PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia Sebagai Negara kepulauan lebih dari 13.466 pulau dan memiliki 81.000 km garis pantai, tidak mengherankan jika sepertiga dari jumlah seluruh hutan mangrove dunia terletak di Indonesia. Dengan jumlah seluas itu, kawasan hutan mangrove Indonesia adalah bagian dari 18 - 24 persen hutan mangrove dunia. Habitat ini meluas hingga 4 juta hektar, namun keadaan hutan mangrove Indonesia sangat memprihatinkan karena 70% hutan mangrove Indonesia telah hancur. Menurut Food and AgriculturalOrganization (FAO) setiap tahunnya Indonesia kehilangan 60.000 hektar hutan bakaunya yang menjadi kesatuan dari hutan mangrove (Gunarto, 2004).
Teknik pengelolaan tambak empang parit dapat dijadikan sebagai alternative pengelolaan tambak di kawasan mangrove. Ekosistem mangrove berperan penting dalam mendukung usaha pertambakan, dengan vegetasi
vii
mangrove yang subur dapat mencegah erosi, menjaga area dari banjir, badai dan bencana alam lain sehingga tidak diperlukan biaya yang tinggi untuk membangun infrastruktur tambak. Selain itu, mangrove juga berfungsi sebagai sumber daya perikanan, yakni sebagai tempat pemijahan ikan-ikan sehingga jumlahnya dapat berkembang biak secara alami dan dalam jumlah yang mencukupi (Supriharyono, 2009).
Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 18-24 persen dari luas total mangrove dunia yang tersebar dari hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi hingga Pulau Papua barat
Mangrove adalah tumbuhan berkayu yang hidup di antara daratan dan lautan daerah pasang surut, kondisi tanah berlumpur dan salinitas tinggi di daerah tropis dan subtropis (Simanjuntak, 2008).
Kekayaan sumberdaya pesisir seperti sumberdaya perikanan laut dan hutan mangrove yang memiliki nilai ekonomis yang cukup baik mendorong berbagai pihak untuk berusaha melakukan pemanfaatan kawasan sumberdaya tersebut. Pemanfaatan sumberdaya tanpa memperhatikan lingkungan di sekitarnya menyebabkan kerusakan ekosistem wilayah pesisir. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan kerusakan kawasan hutan mangrove yang ada di Desa Percut dan Desa Tanjung Rejo lebih disebabkan karena faktor nilai ekonomi mangrove yang baik. Penebangan hutan mangrove, pembukaan lahan tambak, dan pengalihan fungsi hutan mangrove menjadi tanaman kelapa sawit merupakan faktor penyebab rusaknya kawasan hutan mangrove yang terdapat di Desa Percut, Tanjung Selamat, Tanjung Rejo (Simanjuntak, 2008).
Survey lapangan secara umum bahwa tambak yang ada di kawasan mangrove kabupaten Deli Serdang menggunakan sistem tambak intensif. Tambak yang dikelola masyrakat berada di sekitar daerah bagan dimana di daerah tersebut banyak di jumpai tumbuhan mangrove yang hidup di sana, masyarakat setempat menggunakan tumbuhan mangrove untuk dijadikan lahan silvofishery bagi tambang ikan maupun udang mereka, menurut warga sekitar dengan adanya mangrove di daerah pertambakan mereka sangat menguntungkan karena tambak yang mereka miliki mendapatkan bantuan dari mangrove tersebut, yakni dengan jatuhnya serasah-serasah pohon mangrove di kolam tambak yang dimakan langsung oleh ternak mereka.
Menyadari potensi dan permasalahan di bidang kelautan dan perikanan tersebut maka saat ini sudah mulai ada perubahan paradigma terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Paradigma pembangunan yang mengembangkan sumberdaya kelautan dan perikanan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi yang baru serta mendukung kesejahteraan pembangunan secara adil, dengan tetap mempertahankan terpeliharanya daya dukung dan kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan. Untuk itu kesadaran masyarakat dan peran serta masyarakat pesisir terhadap pelestarian sumberdaya kelautan pesisir sangat diperlukan, usaha pelestarian kawasan pesisir terutama ekosistem hutan mangrovenya.
Aspek keuntungan yang diperoleh dari sistem silvofishery dapat meningkatkan lapangan kerja (aspek sosial), dapat mengatasi masalah pangan dan energi (aspek ekonomi) serta menjaga kestabilan ekosistem mikro dan konservasi tanah (aspek ekologi). Pola ini dipandang sebagai pendekatan teknis terhadap
peningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus perbaikan lingkungan. Masyarakat di Desa Percut, Desa Tanjung Rejo, Desa Tajung Selamat kecamatan Percut Sei Tuan mulai mengembangkan sistem silvofishery dengan keterbatasan pemahaman yang dimiliki, menggunakan jenis Rhizophora mucronata. Masyarakat meyakini bahwa tambak silvofishery tersebut dapat memperbaiki kualitas ekosistem mikro tambak, sekaligus mampu meningkatkan produksi serta memperpanjang masa produksi tambak. Oleh karena itu perlu pengelolaan hutan mangrove berbasis silvofishery dengan mengakomodasi tambak dengan melibatkan masyarakat secara langsung yaitu Desa Percut, Desa Tanjung Rejo dan Desa Tanjung Selamat, Kecamtan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.
Partisipasi masyarakat khususnya petani tambak untuk memperbaiki kondisi mangrove dalam skala mikro dapat dilakukan melalui pengolaan tambak yang ramah lingkungan. Silvofishery dapat dijadikan sebagai alternatif pengelolaan tambak yang memadukan antara budidaya ikan dengan penanaman mangrove sehingga manfaat ekonomi dan konservasi dapat dicapai secara bersamaan. Melalui kegiatan silvofishery masyarakat masih dapat melakukan aktivitas budidaya dengan tetap memperhatikan aspek konservasi.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan model terbaik dari 5 model pengolahan yaitu, model empang parit tradisional, komplangan, kao-kao, empang terbuka, tasik rejo dalam pengelolaan lahan mangrove dengan tambak yang berbasis silvofishery di Desa Bagan Percut Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.
Manfaat Penelitian