• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai jaminan dalam proyek pengadaan barang/jasa. Isu ini muncul karena

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sebagai jaminan dalam proyek pengadaan barang/jasa. Isu ini muncul karena"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian ini hendak mengangkat isu hukum mengenai Surety Bond sebagai jaminan dalam proyek pengadaan barang/jasa. Isu ini muncul karena belum adanya peraturan yang secara khusus mengatur mengenai Surety Bond di Indonesia sehingga belum adanya kejelasan mengenai Surety Bond di masyarakat.

Dalam rangka melaksanakan fungsi pemerintah sebagai penyedia barang dan jasa untuk publik, maka pemerintah melalui departemen- departemen yang ada menjalankan fungsi tersebut dengan melakukan proyek pengadaan barang atau jasa. Ketentuan yang mengatur tentang pengadaan barang atau jasa yang dilaksanakan oleh pemerintah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

Pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh pemerintah yang sebagian atau seluruhnya dibiayai APBN/APBD dilakukan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel1. Pada umumnya proyek yang dilakukan oleh pemerintah merupakan proyek yang besar dan membutuhkan modal yang besar pula. Proyek-proyek tersebut juga memiliki skala kompleksitas yang besar. Hal ini lah yang membuat

1 Perpres No 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

(2)

2

pemerintah sebagai pemilik proyek (obligee) merasa khawatir apakah kontraktor (Principal) mampu mengerjakan pekerjaannya dengan baik.

Untuk mengatasi hal ini maka di dalam Peraturan Presiden No 12 tahun 2021 mengharuskan adanya jaminan yang diberikan Principal kepada Obligee.

Istilah jaminan mempunyai arti sebagai kepercayaan/keyakinan dari kreditur atas kemampuan atau kesanggupan debitur untuk melaksanakan kewajibannya. Pengertian jaminan juga terdapat dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 februari 1991, yaitu diartikan sebagai suatu keyakinan kreditur bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.2 Di Indonesia dikenal lembaga jaminan yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu:

1. Jaminan kebendaan dengan bentuk yaitu:

a) Gadai diatur dalam KUH Perdata Buku II Bab XX Pasal 1150-1161, yaitu suatu hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan oleh debitur untuk mengambil pelunasan dan barang tersebut dengan mendahulukan kreditur dari kreditur lain.

b) Hipotek, diatur dalam Pasal 1664 KUH Perdata. Jaminan Hipotik menurut Vollmar adalah “sebuah hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak tidak bermaksud untuk memberikan orang yang berhak (pemegang hipotek) sesuatu nikmat dari suatu benda, tetapi ia bermaksud memberikan

2Surat Keputusan Bank Indonesia Tentang Pemberian Garansi Oleh Bank, SK BI No.

23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991.

(3)

3

jaminan belaka, bagi pelunasan sebuah hutang dengan di lebih dahulukan.”

c) Fidusia, UU No. 42/1999 Tentang Jaminan Fidusia, yaitu hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan utama terhadap kreditur lain.

2. Jaminan perorangan dan garansi, diatur dalam Buku III KUH Perdata, dalam bentuk:

a) Penanggungan hutang (Borgtocht) Pasal 1820 KUH Perdata, yaitu suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berhutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berhutang mana hak orang tersebut tidak memenuhinya3.

b) Perjanjian Garansi/indemnity (Suretyship) Pasal 1316 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut Perjanjian Indemnity), yang berbunyi meskipun demikian adalah diperbolehkan untuk menanggung atau menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi terhadap siapa yang telah menanggung pihak ketiga itu atau yang telah berjanji, untuk

3 Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(4)

4

menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu jika pihak ini menolak memenuhi perikatannya4

Dalam pelaksanaan proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah mensyaratkan jaminan yang dikeluarkan oleh bank dalam bentuk Bank Garansi. Bank Garansi adalah Suatu warkat yang diterbitkan oleh Bank yang berisi penjaminan dimana pihak Bank berjanji akan membayar sejumlah uang tertentu dengan syarat atau kondisi tertentu kepada Penerima Jaminan apabila Pihak Terjamin tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada Penerima Jaminan berdasarkan kontrak/perjanjian yang telah diperbuat antara Pihak Terjamin dengan Penerima Jaminan.5 Syarat atau kondisi tertentu yang dimaksudkan yaitu kegagalan atau wanprestasi dari Pihak Terjamin kepada Penerima Jaminan berdasarkan kontrak atau perjanjian yang menjadi dasar dari diterbitkannya Bank Garansi dimaksud serta telah dipenuhinya syarat- syarat klaim yang ditetapkan dalam Bank Garansi. Garansi yang dapat diterbitkan oleh Bank bentuknya dapat berupa Garansi Bank atau Standby Letter of Credit (Standby L/C).

Dasar hukum yang menjadi landasan dalam pelaksanaan Bank Garansi adalah Buku ketiga KUH Perdata dari pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 yakni mengenai penjaminan. Peraturan lain yang juga menjadi dasar hukum adalah Keputusan Direksi Bank Indonesia No.23/88/KEP/DIR tanggal 18 Maret 1991 yang diedarkan melalui Surat Edaran No.23/7/UKU tanggal 18 Maret 1991 tentang Pemberian Bank Garansi Oleh Bank. Dalam

4 Pasal 1316 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

5Surat Edaran Bank Indonesia Tentang Pemberian Garansi Oleh Bank, SE BI No.

23/7/UKU Tanggal 18 Maret 1991.

(5)

5

pasal 4 Surat Edaran Bank Indonesia No.23/7/UKU disebutkan bahwa dalam penerbitan Bank Garansi pihak penerbit Bank Garansi (Bank) memuat ketentuan sebagai berikut yaitu transaksi antara pihak yang dijamin dengan penerima jaminan disesuaikan dengan jenis garansi bank. Ini berarti Garansi Bank adalah perjanjian yang didasarkan atau didahului oleh perjanjian sebelumnya. Dengan demikian, Bank Garansi putus secara hukum jika perjanjian awal berakhir.6

Selain Bank Garansi, penjaminan dalam pelaksanaan proyek dikenal juga Surety Bond yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi. Surety Bond atau Jaminan adalah bukti tertulis yang diterbitkan Penjamin/ Surety untuk menjamin Terjamin/ Principal akan melaksanakan kewajiban atas suatu prestasi atau kepentingan kepada Penerima Jaminan/ Obligee sesuai kontrak antara Terjamin/ Principal dan Penerima Jaminan/ Obligee. Dalam hal terjadi wanprestasi maka Penjamin/ Surety bertanggung jawab untuk melakukan pembayaran pencairan jaminan kepada Penerima Jaminan/ Obligee dan selanjutnya Penjamin/ Surety berhak melakukan tuntutan atas pembayaran pencairan jaminan kepada Terjamin/ Principal7.Dalam pasal 30 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 disebutkan bahwa jaminan yang diperlukan dalam kontrak pengadaan dapat berupa Bank Garansi atau Surety Bond.

Jaminan yang ada dalam Pengadaan Barang/Jasa yaitu jaminan penawaran, Jaminan sanggah banding, jaminan pelaksanaan, jaminan uang muka dan

6 Ade Hari Siswanto, Karakteristik Hukum Dalam Pelaksanaan Bank Garansi Dalam Jaminan Kontrak Jasa Konstruksi, Lex Jurnalica Volume 14 Nomor 1, April 2017, hlm 7.

(selanjutnya disingkat Ade Hari Siswanto I )

7 Syarat Dan Ketentuan Standar Surety Bond Indonesia Untuk Pengadaan Barang Dan Jasa Konstruksi (Construction And Supply Contract Bond), Lampiran SK No.33/Sk.AAUI/2016

(6)

6

jaminan pemeliharaan. Halam hal ini Surety Bond melingkupi seluruh jaminan yang ada dalam Pengadaan Barang/ Jasa. Sejak keluarnya Keppres No. 271/KMK.011/1980 tanggal 7 Mei 1980 yang berisi penunjukan 53 Lembaga Keuangan Bank yang dapat memberikan jaminan bank garansi dan satu perusahaan asuransi yang memberikan jaminan dalam bentuk Surety Bond barulah di Indonesia mulai mengenal jaminan Surety Bond. Surety Bond diartikan sebagai bukti tertulis yang diterbitkan Penjamin/ Surety untuk menjamin Terjamin/ Principal akan melaksanakan kewajiban atas suatu prestasi atau kepentingan kepada Penerima Jaminan/ Obligee sesuai kontrak antara Terjamin/ Principal dan Penerima Jaminan/ Obligee. Dalam hal terjadi wanprestasi maka Surety bertanggung jawab untuk melakukan pembayaran pencairan jaminan kepada Obligee dan selanjutnya Surety berhak melakukan tuntutan atas pembayaran pencairan jaminan kepada Principal.8

Adapun yang menjadi dasar hukum dari Surety Bond adalah perjanjian pada umumnya seperti yang tertuang dalam Buku Ketiga KUH Perdata pada penjelasan mengenai perjanjian di Pasal 1820-1850 KUH Perdata. Dikarenakan Surety Bond dikeluarkan oleh perusahaan asuransi maka ketentuan di dalam Surety Bond mengacu pada ketentuan-ketentuan asuransi baik dalam KUH Dagang maupun Undang-Undang no 40 tahun 2014 tentang Perasuransian. Namun tidak ada di atur sedikitpun mengenai Surety Bond di dalam Undang-Undang Perasuransian. Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia belum ada aturan khusus yang mengatur mengenai Surety Bond.

8Pasal1 ayat (2) lampiran SK Asosiasi Asuransi Umum Indonesia No. 33

(7)

7

Namun perjanjian Surety Bond ini banyak mengalami permasalahan, dilihat dari strukturnya bahwa Surety Bond melibatkan tiga pihak yaitu Obligee, Principal dan Surety company. Namun karena Bond Surety

merupakan salah satu produk asuransi maka haruslah sejalan dengan prinsip asuransi dimana hanya melibatkan dua pihak saja yaitu tertanggung dan penanggung. Permasalahan lainnya juga muncul dalam hal penyelesaian klaim surety bond. Umumnya Principal yang merasa bahwa Surety Bond menganut konsep asuransi menganggap bahwa kewajibannya hanya membayar premi/service charge yang telah disepakati, dan apabila terjadi klaim maka itu adalah tanggung jawab pihak Surety sendiri. Padahal Surety Bond sifatnya hanya menalangi apabila terjadi pembayaran klaim, dan tetap

pihak Principal harus mengembalikan sejumlah dana yang telah dibayarkan surety company kepada Obligee.

Karena teknis pelaksanaan pemberian jaminan Surety Bond mensyaratkan wajib adanya perjanjian ganti rugi (indemnity agreement). Inti dari indemnity agreement adalah hak menuntut dari Surety kepada Principal atas kewajiban yang telah dibayarkan Surety kepada Obligee akibat wanprestasi Principal. Bahwa segera setelah Surety dimintai untuk membayar berdasarkan jaminan yang dikeluarkan atas nama Principal, maka Principal dan atau penanggungnya mengikatkan diri dan wajib membayar kepada Surety suatu jumlah yang sama dengan jaminan yang diminta oleh

(8)

8

Obligee dalam waktu tujuh hari sesudah adanya permintaan oleh Surety9. Hal ini tentu juga tidak sejalan dengan prinsip-prinsip dalam Asuransi.

Oleh sebab itu berdasarkan hal-hal tersebut diatas yang menimbulkan banyak pertanyaan dan harus dikaji secara mendalam agar didapat suatu kejelasan dan kepastian di dalam prakteknya. Sehingga para pihak yang terlibat di dalam surety bond mendapatkan kejelasan dan kepastian hukum. Maka penulis tertarik untuk membahasnya lebih dalam dengan judul “Tinjauan Yuridis Surety Bond Sebagai Jaminan Dalam Pengadaan barang/Jasa Di Indonesia”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uruaian pada latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah yang di ajukan yaitu:

1. Bagaimana hubungan hukum antar pihak serta hak dan kewajibannya pada suatu perjanjian Surety Bond dalam pengadaan barang/jasa di Indonesia?

2. Bagaimana penyelesaian klaim perjanjian Surety Bond dalam pengadaan barang/jasa di Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian

9Ade Hari Siswanto, Karakteristik Perjanjian Surety Bond Dalam Lingkup Hukum Asuransi, Lex Jurnalica Volume 13 Nomor 3, Desember 2016, hlm. 188 (selanjutnya disingkat Ade Hari SIswanto II)

(9)

9

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan ini diantaranya adalah:

1. Untuk mengetahui hubungan hukum antar pihak serta hak dan kewajibannya pada suatu perjanjian Surety Bond dalam pengadaan barang/jasa di Indonesia

2. Untuk mengetahui cara penyelesaian klaim perjanjian Surety Bond dalam pengadaan barang/jasa di Indonesia

D. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis Mengembangkan Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Perdata khususnya di bidang Penjaminan.

b. Manfaat Praktis Memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait dengan Surety Bond sebagai Jaminan dalam proyek pengadaan barang/jasa di Indonesia.

E. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian

Berkaitan dengan topik Tinjauan Yuridis Surety Bond Sebagai Jaminan Dalam Pengadaan barang/Jasa Di Indonesia maka jenis penelitian yang dipilih adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan

(10)

10

perilaku setiap orang10. Oleh sebab itu dalam penelitian ini peneliti hanya akan mengkaji norma-norma hukum positif yang berkaitan dengan Surety Bond Sebagai Jaminan Dalam Pengadaan barang/Jasa Di Indonesia.

b. Pendekatan Penelitian

a. Pendekatan Perundang-Undangan (statute approach).

Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi bersangkut paut dengan isu yang dihadapi.11 Penulis menggunakan peraturan perundang-undangan maupun regulasi yang berkaitan dengan Surety Bond maupun Penjaminan sebagai perspektif dalam menjawab rumusan masalah.

2. Pendekatan Konseptual.

Pendekatan Konseptual adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembangdi dalam ilmu hukum12. Pandangan/doktrin yang berkembang dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika menyelesaikan suatu isu hukum yang dihadapi. Pandangan/doktrin akan memperjelas ide-ide dengan memberikan pengertian hukum, konsep hukum,

10 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya, Bandung, , 2004, hlm. 57

11 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Prenada Media Group, 2005, hlm. 133

12 Ibid.,hlm. 135

(11)

11

maupun asas hukum yang relevan dengan Surety Bond dan Penjaminan.

c. Bahan Hukum 1. Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang bersifat autoratif, artinya mempunyai otoritas.13 Dalam penyusunan penelitian ini Penulis menggunakan bahan hukum primer antara lain: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang no 1 tahun 2006 tentang Penjaminan, Undang-Undang no 40 tahun 2014 tentang Perasuransian, Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah, , Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Suretyship.

2. Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan publikasi tentang hukum yang meliputi buku-buku teks, kamus-kamus, jurnal- jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.14

13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Prenada Media Group, 2005, hlm.., hlm 181

14Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Prenada Media Group, 2005, hlm. 181

Referensi

Dokumen terkait

Surat Permintaan Pembayaran yang disebut juga SPP adalah suatu dokumen yang dibuat/ diterbitkan oleh pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan dan

Bertanggung jawab atas kebenaran materi laporan pelaksanaan jalan. Bertanggung jawab kepada

Dan sebagai pihak perantara bagi sampainya barang kepada pihak penerima, maka pengangkut memiliki tanggung jawab tertentu terhadap sesuatu (barang atau orang) yang

Temuan dari penelitian ini mengungkapkan bahwa menurut Imam Malik, dalam masalah gadai dapat terjadi perselisihan antara yang menggadaikan dengan penerima

(2) Khusus untuk pembayaran uang muka, kepada penyedia barang/jasa yang terbukti melakukan wanprestasi dan tidak melakukan pencairan jaminan dan/atau pengembalian ke kas

Analisa selanjutnya adalah mengenai barang yang dijadikan jaminan itu keadaannya masih dalam masa angsuran atau kredit artinya pembayaran belum lunas Pihak Penggadai masih

Penelitian ini bermanfaat bagi para pihak yang melakukan perjanjian Bank Garansi baik pihak pemberi jaminan (penjamin atau nasabah atau kreditur), pihak penerima jaminan

Adapun kesimpulan dari penelitian tersebut adalah dalam pelaksanaan eksekusi obyek jaminan fidusia yang diakibatkan oleh debitur yang telah wanprestasi dengan menggadaikan