• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Kasus Mengenai Psychological Well-Being Pada Satu Orang Pasien Kanker Serviks Stadium Lanjut di RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Kasus Mengenai Psychological Well-Being Pada Satu Orang Pasien Kanker Serviks Stadium Lanjut di RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung."

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

psychological well-being pada pasien kanker serviks stadium lanjut di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai dinamika psychological well-being yang ditinjau dari dimensi-dimensinya yaitu self-acceptance, positive relations with other, autonomy, environmental mastery, purpose in life, dan personal growth.

Metode yang digunakan adalah studi kasus, dengan menggunakan kuesioner dan dilanjutkan dengan melakukan wawancara. Pemilihan sampel dilakukan dengan purposive sampling. Ukuran sampel yang diambil adalah satu orang. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner psychological well-being dari Caroll D. Ryff (1989) yang telah diterjemahkan oleh peneliti. Jumlah item kuesioner tersebut adalah 84 item dan kemudian dilakukan wawancara untuk mengetahui dinamika setiap dimensi psychological well-being.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah pasien belum dapat menerima dirinya sepenuhnya yang menderita sakit kanker serviks. Penyakit kanker serviks yang diderita membuat terganggunya kemampuan pasien yaitu pasien tidak dapat lagi melakukan aktifitas sehari-harinya terutama aktifitas mengurus rumah tangga yang merupakan salah satu kebanggan diri pasien. Penyakit kanker serviks yang diderita pasien ini juga mempengaruhi kehidupan pasien baik dari segi relasi dan tujuan hidup yang dimiliki dan yang ingin dicapainya.

(2)

KATA PENGANTAR………...iii

DAFTAR ISI………..vi

DAFTAR BAGAN……….ix

DAFTAR TABEL………...x

DAFTAR LAMPIRAN……….xi

BAB I PENDAHULUAN………...1

1.1Latar Belakang Masalah……….1

1.2Identifikasi Masalah………..9

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian………..9

1.3.1 Maksud Penelitian………...9

1.3.2 Tujuan Penelitian………..9

1.4Kegunaan Penelitian………10

1.4.1 Kegunaan Teoritis………...10

1.4.2 Kegunaan Praktis………11

1.5Kerangka Pemikiran….………...11

(3)

2.1.2 Sejarah dan perkembangan psychological well-being………...25

2.1.3 Dimensi-dimensi psychological well-being………...31

2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being...37

2.1.4.1 Faktor Sosiodemografik……….39

2.1.4.2 Faktor personality trait………49

2.1.5 Psychological Well-Being dan Kesehatan……….52

2.1.5.1 Psychological Well-Being dan Illness...55

2.2 Kanker serviks………59

2.2.1 Pengertian kanker serviks………..59

2.2.2 Faktor-faktor yang menyebabkan kanker serviks………..59

2.2.3 Gejala-gejala kanker serviks………..59

2.2.4 Tahapan klinis kanker serviks………...65

2.2.5 Terapi pada pasien kanker serviks……….66

2.2.6 Efek samping dari terapi………69

2.3 Masa dewasa………...73

2.3.1 Aspek pada perkembangan masa dewasa………..73

2.3.2 Periode pada masa dewasa……….74

2.3.3 The adult family : Changing roles and relationship…………..79

2.3.4 Kesehatan pada masa dewasa………81

(4)

3.1 Rancangan Penelitian………...84

3.2 Prosedur Penelitian………..84

3.3 Variabel Penelitian dan definisi Operasional………...84

3.3.1 Variabel Penelitian………..84

3.3.2 Definisi Konseptual dan Definisi Operasional………...84

3.4 Alat Ukur………...87

3.4.1 Kuesioner dan wawancara………..87

3.4.2 Data Penunjang..………..…...89

3.4.3 Validitas dan Realibitas Alat Ukur……….89

3.5 Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel………..90

3.5.1 Populasi Sasaran………..90

3.5.2 Karakteristik Sampel………...90

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel………...90

3.6 Teknik Analisis Data………91

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Hasil……….93

4.1.1 Kasus .……….93

4.1.1.1 Identitas Pribadi………93

(5)

4.1.1.4 Tabel psychological well-being………….129

4.1.1.4.1 Kuesioner……….129

4.1.1.4.2 Wawancara………130

4.2 Pembahasan Kasus……….133

4.2.1 Pebahasan Dimensi-dimensi Psychological Well-Being……..133

4.2.2 Pembahasan Psychological Well-Being………138

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan………176

5.2 Saran………..177

5.2.1 Saran Teoretis………177

5.2.2 Saran Praktis………..178

Daftar Pustaka………179

Daftar Rujukan………..181

(6)
(7)
(8)

Lampiran 2. Surat Ijin Melakukan Penelitian

Lampiran 3. Informed Consent

Lampiran 4. Kuesioner Psychological Well-Being

Lampiran 5. Kerangka Wawancara

Lampiran 6. Data Penunjang Berupa Data Pribadi, Status Sosial Ekonomi,

Religiusitas, Suku Bangsa, Family dan Social Support, Pengetahuan

Mengenai Penyakit.

Lampiran 5. Data Penunjang Berupa Kuesioner Big Five Personality

Lampiran 6. Lembar Observasi

Lampiran 7. Data Penunjang Big Five Personality

Lampiran 8. Hasil Wawancara

Lampiran 9. Kriteria Penilaian

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kanker serviks merupakan salah satu penyebab utama kematian akibat

kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh

dari sel-sel serviks, yang dapat berasal dari sel-sel di leher rahim tetapi dapat pula

tumbuh dari sel-sel mulut rahim atau keduanya (Nurwijaya, Andrijono, Suheimi,

2010). Jika organ wanita yang bernama serviks ini terserang kanker dan telah

berada pada stadium lanjut, maka wanita akan merasakan beberapa efek dari

kanker serviks seperti merasakan sakit ketika melakukan hubungan seksual,

pendarahan sesudah melakukan hubungan seksual, ancaman tidak bisa memiliki

keturunan, bahkan ancaman kematian karena kegagalan pengobatan.

Kanker serviks menduduki peringkat pertama pada penyebab kematian

perempuan di Indonesia. Di Indonesia, setiap tahun terdeteksi lebih dari 15.000

kasus kanker serviks dan kira-kira sebanyak 8.000 kasus di antaranya berakhir

dengan kematian. Setiap hari diperkirakan muncul 40-45 kasus baru dan sekitar

20-25 perempuan meninggal setiap harinya karena kanker serviks. Sekitar 8.000

perempuan di Jawa Barat berpotensi terkena kanker serviks per tahun

(www.kompas .com, diunduh 6 maret 2011). Menurut data rumah sakit di

Indonesia lebih dari 70% penderita kanker serviks datang berobat pada stadium

tinggi atau lanjut sehingga angka kegagalan atau ketidakpuasan hasil pengobatan

(10)

ini juga dapat terlihat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Hasan Sadikin

Bandung.

RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung merupakan salah satu rumah sakit

terbesar di Kota Bandung. Rumah sakit ini adalah salah satu rumah sakit yang

banyak menangani penderita kanker serviks dan juga menjadi salah satu rumah

sakit rujukan dari rumah sakit lain yang berada di luar Kota Bandung. Rumah

sakit ini memiliki banyak dokter spesialis yang menangani masalah kanker

serviks, memiliki peralatan yang lengkap dan memadai untuk pasien menjalankan

pengobatannya. Rumah sakit ini juga memiliki pelayanan pengobatan untuk

pasien yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi menengah ke bawah

sehingga biaya pengobatan pasien dibantu oleh pemerintah. Rumah sakit ini

mencatat pasien penderita kanker serviks dari tahun 2002 sampai 2007 yang

berjumlah 2.798 pasien kanker serviks yaitu stadium I sebanyak 369 pasien

(13,19%), stadium II sebanyak 500 pasien (17,87%), stadium III sebanyak 1796

pasien (64,19%), dan stadium IV sebanyak 133 pasien (4,75%).

Berdasarkan data inilah, terungkap bahwa stadium III merupakan stadium

yang paling banyak diderita oleh pasien kanker serviks di RSUP Dr. Hasan

Sadikin Bandung. Stadium III dapat dikatakan sebagai stadium lanjut yang dapat

menyebabkan kematian karena kanker serviks tidak menunjukkan gejala pada

stadium dini. Pada stadium III, angka harapan hidup lima tahun jika kanker ini

diketahui adalah 25% dan kemungkinan keberhasilan terapi pada stadium III

(11)

Pasien yang mengetahui dirinya menderita kanker serviks menunjukkan

tekanan psikologis yang besar yang menjadi penyebab masalah emosi dan

rendahnya kesejahteraan sosial dibandingkan dengan pasien yang tidak menderita

penyakit kanker serviks. Apabila masalah emosi tersebut tidak diatasi maka akan

mempengaruhi kesejahteraan psikologis pasien. Dalam psikologi, kesejahteraan

psikologis dikenal dengan istilah psychological well-being (PWB). Psychological

well-being menurut Ryff (2002) adalah evaluasi hidup seseorang yang menggambarkan bagaimana cara seseorang mempersepsi dirinya dalam

menghadapi tantangan hidupnya.

Pasien kanker serviks stadium lanjut yang mengetahui bahwa dirinya

menderita penyakit kanker serviks akan mengalami masalah emosi yang dapat

berupa stres, cemas, takut, depresi, dan reaksi emosi lainnya. Semua reaksi emosi

negatif ini akan membuat pasien menjadi merasa tidak well-being. Apabila ini

tidak diatasi maka akan mempengaruhi keseharian pasien dan berdampak pada

kesehatan pasien seperti pasien menjadi tidak bersemangat dalam menjalani

kehidupan dan menjalankan pengobatan. Hal ini dapat membuat kualitas

kehidupan pasien menjadi berkurang. Untuk itulah psychological well-being

diperlukan oleh pasien kanker serviks stadium lanjut agar pasien dapat menata

kembali kehidupannya, memperbaiki relasi sosial, waktu luang, percintaan,

mengatur kembali dirinya untuk mendapatkan hasil terbaik sehingga pasien dapat

memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya. Kebahagiaan ini diperoleh dari cara

(12)

Ryff (2002) menggambarkan psychological well-being ke dalam 6

dimensi, yaitu self-acceptance, positive relations with others, autonomy,

environmental mastery, purpose in life, dan personal growth. Self-acceptance merupakan dimensi psychological well-being yang pertama yang ditandai dengan

memiliki sikap positif terhadap diri yang mengakui dan menerima beberapa aspek

diri termasuk kualitas yang baik dan buruk dan dapat melihat masa lalu dengan

perasaan positif. Menurut hasil wawancara dengan 8 orang pasien kanker serviks

stadium lanjut, sebanyak 5 orang pasien (62,5%) menghayati bahwa dirinya telah

dapat menerima kondisi dirinya yang saat ini sedang menderita sakit kanker

serviks dan tidak dapat lagi menjalankan kewajiban dan tanggungjawabnya

sebagai seorang istri dan juga ibu dengan sempurna. Pasien memasrakan

kondisinya kepada Tuhan karena pasien menghayati bahwa dengan memasrahkan

kondisinya membuat pasien rasa takut terhadap penyakitnya menjadi berkurang.

Sementara sebanyak 3 orang pasien (37,5%) menghayati bahwa dirinya

masih belum bisa menerima kondisi dirinya saat ini. Pasien masih merasa marah,

stress, sedih, dan masih bertanya-tanya mengapa Tuhan memberikan penyakit ini

kepada dirinya.

Positive relations with others adalah dimensi psychological well-being yang kedua yang ditandai dengan mengembangkan dan menjaga kehangatan dan

kepercayaan berhubungan interpersonal dengan orang lain. Mneurut hasil

wawancara dengan 8 orang pasien kanker serviks stadium lanjut, sebanyak 4

orang pasien (50%) menghayati dirinya merasa lebih senang apabila mereka dapat

(13)

Hal ini dapat meringankan beban pikiran mereka mengenai penyakit yang sedang

diderita oleh pasien.

Sementara sebanyak 4 orang pasien (50%) menghayati penyakit yang

sedang dideritanya saat ini membuat pasien lebih memilih untuk tidak melakukan

komunikasi atau bersosialisasi dengan orang lain karena takut merepotkan

anggota keluarga yang lain, merasa malu dengan penyakit yang sedang

dideritanya.

Dimensi psychological well-being yang ke tiga adalah autonomy yang

terkait dengan kemandirian individu dalam menjalani kehidupannya, yang mana

menekankan pada kapasitas individu untuk menentukan diri (self-determining)

dan bebas (independent). Menurut hasil wawancara dengan 8 orang pasien kanker

serviks stadium lanjut, sebanyak 3 orang pasien (37,5%) menghayati penyakit

kanker serviks ini secara fisik telah mengganggu kemampuannya dalam memenuh

kebutuhan dirinya sendiri dan keputusan yang di buat merupakan keputusan yang

berasal dari dorongan dan masukan suami dan anak-anak.

Sementara sebanyak 5 orang pasien (62,5%) menghayati penyakit kanker

serviks yang dideritanya ini emang telah mengganggu kemampuannya dalam

memenuhi kebutuhannya, tetapi pasien mengatakan bahwa ia masih bisa untuk

mencoba memenuhi kebutuhan dirinya sendiri walaupun tidak selalu bisa

melakukannya sendiri. dalam pengambilan keputusan terutama setelah menderita

sakit kanker serviks, pasien memerlukan anggota keluarga lain untuk diajak

(14)

berdiskusi dengan suami, namun kemudian keputusan tersebut dikembalikan lagi

kepada pasien.

Enviromental mastery adalah dimensi psychological well-being yang ke empat yang merupakan kemampuan individu dalam mengatur lingkungan untuk

memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan nilai dan kebutuhannya.

Menurut hasil wawancara dengan 8 orang pasien, sebanyak 5 orang pasien

(62,5%) menghayati selama pasien berada di rumah sakit, terkadang pasien

merasa bosan dan stress, pasien terkadnag merasakan waktu yang berjalan terasa

lama sekali. Untuk menghilangkan kebosanan dan stresnya pasien melakukan

aktifitas untuk membuat dirinya merasa nyaman yaitu dengan cara mengobrol

dengan teman-teman sesame pasien yang berada di sebelahnya, melakukan dzikir.

Sementara sebanyak 3 orang pasien (37,5%) menghayati dengan penyakit

yang sedang mereka derita ini mereka lebih memilih untuk tidur dan tidak

melakukan aktifitas lain, hanya berbaring. Jika merasa bosan, mereka memilih

untuk tidur dan terkadang mengobrol sebentar dengan keluarga mereka.

Dimensi psychological well-being ke lima adalah purpose in life yang

merupakan tujuan hidup, suatu perasaan memimpin kehidupan dan melihat

makna dalam kehidupan yang lalu dan kehidupan selanjutnya. Menurut hasil

wawancara dengan 8 orang pasien kanker serviks stadium lanjut, sebanyak 8

orang pasien (100%) mengatakan bahwa tujuan hidup mereka saat ini adalah

sembuh agar mereka bisa kembali ke keluarga dan dapat beraktifitas lagi seperti

biasanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, saat ini langkah awal yang mereka

(15)

proses pengobatan sebanyak 4 orang pasien (50%) ingin mengakhiri

pengobatannya dikarenakan ketidakmampuan kondisi ekonomi, merasa takut dan

tidak nyaman dengan proses pengobatan. Sementara sebanyak 4 orang pasien

(50%) menghayati bahwa dirinya akan berusaha untuk tetap melakukan

pengobatan dan memiliki keyakinan bahwa mereka dapat melawan penyakitnya.

Personal growth merupakan dimensi terakhir pada psychological well-being yaitu melihat diri seperti berkembang terus dan dengan cara demikian menyadari kemampuan personal. Meurut hasil wawancara dengan 8 orang pasien

kanker serviks stadium lanjut, sebanyak 4 orang pasien (50%) menghayati bahwa

penyakit kanker serviks yang dideritanya ini membuat dirinya berkembang

menjadi lebih sabar, berlapang dada, ikhlas. Pasien menganggap penyakit yang

dideritanya sebagai ujian dari Tuhan dan lebih mendekatkan diri ke Tuhan.

Sementara sebanyak 4 orang pasien (40%) mengahayati bahwa karena

penyakit kanker serviks yang dideritanya ini telah mengakibatkan terganggunya

kemampuan mereka sebagai seorang istri dan ibu. Mereka tidak bisa lagi

menjalankan tugas mereka dengan sempurna. Sementara sebanyak 1 dari 4 orang

pasien ini (0,25%) menghayati dirinya merasa malu dan malas untuk melakukan

kegiatan dan bersosialisasi dengan teman-temannya dan menjadi menutup dirinya.

Melalui hasil survey awal yang dilakukan dari 8 orang pasien kanker

serviks stadium lanjut, diketahui bahwa penyakit kanker serviks dapat

memunculkan respons psikologis yang dapat mempengaruhi kesejahteraan

pasikologis (psychological well-being) pasien. Untuk mengetahui dinamika dari

(16)

dalam penelitian ini adalah seorang ibu rumah tangga yang berinisial ibu T. Ibu T

berusia 38 tahun dan memiliki 2 orang anak. Dalam kesehariannya ibu T adalah

orang yang aktif dan melakukan berbagai aktifitas. Tetapi setelah ibu T

mengetahui bahwa dirinya menderita sakit kanker serviks kehidupannya menjadi

berubah. Semua aktifitas yang biasanya ibu T lakukan sekarang tidak dapat

dilakukannya lagi. Pada saat ibu T mengetahui bahwa dirinya menderita sakit

kanker serviks, perasaan ibu T menjadi tidak enak. Ibu T merasa sedih, merasa

takut kalau penyakit yang dideritanya ini penyakit berat, dan tidak menyangka

kalau dirinya mempunyai penyakit seperti ini (self-acceptance). Akibat penyakit

kanker serviks yang diderita oleh ibu T, membuat ibu T menjadi lebih sering

berada di rumah karena takut akan tercium bau oleh orang lain jika dirinya

berkumpul dengan orang lain (positive relation with others). Penyakit yang

dideritanya ini juga membuat ibu T menjadi sulit untuk mengatur kegiatan

sehari-harinya (environmental mastery) dan membuatnya menjadi merepotkan orang lain

karena dirinya tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk dirinya sendiri (autonomy).

Oleh karena itu tujuan hidup yang ingin ibu T capai adalah dirinya ingin sembuh

dan melakukan pengobatan (purpose in life). Untuk mengobati penyakitnya ibu T

banyak mendapatkan informasi mengenai pengobatan untuk menyembuhkan

penyakitnya (personal growth).

Berdasarkan fenomena yang terkait, penyakit kanker serviks dapat

memunculkan gejala-gejala psikologis pada diri pasien dan hal tersebut dapat

mempengaruhi kondisi psikologis dan kesejahteraan psikologis pasien, maka

(17)

well-being pada pasien kanker serviks stadium lanjut di rumah sakit “X” di Kota Bandung. Hal ini dikarenakan psychological well-being diperlukan oleh pasien

kanker serviks stadium lanjut agar pasien dapat menjalankan kehidupannya dan

memanfaatkan waktu sehari-harinya dengan kegiatan yang lebih produktif

sehingga hal ini dapat mengurangi perasaan takut, cemas, dan stres yang ada pada

diri pasien terkait dengan penyakitnya.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui gambaran dinamika dimensi

psychological well-being pada pasien kanker serviks stadium lanjut di Rumah Sakit “X” di Kota Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1Maksud

Memperoleh gambaran mengenai psychological well-being pada pasien

kanker serviks stadium lanjut di Rumah Sakit “X” di Kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui dinamika dimensi psychological well-being pada pasien

(18)

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoretis

Memberikan tambahan informasi mengenai psychological well-being

ke dalam bidang ilmu Psikologi Positif dan Psikologi Klinis.

 Memberikan informasi bagi peneliti lain yang tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai psychological well-being.

1.4.2 Kegunaan Praktis

 Memberikan informasi kepada dokter dan perawat mengenai

psychological well-being pasien kanker serviks stadium lanjut, agar dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk melakukan pendekatan

personal.

 Memberikan informasi kepada keluarga pasien penderita kanker

serviks mengenai gambaran psychological well-being pasien, agar

keluarga mengetahui bagaimana keadaan psychological well-being

pasien dan dapat mengetahui hal-hal apa saja yang perlu dilakukan

selama mendampingi pasien dalam menjalankan pengobatannya agar

dapat meningkatkan psychological well-being pasien.

1.5 Kerangka Pikir

Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh dari sel-sel serviks, yang dapat

berasal dari sel-sel di leher rahim tetapi dapat pula tumbuh dari sel-sel mulut

(19)

kanker serviks yang datang berobat ke rumah sakit berada pada tahap stadium

lanjut, sehingga hasil pengobatan kurang memuaskan sehingga angka kegagalan

pengobatan dan angka kematian menjadi tinggi. Hal ini dikarenakan penyakit

kanker serviks tidak menimbulkan gejala pada stadium awal. Gejala baru

dirasakan oleh penderitanya pada saat kanker serviks sudah memasuki stadium

lanjut.

Penyakit kanker serviks umumnya menyerang wanita pada rentang usia

antara 30 sampai 50 tahun. Pada periode tersebut individu sedang mengalami

perkembangan psychososial yang berupa membentuk hubungan intim, menikah,

menjadi orang tua, peran ganda dalam merawat anak-anak dan orang tua, dan

launching of children leaves empty nest (Papalia, 2007). Pasien kanker serviks stadium lanjut yang berada pada periode usia tersebut tentunya akan mengalami

hambatan dalam perkembangan psikososialnya, seperti terganggunya kemampuan

pasien dalam mengurus dan merawat rumah, suami, dan anak-anaknya.

Pasien yang mengetahui bahwa dirinya menderita penyakit kanker serviks

akan mengalami tekanan psikologis yang dapat menyebabkan masalah emosi

seperti stres, cemas, takut, depresi. Apabila emosi negatif tersebut tidak diatasi

maka akan mempengaruhi kesejahteraan psikologis pasien. Pasien akan merasa

tidak well-being dalam hidupnya sehingga ini akan mempengaruhi kondisi

kesehatan pasien. Seperti pasien menjadi tidak bersemangat dalam menjalankan

pengobatannya.

Dalam psikologi kesejahteraan psikologis dikenal dengan istilah

(20)

evaluasi hidup seseorang yang menggambarkan bagaimana cara seseorang

mempersepsi dirinya dalam menghadapi tantangan hidupnya (Ryff, 2002). Pasien

kanker serviks stadium lanjut dalam menghadapi tantangan hidupnya dengan

menggunakan usaha yang optimal seperti menjalankan pengobatan dengan penuh

semangat, memiliki motivasi yang kuat untuk sembuh dan akan merasa puas

dibandingkan dengan pasien kanker serviks stadium lanjut yang tidak

menggunakan usaha dengan optimal seperti kurangnya semangat, merasa sedih

yang berkepanjangan, dan kurangnya motivasi untuk sembuh. Menurut Ryff

seseorang yang berusaha untuk mencapai sesuatu dengan potensi terbaiknya untuk

memperbaiki dan meningkatkan keadaan hidupnya akan memiliki psychological

well-being yang tinggi (Ryff, 2005 dalam Febrianti 2011).

Ryff (2002) menggambarkan psychological well-being ke dalam enam

dimensi, yaitu self-acceptance, positive relations with others, autonomy,

environmental mastery, purpose in life, dan personal growth. Self-acceptance ditandai dengan individu merasa nyaman dengan diri sendiri bahkan ketika

menyadari keterbatasan diri sendiri. Pasien kanker serviks stadium lanjut yang

memiliki self-acceptance yang tinggi akan memiliki sikap positif terhadap diri

yang mengakui dan menerima beberapa aspek dari diri termasuk kualitas yang

baik dan buruk dan dapat melihat masa lalu dengan perasaan positif. Sementara

pasien kanker serviks stadium lanjut yang memiliki self-acceptance yang rendah

akan menunjukkan perasaan tidak puas dengan dirinya, merasa tidak nyaman

dengan apa yang telah terjadi dalam kehidupan masa lalunya, prihatin tentang

(21)

Positive relations with others ditandai dengan individu berusaha untuk mengembangkan dan mempertahankan hubungan interpersonal yang hangat dan

percaya terhadap orang lain. Pasien kanker serviks yang memiliki positive

relations with others yang tinggi akan mempunyai kehangatan, hubungan memuaskan dan percaya dengan orang lain, peduli tentang kesejahteraan orang

lain dan memiliki kapasitas untuk merasakan empati, afeksi, dan intimacy,

memahami konsep memberi dan menerima dalam hubungan manusia. Sementara

pasien kanker serviks stadium lanjut yang memiliki positive relations with others

yang rendah akan menunjukkan sedikit memiliki hubungan yang erat dan saling

percaya dengan orang lain, merasa sulit untuk menjadi hangat, terbuka dan

merasakan keprihatinan untuk kesejahteraan orang lain, merasa terisolasi dan

frustasi dengan hubungan sosial, tidak menginginkan komitmen penting dengan

orang lain.

Autonomy adalah kemampuan untuk mempertahankan individualitas dalam konteks sosial yang lebih luas, individu mencari penentuan nasib sendiri

dan otoritas pribadi. Pasien kanker serviks stadium lanjut yang memiliki

autonomy yang tinggi akan menunjukkan self-determined dan independent, mampu menahan tekanan sosial, bertindak dengan mengatur perilaku mereka dari

dalam diri, dan mengevaluasi diri menurut standar personal. Sementara pasien

kanker serviks yang memiliki autonomy yang rendah akan menunjukkan

kepedulian tentang harapan orang lain, bergantung pada penilaian orang lain

sebelum membuat keputusan penting, pikiran dan tindakannya dipengaruhi oleh

(22)

Environmental mastery adalah kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi dirinya. Pasien kanker

serviks stadium lanjut yang memiliki environmental mastery yang tinggi akan

merasa mampu untuk menguasai di lingkungan disekelilingnya, bisa

menggunakan peluang atau kesempatan yang muncul di lingkungan dengan

efektif dan dapat memilih atau menciptakan situasi yang tepat untuk kebutuhan

dirinya dan nilai-nilai pribadi. Sementara pasien kanker serviks stadium lanjut

yang memiliki environmental mastery yang rendah akan menunjukkan kesulitan

dalam mengelola urusan sehari-hari atau mengubah atau memperbaiki

lingkungannya dan kurangnya kontrol akan dunia disekitar mereka.

Purpose in life adalah kemampuan untuk menemukan makna dan untuk mengemukakan dan menentukan goal dalam hidup. Pasien kanker serviks stadium

lanjut yang memiliki purpose in life yang tinggi akan memiliki tujuan dan arah

dalam hidup, merasa bahwa kehidupan di masa lalu dan masa sekarang memiliki

arti, memegang keyakinan dan alasan untuk tujuan hidupnya. Sementara pasien

kanker serviks stadium lanjut yang memiliki purpose in life yang rendah akan

merasa hidup mereka tidak ada artinya dan tidak memiliki tujuan atau arah, tidak

dapat melihat beberapa point dalam pengalaman masa lalunya.

Personal growth adalah merujuk pada fungsi psikologis yang optimal, tidak hanya satu pencapaian karakteristik utama, tetapi juga sesuatu yang

berkelanjutan untuk mengembangkan kemampuan diri. Pasien kanker serviks

stadium lanjut yang memiliki personal growth yang tinggi akan menunjukkan

(23)

berkembang, terbuka untuk pengalaman baru, merasa memenuhi potensi, dapat

melihat perbaikan di dalam dirinya dan dalam perilakunya dari waktu ke waktu,

dan perubahan menuju cara-cara yang meningkatkan self-knowledge dan

effectiveness. Sementara pasien kanker serviks stadium lanjut yang memiliki personal growth yang rendah akan menunjukkan perasaan stagnasi dengan tidak ada perbaikan atau pertumbuhan selama periode waktu, merasa bosan dan

kurangnya minat dalam hidup, merasa tidak mampu mengembangkan sikap atau

perilaku baru.

Penghayatan pada setiap dimensi psychological well-being antara pasien

yang satu dengan pasien yang lainnya berbeda-beda. Perbedaan ini dipengaruhi

oleh faktor sosiodemografik dan personal traits. Faktor sosiodemografik terdiri

dari usia, status sosial ekonomi, pendidikan, ras, marital status, religiusitas, family

dan social support, dan pengetahuan mengenai penyakit. Ryff (2002) menemukan

hubungan yang kuat antara usia dengan dimensi psychological well-being.

Menurut Ryff (2006) dewasa awal hingga dewasa madya terjadi peningkatan pada

dimensi purpose in life dan personal growth dan terjadi penurunan pada dimensi

envirometal mastery dan autonomy. Hal ini dikarenakan dewasa awal merasa diri mereka seperti membuat kemajuan yang signifikan sejak mereka remaja dan

mempunyai ekspektasi besar untuk masa depan, jadi skor dalam pengukuran diri

mereka untuk dimensi purpose of life dan personal growth tinggi (Ryff, 1991

dalam Wells, 2010). Sementara pada dewasa madya hingga dewasa akhir terjadi

peningkatan pada dimensi environmental mastery dan autonomy dan terjadi

(24)

lanjut lebih berfokus pada coping positif dengan perubahan dan dewasa lanjut

lebih tertarik pada pendalaman dan ketajaman (Ryan & Deci, 2001). Pada dewasa

madya hingga dewasa lanjut, individu lebih berfokus pada perubahan yang terjadi

pada dirinya dan lebih banyak mengikuti kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.

Pada status ekonomi dan sosial menunjukkan bahwa dalam psychological

well-being yang tinggi terdapat pada dimensi purpose in life dan personal growth. Hal ini didapati pada individu yang memiliki status pekerjaan dan tingkat

pendidikan yang tinggi karena perbedaan pendidikan memberikan akses yang

berbeda pada sumber daya dan kesempatan pada kehidupan yang akhirnya

berpengaruh pada kesehatan dan well-being. Status sosial ekonomi yang tinggi

memungkinkan individu untuk dapat memiliki level pendidikan yang tinggi.

Melalui tingkat pendidikan yang tinggi, maka seseorang akan mendapatkan

kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan dirinya dan mendapatkan

pengalaman baru yang lebih banyak untuk mewujudkan tujuan hidupnya, salah

satunya mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik. Pekerjaan yang

lebih baik dan pendapatan yang besar dapat digunakan untuk mendapatkan

pelayanan kesehatan yang baik dan dapat membayar biaya-biaya tes kesehatan

yang cukup mahal.

Status sosiodemografik seperti etnis atau suku juga berpengaruh pada

psychological well-being karena terdapat keterkaitan antara nilai-nilai budaya yang dianut dengan dimensi psychological wel-being, seperti pada budaya Sunda

(25)

Ketika mereka dihadapkan pada satu masalah cenderung berdiam diri dan pasrah

menerima keadaan (Febrianti, 2011).

Status pernikahan juga menjadi prediktor bagi dimensi psychological

well-being yaitu pada dimensi self-acceptance dan purpose in life (Ryff, 1989). Individu yang menikah memiliki kesempatan untuk menyalurkan kebutuhan

psikologisnya seperti berbagi perasaan dan kesukaan, intimacy, dan dukungn

emosional sehingga hal ini akan membantu penerimaan diri individu terhadap

masalah yang dihadapi dalam hidupnya. Status pernikahan juga membuat tujuan

hidup individu menjadi lebih terarah karena adanya dukungan dan kerjasama dari

pasangannya untuk mewujudkan tujuan bersama dan saling mendukung.

Family dan social support juga dapat mempengaruhi psychological well-being. Dukungan keluarga dan lingkungan sekitar yang diberikan dapat berupa pemberian semangat, perhatian, penerimaan, materi, dan lain-lain. Ketika individu

berada pada kejadian yang tidak menyenangkan atau kesulitan di dalam hidupnya,

individu membutuhkan dukungan dari anggota keluarga dan orang-orang yang

berada di lingkungan sekitarnya untuk membantunya mengatasi kesulitan yang

dihadapinya sehingga individu tidak merasa sendirian dalam menghadapi kejadian

atau kesulitan dalam hidupnya. Ketika individu mengalami kesulitan, maka

dirinya akan tetap dapat bertahan dan dapat bersikap positif menghadapi kesulitan

tersebut dengan adanya dukungan dari keluarga dan lingkungan.

Faktor religiusitas juga dapat mempengaruhi psychological well-being.

Ketika individu dihadapkan pada suatu kejadian atau kesulitan yang tidak dapat

(26)

akan cenderung memasrahkan kondisinya pada Tuhan dan mengharapkan adanya

kekuasaan Tuhan yang dapat membantu dirinya untuk menghadapi setiap

kesulitan yang dihadapinya sehingga akan memunculkan keyakinan bahwa

dirinya dapat menghadapi kesulitan tersebut dan akan membuat diri individu

menjadi lebih tenang dalam menjalankan kehidupannya.

Faktor sosiodemografik lain yang dapat mempengaruhi psychological

well-being pasien kanker serviks stadium lanjut adalah pengetahuan mengenai penyakit yang dideritanya dan dampak serta keganasan dari penyakitnya tersebut.

Pasien kanker serviks stadium lanjut yang memiliki pengetahuan yang lebih

banyak mengenai dampak dan keganasaan dari penyakit yang diderita akan

menunjukkan reaksi emosi yang lebih tinggi, seperti derajat stres, cemas, takut

yang lebih tinggi dan dapat juga memungkinkan pasien menjadi depresi

dibandingkan pasien yang kurang memiliki informasi mengenai penyakit dan

dampak dari penyakitnya tersebut. Reaksi emosi yang negatif ini akan

mempengaruhi kesejahteraan psikologis pasien seperti pasien tidak dapat

menerima keadaan dirinya, menjadi tertutup, merasa hidupnya tidak bermakna

lagi, menjadi tidak bersemangat dalam hidup, kesulitan dalam mengatur

aktifitasnya sehari-hari.

Ryff (2002) juga menemukan personality traits berhubungan kuat dengan

dimensi psychological well being. Schmutte dan Ryff (1997) menemukan

neuroticism, extraversion, dan conscientiousness muncul sebagai prediktor kuat dan konsisten pada berbagai aspek well-being (terutama self-acceptance,

(27)

sebagai prediktor yang kuat (bersama dengan extraversion) pada dimensi personal

growth, sedangkan agreeableness diperkirakan berhubungan dengan positive relations with others. Autonomy diprediksi oleh beberapa traits, tetapi paling kuat oleh neuroticism (dalam Ryff, 2002).

Neuroticism adalah kecenderungan untuk mengalami emosi negatif, seperti marah, cemas, atau depresi. Individu yang mempunyai skor neuroticism

yang tinggi cenderung sulit untuk berpikir jernih, membuat keputusan, mengatasi

stres dengan efektif. Individu yang memiliki skor neuroticism yang rendah

cenderung tenang, emosi yang stabil, dan bebas dari perasaan yang negatif dan

lebih banyak merasakan perasaan positif. Pasien kanker serviks yang memiliki

skor neuroticism yang tinggi cenderung merasa cemas, marah, stres, sedih, dan

merasa kecewa karena penyakit yang sedang dideritanya dan ketidakmampuan

pasien dalam menjalankan tanggungjawabnya sebagai seorang istri dan seorang

ibu secara sempurna. Hal ini membuat mereka menjadi belum dapat menerima

keadaan diri mereka saat ini (self-acceptance yang cenderung rendah). Emosi

negatif yang dialami oleh pasien kanker serviks stadium lanjut membuat pasien

menjadi tidak bersemangat dan kesulitan untuk melakukan aktivitas dan merubah

keadaan lingkungan atau situasi yang tidak nyaman bagi dirinya, sehingga pasien

cenderung akan memilih untuk tidak melakukan aktivitas seperti lebih memilih

untuk diam atau tidur (environmental mastery yang cenderung rendah). Pasien

kanker serviks stadium lanjut juga cenderung akan merasa bahwa hidup mereka

(28)

dibuatnya akan tercapai, misalnya tidak yakin bahwa pengobatan mereka akan

berhasil (purpose in life yang cenderung rendah).

Extraversion ditandai dengan emosi positif, surgency, dan kecenderungan untuk mencari stimulasi. Individu yang skor extraversionnya tinggi cenderung

antusias, menikmati kebersamaan dengan orang-orang, dan penuh energi. Individu

yang skor extraversionnya rendah cenderung tampak tenang, low-key, deliberate,

dan kurang terlibat dalam dunia sosial. Pasien kanker serviks stadium lanjut yang

memiliki skor extraversion yang tinggi cenderung menghayati dirinya dapat

berinteraksi dengan orang lain, dapat mengekspresikan apa yang dirasakannya

kepada orang lain sehingga hal ini membuatnya merasa nyaman dan dapat

mengurangi rasa marah, sedih, dan stres pada dirinya yang diakibatkan karena

penyakit kanker yang dideritanya. Hal ini membuat pasien lebih bisa menerima

keadaan dirinya dan kekurangan dirinya (self-acceptance yang cenderung tinggi).

Pasien kanker serviks stadium lanjut juga akan melakukan aktivitas yang dapat

mengurangi rasa stres, bosan, dan perasaan yang tidak nyaman dalam dirinya,

misalnya dengan cara berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain

(environmental mastery yang cenderung tinggi). Pasien kanker serviks stadium

lanjut cenderung memiliki semangat dan memiliki keyakinan bahwa

rencana-rencana yang dibuatnya untuk mencapai tujuan dapat berhasil, misalnya tujuan

pasien kanker serviks adalah keluarga dan bekerja, tetapi karena penyakit yang

dideritanya saat ini membuat tujuannya menjadi terhambat. Hal ini membuat

pasien untuk mencapai tujuannya, pasien menjalankan pengobatan sebagai bentuk

(29)

pasien merasa bersemangat dan yakin kalau pengobatannya akan berhasil dan ia

dapat sembuh (purpose in life cenderung tinggi).

Conscientiousness adalah kecenderungan untuk menunjukkan disiplin diri, bertindak dengan patuh, dan bertujuan untuk pencapaian terhadap tindakan atau

harapan luar, menunjukkan rencana daripada perilaku spontan. Individu yang

memiliki skor conscientiousness yang tinggi cenderung lebih terorganisir.

Individu yang memiliki skor conscientiousness yang rendah cenderung

berhubungan dengan penundaan. Pasien kanker serviks yang memiliki skor

conscientiousness yang tinggi cenderung akan menunjukkan perilaku yang teratur dan disiplin terhadap aktivitas dilingkungannya mencapai tujuannya, misalnya

pasien yang menjalankan pegobatan agar pasien dapat sembuh dan dapat kembali

ke keluarga dan bekerja akan berusaha untuk disiplin mengikuti terapi atau

menjalankan pengobatan (environmental mastery cenderung tinggi). Pasien

kanker serviks stadium lanjut yang memiliki semangat, disiplin mengikuti terapi

atau menjalankan pengobatan akan cenderung memiliki keyakinan bahwa

pengobatannya akan berhasil, ia dapat sembuh dan dapat kembali ke keluarga dan

bekerja (purpose in life cenderung tinggi). Rasa semangat dan keyakinannya

untuk sembuh membuat pasien merasa positif untuk menerima keadaan dirinya

dan kekurangan dirinya (self-acceptance cenderung tinggi).

Openness to experiences melibatkan active imagination, kepekaan estetika, perhatian pada inner feelings, merujuk pada variasi, dan intellectual

(30)

pengalaman. Individu yang memiliki skor openness to experiences yang rendah

cenderung konvensional dan tradisional dalam pandangan dan perilaku mereka,

tertutup terhadap pengalaman, mempersiapkan rutinitas untuk pengalaman baru,

dan secara umum mempunyai jangkauan yang sempit pada ketertarikan. Pasien

kanker serviks stadium lanjut yang memiliki skor openness to experiences yang

tinggi akan cenderung memiliki ketertarikan untuk melakukan kegiatan yang

disukai dan cenderung terbuka terhadap lingkungan, sehingga hal ini membuat

pasien kanker serviks dapat menyadari potensi yang ada di dalam dirinya dan

melihat dirinya berkembang (personal growth cenderung tinggi).

Agreeableness adalah kecenderungan untuk mengasihi dan kooperatif terhadap orang lain. Individu yang memiliki skor agreeableness yang tinggi

cenderung menyenangkan dalam bergaul dengan orang lain, perhatian, ramah,

dermawan, membantu, dan bersedia untuk kompromi kepentingannya dengan

orang lain, memiliki kepercayaan bahwa individu pada dasarnya jujur, sopan, dan

dapat dipercaya. Individu yang memiliki skor agreeableness yang rendah

cenderung tidak perduli dengan kesejahteraan orang lain, curiga, tidak ramah, dan

tidak kooperatif. Pasien kanker serviks stadium lanjut yang memiliki skor

agreeable yang tinggi cenderung akan lebih senang berhubungan dengan orang lain, pasien menunjukkan sikap yang ramah, dan mempunyai rasa saling percaya

dalam berhubungan dengan orang lain (positive relations with others yang

cenderung tinggi). Namun karena rasa percayanya dalam hubungan dengan orang

(31)

diambilnya dengan mempertimbangkan atau mudah terpengaruh oleh orang

tersebut (autonomy yang cenderung rendah).

Dari uraian diatas dapat digambarkan melalui bagan kerangka pikir berikut

(32)

Bagan 1.1 Bagan kerangka pikir Pasien Kanker

Serviks Stadium Lanjut

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING Self-acceptance

Positive relations with others Autonomy

Enviromental mastery Purpose in live Personal Growth

Pesonality Traits (Big Five Personality) Neuroticism Extraversion Agreeableness Conscientiousnes Openness to experience

Faktor Sociodemografic

Usia, Status marital, Pendidikan, Ras,

Family dan social support, Religiusitas,

Status sosial ekonomi,

Pengetahuan mengenai penyakit,

Tinggi

(33)

1.6 Asumsi

Psychological well-being pasien kanker serviks stadium lanjut

digambarkan dari dimensi self-acceptance, positive relations with others,

autonomy, environmental mastery, purpose in life, dan personal growth.  Penghayatan pasien kanker serviks stadium lanjut pada setiap dimensi

dapat mempengaruhi dimensi psychological well-being lainnya dan dapat

memunculkan penghayatan yang berbeda disetiap dimensinya yang

(34)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini peneliti akan memaparkan kesimpulan dan saran berdasarkan

hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya.

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab

sebelumnya mengenai psychological well-being pada pasien kanker serviks stadium

lanjut di RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut :

1. Ibu T belum dapat menerima dirinya sepenuhnya terutama penerimaan diri

akan penyakit kanker serviks yang dideritanya yang menyebabkan

kemampuan dirinya menjad terganggu. Semenjak sakit ibu T tidak dapat lagi

melakukan aktifitas-aktifitasnya terutama aktifitasnya sebagai ibu rumah

tangga yang ibu T anggap sebagai kelebihan dirinya dan merupakan

kebanggaan dirinya karena bisa melakukan aktivitas tersebut. Hal ini

menunjukkan self-acceptance yang cenderung rendah.

2. Akibat keputihan yang dialami oleh ibu T karena sakit kanker serviks yang

(35)

akan tercium bau oleh orang lain. Tetapi dengan kondisi sakit yang sednag ibu

T alami saat ini, ibu T merasa puas dengan hubungan pertemanan yang

terjalin anatar ibu T dengan temannya. Hal ini dikarenakan walaupun ibu T

sedang berada salam keadaan sakit teman ibu T tersebut tidak lupa padanya

dan tetap mau berkomunikasi dan membantu ibu T. Hal ini menunjukkan

positive relations with others yang tinggi.

3. Ketika ibu T menghadapi masalah yang dirasakan sulit bagi dirinya maka ibu

T akan melakukan diskusi dengan suaminya. Tetapi pendapat dari suaminya

tersebut tidak secara langsung ibu T terima. Jika pendapat tersebut dirasakan

ibu T kurang baik maka ibu T akan mengusulkan pendapatnya. Hal ini

menunjukkan ibu T memiliki autonomy yang tinggi.

4. Dalam kesehariannya ibu T dapat mengatur semua aktifitasnya dengan baik.

Semenjak sakit semua aktifitasnya berhenti secara total dan aktifitas ibu T

dibantu oleh keluarganya. Jika perasaan ibu T sedang tidak enak maka ibu T

akan mengatasinya dengan cara berdoa. Hal ini menunjukkan bahwa ibu T

memiliki environmental mastery yang tinggi.

5. Saat ini yang menjadi tujuan hidup yang utama bagi ibu T adalah dirinya

dapat sembuh seperti dahulu sehingga dirinya dapat melakukan aktifitasnya

seperti dahulu dan bisa menyunati anaknya. Untuk itulah ibu T melakukan

pengobatan dan berdoa kepada Tuhan. Ibu T merasa yakin kalau tujuannya

(36)

6. Ibu T merasa dahulu dirinya mengalami perkembagan yang lumayan yaitu

dirinya dapat membantu perekonomian keluarganya dengan cara berjualan.

Ibu T juga dapat mencoba membuat resep-resep untuk meneningkatkan

keteramplan yang dimilikinya dan menambah variasi kue buatannya. Tetapi

semenjak sakit semuanya aktifitasnya tersebut berhenti total dan saat ini ibu T

sedang berusaha untuk mengobati penyakit. Untuk mengobati penyakitnya

tersebut ibu T banyak mendapatkan informasi dan saran dari tetangga dan

saudara-saudaranya. Hal ini menunjukkan ibu T memiliki personal growth

yang tinggi.

7. Gambaran dinamika dimensi-dimensi pada psychological well-being ibu T

dipengaruhi oleh faktor sociodemografic seperti social support, religiusitas,

status sosial ekonomi, dan suku bangsa dan faktor personality trait seperti

extraversion, conscientiousness, aggreblenes.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretis

1. Bagi para peneliti selanjutnya perlu dipertimbangkan untuk melakukan

penelitian korelasional antara psychological well-being dengan faktor

religiusitas, suku bangsa, social support, dan personality trait. Hal ini

dimaksudakan agar terlihat jelas hubungan antara faktor-faktor tersebut

(37)

2. Bagi para peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai psychological well-being pada pasien kanker serviks dapat

mempertimbangkan untuk melakukan penelitian mengenai psychological

well-being pada pasien kanker serviks pasca kemoterapi dan tidak mempertimbangkan stadium. Hal ini dimaksudkan karena jika pasien telah

memasuki stadium lanjut maka persentasi keberhasilan terapi juga akan

semakin berkurang.

5.2.2 Saran Praktis

1. Hasil penelitian ini dapat menjadi gambaran bagi keluarga pasien kanker

serviks stadium lanjut mengenai psychological well-being pasien kanker

serviks stadium lanjut sehingga keluarga dapat membantu pasien untuk dapat

menerima penyakitnya dengan cara terus memberikan semangat dan

pengertian akan konsekuensi dari penyakit yang dideritanya tersebut.

2. Bagi para dokter dan perawat hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran

mengenai psychological well-being pasien kanker serviks stadium lanjut

sehingga para dokter dan perawat dapat melakukan pendekatan secara

personal terhadap pasien dan membantu keluarga dalam hal memberikan

(38)

3. Untuk RSUP.Dr.Hasan Sadikin Bandung dapat mempertimbangkan untuk

mengadakan seminar yang berkaitan dengan penyakit kanker serviks dan

hubungannya dengan psychological well-being sehingga masyarakat dapat

mengetahui tentang penyakit kanker serviks dan bagaimana dapat

(39)

DAFTAR PUSTAKA

Creswell, J. W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design. Choosing Among Five Traditions. United States of America : SAGE.

Graziano, A.M. dan Raulin, M.L. 2000. A Process of Inquiry, Research Methods 4rd edition. United States of America : Allyn and Bacon.

McCrae, R. R., & Costa, P. T., Jr. (1997). Personality trait structure as a human universal. American Psychologist. Vol. 52, 509-516.

McCrae, R. R., & John, O.P. (1992). An introduction to the five-factor model and its application. Journal of Personality: 60, 175-215.

Nurwijaya, Andrijono. Hartati., dan Suheimi. 2010. Cegah dan Deteksi Dini Kanker Serviks. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.

Papalia, D.E. Sterns, H.L. Feldman, R.D. dan Camp, C.J. 2007. Adult Development and Aging 3rd edition. New York : McGraw-Hill.

Ryan, R.M. dan Deci, E.L. 2001. On Happiness and Human Potentials : A Review of Research on Hedonic and Eudaimonic Well-Being, 52: 141-166.

Ryff, C.D. 1989. Happiness is everything, or is it? Exploration on the meaning of psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57, 1069-1081.

Ryff, C.D., & Keyes, C.L.M. 1995. The structure of psychological well-being revisited. Journal of personality and Social Psychology, 69, 719-727.

Ryff, C.D., & Keyes, C.L.M., Shmotkin, D. 2002. Optimizing well-being : The empirical encounter of two tradition. Journal of Personality and Social psychology, 82. 1007-102.

Ryff, C.D., & Singer, B. 2006. Know theyself and become what you are : Eudaimonic approach to psychological well-being. Journal of Happiness Studies, 9, 13-39.

Strauss, Anselm & Corbin, Juliet. 1990. Basics of Qualitative Research : Grounded Theory Procedures and Techniques. USA : SAGE

(40)

Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : CV. Alfabeta.

Williams, D.G. 1988. Gender, Marriage, and Psychosocial Well-Being. Journal of Family Issues, 9, 452-467.

Wells, I.E. 2010. Psychological Well-Being, Assessment tools and Related Factors. Psychological Well-Being. New York : Nova

(41)

DAFTAR RUJUKAN

Febrianti, Widuri I. 2011. Studi deskriptif Mengenai Profile Psychological Well-being Pada Mantan Pengguna Narkoba Usia Dewasa Awal Yang Berada

Pada Tahap Aftercare Di Panti Rehabilitasi “X” Kota Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Jessica. 2011. Studi Kasus Mengenai Profil Psychological Well-Being Pada Anak

Yatim Piatu di Panti Asuhan Putra “X” Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

http://kesehatan.kompas.com/read/2008/08/23/07285149/52.Juta.Perempuan.Indo nesia.Berisiko.Kanker.Serviks

http://kesehatan.kompas.com/read/2009/03/27/13235013/13.Fakta.Kanker.Serviks .1.

http://kesehatan.kompas.com/read/2009/07/24/17584935/Waspadalah.45.Kasus.K anker.Serviks.per.Hari

http://kesehatan.kompas.com/read/2010/01/25/12525540/Informasi.Akurat.Kanke r.Serviks.Belum.Meluas.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan pada perhitungan nilai LFG dengan formula Counahan-Barratt pada tabel III didapatkan dua puluh enam kasus penurunan fungsi ginjal yang perlu peninjauan ulang

Berdasarkan permasalahan yang ada yaitu beban kerja petugas assembling dan koding rawat inap di RSUD Ungaran cukup tinggi dan petugas assembling dan koding yang

Berdasarkan peta ancaman, daerah yang dianggap tidak layak adalah daerah yang memiliki tingkat ancaman sangat tinggi dan tinggi (Gambar 3), sehingga secara umum badak sumatera di

Alasan lainnya yang menguatkan penyelesaian duplikasi (overlapping) klaim di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di Laut Sulawesi melalui jalur MI ini

Penelitian budaya kosmopolitanisme dalam praktik jual beli di pasar terapung pada Kalimantan Selatan ini menjadi unik bagaimana pedagang di pasar terapung dalam

Gambar 1 merupakan struktur apilikasi multimedia pembelajaran jamur tiram, aplikasi multimedia ini dimulai dengan tampilan awal berupa layar menu utama, yang

Hal ini yang menjadi latar belakang dilakukannya penelitian yang bejudul “PERANCANGAN ALAT PENGENDALI LAMPU DAN GERBANG TANPA KEBEL MENGGUNAKAN NEUROSKY MINDWAVE HEADSET

Hariandja, 2005, Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi, Cetakan ke VII PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta.. Hasibuan, Syaiful 2007, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi