• Tidak ada hasil yang ditemukan

TATA SUKU DAN TATA SPASIAL PADA ARSITEKTUR PERMUKIMAN SUKU DAWAN DI DESA KAENBAUN DI PULAU TIMOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TATA SUKU DAN TATA SPASIAL PADA ARSITEKTUR PERMUKIMAN SUKU DAWAN DI DESA KAENBAUN DI PULAU TIMOR"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 PRESS RELEASE

TATA SUKU DAN TATA SPASIAL

PADA ARSITEKTUR PERMUKIMAN SUKU DAWAN DI DESA KAENBAUN DI PULAU TIMOR

1. Latar belakang

Indonesia memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam dan kaya dengan kandungan keunikan lokal, termasuk keberadaan dan kekayaan arsitektur lokal. Sudah waktunya pembangunan di Indonesia bertumpu pada fondasi kekayaan alam dan budaya lokal tanpa meninggalkan unsur-unsur modern. Kekayaan kearifan lokal akan menjadi kekuatan yang luar biasa jika digabungkan-disinerjikan dengan kekayaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang menghormati kekayaan lokal. Dalam bidang arsitektur, kekayaan arsitektur lokal yang sangat beragam menjadi tanah-tumbuh karya arsitektur yang lebih baru, menjadi inspirasi dan ibu pertiwi karya arsitektur.

Dari berbagai kajian dan seminar terlihat jelas bahwa perhatian kepada arsitektur vernakular Nusantara semakin meningkat. Semangat Rudofsky (1964) yang menghormati arsitektur tradisi rakyat (folk tradition) semakin tumbuh dan berkembang, bahkan sejak tahun 1970 menjadi wacana penting dalam dunia arsitektur. Di Indonesia sejak tahun 1990-an berbagai seminar dan penelitian dengan tema arsitektur vernakular tumbuh subur di kalangan perguruan tinggi. Semua usaha itu bertujuan membangun pengetahuan tentang arsitektur vernakular Nusantara sebagai bagian dalam upaya mengangkat kearifan lokal di bidang arsitektur.

Indonesia adalah negara multi-kultural dengan jumlah suku bangsa sebanyak 366 suku atau sejumlah 472 suku termasuk sub-sukunya, dan kemungkinan juga terdapat 472 bentuk agama asli (Subagya, 1981:29). Oleh karenanya, Indonesia memiliki kekayaan kearifan lokal yang signifikan untuk penataan lingkungan dan arsitektur permukiman. Salah satu kekayaan budaya arsitektur lokal yang menarik ada di wilayah Nusa Tenggara, khususnya di pulau Timor.

Desa Kaenbaun yang terletak di pulau Timor adalah desa multi-suku yang ditinggali oleh empat

“suku besar” (disebut “suku-laki-laki atau lian mone”), yakni suku Basan, Timo, Taus dan Foni dan empat “suku kecil” (disebut “suku-perempuan atau lian feto”), yakni Sait, Salu, Kaba dan Nell yang hidup bersama di dalamnya. Kedelapan suku di desa Kaenbaun termasuk ke dalam kelompok suku Dawan dan menggunakan bahasa Dawan.

(2)

2 Orang Kaenbaun dikenal sebagai orang yang sangat hormat dan taat kepada nenek-moyang, antara lain karena selalu memulai dan mengakhiri kegiatan dengan upacara-adat, baik ritual siklus pertanian maupun siklus hidup. Hubungan yang dekat antara nenek-moyang dan keturunannya juga tercermin pada nama orang Kaenbaun, yang hampir selalu menggunakan nama nenek-moyang sebagai wujud hormat kepada mereka. Dapat dikatakan, warga Kaenbaun sangat hormat dan taat kepada nenek-moyang mereka (nenek-moyang desa maupun nenek-moyang suku).

Gereja Katolik ada di Kaenbaun sejak era ketemukungan di Kaenbaun, sekitar tahun 1930-an.

Bahkan di desa Niufbanu yang merupakan desa pertama pasca-perangsuku pernah menjadi pusat kunjungan warga Kaenbaun dan desa-desa sekitarnya. Gereja dan sekolah pernah menjadi pusat misi Katolik di pedalaman karena menjadi pusat paroki sementara, kemudian surut karena pusat paroki dipindahkan ke Kuatnana (ibukota kerajaan Tunbaba).

Fokus perhatian studi ini adalah tentang tata spasial pada ”arsitektur permukiman vernakular”

dalam kaitan dengan konteks sosio-budaya suku Dawan di Kaenbaun. Terminologi ”arsitektur”

dikaitkan dengan ”permukiman” pada desa Kaenbaun dilandasi oleh semangat dan pemikiran Rudofsky (1964), sehingga dalam menggunakan sikap menghormati bahwa desa Kaenbaun sebagai wadah kehidupan orang Dawan merupakan sebuah karya arsitektur yang patut dikaji dalam ilmu arsitektur.

2. Hasil penelitian

Penelitian ini menemukan teori substantif yaitu ”Tata Suku dan Tata Spasial” pada permukiman Kaenbaun yang mengandung dimensi sosial dan spiritual, maka disebut teori sosio-spiritual spasial (socio-spiritual spatial theory). Tata suku di Kaenbaun sangat kuat berlaku pada tata kehidupan orang Kaenbaun dan muncul pada perilaku spasial orang Kaenbaun, dari perilaku sehari-hari hingga perilaku resmi-sakral. Studi ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip tata suku terungkap pada tata spasial permukiman Kaenbaun menjadi bentukan yang unik.

Teori tata spasial Kaenbaun tersebut dilandasi oleh empat nilai lokal yang sangat khas, yaitu (1) nilai etno-spiritual, (2) nilai spiritual-kultural, (3) nilai kultural-ekologis dan (4) nilai etno-ekologis.

Empat nilai tersebut ada dan hidup di dalam kehidupan sehari-hari orang Kaenbaun. Nilai-nilai tersebut sangat diwarnai dan mewarnai budaya orang Kaenbaun yang bersumber pada eksistensi Bnoko Kaenbaun (Faotkana), mata-air-suci (Oekana), rumah-adat (Umesuku) dan Gereja Katolik.

(3)

3 Gambar 1. Bangunan teori tata suku dan tata spasial pada permukiman suku Dawan di desa Kaenbaun

(Sumber; Analisis, Maret 2009)

Nilai-nilai lokal tersebut sangat penting dan terkait erat dengan konsep ekologi di kalangan masyarakat Kaenbaun. Konsep ekologis yang dihayati orang Kaenbaun boleh jadi ada kemiripan atau sama persis dengan konsep yang dimiliki pihak lain, namun dalam konteks budaya lokal, konsep Kaenbaun memiliki makna khas karena adanya keterlibatan nenek-moyang (bei nai) dalam pengelolaan ekologi. Artinya, konsep ekologi di Kaenbaun unik sebab ada ”kerjasama” antara orang Kaenbaun yang masih hidup dengan nenek-moyang mereka yang tinggal di dunia-arwah dalam mengelola alam-lingkungan. Fenomena ”kerjasama” atau ”keterlibatan” nenek-moyang (bei nai) dengan kehidupan sangat nyata di Kaenbaun, sehingga menjadi aspek yang tidak pernah bisa ditinggalkan sebab melekat (embeded) pada nilai-nilai lokal tersebut.

Keunikan tersebut terjadi karena adanya nilai dasar berupa gagasan abstrak yang melekat di dasar jiwa orang Kaenbaun yaitu bahwa hidup ideal bagi orang Kaenbaun adalah menyatu dengan Tuhan pencipta alam, nenek-moyang, sesama saudara dan alam. Jika gagasan tersebut di rumuskan dengan bahasa Dawan, menurut Pater John Salu dan Willem Foni (via sms 23 Januari 2009) adalah:

Atone kuan “Kuun Kaenbaun, Take nael Naijuf” ina monena mataos – in pauk pina ma ai pina; halon – manonbon ma natnanbon natuin uis neno afinit ma aneset – amoet ma apakaet – apinat ma aklahat;

bei na’i-uis kinama-tuakin; pah-tasi ma nifu. Ungkapan tersebut mengandung arti bahwa kehidupan dan tata spasial permukiman suku Dawan di desa Kaenbaun ditentukan oleh interaksi empat unsur utama, yaitu (1) Tuhan (Uis Neno), (2) Nenek-moyang (bei nai), (3) manusia (atoni), dan (4) alam semesta (universe). Keunikan empat substansi pada teori tata spasial sangat khas Kaenbaun, maka menunjukkan bahwa teori dan konsep tata spasial Kaenbaun bersifat sangat spesifik serta terkait erat dengan eksistensi orang Kaenbaun yang relijius. Dengan demikian, teori tata spasial khas Kaenbaun

(4)

4 layak disebut “sosio-spiritual spasial” karena mengandung substansi relasi sosial antar manusia dan relasi transenden dengan nenek-moyang dan Tuhan.

TUHAN NENEK-

MOYANG

MANUSIA ALAM

TATA KEHIDUPAN BERBASIS SOSIO-

SPIRITUAL

GEREJA FAOTKANA

UMESUKU OEKANA

TATA SPASIAL SOSIO-SPIRITUAL

Gambar 2. Empat unsur penentu pola kehidupan orang Kaenbaun dan pada tata spasial arsitektur permukiman suku Dawan di desa Kaenbaun

(Sumber: refleksi, Januari 2009)

Disertasi ini menemukan bahwa ada kaitan erat antara tata suku dengan tata spasial arsitektur permukiman suku Dawan di desa Kaenbaun. Tata suku adalah tata hubungan permanen (abadi) antar suku-suku yang sepakat bergabung menjadi satu dan hidup bersama di Kaenbaun. Kesepakatan tentang relasi antar suku ini ditetapkan oleh para generasi awal dan menjadi pedoman sakral bagi generasi berikutnya. Tata suku dalam arti mendasar adalah relasi antar suku, yaitu hubungan antara kelompok suku laki-laki (lian mone) dengan kelompok suku perempuan (lian feto) yang hidup bersama di Kaenbaun. Jika ditelisik lebih mendalam, ada dua sifat hubungan tata suku di Kaenbaun, yaitu hubungan yang bersifat saling menguntungkan dan hubungan yang bersifat hirarkial.

Tata suku di Kaenbaun juga mengatur hubungan hirarkis atau struktural semua suku, khususnya pada hubungan antar suku-suku laki-laki (lian mone). Dalam kognisi orang Kaenbaun, hubungan antar suku merupakan hubungan persaudaraan namun juga ditata secara hirarkial, sebab ada “suku pemimpin” dan “suku yang dipimpin”. Implikasinya, dalam kognisi orang Kaenbaun, suku raja (Basan) terletak di tengah lingkaran karena titik tengah merupakan titik penting dan ditopang oleh empat suku yang lain (Timo, Taus, Foni dan Nel) yang terletak di empat titik penjuru angin.

Tata suku selain mengatur hubungan kekerabatan etnis dan hirarkis-struktural juga mengandung relasi yang bersifat spiritual-transenden, sebab pengertian suku di Kaenbaun tidak sekedar biologis- genealogis melainkan mengandung dimensi spiritual-transenden. Dalam keyakinan orang Kaenbaun, warga suku adalah semua orang seketurunan, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal

(5)

5 dunia. Implikasi dari pandangan ini tampak pada adanya keyakinan unik yaitu “dunia manusia” dengan

“dunia arwah” dipahami dan dihayati sebagai dua dunia yang berimpit, penghuni dua dunia tersebut dapat saling berkomunikasi dan berjumpa.

Beberapa perilaku yang terkait dengan cara pikir tata suku dapat dijelaskan antara lain adalah:

(1) pola duduk kepala suku dalam upacara adat; (2) urutan minum sopi; (3) laki-laki memegang peranan penting namun wanita sangat dihormati dan selalu dilindungi; (4) perilaku setiap orang Kaenbaun dalam setiap upacara adat; (5) perilaku massal terungkap dalam kegiatan upacara adat siklus pertanian. Upacara adat siklus pertanian bahkan merupakan media sangat penting yang mengingatkan tata kesukuan di Kaenbaun dari generasi ke generasi, maka memperkuat ingatan kolektif tentang tata suku menjadi semakin dipahami dan bersifat abadi.

Beberapa implikasi penting yang terwujud pada tata spasial permukiman Kaenbaun antara lain adalah: (1) tatanan umesuku di pusat desa Kaenbaun; (2) keberadaan faotkana-oekana suku-suku di Kaenbaun; (3) keberadaan beringin desa dan tatanan batu suci di bawahnya sebagai representasi dan simbol kesepakatan masa lalu; (4) adanya pola keruangan depan-tengah-belakang; (5) adanya persepsi spasial desa-tua dan desa-muda, desa-lama dan desa-baru, desa-dalam dan desa-luar; (6) keberadaan area Taksoen yang menjadi lapangan penerimaan di dekat gerbang desa; (7) adanya gerbang desa dan upacara adat pintu desa yang unik; (8) penghormatan kepada pendiri-pemimpin desa yang makam- makamnya ada di area timur desa; (9) adanya “pintu dua dunia” („saeta balen) yang menandai relasi alam arwah dan alam manusia berhubungan erat di Kaenbaun.

Tata suku di Kaenbaun mengandung tujuh elemen kunci yaitu (1) ada kedudukan yang tetap dan abadi dari setiap suku (Suku Basan sebagai suku Raja, dan suku lain sebagai suku penopang); (2) ada tugas abadi yang diemban oleh setiap suku; (3) warga Kaenbaun terdiri atas suku laki-laki (Basan, Timo, Taus dan Foni) dan suku perempuan (Nel, Salu, Sait dan Kaba); (4) suku perempuan memiliki kedudukan sejajar dengan suku laki-laki; (5) suku perempuan mendapat perlindungan dari suku-suku laki-laki, (6) semua suku memiliki ”otonomi adat” untuk melaksanakan tradisi masing-masing suku, dan (7) ada upacara adat bersama yang sangat penting yaitu ”upacara adat siklus pertanian” yang berpusat di umesuku Basan dan berorientasi ke Bnoko Kaenbaun sebagai tempat suci desa Kaenbaun.

Dari analisis yang dilakukan terbukti bahwa teori tata spasial tersebut ditopang oleh empat konsep spesifik yaitu (1) konsep persaudaraan etnis, (2) konsep kemenyatuan nenek-moyang dan Gereja, (3) konsep keragaman kultur dalam kesatuan, dan (4) konsep menyatu dengan alam. Empat konsep spesifik tersebut berakar dalam satu konsep penting tentang kehidupan yaitu bahwa hidup ideal

(6)

6 bagi orang Kaenbaun adalah menyatu dengan Tuhan (Uis Neno), nenek-moyang (bei nai), sesama saudara (atoni) dan alam semesta (jagad raya).

3. Manfaat bagi masyarakat

Bagi masyarakat awam, temuan dalam disertasi ini memperkaya pengetahuan bahwa arsitektur permukiman suku Dawan di desa Kaenbaun mengandung unsur intangible yang unik, yaitu keberadaan Tuhan (Allah Bapa atau Uis Neno) dan nenek-moyang (beinai) sangat dihormati dan terungkap pada tata spasial arsitektur permukiman Kaenbaun. Keberadaan unsur intangible di Kaenbaun unik karena lahir dari jantung budaya orang Kaenbaun yang menyatukan unsur kepercayaan lokal dengan agama Katolik, sehingga keberadaan rumah adat suku (umesuku), Gereja Katolik dan Bnoko Kaenbaun menjadi tiga titik spiritual penting pada arsitektur permukiman Kaenbaun.

Bagi orang Kaenbaun, temuan dalam disertasi ini memantapkan pengetahuan dan pemahaman tentang keunikan arsitektur permukiman mereka sebagai wadah kehidupan yang sesuai dengan jatidiri orang Kaenbaun. Pemahaman yang semakin mendalam diharapkan dapat meningkatkan kecintaan, sehingga mereka mampu menjaga-melestarikan sendi-sendi penting yang terdapat dalam arsitektur permukiman Kaenbaun yang unik.

Bagi pihak-pihak di luar Kaenbaun, temuan disertasi ini dapat menjadi bahan refleksi dan inspirasi untuk menemukan hakekat arsitektur permukiman pada desa-desa sejenis. Temuan ini merupakan sebuah mosaik pengetahuan tentang budaya dan arsitektur permukiman di Timor, dapat dimanfaatkan untuk membangun dan memperkuat pengetahuan tentang kearifan lokal Nusantara.

Bagi masyarakat suku Dawan maupun kalangan Pemerintah Daerah, temuan disertasi ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang tata spasial permukiman suku Dawan di Timor harus selalu disertai dengan pemahaman tentang tata suku pada masyarakat desa yang tinggal di dalamnya.

Pemahaman tentang tata suku menjadi pintu masuk utama untuk memahami tata spasial permukiman di Timor, khususnya di desa-desa suku Dawan.

Bagi para penentu kebijakan penataan ruang, disertasi ini menginspirasikan bahwa setiap kebijakan yang ujungnya adalah penataan arsitektur permukiman di desa-desa vernakular (vernacular villages) perlu cermat dan hati-hati sebab akan selalu bersentuhan dengan prinsip-prinsip penting yang ada di dalam tata masyarakat desa yang menghuninya. Artinya, secara khusus, setiap intervensi terhadap desa-desa vernakular di Timor akan selalu bersinggungan dengan tata suku sebagai faktor kunci positif yang sangat menentukan tata spasial permukiman mereka.

(7)

7 DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : YOHANES DJAROT PURBADI

Tempat dan Tanggal Lahir : Yogyakarta, 16 Juni 1957 Jabatan/Pangkat/Golongan : Penata Tingkat I / Lektor (III-D) Status Perkawinan : Kawin

Alamat Rumah : Kuncen WB I/311 Pakuncen,

Wirobrajan, Yogyakarta 55253, Telp.

0274-517741

Email: [email protected] Alamat Kantor : Fakultas Teknik, Universitas Atma

Jaya Yogyakarta, Jl. Babarsari No. 44, Yogyakarta 55281, telp. 0274-487711

Riwayat Pendidikan :

 Sarjana Muda Teknik Arsitektur (1983), Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

 Ir. / Engineer (1986), Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia.

 Magister Teknik (1999), Pasca-Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dengan predikat Cum Laude.

Publikasi Ilmiah (2005-2009):

1). “Planning and Design of Kaenbaun Traditional Village: How people design and manage their village to be a sustainable environment”, makalah ditulis bersama dengan Dr. Ir. Sudaryono, M.Eng dan Prof. Ir. Achmad Djunaedi, MUP., Ph.D, dimuat dalam proceeding paper pada International Seminar on Tropical Eco-Settlements, yang diselenggarakan oleh Puslitbang Permukiman (Bandung), dilaksanakan di Bali 15-16 November 2006.

2). “Rethinking Architect Education in Indonesia, Educating Critical Architect with New Sensitivities”, makalah ditulis bersama dengan Dr. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ir. Haryadi, M.Arch., Ph.D dan Prof. Ir. Achmad Djunaedi, MUP., Ph.D, dan dimuat dalam proseding International Conference Challenges and Experiences in Developing Architectural Education in Asia, Department of Architecture, Faculty of Civil Engineering and Planning, Islamic University of Indonesia, June 8-9, 2007.

3). “Pengalaman Pengamatan Fenomenologi di Desa Kaenbaun”, makalah ditulis bersama dengan Dr.

Ir. Sudaryono, M.Eng., Ir. Haryadi, M.Arch., Ph.D dan Prof. Ir. Achmad Djunaedi, MUP., Ph.D, dimuat dalam proseding Seminar Metodologi Penelitian Seri II, diselenggarakan oleh Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang: 16 Mei 2009.

(8)

8 4). “Konsep Tata Spasial Teritorial di balik Upacara Adat Mendinginkan di Desa Kaenbaun”, makalah ditulis bersama dengan Dr. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ir. Haryadi, M.Arch., Ph.D dan Prof. Ir. Achmad Djunaedi, MUP., Ph.D, dimuat dalam proseding Diskusi Nasional Arsitek-Sasra Matra, diselenggarakan oleh Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang: 9 Juni 2009.

5). “Mengenal Desa Kaenbaun: Perjumpaan melalui Penelusuran Fenomena Visual”, buku album foto disertai komentar, ditulis bersama dengan Dr. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ir. Haryadi, M.Arch., Ph.D dan Prof. Ir. Achmac Djunaedi, MUP., Ph.D, diterbitkan fullcolor dalam format soft-copy oleh penerbit Pustaka Mutiara Indonesia, diterbitkan pada bulan Juli 2009.

Gambar

Gambar 2. Empat unsur penentu pola kehidupan orang Kaenbaun dan pada tata spasial arsitektur  permukiman suku Dawan di desa Kaenbaun

Referensi

Dokumen terkait

Untuk dapat membangun sistem kendali posisi sampel dan tampilan pada alat RIA dibuat suatu perangkat yang terdiri dari komponen- komponen mekanik, penyedia daya dengan

Saya melakukan pembelian di Restoran Solaria karena ertarik dengan desain interior dan eksterior Solaria yang sesuai. dengan

Memiliki kemampuan komunikasi dan interaksi yang baik dan lancar, istilah yang mudah dipahami, bersifat terbuka dan fleksibel menerima pendapat dan masukan pengguna

Switch Sensor DFRobot Adjustable Infrared digunakan untuk mengetahui apakah benda yang telah keluar dari ruang baca warna siap diangkat oleh lengan robot

Siswa perempuan yang berkemampuan tinggi dan kemampuan sedang, juga mencapai tingkat berpikir kreatif 3 (kreatif) dengan komponen yang terpenuhi adalah kefasihan dan

1) Kelompok A, untuk anak tiga sampai empat tahun. 2) Kelompok B, untuk anak umur empat sampai lima tahun. 3) Kelompok C, untuk anak usia lima sampai enam tahun. Pada usia prasekolah

Sementara Pasal 1 angka PP Nomor 27 Tahun 1998, peleburan (konsolidasi), adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan terbatas atau lebih untuk meleburkan diri dengan

Fish Bacteria, 25x25 μm scan Topography DNA coils amplified with PCR 5x5μm scan, Phase Image Fish Bacteria, 25x25 μm scan Phase..