7 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu adalah acuan penulis untuk membedakan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan. Penelitian terdahulu menjelaskan bahwa penelitian yang akan dilakukan belum pernah diteliti atau perlu pengembangan lebih lanjut.
Beberapa artikel ilmiah yang mengulas perihal multikulturalisme diantaranya adalah:
Pertama, M. Nadir (FITK IAIN Sunan Ampel) dengan judul Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Said Agil Husain Munawar. Kesimpulan yang dapat diambil dari jurnal penelitian tersebut ialah pendidikan multikultural ialah pendidikan yang mengajarkan tentang perbedaan dan keragaman budaya serta memberi kesempatan pendidikan yang sama pada setiap peserta didik, pendidikan multikultural tersebut dilaksanakan dengan pengenalan budaya-budaya lain dan mengapresiasi berbagai macam perbedaan etnik yang ada di Indonesia.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan ialah,penelitian terdahulu tersebut lebih berpusat pada penafsiran pendidikan multikultural yang disebutkan sebagai sesuatu yang relatif baru ditengah masyarakat Indonesia yang beraneka ragam latar belakangnya, sedangkan penelitian yang akan dilakukan lebih berpusat pada mengukur sejauh mana nilai-nilai multikulturalisme dapat ditanamkan pada buku ajar PAI tingkat SMA/SMK di Indonesia
Kedua, Edi Susanto (STAIN Pamekasan) dengan judul Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam Multikultural di Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional SMAN 1 Pamekasan. Kesimpulan dari jurnal penelitian yang telah dilakukan ialah pengajaran pendidikan agama Islam multikultural masih bersifat integral dengan materi pendidikan agama Islam yang lain, terdapat kendala dalam menerapkan pendidikan agama Islam multikultural yang mana pemahaman perihal pendidikan multikultural masih belum satu visi, hal ini disebabkan oleh fatwa otoritas setempat mengharamkan paham pluralisme yang dapat dikatakan sebagai salah satu cabang dari pendidikan multikulural itu sendiri.
8
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan ialah penelitian terdahulu tersebut lebih berpusat pada mengukur sejauh mana pendidikan agama Islam multikultural dapat diterapkan di rintisan sekolah bertaraf internasional SMAN 1 Pamekasan dan metode penelitian yang dipakai ialah metode penelitian studi lapangan, sedangkan penelitian yang akan dilakukan lebih berpusat pada mengukur sejauh mana nilai-nilai multikulturalisme dapat ditanamkan pada buku ajar PAI tingkat SMA/SMK di Indonesia dan metode penelitian yang dipakai pada penelitian yang akan dilakukan ialah studi pustaka.
Ketiga, Fatimah Ahmad (UIN Sumatera Utara, Medan) dengan judul Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Islam Multikultural di SMKN 1 Tanjung Pura. Kesimpulan dari jurnal penelitian tersebut ialah bentuk dari nilai pendidikan Islam multikultural ialah sikap toleransi,persamaan,kesatuan dan keadilan, kemudian metode yang digunakan dalam pelaksanaan pendidikan Islam multikultural dilakukan melalui dua metode yaitu metode keteladanan dan metode pembiasaan, sehingga dapat dilihat dampak dari penerapan tersebut berimbas pada tumbuhnya sikap saling toleran dan menghormati sesama peserta didik.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan ialah penelitian terdahulu tersebut lebih berpusat kepada mengukur sejauh mana pendidikan Islam multikultural dapat diterapkan pada SMKN 1 Tanjung Pura dan metode penelitian yang digunakan ialah studi kasus, sedangkan penelitian yang akan dilakukan lebih berpusat pada mengukur sejauh mana nilai-nilai multikulturalisme telah ditanamkan pada buku ajar PAI tingkat SMA/SMK.
Keempat, Muhaemin Latif (UIN Alauddin Makassar) dengan judul Multicultural Education in Boarding School (a Descriptive Study of Pesantren DDI Mangkoso, South Sulawesi). Kesimpulan dari jurnal penelitian tersebut ialah bahwasannya pesantren memiliki sudut pandang tersendiri dalam memahami apa itu nilai multikultural, selain itu, nilai multikultural memiliki nilai yang universal seperti persamaan, persatuan, menghargai perbedaan dan penerapan keadilan di saat melaksanakan pembelajaran dan perspektif pesantren perihal pendidikan multikultural berbeda dengan perspektif barat perihal pendidikan multikultural.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan ialah penelitian terdahulu tersebut lebih berpusat kepada penjelasan perihal penerapan pendidikan multikultural di pondok pesantren DDI Mangkoso dengan menggunakan studi kasus, sedangkan
9
penelitian yang akan dilakukan lebih berpusat kepada mengukur sejauh mana nilai- nilai multikulturalisme ditanamkan pada buku ajar PAI tingkat SMA/SMK.
Kelima, Lasijan (Universitas Megou Pak Tulang Bawang) dengan judul Multikulturalisme dalam Pendidikan Islam. Kesimpulan dari jurnal penelitian tersebut ialah multikulturalisme merupakan suatu pemahaman akan penerimaan kemajemukan di masyarakat sehingga terhindar dari konflik, sedangkan multikulturalisme di pendidikan agama Islam yang diajarkan di sekolah ditujukan agar siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk tidak menyudutkan atau mendiskreditkan agama lain yang tidak sama dengan agama guru keagamaan itu sendiri.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan ialah penelitian terdahulu tersebut lebih berpusat kepada pencarian akan pentingnya penanaman nilai multikulturalisme di pendidikan agama Islam agar terhindar dari konflik horizontal yang ada pada masyarakat, sedangkan penelitian yang akan dilakukan lebih berpusat kepada pencarian akan sejauh mana nilai multikulturalisme telah ditanamakan pada buku PAI tingkat SMA/SMK.
Keenam, Rina Hanipah Muslimah (UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta) dengan judul Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural dalam Teks Mata Pelajaran PAI SMA Kelas X. Kesimpulan dari skripsi penelitian tersebut ialah teks mata pelajaran pendidikan agama Islam karangan syamsyuri terbitan erlangga itu mengandung pendidikan multikultural yang signifikan dalam materinya, hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian misalnya: bab 1, bab 6, bab 7, bab 10, bab 11, dan bab 12. Kemudian didukung dengan bab 4 dan bab 9 yang materinya menyinggung materi pendidikan multikultural.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan ialah penelitian terdahulu tersebut membahas tentang nilai-nilai pendidikan multikultural yang ada pada teks mata pelajaran PAI SMA kelas X, sedangkan penelitian yang akan dilakukan ialah mengetahui nilai multikulturalisme yang ada pada buku ajar PAI tingkat SMA/SMK untuk semua kelas, selain itu penelitian yang akan dilakukan juga memahami nilai- nilai multikulturalisme disajikan pada buku ajar PAI tingkat SMA/SMK untuk semua kelas.
Ketujuh, Agus Sulistiyo Hadi (UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta) dengan judul Nilai-Nilai Pendidikan Anti Terorisme dalam Buku Teks Pelajaran PAI dan PAK pada tingkat SMA. Kesimpulan dari skripsi penelitian tersebut ialah buku teks pelajaran PAI dan PAK terbitan erlangga dan andi secara umum tidak menjelaskan
10
bab dan sub bab khusus anti terorisme, namun secara implisit diantara beberapa bab dalam materi dapat dikaitkan dengan prinsip keamanan umum dan hak asasi yang berkaitan dengan terorisme.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan lebih tertuju pada nilai multikulturalisme yang ada pada buku ajar PAI tingkat SMA/SMK, tidak tertuju pada satu bahasan khusus dari cabang dari nilai-nilai multikulturalisme itu sendiri.
Kedelapan, Syamsul Arifin (UMM) dengan judul Islamic Religious Education and Radicalism in Indonesia: Strategy of de-Radicalization Through Strengthening the Living Values Education. Kesimpulan dari jurnal penelitian tersebut ialah dengan menggunakan LVE (Living Value Education) pendidikan Islam diharapkan mampu menciptakan masyarakat yang dapat bekerja sama, menghargai satu sama lain dan menjunjung tinggi toleransi.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan lebih tertuju pada nilai multikulturalisme yang ada pada buku ajar PAI tingkat SMA/SMK, tidak tertuju pada pengajuan teori yang mampu memecahkan masalah radikalisme yang ada di Indonesia.
Kesembilan, Irham (Universitas Islam 45, Bekasi) dengan judul Islamic Education at Multicultural Schools. Kesimpulan dari jurnal penelitian tersebut ialah pendidikan Islam mempunyai peranan penting dalam memotivasi siswa untuk saling menghargai sesama dan perbedaan yang ada pada lingkungan sekitar mereka.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan lebih tertuju pada nilai multikulturalisme yang ada pada buku ajar PAI tingkat SMA/SMK, tidak tertuju pada pada studi lapang peran pendidikan Islam pada sekolah yang multikultural.
Kesepuluh, Raihani (UIN Suska Riau) dengan judul Islamic Education and the Multicultural Society: Description of Education for Cultural Diversity in Two Islamic Schools in Indonesia. Kesimpulan dari jurnal penelitian tersebut ialah MA al-Huda Yogyakarta dan MAN al-Uswah Palangkaraya yang menjadi tempat penelitian tersebut berhasil mencetak peserta didik yang menghargai perbedaan pendapat yang ada pada masyarakat, walaupun, peran pemerintah masih diperlukan dalam mengawal pendidikan yang mampu menghargai perbedaan budaya.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan lebih tertuju pada nilai multikulturalisme yang ada pada buku ajar PAI tingkat SMA/SMK, tidak tertuju pada studi lapang penerapan nilai multikulturalisme di sekolah.
11 B. Landasan Teori
a. Nilai
Nilai secara etimologi merupakan pandangan kata value. Dalam kehidupan sehari-hari, nilai merupakan sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Dalam pembahasan ini nilai merupakan kualitas yang berbasis moral. Dalam filsafat, istilah ini digunakan untuk menunjukkan kata benda abstrak yang artinya keberhargaan yang setara dengan kebaikan.9
Menurut Kartono Kartini dan Dali Guno, nilai sebagai hal yang dianggap penting dan baik. Semacam keyakinan seseorang terhadap yang seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan (misalnya jujur, ikhlas) atau cita-cita yang ingin dicapai oleh seseorang (misalnya kebahagiaan, kebebasan).10
Pendapat lain mendefinisikan nilai sebagai “suatu pola normatif yang menentukan tingkah laku yang diinginkan bagi suatu sistem yang berkaitan dengan lingkungan sekitar dan tidak membedakan fungsi-fungsi tersebut atau bagian-bagiannya. Adapun menurut Rohmat Mulyana, nilai adalah “rujukan terhadap keyakinan dalam menentukan suatu pilihan”.11
Menurut Scheler,12 nilai adalah sesuatu yang dituju oleh perasaan yang mewujudkan “apriori emosi”. Nilai bukan ide atau gagasan, melainkan sesuatu yang konkrit dan hanya dapat dialami dengan jiwa yang tergetar dengan emosi.
Mengalami nilai tidak sama dengan mengalami umum, misalnya dalam hal-hal mendengar, melihat, membau dan lain-lainnya. Akal tidak dapat melihat nilai, sebab nilai tampil jika ada rasa yang diarahkan kepada sesuatu. Nilai adalah hal yang dituju perasaan, apriori perasaan. Disini jelas, bahwa pendapat Scheler tentang nilai berbeda dengan pendapat Kant. Menurut Kant, “nilai adalah suatu apriori formal, akan tetapi menurut Scheler, nilai adalah apriori material”.13
Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat dipahami bahwa pengertian nilai sangatlah kompleks. Nilai membantu seseorang untuk mengidentifikasikan apakah perilaku tersebut baik atau tidak, boleh atau tidak
9 Qiqi Yuliati Akiyah, Rusdiana,Pendidikan Nilai (Kajian Teori dan Praktik di Sekolah), (Bandung:Pustaka Setia,2014), 14
10 ibid.
11 Ade Imelda Frimayanti, “Implementasi Pendidikan Nilai Dalam Pendidikan Agama Islam,”
Al Tadzkiyyah, Vol.8 No.2, (2017), 230.
12 Parmono, “Konsep Nilai Menurut Max Scheler,” Jurnal Filsafat, (November, 1993),48.
13 ibid.
12
boleh, benar atau salah, sehingga dapat menjadi pedoman dalam bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat atau sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial.14
b. Multikulturalisme
Berasal dari kata multi (plural) dan kultural (tentang budaya), multikulturalisme mengisyaratkan pengakuan terhadap realitas keragaman kultural, yang berarti mencakup baik keberagaman tradisional seperti keberagaman suku, ras, ataupun agama, maupun keberagaman bentuk-bentuk kehidupan (subkultur) yang terus bermunculan di setiap tahap sejarah kehidupan masyarakat.15
Terdapat dua bentuk multikulturalisme,16 yaitu multikulturalisme deskriptif dan multikulturalisme normatif, bentuk dari multikulturalisme deskriptif terdapat lima model yaitu :
1. Multikulturalisme isolasionis, yaitu masyarakat yang berbagai kelompok kulturalnya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi minimal satu sama lain.
2. Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan secara sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kaum minoritas untuk mengembangkan dan mempertahankan kebudayaan mereka, multikulturalisme model ini telah diterapkan di beberapa negara Eropa.
3. Multikulturalisme otonomis, yaitu masyarakat plural yang kelompok- kelompok kultural utamanya berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menentang kelompok dominan dan
14 Ade Imelda Frimayanti, “Implementasi Pendidikan Nilai Dalam Pendidikan Agama Islam,”
Al Tadzkiyyah, Vol.8 No.2 (2017), 230.
15 Ana Irhandayaningsih, “Kajian Filosofis Terhadap Multikulturalisme Indonesia,”
Humanika, Vol. 15 No.9 (Januari, 2012), 1.
16 “ibid.” 2
13
berusaha menciptakan suatu masyarakat yang semua kelompoknya bisa eksis sebagai mitra sejajar.
4. Multikulturalisme kritikal atau interaktif, merupakan masyarakat plural yang tidak berfokus pada kehidupan kultural otonom, namun mereka cenderung membentuk pengaturan yang mencerminkan dan menegaskan perspektif yang khas.
5. Multikulturalisme kosmopolitan, merupakan masyarakat plural yang menghapus batas-batas kultural sehingga tidak lagi terikat pada budaya tertentu, sebaliknya mereka terlibat dalam percobaan interkultural dan mengembangkan kehidupan kultural.
Sedangkan untuk multikulturalisme normatif, merupakan dukungan yang positif seperti perayaan atas keragaman komunal. Secara tipikal hal tersebut didasarkan pada hak dari kelompok yang berbeda untuk dihargai dan diakui atau dari keuntungan-keuntungan yang bisa diperoleh melalui aturan di masyarakat.
Keterlibatan antara kebijakan sadar, terarah, dan terencana dari pemerintah dan masyarakat mampu mewujudkan multikulturalisme normatif
Istilah Multikulturalisme marak digunakan pada tahun 1950 di Kanada. Istilah ini diderivasi dari kata multicultural yang dipopulerkan surat kabar di Kanada, yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat multikultural dan multilingual. Multikulturalisme memiliki dua ciri utama, yang pertama, kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recognition), dan yang kedua, otoritas pluralisme budaya. Parsudi Suparlan berpendapat bahwa, “Konsep multikulturalisme tidak samadengan konsep keanekaragaman secara suku-bangsayang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme merujuk pada keberagaman budaya dalam kesederajatan. Pembahasan tentang multikulturalisme mencakup permasalahan yang mendukung ideologi politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komunitas dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika, moral, dan tingkat, serta mutu produktivitas”. Multikulturalisme lahir dari benih-benih konsep yang sama dengan demokrasi, supremasi hukum, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip etika dan moral egaliter sosial politik.17
17 “ibid.” 4-5
14
Multikulturalisme diawali dengan ide melting pot yang diwacanakan oleh J Hector, imigran dari Normandia. Hector menekankan penyatuan budaya dan meleburkan budaya asli, sehingga seluruh imigran Amerika hanya memiliki budaya Amerika, meskipun monokultur nya cenderung diakui oleh culture imigran kulit putih dari Eropa, yang selanjutnya disebut White Anglo Saxon Protestant (WASP).18
Komposisi etnik Amerika yang beragam dan budaya yang majemuk, maka teori melting pot dikritik sehingga terdapat teori baru yaitu salad bowl, merupakan teori alternatif yang dipopulerkan oleh Horace Kallen. Teori salad bowl atau teori gado-gado menekankan pada berbagai kultur di luar White Anglo Saxon Protestant (WASP) memberikan kontribusi untuk membangun budaya Amerika, sebagai budaya nasional.19
Interaksi kultural berbagai etnik membutuhkan gerak yang luas, sehingga dikembangkan teori Cultural Pluralism, yang memiliki dua macam pergerakkan budaya, yaitu ruang publik yang ditujukan untuk seluruh etnik dengan memanifestasikan budaya politik dan menunjukkan partisipasi sosial politik.
Kelompok masyarakat pada tatanan tersebut kulturnya cenderung homogen, mereka mengekspresikan budaya etnisitasnya secara luas namun memiliki ruang yang terbatas.20
Masyarakat Indonesia menerima secara positif istilah multikulturalisme, fakta ini mempunyai relevansinya dengan latar belakang masyarakat Indonesia yang majemuk, seperti halnya jumlah 13.667 pulau, 358 suku bangsa, 200 sub suku bangsa, memeluk beragam agama dan kepercayaan lokal. Walaupun, pemerintah hanya menetapkan 5 agama resmi. Selain keragaman agama dan keyakinan lokal, terdapat nilai keragaman lain yang berbentuk tradisi dan budaya, seperti halnya budaya Nusantara asli, Hindu, Islam, Kristen dan budaya barat.21
Pengakuan akan pluralnya aneka ragam budaya tercermin pada Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-beda tapi tetap satu). Semboyan itu menjadi cerminan yang
18 Muhandis Azzuhri, “Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam Pendidikan Agama (Upaya Menguniversalisasikan Pendidikan Agama dalam Ranah Keindonesiaan),” Forum Tarbiyah, Vol.10 Vol.1 (Juni, 2012), 15.
19 ibid.
20 “ibid.” 16
21 Hendri Masduki, “Pluralisme dan Multikulturalisme Dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama (Telaah dan Urgensinya Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara,” Dimensi, Vol.9 No.1 (Juni, 2016), 20.
15
kuat untuk menerima majemuknya aneka ragam budaya berdasarkan persatuan bangsa. Perbedaaan budaya tersebut diakui sebagai realitas kehidupan berbangsa dan bernegara.22
Kebutuhan akan penerimaan dan pengakuan keragaman budaya menjadi sebab munculnya ideologi multikulturalisme. Keberagaman budaya telah menjadi realita kehidupan berbangsa dalam sehari-hari. Sebagai ideologi, multikulturalisme menjadi alat atau sarana operasional masyarakat untuk memandu kehidupan mereka sendiri. Selanjutnya ideologi multikulturalisme menjadi legitimasi keabsahan masyarakat dalam mengakui keberagaman dan prinsip kesetaraan.
Multikulturalisme terdapat di berbagai interaksi kehidupan sosial, ekonomi, bisnis, dan politik, serta kegiatan lain yang ada pada masyarakat.23 Interaksi tersebut mengakibatkan perbedaan pemahaman tentang multikulturalisme seperti perbedaan sikap dan perilaku dalam menghadapi multikultural masyarakat.
Ideologi multikulturalisme layak untuk diperjuangkan, karena sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, hak asasi manusia dan kesejahteraan hidup masyarakat.24 c. Pluralisme
Pluralisme adalah teori yang menyatakan bahwa, realitas meliputi majemuknya suatu substansi. Menurut bahasa, pluralism adalah “a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict of assimilation” – “suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi”.25
Anis Malik Toha menyebutkan 3 pengertian pluralisme dalam bahasa Inggris, yaitu, yang pertama: 1) pengertian struktur gereja, dalam artian, penyebutan untuk orang yang mempunyai lebih dari satu jabatan gereja, 2) orang yang mempunyai 2 jabatan atau lebih dalam hal kegerejaan ataupun non kegerejaan. Yang kedua, pengertian secara filosofis, yaitu pengakuan dari sistem pemikiran tentang adanya landasan pemikiran yang bertolak dari lebih dari satu, yang ketiga, sosio-politis,
22 Ana Irhandayaningsih, “Kajian Filosofis Terhadap Multikulturalisme Indonesia,”
Humanika, Vol. 15 No.9 (Januari, 2012), 5.
23 Parsudi Suparlan, “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural,” Antropologi Indonesia (Juli, 2002), 100.
24 Rustam Ibrahim, “Pendidikan Multikultural:Pengertian, Prinisip, dan Relevansinya,”
ADDIN, Vol.7 No.1 (Februari, 2013), 135.
25 Achmad Rois, “Pendidikan Islam Multikultural:Telaah Pemikiran Muhammad Amin Abdullah,”Episteme, Vol.8 No.2 (Desember, 2013), 307.
16
sistem pemikiran yang mengakui hak hidup berdampingan antara kelompok yang berbeda-beda menurut ras, suku, agama, hingga partai politik.26
Inti dari pluralisme tidak hanya berkisar pada pengakuan atas keragaman sosial-budaya suatu bangsa. Pluralisme mempunyai imbas politik, sosial, dan ekonomi. Dalam tataran praksis, pluralisme dapat dikaitkan dengan prinsip-prinsip demokrasi, hal ini memberi persepsi umum bahwa pluralisme berkaitan dengan hak hidup seluruh golongan yang ada di masyarakat.27
Pluralisme secara singkat didefinisikan sebagai keadaan masyarakat yang majemuk (berkenaan dengan sistem sosial dan politiknya). Dengan demikian, pluralisme dapat diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama, dan budaya. Bukan hanya menoleransi adanya keragaman tersebut, tetapi bahkan “mengakui” kebenaran masing-masing pemahaman, setidaknya menurut logika para pengikutnya. Latar belakang munculnya gerakan pluralisme akibat reaksi dari tumbuhnya klaim kebenaran oleh masing-masing kelompok terhadap pemikirannya sendiri.
Ide pluralisme itu sendiri jika dilihat dari sudut pandang Islam,28 pada surat Al-Maidah ayat 48, “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah SWT menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak mengujii kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan.
Hanya kepada Allah-lah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan.” Dalam ranah teologis, ideologis dan sosiologis, Islam memandang positif pluralisme, berdasarkan pada dalil diatas.
Konsep Islam perihal pluralisme dapat dilihat melalui fungsi manusia sebagai khalifatul fil ard (khalifah di muka bumi), konsep tersebut juga meliputi dimensi teologi, agama, dan sosial, yang mana hal itu memiliki kompleksitas dan konsekuensi yang harus diterima.
d. Pendidikan Agama Islam
26 Fitriyani, “Pluralisme Agama-Budaya Dalam Perspektif Islam,” Jurnal Al-Ulum, Vol.11 No.2 (Desember, 2011), 327.
27 Hendri Masduki, “Pluralisme dan Multikulturalisme Dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama (Telaah dan Urgensinya Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara,” Dimensi, Vol.9 No.1 (Juni, 2016), 16
28 “ibid.” 17
17
Definisi pendidikan menurut Amin Abdullah ialah alat yang efektif untuk meneruskan, melanggengkan, mengawetkan dan mengonversi tradisi, dari satu generasi ke generasi selanjutnya, dari abad yang telah lalu ke abad berikutnya.29 Pendidikan agama Islam ialah upaya mendidikkan agama Islam dan nilai-nilainya agar menjadi pandangan dan sikap hidup seseorang. Aktivitas mendidikkan agama Islam itu bertujuan untuk membantu seseorang atau sekelompok anak didik dalam menanamkan dan menumbuh kembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidupnya.30
Pendidikan agama Islam bersumber dari pendidikan Islam, sehingga format dalam bentuk studi teoritis, diterapkan melalui proses pendidikan Islam. Perlunya kesinambungan dan keselarasan antara studi teori dan aplikasi pada pendidikan agama islam dan pendidikan islam. Epistemologi pendidikan Islam memiliki hubungan dengan pendidikan agama Islam, keduanya mengarah pada pembinaan dan optimalisasi potensi, menanamkan nilai-nilai Islam, perasaan, pemikiran, dan keseimbangan.31
Maka dari itu, penerapan dari aqidah, ibadah, akhlak,potensi, fungsi manusia, serta studi moral adalah sebuah pengetahuan, sikap dan nilai yang cerdas.
Kecerdasan tindakan pada kehidupan sehari-hari, diupayakan oleh para pendidik dan tenaga kependidikan untuk mencetak peserta didik yang sesuai dengan tuntutan Islam.
Tujuan dari pendidikan agama Islam adalah untuk menjadikan manusia memenuhi tugas kekhalifahannya sebagaimana tujuan diciptakannya manusia.
Sebagaimana yang dikemukakan Munzir Hitami menyatakan tujuan pendidikan agama Islam haruslah mencakup tiga hal, yaitu, tujuan bersifat teologi, yakni kembali kepada Tuhan, tujuan aspiratif yaitu kebahagiaan dunia sampai akhirat, dan tujuan direktif yaitu menjadi makhluk pengabdi Tuhan.32
Penjabaran dari ketiga hal tersebut ialah menjadikan peserta didik agar mampu menggunakan ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk selalu kembali kepada Tuhan, dan menjadi manusia yang mampu memanfaatkan ilmu pengetahuan dan
29 Achmad Rois, “Pendidikan Islam Multikultural:Telaah Pemikiran Muhammad Amin Abdullah,” Episteme, Vol.8 No.2 (Desember, 2013), 15.
30 Mahmudi, “Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Islam Tinjauan Epistemologi, Isi, dan Materi,” Ta’dibuna, Vol.2 No.1 (Mei, 2019), 92.
31 “ibid.”103
32 Ade Imelda Frimayanti, “Implementasi Pendidikan Nilai Dalam Pendidikan Agama Islam,“
Al-Tadzkiyyah, Vol.8 No.2 (2017), 14
18
keterampilannya untuk mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat, dan dengan keluasan ilmu pengetahuannya tersebut dapat menjadikannya sebagai manusia yang taat dan shalih, sehingga apabila kesemuanya dimiliki peserta didik, titik akhirnya adalah mewujudkan peserta didik menjadi insan kamil.
Selain pendapat Munzir Hitami, terdapat juga tujuan PAI secara nasional sebagaimana yang terlampir di Permendiknas, Nomor 22 Tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006 tentang tujuan pendidikan nasional pada jenjang pendidikan dasar atau menengah. Tujuan tersebut ialah mewujudkan individu yang rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, memiliki adab, mempunyai sikap disiplin, toleransi, menjaga keselarasan personal dan sosial, serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.
Kaidah tujuan pendidikan nasional tersebut, walaupun secara eksplisit tidak terdapat kata-kata Islam, namun, intisarinya memuat nilai-nilai yang telah disepakati dalam kehidupan nasional. Rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut memperlihatkan tentang kuatnya pengaruh ajaran Islam ke dalam pola pikir masyarakat Indonesia.33
Pendidikan agama Islam memiliki tujuh karakteristik yang menonjol, yaitu 1. Berusaha menjaga akidah peserta didik agar tetap kokoh dalam situasi dan
kondisi apapun.
2. Menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai yang tertuang dan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah serta otensitas keduanya sebagai sumber ajaran agama Islam.
3. Mengunggulkan iman, ilmu dan amal dalam kehidupan sehari-hari.
4. Membentuk dan mengembangkan kesalehan individu dan sekaligus kesalehan sosial.
5. Menjadi landasan moral dan etika dalam pengembangan iptek, budaya dan aspek-aspek kehidupan lainnya.
6. Mengandung entitas-entitas yang bersifat rasional dan supra rasional.
7. Berusaha menggali, mengembangkan, dan mengambil ibrah dari sejarah dan kebudayaan Islam.34
33 Muhammad Munif, “Pengembangan Pendidikan Agama Islam Sebagai Budaya Sekolah,”
Pedagogik, Vol.3 No.2 (Juni, 2012), 50
34 Mahmudi, “Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Islam Tinjauan Epistomologi, Isi, dan Materi,” Ta’dibuna:Jurnal Pendidikan Agama islam, Vol.2 No.1 (Mei, 2019), 93
19
Pendidikan agama Islam dalam kurikulum pendidikan umum tingkat dasar hingga perguruan tinggi, merupakan bagian dari nilai-nilai moral dan spiritual.
Pendidikan Islam mempunyai hal yang penting untuk mengembangkan karakter dalam memahami ajaran agama serta mempunyai kesadaran iman sebagai bentuk pengamalan ajaran agama melalui sikap dan perilaku sehari-hari. Syed Muhammad Naquib Al-Attas menyebutkan bahwa, hasil dari pendidikan Islam adalah membentuk individu yang beradab dalam kehidupan spiritual dan material.35
Dapat disimpulkan bahwasanya pendidikan agama Islam ialah sistem kependidikan yang meliputi seluruh ranah kehidupan, utamanya yang dibutuhkan oleh manusia, sistem ini dipahami dan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai fundamental ajaran Islam, yaitu al-qur’an dan hadits, selanjutnya diwujudkan dalam pemikiran dan teori tentang pendidikan.
e. Buku Ajar
Buku ajar atau buku teks adalah buku yang berisi uraian bahan tentang mata pelajaran atau bidang studi tertentu, yang disusun secara sistematis dan telah diseleksi berdasarkan tujuan tertentu, orientasi pembelajaran, dan perkembangan siswa, untuk diasimilasikan. Buku teks pelajaran merupakan buku yang kehadirannya sangat diperlukan oleh siswa dalam mendukung proses belajar siswa di kelas dan sebagai bahan untuk belajar mandiri di luar kelas.36
Terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan buku ajar, yaitu 1. Buku Bacaan
Buku bacaan adalah buku yang ditujukan untuk mendorong minat siswa dalam hal membaca, dasar pengembangan buku bacaan peserta didik bukanlah kurikulum dan tidak dikembangkan untuk keperluan pembelajaran.
2. Buku Sumber
Buku sumber adalah buku yang dijadikan rujukan guru maupun peserta didik, seperti kamus, ensiklopedia, dan atlas.
35 Suyatno,“Multikulturalisme Dalam Sistem Pendidikan Agama Islam:Problematika Pendidikan Agama Islam di Sekolah,” ADDIN, Vol.7 No.1 (Februari, 2013), 83
36 Gustini Rahmawati, “Buku Teks Pelajaran Sebagai Sumber Belajar Siswa di Perpustakaan Sekolah di SMAN 3 Bandung,” EduLib, Vol.5 No.1 (Mei, 2015), 106-107
20 3. Buku pegangan
Bertujuan untuk memberikan panduan untuk guru dalam belajar mengajar, yang disusun berdasarkan kurikulum, buku ajar dan keperluan pembelajaran.
Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan, buku ajar ialah pedoman media pembelajaran untuk peserta didik,37 yang berpengaruh terhadap prestasi belajar peserta didik. World Bank pada tahun 1989 menunjukkan bahwasannya Indonesia memiliki korelasi antara tingkat kepemilikan buku siswa dan fasilitas lainnya dengan prestasi belajar.38
Buku teks pelajaran atau buku ajar memberikan fasilitas untuk pembelajar mandiri dari aspek substansi ataupun caranya. Maka dari itu, penggunaan buku ajar oleh siswa merupakan bagian dari indikator masyarakat yang maju. Pada proses pembelajaran, siswa dituntut untuk membentuk pengalaman, berlatih, mencari informasi, mencari cara untuk mendapatkan informasi tersebut, dan disajikan dalam buku ajar secara terprogram.39
37 Anwar Efendi,“Beberapa Catatan Tentang Buku Teks Pelajaran di Sekolah,” INSANIA, Vol.14 No.2 (Agustus, 2009), 2-3
38 “ibid.”1
39 “ibid.”8