ANALISIS PERLAKUAN AKUNTANSI PRODUK HILANG, PRODUK RUSAK DAN PRODUK CACAT DALAM MENETAPKAN HARGA POKOK
PRODUKSI PADA PT. SUNTORY GARUDA
Rikhe Rara Azhari Wannanda¹, R. Bambang D.Waryanto², Rina Fariana³ Mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas PGRI Adi Buana Surabaya 1
Dosen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas PGRI Adi Buana Surabaya 2, 3 [email protected]
ABSTRAK
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perlakuan produk hilang, produk rusak dan produk cacat dalam menetapkan harga pokok produksi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah pada PT. Suntory Garuda. Sampel dalam penelitian ini adalah laporan harga pokok produksi, laporan biaya produksi, dan data produk hilang, produk cacat dan produk rusak pada PT. Suntory Garuda tahun 2016- 2018. Hasil dari penelitian ini adalah perlakuan produk hilang diperlakukan sebagai produk hilang pada awal proses produksi. Produk hilang pada awal proses produksi dianggap belum menyerap biaya produksi yang dikeluarkan. Perlakuan produk rusak pada PT. Suntory Garuda diperlakukan sebagai produk rusak yang bersifat normal dan laku dijual sedangkan perlakuan produk cacat diperlakukan sebagai biaya pengerjaan kembali yang dibebankan kepada seluruh produksi.
Kata Kunci: Produk Hilang, Rusak, Cacat
ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the treatment of lost products, damaged products and defective products in determining the cost of production. The method used in this study is quantitative descriptive analysis. The population in this study was at PT. Suntory Garuda. The samples in this study are reports on the cost of production, reports on production costs, and missing product data, defective products and damaged products at PT. Suntory Garuda in 2016- 2018. The results of this study are the treatment of lost products treated as lost products at the beginning of the production process. Products lost at the beginning of the production process are considered not absorbing the production costs incurred. The treatment of damaged products at PT.
Suntory Garuda is treated as a damaged and normal selling product, while the treatment of defective products is treated as a re-processing fee that is charged to the entire production.
Keywords: Lost, Damaged, Defective Products
PENDAHULUAN
Di era globalisasi saat ini, kemajuan teknologi semakin hari semakin berkembang dengan pesat.
Seiring dengan kemajuan teknologi, persaingan antar perusahaan juga semakin ketat. Salah satu usaha yang dilakukan perusahaan agar dapat
bersaing adalah meningkatkan kualitas hasil produksinya. Dengan hasil produksi yang berkualitas, maka diharapkan para konsumen akan merasa puas akan hasil produksi yang ditawarkan oleh perusahaan. Oleh karena itu, sistem manajemen yang baik di perusahaan akan mampu memberikan hasil yang positif terhadap produk yang di hasilkan.
Maka perusahaan harus lebih berupaya dalam mengefektifkan waktu serta biaya yang akan dipergunakan demi mencapai suatu produk yang berkualitas dan memenuhi kualitas yang ditargetkan.
Masalah produk hilang, produk rusak dan produk cacat adalah masalah yang penting di dalam perusahaan.
Pengaruh produk tersebut terhadap mutu produk yang dihasilkan akan membawa pengaruh buruk terhadap tujuan utama perusahaan yaitu untuk memperoleh laba. Dengan adanya produk tersebut maka perusahaan mengalami kerugian dalam proses produksi. Oleh karena itu diperlukan pemahaman atas perlakuan akuntansi yang tepat dan disesuaikan dengan kondisi perusahaan. Menurut Mulyadi (2015:79) mengatakan perlakuan akuntansi terhadap produk hilang ditinjau dari saat terjadinya, produk dapat hilang pada awal proses, sepanjang proses, atau akhir proses.
Perlakuan akuntansi terhadap produk rusak menurut Mulyadi (2015:302) mengatakan jika produk rusak merupakan hal yang normal terjadi dalam proses pengolahan produk, maka kerugian yang timbul sebagai akibat terjadinya produk rusak dibebankan kepada produksi secara keseluruhan, dengan cara memperhitungkan kerugian tersebut di dalam tarif biaya overhead pabrik. Sedangkan perlakuan akuntansi terhadap produk cacat menurut Mulyadi (2015:306) mengatakan jika produk cacat merupakan hal yang biasa terjadi dalam proses pengerjaan produk, maka biaya pengerjaan kembali dapat dibebankan kepada seluruh produksi
dengan cara memperhitungkan biaya pengerjaan kembali tersebut ke dalam tarif biaya overhead pabrik. Produk hilang, produk rusak dan produk cacat akan mengakibatkan kerugian pada perusahaan dan akan berpengaruh dalam perhitungan harga pokok produksi. Produk hilang, produk rusak dan produk cacat tersebut telah memakan biaya karena telah melalui proses produksi, sehingga akan berpengaruh terhadap terhadap produk jadi yang akan dihasilkan.
Dari latar belakang diatas, maka penulis merumuskan pokok permasalahannya yaitu bagaimanakah perlakuan akuntansi produk hilang, produk rusak dan produk cacat dalam menetapkan harga pokok produksi pada PT. Suntory Garuda. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perlakuan akuntansi produk hilang, produk rusak dan produk cacat dalam menetapkan harga pokok produksi pada PT. Suntory Garuda.
TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS A. Produk Hilang
Menurut Mulyadi (2014:79) produk dapat hilang pada awal proses, sepanjang proses atau akhir proses.
Untuk kepentingan perhitungan harga pokok per satuan, produk yang hilang sepanjang proses harus dapat ditentukan pada tingkat penyelesaian berapa produk yang hilang tersebut terjadi. Atau untuk menyederhanakan perhitungan harga pokok produksi per satuan, produk yang hilang sepanjang proses diperlakukan
sebagai produk yang hilang pada awal atau akhir proses.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa produk hilang adalah produk yang tidak mempunyai wujud secara fisik dan sulit untuk di identifikasi bagi pihak perusahaan. Produk dapat hilang pada saat awal proses, sepanjang proses dan akhir proses produksi.
Perlakuan Akuntansi Produk Hilang Menurut Mulyadi (2015:79) kehilangan dapat terjadi pada saat:
A. Produk hilang awal proses
Produk yang hilang pada awal proses dianggap belum ikut menyerap biaya produksi yang dikeluarkan
dalam departemen yang
bersangkutan, sehingga tidak diikutsertakan dalam perhitungan- perhitungan unit ekuivalen produk yang dihasilkan dalam departemen tersebut. Dalam produk hilamg pada awal proses mempunyai dua akibat yaitu menaikkan harga pokok produksi per satuan produk yang diterima dari departemen produksi sebelumnya dan menaikkan harga pokok produksi per satuan yang ditambahkan dalam departemen produksi setelah departemen produksi yang pertama tersebut.
B. Produk hilang sepanjang proses Produk yang hilang sepanjang proses harus dapat ditentukan pada tingkat penyelesaian berapa produk hilang tersebut terjadi atau untuk menyederhanakan perhitungan harga
pokok produksi per satuan, produk yang hilang sepanjang proses diperlakukan sebagai produk hilang pada awal atau akhir proses.
C. Produk hilang pada akhir proses Produk yang hilang pada akhir proses sudah ikut menyerap biaya produksi yang dikeluarkan dalam departemen yang bersangkutan, sehingga harus diperhitungkan dalam penentuan unit ekuivalensi produk yang dihasilkan oleh departemen tersebut. Baik di dalam departemen produksi pertama maupun departemen produksi setelah departemen produksi pertama, harga pokok produk yang hilang pada akhir proses harus dihitung, dan harga pokok ini diperlakukan sebagai tambahan harga pokok produk selesai yang ditransfer ke departemen produksi berikutnya atau ke gudang.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa produk dapat hilang pada saat awal proses, sepanjang proses dan akhir proses. Produk yang hilang pada awal proses dianggap belum ikut menyerap biaya produksi yang dikeluarkan, sedangkan produk hilang pada saat sepanjang proses harus dapat ditentukan tingkat penyelesaiannya agar mudah menyederhanakan perhitungan harga pokok produksi dan produk hilang pada saat akhir proses dianggap sudah ikut menyerap biaya produksi yang dikeluarkan dalam departemen yang bersangkutan.
B. Produk Rusak
Menurut Siregar (2013:217) produk rusak adalah unit produk yang tidak memenuhi standart produksi yang dari segi teknis atau ekonomis tidak dapat diperbaiki. Produk rusak secara ekonomis tidak dapat diperbaiki jika biaya untuk memperbaiki lebih besar dibanding peningkatan nilai jualnya, boleh jadi produk rusak laku dijual atau tidak laku dijual. Produk rusak laku dijual adalah produk yang tidak memenuhi standart mutu perusahaan tetapi tingkat kerusakannya masih tergolong normal dan secara ekonomis masih dapat diperbaiki. Sedangkan produk rusak tidak laku dijual adalah produk yang tidak memenuhi standar perusahaan dan sifatnya abnormal sehingga tidak dapat diperbaiki, karena jika diperbaiki biaya untuk perbaikannya lebih besar dibanding dengan harga jualnya.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa produk rusak adalah produk yang tidak memenuhi standart mutu yang telah ditetapkan yang secara ekonomis tidak dapat diperbaiki, apabila diperbaiki akan menambah biaya perbaikan.
Perlakuan Akuntansi Produk Rusak Perlakuan terhadap produk rusak adalah tergantung dari sifat dan sebab terjadinya (Mulyadi, 2015:302) :
a. Jika produk rusak terjadi karena sulitnya pengerjaan pesanan tertentu atau faktor luar biasa yang lain, maka harga pokok produk rusak dibebankan sebagai tambahan harga pokok produk
yang baik dalam pesanan yang bersangkutan. Jika produk rusak tersebut masih laku dijual, maka hasil penjualannya diperlakukan sebagai pengurang biaya produksi pesanan yang menghasilkan produk rusak tersebut.
b. Jika produk rusak merupakan hal yang normal terjadi dalam proses pengolahan produk, maka kerugian yang timbul sebagai akibat terjadinya produk rusak dibebankan kepada produksi secara keseluruhan, dengan cara memperhitungkan kerugian tersebut di dalam tarif biaya overhead pabrik.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa perlakuan akuntansi untuk produk rusak apabila produk rusak terjadi karena faktor lain, maka dibebankan sebagai tambahan harga pokok produksi dan apabila produk rusak terjadi pada saat proses produksi maka dibebankan pada produksi secara keseluruhan.
C. Produk Cacat
Produk cacat menurut Siregar (2013:61) produk cacat adalah unit produk yang tidak memenuhi standar produksi dan dapat diperbaiki secara teknis dan ekonomis untuk dapat dijual sebagai produk baik atau tetap sebagai produk cacat.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa produk cacat adalah unit produk yang tidak memenuhi standart mutu akan tetapi masih bisa
Perlakuan Akuntansi Produk
Hilang (X1)
BiayaBahan Baku
Harga Pokok Produksi (Y) Perlakuan
Akuntansi Produk Rusak (X2)
BiayaTenaga Kerja
BiayaOverhead Pabrik
Perlakuan Akuntansi Produk
Cacat (X3)
diperbaiki dengan mengeluarkan biaya tertentu untuk produk cacat tersebut.
Perlakuan Akuntansi Produk Cacat Menurut Mulyadi (2015:306) perlakuan akuntansi terhadap produk cacat yaitu :
A. Jika produk cacat bukan merupakan hal yang biasa terjadi dalam proses produksi, tetapi karena karakteristik pengerjaan pesanan tertentu, maka biaya pengerjaan kembali produk cacat dapat dibebankan sebagai tambahan biaya produksi pesanan yang bersangkutan.
B. Jika produk cacat merupakan hal yang biasa terjadi dalam proses pengerjaan produk, maka biaya pengerjaan kembali dapat dibebankan kepada seluruh produksi dengan cara memperhitungkan biaya pengerjaan kembali tersebut ke dalam tarif biaya overhead pabrik.
Biaya pengerjaan kembali produk cacat yang sesungguhnya terjadi didebitkan dalam rekening biaya overhead pabrik sesungguhnya.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa perlakuan akuntansi pada produk cacat apabila produk cacat terjadi dikarenakan bukan hal biasa terjadi maka biaya pengerjaan kembali dapat dibebankan sebagai tambahan biaya produksi yang bersangkutan dan apabila produk cacat terjadi karena hal biasa terjadi maka dibebankan kepada seluruh produksi dengan cara
memperhitungkan biaya pengerjaan kembali tersebut ke dalam tarif biaya overhead pabrik.
Kerangka Konseptual
Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka konseptual di atas, penulis merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut :
H₁: Produk hilang diperlakukan sebagai produk hilang pada akhir proses produksi.
H₂ : Produk rusak diperlakukan sebagai produk rusak bersifat abnormal / tidak laku dijual.
H₃ : Produk cacat diperlakukan sebagai produk cacat bersifat normal dengan menghitung biaya pengerjaan kembali.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini yang mejadi populasi adalah PT. Suntory Garuda yang terletak di Sidoarjo. Sedangkan sampel dari penelitian ini adalah laporan harga pokok produksi, laporan biaya produksi, dan data produk hilang, produk cacat dan produk rusak pada PT.
Suntory Garuda tahun 2016-2018.
Teknik pengambilan sampel
menggunakan teknik purposive sampling. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder.
Teknik analisis data, penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu metode mengumpulkan, menyusun dan menganalisis data
HASIL PENELITIAN
1. Perlakuan Akuntansi Produk Hilang pada PT. Suntory Garuda
PT. Suntory Garuda diperlakukan sebagai produk yang hilang pada awal proses produksi. Produk yang hilang pada awal proses dianggap belum menyerap biaya produksi yang
dikeluarkan dalam departemen yang bersangkutan, sehingga tidak diikutsertakan dalam perhitungan- perhitungan unit ekuivalensi produk yang dihasilkan dalam departemen tersebut.
Berikut ini perhitungan biaya produksi produk hilang :
Tahun Harga Pokok Produk
Hilang
Jumlah Produk Hilang
Biaya Produksi Produk Hilang (Hpp × Produk
Hilang)
2016 Rp. 8.812 301.976 Rp. 2.661.012.512 2017 Rp. 8.112 321.437 Rp. 2.607.496.944 2018 Rp. 7.444 359.913 Rp. 2.679.192.372
Karena produk yang hilang terjadi pada awal proses, maka produk tersebut tidak ikut menyerap biaya produksi yang
dikeluarkan oleh PT. Suntory Garuda.
Oleh karena itu produk yang hilang tersebut tidak diikutsertakan dalam perhitungan unit ekuivalensi produk yang dihasilkan.
2. Perlakuan Akuntansi Produk Rusak pada PT. Suntory Garuda
Perlakuan produk rusak pada PT.
Suntory Garuda diperlakukan sebagai penjualan atas produk rusak karena perusahaan beranggapan bahwa hasil penjualan produk selesai yang baik telah mendapatkan keuntungan usaha yang besar . Jumlah total unit produksi PT.
Suntory Garuda pada tahun 2016 sebanyak 361.891.025 tahun 2017 sebanyak 446.256.242 sedangkan tahun 2018 sebanyak 534.519.390. Jumlah produk yang rusak selama tahun 2016 sebanyak 300.826 tahun 2017 sebanyak 401680 sedangkan tahun 2018 sebanyak 505691. Maka biaya produksi produk rusak pada tahun 2016-2018 adalah :
PT. Suntory Garuda langsung menjual produk rusak ke pasar lokal terutama pada pengusaha makanan ringan dengan harga Rp.12.500. Maka total penjualan produk rusak tahun 2016, 2017 dan 2018 sebesar Rp.
3.760.325.000, Rp. 5.021.000.000, Rp.
6.321.137.500. Selisih antara biaya produksi produk rusak dengan total penjualan produk rusak pada tahun 2016 sebesar Rp. 798.693.030 tahun 2017 sebesar Rp. 1.305.861.680 sedangkan tahun 2018 sebesar Rp. 1.969.666.445.
PT. Suntory Garuda tidak memasukkan hasil penjualan produk rusak tersebut ke dalam perhitungan harga pokok
Tahun Harga Pokok Produk Rusak
Jumlah Produk Rusak
Biaya Produksi Produk Rusak (Hpp ×
Produk Rusak)
2016 Rp. 9.845 300.826 Rp. 2.961.631.970 2017 Rp. 9.249 401680 Rp. 3.715.138.320 2018 Rp. 8.605 505691 Rp. 4.351.471.055
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Produk_Hilang 3 2607496944 2679192372 2649233943 37270761 Produk_Rusak 3 2961631970 4351471055 3676080448 695742272 Produk_Cacat 3 3084042762 3871582368 3509738506 397633569 Valid N
(listwise) 3
produksi. Selisih tersebut tidak dibebankan ke dalam biaya overhead pabrik karena perusahaan beranggapan bahwa hasil penjualan produk selesai yang baik telah mendapatkan keuntungan usaha yang besar.
3. Perlakuan Akuntansi Produk Cacat pada PT. Suntory Garuda
PT. Suntory Garuda
memperlakukan biaya pengerjaan kembali produk cacat sebagai elemen biaya overhead. Biaya perbaikan untuk produk cacat sudah dikapitalisasikan dengan semua elemen biaya produksi sesuai dengan perlakuan yang benar terhadap biaya perbaikan produk cacat.Pada tahun 2016 terdapat produk cacat sebesar 312.498, tahun 2017 terdapat produk cacat sebesar 385.459, sedangkan tahun 2018 sebesar 449.348.
Jumlah total unit produksi PT. Suntory Garuda pada tahun 2016 sebanyak 361.891.025 tahun 2017 sebanyak 446.256.242 sedangkan tahun 2018 sebanyak 534.519.390. Maka biaya produksi produk cacat tahun 2016-2018 adalah :
Tahun Harga Pokok Produk Cacat
Jumlah Produk Cacat
Biaya Produksi Produk Cacat (Hpp ×
Produk Cacat)
2016 Rp. 9.867 312.498 Rp. 3.083.417.766 2017 Rp. 9.271 385.459 Rp. 3.573.590.389 2018 Rp. 7.742 449.348 Rp. 3.582.202.256
Pada PT. Suntory Garuda pencatatan biaya pengerjaan kembali produk cacat dibebankan kepada produksi secara keseluruhan dengan memperhitungkan biaya pengerjaan
kembali tersebut ke dalam tarif biaya overhead pabrik. Tarif biaya overhead pabrik yang ditentukan PT. Suntory Garuda sebesar 150% dari biaya tenaga kerja langsung, maka berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh PT.
Suntory Garuda adalah sebagai berikut :
Tahun Tarif Biaya Overhead
Pabrik Biaya Tenaga Kerja BOP Yang Dibebankan
2016 150% Rp. 1.428.648.605 Rp. 2.142.972.908
2017 150% Rp. 1.720.382.083 Rp. 2.580.573.125
2018 150% Rp. 2.259.673.094 Rp. 3.389.509.641
Hasil Uji Statistik Deskriptif
Sumber : Diolah pada tahun 2019
Berdasarkan hasil nilai uji statistik deskriptif maka dapat diketahui bahwa selama pengamatan yaitu 2016-2018 biaya produksi produk hilang yang dihasilkan perusahaan memiliki nilai minimum sebesar Rp. 2.607.496.944 dan nilai maximum sebesar Rp.
2.679.192.372, standar deviasi sebesar Rp. 37.270.761 serta nilai rata-rata sebesar Rp. 2.649.233.943. Biaya produksi produk rusak yang dihasilkam perusahaan memiliki nilai minimum
sebesar Rp. 2.961.631.970 dan nilai maximum sebesar Rp. 4.351.471.055 sedangkan standar deviasi sebesar Rp.
695.742.272 serta nilai rata-rata sebesar Rp. 3.676.080.448. Biaya produksi produk cacat yang dihasilkan perusahaan memiliki nilai minimum sebesar Rp. 3.084.042.762 dan nilai maximum sebesar Rp. 3.871.582.368 sedangkan standar deviasi sebesar Rp.
397.633.569 dan nilai rata-rata sebesar Rp. 3.509.738.506.
Pembahasan
1. Pencatatan Produk Hilang, Produk Rusak dan Produk Cacat di PT. Suntory Garuda
Menurut Mulyadi (2015:80) produk yang hilang pada awal proses dianggap belum ikut menyerap biaya produksi yang dikeluarkan dalam departemen yang bersangkutan, sehingga tidak diikutsertakan dalam perhitungan unit ekuivalen produk yang dihasilkan dalam departemen tersebut. Dalam produk hilang, PT.Suntory Garuda memperlakukan produk hilang sebagai produk yang hilang pada awal proses.
Produk yang hilang pada awal proses dianggap belum ikut menyerap biaya produksi yang dikeluarkan pada PT.
Suntory Garuda. Oleh karena itu, perhitungan untuk produk hilang pada PT. Suntory Garuda sudah sesuai dengan konsep akuntansi biaya. Pada PT. Suntory Garuda untuk produk rusak dan produk cacat tidak melakukan perhitungan harga pokok produksi yang sesuai dengan konsep akuntansi biaya.
PT. Suntory Garuda tidak mencermati
dengan teliti perhitungan harga pokok produksi tersebut.
PT. Suntory Garuda tidak mengurangkan hasil penjualan produk rusak dan tidak menambah biaya pengerjaan kembali produk cacat ke
dalam harga pokok
selesai,mengurangkan dan menambahkannya dengan semua elemen biaya produksi atau
mengurangkan atau
menambahkannya ke dalam biaya overhead pabrik. Hasil penjualan produk rusak tersebut tidak diperlakukan sebagai pengurangan kerugian dari produk rusak sedangkan biaya pengerjaan kembali produk cacat tidak diperlakukan sebagai penambahan biaya dari produk cacat itu sendiri. Dalam konsep akuntansi biaya hasil penjualan produk rusak dimasukkan sebagai pendapatan lain- lain.
2. Penilaian Produk Hilang, Produk Rusak dan Produk Cacat di PT.
Suntory Garuda
Menurut Mulyadi (2015:302) jika produk rusak tersebut masih laku dijual, maka hasil penjualannya diperlakukan sebagai pengurang biaya produksi yang menghasilkan produk rusak tersebut.
Sedangkan menurut Bustami dan Nurlela (2010:230) jika produk cacat merupakan hal yang biasa terjadi, maka biaya pengerjaan kembali produk cacat dapat dibebankan sebagai tambahan biaya produk yang dihasilkan. PT. Suntory Garuda seharusnya menghitung hasil penjualan dan biaya pengerjaan kembali
sebagai pengurangan dan penambahan biaya overhead pabrik. Hal ini mengakibatkan harga pokok produksi yang dihitung oleh PT. Suntory Garuda lebih besar bila dibandingkan dengan perhitungan harga pokok produksi menurut konsep akuntansi biaya.
3. Pelaporan Produk Hilang, Produk Rusak dan Produk Cacat di PT.
Suntory Garuda
Menurut Mulyadi (2015:303) jika produk rusak merupakan hal yang biasa terjadi, maka kerugian yang timbul sebagai akibat terjadinya produk rusak dibebankan kepada produksi secara keseluruhan. Sedangkan menurut Bustami dan Nurlela (2010:230) jika produk cacat merupakan hal yang biasa terjadi, maka biaya pengerjaan kembali produk cacat dapat dibebankan sebagai tambahan biaya produk yang dihasilkan.
PT. Suntory Garuda tidak menghitung biaya produksi produk rusak tersebut sebagai kerugian produksi dan tidak menghitung biaya pengerjaan kembali produk cacat sebagai penambahan biaya overhead pabrik. Hal ini menyebabkan perusahaan beranggapan bahwa laba yang diperoleh sudah sangat baik. PT.
Suntory Garuda seharusnya mendapatkan laba yang lebih besar dari yang diperolehnya bila selisih tersebut tetap dihitung dalam biaya pengendalian overhead pabrik dalam perhitungan harga pokok produksi.
Pelaporan produk rusak dan produk cacat PT. Suntory Garuda tidak dicatat sebagai pengurangan dan penambahan biaya overhead,
sedangkan menurut konsep akuntansi biaya pelaporan produk rusak dan produk cacat dilaporkan ke dalam laporan harga pokok produksi sebagai pengurangan dan penambahan biaya overhead pabrik.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Perlakuan produk hilang pada PT.
Suntory Garuda diperlakukan sebagai produk yang hilang pada awal proses produksi.
2. Perlakuan produk rusak pada PT.
Suntory Garuda diperlakukan sebagai produk rusak yang bersifat normal dan laku dijual.
3. Perlakuan produk cacat diperlakukan sebagai biaya pengerjaan kembali yang dibebankan kepada seluruh produksi.
IMPLIKASI
Perusahaan sebaiknya mengakui penjualan produk rusak sebagai pendapatan lain-lain agar perhitungan terhadap PPh badan menjadi benar dan mengakui biaya pengerjaan kembali sebagai biaya penambahan pada harga pokok produksi, agar perhitungan pada harga pokok penjualan menjadi benar dan tepat.
KETERBATASAN PENELITIAN
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sampel dalam penelitian yang terbilang sedikit. Periode yang digunakan hanya tiga tahun yaitu tahun 2016 sampai tahun 2018. Penelitian ini berfokus dalam tiga variabel independen yaitu Produk Hilang, Produk Rusak dan
Produk Cacact. Diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk mengambil sampel lebih banyak.
DAFTAR RUJUKAN
Mulyadi. 2015. Akuntansi Biaya, Edisi ke lima, Yogyakarta: YKPN.
Siregar, Baldric. 2013. Akuntansi Biaya, Edisi 2. Jakarta: Salemba Empat.
Fannani, A.F. 2016. Analisis Perlakuan Akuntansi Produk Cacat Terhadap Harga Pokok Produksi Pada Meubel Risky.
Lestari, Wiwik. 2017. Akuntansi Biaya Dalam Perspektif Manajerial.
Depok: Rajawali Pers.