PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI
MODEL PEMBELAJARAN DEEPER LEARNING CYCLE (DELC)
TESIS
Diajukan untuk Memeuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika
Oleh : Sofwan Hidayat
1308093
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITSS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI
MODEL PEMBELAJARAN DEEPER LEARNING CYCLE (DELC)
Oleh :
Sofwan Hidayat, M.Pd
Sebuah tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd) pada Program Studi Pendidikan Matematika
C Sofwan Hidayat 2015 Universitas Pendidikan Indonesia
Agustus 2015
Hak Cipta dilindungi undang-undang
LEMBAR PENGESAHAN
PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI
MODEL PEMBELAJARAN DEEPER LEARNING CYCLE (DELC)
Oleh : Sofwan Hidayat
1308093
Disetujui dan Disahkan Oleh : Pembimbing
Drs. Turmudi, M.Ed., M.Sc., Ph.D.
Mengetahui:
Ketua Depatemen Program S2/S3 Pendidikan Matematika
ABSTRACT
SofwanHidayat. (1308093). The Improvement of Students’ Communication Skill and Mathematical Disposition of junior High School Through Learning Model of Deeper Learning Cycle (DELC)
This study aims to assess the improvement of communication skill and
students’ mathematical disposition through learning model of Deeper Learning
Cycle (DELC). The study design used in the study is a quasi-experiment. The population in the study is all students in grade 8 at one junior high school in Bandung district, by taking two classes as the sample using purposive sampling technique of the 10 classes. As for the sample as many as 35 students of experimental class and 35 students of control class. Experimental class deserve the learning by following the model of Deeper Learning Cycle, and control class following the model of expository. The instrument used in the study is pre-test and post-test for students’ communication skill and mathematical disposition. To see
the improvement of students’ communication skill and mathematical disposition
among experimental class and control class, it is used independent sample t-test and Mann Whitney with significance level 0.05, after testing pre-Requisite are met. The result of the study is analyzed using Microsoft Excel 2007, and SPSS 22 version, meanwhile qualitative data analysis is conducted descriptively. The result
of the study shows that the Achievement and the improvement of students’
communication of mathematical skill and the achievement of student’s mathematical disposition that follow the learning model of Deeper Learning Cycle (DELC) is better than control class. There is a moderate association between
students’ achievement of the post-test communication skill and students’ mathematical disposition. Analysis of scale data for students who has Deeper Learning Cycle (DELC) has a positive response.
ABSTRAK
Sofwan Hidayat. (1308093). Peningkatan Kemampuan Komunikasi Dan Disposisi Matematis Siswa SMP Melalui Model Pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peningkatan kemampuan komunikasi dan disposisi matematis siswa SMP melalui model pembelajaran
Deeper Learning Cycle (DELC). Desain penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII di salah satu SMP Negeri di Kabupaten Bandung, dengan mengambil dua kelas sebagai sampel menggunakan teknik purposive sampling dari 10 kelas yang tersedia. Adapun sampelnya, yaitu sebanyak 35 siswa kelas eksperimen dan 35 siswa kelas kontrol. Kelas eksperimen memperoleh pembelajaran dengan mengikuti model
Deeper Learning Cycle (DELC) dan kelas kontrol mengikuti model ekspositori. instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pretes dan postes untuk kemampuan komunikasi dan disposisi matematis siswa. Untuk melihat peningkatan kemampuan komunikasi dan disposisi matematis siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol, digunakan independent sample t-test, dan Mann-Whitney dengan taraf signifikansi 0,05, setelah prasyarat pengujian terpenuhi. Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 22,sedangkan analisis data kualitatif dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencapaian dan peningkatan kemampuan komunikasi matematis serta pencapaian disposisi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran model Deeper Learning Cycle (DELC) lebih baik dari kelas kontrol. Terdapat asosiasi yang sedang antara pencapaian postes kemampuan komunikasi dan disposisi matematis siswa. Analisis data skala sikap disposisi matematis menunjukkan bahwa secara umum siswa memiliki respon positif dengan mengikuti model pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC).
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN
PERNYATAAN... i
ABSTRAK... ii
KATA PENGANTAR... iv
UCAPAN TERIMAKASIH... v
DATAR ISI... vii
DAFTAR TABEL... ix
DAFTAR GAMBAR... xi
DAFTAR LAMPIRAN... xii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... B. Rumusan Masalah... C. Tujuan Penelitian... D. Manfaat Penelitian... E. Definisi Operasional... 1 12 12 13 13 BAB II KAJIAN PUSTAKA... 15
A. Kemampuan Kominikasi Matematis... B. Disposisi Matematis... C. Model Pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC)... D. Model Ekspositori... E. Penelitian yang Relevan... F.Hipotesis Penelitian...
BAB III METODE PENELITIAN... 36
A. Desain Penelitian... B. Populasi dan Sampel... C.Variabel Penelitian... D. Instrumen Penelitian... 1. Instrumen Tes Kemampuan Komunikasi Matematis... 2. Instrumen Non Tes...
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 63
A. Hasil Penelitian
1. Analisis Statistik Deskriptif Data Kemampuan Komunikasi Matematis... 2. Disposisi Matematis... B. Pembahasan Hasil Penelitian... 1. Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa... 2. Disposisi Matematis...
DAFTAR TABEL Pedoman Penilaian Kemampuan Komunikasi Matematis... Klasifikasi Koefisien validitas... Hasil Uji Validitas soal Kemampuan Komunikasi Matematis... Koefisien Reliabilitas... Klasifikasi Daya Pembeda... Hasil Uji Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Komunikasi... Kriteria Indeks Kesukaran... Rencana Kerja Penelitian Tahun 2015... Statistik Deskriptif Kemampuan Komunikasi Matematis... Hasil Uji Normalitas Data Kemampuan Komunikasi Matematis... Hasil Uji Perbedaan Skor Pretes Kemampuan Komunikasi
Matematis... Hasil Uji Perbedaan Skor Postes Kemampuan Komunikasi
Matematis... Hasil Uji Perbedaan Skor N-Gain Kemampuan Komunikasi
Matematis... Rangkuman Deskripsi Skor Disposisi Matematis Siswa... Data Hasil Uji Normalitas N-Gain...
DataHasil Uji Homogenitas Varians Nilai N-Gain...
Hasil Uji Perbedaan Rata-Rata Skor Postes Disposisi...
Data Hasil Uji Korelasi Spearman’s Postes Kelas Eksperimen...
Data Hasil Uji Korelasi Spearman’s Postes Kelas Kontrol... Rangkuman Rata-Rata Hasil Pengujian Hipotesis Pada Taraf Signifikansi 5%... Hasil Uji Perbedaan Skor Postes Kemampuan Komunikasi Matematis Pemeriksa 1 dan Pemeriksa 2... Data Hasil Uji Korelasi Spearman’s Postes Kemampuan Komunikasi Matematis Pemeriksa 1 dan Pemeriksa 2 Kelas Eksperimen... Hasil Uji Perbedaan Skor Postes Kemampuan Komunikasi Matematis Pemeriksa 1 dan Pemeriksa 2 Kelas Kontrol... Data Hasil Uji Korelasi Spearman’s Postes Kemampuan Komunikasi Matematis Pemeriksa 1 dan Pemeriksa 2 Kelas Kontrol... Hasil Analisis Pendapat Siswa... Hasil Analisis Persentase Skor Postes Disposisi Tiap Indikator...
4.19
4.20
4.21
Data Hasil Pengamatan Aktivitas Guru Selama Pembelajaran dengan Model Pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC)...... Data Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa Selama Pembelajaran
Dengan Model Pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC)...
Profil Keadaan Siswa Kelas Esperimen dan Kelas Kontrol... 86
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
3.1 4.1
4.2
4.3
4.4
4.5 4.6 4.7 4.8 4.9
Prosedur Penelitian... Perbandingan Rata-Rata Skor Pretes dan Postes Kemampuan Komunikasi Matematis... Perbandingan Rata-Rata Nilai N-Gain Kemampuan Komunikasi Matematis...
Perbandingan Rata-Rata Skor Skala Disposisi Matematis
Pretes dan Postes... Persentase Skor Postes Disposisi Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol... Grafik Perkembangan Aktivitas Siswa... Siswa Mempresentasikan Hasil Kerja Kelompok 1... Siswa Mempresentasikan Hasil Kerja Kelompok 2... Aktivitas Diskusi Kelompok untuk menyelesaikan LAS 1... Aktivitas Diskusi Kelompok untuk menyelesaikan LAS 2...
50
64
65
71
DAFTAR LAMPIRAN
Kisi-kisi dan Soal Tes Kemampuan Komunikasi matematis...
Kisi-kisi dan Skala Sikap...
Pedoman Observasi Aktivitas Guru dan Siswa...
121
Data Hasil Uji Coba Soal kemampuan Komunikasi Matematis...
Hasil Uji Validitas Soal Kemampuan Komunikasi Matematis...
Hasil Uji Reliabilitas Soal Kemampuan Komunikasi Matematis...
Daya Pembeda Soal Kemampuan Komunikasi Matematis...
Indeks Kesukaran Kemampuan Komunikasi Matematis...
202
Data Pengolahan Angket Disposisi Postes Kelas Eksperimen
Perhitungan Pretes, Postes, dan N-Gain Kemampuan Komunikasi
Matematis...
Analisis Data Disposisi Matematis...
Data Nilai Disposisi Matematis Siswa Setelah Ditransfer
LAMPIRAN A
Lampiran A.1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Lampiran A.2 Lembar Aktivitas Siswa
Lampiran A.3 Kisi-kisi dan Soal Tes Kemampuan Komunikasi matematis
Lampiran A.4 Kisi-kisi dan Skala Sikap
LAMPIRAN B
Lampiran B.1 Data Hasil Uji Coba Soal kemampuan Komunikasi
Matematis
Lampiran B.2 Hasil Uji Validitas Soal Kemampuan Komunikasi
Matematis
Lampiran B.3 Hasil Uji Reliabilitas Soal Kemampuan Komunikasi
Matematis
Lampiran B.4 Daya Pembeda Soal Kemampuan Komunikasi Matematis
LAMPIRAN C
Lampiran C.1 Data Skor Pretes, Postes, dan N-Gain Kemampuan
Komunikasi Matematis Kelas Eksperimen
Lampiran C.2 Skala Sikap Disposisi
Lampiran C.3 Data Pengolahan Angket Disposisi Postes Kelas
Eksperimen
Lampiran C.4 Perhitungan Pretes, Postes, dan N-Gain Kemampuan
Komunikasi Matematis
Lampiran C.5 Analisis Data Disposisi Matematis
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Inti dari proses pendidikan secara formal adalah proses pembelajaran yang
dilakukan di dalam kelas maupun di luar kelas. Untuk membentuk siswa yang
unggul perlu dilakukan proses pembelajaran yang terus menerus dan
berkesinambungan. Upaya untuk memperbaiki proses pembelajaran perlu
dilakukan oleh semua guru agar tercipta suatu proses pembelajaran yang
bermakna bagi siswa. Seorang siswa harus mampu menggunakan ilmu
pengetahuan yang didapat di sekolah untuk membantu mempermudah
menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari. Potensi siswa harus
dikembangkan sesuai dengan minat dan kemampuannya.
Guru akan selalu mengarahkan siswanya dan membantu memecahkan
masalahnya. Guru akan menjadikan siswanya sebagai subjek pembelajaran di
dalam kelas sehingga proses pembelajaran akan berpusat pada siswa (students
oriented) bukan pada guru (teachers oriented).
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang membutuhkan
keterampilan yang khusus. Begitu mendengar kata matematika yang terbayang di
benak siswa adalah sekumpulan angka-angka yang harus dihitung dengan
menggunakan algoritma yang rumit. Memberikan motivasi kepada siswa mutlak
harus dilakukan terus menerus agar siswa selalu bersemangat dalam mempelajari
matematika
Pelajaran matematika merupakan pelajaran yang dipandang cukup
menyulitkan siswa oleh sebab itu perlu adanya kerjasama dari semua kalangan
baik guru, siswa, pimpinan sekolah maupun orang tua siswa, semua harus
mempunyai pandangan yang sama. Wahyudin (2008), mengatakan bahwa semua
pihak yang berkepentingan mesti bekerja sama untuk menciptakan ruang-ruang
kelas matematika dimana para siswa dengan latar belakang dan kemampuan yang
berlainan bekerja bersama para guru yang terampil, mempelajari gagasan-gagasan
Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik
mulai dari sekolah dasar, untuk membekali peserta didik dengan kemampuan
berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, inovatif dan mampu bekerjasama.
Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan
memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk hidup lebih baik
pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan sangat kompetitif.
Matematika merupakan pelajaran yang dapat menumbuhkembangkan
berbagai kemampuan siswa. Kemampuan siswa untuk menemukan suatu srtuktur,
pola, atau konsep matematika pada suatu materi pelajaran dapat meningkatkan
kemampuan yang lain. Kemampuan mengkomunikasikan suatu ide atau gagasan
dengan baik akan mempengaruhi ketercapaian suatu proses pembelajaran.
Ada berbagai alasan tentang pentingnya penekanan kemampuan komunikasi
matematis menurut Mudrikah (2013), antara lain : a) adanya interaksi dengan
siswa lain yang menjadikan kesempatan bagi para siswa untuk saling menukarkan
dan merefleksikan berbagai gagasan: b) adanya materi tentang mengubah
pengukuran untuk beragam statistika dan berbagai jenis contoh geometri.
Kemampuan komunikasi dan disposisi matematis merupakan suatu
kemampuan yang cukup esensial pada pembelajaran matematika yang harus
dikembangkan pada siswa sekolah menengah. Pentingnya kemampuan
komunikasi dan disposisi matematis termuat dalam tujuan pembelajaran
matematika.
Tujuan umum pembelajaran matematika dalam Permendiknas No.22 Tahun
2006 agar peserta didik dapat :
1. Mengkomunikasikan gagasan, penalaran serta mampu menyusun bukti
matematika dengan menggunakan kalimat lengkap, simbol, tabel, diagram,
atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
2. Memilki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika,
3. Memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dalam matematika
dan pembelajarannya, seperti taat azas, konsisten, menjunjung tinggi
kesepakatan, toleran, menghargai pendapat orang lain, santun, demokrasi, ulet,
tangguh, kreatif, menghargai kesemestaan (konteks, lingkungan), kerjasama,
adil, jujur, teliti, cermat, bersikap luwes dan terbuka, memiliki kemauan
berbagi rasa dengan orang lain.
Hal yang sama dikemukakan juga oleh Sumarmo (2004), secara garis besar,
kemampuan dasar matematika dapat diklasifikasikan dalam lima jenis
kemampuan : 1) mengenal, memahami dan menerapkan konsep, prosedur, prinsip
dan idea matematika; 2) menyelesaikan masalah matematik (mathematical
problem solving); 3) bernalar matematik (mathematical reasoning); 4) melakukan
koneksi matematik (mathematical connection); dan 5) komunikasi matematik
(mathemmatical communication).
Banyak siswa yang cerdas tetapi prestasi belajarnya kurang memuaskan.
Keadaan sepereti ini harus menjadi perhatian semua kalangan, sehingga diperoleh
cara terbaik untuk mengoptimalkan kemampuan siswa. Salah satu cara untuk
mencari penyebab kurang optimalnya kemampuan siswa dengan cara melakukan
investigasi mengapa perestasi belajar siswanya kurang memuaskan.
Dalam mengajarkan matematika seorang guru perlu memahami taraf
perkembangan kognitif anak. Piaget (Solso,Maclin, 2008), mengatakan bahwa
perkembangan mental anak menempuh empat tahapan yang berbeda secara
kualitatif yaitu 1) periode sensorimotor (sejak kelahiran hingga usia 2 tahun); 2)
periode pra-operasional (usia 2-7 tahun); 3) periode operasional konkret (usia
7-11 tahun); dan 4) periode operasional- formal (masa remaja dan dewasa).
Penelitian Piaget mengungkapkan bahwa meski urutan tahap-tahap tersebut tetap,
tetapi kecepatan perkembangan anak menempuh tahap-tahap ini ternyata
berlainan untuk tiap individu.
Dalam memberikan materi pelajaran proses pembelajaran harus disesuaikan
dengan tahap perkembangan anak. Anak merupakan sebuah pribadi yang unik
yang memiliki karakteristik yang berbeda dimana perlakuannya harus disesuakan
perkembangan anak dari waktu ke waktu di sekolah sehingga tercipta suatu
komunikasi yang baik antara siswa dengan guru. Seorang siswa akan merasa
nyaman melakukan proses pembelajaran di dalam kelas apabila seorang guru
melakukan komunikasi dan pendekatan yang baik dengan siswa.
Komunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan dalam proses
pembelajaran baik itu antara sesama guru, antara sesama siswa atau guru dengan
siswa. Guru yang bisa berkomunikasi dengan baik akan menciptakan suasana
yang menyenangkan di dalam kelas sehingga peran guru sebagai seorang
fasilitator benar-benar dapat diwujudkan. Proses komunikasi membantu
membangun kebermaknaan pada pembelajaran. Ketika siswa ditantang untuk
mengkomunkasikan hasil pikiran secara lisan atau tulisan, pada dasarnya mereka
sedang belajar untuk menjelaskan dan meyakinkan mengenai konsep matematika.
Komunikasi matematis merupakan suatu kemampuan yang harus digali oleh
guru agar siswa mampu memberikan suatu informasi yang padat, singkat dan
akurat melalui nilai-nilai yang dibahasakan. Matematika merupakan suatu ilmu
yang banyak diterapkan dalam bidang ilmu yang lain, oleh sebab itu siswa perlu
dihadapkan pada berbagai situasi nyata untuk memberikan kesempatan
mengkomunikasikan gagasannya.
Menurut Greenes dan Schulman (1996), bahwa komunikasi matematis itu
penting untuk dikembangkan, karena komunikasi matematis itu merupakan : 1)
kekuatan yang sentral bagi siswa dalam merumuskan suatu konsep dan strategi
matematik, 2) merupakan modal keberhasilan bagi siswa terhadap penyelesaian
dalam eksplorasi dan investigasi matematik; 3) tempat bagi siswa dalam
berkomunikasi dengan temannya untuk mendapatkan informasi, berbagi pikiran
dan meyakinkan orang lain.
Kemampuan komunikasi matematis merupakan suatu syarat yang harus
dimiliki oleh para siswa. Hal ini menjadikan siswa mengalami kesulitan dalam
memahami bahasa matematika. Siswa tidak bisa membuat model matematika
yang tersaji dalam berbagai permasalahan matematika. Biasanya siswa sangat
kurang memahami untuk melakukan pemodelan dalam memecahkan masalah
matematika.
Betapa pentingnya komunikasi dalam pembelajaran matematika seperti
dipaparkan oleh Qohar (2013), bahwa pada dasarnya matematika merupakan
bahasa simbol yang penting yang seharusnya dipelajari oleh setiap sekolah. Siwa
yang belajar matematika harus mempunyai kemampuan komunikasi dengan
menggunakan simbol matematika.
Kemampuan komunikasi matematis siswa harus lebih ditingkatkan. Hal ini
dapat dilihat dari hasil penelitian Rohmat (2014), tentang kemampuan komunikasi
matematis siswa dikemukakan bahwa dengan ketuntasan belajar 70% maka untuk
kualifikasi sekolah dengan akreditasi sangat baik, pada kelas eksperimen 17 orang
(46%) dinyatakan tuntas dan sisanya 20 orang (54%) tidak tuntas sedangkan pada
kelas kontrol semua siswa (100%) tidak tuntas. Nilai siswa yang sangat kurang
terdapat pada indikator menjelaskan persoalan dengan bahasa sendiri dimana dari
skor maksimal 4 hanya 4 orang (11%) siswa yang mendapat skor lebih dari 2 dan
sisanya 33 (89%) skornya di bawah 2. Selanjutnya dalam penelitian Haryanto
(2013) tentang kemampuan komunikasi matematis untuk indikator menyatakan
situasi dengan gambar atau grafik dan menggunakan informasi dari gambar untuk
menyelesaikan masalah sebanyak 8 orang (40%) belum tuntas dan 12 orang
(60%) tuntas. Indikator yang masih belum maksimal adalah mengubah soal cerita
kedalam model matematika. Dengan melihat penelitian yang dilakukan oleh
Rohmat dan Haryanto bahwa terdapat indikator-indikator dimana siswa belum
mampu untuk menyelesaikannya oleh sebab itu maka penelitian yang akan
dilakukan difokuskan kepada indikator dimana siswa belum mampu
memahaminya dengan baik.
Disamping kemampuan komunikasi matematika yang harus dimiliki siswa,
peran seorang guru sangat menentukan bagi tercapainya hasil pembelajaran, hal
ini sesuai dengan pendapat Anne (2009), bahwa sikap guru terhadap murid
adalah faktor utama untuk mencapai keberhasilan. Guru harus meyakinkan siswa
bahwa keberhasilan merupakan sesuatu yang mungkin. Ketika murid yakin bahwa
yakin bahwa keberhasilan itu mungkin, maka tidak peduli seberapa cerdasnya
murid atau seberapa mudahnya bahan ajaran, murid-murid tidak akan berupaya.
Kesuksesan individu sangat ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan.
Kebiasaan-kebiasaan positif yang dilakukan secara konsisten berpotensi dapat
membentuk kemampuan-kemampuan positif.
Belajar matematika tidak hanya mengembangkan ranah kognitif. Untuk
menyelesaikan masalah matematika diperlukan keuletan, rasa percaya diri, tidak
mudah menyerah, rasa ingin tahu yang tinggi dan bisa berbagi pendapat dengan
orang lain. Dalam matematika hal tersebut dinamakan disposisi matematis.
Disposisi matematis merupakan kelanjutan dari kemandirian belajar, karena
berawal dari kemandirian belajar terbentuklah kecenderungan kuat untuk belajar
yang diistilahkan dengan disposisi (Sumarno,2011). Disposisi matematis juga
merupakan salah satu faktor yang menentukan hasil belajar dan kemampuan yang
dimiliki siswa dalam matematika. Alghadari (2013), mengatakan bahwa disposisi
matematis berkaitan dengan sikap siswa dalam belajar matematika dan
menyelesaikan masalah. Disposisi ditujukan kepada kebiasaan siswa untuk
bertanya, menjawab pertanyaan, mengkomunikasikan ide matematis, bekerja
dalam kelompok, dan menyelesaikan masalah.
Untuk mengetahui disposisi matematis siswa menurut Mudrikah (2013),
seorang guru harus memfokuskan perhatian pada performa siswa ketika berada
pada kondisi menantang yang menuntut penalaran, pemahaman secara mendalam,
ketekunan, kreativitas, dan keahlian untuk memecahkan suatu permasalahan yang
kompleks. Hal yang menarik perhatian ketika kita melihat bahwa bukan seberapa
banyak siswa mengetahui jawaban yang benar tetapi usaha apa yang harus
dilakukan apabila mereka tidak mengetahui jawaban dari permasalahan. Dalam
hal ini kemampuan untuk memecahkan suatu permasalahan menjadi suatu hal
yang sangat dibutuhkan.
Dalam disertasinya Permana (2010), mengemukakan bahwa disposisi
matematis merupakan salah satu faktor yang ikut dipandang menentukan
keberhasilan belajar siswa. Siswa memerlukan disposisi yang akan menjadikan
jawab terhadap belajar mereka sendiri, dan untuk mengembangkan kebiasaan
matematika.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati (2014), pada indikator rasa
percaya diri dan tekun mengerjakan tugas matematika hanya 19 orang (50%) yang
menunjukkan disposisi yang positif sedangkan sisanya 19 orang (50%)
menunjukkan disposisi yang negatif. Sedangkan dari penelitian yang dilakukan
oleh Sugilar (2012), diperoleh data untuk indikator merefleksikan hasil kerja
dengan pikirannya sendiri dan berusaha mengaplikasikan matematika pada situasi
lain terdapat 11 orang (31%) yang menunjukkan disposisi negatif sedangkan 24
orang (69%) menunjukkan disposisi positif. Tentu saja hal ini menjadi masalah
yang harus dicari penyelesaiannya karena kemampuan disposisi matematis yang
baik akan menciptakan suasana yang gembira, menyenangkan dan penuh suka cita
dalam proses pembelajarannya. Dengan melihat hasil penelitian tersebut maka
untuk penelitian yang dilakukan akan difokuskan kepada indikator yang
pencapaiannya masih kurang.
Dengan melihat hasil penelitian tersebut maka untuk penelitian yang
dilakukan akan difokuskan kepada indikator yang masih belum dikuasai oleh
siswa. Tentu saja hal ini menjadi masalah yang harus dicari penyelesaiannya
karena kemampuan disposisi matematis yang baik akan menciptakan suasana
yang gembira, menyenangkan dan penuh suka cita dalam proses pembelajarannya.
Maxwell (2001), mengatakan bahwa disposisi dapat dikembangkan kepada
siswa dengan memberikan pengalaman belajar matematika yang kaya dan
bermanfaat. Apabila guru menikmati proses pembelajaran hal ini akan
menumbuhkan disposisi belajar yang positif terhadap pembelajaran matematika
karena disposisi erat kaitannya dengan kepercayaan, sikap dan nilai-nilai.
Menurut NCTM (1989), disposisi matematik adalah 1) percaya diri dalam
menggunakan matematika untuk memecahkan masalah, mengkomunikasikan
ide-ide, dan gagasan; 2) fleksibel dalam mengeksplorasi ide-ide matematik dan
mencari alternatif dalam pemecahan masalah; 3) tekun dalam mengerjakan tugas
menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari; 7) mengapresiasi
matematika.
Komponen-komponen disposisi matematis di atas termuat dalam
kompetensi ranah afektif. Kompetensi dasar ranah afektif dalam kurikulum 2013
adalah : 1) menunjukkan sikap logis, kritis, analitik, konsisten, dan teliti,
bertanggung jawab, responsif, dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan
masalah; 2) memiliki rasa ingin tahu, percaya diri dan ketertarikan pada
matematika serta memiliki rasa percaya pada daya dan kegunaan matematika,
yang terbentuk melalui pengalaman belajar; 3) memiliki sikap terbuka, santun,
objektif, menghargai pendapat dan karya teman dalam interaksi kelompok
maupun aktivitas sehari-hari.
Siswa kurang percaya diri dalam mengemukakan gagasan atau pendapat.
Rasa takut dan malu apabila pendapatnya dibantah orang menjadikan seorang
siswa tidak kreatif. Rasa senang dan kecintaan terhadap pelajaran matematika
dengan sendirinya akan hilang. Apabila pandangan siswa kurang baik terhadap
matematika tentu saja akan menurunkan gairah belajar sehingga proses
pembelajaran berlangsung kurang maksimal.
Agar proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas berjalan sesuai
dengan harapan maka peranan guru cukup menentukan. Menurut Anne (2009),
guru terbagi dalam tiga rasa dasar yaitu super, excellent, dan good . Guru yang
super membutuhkan energi fisik, emosi dan mental yang tinggi. Dia datang paling
awal dan pulang paling akhir dan mencurahkan seluruh kehidupannya untuk
murid-muridnya. Guru excellent menikmati pekerjaan mereka, tetapi membatasi
jumlah waktu dan energi yang mereka baktikan untuk mengajar. Mereka
melakukan yang terbaik bagi siswa tetapi tidak mengorbankan kebutuhan
keluarga mereka. Guru yang good mengerjakan pekerjaan mereka dengan baik,
tetapi memahami batasan mereka sendiri. Mereka membuat batasan yang sangat
jelas antara profesionalitas dan waktu pribadi.
Kita tidak harus menjadi guru yang super tetapi menjadi guru yang
excellent dan good sudah cukup karena mengajar yang buruk tidak akan pernah
kepentingan diri kita sendiri. Dengan begitu akan ada keseimbangan antara dunia
kerja dengan keluarga, karena melakukan proses pembelajaran akan memakan
waktu berpuluh-puluh tahun sehingga energi yang kita gunakan perlu dipelihara
untuk waktu yang cukup lama. Dikhawatirkan kalau menjadi guru yang super
energi kita akan habis dalam waktu yang cukup singkat.
Seorang guru harus mempunyai kepedulian yang sangat tinggi terhadap
siswanya. Rasa humor, sikap peduli, dan kasih sayang yang tulus akan
membangkitkan semangat yang tulus dari siswa. Anak-anak saat ini menghadapi
tekanan yang sangat tinggi yang mencakup emosi, mental dan fisik yang sangat
mempengaruhi proses pembelajaran sehingga mempengaruhi kemampuan berpikir
mereka oleh sebab itu guru harus juga menjadi tempat untuk melakukan
konseling.
Menurut Jensen (2008), ekspresi wajah yang mengundang bagi siswa
adalah wajah yang terbuka yang menunjukkan kegembiraan dan keterbukaan
terhadap komentar dan pertanyaan pertanyaan siswa. Senyum juga dapat
membantu siswa lebih menikmati pembelajaran. Seorang guru harus
meninggalkan kesan yang cukup dalam kepada siswa dalam setiap proses
pembelajaran. Setiap proses pembelajaran harus dilakukan berulang sehingga
siswa menjadi familiar dengan model, soal-soal dan aturan yang diberikan.
Pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas harus membuat siswa belajar lebih
dalam. Model pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC) merupakan salah
satu model pembelajaran yang cocok digunakan untuk membuat siswa belajar
dengan nyaman.
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan di atas maka untuk
mengembangkan kemampuan komunikasi dan disposisi matematis siswa SMP
dalam penelitian ini akan diterapkan model pembelajaran Deeper Learning Cycle
(DELC) yaitu suatu proses pembelajaran yang memungkinkan siswa belajar lebih
dalam dimana proses pembelajaran ini memadukan antara aspek kognitif yang
dimiliki siswa dengan kemampuan afektifnya. Proses pembelajaran dimulai
dengan prapenilaian yaitu siswa harus menguasai materi prasyarat. Bukti bahwa
sebelum proses pembelajaran dimulai. Ada tujuh tahapan yang dilalui dalam
pembelajaran ini yaitu :
Tabel 1.1
Tahapan-Tahapan DELC
Fase-fase Perilaku guru Perilaku siswa Fase 1 keterampilan yang saling berkorelasi antar materi sebelumnya dengan materi yang baru
Mengerjakan soal prates Memberikan saran terhadap
proses pembelajaran yang akan ditempuh
Fase 3 Membangun budaya belajar yang positif
Menciptakan susana yang nyaman Membangun kelompok tim
Kemampuan komunikasi dan disposisi matematis sangat penting dimiliki
oleh siswa hal ini sesuai dengan tujuan yang diharapkan sesuai dengan standar isi
bahwa siswa diharapkan untuk mempunyai kemampuan berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis dan kreatif serta kemampuan bekerjasama. Selain itu siswa
diharapkan untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam
pemecahan masalah dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan
menggunakan simbol, tabel, diagram dan media lain.
Landasan filosofi pembelajaran matematika menurut Turmudi (2009),
bahwa lebih dari 2000 tahun matematika didominasi oleh paradigma absolut yang
memandang matematika sebagai sesuatu ilmu pengetahuan yang sempurna dan
kebenaran yang objektif. Guru senantiasa menjadi pusat perhatian siswa karena ia
harus mendemonstrasikan matematika yang sudah siap saji dan dipandang sebagai
suatu ilmu yang ketat. Siwa diharapkan mampu menirukan prilaku guru terhadap
matematika yang diberikan. Disisi lain terdapat pandangan dalam pembelajaran
matematika bahwa siswa sebagai subjek yang melakukan proses pembelajaran.
Bagaimana mula-mula siswa memahami bahan yang disajikan guru, pengetahuan
awal (pre-knowledge) apa yang dimiliki siswa untuk mengikuti proses
pembelajaran berikutnya. Guru bertindak sebagai moderator sampai siswa
mencapai kepada strategi formal yang disarankan dalam matematika.
Pandangan pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai subjek
pembelajaran telah menggeser paham bahwa matematika sebagai kumpulan
konsep dan keterampilan ke suatu cara sedemikian sehingga perolehan
matematika hendaknya diorganisir, keterlibatan siswa lebih aktif dalam belajar.
Pergeseran dari closed ke open menghendaki agar pembelajaran yang didomonasi
guru diusahakan agar siswa diberi kesempatan secara terbuka.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka penulis merasa
tertarik untuk mengetahui “ Peningkatan Kemampuan Komunikasi dan Disposisi
Matematis Siswa SMP Melalui Model Pembelajaran Deeper Learning Cycle
(DELC)”.
Model pembelajaran ini sesuai dengan pandangan bahwa pembelajaran
Siswa dituntut untuk mengetahui pengetahuan awal dan membangun pondasi
yang kuat untuk mengikuti materi berikutnya. Seperti penelitian yang dilakukan
oleh Turmudi pada 2003 bahwa dengan penemberian kesempatan kepada siswa
untuk menyampaikan gagasan, ternyata memunculkan gagasan-gagasan emas
yang menunjukkan bahwa siswa sebenarnya mempunyai potensi untuk menjadi
penemu asalkan diberikan kesempatan untuk menemukan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas permasalahan dan penelitian ini
dirumuskan dan dibatasi sebagai berikut :
1. Apakah kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti
pembelajaran matematika dengan model Deeper Learning Cycle (DELC) lebih
baik dari siswa yang mengikuti model pembelajaran ekspositori ?
2. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti
pembelajaran matematika dengan model Deeper Learning Cycle (DELC) lebih
baik dari siswa yang mengikuti model pembelajaran ekspositori ?
3. Apakah pencapaian disposisi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran
matematika dengan model Deeper Learning Cycle (DELC) lebih baik dari
siswa yang mengikuti model pembelajaran ekspositori ?
4. Apakah terdapat asosiasi antara kemampuan komunikasi dan disposisi
matematis siswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan model
Deeper Learning Cycle (DELC) dan model pembelajaran ekspositori?
C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji
1. Kemampuan komunikasi siswa yang mengikuti pembelajaran matematika
dengan model Deeper Learning Cycle (DELC) dan siswa yang mengikuti
2. Peningkatan kemampuan komunikasi siswa yang mengikuti pembelajaran
matematika dengan model Deeper Learning Cycle (DELC) dan siswa yang
mengikuti pembelajaran ekspositori.
3. Pencapaian disposisi matematika siswa yang mengikuti model pembelajaran
matematika dengan model Deeper Learning Cycle (DELC) dan siswa yang
mengikuti pembelajaran ekspositori.
4. Asosiasi antara pencapaian kemampuan komunikasi dan disposisi matematis
siswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan model Deeper
Learning Cycle (DELC) dan model pembelajaran ekspositori
D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat yang berarti bagi kemajuan pendidikan matematika secara umum dan secara khusus yaitu :
1. Bagi siswa, memberikan pengalaman baru melalui pembelajaran yang lebih
bervariasi sehingga memungkinkan dapat mendorong siswa untuk
berpartisipasi aktif dalam pembelajaran matematika sehingga dapat
meningkatkan kemampuan komunikasi dan disposisi matematis.
2. Bagi guru atau pengajar, pembelajaran matematika dengan model Deeper
Learning Cycle (DELC) dapat dijadikan suatu alternatif pembelajaran yang
dapat digunakan untuk meningkatkan peningkatan komunikasi dan disposisi
matematik siswa.
3. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi penelitian
selanjutnya mengenai pembelajaran matematika dengan menggunakan model
pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC).
E. DEFINISI OPERASIONAL
Adapun definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagi berikut :
1. Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan siswa untuk
menyatakan ide atau gagasan yang diketahuinya. Kemampuan tersebut
gambar, diagram atau grafik; 2) mengungkapkan kembali suatu konsep
matematika ke dalam bahasa sendiri; 3) menyatakan situasi atau ide-ide
matematis ke dalam model matematika; 4) untuk menganalisa dan
mengevaluasi pemikiran matematika ke dalam suatu strategi yang khusus; 5)
menganalisis, mengevaluasi, dan mengajukan pertanyaan terhadap suatu
informasi yang diberikan.
2. Disposisi matematis adalah sikap siswa untuk mampu memecahkan masalah
dan berusaha untuk memecahkan masalah itu dengan percaya diri, ulet dan
pantang menyerah. Sikap tersebut meliputi : 1) rasa percaya diri dalam
menggunakan matematika; 2) fleksibel dalam menyelidiki gagasan
matematika; 3) memiliki rasa ingin tahu yang tinggi; 4) tekun mengerjakan
tugas matematika; 5) antusias dalam belajar matematika; 6) gigih dalam
menghadapi permasalahan; 7) mau berbagi dengan orang lain; 8) berpikir
positif, reflektif dalam kegiatan matematika.
3. Model pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC) adalah proses
pembelajaran yang mengaitkan antara aspek kognitif dan pengalaman yang
telah dimiliki siswa diawali melakukan prapenilaian, menghubungkan suatu
konsep dengan konsep lainnya, menganalisis suatu masalah, menentukan pola
umum pemecahan masalah, membuat kesimpulan berdasarkan fakta yang ada.
4. Pembelajaran ekspositori adalah model pembelajaran yang hampir sama
dengan ceramah dimana pusat kegiatan lebih terpusat kepada guru sebagai
pemberi informasi (bahan ajar), tetapi pada pembelajaran ekspositori dominasi
guru banyak berkurang.
5. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis dalam penelitian adalah
peningkatan kemampuan komunikasi matematis yang ditinjau berdasarkan gain
ternormalkan dari perolehan skor pretes dan postes siswa. Rumus gain
ternormaisasai yang digunakan adalah :
Gain ternormalisasi (g) =
6. Pencapaian disposisi matematis adalah pencapaian disposisi yang ditinjau dari
pencapaian postes antara kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah diuiji
BAB III
METODE PENELITIAN
A. DESAIN PENELITIAN
Berdasarkan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui pengaruh model
pembelajaran Deeper Learning Cycle (DELC) terhadap peningkatan kemampuan
komunikasi dan disposisi matematika metoda penelitian yang digunakan adalah
metoda kuasi eksperimen. Menurut Creswell (2009), dalam metoda
quasi-eksperiment, peneliti menggunakan kelompok kontrol dan kelompok eksperimen,
namun tidak secara acak memasukkan (nonrandom assigment) para partisipan ke
dalam dua kelompok tersebut. Menggunakan kuasi eksperimen dengan
pertimbangan bahwa kelas yang ada sudah terbentuk sebelumnya sehingga dalam
penentuan kelas kontrol dan kelas eksperiman tidak dilakukan lagi
pengelompokkan secara acak.
Penelitian yang akan dilakukan berupa penelitian eksperimen karena
akan memberikan perlakuan kepada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Sampel yang akan digunakan terdiri dari dua kelompok yang setara. Kedua
kelompok akan diberi perlakuan yang berbeda. Kelompok eksperimen akan diberi
perlakuan dengan menggunakan model Deeper Learning Cycle (DELC)
sedangkan kelompok kontrol akan diberikan pembelajaran ekspositori.
Menurut Ruseffendi (2005) desain rencana penelitian untuk eksperimen
ini adalah disain kelompok kontrol pretes-postes yang diilustrasikan sebagai
berikut :
O X O
---
O O
Keterangan :
O = Pretest dan postes pada kemampuan komunikasi dan disposisi matematis
X : Pembelajaran model Deeper Learning Cycle (DELC)
Variabel-variabel pada penelitian ini terdiri dari variabel bebas, variabel
terikat. Variabel bebasnya adalah model Deeper Learning Cycle (DELC), variabel
terikat adalah kemampuan komunikasi dan disposisi matematis.
Pada desain ini setiap kelompok diberi tes awal (O) kemudian setelah
diberi perlakuan diadakan tes akhir untuk mengetahui peningkatan kemampuan
komunikasi dan disposisi matematika siswa sebelum dan sesudah dilakukan
proses pembelajaran.
B. POPULASI DAN SAMPEL
Dalam setiap penelitian ilmiah selalu berhadapan dengan sumber data
yang akan dijadikan sebagai dasar untuk menarik kesimpulan. Untuk menentukan
sumber data ini diperlukan pertimbangan agar data yang diperoleh relefan dengan
masalah yang diteliti.
Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas VIII yang berada di SMP
Negeri 1 Ciparay pada semester II, karena pokok bahasan penelitian yang akan
dilakukan untuk meneliti peningkatan kemampuan komunikasi dan disposisi
matematis siswa melalui model pembelajaran Deeper Learning Cycle adalah
pokok bahasan lingkaran yang terdapat di kelas VIII semester II.
Penentuan sampel untuk penelitian ini tidak dilakukan secara acak murni
oleh karena itu sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Kemampuan
siswa yang akan diteliti pada kelas eksperimen relatif sama karena pada proses
pembagian kelas sebelumnya tidak ada kelas unggulan. Penelitian ini difokuskan
untuk mengetahui kemampuan komunikasi dan disposisi matematik siswa SMP
melalui model pembelajaran Deeper learning Cycle (DELC).
C. VARIABEL PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan meliputi dua jenis variabel yaitu variabel bebas
dan variabel terikat. Variabel bebas adalah variabel yang dapat mempengaruhi
variabel lain sedangkan variabel terikat adalah variabel yang memperoleh
model Deeper Learning Cycle (DELC) sebagai variabel bebas sedangkan
peningkatan kemampuan komunikasi dan disposisi merupakan variabel terikat.
D. INSTRUMEN PENELITIAN
1. Instrumen Tes Kemampuan Komunikasi Matematis
Tes awal dilakukan untuk mengetahui kemampuan komunikasi siswa
sebelum diberi perlakuan. Tes yang digunakan berbentuk soal uraian yang berisi
lima buah soal.Dalam penyusunan tes awal dimulai dengan penyusunan kisi-kisi
yang memuat kompetensi inti, kompetensi dasar, indikator, aspek yang akan
diukur serta pedoman penilaiannya. Setelah menyusun kisi-kisi dilanjutkan
dengan menyusun soal serta membuat kunci jawaban dan pemberian skor untuk
masing-masing jawaban.
Bahan tes yang akan digunakan dalam penelitian ini diambil dari materi
pelajaran Matematika SMP kelas VIII semester genap kurikulum 2006 mengenai
pokok bahasan lingkaran. Tes yang akan digunakan berbentuk soal uraian. Dalam
penyusunan soal tes memperhatikan standar kompetensi aspek komunikasi
matematis dalam materi lingkaran.
Sebelum soal diujicobakan terlebih dahulu, peneliti meminta saran dan
pertimbangan dari guru matematika SMP lulusan sarjana pendidikan matematika
S1 dan S2, dosen matematika lulusan pendidikan matematika S3 dan dosen
pembimbing untuk memberikan penilaian terhadap soal tes tersebut. Kriteria
pemberian skor untuk soal komunikasi matematis siswa berpedoman pada
Holostic Scoring Rubrics yang dikemukakan oleh Lane, Jakabcsin dan Cai (1996)
yang kemudian diadaptasi. Kriteria skor untuk tes ini dapat dilihat pada tabel
Tabel 3.1
Pedoman Penilaian Kemampuan Komunikasi Matematis
Agar penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan diperlukan alat ukur
yang baik yang memenuhi kaidah penulisan soal. Untuk mendapatkan instrumen
yang baik tentu diperlukan alat evaluasi yang baik pula. Alat evaluasi yang baik
dapat ditinjau dari validitas, reliabilitas, obyektivitas, derajat kesukaran dan daya
pembeda. Alat ukur tersebut kemudian dikonsultasikan dahulu dengan dosen
pembimbing kemudian diujicobakan terlebih dahulu kepada siswa yang telah
memperoleh materi tersebut kemudian dilakukan analisis sampai mendapatkan
hasil yang paling baik.
Tes akhir yang akan digunakan adalah tes uraian hal ini dilakukan untuk
memperoleh data tentang kemampuan komunikasi dan disposisi matematis siswa
yang diberikan perlakuan. Tes ini mengacu kepada materi-materi yang diberikan
selama proses pembelajaran dengan menggunakan model Deeper Learning Cycle
(DELC).
a. Analisis validitas butir soal
Suatu instrumen dikatakan valid bila instrumen itu mempunyai validitas
dan reliabilitas yang tinggi. Menurut Suherman dan Sukjaya (1990), suatu alat
evaluasi disebut valid (absah atau sahih) apabila alat tersebut mampu
mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi, sedangkan menurut Ruseffendi
(2005), suatu instrumen dikatakan valid bila untuk maksud dan kelompok tertentu, Respon Siswa Terhadap Soal Skor Tidak ada jawaban/salah menginterpretasikan 0 Hanya sedikit jawaban yang benar dari penjelasan konsep, ide atau
persoalan dari suatu gambar yang diberikan dengan kata-kata sendiri dalam bentuk penulisan kalimat secara matematik matematik masuk akal dan melukiskan gambar
1
Hanya sebagian aspek yang dijawab benar dari penerapan konsep, ide atau persoalan dari suatu gambar yang diberikan dari kata-kata sendiri dalam penulisan kalimat secara matematis masuk akal dan melikiskan gambar.
2
Semua penjelasan dengan menggunakan gambar, fakta, dan hubungan dalam menyelesaikan soal hampir semua aspek dijawab dengan benar tetapi kurang lengkap.
3
Semua penjelasan dengan menggunakan gambar, fakta, dan hubungan
instrumen itu mengukur apa yang hendak diukur. Dengan demikian soal tes
sebelum diujicobakan kepada siswa yang sedang diberikan perlakuan hendaknya
soal tes ini diujicobakan terlebih dahulu agar mampu mengevaluasi sesuai dengan
fungsinya.
Untuk mengukur validitas hasil belajar menggunakan teknik korelasi
(produk moment) dari Pearson, Ruseffendi (2005). Rumus ini dapat digunakan
untuk menghitung validitas butir soal. Rumus validitas butir soal adalah :
rxy = ∑ ∑ ∑
√ ∑ (∑ ) ∑ ∑ Keterangan :
rxy = Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y
= nilai rata-rata soal–soal tes pertama perorangan
= jumlah nila-nilai X
= jumlah kuadrat nilai-nilai X
= nilai rata-rata soal-soal tes kedua perorangan
= jumlah nilai-nilai Y = jumlah kuadrat nilai-nilai Y
= perkalian nilai-nilai X dan Y perorangan = jumlah perkalian nilai X dan Y
= banyaknya pasangan nilai
Selanjutnya, untuk mengetahui apakah butir soal itu valid atau tidak,
maka digunakan uji-t, rumusnya adalah :
T = √
√
Keterangan :
t : Daya pembeda dari uji-t
n : Jumlah subjek
Setelah koefisien korelasi diketahui selanjutnya nilai ini diinterpretasikan
dengan menggunakan klasifikasi koefisien validitas dari Guilford dalam
Suherman dan Sukjaya (1990:147) sebagai berikut :
Tabel 3.2
Klasifikasi Koefisien Validitas Koefisien validitas keterangan
0,80 < rxy ≤ 1,00 Validitas sangat tinggi 0,60 < rxy ≤ 0,80 Validitas tinggi 0,40 < rxy ≤ 0,60 Validitas sedang 0,20 < rxy ≤ 0,40 Validitas rendah
.rxy ≤ 0,20 Validitas sangat rendah
Tabel 3.3
Hasil Uji Validitas Soal Kemampuan Komunikasi Matematis Nomor
Soal Koefisien rxy rtab Kriteria thit ttab Kriteria
1a 0,689
0,304
Valid 6,014
2,021
Valid
1b 0,576 Valid 5,425 Valid
1c 0,642 Valid 5,295 Valid
2a 0,371 Valid 2,572 Valid
2b 0,768 Valid 7,586 Valid
2c 0,648 Valid 5,381 Valid
3a 0,611 Valid 4,881 Valid
3b 0,601 Valid 4,755 Valid
4 0,797 Valid 8,377 Valid
5a 0,741 Valid 7,003 Valid
5b 0,777 Valid 7,809 Valid
Dari tabel 3.3 terlihat bahwa semua soal yang diujikan mempunyai
validitas tinggi yaitu soal nomor 1a, nomor 1c, nomor 2b, nomor 2c, nomor 3a,
nomor 3b, nomor 4, nomor 5a dan nomor 5b. Soal yang mempunyai validitas
sedang yaitu soal nomor 1b, dan soal yang mempunyai validitas rendah yaitu soal
nomor 2a. Seluruh instrumen digunakan dalam penelitian ini termasuk yang
b. Analisis Reliabilitas
Menurut Suherman dan Sukjaya (1990), suatu alat evaluasi disebut
reliabel jika hasil evaluasi tersebut relatif tetap jika digunakan untuk subyek yang
sama sedangkan menurut Ruseffendi (2011), reliabilitas instrumen atau alat
evaluasi adalah ketetapan alat evaluasi dalam mengukur atau ketetapan siswa
dalam menjawab alat evaluasi. Reliabilitas soal merupakan tingkat keajegan suatu
soal.
Rumus yang digunakan adalah :
∑
Keterangan :
= reliabilitas instrumen
= banyak butir soal
Σ = jumlah varians butir soal = varians soal
Tingkat reliabilitas dari soal uji coba didasarkan pada klasifikasi Guilford menurut
Suherman (2003) adalah sebagai berikut :
Tabel 3.4 Koefisien Reliabilitas
Koefisien reliabilitas Keterangan 0,00 ≤ r < 0,20 kecil 0,20 ≤ r < 0,40 rendah 0,40 ≤ r < 0,70 sedang 0,70 ≤ r < 0,90 Tinggi 0,90 ≤ r < 1,00 sangat tinggi
Hasil perhitungan reliabilitas r11 kemampuan komunikasi matematis hasil
uji coba soal diperoleh sebesar 0,91, dengan interpretasi bahwa soal tes
kemampuan komunikasi matematis tersebut secara keseluruhan memiliki derajat
c. Analisis Daya Pembeda
Daya pembeda butir soal suatu tes adalah kemampuan butir soal untuk
membedakan atau memisahkan antara siswa berkemampuan tinggi dengan siswa
yang berkemampuan rendah. Sebuah soal dianggap baik apabila siswa yang
pandai mampu mengerjakan soal dengan baik sedangkan siswa yang
berkemampuan rendah tidak mampu menyelesaikan soal dengan baik. Daya
pembeda dibagi kedalam dua kelompok yaitu kelompok atas yang terdiri dari siwa
pandai dan kelompok bawah yang terdiri dari siswa kurang pandai. Hasil analisis
daya pembeda digunakan untuk membedakan siswa yang termasuk kedalam
kategori yang memiliki kemampuan tinggi dan rendah.
Rumus yang digunakan untuk menentukan daya pembeda menurut
Suherman dan Sukjaya (1990) adalah :
DP =
atau DP =
Keterangan :
= jumlah siswa kelompok atas yang menjawab benar
= jumlah kelompok bawah yang menjawab benar
= jumlah siswa kelompok atas
= jumlah siswa kelompok bawah
Kriteria yang digunakan menurut Suherman (2003) hasil perhitungan daya
pembeda diinterpretasikan dengan klasifikasi sebagai berikut :
Tabel 3.5
Klasifikasi Koefisien Daya Pembeda
Adapun hasil analisis daya pembeda instrumen kemampuan komunikasi
matematis dapat dilihat sebagai berikut :
Tabel 3.6
Hasil Uji Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Komunikasi
No Soal Daya Pembeda Interpretasi
1a 0,341 Cukup
1b 0,341 Cukup
1c 0,455 Baik
2a 0,341 Cukup
2b 0,568 Baik
2c 0,455 Baik
3a 0,591 Baik
3b 0,477 Baik
4 0,523 Baik
5a 0,636 Baik
5b 0,705 Sangat Baik
Dari tabel 3.6 dapat dilihat bahwa daya pembeda setiap butir soal
memiliki kriteria cukup, baik dan sangat baik. Daya pembeda butir soal nomor 1a,
nomor 1b, dan nomor 2a daya pembeda butir soal berada pada kategori cukup.
Soal nomor1c, nomor 2b, nomor 2c, nomor 3a, nomor 3b, nomor 4 dan soal
nomor 5a daya pembeda butir soalnya berada pada kategori baik, sedangkan soal
nomor 5b daya pembeda butir soal berada pada kategori sangan baik.
d. Analisis Tingkat Kesukaran
Soal yang baik adalah soal yang memuat kriteria mudah, sedang dan
sukar. Apabila soal tersebut diujicobakan kepada siswa maka hasilnya akan
berdistribusi normal. Derajat kesukaran suatu soal disebut indeks kesukaran
(difficulty index). Bilangan tersebut berada pada bilangan real pada interval 0,00
sampai 1,00. Derajat kesukaran dapat dicari dengan menggunakan rumus
DK =
= = 27 % dari jumlah subyek populasi
= jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab benar = jumlah siswa kelompok atas
= jumlah siswa kelompok bawah
Menurut Suherman (2003) hasil perhitungan tingkat kesukaran butir soal
diinterpretasikan dengan menggunakan indeks kesukaran. Kriteria IK yang
digunakan untuk menentukan mudah sukarnya suatu butir soal adalah sebagai
berikut :
Tabel 3.7
Kriteria Indeks Kesukaran
Hasil perhitungan uji tingkat kesukaran data hasil uji coba disajikan
sebagai berikut :
Tabel 3.8
Hasil Uji Tingkat Kesukaran Kemampuan Komunikasi
No Soal Indeks Kesukaran
Interpretasi
1a 0,642 Sedang
1b 0,739 Mudah
1c 0,636 Sedang
2a 0,398 Sedang
2b 0,307 Sedang
2c 0,296 Sukar
3a 0,568 Sedang
3b 0,488 Sedang
4 0,523 Sedang
5a 0,409 Sedang
5b 0,375 Sedang
Dari tabel 3.8 indeks kesukaran dari setiap butir soal tergolong kedalam
kategori mudah, sedang dan sukar. Soal nomor1b, berada dalam kategori mudah.
Soal nomor1a, nomor 1c, nomor 2a, nomor 2b, nomor 3a, nomor 3b, nomor 4,
nomor 5a dan nomor 5b berada dalam kategori sedang dan soal nomor 2c berada Derajat Kesukaran Keterangan
dalam kategori sukar. Seluruh soal bisa digunakan untuk mengevaluasi
kemampuan komunikasi matematis siswa.
2. Instrumen Non Tes
a. Angket Disposisi Matematis
Angket skala sikap disposisi matematis diberikan kepada siswa
kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol sebelum dan sesudah proses
pembelajaran dilaksanakan. Pemberian angket skala sikap bertujuan untuk
mengetahui peningkatan disposisi matematis siswa terhadap penerapan
pembelajaran dengan menggunakan model Deeper Learning Cycle (DELC) pada
kelompok eksperimen dan peningkatan disposisi matematis siswa dengan
menggunakan model ekspositori pada kelompok kontrol.
Skala yang digunakan untuk menggambarkan disposisi matematis
tersebut adalah dengan menggunakan skala Likert yang sudah dimodifikasi seperti
yang dikemukakan oleh Sugiyono (2014), bahwa skala Likert digunakan untuk
mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang
fenomena sosial. Dalam skala Likert, variabel yang akan diukur dijabarkan dalam
bentuk variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk
menyusun item-item instrumen yang berupa pernyataan atau pertanyaan. Skala
disposisi matematis terdiri dari 30 butir pernyataan yang harus direspon oleh
siswa untuk mengetahui disposisi matematis siswa. Derajat penilaian terhadap
suatu pernyataan dibagi kedalam 4 kategori, yaitu : sangat setuju (SS), setuju (S),
tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Pemberian nilai dibedakan antara
pernyataan yang bersifat positif dan pernyataan yang bersifat negatif. Untuk
pernyataan positif pemberian skornya adalah SS (sangat setuju) diberi skor 4, S
(setuju) diberi skor 3, TS (tidak setuju) diberi skor 2, dan STS (sangat tidak
setuju) diberi skor 1. Untuk pernyataan negatif, pemberian skornya adalah SS
(sangat setuju) diberi skor 1, S (setuju) diberi skor 2, TS (tidak setuju) diberi skor
3, dan STS (sangat tidak setuju) diberi skor 4. Menurut Sugiyono (2014), jawaban
setiap item instrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari
sangat positif sampai sangat negatif yang dapat berupa kata-kata, lebih jelasnya
Tabel 3.9 Skor Skala Sikap
Pernyataan Positif Negatif
SS (sangat setuju) 4 1
S (setuju) 3 2
TS (tidak setuju) 2 3
STS (sangat tidak setuju) 1 4
Untuk melakukan analisis terhadap respon siswa pada angket skala sikap
ini digunakan dua jenis skor respon yang dibandingkan yaitu, skor respon siswa
per aspek (item) soal yang diberikan melalui skala sikap. Jika skor aspek yang
dinilai lebih besar dari skor netral maka subjek atau siswa tersebut mempunyai
sikap positif. Sedangkan kalau skor aspek yang dinilai lebih kecil dari skor netral
maka subjek atau siswa mempunyai sikap negatif.
Contoh pernyataan : menemukan jawaban dengan teman berbeda
3. Saya sering mengangkat tangan ketika guru bertanya siapa yang mau mengerjakan soal matematika di papan tulis
4. Saya measa takut ketika guru
menyuruh saya untuk
mengerjakan soal di papan tulis
1
Pernyataan nomor 1 merupakan pernyataan yang sangat positif sehingga
siswa yang menceklis sangat setuju mendapat skor 4 dan sangat tidak setuju
mendapat skor 1. Pernyataan nomor 2 merupakan pernyataan yang sangat negatif
sehingga siswa yang menceklis sangat setuju mendapat skor 1 dan menceklis
b. Lembar Observasi
Untuk memperoleh hasil penelitian yang optimal, dilakukan kegiatan
observasi selama proses pembelajaran dilaksanakan. Observer adalah guru mata
pelajaran yang mengajar di kelas eksperimen. Lembar observasi digunakan untuk
mengamati suasana kelas terutama aktivitas siswa selama proses pembelajaran
yang berlangsung di dalam kelas dengan menggunakan model pembelajaran
Deeper Learning Cycle (DELC). Lembar observasi aktivitas siswa disusun
berdasarkan karakteristik aktivitas yang seharusnya terjadi di dalam kelas.
E. PROSEDUR PENELITIAN
Prosedur penelitian untuk mengetahui pengaruh pembelajaran dengan
Deeper Learning Cycle (DELC), terhadap peningkatan kemampuan komunikasi
dan disposisi matematis ini, dirancang untuk memudahkan peneliti dalam
melaksanakan penelitian. Prosedur dalam penelitian ini adalah:
1. Tahap Persiapan
a. Melakukan studi kepustakaan untuk mengidentifikasi dan merumuskan
masalah serta mencari teori-teori yang berhubungan dengan model
pembelajaran Deeper learning Cycle (DELC), kemampuan komunikasi dan
disposisi matematis.
b. Menyusun proposal penelitian yang selanjutnya dikonsultasikan dengan
dosen pembimbing. Setelah mendapat persetujuan dosen pembimbing
kemudian diseminarkan. Proposal yang telah diseminarkan kemudian
diperbaiki jika terdapat kesalahan, selanjutnya diserahkan kepada dosen
pembimbing untuk memperoleh persetujuan.
c. Menyusun instrumen penelitian dan bahan ajar , setelah disetujui dosen
pembimbing kemudian melakukan uji instrumen. Uji coba instrumen
dilakukan di kelas IX yang pernah mendapat materi tentang lingkaran.
d. Memvalidasi instrumen, menganalisis dan memperbaikinya sebelum
e. Merancang rencana pembelajaran dan lember kerja siswa untuk kelas
eksperimen.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Melakukan pemilihan sampel yaitu dengan memilih dua kelas yang paralel
untuk dijadikan kelas eksperimen dan kelas kontrol berdasarkan beberapa
pertimbangan.
b. Memberikan pretes kepada kelas ekperimen dan kelas kontrol
c. Melaksanakan pembelajaran pendahuluan untuk lebih mengenal kelas
eksperimen karena model pembelajaran yang akan diujicobakan sangat
menekankan komunikasi yang mendalam antara guru dengan siswa.
d. Melaksanakan proses pembelajaran dengan menggunakan model Deeper
Learning Cycle (DELC) kepada kelas eksperimen dan menggunakan model
ekspositori kepada kelas kontrol.
e. Mengadakan postes kepada kedua kelas diakhir proses pembelajaran.
3. Tahap akhir
a. Mengolah dan menganalisis hasil pretes dan postes.
b. Membuat kesimpulan dari hasil analisis data dan mengkaji temuan-temuan
dilapangan baik hambatan maupun dukungan selama melakukan penelitian
c. Menyusun laporan
Perumusan penelitian dan
Tujuan penelitian
Penyusunan instrumen
dan bahan ajar
Ujicoba instrumen
Analisis hasil ujicoba
Pemilihan sampel
Penelitian
Ekspositori pada
kelas kontrol
Perlakuan pada kelas
eksperimen
(Pembelajaran DELC)
Postes
Analisis data
Penyimpulan
F. ANALISIS DATA
Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa data kuantitatif dan
kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari hasil postes kemampuan komunikasi
matematik, sedangkan data kualitatif diperoleh dari angket siswa.
1. Analisis Statistik Deskriftif Kemampuan Komunikasi Matematis
Data yang diperoleh berupa hasil tes kemampuan komunikasi matematis
dianalisis secara kuantitatif menggunakan uji statistik. Selanjutnya untuk
mengetahui perbedaan pencapaian kemampuan komunikasi matematis siswa,
terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap data skor postest pada kelas
eksperimen dan kelas kontrol. Sedangkan untuk mengetahui peningkatan
kemampuan komunikasi matematis siswa, dilakukan dengan menganalisis data
skor n-gain kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Data yang diperoleh dari hasil tes kemampuan komunikasi matematis
siswa diolah melalui beberapa tahapan berikut :
a. Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban dan pedoman
pemberian skor yang digunakan.
b. Membuat tabel skor pretes dan postes untuk tes kemampuan komunikasi
matematis siswa.
c. Menentukan skor peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa
dengan menggunakan rumus gain ternormalisasi (normalized gain) sebagai
berikut :
Gain ternormalisasi =
Klasifikasi N-gain menggunakan kategori indeks gain dari Hake
(Meltzer,2002) dalam Gumanti (2014) sebagai berikut :
Tabel 3.10
Klasifikasi Gain Ternormalisasi Skor Gain (g) Klasifikasi
g>0,7 Tinggi
0,3<g≤0,7 Sedang
Untuk melakukan pengujian data statistik langkah yang pertama kali
dilakukan adalah menguji kenormalan distribusi, apabila telah dilakukan
dilanjutkan dengan menguji kehomogenan variansi, dan langkah terakhir adalah
uji perbedaan dua rata-rata. Pemilihan uji statistik yang dilakukan tergantung dari
kenormalan distribusinya.
Pengolahan dan analisis data dari hasil tes kemampuan komunikasi
matematika menggunakan uji statistik dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :
a. Uji normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sebuah data yang
diperoleh dari kedua kelas berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas
dilakukan terhadap nilai pretes, postes atau gain ternormalisasi ( N-gain) dengan
menggunakan uji statistik Shapiro-Wilk karena data yang digunakan
menggunakan sampel yang kecil. Adapun rumusan hipotesis uji normalitas
sebagai berikut :
H0 : Data berasal dari populasi yang berdistribusi normal
H1 : Data tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal
Berdasarkan kriteria uji sebagai berikut :
Jika nilai Sig.(p-value) < (=0,05), maka H0 ditolak
Jika nilai Sig.(p-value) ≥ (=0,05), maka H0 diterima
Apabila data tidak berdistribusi normal maka pengujian data dilanjutkan dengan
menggunakan statistik nonparametrik Mann-Whitney.
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas varians skor pretes, postes dan gain kemampuan
komunikasi matematis siswa menggunakan uji Homogenitas of Varians (Levene
Statistic). Adapun kriteria uji homogenitas sebagai berikut :
H0 : = Varians skor kelas eksperimen dan kelas kontrol homogen
H1 : ≠ Varians skor kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak
Keterangan :
: varians siwa kelas eksperimen
: varians siswa kelas kontrol
Dengan kriteria uji sebagai berikut :
Jika nilai Sig. (p-value) < ( = 0,05), maka H0 ditolak
Jika nilai Sig. (p-value) ≥ ( = 0,05), maka H0 diterima
c. Uji Perbedaan Dua Rata-Rata Skor Pretes Kemampuan Komunikasi Apabila hasil uji normalitas dan uji homogenitas yang dilakukan dari
hasil pretes diperoleh bahwa kedua data berdistribusi normal dan homogen, maka
pengujian perbedaan dua rata-rata untuk data pretes menggunakan uji
t-indepndent sample test sedangkan untuk data yang tidak berdistribusi normal dan
homogen menggunakan statistik non-parametrik Mann-Whitney.
Data pretes dianalisis dengan menggunakan uji perbedaan dua rata-rata
untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematis yang berada pada kelas
eksperimen maupun kelas kontrol pada awal penelitian.
Rumusan hipotesisnya adalah :
H0 : Tidak terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa yang
mengikuti pembelajaran matematika dengan model Deeper Learning
Cycle (DELC) dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran
ekspositori
H1 : Terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa yang
mengikuti pembelajaran matematika dengan model Deeper Learning
Cycle (DELC) dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran
ekspositori
Rumusan hipotesisnya sebagai berikut :
H0 : =