• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENYALAHGUNAAN KEWENANGAN POLISI DALAM PENANGKAPAN DEMONSTRAN SAAT MELAKUKAN DEMONSTRASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENYALAHGUNAAN KEWENANGAN POLISI DALAM PENANGKAPAN DEMONSTRAN SAAT MELAKUKAN DEMONSTRASI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

p-ISSN: 2774-5325, e-ISSN: 2774-5996

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENYALAHGUNAAN KEWENANGAN POLISI DALAM PENANGKAPAN DEMONSTRAN SAAT MELAKUKAN DEMONSTRASI

Muhammad Syam Savero, Wiwin Yulianingsih

Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Jawa Timur, Indonesia Email: Syamsavero886@gmail.com, wiwiny.ih@upnjatim.ac.id

INFO ARTIKEL ABSTRAK Diterima

25 Maret 2022

Penelitian berjudul penegakan hukum terhadap penyalahgunaan kewenangan polisi dalam penangkapan demonstran saat melakukan demonstrasi, dengan membahas permasalahan bagaimana aturan tentang penangkapan demonstran yang melakukan demonstrasi menurut hukum positif di Indonesia dan bagaimana penegakan hukum terhadap aparat kepolisian yang menyalahgunakan perintah dalam penangkapan demonstran. Penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan konsep, diperoleh suatu kesimpulan: Peraturan yang mengatur penangkapan demonstran diatur dalam Pasal 28 UUD 1945 mengenai hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, UU No. 39 Tahun 1999 batasan hak asasi, UU No. 9 Tahun 1998 pemberitahuan adanya unjuk rasa, pembentukan penanggung jawab, larangan unjuk rasa dan ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana bagi yang melanggarnya.

Penegakan hukum terhadap aparat kepolisian yang menyalahgunakan perintah dalam penangkapan demonstran, bahwa tugas dan wewenang Polri mengamankan demonstrasi/unjuk rasa yang dilakukan sesuai dengan izin dari Kapolri. Polisi yang menjalankan kewenangannya mengamankan para pengunjuk rasa dengan menentang dan sebagainya, maka dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melanggar atau menyalahgunakan kesewangan sebagai pengayom masyarakat. Polisi sebagaimana warga masyarakat umumnya, jika melakukan tindak pidana menangkap dan membanting peserta demonstran yang mempunyai wewenang untuk mengadili yakni peradilan umum yakni Peradilan Negeri, sebagai pelaku tindak pidana melanggar ketentuan Pasal 351ayat (4) KUHP, sebagai tindak pidana penganiayaan.

Kata kunci:

penegakan hukum;

penyalahgunaan kewenangan;

penangkapan demonstran

(2)

Pendahuluan

Setiap orang diberikan kebebasan untuk menyampaikan pendapat, menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapat disampaikan di muka umum maksudnya di hadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di tempat yang dapat didatangi dan atau di setiap orang, melalui unjuk rasa atau demontrasi adalah kegiatan yang dilakukan seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum (Marzuki, 2011). Kebebasan para pengunjuk rasa dalkam menyampaikan pendapat, pikirannya tersebut dibatasi, bahwa pelaku atau peserta (demonstrasi) dalam menyampaikan pendapat di muka umum, baik melaluji cara pawai, rapat umum; dan atau mimbar bebas, dilarang membawa benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan umum, sebagaimana Pasal 9 ayat (3) UU No. 9 Tahun 1998. Para pendemo sebelum melakukan unjnuk rasa, wajib memberitahukan kepada Polisi Republik Indonesia, yang diajukan secara tertulis, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 UU No. 9 Tahun 1998, bahwa Penyamapaianpendapat di muka umum wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri.

Pemberitahuan secara tertulis kepada Polri tersebut terkait dengan pengamanan pada waktu unjuk rasa, sesuai dengan tugas Polri sebagaimana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disingkat UU Bo. 2 Tahun 2002), yang diundangkan dengan pertimbangan bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Polisi sebagai petugas keamanan masyarakat di dalam negeri , diartikan sebagai “suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”, sebagaimana Pasal 1 angka 6 UU No. 2 Tahun 2002.

Petugas kepolisian dengan pangkat Brigadir NP dari Kepolisian Resor (Polres) Tengerang ketika mengamankan mahasiswa yang unjukrasa di Kantor Kabupaten Tengerang, melakukan tindakan yang tidak sebagaimana tugas Polri mengamankan demonstrasi. Kelompok mahasiswa yang bergabung dalam Himpunan Mahasiswa Tangerang (selanjutnya disingkat HIMATA), Himpunan Badan Eksekutif Mahasiswa (selanjutnya disingkat BEM). Aksi demonstrasi di Kantor Bupati Tangerang pada tanggal 13 Oktober 2021 tersebut berujung ricuh. Seorang mahasiswa Muhamad Faris Amrullah (selanjutnya disingkat MFA) diamankan lalu dibanting polisi. MFA sempat kejang-kejang dan tidak sadarkan diri, akhirnya ia dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan berupa pengecekan tubuh, rontgen thorax, serta diberikan obat-obatan. Polisi yang membanting berinisial NP berpangkat Brigadir, yang menurut pengakuan sementara, tindakan membanting pendemo secara kasar di luar SOP penanganan pengamanan aksi demonstrasi dengan membanting pendemo adalah aksi spontan, tindakan tersebut bersifat refleks dan tidak ada tujuan untuk mencelakai yang bersangkutan.

(3)

Mengenai tindakan anggotanya di luar SOP tersebut, Kapolres Tangerang memastikan bahwa sanksi akan dijatuhkan kepada NP, tetapi sanksi yang diterima nantinya, akan disesuaikan pada hasil pemeriksaan Propam Polri, demikian halnya Kapolda Banten secara tegas akan menindak personel yang bertindak melakukan aksi pengamanan di luar SOP. Anggota Polri dasarnya merupakan pranata umum sipil yang menjaga ketertiban, keamanan dan penegakan hukum di seluruh wilayah Negara.

Namun pada kenyataannya banyak oknum Polisi yang menyalahgunakan kewenangannya untuk kepentingan pribada (Park, 2017). Sebagaimana aksi beringas Brigadir NP tersebut mendapat kecaman keras baik dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Kepala Kepolisian Republik Indonesia HIMATA, BEM Tangerang, dan pemuka masyarakat setempat. Anggota Komisi III DPR yakni Santoso meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk ikut bertindak tegas memberi sanksi, terhadap anak buahnya jika melanggar ketentuan, jika tindakan anggota Polri tersebut melanggar ketentuan baik di Polri maupun dalam perundang-undangan maka Kapolri harus memberi sanksi. Anggota HIMATA dan BEN Tengerang menuntut pihak kepolisian untuk segera bertindak tegas terhadap petugas keamanan yang membanting rekannya.

Memperhatikan uraian peristiwa hukum sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa Polri mengamankan demo sebagai salah satu tugas Polri pengamanan dalam negeri. Sebagai menjalankan tugas, maka memperoleh perlindungan hukum, menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum (Raharjo, 2002). Menurut Sudikmo Mertokusumo bahwa fungsi hukum dan perlindungan hukum, sebagai perlindungan kepentingan manusia hukum mempunyai tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum (Mertokusumo, 1919). Perlindungan hukum hanya diberikan kepada seseorang yang melakukan perbuatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Brigadir NP melakukan tindakan membanting MFA sebagai suatu tindak pidana kekerasan. Tindak pidana menurut Moeljatno sebagai "perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut" (Moeljatno, 2008). Hal ini berarti bahwa di satu sisi Polri melakukan pengamanan unjuk rasa, sehingga tugas tersebut atas perintah peraturan perundang-undangan, di sisi yang lain dalam pengamanan unjuk dilakukan secara perlebihan atau menyimpang dari SOP, sehingga yang terjadi penyalahgunaan kewenangan, yang berakibat timbulnya korban pengunjuk rasa.

Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat yuridis normatif yaitu penelitian yang didasarkan dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi yang berlaku yang ada kaitannya dengan permasalahan yang dikaji. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan penjelasan yang sistematis dari suatu permasalahan hukum.

(4)

Hasil dan Pembahasan

Polisi sebagai salah satu aparat penegak hukum yang mempunyai tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat Indonesia diberikan tugas untuk melakukan pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana. Keberadaan polisi sebagai pelaksanaan awal sistem peradilan wajib melakukan tugas dan wewenang sebagai aparat penegak hukum. Meskipun demikian terdapat beberapa oknum polisi yang menyalahgunakan wewenangnya sebagai aparat penegak hukum dengan ikut dalam kasus penganiayaan. Tentu hal tersebut dapat menyebabkan hilangnya rasa percaya masyarakat terhadap kredibilitas polisi untuk memberikan jaminan kepastian hukum atau memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat atas maraknya tindak penganiayaan yang terjadi (Utomo, 2005). Setiap anggota Polri bertanggung jawab melaksanakan tugas-tugas kepolisian agar mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Dalam melaksanakan tugasnya, setiap tindakan anggota Polri tidak boleh melawati batas-batas tertentu. Batasan tersebut disebut dan diatur menurut Kode Etik Keprofesian Polri sebagai landasan serta pedoman dalam menjalankan tugas setiap anggota Polri.

Kode etik profesi Polri sendiri telah diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bahkan dalam Pasal 1 angka (5) dijelaskan bahwa:Kode etik profesi polri yang selanjutnya disingkat KEPP adalah norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan filosofis atau etik yang berkaitan dengan perilaku dan juga ucapan tentang perihal-perihal yang patut, dilarang, diwajibkan, atau tidak patut dilakukan oleh anggota Polri dalam melaksanakan wewenang, tugas dan tanggung jawab jabatan. Tindak kekerasan juga lebih dikenal dengan tindak kejahatan, dan hingga saat ini belum memiliki Hukum Positif yang mengatu sehingga upaya penegakan Hukum melalui peradilan sangatlah lemah.

Keberlakuan dan efek dari kode etik Polri sendiri masih berdasar kepada kesadaran moral anggotanya (POLRI). Penegakan etika profesi ini tidak memiliki Hukum Positif dan sanksi yang keras berbeda dengan peraturan perundang-undangan yang memang bersifat memaksa serta memiliki sanksi yang harus dilaksanakan. Penegakan pada kode etik Polri dipandang remeh oleh beberapa orang, hal ini disebabkan kurangnya penegakan dalam setiap pelanggarannya. Sehingga menurut penulis pencegahan yang dapat dilakukan adalah memperbaiki moral dari pada anggota POLRI, seperti halnya melakukan penyuluhan yang bertema kan etika dan moral. Semua itu hanya lah upaya karena sejatinya segala hal tersebut bergantung pada moral yang hanya dapat diperbaiki oleh dirinya sendiri atau adanya kesadaran dari setiap individu. Sanksi kode etik terhadap polisi yang melakukan tindak pidana penganiayaan, bahwa pada dasar penyidikan terhadap Anggota Polri yang disangka melakukan tindak pidana adalah adanya laporan atau pengaduan dari masyarakat.Laporan atau pengaduan tersebut disampaikan melalui Kepala Seksi Pelayanan Pengaduan Bidang Profesi dan Pengamanan (Kasi Yanduan Bid. Propam), selanjutnya Kabid Propam mendisposisikan kepada Kepala Sub Bagian Provos (Kasubbid Provos) melalui Kepala Unit Penyidik (Kanit Idik) untuk melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap anggota dimaksud berikut saksi korban dansaksi-saksilainnya. Jika dari hasil pemeriksaan Kanit Idik atau anggota Idik, mengarah pada tindak pidana, maka Kabid Propam setelah meminta saran dan pendapat hukum pada Bid.Binkum melimpahkan perkara tersebut kepada Dit Reskrim (untuk tingkat Mapolda) atau Kasi Propam melimpahkan perkara

(5)

ke Satuan Reskrim (untuk kewilayahan) dengan tembusan Ankum di mana anggota tersebut ditugaskan.

Di samping itu juga, hasil penyidikan masih belum menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya atau kurang dilakukan pendalaman terhadap kasus yang ada, dan tidak jarang berdampak pada penghentian penyidikan dengan alasan tidak cukup bukti atau kasus yang ditangani bukan perkara pidana dan atau kasus anggota yang melakukan tindak pidana tersebut sudah diselesaikan melalui mekanisme internal Polri, yaitu sidang disiplin dan atau sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri. Pasal 12 ayat (1) di atas, dapat dipahami bahwa Anggota Polri yang disangka melakukan tindak pidana dan diselesaikan melalui mekanisme sidang disiplin (internal Polri), bukan berarti proses pidana telah selesai, namun dapat dilimpahkan kepada fungsi Reserse untuk dilakukan penyidikan lebih lanjut, sepanjang pihak korban menginginkannya, demikian pula dengan pelanggaran terhadap Peraturan Kapolri No. Pol: 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri. Dalam konteks ini tergantung pada kebijakan Ankum dalam menyikapi permasalahan anggotanya. Setiap pelanggaran hukum dan atau tindak pidana yang melibatkan atau pelaku perbuatan tindak pidana adalah anggota Polri, maka peranan Ankum sangat penting. Ankum menurut Pasal 1 angka 13 PP No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri adalah atasan yang karena jabatannya diberi kewenangan menjatuhkan hukum disiplin kepada bawahan yang dipimpinnya.

Pentingnya peranan Ankum ini, dapat menentukan anggotanya yang melakukan pelanggaran hukum termasuk tindak pidana, untuk dilakukan proses hukum baik untuk internal Polri, maupun proses peradilan umum. Dan setiap proses hukum harus sepengetahuan Ankum, karena Ankum mempunyai kewenangan penuh dan dianggap lebih mengetahui persoalan yang dihadapi masing-masing anggotanya. Pelanggaran terhadap aturan disiplin dan kode etik akan diperiksa dan bila terbukti akan dijatuhi sanksi. Penjatuhan sanksi disiplin serta sanksi atas pelanggaran kode etik tidak menghapus tuntutan pidana terhadap anggota polisi yang bersangkutan [lihat Pasal 12 ayat (1) PP 2/2003 jo. Pasal 28 ayat (2) Perkapolri 14/2011. Oleh karena itu, polisi yang melakukan tindak pidana tersebut tetap akan diproses secara pidana walaupun telah menjalani sanksi disiplin dan sanksi pelanggaran kode etik. Adapun proses peradilan pidana bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum dilakukan menurut hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Hal ini diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (PP 3/2003). Kemudian terkait dengan Sidang Kode Etik, sidang itu menurpakan Sidang Komisi Kode Etik Polri (“Sidang KKEP”) untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Kode Etik Profesi Polri (“KEPP”) yang dilakukan oleh Anggota Polri sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 7 Perkapolri 14/2011. Selain itu Sidang KKEP juga dilakukan terhadap pelanggaran Pasal 13 PP 2/2003. Berdasarkan pasal tersebut, hal ini berarti penjatuhan hukuman oleh Aknum secara subyektif kepada terperiksa yang melakukan pelanggaran pada persiadangan disiplin akan diproses secara Peradilan umum atas tindak pidana anggota Polri yang belum menuntaskan perkaranya.

Penjatuhkan sanksi hukuman disiplin yang ringan bahkan berat belum membebaskan terperiksa dari sanksi pelanggaran disiplin, karena harus melalui lagi proses Penyidikan pda Peradilan umum. Jika hukum tertulis yang mengatur suatu bidang kehidupan tertentu dan bidang-bidang lainnya yang berkaitan berada dalam kepincangan.

Penjatuhan sanksi disiplin serta sanksi atas pelanggaran kode etik tidak menghapus tuntutan pidana terhadap anggota polisi yang bersangkutan Pasal 12 ayat (1) PP 2/2003

(6)

jo. Pasal 28 ayat (2) Perkapolri 14/2011]. Terkait sidang disiplin, tidak ada peraturan yang secara eksplisit menentukan manakah yang terlebih dahulu dilakukan, sidang disiplin atau sidang pada peradilan umum.

Yang diatur hanya bahwa sidang disiplin dilaksanakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah Ankum menerima berkas Daftar Pemeriksaan Pendahuluan (DPP) pelanggaran disiplin dari provos atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ankum [Pasal 23 PP 2/2003 dan Pasal 19 ayat (1) Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: Kep/44/IX/2004 tentang Tata Cara Sidang Disiplin Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri 44/2004)]. Sedangkan, untuk sidang KKEP, jika sanksi administratif yang akan dijatuhkan kepada Pelanggar KKEP adalah berupa rekomendasi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH), maka hal tersebut diputuskan melalui Sidang KKEP setelah terlebih dahulu dibuktikan pelanggaran pidananya melalui proses peradilan umum sampai dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap Pasal 22 ayat (1) Perkapolri 14/2011). Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH dikenakan melalui Sidang KKEP terhadap:

(lihat Pasal 22 ayat (1) Perkapolri 14/2011) pelanggar yang dengan sengaja melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara empat tahun atau lebih dan telah diputus oleh pengadilan yang berkekuatan hukum teta dan pelanggaran yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (3) huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf I”. Terkait dengan tindak pidana penganiayaan oleh angota polisi, ketentuan mengenai hukum pidana terkait penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP, yang mana penganiayaan diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, tentunya harus dilakukan proses peradilan umum terlebih dahulu sebelum sidang KKEP. Lebih lanjut, fungsi Seksi Propam dengan yang bertugas langsung melaksanakan pengawasan dan penindakan dapa dijalankan secara maksimal terhadap anggota Polri yang bermasalah. Oleh karena itu apabila Tugas dan tanggungjawab Propam Polri ingin dapat berjalan secara maksimal dan sesuai harapan. Secara hukum polisi maupun warga sipil memiliki status hukum yang sama. Maka dari itu, sanksi yang diterima warga sipil akan sama dengan sanksi yang akan diterima oleh polisi yang terbukti melakukan tindak penganiayaan.

Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa tindakan penganiayaan diatur dalam Bab XIX Pasal 351 tentang kejahatan terhadap pribadi. Pengaturan hukum polisi yang melakukan tindak pidana penganiayaan akan di proses perkara dalam sidang peradilan umum, setelah adanya putusan dan selesai menjalankan sanksi yang diterima, selanjutnya anggota polisi akan menjalankan sidang peradilan kode etik dengan sanksi pemecatan secara tidak hormat. Sanksi hukum terhadap anggota polisi yang melakukan tindak pidana penganiayaan, menurut Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002, dalam pasal 18 dijelaskan bahwa polisi diberi wewenang dalam keadaan tertentu untuk melakukan tindakan menurut penilaian sendiri atau bisa dikenal sebagai kekuasaan diskresi fungsional menetapkan pribadi-pribadi polisi sebagai faktor sentral dalam menegakan hukum. Adapun penjatuhan sanksi hukum disiplin diputuskan dalam sidang disiplin, dalam tindak pidana penganiayaan yang dilakukan anggota kepolisian telah melanggar disiplin dan kode etik kepolisian.

Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa tugas dan wewenang Polri yang ditugaskan untuk mengamankan demonstrasi/unjuk rasa yang dilakukan sesuai dengan izin dari Kapolri. Oleh karena kewenangannya didasarkan atas undang-undang, sebatas mengamankan sesuai dengan SOP. Polisi yang mengamankan

(7)

para pendemo atau pengunjuk rasa sesuai denangan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU No.

2 Tahun 2002. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 perlu ditegakan, dengan memberikan sanksi kepada pelanggarnya. Penegakan Hukum Terhadap Aparat Kepolisian Yang Menyalahgunakan Perintah Dalam Penangkapan Demonstran, sehingga polisi yang menjalankan kewenangannya mengamankan para pengunjuk rasa dengan menentang dan sebagainya, maka dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melanggar atau menyalahgunakan kesewangan sebagai pengayom masyarakat.

Kesimpulan

Peraturan perundang-undangan yang mengatur penangkapan demonstran yang melakukan demonstrasi menurut hukum positif di Indonesia, bahwa unjuk rasa atau demonstrasi merupakan hak setiap warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, dijabarkan lebih lanjut dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang memberikan batasan unjuk rasa sebagaimana Pasal 70 UU No. 39 Tahun 1999 Unjuk rasa itu sendiri diatur dalam UUU No. UU No. UU No. 9 Tahun 1998 mengatur mengenai pemberitahuan adanya unjuk rasa, pembentukan penanggung jawab, larangan unjuk rasa dan ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana bagi yang melanggarnya.

Penegakan hukum terhadap aparat kepolisian yang menyalahgunakan perintah dalam penangkapan demonstran, bahwa tugas dan wewenang Polri mengamankan demonstrasi/unjuk rasa yang dilakukan sesuai dengan izin dari Kapolri. Oleh karena kewenangannya didasarkan atas undang- undang, sebatas mengamankan sesuai dengan SOP. Polisi yang mengamankan para pendemo atau pengunjuk rasa sesuai denangan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU No.

2 Tahun 2002 perlu ditegakan, dengan memberikan sanksi kepada pelanggarnya.

Penegakan Hukum Terhadap Aparat Kepolisian Yang Menyalahgunakan Perintah Dalam Penangkapan Demonstran, sehingga polisi yang menjalankan kewewangannya mengamankan para pengunjuk rasa dengan menentang dan sebagainya, maka dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melanggar atau menyalahgunakan kesewenangan sebagai pengayom masyarakat

(8)

BIBLIOGRAFI

Marzuki, P. M. (2011). Penelitian Hukum (11th ed.). Kencana Prenadamedia Group.

Mertokusumo, S. (1919). Mengenal hukum: Suatu pengantar. -.

Moeljatno. (2008). Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta.

Park, A. (2017). Imam Besar Kekal Yang Dijanjikan Dengan Sumpah. Yayasan Damai Sejahtera Utama.

Raharjo, S. (2002). Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti.

Utomo, W. H. (2005). Hukum Kepolisian di indonesia. Prestasi Pustaka Publisher.

Referensi

Dokumen terkait

Dualisme (pasar modern vs pasar tradisional) ini, salah satu akibat dalam perkembangan wilayah perdagangan Adanya perbedaan dalam pengelolaan dan pengaturan

B. aconitus dan Cx.. Uji ooba strain lokal bacillus thuringiensis. Kedalam mangkok plastik, selanjutnya dimasukkan 20 ekor jentik nyamuk instar I11 yang diuji. Masing-masing

Menunjukan bahwa Green Brand Image berpengaruh pada Green Satisfaction secara signifikan, sementara G reen Brand Image berpengaruh negatif terhadap Green Trust , dan

Terlepas dari pada itu, dengan menunjukan siapa pelaku atas kecelakaan tersebut, tentunya juga menjelaskan bahwa dalam krisis ini pihak maskapai penerbangan

Dari latar belakang tersebut, dalam rangka untuk memperkenalkan dan mempromosikan Batik Jawa Timur, maka penulis merasa perlu adanya bangunan penghubung yang

Keuangan/Administratif Presiden dan Wakil Presiden Serta Bekas Presiden dan Bekas Wakil Presiden Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1978 Nomor

Hasil observasi minat belajar peserta didik mulai dari pertemuan ke 1,2,3 siklus I sampai pertemuan k e1 dan 2 siklus II menunjukkan peningkatan yang

Untuk semua sistem baru, proses rekayasa persyaratan harus dimulai studi kelayakan. Input dari studi kelayakan adalah deskripsi garis besar sistem dan bagaimana sistem akan