tourism) adalah pariwisata yang dapat memenuhi kebutuhan wisatawan maupun daerah tujuan wisata pada masa kini, sekaligus melindungi dan mendorong kesempatan serupa di masa yang akan datang. Pariwisata berkelanjutan mengarah pada pengelolaan seluruh sumberdaya sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial, dan estetika dapat terpenuhi sekaligus memelihara integritas kultural, proses ekologi essensial keanekaragaman hayati dan system pendukung kehidupan (Zainuri, Patma, & Purwanti, 2019).

Konsep pengembangan wisata sehat terdiri dari tiga hal.

Pertama adalah mutual-simbiosis, yakni keuntungan secara

(20)

90 DAFTAR PUSTAKA

Adriani, Y. (2017). Pengembangan pariwisata kesehatan di Indonesia.Presentasi dalam rangka pengembangan pariwisata kesehatan di Indonesia oleh Kementerian Pariwisata dan Kementerian Kesehatan. Retrieved from:

https://www.slideshare.net/sayayani/pengembangan- pariwisata-kesehatan-di-indonesia-201

Apriyati, E., Utami, R., Purwaningsih, & Djaafar, T. (t.t).Kajian teknologi pembuatan bubuk simplisia lengkuas.

http://repository.pertanian.go.id/bitstream/handle/1234567 89/6622/MTHP%2026.pdf?sequence=1&isAllowed=y Akinci, Z. & Kasalak, M. A. (2016).Management of special interest

tourism in terms of sustainable tourism. Dalam Avcikurt, C. (Ed.). Global issues and trends in tourism. St. Kliment Ohridski University Press.

Arisanti, Yuli. (2016). Mengenal Wisata Kesehatan Pelayanan Medis Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Kepariwisataan, Vol. 13 No. 1 Januari: 45-56.

Asnia, M., Ambarwati., N., & Siregar, J. (2019). Pemanfaatan rimpang kunyit (Curcuma domestica Val.) sebagai perawatan kecantikan kulit. Proceeding SENDI_U, 697-

703. Retrieved from

https://unisbank.ac.id/ojs/index.php/sendi_u/article/view/7 315

Aydin, G. and Karahmet, B. (2017).Factors affecting health tourism and international health-care facility choice.International Journal of Pharmaceutical and Healthcare Marketing, 11(1). 16-36.doi: 10.1108/IJPHM- 05-2015-001.

Badan Pusat Statistik. (2021). Produksi tanaman biofarmaka (obat) 2018-2020.

https://www.bps.go.id/indicator/55/63/1/produksi-tanaman- biofarmaka-obat-.html

(21)

91 Blazevic, O. (2016). Health tourism and “smart

specialisation”,7(1), 85–95.

Camilleri, M. A. (2018). The Tourism Industry: An Overview. In Travel Marketing, Tourism Economics and the Airline Product (Chapter 1, pp. 3-27). Cham, Switzerland:

Springer Nature.

Darsiharjo, Kastolani, W. & Nayoan, G. P. N. (2016). Strategi Pengembangan Wisata Minat Khusus Arung Jeram Di Sungai Palayangan. Jurnal Manajemen Resort & Leisure, 13(1), 24-35.

Dewoto, H. R. (2007.). Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka).Majalah Kedokteran Indonesia, 57(7), 205-211.

Galingging, R, Y. 2006. Potensi Plasma Nutfah Tanaman Obat sebagai Sumber Biofarmaka di Kalimantan Tengah.Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol.

10, No. 1.

Goodrich, J. G. (1987). Health-care tourism - an exploratory study, 217–222. https://doi.org/0261517787900537

Hakim, A., Jufri, A. W., & Loka, I. N. (2018). Pengembangan wisata tumbuhan obat sasambo. Prosiding PKM-CSR Ekonomi, Sosial, dan Budaya,1, 1665–1670.

Hartono.(2005). Pengembangan pariwisata minat khusus kesenian tradisional.https://adoc.pub/pengembangan-pariwisata- minat-khusus-kesenian-tradisional.html

Hasan, A.(2013). Marketing dan Kasus-Kasus Pilihan. Yogyakarta:

Center for Academic Publishing Service.

Health Tourism: An Overview. (n.d). Sumber:

https://www.coursehero.com/file/80979864/12-chapter- 4pdf/

Hemani.(2011). Pengembangan biofaramaka sebagai obat herbal untuk kesehatan.Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian, 7(1), 20-29.

Herdiani, 2012. Potensi Tanaman Obat Indonesia (online):

http://www.bbpplembang.info/index.php/arsip/artikel/artik el-pertanian/585-potensitanaman-obat-indonesia

(22)

92 Hidayati, Z. (2015). Perancangan Agrowisata Herbal di

Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Pengembangan Wisata Sehat dan Jejamuan (2019).

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2019).Journey for healthy-life: Skenario perjalanan wisata kebugaran di Joglosemar, Bali dan Jakarta).

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2019). Journey for healthy-life: Skenario perjalanan wisata kebugaran di Joglosemar, Bali dan Jakarta.

Kruja, D. & Gyreksi, A. (2011).The special interest tourism development and the small regions.Turizam, 15(2), 77-89.

Kumala Sari, Lusia Oktora Ruma. (2006). Pemanfaatan Obat Tradisional dengan Pertimbangan Manfaat dan Keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian, 3(1), 1-7.

Kumar, A. (n.d.). Special interest tourism.Resources for special interest tourism development.Module.

http://epgp.inflibnet.ac.in/epgpdata/uploads/epgp_content/

S001827/P001849/M029902/ET/152526174911.9.Q1.pdf Laesser, C. (2011). Health travel motivation and activities: insights

from a mature market – Switzerland. TourismReview,

66(1/2), 83–89.

https://doi.org/10.1108/16605371111127251

Lee, T. J., Han, J., &Ko, T. (2020). Health-Oriented Tourists and Sustainable Domestic Tourism.20–22.

Lestaridewi, N. K., Jamhari, M. & Isnainar.(2017). Kajian Pemanfaatan Tanaman Sebagai Obat Tradisional di Desa Tolai Kecamatan Torue Kabupaten Parigi Moutong.Jurnal e-JIPBIOL, 5(2), 92-108.

Mahdavi, et. al (2013). The Factors in Development of Health Tourism in Iran.International Journal of Travel Medicine

& Global Health, 1(3).113-118.

Mathieson, A., & Wall, G. (1982). Toruism: Economic, physical, and social impacts. London, New York: Longman.

(23)

93 Nuryanti, W. (2017).Strategi nasional pengembangan pariwisata kesehatan “health tourism”.International seminar on sustainable health and architecture.

Padilla-meléndez, A. (2016). Health Tourism: Conceptual Framework and Insights from the Case of a Spanish Mature Destination. 12(1), 86–96.

https://doi.org/10.18089/tms.2016.12109)

Peeters, T. M., Eke, E., Jeroen, K., Nawijn,Jeroen, & Paul. (2017).

Research forTRAN Committee-Health tourism in theEU: a general investigation. Retrievedfrom http://www.europarl.europa.eu/

RegData/etudes/STUD/2017/601985/

IPOL_STU(2017)601985_EN.pdf

Pujiasmanto, B. (2021). Sepintas jahe merah dan hasil riset peran media tanam. Yayasan Kita Menulis.

Salim, Z. & Munadi, E. (2017).Info komoditi tanaman obat.

Jakarta: Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia.

Sari, D., A.H.G., Kusumah, &S.Marhanah. (2018). Analisis faktor motivasi wisatawan muda dalam mengunjungi destinasi wisata minat khusus.Journal of Indonesian Tourism, Hospitality and Recreation 1(2), 11–22.

Sarno.(2019). Pemanfaatan tanaman obat (biofarmaka) sebagai produk unggulan masyarakat Desa Depok Banjarnegara.Abdimas Unwahas, 4(2), 73–78.

Senja, A. M. M. P. (2017). 6 Aktivitas wisata kesehatan yang bisa

dicoba di

Ubud.https://travel.kompas.com/read/2017/12/17/1100002 27/6-aktivitas-wisata-kesehatan-yang-bisa-dicoba-di- ubud?page=all

Siahaan, S. & Aryastami, N. K. Studi kebiajkan pengembangan tanaman obat di Indonesia.Media Litbangkes, 28(3), 157- 166.

Smith, M., & Puczkó, L. (2015). More than a special interest:

Defining and determining the demand for health tourism.

(24)

94 Tourism Recreation Research, 40(2), 205–219.

https://doi.org/10.1080/02508281.2015.1045364

Som, A. P. M., & Badarneh, M. B. 2011. Tourist Satisfaction and Repeat Visitation: Toward a New Comprehensive Model.

International Journal of Human and Social Sciences, 6(1), 38-45.

Sulastiyono, A. (2016). Manajemen penyelenggaraan hotel:

Manajemen hotel. Bandung: Alfabeta.

Suwena, I. K. & Widyatmaja, I. G. N. (2017).Pengetahuan dasar ilmu pariwisata. Denpasar: Pustaka Larasan.

Trauer, B. (2006). Conceptualizing special interest tourism- framework for analysis.Tourism Management, 27(2), 183- 200.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisatan.

UNWTO. (2018). Exploring Health Tourism - Executive Summary.

Retrieved from https://doi.org/10.18111/978928442030.8) Weiler, B. & Hall, C. M. Special interest tourism. Madison: Wiley.

Wirawan, I. M. A. (2016). Kesehatan pariwisata: aspek kesehatan masyarakat di daerah tujuan wisata. Arc. Com. Health, 3(1), ix – xiv.

Wiwin, I. W. (2017). Wisata Minat Khusus sebagai Alternatif Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Bangli.Pariwisata Budaya: Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya, 2(2). 42-52.

World Tourism Organization. (2008). Understanding Tourism:

Basic Glossary.

Zainuri, A. M., Patma, T. S., & Purwanti, E. (2019).Pengembangan sarana dan prasarana untuk mendukung wisata kesehatan (studi kasus: Pulau Giliyang Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep). Prosiding SENADIMAS(4),118–125.

Zainuri, A. M., Patma, T. S., & Purwanti, E. (2020). Strategi pengembangan wisata kesehatan melalui pemberdayaan kelompok sadar wisata pada masyarakat Kepulauan (Studi kasus: Pulau Giliyang Kecamatan Dungkek Kabupaten

(25)

95 Sumenep). JAST: Jurnal Aplikasi Sains dan Teknologi, 4(1), 26-37.

Gambar

Gambar 3.1 Logo untuk produk Jamu, Obat Herbal  Terstandar (OHT), dan Fitofarmaka.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk kondisi minimum phase, seperti yang terlihat pada gambar 12 dan 13, kedua kontroler baik MPC maupun PI, terlihat mampu mengikuti referensi yang diharapkan,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi disiplin kerja, motivasi kerja, dan persepsi guru tentang gaya kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru-guru

Jika anak tersebut merupakan anak hasil kawin hamil yang lahir enam bulan setelah perkawinan yang sah kedua orang tuanya, sehingga ia memiliki hubungan nasab dengan ayah

Perbandingan realisasi kinerja sampai dengan tahun ini dengan target jangka menengah yang terdapat dalam dokumen perencanaan strategis bimas Katolik berkisar dari

Hak Milik Satuan rumah susun yang dibangun atas tanah Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b dapat dimiliki Orang Asing atau badan hukum asing yang

Penelitian yang dilakukan oleh (Guniarti, 2014) dan (Sianturi dan Pangestuti, 2015) bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap aktivitas hedging , perusahaan

telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail dari Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Abi Ishaq dari ‘Ashim bin Dlamrah dari ‘Ali berkata : Ketika Matahari bergeser dari

Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya) sebagai salah satu institusi pendidikan tinggi di Indonesia, melalui visi dan misinya berkomitmen untuk memberikan