• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAJU PERTUMBUHAN BIBIT Rhizophora apiculata PADA DUA LAHAN TAMBAK SILVOFISHERY DI DESA TANJUNG REJO KECAMATAN PERCUT SEI TUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "LAJU PERTUMBUHAN BIBIT Rhizophora apiculata PADA DUA LAHAN TAMBAK SILVOFISHERY DI DESA TANJUNG REJO KECAMATAN PERCUT SEI TUAN"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

OLEH :

INDRI MARITA SIAHAAN 131201075

DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2019

(2)

SKRIPSI

Oleh:

INDRI MARITA SIAHAAN 131201075

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2019

(3)
(4)

Two Sylvofishery Ponds in Tanjung Rejo Village Percut Sei Tuan District, supervised by DELVIAN and RIDAHATI RAMBEY.

Research on growth rate of propaguls of Rhizophora apiculata was carried out in Tanjung Rejo Village, Deli Serdang Regency, North Sumatra Province from August to December 2017. The purpose of this study was to compare the growth of Rhizophora apiculata in two silfovishery ponds. The parameters measured were height, diameter and number of leaves. During twelve weeks of observation, the height of the seedlings of Rhizophora apiculata was the best at ponds A, namely in the fifth week 1.8 cm with the best diameter increase of 0.2 cm, the highest number of leaves was 7 strands. In the farm area B, the highest increase in seedlings of Rhizophora apiculata was observed in the fifth week 1.8 cm, but did not experience any increase at all in the second week, with increasing diameters of about 0.05 - 0.1 cm, number of leaves range from 0 to 5 strands. This shows that the growth of Rhizophora apiculata is better at ponds A than at ponds B.

Keywords: Growth rate, Rhizopora apiculata, Sylvofishery

(5)

Dua Lahan Tambak Silvofishery di Desa Tanjung Rejo Kecamatan Percut Sei Tuan, dibimbing oleh DELVIAN dan RIDAHATI RAMBEY.

Penelitian laju pertumbuhan bibit Rhizophora apiculata dilaksanakan di Desa Tanjung Rejo, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara mulai Agustus sampai dengan Desember 2017. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan pertumbuhan tanaman mangrove jenis Rhizophora apiculata pada dua lahan tambak silfovishery. Parameter yang diukur adalah tinggi, diameter dan jumlah daun. Selama duabelas minggu pengamatan, pertambahan tinggi bibit Rhizophora apiculata terbaik pada lahan tambak A yaitu pada minggu kelima 1,8 cm dengan pertambahan diameter terbaik 0,2 cm, jumlah daun terbanyak 7 helai. Pada lahan tambak B pertambahan tinggi tertinggi bibit Rhizophora apiculata yaitu pada pengamatan minggu kelima 1,8 cm, akan tetapi tidak mengalami pertambahan tinggi sama sekali pada minggu kedua, dengan pertambahan diameter sekitar 0,05 – 0,1 cm, jumlah daun berkisar 0-5 helai. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan Rhizophora apiculata lebih baik pada tambak A dari pada B.

Kata kunci: Laju pertumbuhan, Rhizopora apiculata, Silvofishery

(6)

Abdul Hajat Siahaan dan Ibu Supiati. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar dari MIS SDPI Kota Pematangsiantar pada tahun 2007, pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama dari MTs Negeri kota Pematangsiantar pada tahun 2010, pendididkan tingkat Sekolah Menengah Atas dari MA Negeri kota Pematangsiantar pada tahun 2013.

Pada tahun 2013 penulis lulus seleksi masuk perguruan tinggi di Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara melalui jalur undangan dan semester VII memilih minat program studi Budidaya Hutan.

Bersamaan jalannya kuliah, penulis aktif dalam kegiatan organisasi Badan Organisasi Kegiatan Musholla (BKM) Baytul Asyjaar USU pada periode 2013- 2014. Penulis aktif dalam kegiatan organisasi Rain Forest pada periode 2014- 2015. Penulis mengikuti praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) pada tahun 2015 dikawasan Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Kabupaten Simalungun selama 10 hari. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan di Taman Nasional Gunung Merapi, Jawa Tengah dari tanggal 23 Januari – 24 Februari 2017. Penulis juga aktif dalam komunitas Martel Family dari Periode 2014 – 2017.

(7)

perlindungan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul

“Laju Pertumbuhan Bibit Rhizophora apiculata pada Dua Lahan Tambak Silvofishery di Desa Tanjung Rejo Kecamatan Percut Sei Tuan”.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dr. Delvian, S.P., M.P. Sebagai ketua komisi pembimbing penulis dan Ridahati Rambey S.Hut., M.Si sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan waktu dan masukan dalam penulisan skripsi ini

2. Kedua orangtua tercinta, Ayahanda Abdul Hajat Siahaan dan Ibunda Supiati yang selalu memberikan kasih sayang serta selalu memberikan dukungan, dana, doa dan motivasi untuk tetap semangat dalam perkuliahan terkhusus pada skripsi.

3. Masyarakat Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang yang membantu penulis dalam pengerjaan penelitian.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi mahasiswa kehutanan. Akhir kata penulis mengucapkan sekian dan terimakasih.

Medan, Januari 2019

Penulis

(8)

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 2

C. Hipotesis ... 2

D. Manfaat penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Mangrove ... 3

B. Fungsi Mangrove ... 4

C. Manfaat Mangrove... 5

D. Taksonomi dan Morfologi Rhizophora apiculata ... 6

E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mangrove…... 7

F. Agroforestri... 11

III. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak Kawasan... 15

B. Kondisi Topografi dan Bentuk Wilayah ... 16

C. Kondisi Iklim dan Cuaca ... 16

D. Lokasi Penelitian ... 16

IV. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 18

B. Alat dan Bahan Penelitian ... 18

C. Prosedur Penelitian ... 18

C.1. Pengujian Faktor dari Karakteristik Ekosistem yang Berbeda ... 18

C.2. Pelaksanaan Penelitian di Lapangan ... 19

Analisis Data ... 20 V. HASIL DAN PEMBAHASAN

(9)

A.4. Unsur Hara ... 25

B. Pertumbuhan Bibit Rhizophora apiculata ... 26

B.1. Tinggi Bibit Rhizophora apiculata ... 27

B.2. Diameter Bibit Rhizophora apiculata ... 29

B.3. Jumlah Daun Bibit Rhizophora apiculata ... 31

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 34

B. Saran... 34 DAFTAR PUTAKA

LAMPIRAN

(10)

1. Karakteristik Lahan Tambak A dan B pada Lahan Tambak Desa

Tanjung Rejo Kecamatan Percut Sei Tuan ... 22 2. Uji T Pertumbuhan Rhizophora apiculata pada Lahan Tambak Desa

Tanjung Rejo Kecamatan Percut Sei Tuan……… ... 26

(11)

1. Rhizophora apiculata ... 7

2. Ruang Lingkup Sistem Pemanfaatan Lahan Secara Agroforestri ... 13

3. Peta Lokasi Penelitian Desa Percut Sei Tuan ... 15

4. Lahan tambak A yang ditanami bibit Rhizophora apiculata ... 17

5. Lahan tambak B ha yang ditanami bibit Rhizophora apiculata... 17

6. Petak Contoh Pengambilan Sampel Tanah... 19

7. Grafik Rata-rata Tinggi Bibit Rhizophora apiculata... ... 27

8. Grafik Rata-rata Diameter Bibit Rhizophora. apiculata... 29

9. Grafik Rata-rata Jumlah Daun Bibit Rhizophora apiculata... ... 32

10. Gigitan Hama pada Daun Rhizophora apiculata... ... 33

(12)

No

1. Pertumbuhan Bibit Rhizophora apiculata... 39

2. Rata-rata Pertumbuhan Bibit Rhizophora apiculata ... 45

3. Analisis Tanah... 46

4. Perhitungan Uji T ... 47

5. Kiteria Penilaian Sifat Sifat Kimia Tanah ... 49

(13)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tumbuhan mangrove merupakan tumbuhan yang hidup di bawah kondisi lingkungan yang bersalinitas. Salah satu tumbuhan yang tumbuh adalah jenis Rhizophora apiculata. Rhizophora apiculata adalah salah satu genus dari family Rhizophoraceae. Spesies ini umumnya tumbuh pada tanah berlumpur, halus, dalam dan tergenang pada saat pasang normal. Rhizophora apiculata tidak menyukai substrat yang keras (dengan komposisi pasir yang tinggi). Tingkat dominasi jenis ini dapat mencapai 90% dari vegetasi yang tumbuh di suatu lokasi.

Spesies ini tumbuh dengan baik pada perairan pasang surut yang memiliki pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen (Amin et al., 2015).

Ekosistem mangrove saat ini mengalami kerusakan akibat konversi lahan yang berlebihan. Akibat tekanan pertambahan penduduk terutama di daerah pantai, konversi lahan menjadi kawasan perumahan, budidaya perairan, infrastruktur pelabuhan, industri mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan. Ekosistem mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis dan rusak (Syam et al., 2013).

Walaupun ekosistem mangrove tergolong sumber daya yang dapat pulih (renewable resources), namun bila pengalihan fungsi atau konversi dilakukan secara besar-besaran dan terus-menerus tanpa pertimbangan kelestariannya, maka kemampuan ekosistem tersebut untuk memulihkan dirinya tidak hanya terhambat, tetapi juga tidak dapat berlangsung, karena beratnya tekanan akibat perubahan tersebut. Pada ekosistem mangrove yang rusak, budidaya tambak dapat dilakukan sekaligus melakukan penanaman mangrove atau tambak-tambak yang terlantar

(14)

dapat digunakan untuk penerapan sistem silvofishery dengan menanam tumbuhan mangrove pada tambak-tambak tersebut (Gufran dan Kordi, 2012).

Dalam penelitian ini akan dikaji tentang pertumbuhan bibit mangrove jenis Rhizophora apiculata dalam sistem silvofishery. Konsep silvofishery yang memadukan antara usaha tambak dengan penanaman mangrove diharapkan dapat menjembatani dua kepentingan tersebut, sehingga kegiatan budidaya perikanan tambak tidak mengorbankan kelestarian ekosistem mangrove. Aspek keuntungan yang diperoleh dari sistem silvofishery dapat meningkatkan lapangan kerja, dapat mengatasi masalah pangan dan energi serta menjaga kestabilan ekosistem mikro dan konservasi tanah (Wibowo dan Handayani, 2006).

Pemilihan jenis Rhizophora apiculata pada penelitian ini merupakan langkah yang baik mengingat jenis ini mudah tumbuh dan bibitnya mudah untuk dicari dibandingkan dengan jenis lainnya, selain itu bibit jenis ini juga tersedia dalam jumlah yang cukup banyak.

B. Tujuan Penelitian

Untuk membandingkan pertumbuhan tanaman mangrove jenis Rhizophora apiculata pada dua lahan tambak silvofishery.

C. Hipotesis

Adanya perbedaan antara pertumbuhan tanaman mangrove Rhizophora apiculata pada dua lahan tambak silvofishery.

D. Manfaat Penelitian

Untuk mendapatkan data tentang pertumbuhan tanaman mangrove Rhizophora apiculata pada dua lahan tambak silvofishery.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hutan Mangrove

Menurut Undang-Undang No. 41/1999 dan Undang-Undang No. 19/2004 yang mengatur tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi arus pasang surut air laut. Mangrove yang tumbuh pada pantai karang atau daratan terumbu karang yang berpasir tipis atau pada pantai yang berlumpur (Purnobasuki, 2005).

Hutan mangrove dapat berkembang dengan baik pada lingkungan dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) Jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir dengan bahan-bahan yang berasal dari lumpur, pasir atau pecahan karang. (2) Lahannya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun tergenang pada saat pasang purnama, karena frekuensi genangan akan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove itu sendiri. (3) Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat (sungai, mata air atau air tanah) yang berfungsi untuk menurunkan kualitas salinitas, menambah pasokan unsur hara dan lumpur. (4) Airnya payau dengan salinitas 2-33 ppm atau asin dengan salinitas mencapai 38 ppm (Mardiana, 2005).

Ekosistem mangrove merupakan perpaduan antara ekosistem darat dan laut sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Hutan mangrove atau disebut juga hutan bakau, tidak pernah ditemukan dalam keadaan

(16)

hidup soliter, tetapi selalu membentuk komunitas. Hutan mangrove ini tanaman yang hidup di habitat pesisir. Karakteristik habitat hutan mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidial yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. Wilayahnya juga menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, baik dari muara sungai ataupun rembesan, dan biasanya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, sehingga keberadaan terumbu karang atau pulau sangat mempengaruhi habitatnya. Hutan bakau hanya terdapat di pantai yang berkekuatan ombaknya terpecah oleh penghalang berupa pasir ataupun terumbu karang. Sehingga hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria delta dan daerah pantai yang terlindung (Haryanto, 2008).

Budidaya ikan yang dilakukan pada ekosistem mangrove banyak memanfaatkan serasah daun mangrove sebagai pakan. Keberadaan pohon mangrove yang berdampak positif dalam usaha perikanan adalah kandungan nitrogen diusaha tambak udang yang menunjukkan pengaruh positif yaitu meningkatkan konsentrasi nitrogen yang berasal dari guguran daun, sehingga berpengaruh nyata pada lingkungan setempat (Fauzi et al., 2013).

B. Fungsi Mangrove

Hutan mangrove mempunyai fungsi-fungsi penting atau fungsi ganda, antara lain : a) Fungsi Fisik, yakni sebagai pencegahan proses instrusi (perembesan air laut) dan proses abrasi (erosi laut). b) Fungsi Biologis, yakni sebagai tempat pembenihan ikan, udang, karang, dan tempat bersarang burung-

(17)

burung serta berbagai jenis biota. Penghasil bahan pelapukan sebagai sumber makanan penting bagi kehidupan sekitar lingkungannya. c) Fungsi Kimia, yakni sebagai tempat proses dekomposisi bahan organik dan proses-proses kimia lainnya yang berkaitan dengan tanah mangrove. d) Ekonomi, yakni sebagai sumber bahan bakar dan bangunan, lahan pertanian dan perikanan, obat-obatan dan bahan penyamak. Saat ini hasil dari mangrove, terutama kayunya, telah diusahakan sebagai bahan baku industri penghasil bubur kertas (pulp) (Arief, 2001).

C. Manfaat Mangrove

Hutan mangrove memiliki manfaat sebagai penyedia berbagai kebutuhan hidup manusia, fungsi sosial, ekonomi dan ekologi mangrove mendukung dalam proses pembangunan berkelanjutan. Beberapa fungsi dan manfaat hutan mangrove diantaranya adalah sebagai pelindung garis pantai, tempat berpijah aneka biota laut, sebagai pengatur iklim mikro, penghasil keperluan rumah tangga dan industri, penghasil bibit ikan, sebagai bahan baku obat-obatan, pariwisata,

penelitian dan pendidikan serta manfaat-manfaat yang lainnya (Hidayatullah, 2011).

Ekosistem mangrove memiliki peranan yang sangat penting bagi lingkungan pesisir, baik dari segi fisik, ekologis dan ekonominya serta mempunyai fungsi strategis sebagai produsen primer yang mampu mendukung menstabilkan ekosistem laut dan darat. Fungsi mangrove menuju arah laut yaitu yaitu menyediakan pakan bagi organisme perairan dan sebagai penyaring sedimentasi yang disebabkan oleh daratan, sedangkan bagi daratan mangrove berfungsi sebagai perombak bahan anorganik menjadi bahan organik dari akibat

(18)

terjadinya sedimentasi di kawasan pesisir dan sebagai penahan ombak alami (Arifin et al., 2014).

D. Taksonomi dan Morfologi Rhizophora apiculata Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil) Sub Kelas : Rosidae

Ordo : Myrtales Famili : Rhizophoraceae Genus : Rhizophora

Spesies : Rhizophora apiculata

Nama daerah bibit mangrove Rhizophora apiculata (Gambar 1) adalah jangkah, slengkreng, tinjang, bakau, bakau-leutic, bakau putih, tanjang wedok, kajang-kajang, tokei, bakau-bini, tongke busar, lalano, mangi-mangi, wako, bako, bangko, parai. Bentuk pohon tinggi hingga mencapai 15 m. Memiliki akar tunjang, susunan daun tunggal besilang.Berbentik elips menyampit, ujung tajam, ukuran panjang 9-18 cm. Tipe biji vivipari, kulit kayu abu-abu gelap, bercorak seperti mozaik. Daunnya lebih kecil dari jenis – jenis Rhizophora yang lainnya (Kitamura et al., 1997).

(19)

Gambar 1. Bibit Rhizophora apiculata

E. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mangrove

Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah :

1. Iklim

Iklim tropis, iklim di daerah sedang kebanyakan cukup panas dan lembab, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap iklim adalah :

a. Cahaya, intensitas cahaya pada tempat tergantung pada lamanya penyinaran, waktu, kualitas cahaya yang diterima. Pengaruh cahaya terhadap pertumbuhan sangat tergantung pada intensitas cahaya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan.

Dalam hutan di daerah iklim sedang, cahaya sangat diperlukan untuk membantu pohon-pohon melakukan proses reproduksi, dimana daun, bunga dari suatu tumbuhan terangsang untuk berkembang.

b. Daya penguapan, penguapan udara dapat mempengaruhi transpirasi pada tumbuhan. Daya penguapan ditunjukkan oleh kelembaban nisbi, dengan perantara

(20)

suhu basah atau kering. Kelembaban tinggi mengakibatkan transpirasi pada tanaman akan berkurang. Sebaliknya pada kelembaban rendah mengakibatkan transpirasi tanaman akan bertambah.

(Polunin, 1990).

c. Suhu, Suhu yang menjadi pembatas kehidupan mangrove adalah suhu yang rendah dan kisaran suhu musiman. Suhu yang baik untuk kehidupan mangrove adalah tidak kurang dari 20oC, sedangkan kisaran musiman suhu tidak melebihi 5oC. Suhu yang tinggi (> 40oC) cenderung tidak mempengaruhi pertumbuhan dan atau kehidupan tumbuhan mangrove (Gufran dan Kordi, 2012).

d. Curah hujan, curah hujan berpengaruh seperti jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan mangrove, curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan tanah.

e. Angin, mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus. Angin merupakan agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses reproduksi tumbuhan mangove.

(Alwidakdo et al., 2014) 2. Pasang surut air laut

Pasang surut adalah perubahan ketinggian muka air laut karena gerak gravitasi bulan dan matahari dan benda langit lain pada perputaran bumi. Tipe pasang surut ditentukan oleh frekuensi air pasang dan surut setiap hari. Jika perairan tersebut mengalami satu kali pasang dan surut dalam sehari, maka kawasan tersebut dikatakan bertipe pasang surut tunggal. Jika terjadi dua kali 17 pasang dan dua kali surut dalam sehari, maka tipe pasang surutnya dikatakan

(21)

bertipe ganda. Tipe pasang surut lainnya merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda yang disebut tipe campuran (Pratikto, 1997).

3. Salinitas

Tumbuhan mangrove tumbuh subur didaerah estuaria dengan salinitas 10- 30 ppt. Salinitas yang tinggi akan berdampak pada kondisi tajuk mangrove, semakin jauh dari tepian perairan maka kondisi tajuk menjadi kerdil dan berkurang komposisi pada setiap spesiesnya (Wantasen, 2013).

Tinggi penggenangan air laut dan lamanya waktu penggenangan di suatu lokasi pada saat pasang juga menentukan salinitas yang merupakan salah satu faktor dalam menentukan penyebaran tumbuhan mangrove, salinitas juga menjadi faktor pembatas untuk pertumuhan spesies tertentu. Beberapa spesies tumbuhan mangrove memiliki mekanisme adaptasi yang tinggi terhadap salinitas, namun bila suplai air tawar mencapai kondisi maksimal hal ini dapat mengancam kelangsungan hidup spesies mangrove (Dahuri, 2003).

Dari banyak faktor lingkungan, salinitas mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan hutan mangrove. Pada umumnya salinitas air di sepanjang pantai di Indonesia berkisar antara 31 % sampai 33 %. Variasi salinitas menentukan organisme yang berada dan berkembang biak di daerah tersebut.

Hewan-hewan yang hidup di perairan payau (salinitas 0,5 % sampai 30 %) biasanya mempunyai toleransi terhadap kisaran salinitas yang lebih besar (Supriharyono, 2003).

4. Oksigen terlarut

Pada suhu tinggi kelarutan oksigen rendah dan pada suhu rendah kelarutan oksigen tinggi. Tiap-tiap spesies biota akuatik mempunyai kisaran toleransi yang

(22)

berbeda-beda terhadap konsentrasi oksigen terlarut di suatu perairan. Biasanya spesies yang mempunyai kisaran toleransi lebar terhadap oksigen terlarut biasanya penyebaranya lebih luas dari pada kisaran toleransinya sempit. Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh: suhu air, tekanan atmosfir, kandungan garam garaman terlarut, kualitas pakan, dan aktivitas biologi perairan. Dimana fungsi oksigen bagi hewan di perairan antara lain : peranan dalam membakar bahan makanan dan untuk dapat melakukan aktivitas (reproduksi, pertumbuhan, dan berenang).Nilai oksigen terlarut masih dalam kisaran penunjang kebutuhan bagi biota perairan (Wantasen, 2013).

5. Substrat

Substrat yang baik untuk kehidupan mangrove adalah substrat lanau karena substrat lanau memiliki ukuran butir substrat yang kecil dan halus sehingga pada penyerapan nutrien oleh akar dapat berlangsung dengan baik dan mudah. Hal inilah yang membuat banyak spesies mangrove yang ditemukan di substrat lanau seperti Rhizopora apiculata, Rhizopora stylosa, Rhizopora mucronata dan Sonneratia alba, sedangkan untuk substrat berpasir banyak ditemukan jenis Avicennia marina dan Rhizopra mucronata yang mendominasi jenis mangrove di wilayah tersebut (Kusmana, 1997).

Substrat tanah juga menentukan kehidupan ekosistem mangrove. Tipe substrat yang cocok untuk pertumbuhan mangrove adalah lumpur lunak, yang mengandung silt, clay, dan bahan-bahan organic yang lembut. Disamping tipe tanah tersebut, beberapa spesie mangrove cenderung lebih menyukai tanah yang drainasnya baik (Gufran dan Kordi, 2012).

(23)

Nitrogen merupakan unsur hara makro utama yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak. Nitrogen berpengaruh terhadap banyaknya proses fotosintesis yang terjadi pada mangrove. Nitrogen dibutuhan dalam pertumbuhan sebagai komponen pembentuk molekul klorofil, asam amino, enzim, koenzim, vitamin, dan hormon. Kekurangan unsur Nitrogen dapat membatasi pembelahan dan pembesaran sel (Feller et al., 2002).

Nitrogen umumnya diserap tanaman dalam bentuk NH4+

atau NO3-

, Nitrogen dalam tanah dapat hilang karena terjadinya penguapan, pencucian oleh air atau terbawa bersama tanaman saat panen. Nitrogen dapat kembali ke tanah melalui pelapukan sisa makhluk hidup (bahan organik), Nitrogen yang berasal dari bahan organik ini dapat dimanfaatkan oleh tanaman setelah melalui tiga tahap reaksi yang melibatkan aktivitas mikroorganisme tanah (Pradipta, 2016).

Ketersediaanposfor (P) ditanah sekitar 0,01- 0,1 % dari keseluruhan senyawa ditanah. Defisiensi fosfor mengakibatkan pertumbuhan tanaman lambat, lemah dan kerdil (Sutanto, 2005).

F. Agroforestri

Agroforestri adalah pengkombinasian antara tanaman berkayu atau kehutanan baik berupa pohon, perdu, palem-paleman, bambu dan tanaman berkayu lainnya dengan tanaman pertanian dan peternakan secara tata waktu (temporal arrangement) ataupun tata ruang (spatial arrangement). Istilah lain dari agroforestri adalah tumpang sari (taungya system). Pada sistem tumpang sari seluruh areal hutan akan ditanami pohon dan tanaman tumpang sari dibersihkan dan diolah secara intensif oleh masyarakat yang dilibatkan dalam pengelolaan hutan sebagai penggarap atau pasanggem. Agroforestri juga merupakan sistem

(24)

penggunaan lahan dan teknologi yang menggunakan tanaman berupa pohon, perdu, palem, bambu dan sebagainya yang ditanam bersama tanaman pertanian atau hewan pada satu unit pengolahan lahan yang sama (Indrianto, 2008).

Sistem agroforestri memiliki pola-pola tertentu dalam mengombinasikan komponen tanaman penyusun dalam satu ruang dan waktu. Pola ini dibentuk agar tidak terjadi interaksi negatif antar komponen penyusun. Interaksi negatif yang terjadi bisa berupa kompetisi yang tidak sehat dalam memperebutkan unsur hara, cahaya matahari, air serta ruang tumbuh. Akibat dari kompetisi tersebut yaitu tanaman bisa tertekan bahkan mati karena pengaruh tanaman lainnya. Tajuk pohon yangterlalu lebat menyebabkan cahaya matahari tidak sampai ke strata di bawahnya yang menjadi tempat tumbuh tanaman pertanian. Akar pohon yang memanjang dan menempati horison tanah dengan kedalaman kurang dari 50 cm bisa mengganggu perakaran tanaman pertanian sehingga terjadi perebutan nutrisi yang pada akhirnya merugikan tanaman pertanian. Karakteristik pola tanam agroforestri sangat tergantung pada pemilik lahan serta karakteristik lahannya.

(Mahendra, 2009).

Pada dasarnya agroforestri mempunyai komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian, peternakan dan perikanan. Penggabungan komponen-komponen yang termasuk dalam agroforestri dikenal dengan nama :

1. Agrisilvikultur merupakan kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan (pohon, perdu, palem, bambu dan lain-lain) dengan komponen pertanian.

2. Silvopastura merupakan kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan peternakan

(25)

3. Agrosilvopastur merupakan kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan kehutanan dan peternakan/hewan

4. Silvofishery merupakan kombinasi antara komponen kehutanan dan komponen perikanan. Sistem ini merupakan pemanfaatan hutan mangrove dikombinasikan dengan tambak ikan.

Gambar 2. Ruang Lingkup Sistem Pemanfaatan Lahan Secara Agroforestri Sumber : Mahendra (2009)

Tujuan akhir program agroforestri adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat petani, terutama yang di sekitar hutan, yaitu dengan memprioritaskan partisipasi aktif masyarakat dalam memperbaiki keadaan lingkungan yang rusak dan berlanjut dengan memeliharanya. Program-program agroforestri diarahkan pada peningkatan dan pelestarian produktivitas sumberdaya yang akhirnya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

F.1. Pengertian Silvofishery

Silvofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan atau udang dengan kegiatan

(26)

penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove.

Mangrove silvofishery ditanam disepanjang tambak dengan jarak tanam 1 meter antara satu pohon dengan pohon yang lain. Mangrove yang digunakan pada sistem silvofishery ini adalah Avicennia dan Rhizophora.

Manfaat yang dapat diperoleh dengan menerapkan silvofishery pada tambak budidaya yaitu peningkatan produksi dari hasil tangkapan alam dan ini akan meningkatkan pendapatan petani ikan, mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat, sehingga pemukiman dan sumber air tawar dapat dipertahankan.

Dengan model sistem silvofishery, aspek ekonomi masyarakat dapat terpenuhi dari kegiatan budidaya ikan dan udang dalam tambak, sedangkan aspek perlindungan pantai dan konservasi bakau dilakukan dengan tetap menjaga bakau- bakau di pematang tambak dan bagian luar dari tambak. Kegiatan penanaman bakau dan pembuatan tambak dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat tanpa bantuan pemerintah, sehingga konsep social forestry atau community forestry tercipta dengan sendirinya di wilayah pesisir tersebut (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

(27)

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

A. Letak Kawasan

Desa Tanjung Rejo yang berada di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara adalah salah satu Desa yang letaknya berada di wilayah pesisir pantai timur Sumatera. Luas wilayah Tanjung Rejo 19 Km2, dengan jumlah penduduk 10.342 orang. Penduduk Desa Tanjung Rejo rata- rata bekerja sebagai petani dan nelayan. Desa Tanjung Rejo sebagian besar wilayahnya adalah terdiri dari perairan pesisir dan laut, yang memakai potensi besar di bidang perikanan, pariwisata, kawasan hutan mangrove dan sumberdaya alam lainnya. Peta Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang disajikan pada Gambar 3 (Kecamatan Percut Sei Tuan dalam Angka, BPS Deli Serdang 2015).

Gambar 3. Peta lokasi penelitian Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang

(28)

B. Kondisi Topografi dan Bentuk Wilayah

Topografi lahan baik lahan sawah maupun darat rata-rata datar dengan kemiringan kurang dari 5 % dan berjenis alluvial, kondisi tanah di kecamatan Percut Sei Tuan memiliki bentuk wilayah yang landai (dataran rendah) dengan ketinggian 0 – 20 mdpl. Secara teknis kondisi lahan tersebut dapat memberikan kemudahan bagi sektor perdagangan dan jasa perindustrian maupun pemukiman.

C. Kondisi Iklim dan Cuaca

Kondisi iklim yang terdapat di Kecamatan Percut Sei Tuan adalah iklim tropis dan memiliki musim hujan dan musim kemarau, cuaca suhu udara pada umumnya panas dan sedang. Sedangkan untuk curah hujan 2.330 mm/thn dengan bulan kering kurang dari 3 bulan dan digolongkan tipe D1 Oldemen, dan suhu udara adalah 27oC hingga 33oC dan kelembaban udara 75 – 80 %.

D. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tambak A (Gambar 4) dan tambak B (Gambar 5) tipe Empang Parit. Kedua lahan tambak dengan vegetasi mangrove dengan tingkat salinitas 20-30 ppt. Jenis tanaman mangrove yang tumbuh dominan antara lain Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Acrosticum spp, dan Nypah.

(29)

Gambar 4. Lahan tambak A yang ditanami bibit Rhizophora apiculata

Gambar 5. Lahan tambak B yang ditanami bibit Rhizophora apiculata

(30)

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada Agustus sampai November 2017.

Pengamatan pertumbuhan bibit Rhizophora apiculata dilakukan di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

Analisis kandungan bahan organik tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ajir, cangkul, meteran, kaliper, kamera digital, label nama, alat tulis, buku panduan identifikasi mangrove.

Bahan yang digunakan adalah bibit tanaman mangrove jenis Rhizophora apiculata berumur ± 1, 5 tahun sebanyak 30 bibit dari lokasi penelitian dengan salinitas 20-30 ppt.

C. ProsedurPenelitian

C.1. Pengujian Faktor dari Karakteristik Ekosistem yang Berbeda 1. Kedalaman lumpur

Diukur kedalaman lumpur dengan menggunakan alat ukur berupa kayu dengan cara menancapkan kayu kedalam lumpur di 5 titik yang sudah ditentukan.

Kemudian kedalaman kelima titik tersebut dirata-ratakan.

2. Jarak dari garis pantai

Jarak setiap tambak dari garis pantai diukur menggunakan alat ukur berupa meteran.

(31)

3. Tingkat salinitas air

Untuk mengukur salinitas air, diukur dengan menggunaan alat ukur Refraktometer.

4. Unsur hara

Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan diagonal pada setiap lahan tambak. Pada setiap lahan tambak diambil sebanyak 5 titik, tiap tambak sampel tanah yang diambil adalah sebanyak 1 kg. Sampel tanah yang diambil dari setiap titik tersebut dikompositkan kemudian ditempatkan pada plastic yang bersih.

Selanjutnya tanah dibawa ke laboratorium untuk dianalisis (Gambar 6).

Gambar 6. Petak contoh pengambilan sampel tanah pada kedua lahan tambak silvofishery

C.2. Pelaksanaan Penelitian di Lapangan 1. Pengukuran bibit

Pengukuran bibit dan pengamatan pertumbuhan dilakukan setiap satu minggu sekali selama tiga bulan. Parameter yang diamati :

a. Tinggi bibit

(32)

Pengukuran tinggi dimulai dari ujung propagul dimana tunas tumbuh sampai ujung pucuk tertinggi. Pengukuran dilakukan pada setiap satu minggu sekalipengukuran menggunakan meteran.

b. Diameter bibit

Pengukuran diameter bibit dengan menggunakan kalifer. Diukur pada pangkal bagian bawah.

c. Jumlah daun

Perhitungan jumlah daun dilakukan satu minggu sekali bersamaan dengan pengukuran tinggi dan diameter bibit.

Analisis Data Perbedaan Pertumbuhan Kedua Lahan Tambak

Analisis data yang digunakan adalah bentuk deskriptif yaitu penyajian data dengan memaparkan data pertumbuhan bibit Rhizophora apiculata pada dua lahan tambakyaitu lahan tambak A dan lahan tambak B di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

Untuk mengetahui adanya perbedaan pertumbuhan bibit Rhizophora apiculata pada dua lahan tambak yang berbeda dilakukan analisis dengan menggunakan Uji t. Menurut Kusriningrum (2010) pada prinsipnya penggunaan Uji t adalah membandingkan antara t hitung dengan t tabel, dengan menggunakan rumus :

S

(A-B) =

Terlebih dahulu dihitung dengan menggunakan rumus :

S

A 2

=

dan

S

B

2

=

(33)

Hasil perhitungan kemudian dimasukkan ke dalam rumus t hitung seperti :

t hitung =

Keterangan :

S = Simpangan baku SA2

= Varians tambak 1 SB2 = Varians tambak 2 n = Jumlah sampel

Bila sudah mendapatkan t hitung, kemudian dibandingkan dengan t tabel menggunakan taraf signifikansi sebesar 5 %.

Selanjutnya ada dua kemungkinan yang diperoleh :

1. Bila t hitung >t tabel 5%, maka perbedaan tersebut sifatnya nyata (significance).

2. Bila t hitung <t tabel 5 %, maka dikatakan bahwa perbedaan tersebut tidak nyata (non significance).

(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Ekosistem Kedua Lahan tambak

Kedua lahan tambak yaitu lahan tambak A dan lahan tambak B memiliki karakteristik ekosistem yang berbeda. Berdasarkan hasil uji di Laboratorium tanah ditemukan hasil perbedaan karakteristik ekosistem kedua lahan yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik lahan tambak silvofishery Desa Tanjung Rejo Kecamatan Percut Sei Tuan

Tambak

Karakteristik Ekosistem

Luas tambak

Jarak dari garis pantai

(m)

Kedalam an lumpur

(cm)

pH tanah

Salinitas air (ppt)

Unsur hara C-

organik (%)

N-total (%)

P (ppm)

A 6 120 35,4 5,81 s 24 4,68 t 1,25 sr 9,51 s

B 0,5 50 16,8 5,60 s 28 5,42 st 1,08sr 10,28 s

Sumber : Hardjowigeno (2007).

Keterangan : sm : sangat masam st : sangat tinggi sr : sangat rendah m : masam t : tinggi r : rendah

n : netral s : sedang

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari Tabel 1 pada lahan tambak A memiliki luas 6 ha dengan jarak dari garis pantai adalah 120 m, memiliki kedalaman lumpur sedalam 35,4 cm, pH tanah sebesar 5,81, salinitas air sebesar 24 ppt, kandungan c organik 4,68 %, N- total sebesar 1,25 %, dan juga P tersedia sebesar 9,51 ppm. Pada lahan tambak B memiliki luas 0,5 ha dengan jarak dari garis pantai sejauh 50 m, memiliki kedalaman lumpur sedalam 16,8 cm, pH tanah 5,60, salinitas air sebesar 28 ppt, memiliki kandungan c organik 5,42 %, N total 1,08 % dan P tersedia 10,28 ppm.

(35)

1. Jarak dari garis pantai

Jarak garis pantai merupakan salah satu yang memengaruhi pertumbuhan mangrove. Berdasarkan hasil penelitian bahwa pertumbuhan mangrove pada jarak 120 m dari garis pantai lebih baik pertumbuhannya dibandingkan dengan jarak 50 m. Hal ini dikarenakan pasang surut yang terjadi disekitar pertumbuhan mangrove. Pada lahan tambak A jauh dari garis pantai, akan tetapi sirkulasi air tambak lebih baik dibanding lahan tambak B. Pintu tambak dibuka dan ditutup secara teratur setiap hari. Pada lahan tambak A juga selalu digenangi oleh air laut sehingga pada keadaan surut tetap terendam air. Sedangkan pada lahan tambak B sirkulasi air laut tidak teratur dan pada lahan ditanam bibit Rhizophora apiculata tidak tergenang air laut sehingga tanah menjadi kering. Hal ini sesuai dengan pernyataan Setyawan et al. (2005) yang menyatakan bahwa pasang surut merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan mangrove.

2. Kedalaman lumpur

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan kedalaman lumpur pada lahan tambak A sedalam 35,4 cm sedangkan pada lahan tambak B ditemukan 16,8 cm.

Hal ini menunjukkan bahwa pada lahan tambak A mengandung lumpur yang lebih banyak dibanding pada lahan tambak B. Pada hasil penelitian ditemukan pertumbuhan bibit Rhizophora apiculata lebih baik pada kedalaman 35,4 cm dibandingkan dengan kedalaman 16,8 cm. Hal ini disebabkan karena bibit mangrove Rhizophora apiculata lebih menyukai substrat yang lebih banyak lumpur dan tergenang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Amin et al. (2015) yang menyatakan bahwa spesies Rhizophora apiculata umumnya tumbuh pada tanah berlumpur, halus, dalam dan tergenang pada saat pasang normal. Rhizophora

(36)

apiculata tidak menyukai substsrat yang keras (dengan komposisi pasir yang tinggi).

Lahan tambak B memiliki lumpur lebih sedikit dibandingkan lahan tambak A disebabkan oleh lahan pasang surut yang berlangsung tidak lama.

Sedangkan lahan tambak A memiliki lumpur lebih banyak disebabkan oleh pasang surut yang lebih lama sehingga lumpur lebih banyak mengendap. Pada lahan tambak A juga selalu digenangi oleh air laut sehingga lumpur menjadi lebih banyak. Sesuai dengan pernyataan Darmawan (2002) yang menyatakan bahwa pasang surut yang terjadi dalam waktu lama dengan kecepatan arus yang minimal menyebabkan lumpur terakumulasi menjadi tebal. Pasang surut yang terjadi pada waktu singkat dengan kecepatan arus minimal lumpur terakumulasi menjadi sedikit.

3. Salinitas air

Salinitas air pada lahan tambak A yaitu 24 ppt, sedangkan pada lahan tambak B yaitu 28 ppt. Sesuai dengan pernyataan Jumiati (2008) bahwa tumbuhan mangrove umumnya subur di daerah estuaria dengan salinitas 10-30 ppt dan salinitas yang sangat tinggi yakni ketika salinitas air permukaan melebihi salinitas yang umum di laut (±35 ppt) dapat berpengaruh buruk terhadap vegetasi mangrove, karena dampak dari tekanan osmosis yang negatif. Pasang yang terjadi dilokasi penanaman dapat mempengaruhi perubahan salinitas air.

Salinitas yang terdapat di lahan tambak A dan B termasuk ke dalam kategori jenis air payau yang salinitasnya berkisar antara 0,5 ppt – 30 ppt.

Salinitas dikedua lahan tambak tidak berbeda dikarenakan lokasi lahan tambak tidak jauh dan masih dalam satu wilayah.

(37)

4. Unsur hara

Menurut hasil analisis di laboratorium, kandungan unsur hara pada lahan tambak A mempunyai nilai kandungan karbon (C) organik yaitu 4,68 %, pada lahan tambak B yaitu 5,42 %. Kandungan C-organik pada lahan tambak A termasuk pada kriteria tinggi. Sedangkan pada lahan tambak B termasuk pada kriteria sangat tinggi. Hal ini sesuai dengan kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah Hardjowigeno (2007) pada Lampiran 5.

Tingginya kandungan C-organik pada lahan tambak B dikarenakan cukup tingginya aktivitas masyarakat sehingga menghasilkan bahan-bahan sisa yang hanyut ke daerah tambak dan banyaknya serasah mangrove yang belum terdekomposisi yang mana hal ini akan meningkatkan kandungan bahan organik dan anorganik dalam perairan. Sesuai dengan Pratono et al. (2009) menyatakan bahwa karbon organik dapat berasal dari berbagai materi alam khususnya sedimen yang penuh dengan masukan sisa sisa dari aktivitas manusia yang menambahkan bahan organik yang terangkut oleh sungai.

N total pada lahan tambak A yaitu 1,25 % dan pada lahan tambak B yaitu 1,08 %. N total pada kedua lahan tambak termasuk dalam kriteria sangat rendah (Lampiran 5). Nitrogen merupakan salah satu unsur hara yang berpengaruh dalam pertumbuhan mangrove. Sesuai dengan Fauzi et al. (2013) yang menyatakan bahwa nitrogen di usaha tambak menunjukkan pengaruh positif yaitu meningkatkan konsentrasi unsur hara yang berasal dari guguran daun sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove.

Sangat rendahnya unsur hara N (nitrogen) pada kedua lahan tambak menyebabkan pertumbuhan vegetatif Rhizophora apiculata menjadi lambat. Hal

(38)

ini dikarenkan nitrogen dalam tanah dapat hilang karena terjadinya penguapan.

Banyaknya sampah anorganik juga dapat menghambat proses pembentukan unsur hara nitrogen dalam tanah. Sesuai dengan pernyataan Pradipta (2016) banyaknya sampah anorganik akan mempengaruhi jumlah bakteri yang melakukan proses nitrifikasi.

Unsur P (Fosfor) sama halnya dengan N (nitrogen), merupakan salah satu bagian terpenting untuk pertumbuhan bibit mangrove. Nilai P pada lahan tambak A yaitu 9,25 ppm. Pada lahan tambak B yaitu 10,28 ppm. P di kedua lahan tambak termasuk pada kriteria sedang (Lampiran 5). Unsur Fosfor (P) didalam tanah berasal dari bahan organik, pupuk buatan dan mineral-mineral didalam tanah. P organik dan P-anorganik merupakan jenis unsur P yang terdapat didalam tanah. Hanya saja, P dalam bentuk organik tidak dapat segera digunakan oleh tanaman, tetapi perlu ditransformasi terlebih dahulu menjadi bentuk P anorganik melalui proses mineralisasi.

B. Pertumbuhan Bibit Rhizophora apiculata

Untuk mengetahui perbedaan pertumbuhan bibit Rhizophora apiculata pada lahan tambak A dan B dilakukan menggunakan uji statistik yaitu uji t. Jika t hitung > t tabel maka perbedaan bersifat nyata (signifikan) sedangkan jika t hitung

< t tabel maka dikatakan bahwa perbedaan bersifat tidak nyata (non signifikan).

Hasil perhitungan uji t pada kedua lahan tambak silvofishery disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Uji t pertumbuhan Rhizophora apiculata pada lahan tambak A dan B Desa Percut Sei Tuan

Parameter S (A-B) t hitung t table Signifikansi

Tinggi 4,96 0,65 2,131 tn

Diameter 0,1 374 2,131 n

Jumlah daun 15,73 2,48s 2,131 n

Keterangan : n = nyata tn = tidak nyata S (A-B) = simpangan baku

(39)

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa pada parameter tinggi tidak ada perbedaan yang nyata (non signifikan) antara pertumbuhan bibit Rhizophora.

apicuata pada lahan tambak A dan B. Sedangkan pada parameter diameter dan jumlah daun ada perbedaan yang nyata (signifikan) antara pertumbuhan bibit Rhizophora apiculata antara lahan tambak A dan B.

B.1. Tinggi Bibit Rhizophora apiculata

Pertumbuhan tinggi mangrove Rhizophora apiculata disebabkan oleh adanya aktivitas jaringan meristem primer yang menyebabkan batang menjadi bertambah panjang. Pertumbuhan tinggibibit Rhizophora apiculata disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7.Grafik rata-rata tinggi bibit Rhizophora apiculata pada lahan tambak A dan B Desa Percut Sei Tuan

Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat hasil rata-rata tinggi bibit Rhizophora apiculata di lahan tambak A dan B selama duabelas minggu pengamatan. Pada Gambar 7 juga dapat dilihat pertambahan tinggi bibit setiap minggu. Pertambahan

53,1 53,3 54,8 55,6 57,4 58,2 59,3 60,8 62,0 63,3 64,7 66,1

50,1 50,1 51,5 52,8 54,6 54,9 56,3 57,2 58,5 60,0 61,0 62,0

0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Tinggi batang (cm)

Waktu pengamatan (minggu)

Tambak A Tambak B

(40)

tinggi tertinggi bibit Rhizophora apiculata pada lahan tambak A pada pengamatan minggu kelima yaitu 1,8 cm, terendah pada minggu kedua yaitu 0,2 cm.Pada lahan tambak B pertambahan tinggi tertinggi bibit Rhizophora apiculata pada pengamatan minggu kelima yaitu 1,8 cm akan tetapi tidak mengalami pertambahan tinggi sama sekali pada minggu kedua. Menurut Davis dan Johnson (1987), terdapat tiga faktor lingkungan dan satu faktor genetik yang sangat nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, yaitu kandungan nutrien mineral tanah, kelembaban tanah, cahaya matahari, serta keseimbangan sifat genetik antara pertumbuhan tinggi dan diameter.

Berdasarkan hasil uji t (Tabel 2),pertumbuhan tinggi bibit Rhizophora apiculata tidak berbeda nyata (non signifikan)antara lahan tambak A dan B. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu jarak tanam, ukuran dan umur bibit Rhizophora apiculata sama. Jarak tanam di lokasi penelitian pada lahan tambak A dan B adalah sama yaitu 1 x 1 m.Sehingga laju pertumbuhan tinggi pada lahan tambak A dan B tidak berbeda nyata. Sesuai pernyataan Doni et al. (2016) bahwa jarak tanam menjadi faktor penting untuk memberikan ruang tumbuh yang optimal bagi pertumbuhan bibit mangrove serta akan berpengaruh dalam penggunaan cahaya sehingga mempengaruhi pula pengambilan unsur hara, air dan udara. Pernyataan ini didukung oleh Fitter dan Hay (1991) yang menyatakan bahwa cahaya merupakan satu faktor-faktor lingkungan terpenting karena perannya dari proses fotosintesis.

(41)

B.2. Diameter Bibit Rhizophora apiculata

Pertambahan diameter rata-rata pada setiap pengamatannya menunjukkan diameter batang semakin melebar. Rata-rata diameter batang bibit Rhizophora apiculata dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Grafik rata-rata diameter bibit Rhizophora apiculata pada lahan tambak A dan B Desa Percut Sei Tuan

Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa pertambahan diameter terbesar bibit Rhizophora apiculata selama duabelas minggu pengamatan pada lahan tambak A yaitu pada pengamatan minggu ketiga 0,2 cm. Pada lahan tambak B dapat dilihat pada Gambar 8 bahwa pertambahan diameter sekitar 0,1 cm. Hal ini dikarenakan perubahan besarnya diameter bibit dipengaruhi oleh kandungan bahan organik atau nutrien yang ada didalam substrat. Menurut hasil analisis di laboratorium, kandungan bahan organik pada lahan tambak A mempunyai nilai kandungan karbon (C) organik yaitu 4,68 %, pada lahan tambak B yaitu 5,42 %.

Tingginya kandungan C organik disebabkan oleh adanya dominasi vegetasi

1,8

1,9 1,9

2,2 2,2 2,2

2,3 2,3 2,4

2,5 2,6

2,7

1,3

1,4 1,4

1,5 1,6

1,7 1,8

1,9 1,9

2,0 2,1 2,1

0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Diameter bibit (cm)

Waktu pengamatan (minggu)

Tambak A Tambak B

(42)

mangrove jenis Rhizophora apiculata yang banyak terpengaruh oleh pasang surut air laut dimana tanah sering mengalami reduksi saat air pasang dan teroksidasi pada saat air laut surut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Herpinawati, et al.

(2010) perubahan besarnya diameter bibit di pengaruhi oleh kandungan bahan organik atau nutrien yang ada didalam substrat.

Pada pertumbuhan diameter, bibit Rhizophora apiculata pada lahan tambak A dan B memiliki perbedaan yang nyata (signifikan). Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan, kondisi substrat tanah lumpur berpasir pada lokasi diduga menjadi penyebab pertambahan diameter tanaman pada kedua lahan tambak berbeda. Pada tambak A mengandung lumpur yang lebih banyak dari pada tambak B yang substrat tanah nya sedikit lebih keras. Unsur hara dalam kandungan lumpur mempengaruhi pertumbuhan diameter tanaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Duarte et al. (1998) yang menyatakan bahwa lumpur merupakan salah satu faktor pertumbuhan tinggi dan diameter dari tanaman dipengaruhi oleh ketersedian hara yang terdapat dalam kandungan lumpur.

Perubahan diameter bibit Rhizophora apiculata tidak secepat pertambahan tinggi. Sehingga tidak begitu terlihat pertambahan diameter dari awal pengamatan hingga akhir pengamatan yang diduga juga karena waktu pengamatan yang masih relatif pendek. Perbedaan pertumbuhan diameter pada kedua lahan tambak juga disebabkan oleh faktor lingkungan yang berbeda. Pasang surut perairan di daerah penanaman membawa unsur hara untuk pemeliharaan bibit mangrove Rhizophora apiculata. Lahan tambak A terkena pasang setiap harinya, menyebabkan genangan air di lokasi penanaman sehingga meningkatkan pertumbuhan bibit Rhizophora apiculata, dimana waktu pasang arus perairan membawa nutrien bagi

(43)

pertumbuhan bibit bakau tersebut sedangkan lahan tambak B terkena pasang surut pada saat pasang normal. Menurut Setyawan et al. (2005), menyatakan bahwa pasang surut merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan mangrove khususnya sistem akar mangrove.

Substrat berlumpur merupakan tempat yang baik untuk mendukung pertumbuhan bibit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kurniawan (2013) bahwa hutan mangrove dapat tumbuh pada substrat dasar pasir, lumpur, koral maupun batu-batuan, namun pertumbuhan terbaik terdapat pada susbtrat dasar lumpur.

Pada susbtrat dasar lainnya, pertumbuhan umumnya kurang baik dan cenderung lambat.

B.3. Jumlah Daun Bibit Rhizophora apiculata

Perubahan musim antara musim kemarau ke musim penghujan yaitu bulan Agustus – November menyebabkan serangan hama semakin membuat pertumbuhan tidak merata dengan baik. Banyak kondisi bibit yang mengalami pertumbuhan yang stuck ataupun lambat. Terjadi pertambahan dan pengurangan jumlah daun setiap pengamatan untuk masing-masing lahan tambak bibit Rhizophora apiculata. Sesuai dengan Fahmi et al. (2010) yang menyatakan bahwa pertambahan jumlah daun merupakan salah satu bentuk dari pertumbuhan bibit Rhizophora apiculata dan pengguguran daun merupakan salah satu bentuk adaptasi terhadap lingkungan.

Berdasarkan hasil pengamatan selama duabelas minggu diperoleh rata- rata jumlah daun bibit Rhizophora apiculata pada lahan tambak A dan B disajikan dalam Gambar 9.

(44)

Gambar 9.Grafik rata-rata jumlah daun bibit Rhizophora apiculata pada lahan tambak A dan B Desa Percut Sei Tuan

Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat hasil pengamatan selama duabelas minggu pengamatan rata-rata jumlah daun bibit Rhizophora apiculata pada lahan tambak A yaitu berkisar 0-7 helai. Pada tambak B berkisar 0-5 helai. Hal ini disebabkan oleh hama yang ada di lahan tambak A adalah ulat kantung sedangkan pada lahan tambak B juga terdapat hama kepiting kecil. Tanaman yang terserang hama kepiting kecil dapat ditandai dengan adanya bekas gigitan yang menyerang bibit Rhizophora apiculata. Ulat kantung menyerang bibit Rhizophora apiculata dengan cara memakan daun pada permukaan bawah daun (Gambar 10). Tanda serangan adalah daun menjadi berlubang dan kemudian daun menjadi menguning dan akhirnya rontok atau gugur dan bibit sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan. Hal ini juga diperkuat oleh Meilin (2009) yang mengatakan bahwa larva ulat kantung ini selalu dalam kantung, ulat kantung ini sangat berbahaya dikarenakan dapat menyebabkan tumbuhan mangrove menjadi gundul hingga

93 94 95 96 98 100

107 109 111 113 115 119

30 30 30 31 33 37

42 43 45 46 48 48

0 20 40 60 80 100 120 140

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Jumlah daun (helai)

Waktu pengamatan (minggu)

Tambak A Tambak B

(45)

tidak dapat melakukan fotosintesis untuk membentuk jaringan daun. Ulat kantung memakan daun sehingga daun tersebut akan berlubang, kering dan akan berguguran.

Gambar 10. Gigitan hama pada daun Rhizophora apiculata

Pada pertambahan jumlah daun Rhizophora apiculata pada lahan tambak A dan B berbeda nyata (signifikan). Meningkatnya jumlah daun juga dipengaruhi oleh diameter bibit Rhizophora apiculata itu sendiri. Hal ini sesuai dengan Gonzales (2012) yang menyatakan bahwa semakin lebar diameter maka xylem sebagai pengangkut zat hara dan air dari tanah menjadi semakin besar, sehingga semakin banyak pula zat hara dan air yang diangkut. Hal ini dapat berakibat kuantitas fotosintesis semakin tinggi yang menyebabkan pembentukan daun akan semakin banyak. Jumlah daun penting untuk diperhatikan karena daun berfungsi sebagai tempat fotosintesis. Selain itu, daun nantinya akan menjadi serasah yang jatuh yang dimanfaatkan langsung oleh biota maupun yang diurai dulu oleh organisme baru dapat dimanfaatkan oleh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Irwanto (2006) menyatakan fotosintesis merupakan proses yang menjadi kunci dapat berlangsungnya proses metabolisme dalam tanaman.

(46)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pertumbuhan bibit Rhizophora apiculata lebih baik pada lahan tambak A dari pada lahan tambak B. Terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua lahan tambak silvofishery pada parameter diameter batang dan jumlah daun bibit Rhizophora apiculata, tetapi tidak pada parameter tinggi bibit Rhizophora apiculata.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian, disarankan untuk diadakannya pengamatan serupa dengan waktu pengamatan yang lebih panjang. Perlu diperhatikan juga sirkulasi air di dalam tambak karena akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Alwidakdo, A., Z. Azham dan L. Kamarubayana. 2014. Studi Pertumbuhan Mangrove pada Kegiatan Rehabilitasi Hutan Mangrove di Desa Tanjung Limau Kecamatan Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara. Fakultas Pertanian, Universitas 17 Agustus 1945. Jurnal AGRIFOR 13(1).

Amin, D.N., H. Irawan dan A. Zulfikar. 2015. Hubungan Jenis Substrat dengan Kerapatan Vegetasi Rhizophora sp di Hutan Mangrove Sungai Nyirih Kecamatan Tanjung Pinang Kota Tanjung Pinang. Fakutas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kansius. Yogyakarta.

Arifin, T.M., Efriyeldi dan Zulkifli. 2014. Pengaruh Jarak Tanam terhadap Persentase Hidup dan Pertumbuhan Rhizophora apiculata di Pusat Pendidikan Mangrove Marine Station Universitas Riau. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau.

BPS. 2015. Percut Sei Tuan dalam Angka 2015. BPS. Deli Serdang.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut :Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Darmawan, A. 2002. Peranan Rehabilitasi Mangrove dalam Mengakumulasi Substrat Lumpur di Pantai Brebes. Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Jurnal Ilmu Kehutanan (2):29-42.

Davis, L.S. dan K.N. Jhonson. 1987. Forest Management : 3rd ed.Mc Graw- Hill Book Company. New York.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Panduan Kehutanan Indonesia.

Jakarta.

Doni, A.Y.R., S. Nasution dan Feliatra. 2016. Pengaruh Jarak Tanam terhadap Pertumbuhan dan Kelulushidupan Bibit Mangrove (Avicennia marina) di Desa Anak Setatah Kecamatan Rangsang Barat Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Riau.

Duarte, C.M., O.G. Hansen dan U. Thampanya. 1998. Relationship between Sediment Conditions and Mangroves Rhizophora apiculata Seedling Growth and Nutrient Status. Marine Ecology Progress Series 175 : 227- 283.

(48)

Fahmi, K., Z. Dahlan dan Sarno. 2010. Tingkat Keberhasilan Hidup Bibit Mangrove Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza di Delta Upang Banyuasin Sumatera Selatan. Universitas Sriwijaya.

Fauzi, A., Skidmore A. K., Van, G. H., Schlerf, dan Heitkonig, I.M.A. 2013.

Shrimp Pond Effluent Dominates Foliar Nitrogen in Disturbed Mangroveas Mapped Using Hyperspectral Imagery. Marine Pollution Bulletin 76 :42-51.

Feller, I.C., Whignam, D.F., McKee, K.L dan Loveblock, C.E. 2002. Nitrogen Limitation of Growth and Nutrient Dynamics in a Disturbed Mangrove Forest, Indian River Lagoon, Florida. Oecologia 134:405-414.

Fitter, A.H dan Hay, R. KK. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta.

Gonzales, N.S.S. 2012. Structure and Function of Wood in Mangroves. [Thesis].

The University of Queensland. Australia.

Gufran, M dan H.K. Kordi. 2012. Ekosistem Mangrove : Potensi, Fungsi dan Pengelolaan. Rineka Cipta. Jakarta.

Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta.

Haryanto, R. 2008. Rehabilitasi Hutan Mangrove : Pelestarian Ekosistem Pesisir Pantaidan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. KARSA 54 (2).

Herpinawati, D. Zulkifli dan Sarno. 2010. Tingkat Pertumbuhan dan Biomassa Rhizophora apiculata di Perairan Delta Upang Banyuasin Sumatera Selatan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya. Maspari Journal 01 59-62.

Hidayatullah, M. 2011. Pertumbuhan Mangrove Pada Tambak Silvofishery di Desa Bipolo Kecamatan Sulamu Kabupaten Kupang. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Nusa Tenggara Timur.

Indrianto. 2008. Pengantar Budidaya Hutan. PT Bumi Aksara. Jakarta.

Irwanto. 2006. Pengaruh Perbedaan Naungan terhadap Pertumbuhan Semai Shorea sp di Persemaian. [Tesis]. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Jumiati, E. 2008. Pertumbuhan Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata di Kawasan Berlatung. Jurnal Manajemen Hutan Tropika I 14(3):104-110.

Kitamura, S., C. Anwar., A. Chaniago dan S. Baba. 1997. Buku Panduan Mangrove di Indonesia. International Society for Mangrove Ecosystems.

Bali.

(49)

Kurniawan, H. 2013. Laju Pertumbuhan Propagul Rhizophora mucronata pada Berbagai Intensitas Naungan di Desa Concong dalam Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universiras Riau.

Kusmana, C.1997. Analisa Vegetasi Hutan Mangrove di Muara Angke Jakarta.

Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kusriningrum. 2010. Perancangan Percobaan. Universitas Airlangga Press.

Surabaya.

Mahendra, F. 2009. Sistem Agroforestri dan Aplikasinya. Graha Ilmu.Yogyakarta.

Mardiana, S. 2005. Perbedaan Kondisi Fisik Lingkungan terhadap Pertumbuhan Berbagai Tanaman Mangrove. Fakultas Pertanian Universitas Medan Area. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian 3(1).

Meilin, A. dan M. Sugihartono. 2009. Uji Preferensi Ulat Kantung (Pteroma sp) terhadap Beberapa Tanaman Mangrove. Jurnal Ilmiah Universitas Batang hari Jambi Edisi Khusus : 57-60.

Polunin.1990. Kualitas Lingkunga Mangrove di Perairan Pesisir Teluk Saleh Provinsi Nusa Tenggara Barat. Ilmu Lingkungan, Universitas Udayana.

Bali.

Pradipta, N. 2016. Studi Kandungan Nitrogen (N) dan Fosfor (P) pada Sedimen Mangrove di Wilayah Wonorejo Surabaya dan Pesisir Jenu Kabupaten Tuban. Universitas Airlangga Press. Surabaya.

Pratikto. 1997.Keterkaitan Struktur Vegetasi Mangrove dengan Keasaman dan BahanOrganikTotal Sedimen pada Kawasan Suaka Margasatwa Mampie di Kecamatan Wonomulyo Kabupaten Polewa Mandar. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Makassar.

Pratono, T., M. Razak dan I. Gunawan. 2009. Pestisida Organo klorine di Sedimen Pesisir Muara Citarum, Teluk Jakarta. Peran Penting Fraksi Halus Sedimen sebagai Pentransport DDT dan Proses Diagnesanya. E- Jurnal Ilmu Teknologi dan Kelautan Tropis 1 (2 ) : 11-21.

Purnobasuki, H. 2005. Tinjauan Perspektif Hutan Mangrove. Universitas Airlangga Press. Surabaya.

Setyawan, A.D., K. Winarno dan P.C. Purnama. 2005. Ekosistem mangrove di Jawa : Kondisi Terkini. Biodiversitas 4 (2) :133-145.

Supriharyono, M.S. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

(50)

Sutanto, R. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah : Konsep dan Kenyataan. Kansius.

Yogyakarta.

Syam, Z., Yunasfi, M. Dalimunthe. 2013. Pengaruh Hutan Mangrove terhadap Produksi Udang Windu (Penaeus monodon) pada Tambak Silvofishery di Desa Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Wantasen,A.S.2013. Kondisi Kualitas Perairan dan Substrat Dasar sebagai Faktor Pendukung Aktivitas Pertumbuhan Mangrove di Pantai Pesisir Desa Basaan I, Kabupaten Minahasa Tenggara. Jurnal Ilmiah Platax 1 (4).

Wibowo, K dan T. Handayani. 2006. Pelestarian Hutan Mangrove melalui Pendekatan Mina Hutan (Silvofishery). Jurnal Teknologi Lingkungan 7(3).

Referensi

Dokumen terkait

bakteri ini dapat menimbulkan kematian ikan yang tinggi pada ikan nila dalam.. berbagai ukuran, termasuk pada stadia benih.Penyakit yang disebabkan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan 2 bibit per rumpun dan sistem tanam jajar legowo dengan populasi 60 rumpun per petak berpengaruh secara nyata dalam

Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan bahwa perlakuan pemberian pupuk dan indeks hara tanah memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman (cm),