PERENCANAAN PENGEMBANGAN EKOWISATA
BERBASIS KOMUNITAS DI KAWASAN WISATA TANGKAHAN
KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA
TESIS
OLEH :
HARIS SUTAN LUBIS
037024034/SP
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERENCANAAN PENGEMBANGAN
EKOWISATA BERBASIS KOMUNITAS
DI KAWASAN WISATA TANGKAHAN
KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA
Nama Mahasiswa
: Haris Sutan Lubis
Nomor Induk Mahasiswa : 037024034
Program Magister
: Studi Pembangunan
Menyetujui,
Komisi Pembimbing:
Anggota,
Ketua,
(Drs.Goestanto,
M.Hum.) (Drs.R.Hamdani Harahap,M.Si)
Ketua Program Studi,
Direktur SPs USU,
(Drs.Subhilhar, MA)
(Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, MSc)
NIP.131754528
NIP. 130535852
PERNYATAAN
PERENCANAAN PENGEMBANGAN EKOWISATA
BERBASIS KOMUNITAS DI KAWASAN WISATA TANGKAHAN
KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA
T E S I S
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleg orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 7 September 2006
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Haris Sutan Lubis
Tempat/Tgl.Lahir : Padangsidempuan / 07 September 1959
Agama : Islam
2. 2003 – Sekarang : Staf Pengajar D3 Pariwisata FS.USU
3. 1989 – 1999 : Staf Pengajar Akademik Kesehatan YBS Medan
4. 1995 – Sekarang : Anggota / Pengurus HISKI Komda Sumut
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menganalisis perencanaan pengembangan ekowisata di kawasan wisata Tangkahan, Kabupaten Langkat Suimatera Utara secara komprehensif melalui proses partisipatif, dengan memperhatikan sensitifitas ekosistem, potensi sumberdaya alam dan optimalisasi peranserta masyarakat.
Pendekatan yang digunakan adalah analisis deskriptif secara kualitatif terhadap data primer yang diperoleh melalui diskusi kelompok (focusing group discussion) serta wawancara yang dilakukan dengan masyarakat setempat. Teknik analisis deskriptif ini dimaksudkan agar data dapat diinterpretasikan sesuai dengan persepsi dan keinginan masyarakat berdasarkan masukan dari bawah ke atas (bottom-up),sesuai dengan Teori Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Komunitas yang kemudian diadopsi untuk pembangunan kepariwisataan yang mengisyaratkan pentingnya hubungan yang hormonis antara masyarakat lokal, sumberdaya dan wisatawan, sebagi kunci utama keberhasilan pembangunan.
Berdasarkan data yang diperoleh, ditetapkan kesepakatan bahwa kawasan Tangkahan layak dikembangkan sebagai kawasan ekowista yang menawarkan berbagai produk/atraksi wisata sesuai dengan konsep pengembangan ekowisata, yakni : bersadarkan konservasi, partisipasi/pemberdayaan masyarakat, peningkatan kesadaran dan apresiasi pengetahuan, bermanfaat secara ekonomi, mengedepankan aspek legalitas, serta dibangun dengan pola kemitraan.
Pengembangan kawasan disepakati harus menggunakan konsep perencanaan tata ruang dengan menetapkan fungsi utama kawasan, dan pembagian zonasi kawasan, yang terdiri dari zona intensif, zona semi intensif, zona ekstensif primer dan zona ekstensif sekunder. Sementara kegiatan wisata yang disesuaikan dengan arahan pengembangan di setiap zonasi adalah : wisata pendidikan / konservasi, jelajah hutan, bersepeda, petualangan dan pengamatan satwa liar, wisata perkebunan, wisata tirta, wisata budaya, berkemah, rekreasi keluarga dengan beberapa atraksi alam/buatan, serta wisata goa, di samping pengembangan fasilitas penunjang yang diharapkan mampu memberi kontribusi kepada masyarakat lokal sebagai bagian dari proses pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itulah kawasan ekowisata Tangkahan harus dikelola secara bersama (co-managenet) antara pihak-pihak yang terkait, agar pada saat yang tepat Tangkahan akan menjadi kawasan ekowisata yang eksotik dan handal.
ABSTRACT
This research provides an analysis of ecotourism development plan in tourism sphere of Tangkahan, Langkat Regency of North Sumatra Province. The analysis covers a comprehensive participation process that includes ecosystem sensitivity, potential of natural resource and the optimum of community participation.
The approach applied in analyzing the data is qualitatively descriptive analysis. They have been collected from the group discussion and interview with the local community. Thus, the analysis is meant to interpret the data in accordance with the community’s will and perception which represent the bottom-up input. In reference to the adopted theory of human resource based community management, the tourism development is closely connected with the creation of harmony among local community, resource and tourist as primary key-success of development.
It is reasonable, from the collected data, that Tangkahan sphere can be developed as ecotourism region through offering various products in the sense of tourism attractions. These must be related to the ecotourism development concept which covers conservation, community participation and empower, consciousness upgrade, knowledge appreciation over tourism advantage economically and legality aspect propose which are all constructed with partnership pattern.
The sphere development has been agreed to apply the space arrangement concept by determining sphere primary function and division of zones. They consist of intensive, semi intensive, primary extensive, and secondary extensive zones. Meanwhile, the tourism activity is adjusted with development instruction to each zone i.e. educational tourism or conservations, forest cruise, bicycle, adventure and wild animal monitor, plantation, water, cave and culture tourism, family creation and the creation of artificial nature attractions. Besides, the development of supporting facility is expected to give contribution as part of empowering process of the community. By so doing, the Tangkahan sphere must be managed entirely (co-management) by interrelated parties in order to make it be exotic and top ecotourism sphere.
DAFTAR ISI
2.1 Pariwisata Alternatif dan Ekowisata ……… 26
2.2 Prinsip dan Kriteria Pembangunan Ekowisata ... 44
2.3 Ekowisata Berkelanjutan ... 51
2.4 Teori Pengelolaan sumberdaya Berbasis Komunitas ……….. 63
BAB III METODOLOGI ………. 68
BAB V ANALISIS PENGEMBANGAN DAN PAKET WISATA BERBASIS KOMUNITAS ……… 110
5.1 Kebijakan Pemkab Langkat ………. 115
5.2 Analisis Lingkungan Internal dan Ekstenal ………. 117
5.3 Analisis Kawasan ………. 124
a. Fungsi Kawasan ……… 124
5.4 Ekowisata Berbasis Komunitas ……… 140
5.4.1 Paket / Produk Wisata ……… 143
5.4.2 Pemberdayaan / Pelibatan Masyarakat ……….. 150
5.4.3 Bentuk Pengelolaan ………... 151
BAB VI PENUTUP ………. 154
6.1 Kesimpulan ………. 154
6.2 Rekomendasi / Saran ……… 157
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Pertumbuhan Pariwisata Internasional ………. 2
Table 2 Objek Wisata di Kabupaten Langkat ………..76
Tabel 3 Penggunaan Lahan di Kabupaten Langkat ………..77
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Plang Selamat Datang ……… 25
Gambar 2 Elemen Kunci Penegembanagan Pariwisata ………29
Gambar 3 Model untuk Sustainable Tourisem Devolepmen ………35
Gambar 4 Tipe Pariwisata dan Ragamnya ………38
Gambar 5 Visi Misi dan Perencanaan Nasional Pengembangan Ekowisata ………....42
Gambar 6 Atraksi Gajah ……….. 43
Gamabr 7 Kawasan Tangkahan dari atas………...43
Gabmar 8 Pembangunan Pariwisata Berbasis Masyarakat ……….. 67
Gambar 9 Peta Kawasan Ekowista Tangkahan ………81
Gambar 11 Akomodasi Pemondokan di Tangkahan ………88
Gambar 10 Peta Potensi SDA Tangkahan ………94
Gambar 12 Sungai Hijau Tangkahan ………..116
Gambar 13 Peta Zonasi Kawasan ……….. 127
Gambar 14 Zona Ekstensif …..……….. 128
Gambar 15 Zona Semi Intensif ……….. 129
Gambar 16 Zona Ekstensif Primer ………. 130
Gambar 17 Zona Esktensif Sekunder ……… 131
Gambar 18 Peta Pengaturan Arus Wisatawan ……….. 132
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Telaah pustaka mengenai sejarah pariwisata mengungkapkan adanya tulisan tentang awal
perniagaan internasional di zaman “Phoenisia”, bahkan ada yang berpendapat bahwa penemuan roda
adalah awal kegiatan pariwisata. Tulisan yang lain merujuk pada perjalanan ibadah, tentu saja dalam hal
ini termasuk yang menyangkut objek wisata terkenal di dunia, seperti yang terdapat di Indonesia
semisal Candi Borobudur dan Prambanan. Namun, apabila kita menggali akar-akar pariwisata masa
modern, barangkali lebih berkait bila merujuk kepada penemuan mesin uap sebagai saat atau peristiwa
yang menentukan. Mesin uap tidak hanya membawa kita berkenalan dengan bentuk sarana angkutan
bermesin yang dapat mengangkut lebih banyak orang dan dapat menempuh jarak yang lebih jauh dalam
waktu yang lebih cepat bila dibandingkan dengan sarana angkutan yang lain sebelumnya; namun juga
mendorong munculnya masyarakat kota yang industrial (dan kemudian pasca-industrial) dan modern.
Masyarakat kota yang industrial tersebut juga mendorong perkembangan ilmu dan teknologi
sampai terciptanya sarana angkutan yang lebih cepat daripada sarana yang didayai mesin uap.
Mula-mula kita mengenal mobil yang lebih luwes yang memungkinkan orang bergerak ke mana-mana,
sehingga meningkatkan perjalanan wisata domestik, dan pada tahap selanjutnya penemuan pesawat jet
untuk angkutan penumpanglah yang memicu perkembangan pesat pariwisata internasional.
Perkiraan World Tourism International (WTO) pada tahun 2001 jumlah wisatawan dunia
mencapai 661 juta dan 15,28% diserap oleh kawasan Asia Timur dimana Indonesia berada. Apabila kita
melihat catatan lebih jauh lagi, tingkat perjalanan internasional meningkat enam kali lipat dalam
selanjutnya. Proyeksi tingkat pertumbuhan sebesar 50 persen selama dekade ini memperlihatkan jumlah
pokok yang lebih besar dalam periode berikutnya.
Tabel 1
Memang harus diakui pasang-surut perkembangan sektor pariwisata sebagai salah satu industri
terbesar abad 21 ini sangat mempengaruhi jumlah devisa yang bisa diraih Indonesia yang menempatkan
pariwisata sebahai penghasil devisa terbesar di luar migas. Sejak tahun 1998, kemerosotan jumlah
wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia terus berlangsung mengiringi tragedi-tragedi
eksternal dan internal yang sangat mempengaruhi kinerja kepariwisataan. Kalau pada tahun 1997
tercatat jumlah 5,2 juta orang dengan penghasilan devisa sebesar 5,3 juta dollar, maka tiga tahun
berikutnya berubah menjadi 4,6 juta, 4,7 juta, dan 5,0 juta (Ardika, 2003).
Sementara itu untuk wilayah Sumatera Utara sebagai salah satu daerah tujuan wisata juga
terjadi penurunan jumlah wisatawan mancanegara sebesar 65 persen. Berbagai hal diperkirakan menjadi
penyebab terjadinya stagnasi perkembangan pariwisata di Sumatera Utara tersebut, baik hal yang
berhubungan dengan persoalan-persoalan mikro maupun persoalan kondisi objektif produk wisata,
semisal kualitas infrastruktur yang sangat menentukan aksesibilitas.
Ketidakmemadaian infrastuktur serta produk wisata yang relatif homogen menjadikan salah satu
kelemahan Sumatera Utara sebagai daerah tujuan wisata. Atraksi-atraksi wisata yang disuguhkan sangat
tidak menarik, karena nilai otentisitas, originilitas, dan keunikannya tidak begitu menonjol.
Masing-masing daerah menawarkan produk wisata yang relatif sama, dan atraksi buatan yang disuguhkan relatif
tidak unik. Oleh karena itulah, kinerja pariwisata ini sangat beralasan untuk dibenahi, karena
pengalaman yang tidak nyaman akan meninggalkan kesan buruk terhadap produk wisata (Weiler,
1992).
Salah satu terobosan yang potensial sebenarnya ialah dengan mengembangkan pariwisata
alternatif, maupun pengembangan pasar wisatawan domestik sebagai basis pengembangan pariwisata
nasional, sekaligus dalam rangka menumbuhkan masyarakat wisata. Para perencana pembangunan
kepariwisataan seharusnya dapat menyusun kebijakan-kebijakan yang tidak saja mendorong
peningkatan arus perjalanan penduduk di dalam negeri, tetapi juga memperkuat basis industri
pariwisata nasional.
Sementara itu di sisi lain pengembangan industri kepariwisataan sebaiknya didasarkan pada
permintaan riel pasar wisatawan. Riset pasar yang dilakukan oleh Australian Tourist Commission
misalnya, menunjukkan bahwa ciri-ciri alam Australia seperti hutan hujan, terumbu karang, pantai dan
daerah pedalaman akan terus dimanfaatkan untuk menarik wisatawan dalam jumlah besar. Riset ini juga
mencatat bahwa pemandangan yang indah, keluasan daerah, keajaiban alam, kehidupan liar dan pantai
yang bagus sebagai sifat-sifat utama dalam peringkat pariwisata internasional (Pitts, dalam Gunawan,
Berbagai isu yang dikaitkan dengan munculnya konsep ekowisata yang mutakhir termasuk
meningkatnya kesadaran akan lingkungan di masyarakat, publik yang semakin cerdas, dalam hal selera
dan dambaan mereka akan pengalaman wisata di luar rumah, yaitu yang berbasis alam. Masyarakat
yang semakin pandai ini juga memperlihatkan penghargaan atas kepekaan yang meningkat terhadap
bentang alam biofisik dan budaya.
Ekowisata merupakan salah satu bentuk wisata alternatif, yang mencakup perjalanan ke daerah
alami yang masih belum cemar dengan tujuan khusus hendak mempelajari, mengagumi, dan menikmati
pemandangan alam serta flora, fauna dan hidupan liarnya. Ekowisata dikembangkan berdasar prinsip
hendak melestarikan lingkungan alam dan budaya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang
menjadi tuan rumahnya. Pengembangan pariwisata alternatif ini dilakukan dengan pendekatan yang
memperhatikan perubahan persepsi tentang pariwisata, kriteria pengembangan pariwisata, pelestarian
lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan.
Sektor pariwisata yang berorientasi pada pengembangan pariwisata berbasis komunitas,
merupakan salah satu alternatif yang mendapatkan perhatian, terutama dalam konsep pengembangan
pariwisata jangka panjang. Dengan mencermati berbagai kondisi alam wilayah yang dimiliki Indonesia,
diversitas budaya, serta komunitas yang berkualitas, pengembangan sektor pariwisata berbasis
komunitas dianggap sangat potensial untuk ditingkatkan mutunya agar dapat menjadi sektor andalan
devisa di luar migas. Dengan demikian diharapkan sektor pariwisata yang dikembangkan melalui
konsep pariwisata berbasis komunitas dapat menjadi salah satu lokomotif penggerak perekonomian
nasional. Sebab pengembangan sektor pariwisata memiliki keterkaitan yang erat dengan banyak sektor
lainnya, serta memberikan dampak ekonomi yang menjangkau banyak elemen, baik pemerintah,
Di sisi lain, potensi pariwisata memang masih belum tergali secara optimal, padahal telah
disadari bahwa sektor ini cenderung menghasilkan sangat banyak keuntungan, baik dari pasar domestik,
dan terutama pasar internasional.
Seiring dengan keadaan tersebut dan dengan menyadari multiplier effect ekonomi yang
demikian besar, maka Pemerintah pun telah mengagendakan pengembangan sektor pariwisata yang
berbasis komunitas sejak Repelita VI dengan orientasi pengembangan pariwisata yang berwawasan
wilayah pada setiap propinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Pengembangan sektor pariwisata di daerah pastilah diarahkan untuk dapat memantapkan
sumbangan ekonominya pada pendapatan daerah guna meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi
daerah, dan peningkatan pendapatan masyarakat maupun sebagai sarana promosi daerah di kancah
kepariwisataan nasional dan bahkan internasional (global tourism).
Investasi kepariwisataan diharapkan dapat memberikan lapangan kerja dan kegiatan usaha bagi
masyarakat luas, mulai dari yang bergerak dalam bisnis transportasi, hotel dan bentuk-bentuk
penginapan lain, rumah makan dan restoran, bahkan usaha-usaha sistem paket acara tour sampai
kepenyediaan barang-barang kerajinan industri rumah tangga milik masyarakat setempat (souvenir) dan
jasa-jasa kepariwisataan lainnya (tourism services).
Disamping itu, pengembangan sektor pariwisata seperti pariwisata alternatif
--ekowisata-- diharapkan juga untuk sekaligus menumbuhkan proses-proses pembelajaran program
konservasi bagi pemeliharaan dan pelestarian kawasan hijau Indonesia guna menjaga keharmonisan
ekosistem bagi kelangsungan hidup manusia.
Sehubungan dengan pengembangan pariwisata berbasis komunitas, maka hal terpenting yang
tidak dapat dilepaskan dari sektor ini ialah pendekatan perencanaan kepariwisataan yang meliputi
pendekatan kemasyarakatan sebagai daya dukung utama pada sektor pariwisata ini. Hal ini sejalan
pembangunan dan pengembangan kepariwisataan berbasis komunitas sebagaimana pernah diungkapkan
oleh Inskeep (1991), bahwa:
“Commnunity approach – There is maximum involvement of the local community in the planning and decision making process of tourism and to the extent feasible and desirable, there is maximum community participation in the actual development and management of tourism and it’s socioeconomic benefits”
Berdasarkan konsep tersebut, haruslah diakui bahwa pada umumnya untuk mengembangkan
kepariwisataan diperlukan pendekatan komunitas dalam rangka mendukung pembangunan dan
kemandirian daerah di Indonesia yang melibatkan partisipasi masyarakat secara aktual agar dapat
memberikan keuntungan sosio-ekonomis. Meskipun harus diakui bahwa pengembangan dan bahkan
pelaksanaan konsep pengembangan kepariwisataan berbasis komunitas belum sepenuhnya
direncanakan dan dilaksanakan secara profesional, sehingga kerapkali memunculkan pertanyaan,
apakah memang Pemerintah dan termasuk juga Pemerintah Daerah benar-benar sungguh-sungguh atau
tidak dalam menjalankan kebijakan tentang pengembangan pariwisata berbasis komunitas yang
sebenarnya telah pernah ditetapkan dalam Repelita yang lalu?
Pertanyaan lain yang mungkin pula muncul ialah sudah sejauh mana Pemerintah Daerah telah
melaksanakan kebijakan pengembangan pariwisata berbasis komunitas yang menuju kepada hal-hal
yang bisa menopang ekosistem dan kegiatan ekonomi masyarakat untuk jangka waktu yang lama dan
untuk selalu berkesinambungan. Karena suatu kegiatan ekonomi dari sektor pariwisata yang ingin
bertahan lama, tentunya tidak bisa hanya mengandalkan infrastruktur aksesibilitas, semisal jalan raya,
pelabuhan laut dan lapangan udara yang skalanya terbatas, melainkan secara terpadu dilakukan bersama
dengan pengembangan kualitas individu pelaku kepariwisataan dan respons positif komunitas di
sekitarnya.
Pengembangan sektor pariwisata yang berbasis komunitas, harus pula ditentukan berdasarkan
kepada kemampuan masyarakat, dan skalanya lebih besar dalam kapasitas spesifikasi daerah yang
bersangkutan.
Pentingnya pengembangan kepariwisataan berbasis komunitas dalam perspektif otonomi daerah,
pernah dinyatakan oleh Djamhur (1999), bahwa:
“Dari sisi pariwisata, otonomi daerah mengarah pada pengembangan pariwisata berbasis komunitas. Tujuannya memaksimalkan sumberdaya lokal dan kemampuan masyarakat setempat. Ini paradigma baru. Untuk itu ada beberapa elemen penting yang perlu diperhatikan dalam penerapannya,
yaitu: 1) Produk; 2) Promosi; 3) Sumberdaya Manusia (SDM); 4) Pemberdayaan Masyarakat Setempat; 5) Investasi. Dalam hal
pemberdayaan masyarakat setempat, pariwisata perlu menggalakkan program Community Tourism Development (CTD), yakni kegiatan pariwisata berdasarkan kemampuan masyarakat setempat. Dari, oleh, dan untuk masyarakat. Konsep CTD atau ekonomi rakyat ini mampu menciptakan produk wisata lokal dan ketahanan serta kestabilan kondisi sosioekonomi masyarakat. CTD menumbuhkan rasa saling membutuhkan dan bahkan memberdayakan semua pihak terkait. Masyarakat dapat langsung berpartisipasi dan menikmati keuntungan. Contohnya Desa Wisata”
Secara tegas dikatakan pula bahwa pemberdayaan masyarakat setempat akan pula turut
menentukan keberhasilan pengembangan sektor pariwisata dalam mendukung pelaksanaan program
otonomi daerah dengan segala dinamikanya.
Memang secara terus-menerus masalah untung-rugi pngembangan pariwisata berbasis
komunitas di setiap daerah menurut konsep otonomi daerah masih terus dikaji dan merupakan suatu
perbincangan yang panjang di antara para pakar pembangunan daerah dan perencana kepariwisataan,
namun tampaknya pola pengembangan pariwisata berbasis komunitas cenderung lebih memberikan
manfaat bagi kepentingan pariwisata, dan hal ini pun sejalan dengan pandangan Djamhur (1999) yang
menyatakan bahwa:
tersebut), pemberdayaan masyarakat (dari, oleh dan untuk rakyat), discover the unknown (menggali potensi wisata yang terpendam). Sedangkan kerugiannya, mungkin timbul arogansi Pemerintah Daerah, sementara di sisi lain Pemerintah Pusat masih akan ikut menanggung kerugian akibat mismanagement, kesenjangan pembangunan antara daerah maju dan daerah terbelakang”
Oleh karena itulah dampak krisis ekonomi moneter dan politik yang dialami bangsa Indonesia
sejak tahun 1997 yang menghembuskan angin segar bagi proses reformasi di semua aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara, baik pada tataran sosial, ekonomi, hukum maupun politik haruslah dapat
dicermati dan disiasati maknanya demi mencapai cita-cita kehidupan yang lebih realistis. Walaupun
mungkin hasil dari proses reformasi itu belum memuaskan atau belum mencapai pada tahap
sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh komponen bangsa.
Pembangunan kepariwisataan berbasis komunitas dalam perspektif otonomi daerah ini perlu
kian dicermati dengan arif, karena dengan terbitnya undang-undang UU No. 22 tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah, dan UU No, 25 tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah, diharapkan untuk dapat membangun muara pada kemampuan
meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang berada di kawasan nusantara ini.
Konsep desentralisasi kemudian menunjukkan bahwa otonomi menjadi hal yang sangat penting
bagi daerah-daerah dalam proses pembangunan. Otonomi berarti penyelenggaraan Pemerintahan
sebagai suatu urusan rumah tangga yang berdiri sendiri, yang meliputi tahapan perencanaan
pembangunan, pelaksanaan dan evaluasi terhadap hasil-hasilnya. Konsekuensi logis dari penerapan asas
desentralisasi ini adalah kesiapan Pemerintah Daerah untuk menata keseluruhan perangkat organisasi
dan manajemen serta kemampuan untuk melakukan adaptasi terhadap perkembangan dan perubahan
lingkungan eksternal agar mampu melaksanakan amanat yang diberikan rakyat kepadanya. Fleksibilitas
Daerah untuk sukses dalam melaksanakan program-program pembangunan yang tepat sasaran maupun
tepat guna.
Dalam lingkungan ekonomi dan politik pasca reformasi, industri pariwisata sebagai salah satu
anasir segmen ekonomi, sangat memungkinkan untuk meraih kesempatan dan membuka peluang sukses
sebesar-besarnya. Prospek pariwisata dalam artian yang seluas-luasnya dapat lebih mendorong
pengertian antarbangsa menuju perdamaian dunia, di samping memberi peluang kesempatan kerja,
meningkatkan devisa dan taraf kehidupan ekonomi (rakyat) melebihi kekuatan segmen ekonomi yang
lain.
Di sisi lain, pengembangan pariwisata melalui pendekatan pariwisata berbasis komunitas
diyakini merupakan salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu perlu disadari
bahwa Pemerintah Daerah setempat semestinya juga memperhatikan secara serius masalah infrastuktur
fisik yang tentu saja penting bagi kelangsungan pertumbuhan dunia usaha dan industri pariwisata yang
berbasis komunitas, dalam artian bahwa Pemerintah Daerah semestinya dapat menyediakan jasa atau
fasilitas khusus untuk memenuhi keinginan dunia usaha atau industri pariwisata, khususnya yang
menunjang pemberdayaan masyarakat.
Memang, melalui kerangka berfikir ekonomi politik, tidaklah sulit untuk menunjukkan bahwa
pariwisata (terutama internasional) sangat meyakinkan untuk dapat menjadi pasport pembangunan bagi
kebanyakan negara berkembang meskipun pada sisi lain tidak hanya gagal berfungsi sebagai motor
penggerak pembangunan, tetapi bahkan dengan mudah berubah menjadi penyebab tidak
berkembangnya banyak dunia ketiga. Contoh sederhana, perusahaan penerbangan asing dan rantai
perhotelan amat berpengaruh dalam menentukan tempat tujuan wisata, dan sering mendiktekan kondisi
yang harus diciptakan di daerah wisata yang akan dikembangkan. Dalam situasi seperti ini, subsidi
Pemerintah dalam bentuk kebijaksanaan keringanan pajak mendorong kepariwisataan internasional
pariwisata internasional juga menghabiskan modal perekonomian negara dunia ketiga, memperkuat
ekonomi monokultur yang didasarkan kepada perolehan dari hotel, menyebabkan defisit neraca
pembayaran yang kronis, dan gagal untuk merangsang pertumbuhan industri kerajinan setempat (Perez,
dalam Nasikun 1997), dan pada saat yang sama, sering mengakibatkan rusaknya lingkungan dan sosial
budaya masyarakatnya.
Bertolak dari dinamika pembangunan kepariwisataan yang mengacu pada pelibatan dan
pemberdayaan masyarakat, maka penulis berketetapan untuk meneliti tentang “Perencanaan
Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat
Sumatera Utara”.
Alasan yang dibangun dalam rangka penelitian tentang perumusan Perencanaan Pengembangan
Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat Sumatera Utara
ialah:
1. Dalam satu dekade terakhir telah terjadi perubahan kecenderungan wisatawan dalam memilih objek
atau lokasi wisata. Wisatawan tidak lagi ingin sekedar datang untuk melihat objek wisata tertentu
saja, tetapi telah meningkatkan keinginan ke arah wisata yang dapat memberikan tambahan
wawasan, pengalaman dan pengetahuan baru, dan model wisata alternatif seperti ini dikenal dengan
istilah ecotourism, yang dalam bahasa Indonesia disebut ekowisata.
2. Sebagai bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), Tangkahan merupakan kawasan yang
didominasi oleh hutan dipterocarpaceae dataran rendah, yang memiliki vegetasi dengan ciri-ciri
pohon yang tinggi, dengan lebar kanopi 40-50 meter, kaya akan berjenis-jenis tumbuhan berbunga
yang akan mempengaruhi jenis dan komposisi satwa yang hidup di dalamnya, dan paling kaya akan
keanekaragaman fauna. Hampir 65% jumlah mamalia yang tercatat hidup di kawasan Sumatera
terdapat di dalam KEL. Tercatat 205 jenis mamalia besar dan kecil. Oleh karena itu, dipandang dari
3. Ekowisata akan mampu membangkitkan ekonomi masyarakat setempat dalam bentuk keuntungan
sosial dan juga partisipasi masyarakat dalam menentukan jenis kegiatan wisata dan jumlah fasilitas
yang akan dibangun, disamping sebagai promosi nyata terhadap kepentingan konservasi dan
pengembangan berkelanjutan KEL kepada masyarakat Indonesia dan internasional.
4. Melalui perencanaan pengembangan ekowisata berbasis komunitas yang dilakukan secara tepat dan
jitu oleh Pemerintah Daerah bersama masyarakat setempat dan unsur-unsur swasta, diharapkan akan
memberikan dampak positif setidaknya bagi peningkatan kunjungan wisatawan, baik wisatawan
domestik, maupun wisatawan mancanegara.
Pengembangan Pariwisata dengan pendekatan kemasyarakatan merupakan konsep alternatif
yang berbeda dengan konsep pembangunan kapariwisataan secara konvensional yang berlangsung
selama ini dengan pendekatan teknokratik-sentralistik. Konsep alternatif ini digunakan sebagai reaksi
atas kegagalan model modernisasi yang diterapkan selama ini di negara-negara berkembang. Konsep
dengan model top-down dirasakan telah melupakan konsep dasar pembangunan itu sendiri, sehingga
rakyat bukannya semakin meningkat kualitas hidupnya tetapi malah dirugikan dan bahkan
termarginalisasi di lingkungan miliknya sendiri (Pitana, 1999). Dalam perkembangan selanjutnya, trend
pariwisata dunia telah mengalami perubahan drastis. Pada beberapa negara/daerah, masyarakat
setempat (local community) turut pula dilibatkan dalam aktifitas kepariwisataan guna menunjang
keberhasilan pengembangan pariwisata. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila pada dasawarsa
belakangan ini, kemajuan industri pariwisata yang tergolong cukup pesat ini dikarenakan peningkatan
secara luas, keterlibatan masyarakat lokal (community based-tourism), waktu senggang (leisure time),
peningkatan pendapatan, kemajuan dalam teknologi informatika dan penerbangan --memungkinkan
biaya transportasi yang murah, mudah dan cepat--. Selain itu, pergerakan yang cepat di bidang
telekomunikasi dan informasi menstimulir gairah manusia untuk mengunjungi tempat/negeri asing dan
Memang harus diakui bahwa sampai saat ini, memperkenalkan, mempopulerkan dan
memasarkan suatu produk wisata terutama ekowisata, bukanlah suatu hal yang mudah. Berbagai
tantangan harus dihadapi, terutama bila tidak didukung oleh keterlibatan masyarakat untuk memberikan
respon positif bagi pengembangan objek wisata tersebut. Oleh karena itulah, faktor utama bagi
pengembangan pariwisata berbasis komunitas adalah keseimbangan dan harmonisasi antara lingkungan
hidup, sumberdaya dan kepuasan wisatawan, yang diciptakan atas inisiatif masyarakat lokal, dan
kesemua aspek tersebut akan mencerminkan keberlanjutan sistem sosial, budaya dan ekonomi, yang
memang merupakan prioritas yang mesti didahulukan.
Pada tingkatan konseptual Pemerintah telah melakukan langkah-langkah untuk mendorong
pengembangan pariwisata berbasis komunitas. Langkah ini dilakukan karena pariwisata berbasis
komunitas mempunyai potensi besar dan dapat menjadi tulang punggung penggerak perekonomian
masyarakat.
Selain dapat meningkatkan devisa, pariwisata juga diyakini dapat menyerap tenaga kerja dengan
tuntutan kualitas yang tidak terlalu tinggi. Pengembangan pariwisata berbasis komunitas dapat
melahirkan pemerataan, karena di daerah-daerah yang memiliki potensi kepariwisataan, masyarakat
setempat dapat dilibatkan sebagai tenaga kerja, pengelola warisan-warisan budaya dan pengrajin
industri sebagai aset wisata setempat. Oleh karenanya untuk mendukung pembangunan pariwisata
berbasis komunitas, Pemerintah telah menerapkan sejumlah kebijakan sebagai pemandu dalam setiap
perencanaan pembangunan dan pengembangan kepariwisataan sebagai berikut:
1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan khususnya pada Pasal 2, Pasal 3
huruf (d), dan Pasal 30.
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor
3. Peraturan Pemerintah RO Nomor 67 Tahun 1996 Tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan;
khususnya pada Pasal 2, 105, 106, dan 107.
4. Keputusan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.5/UM.209/MPPT-89 Tanggal
18 Januari 1989 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sapta Pesona; khususnya pada Pasal 3, 4, 5,
dan 7.
5. Keputusan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.98/PW.102/MPPT-87
Tanggal 23 Desember 1987 Tentang Ketentuan Usaha Obyek Wisata.
6. Keputusan Direktur Jenderal Pariwisata Nomor KEP-18/U/II/88 Tanggal 25 Pebruari 1990 Tentang
Pelaksanaan Ketentuan Usaha Objek Wisata.
7. Instruksi Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Nomor IM.16/KS.001/MPPT-88 Tanggal 17
September 1988 Tentang Peningkatan Kerjasama Antar Instansi Pusat di Bidang Pengembangan
dan Pemanfaatan Objek Wisata Alam dan Objek Wi ata Budaya.
8. Surat Edaran Bersama Direktur Jenderal Pariwisata dan Direktur Jenderal Pembinaan dan
Penempatan Tenaga Kerja Nomor 07/Edr/II/88 dan Nomor SE.02/M/BP/88 Tanggal 26 Pebruari
1988 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang
di Bidang Usaha Hotel, Restoren, Usaha Perjalanan, Wisata Tirta, dan Objek Wisata.
9. Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Pariwisata dan Direktur Jenderal Bina Usaha Koperasi
Nomor KEP.67/U/VI/88 dan Nomor 205/SKB/BUK/VII/88 Tanggal 27 Juli 1988 Tentang
Pengembangan Usaha Koperasi di Bidang Usaha Biro Perjalanan Umum dan Agen Perjalanan.
10. Instruksi Presiden RI Nomor 7 Tahun 1987 Tanggal 23 Desember 1987 Tentang Penyederhanaan
Perizinan dan Retribusi di Bidang Usaha Pariwisata.
11. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 1987 Tanggal 23 Desember 1987 Tentang
12. Surat Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan RI Nomor
177/DAGRI/VII/86 Tanggal 15 Juli 1986 Perihal Pembebasan Memiliki SIUP Bagi Usaha Jasa
Pelayanan di Bidang Pariwisata.
13. Keputusan Menteri pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.52/HM.601/MPPT-89
Tanggal 17 April 1989 Tentang Penyelenggaraan Kampanye Nasional Sadar Wisata.
14. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.59/PW.002/MPPT-85
Tanggal 23 Juli 1985 Tentang Peraturan Kawasan Pariwisata.
15. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.70/PW.105/MPPT-85
Tanggal 30 Agustus 1985 Tentang Peraturan Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum.
16. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.71/PW.105/MPPT-85
Tanggal 30 Agustus 1985 Tentang Peraturan Usaha dan Penggolongan Perkemahan.
17. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.72/PW.105/MPPT-85
Tanggal 30 Agustus 1985 Tentang Mandala Wisata.
18. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.73/PW.105/MPPT-85
Tanggal 30 Agustus 1985 Tentang Peraturan Usaha Rumah Makan.
19. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.74/PW.105/MPPT-85
Tanggal 30 Agustus 1985 Tentang Peraturan Usaha Pondok Wisata.
Pembangunan Kepariwisataan berbasis komunitas secara nasional sudah dilakukan oleh
Pemerintah sejak tahun 1990, dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 Tentang
Kepariwisataan; Bab II Azas dan Tujuan, serta Bab V, Peran Serta Masyarakat yang menyatakan:
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; dan e) mendorong pendayagunaan produksi nasional.
--Peran Serta Masyarakat-- yakni: 1) Masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan kepariwisataan. 2) Dalam rangka proses pengambilan keputusan, Pemerintah dapat mengikutsertakan masyarakat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) melalui penyampaian saran, pendapat, dan pertimbangan.
Pariwisata secara universal harus mampu menghadapi kompetisi global serta memberikan nilai tambah bagi masyarakat. Oleh karena itu peran Pemerintah sebagai pelaku dan sekaligus fasilitator sangatlah besar dan sangat diperlukan untuk menjamin terlaksananya pembangunan dan pengembangan kepariwisataan yang berkelanjutan, dengan mengikutsertakan dan mengoptimalisasikan para pelaku pembangunan di sektor pariwisata, yakni: Pemerintah/Pemda, masyarakat lokal, swasta/investor. Peran tersebut dapat diwujudkan dalam Kebijaksanaan Umum Pengembangan Pariwisata, yaitu kebijakan untuk menjaga keseimbangan antara peran serta Pemerintah, swasta, dan masyarakat” (Suwantoro, 1997).
Pembangunan pariwisata berbasis komunitas jelas-jelas memiliki potensi yang baik yang
bersifat positif maupun negatif, sebagaimana dikemukakan oleh Karyono (1997):
“…Potensi positif pembangunan pariwisata berbasis komunitas meliputi: 1) Makin luasnya kesempatan usaha; 2) Makin luasnya lapangan kerja; 3) Meningkatnya pendapatan masyarakat dan Pemerintah; 4) Mendorong pelestarian budaya dan penggalan sejarah; 5) Mendorong terpeliharanya lingkungan hidup; 6) Terpeliharanya keamanan dan ketertiban; 7) Mendorong peningkatan dan pertumbuhan di bidang pembangunan sektor lainnya; dan 8) Memperluas Wawasan Nusantara, memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta menumbuhkan cinta tanah air.
Di sisi lain, terdapat pula potensi negatif pembangunan pariwisata berbasis komunitas, yakni: 1) Harga di daerah yang menjadi tujuan pariwisata makin tinggi; 2) Terjadinya pencemaran lingkungan alam dan lingkungan hidup; 3) Terjadinya sifat ikut-ikutan oleh masyarakat setempat; 4) Tumbuhnya sikap mental materialistis; 5) Timbulnya pedagang asongan;6) Tumbuhnya sikap meniru wisatawan; dan 7) Meningkatnya tindak pidana”
Pada sisi lain, bisa dilihat beberapa ciri-ciri atau karakteristik pengembangan pariwisata berbasis
komunitas sebagaimana dimaksudkan oleh Nasikun (dalam Fandeli, 2000), yakni :
a. Berskala kecil (small scale), sehingga lebih mudah diorganisasikan. Jadi jenis pariwisata yang
bersahabat dengan lingkungan, secara ekologis aman, dan tidak menimbulkkan banyak dampak
negatif.
b. Lebih berpeluang untuk dikembangkan dan diterima oleh masyarakat lokal.
c. Lebih memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dari proses perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, maupun penerimaan manfaat dan keuntungan.
d. Selain menekankan partisipasi masyarakat, pembangunan berwawasan kerakyatan juga sangat
mementingkan keberlanjutan kultural (cultural sustainability), dan secara keseluruhan berupaya
untuk membangkitkan “rasa hormat” dan “penghargaan” wisatawan terhadap kebudayaan lokal.
Dengan karakteristik tersebut, pengembangan suatu kawasan atau objek wisata yang
memanfaatkan pendekatan pembangunan berbasis komunitas, akan lebih memberdayakan dan
menguntungkan masyarakat, meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, untuk kemudian
keseimbangan dan keberlanjutan potensi atau modal dasar kepariwisataan di kawasan objek wisata
tersebut akan tetap terjaga dan terpelihara. Sebenarnyalah pembangunan merupakan sebuah
social-learning yang menuntut adanya partisipasi masyarakat lokal dalam berbagai tahap pembangunan,
sehingga pengelolaan pembangunan benar-benar dilakukan oleh mereka yang hidup dan kehidupannya
paling dipengaruhi oleh pembangunan tersebut, sebagaimana dikatakan Korten (dalam Pitana, 1999).
Masih menurut Korten, ada tiga alasan dasar yang menjelaskan mengapa konsep tersebut
penting untuk dilaksanakan, yaitu pertama: variasi antar daerah (local variety) sehingga setiap daerah
tidak dapat diberikan perlakuan yang sama. Setiap daerah memiliki ciri-ciri tersendiri, dan berbeda satu
dengan yang lainnya, karena itu sistem pengelolaannya juga harus berbeda, dan masyarakat lokal
sebagai pemilik daerah adalah pihak yang paling mengenal dan paling akrab dengan situasi daerahnya.
Kedua, adanya sumberdaya lokal (local resources), yang secara tradisional dikuasai oleh masyarakat
lokal tersebut, karena pengalaman itu sudah dilaksanakanan beberapa generasi. Ketiga, tanggung jawab
bertanggung jawab, karena kegiatan tersebut secara langsung akan mempengaruhi hidup mereka. Hal
ini berarti masyarakat lokal umumnya selalu memiliki moral dan tanggung jawab yang lebih tinggi
daripada pengelola yang berasal dari luar daerah tersebut.
Model pengembangan pariwisata berbasis komunitas yang mengikuti perubahan global dan
perkembangan dunia kepariwisataan, merupakan unsur pendukung kepariwisataan dengan cara
melibatkan secara langsung masyarakat di sekitar objek kawasan wisata. Keterlibatan masyarakat ini
juga sampai pada pelayanan informasi, pelayanan telekomunikasi, pelayanan angkutan, maupun
pelayanan administrasi untuk keperluan bisnis, hotel dan restoran, tour & travel, transportasi, souvenir,
serta bidang pendidikan kepariwisataan. Sementara itu, usaha-usaha pariwisata yang masih bisa
dikelola oleh Pemda bersama dengan masyarakat setempat ialah penginapan, penggunaan ruang
pertemuan, penggunaan fasilitas jasa layanan masuk tempat rekreasi, pelabuhan udara dan dermaga,
maupun money changer. Pelaksanaan aktivitas berbagai usaha kepariwisataan ini harus didukung
sepenuhnya oleh para pramuwisata atau seseorang yang telah mendapat izin (license) dari Pemerintah
Daerah untuk bertugas memberikan bimbingan, penerangan, dan petunjuk tentang objek wisata serta
membantu segala sesuatu yang diperlukan wisatawan.
Keterlibatan lain dari masyarakat juga dapat dilihat dari berbagai fungsi ketenagakerjaan, baik
yang bersifat positif, maupun negatif, yakni sebagai tenaga kerja pada usaha pariwisata seperti
pramuwisata (guide), peramu minuman, penerima tamu (receptionist), pramusaji, juru masak, operator
telepon, satpam, dan lain-lain.
Semakin maraknya aktivitas pariwisata alternatif yang mengarah pada konsep kesinambungan
pariwisata, melahirkan partisipasi masyarakat dari berbagai jasa kepariwisataan dapat dilakukan di
kawasan Daerah Tujuan Wisata.
Konsep Tourism Based Community Development memang telah menjadi fokus bisnis pariwisata
sejak dari negara asal sampai kembali lagi ke negerinya, merupakan peluang strategis bagi manajemen
untuk melakukan diversifikasi usaha kepariwisataan (tourism business). Hal itu ditambah lagi dengan
arus pergerakan wisatawan nusantara yang turut memberikan kontribusi bagi upaya pemberdayaan
ekonomi masyarakat di Daerah Tujuan Wisata, serta dalam rangka peningkatan pendapatan daerah.
Oleh karena itu, pengembangan pariwisata berbasis komunitas yang dilaksanakan di berbagai
daerah semakin penting, tidak saja dalam rangka meningkatkan penerimaan devisa negara, melainkan
juga dapat memperluas kesempatan berusaha, di samping memberikan lapangan pekerjaan baru bagi
masyarakat serta untuk mengurangi pengangguran. Oleh karena itu pulalah pembangunan dan
pengembangan pariwisata berbasis komunitas pada suatu daerah tujuan wisata sangat erat kaitannya
dengan pembangunan perekonomian terutama bagi distribusi pendapatan masyarakat di daerah. Hal itu
memberi pengertian bahwa pengembangan kepariwisataan yang mengacu pada pembangunan
pariwisata berbasis komunitas harus selalu memperhitungkan keuntungan dan manfaatnya bagi
masyarakat, yaitu dari sisi meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan laju pertumbuhan
perekonomian daerah, dan pada gilirannya nanti untuk meningkatkan devisa negara.
Menurut Yoeti (1997) industri pariwisata akan menyumbangkan devisa melalui:
1) Penerimaan visa-fee sewaktu wisatawan akan berangkat ke Indonesia pada kedutaan/perwakilan
Indonesia di luar negeri;
2) Hasil penjualan tiket pesawat udara atau kapal laut (bila pesawat udara atau kapal laut yang
digunakan adalah pesawat atau kapal yang merupakan milik bangsa Indonesia);
3) Biaya taxi/coach bus untuk transfer dari lapangan udara ke hotel dan sebaliknya;
4) Sewa kamar hotel selama menginap pada beberapa kota yang dikunjungi;
5) Biaya makanan dan minuman pada Bar dan Restoran, dalam maupun di luar hotel;
7) Biaya taxi untuk transportasi lokal untuk keperluan berbelanja (shopping) dan keperluan pribadi
lainnya;
8) Pengeluaran untuk membeli barang-barang souvenir serta barang-barang lainnya, yang dibeli pada
beberapa kota yang dikunjunginya; dan
9) Fee perpanjangan visa di tempat atau kota yang dikunjunginya (bila diperlukan).
Pada sisi lain, pengembangan sektor pariwisata harus pula diarahkan bagi terwujudnya tahapan
pengembangan pariwisata yang berkelanjutan (sustainability of tourism development), yang
mensyaratkan:
1) Prinsip pengembangan yang berpijak pada keseimbangan aspek pelestarian dan pengembangan
serta berorientasi ke depan (jangka panjang);
2) Penekanan pada nilai manfaat yang besar bagi bagi masyarakat setempat;
3) Prinsip pengelolaan assets/sumberdaya yang tidak merusak namun berkelanjutan untuk jangka
panjang baik secara sosial, budaya, dan ekonomi;
4) Adanya keselarasan sinergis antara kebutuhan wisatawan, lingkungan hidup dan masyarakat lokal.
Antisipasi dan monitoring terhadap proses perubahan yang terjadi akibat kegiatan pengembangan
pariwisata;
5) Pengembangan pariwisata harus mampu mengembangkan apresiasi yang lebih peka dari masyarakat
terhadap warisan budaya dan lingkungan hidup.
Oleh karena itulah, keberadaan suatu kawasan objek wisata perlu untuk selalu dipelihara,
dirawat, diperbaiki, ataupun dikembangkan sehingga tetap menarik untuk dikunjungi, karena bila suatu
kawasan kepariwisataan telah dirasakan masyarakat setempat sebagai miliknya sendiri dan berfungsi
dalam kehidupannya, maka keberlanjutan kepariwisataan di daerah tersebut akan tetap dipelihara dan
dijaga oleh masyarakat setempat. Hal ini mutlak harus dilakukan mengingat potensi pengembangan
aset kunci, seperti sejarah keagamaan, seni, kerajinan, musik dan tari, dan gaya hidup tradisional di
berbagai daerah; bentangan alam yang indah, meliputi gunung berapi dan daerah pegunungan,
pulau-pulau dan lingkungan bahari, pantai maupun hutan hujan; letaknya yang dekat dengan pasar-pasar
pertumbuhan di Asia, seperti Singapura, Jepang, Hongkong, Korea dan Cina untuk jangka panjang;
penduduk yang sangat besar jumlahnya dan semakin kaya, akan membentuk pasar domestik yang
menunjang perkembangan pariwisata; serta tenaga kerja yang besar dan relatif murah, dan dengan
demikian dapat menghasilkan produk dengan harga yang dapat bersaing (Faulkner, 1997).
1.2 Perumusan Masalah
Sektor pariwisata merupakan sektor unggulan yang dapat memberikan kontribusi besar bagi
penerimaan daerah, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peran aktif dan pelibatan
masyarakat bersama Pemerintah Daerah dalam mengoptimalkan potensi sumberdaya pariwisata daerah
secara terpadu dan berkesinambungan, sekaligus mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah dan
pemberdayaan masyarakat.
Disamping itu, dengan memberikan kesempatan dan peluang yang sebesar-besarnya kepada
masyarakat dalam mengelola jasa wisata alam diharapkan mampu meningkatkan manfaat objek dan
daya tarik wisata alam, sehingga kegiatan pariwisata alam dapat membantu menunjang program
pengentasan kemiskinan melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dalam rangka menjadikan pariwisata sebagai motor penggerak perekonomian daerah, sangat
dibutuhkan campur tangan Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat setempat dan pihak swasta
untuk mengembangkannya. Perencanaan yang layak bagi pembangunan pariwisata saat ini sudah
saatnya untuk dimulai mengingat banyak negara telah mengenali pariwisata sebagai komponen utama
untuk melanjutkan pembangunan ekonomi, dan mereka mencari jalan untuk meningkatkan keuntungan
Dengan menyadari kekuatan potensi kepariwisataan Indonesia pada umumnya dan potensi
daerah khususnya, maka sangat diperlukan terobosan bagi upaya pengembangan sektor pariwisata
untuk dapat menggerakkan para pelaku kepariwisataan di daerah khususnya, yakni antara Pemerintah
Daerah, masyarakat setempat dan pihak swasta.
Bertolak dari alur pemaparan yang disampaikan, maka lebih khusus lagi dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut: “Bagaimana perencanaan yang harus dilakukan dalam rangka
Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat
Sumatera Utara?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini ialah:
1. Mengetahui kebijakan Pembangunan Pariwisata yang telah dilakukan Pemerintah Daerah
Kabupaten Langkat, terrutama terhadap kawasan Tangkahan,
2. Menganalisis pengembangan ekowisata berbasis komunitas, agar dapat diidentifikasi adanya isu-isu
strategis yang perlu direspon melalui perumusan Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis
Komunitas di Kawasan Tangkahan Kabupaten Langkat secara komprehensif melalui proses
partisipatif, dengan memperhatikan sensitifitas ekosistem, potensi sumberdaya alam, optimalisasi
peran serta masyarakat.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil studi ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi para pembacanya, memberikan
manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kepariwisataan,
pemberdayaan masyarakat, setidaknya mereka yang tertarik untuk mengamati dan mempelajarinya
Hasil studi ini juga diharapkan bermanfat dan dapat menjadi informasi (input) bagi para
perencana dan pengambil keputusan strategis dalam menata kebijakan pengembangan ekowisata
berbasis komunitas, bagi Pemerintah dan bagi masyarakat setempat sebagai pemilik daerah objek
wisata tersebut.
Dengan perencanaan yang baik serta strategi pengembangan yang terarah dan jitu, maka
kawasan objek wisata yang memiliki potensi-potensi kepariwisataan seperti lingkungan alam, budaya
dan tradisi kehidupan masyarakat setempat dapat berjalan harmonis berkelanjutan dengan kualitas yang
dapat diandalkan dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat dalam kancah kepariwisataan baik
Gamabar 1 : Palang Selamat Datang Kawasan Ekowisata Tangkahan ( dok. Pribadi)
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pariwisata Alternatif dan Ekowisata
Masalah perencanaan yang layak bagi pembagunan pariwisata saat ini memiliki matra yang
bersifat nasional dan internasional. Pada tingkat nasional, banyak negara di dunia ini telah mengenali
pariwisata sebagai komponen utama untuk melanjutkan pembangunan ekonomi Negara dan mereka
mencari jalan untuk meningkatkan keuntungan yang tampaknya dapat diharapkan dari pariwisata.
Pada tingkat internasional, aliran pariwisata antar Negara merupakan bagian terbesar dari
kegiatan pariwisata, sebagai contoh misalnya, Indonesia dan Australia merupakan Negara yang giat
membangun industri pariwisatanya atas nama pembangunan ekonomi nasional, dan perlu diketahui
bahwa kegiatan pariwisata di kedua Negara tersebut sangat bergantung kepada daya tarik sumberdaya
alamnya yang unik, namun di banyak tempat sumberdaya alam tersebut terancam oleh wisatawan yang
besar jumlahnya yang datang mengunjunginya secara massal.
Oleh karena itulah sangat dibutuhkan penyusunan kebijaksanaan mengenai perencanaan
perluasan pariwisata di masa yang akan datang, semisal mengenai cara yang terbaik untuk
menyeimbangkan pembangunan pariwisata dengan sumberdaya alam dalam pembangunan
perekonomian nasional. Dalam kekhawatiran itu pulalah muncul berbagai isyu kebijakan dalam
perencanaan pembangunan pariwisata yaitu bagaimana dapat direncanakan suatu pembangunan
pariwisata yang berkelanjutan, dan kegiatan yang bergerak ke arah pariwisata alternatif.
Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan pada intinya berkaitan dengan usaha menjamin
agar sumberdaya alam, sosial dan budaya yang kita manfaatkan untuk pembangunan pariwisata dalam
generasi ini dilestarikan untuk generasi yang akan datang.
Sementara hal ini cenderung menjadi bahan perbincangan utama mengenai isu pembangunan
tergantung kepada kelangsungan hidup dunia perdagangannya. Dengan perkataan lain, boleh dikatakan
bahwa tak ada manfaatnya segala upaya menetralkan dampak yang negatif terhadap lingkungan alam,
sosial dan budaya dari kegiatan pariwisata apabila kita kehilangan wawasan akan perlunya kegiatan ini
menghasilkan manfaat ekonomi, dan yang lebih penting lagi, manfaat itu harus disebarkan secara
merata di antara penduduk kawasan.
Dalam pengembangan pariwisata alternatif, konsep pembangunan berkelanjutan merupakan
konsep alternatif yang mencakup usaha untuk mempertahankan integritas dan diversifikasi ekologis,
memenuhi kebutuhan dasar manusia, terbukanya pilihan bagi generasi mendatang, pengurangan
ketidakadilan dan peningkatan penentuan nasib sendiri bagi masyarakat setempat.
Menurut Schouten (1992), hal yang melatarbelakangi munculnya konsep pembanguan
berkelanjutan adalah sebagai “the central concept behind sustainable development is that”. Lingkungan
kebudayaan (cultural enveiroment) kini mengalami tekanan yang sangat berat, sama halnya dengan
yang dialami oleh lingkungan alam (natural environment). Warisan budaya manusia kini berada di
posisi yang cukup berbahaya dan memprihatinkan, dan semua tekanan yang dialami ini bukan semata–
mata disebabkan oleh pesatnya industri pariwisata saja, melainkan juga disebabkan oleh berbagai faktor
seperti urbanisasi, peningkatan pertumbuhan penduduk dunia yang begitu pesat, masuknya industri
teknologi yang berada di luar kontrol (uncontrolled), maupun karena perubahan infrastruktur yang
begitu cepat terjadi dibanyak Negara di dunia ini.
Menghadapi kenyataan ini, para cendikiawan, pencinta lingkungan, tokoh masyarakat dan
banyak pihak lain, mencoba memberi jalan keluar yang dapat mencegah atau meminimalkan dampak
negatif pembangunan yang telah berlangsung, pembangunan yang kurang memperhatikan semua
warisan sumberdaya alam dan budaya manusia, yang hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi
semata. Pendekatan pembangunan yang berkelanjutan bertujuan untuk menghentikan disintegrasi,
Namun begitu, pendekatan pembangunan yang berkelanjutan tidak bermaksud untuk menghentikan
pembangunan dan inovasi yang ada di dalam masyarakat. Pendekatan pembangunan yang
berkelanjutan hanya berupaya untuk mengawasi pembangunan agar lebih memperhatikan
kemungkinan– kemungkinan yang harus dihadapi generasi yang akan datang dengan bercermin ke masa
lalu (Schouten 1992).
Masih menurut Schouten, dalam pendekatan pembangunan yang berkelanjutan, tiga elemen
kunci yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam pengembangan pariwisata yakni :
1. Quality of the experience ( outtomers )
2. Quality of the resources ( culture and natural envirament )
3. Quality of life ( for local people ).
Keserasian dan keharmonisan ketiga elemen tersebut mencerminkan apa yang menjadi dasar
dari falsafah pembangunan yang berkelanjutan, sebagaimana digambarkan Schouten (1992).
Quality of life
-Integration in society -Economi viability -Social imoact
Quality of experience Quality of the resources -Uniquueness - Integrity
-Curiousity - Capacity -Imagination - Preservation
Pengembangan pariwisata alternatif memang harus menggunakan pendekatan pembangunan yang
berkelanjutan, karena sumberdaya alam, lingkungan dan budaya yang terpelihara dan terjaga
kualitasnya merupakan potensi dan modal utama yang dapat menarik wisatawan.
Dengan pengembangan pariwisata yang berkelanjutan, diharapkan hubungan ketiga elemen
pariwisata yaitu masyarakat setempat, wisatawan dan sumber daya alam dapat berjalan seimbang dan
harmonis serta terjaga kualitasnya.
World Commission on Environment and Development (WCED 1987 dalam: Nash 1996)
mengatakan bahwa, “Sustainable development is development that meets the needs of the present
without compromising the ability of the future generation to meet their own needs“.
Secara lebih jelas prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang dituliskan dalam laporan
World Tourism Organization ( WTO, 1993 ) adalah sebagai berikut :
1. Ecological sustainability ensures that development is compatible with the maintenance of essential
ecological process, biological diversity and biological resources.
2. Social & cultural sustainability, ensures that development increases people’s control over their
lives, is compatible with the culure and valves of people affected by it, and maintans and
strengthens community indentity.
3. Economic sustainability, ensores that development is economically efficient and that resources are
managed so that they can support future generations.
Konsep pembangunan berkelanjutan memang sangat mewarnai pembangunan kepariwisataan
yang dikenal sebagai pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourisun
development), dan selalu pula disamakan dengan pariwisata alternatif. Eadington dan Smith
memberikan defenisi “form of tourism that are consistent with natural, social and worth while
Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan pada perinsipnya selalu menjaga keberlanjutan
kualitas pengalaman wisatawan, kualitas hidup masyarakat lokal dan juga kualitas lingkungan
sumberdaya alam. Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan menekankan tujuan dan kerjasama
antara wisatawan, masyarakat setempat dan daerah tujuan wisata, untuk saling melengkapi satu sama
lain. Kontinuitas sumberdaya alam dan budaya masyarakat setempat dapat berjalan seiring dengan
kepuasan wisatawan dan keharmonisan di antara industri pariwisata, pecinta lingkungan dan
masyarakat lokal.
Dalam pariwisata yang berkelanjutan, kebutuhan masyarakat setempat adalah hal yang utama
untuk diperhatikan, baik dalam perencanaan maupun manajemen kepariwisataan. Dampak negatif
kepariwisataan harus diupayakan agar tidak merusak tatanan kehidupan sosial dan budaya masyarakat
lokal, karena kualitas pengalaman wisatawan juga sangat tergantung pada kehidupan sosial dan budaya
yang terdapat pada kawasan objek wisata tersebut.
World Taurism Organization (1999) menyarankan prinsip pokok pariwisata berkelanjutan yang
sebaiknya diperhatikan dalam pengembangan pariwisata altrnatif yakni :
1. Tourism planning, development and operation should be part of conservation or sustainable
depelopment strategies for a region, a province (state) or nation. Tourism planning, development
and operation shouldbe crossectoral and intergrated, involving government agencies, private
corporations, citizens groups and individual thus providing the widest possible benefits.
2. Tourism should be planned and managed in a sustainable manner, with due regard for the
protection and appropriate economic uses of the natural and human environment in host areas.
3. Tourism should be undertaken with equity in mind to distribute fairly benefits and costs among
tourism promoters and host people and areas.
4. Good information, research and communication on the nature of tourism and its effects on the
for the local people, so that they can participate in and influence the direction of development and
its effects as much as possible, in the individual and collective interest.
5. Local people should be encouraged and expected to undertake leadership roles in planning, and
development with the assistance of government, bussines, financial and other interests.
6. Intergrated environmental, social and economic planning analysis should be undertaken prior to
the commencement of any mayor projects, with careful consideration given to different types of
tourism development and the ways in which they might link with existing uses, ways of life and
environmental considerations.
7. Throughout all stages of tourism development and operation, a careful assessment monitoring and
mediation program should be conducted in order to allow local people and others to take
advantage of opportunities or to respond to changes.
Secara teoritis, pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat tercapai kalau pemanfaatan
sumberdaya tidak melampaui kemampuan regenerasi sumberdaya tersebut, dan keterlibatan
masyarakat lokal dianggap sebagai prasyarat multak untuk tercapainya pembangunan berkelanjutan
(Woodley 1993, dalam Pitana , 2001).
Konsep-konsep pembangunan yang berkelanjutan, pariwisata alternatif maupun pengembangan
pariwisata yang berbasis masyarakat, selalu menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat lokal
secara penuh, mulai dari perencanaan, pengelolahan, pengawasan dan pemanfaatan keuntungan
ekonomi yang diperoleh dari keberadaan pariwisata di daerahnya, disamping skalanya yang kecil dan
tidak melebihi daya tampung (carriying capacity) kawasan tersebut.
Pengembangan ekowisata yang mensejahterakan masyarakat, yang menempatkan masyarakat
sebagai subjek pembangunan merupakan pengembangan kepariwisataan yang relevan diprioritaskan
saat ini, sehingga masyarakat tidak hanya belajar ketrampilan untuk pengelolaan berbagai usaha
yang dilakukan tidak hanya memberikan keuntungan dan kemajuan bagi kepariwisataan itu saja, tetapi
lebih jauh masyarakat juga akan lebih memahami dan menyadari tentang lingkungan dan beragam
budaya manusia yang berbeda antara satu dengan yang lainya. Dengan demikian pembanguan
pariwisata yang dilakukan tidak hanya akan memberikan keuntungan dan kemajuan bagi
kepariwisataan itu saja, tapi juga untuk mencapai berbagai tujuan lainnya (Ardika , 2001)
International Union for the Conservation of Nature. (IUCN), United Nations Enviroment
Programme ( UNEP ), dan World Wildlife Fund (WWF) pada tahun 1980 mengeluarkan sebuah strategi
konservasi dunia ( world conservation strategy) untuk mencapai tiga tujuan pokok , yaitu :
1. Mempertahankan proses-proses ekologi yang esensial dan system pendukungnya
2. memelihara keanekaragaman genetik
3. menjamin kegunaan ekosistem dan spesiesnya secara berkelanjutan.
Pada tahun 1987, Komisi Sedunia Tentang Lingkungan Hidup dan Pembanguan (World
Commission on Enviroment and Development) yang banyak dikenal sebagai komisi Brundlandt,
menyatakan argumentasinya bahwa linkungan dan pembagunan masa kini yang terjadi tidak
berkelanjutan dan bahwa diperlukan tindakan-tindakan baru yang menjamin berkelanjutan dunia untuk
masa mendatang.
Sebagai tema sentral, komisi Brunlandt mendefinisikan istilah Sustainable Development sebagai
“pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi
yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka“ (Soemarwoto, 2001)
Kritik-kritik terhadap definisi Sustainable Development ini lebih menyangkut pada ketepatan
interpretasi dari pengertian tersebut. Eckholm (1982) menyatakan : “Sustainable Development may
beson as economis growth that is ecologically sustainable and satisfies the essential needs of the
Underclass”. Kontrakdisi dalam istilah sustainable development yang memadukan kata “kebelanjutan“
Menurut Grundy (1993) konsep Sustainable Development merupakan “ a new Set of valdes,
beliefs and assumptions” Bagi Grundy, paradigma yang dimunculkan ini melihat masalah kemanusiaan
dan lingkungan alam bukan sebagai dua hal yang terpisah. Sebagai hasilnya, Sustainable Development
dapat meningkatkan status sosial dan tetap menjamin berkelanjutan lingkungan untuk generasi
mendatang. Secara spesifik Grundy menyebutkan bahwa konsep Sustainable Development terdiri dari
tiga elemen system yang menyangkut:
1. Keberlanjutan ekologi
2. Keberlajutan sosial , dan
3. Keberlajutan ekonomi.
Konsep Sustainable Development kemudian oleh Burns dan Holden (1997) diadaptasi untuk bidang
pariwisata sebagi sebuah model yang mengintergrasikan lingkungan fisik (place) linkungan budaya (
host community) dan wisatawan (visitor)
Gambar 3 : Model untuk Sustainable Tourism Development ( Sumber : Burns & Holden , 1997 )
Adapun prinsip-prinsip yang menjadi acuan dalam Sustainable Tourism Development ini menurut
1. Lingkungan memiliki nilai hakiki yang juga bisa sebagai asset pariwisata. Pemanfaatannya bukan
hanya untuk kepentingan pendek, namun juga untuk kenpentingan generasi mendatang.
2. Pariwisata harus diperkenalkan sebagai aktifitas yang positif dengan memberikan keuntungan
bersama kepada masyarakat, lingkungan dan wisatawan itu sendiri.
3. Hubungan antara pariwisata dan lingkungan harus dikelola sehingga lingkungan tersebut
berkelanjutan untuk jangka panjang. Pariwisata harus tidak merusak sumberdaya, masih dapat
dinikmati oleh generasi mendatang atau membawa dampak yang dapat diterima.
4. Aktifitas pariwisata dan pembangunan harus peduli terhadap skala/ ukuran alam dan karakter
tempat kegiatan tersebut dilakukan.
5. Pada lokasi lainnya, keharmonisan harus dibangun antara kebutuhan-kebutuhan wisatawan, tempat/
lingkungan , dan masyarakat lokal.
6. Dalam dunia yang dinamis dan penuh dengan perubahan, dapat selalu memberikan keuntungan .
Adaptasi terhadap perubahan, bagaimanapun juga, jangan sampai keluar dari prinsip-prinsip ini.
7. Industri pariwisata, pemerintah lokal dan lembaga swadaya masyarakat, pemerhati lingkungan,
semuanya memiliki tugas untuk peduli pada prinsip-prinsip tersebut di atas dan kekerja bersama
untuk merealisasikannya.
Bentuk pariwisata seperti yang biasa dikenal hingga saaat ini --- yang sering disebut pariwisata
modern --- bermula dari suatu bentuk kegiatan wisata yang dipelopori oleh Thomas Cook yang
menyelengarakan suatu inclusive tour pada tahun 1841, dan diikuti oleh 570 orang peserta berkat upaya
promosi yang dilakukan melalui iklan.
Keberhasilan Thomas Cook ini kemudian ditiru oleh orang-orang lain dengan mendirikan
perusahaan-perusahaan perjalanan (tour operator), yang menyelengarakan berbagai paket wisata
(packaged tours) dan berkembang menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia, dan Thomas
bentuk-bentuk pariwisata alternatif, pariwisata modern yang telah berusia lebih dari satu setengah abad itu
kemudian disebut pariwisata konvensional.
Pada dekade belakangan ini industri pariwisata (konvensional) ternyata telah mulai berubah
secara radikal. Perubahan yang terjadi berasal dari karakteristik wisatawan yang berpergian ke daerah
tujuan wisata yang sudah berkembang atau yang baru, maupun oleh karakteristik peristiwa budaya,
kawasan dan hal-hal lain sebagai komponen penyediaan dalam upaya menarik wisatawan.
Perbedaan antara pariwisata lama dan pariwisata baru seperti yang dinyatakan oleh Poon (dlm.
Faulkner, 1997) terletak pada karakteristik konsumennya, cara pengelolaanya saat ini, teknologi yang
diterapkan, dan proses produksi yang membuat pariwisata lama menjadi bentuk yang dikemas secara
baku dan kaku, sementara pariwisata baru mengarah ke kelompok yang lebih kecil, lebih luwes dan
lebih mandiri.
Perubahan pariwisata yang lain ialah pola ruangnya, arus wisatawan ke Negara berkembang
maningkat lebih pesat dari sebelumnya dan juga lebih cepat dari perubahan arus wisatawan ke negara
maju. Arus dari negara maju ke negara maju telah menurun secara proporsional pada sepuluh tahun
terakhir ini, karena semakin kuatnya minat wisatawan akan budaya asli daa alam yang murni.
Perubahan bentuk pariwisata yang dimksud adalah munculnya pariwisata alternatif yang oleh Edington
dan Smith diberi batasan sebagai ”Bentuk pariwisata yang konsisten dengan nilai-nilai alam, sosial dan
masyarakat yang memungkinkan baik tuan rumah maupun pengunjung untuk menikmati interaksi yang
positif dan berarti dan saling membagikan pengalamannya” (Gunawan, 1997).
Pariwisata alternatif merupakan bentuk oposisi dari pariwisata konvensional/ masal. Menurut
Wearing dan Neil (2000) pariwisata alternatif didefenisikan sebagai bentuk-bentuk pariwisata yang
menaruh perhatian dan konsisten terhadap alam, sosial dan nilai-nilai kemasyarakatan, dan memberikan
kesempatan wisatawan dan penduduk lokal untuk berinteraksi dan menikmatinya secara positif dan
Gambar 4: Tipe Pariwisata & Ragamnya ( Wearing dan Neil , 2000 )
Dari karakteristik yang digambarkan di atas dapat dilihat bahwa ekowisata adalah salah satu
bentuk dari pariwisata alternatif. Dalam istilah yang paling sederhana, ekowisata dapat digambarkan
sebagai kegiatan wisata dengan dampak yang minimal, koservasi, bertanggung jawab dan apresiatif
terhadap lingkungan dan budaya masyarakat yang dikunjungi.
Sementara itu para pemerhati/pakar lingkungan mulai menyadari bahwa upaya-upaya menjaga
kelestarian lingkungan tidak akan efektif jika tidak didukung oleh masyarakat luas, khususnya
penduduk setempat, dan penduduk setempat akan mendukungnya jika mereka juga dapat memperoleh
manfaat dari lingkungan yang lestari tadi, sehingga kesejahteraan hidup mereka bisa meningkat.
Sehubungan dengan itu pada tahun 1993, The Ecotourism Society memberi rumusan defenisi
yang bersifat pro-aktif tentang pengertian ecotourism, yaitu ecotourism is responsible travel to natural
areas which conserves the environment and improves the welfare of local people. Selanjutnya The
Ecotourism Society menetapkan delapan prinsip pengembangan ekowisata, yaitu:
1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya,