• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PEMILU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM DPR, DPD, DAN DPRD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PEMILU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM DPR, DPD, DAN DPRD"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PEMILU BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM DPR, DPD, DAN

DPRD

NYOMAN GEDE NGURAH BAGUS ARTANA NIM. 1303005123

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2017

(2)

ii

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PEMILU BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM DPR, DPD, DAN

DPRD

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

NYOMAN GEDE NGURAH BAGUS ARTANA NIM. 1303005123

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2017

(3)

ii

(4)

iii

(5)

iv

(6)

v

KATA PENGANTAR Om Swastiastu,

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas Asung Kertha Wara Nugraha-Nya penulisan skripsi dengan judul

“Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Pemilu berdasarkan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD” ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Melalui kesempatan ini penulis sampaikan rasa terimakasih kepada beberapa pihak yang berperan dalam proses penyelesaian skripsi ini diantaranya:

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana;

2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H., Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana;

3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, S.H., M.H., Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana;

4. Bapak Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H., Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana;

5. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, SH., MH., Ketua Bagian Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana;

(7)

vi

6. Bapak Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH.,MH., Dosen Pembimbing I yang telah membimbing dan memberikan pengarahan dalam penulisan skripsi ini;

7. Bapak I Made Walesa Putra, SH.,M.Kn., Dosen Pembimbing II yang telah membimbing dan memberikan pengarahan dalam penulisan skripsi ini;

8. Ibu Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH.,M.Hum., Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis dari awal perkuliahan;

9. Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan dan pengalaman selama penulis mengikuti perkuliahan;

10. Bapak dan Ibu Staff Laboratorium, perpustakan, dan tata usaha yang telah memberikan bantuan selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana 11. Keluarga Besar, terutama orang tua, adik dan saudara, yang telah memberikan dorongan semangat dan bantuan baik moril maupun materiil selama mengikuti perkuliahan dan penyusunan skripsi ini;

12. Kepada yang terkasih Ni Nyoman Devi Yani Prabashanti, yang selalu memberikan doa, waktu, dan motivasi kepada penulis, serta dengan penuh kesabaran, pengorbanan, perhatian menemani penulis sampai selesainya penulisan skripsi ini.

13. Kepada sahabat sekaligus keluarga saya di kampus, Agung, Seira, dan Rizky yang telah menemani, memberikan semangat dan selalu mengingatkan untuk segera menyelesaikan skripsi ini;

14. Seluruh sahabat seperjuangan penulis : Oka, Rina, Gek Diah, Sintya, Dek

Ayu, Intan, Nur Hadi, Febry, Angga, Okik, Jaya, dll, serta teman-teman

(8)

vii

penulis dalam grup PA Dewi Kasih, Kelas C, FH UNUD 2013 yang tidak dapat disebutkan satu persatu;

15. Adik-Adik Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana angkatan 2014, 2015, dan 2016;

16. Keluarga besar Asian Law Students’ Association Local Chapter Universitas Udayana, yang telah memberikan pengalaman organisasi kepada penulis;

17. Teman-teman KKN-PPM Universitas Udayana Periode XIII Tahun 2016 Desa Les, Kecamatan Tejakula Buleleng, Epik, Nana, Bagus, David, Suwis, Arya, Sri, Tanti, Tikhe, Ocak, Andri, Kak Oka, Rut, dan Kenny, serta

18. Seluruh Pihak yang terlibat dan telah membantu, mendukung dan mendoakan penulis selama mengikuti proses perkulihan dan penyusunan skripsi.

Penulis sadar dengan keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki, maka masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Denpasar, 22 Februari 2017

Penulis

(9)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iv

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... vi

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

ABSTRAK ... xv

ABSTRACT ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Ruang lingkup Masalah ... 7

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 8

1.5 Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum ... 10

b. Tujuan Khusus ... 10

1.6 Manfaat Hasil Penelitian a. Manfaat Teoritis ... 11

b. Manfaat Praktis ... 11

1.7 Landasan teoritis 1. Teori Pertanggungjawaban Pidana ... 11

2. Teori Pertanggungjawaban Korporasi ... 13

3. Sistem Pertanggungjawaban Korporasi ... 15

4. Teori Kebijakan Hukum Pidana ... 16

(10)

ix 1.8 Metode Penelitian

a. Jenis Penelitian ... 17

b. Jenis Pendekatan ... 18

c. Sumber Bahan Hukum ... 19

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 19

e. Teknik Analisis ... 20

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DAN TINDAK PIDANA PEMILU 2.1 Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 2.1.1 Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 21

2.1.2 Pengertian Korporasi ... 23

2.1.3 Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ... 27

2.2. Tindak Pidana Pemilu 2.2.1 Pengertian Tindak Pidana Pemilu ... 32

2.2.2 Tindak Pidana Pemilu sebagai Tindak Pidana Khusus . 36 BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PEMILU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM DPR, DPR, DAN DPRD 3.1 Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia Secara Umum ... 42

3.2 Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Pemilu Berdasarkan Undang-Undang Pemilu 3.2.1 Pengaturan tindak pidana pemilu yang berkaitan dengan korporasi ... 49

3.2.2 Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pemilu berdasarkan UU No.8 Tahun 2012. ... 51

BAB IV PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PEMILU PADA MASA MENDATANG DI INDONESIA 4.1 Pembaharuan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Kebijakan Kriminal dan Kebijakan Pidana ... 55

4.2 Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Pemilu Pada Masa Mendatang di Indonesia .. 58

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 64

(11)

x

5.2. Saran ... 65 Daftar Pustaka

Ringkasan Skripsi

(12)

xi ABSTRAK

Tindak pidana pemilu dalam perkembangannya terus mengalami perkembangan, tindak pidana pemilu tidak lagi hanya dilakukan oleh orang perseorangan maupun partai politik saja, melainkan bisa juga dilakukan oleh korporasi. UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD diharapkan dapat mencegah perkembangan tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh korporasi. Namun melihat ketentuan Pasal 303, 304, 306, dan 307 UU No. 8 Tahun 2012 ternyata terdapat kekaburan norma terkait pertanggungjawaban korporasi yang berdampak pada ketidakpastian mengenai pertanggungjawaban korporasi yang berkaitan dengan ancaman pidana penjara bagi korporasi.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif, yang dimana hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Metode ini digunakan karena dalam penelitian ini menguraikan masalah-masalah yang terjadi untuk selanjutnya dikaji menggunakan teori-teori hukum yang kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa UU No. 8 Tahun 2012 telah menentukan bentuk pertanggungjawaban korporasi yaitu pidana penjara dan denda. Namun dari bentuk pertanggungjawaban tersebut korporasi tidak dapat dipenjara, karena hanya manusia secara individu saja yang dapat dipenjara.

Karena ada penyebutan “perusahaan”, “badan usaha non pemerintah”, dan

“perusahaan pencetak suara” maka perlu dicari pihak-pihak yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk menciptakan kepastian hukum pertanggungjawaban korporasi maka diperlukan reorientasi dan reformulasi undang-undang pemilu, dan perlu dimasukkannya delik pemilu dalam naskah rancangan KUHP.

Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Korporasi, dan Pemilu

(13)

xii ABSTRACT

Criminal election in its development has increased, it is not only done by an individual and political party, but also can be done by corporation. UU No. 8 Tahun 2012 about election of DPR, DPD, and DPRD is expected to prevent the development of criminal election which caused by corporation. But, as the provision of article 303, 304, 306, and 307 UU No. 8 Tahun 2012, there is an obscurity of corporation accountability norms which impact to uncertainty of corporation accountability which is related with imprisonment of the corporation

Normative law was used as the method of this study, which is a law is conceived as what is written in the legislation. This method was used because in this study the problems that happened were explained and examined by using law theories and associated with the current legislation.

From the result, it is known that UU No. 8 Tahun 2012 has determined the form of corporation accountability that are imprisonment and mulct. Meanwhile, from the form of accountability the corporation cannot be imprisoned, because only human as an individual can be imprisoned. It also because there are citation of ‘company’, ‘non-governmental entities’, and ‘printing sounds companies’ thus need to be found parties which can be accountable. In order to make legal certainty, so reorientation and reformulation of election law as well as electoral offence and a draft of the Criminal Code are needed and included in.

Keywords: Criminal Liability, Corporation, Election

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tujuan negara Indonesia sebagaimana tertuang dalam alenia keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) terumuskan dalam empat hal, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Untuk mencapai empat tujuan negara Indonesia, pembentuk UUD NRI 1945 memilih salah satu asas dan sistem ketatanegaraan, yakni asas dan sistem demokrasi sebagaimana tertuang dalam sila keempat dari lima sila dalam dasar ideologi negara kita Pancasila, yakni: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.

1

Cerminan dari asas dan sistem demokrasi tersebut tertuang dalam konstitusi negara Indonesia pada Pasal 1 ayat (2) yang mengatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Perwujudan dari kedaulatan rakyat ini adalah dalam hal memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden, dan Wakil Presiden dengan cara pemilihan umum (yang selanjutnya disebut pemilu) untuk tersalurnya suara rakyat. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang

1Janendjri M. Gaffar, 2012, Politik Hukum Pemilu, Konpress, Jakarta, h.3.

(15)

2

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Nomor 8 Tahun 2012) , yang dimaksud dengan pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dengan demikian pelaksanaan demokrasi melalui pemilu bertujuan untuk menjamin suara rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Untuk menjamin tersalurnya kedaulatan rakyat secara adil maka diperlukan suatu regulasi yang mengatur mengenai pelaksanaan pemilu.

Pelaksanaan pemilu di Indonesia dibedakan menjadi tiga jenis yakni pemilu Presiden dan Wakil Presiden (pilpres), pemilu anggota badan Legislatif, dan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada). Pemilu legislatif di negara Indonesia telah diselenggrakan sejak tahun 1955. Pemilu tahun 1955 ini sering dikatakan sebagai pemilu pertama dan paling demokratis.

2

Perjalanan penyelenggaraan pemilu anggota badan legislatif dari tahun 1955 sampai dengan penyelenggaraan pemilu yang terakhir yaitu pemilu tahun 2014, tidak pernah terluput dari suatu praktek pemilu yang mencederai nilai-nilai demokrasi. Kasus- kasus yang sering terjadi pada praktek penyelenggaraan pemilu badan anggota legislatif adalah pengelembungan suara dan politik uang. Bentuk pelanggaran pemilu seperti pengelembungan suara, politik uang, dan bentuk-bentuk pelanggaran lainnya adalah merupakan suatu tindak pidana.

2“Pemilihan Umum Legislatif Indonesia 1955”, URL:

https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_legislatif_Indonesia_1955, diakses tanggal 29 Oktober 2016.

(16)

3

Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 yang merupakan dasar dari penyelenggaraan Pemilu anggota badan legislatif 2014 merupakan bagian dari tuntutan dan perkembangan masyarakat yang mengharapkan pelaksanaan Pemilu 2014 lebih baik dari penyelenggaraan Pemilu 2009. Dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 telah diatur mengenai penegakan hukum dalam pelaksanaan Pemilu 2014 yang berkaitan erat dengan ketentuan pidana yang diatur dalam BAB XXII Bagian Kesatu tentang pelanggaran diatur dalam Pasal 273, 274, 275, 276, 277, 278, 279, 280, 281, 282, 283, 284, 285, 286, 287, 288, 289, 290, dan 291. Bagian kedua tentang kejahatan diatur dalam Pasal 292, 293, 294, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303, 304, 305, 306, 307, 308, 309, 310, 311, 312, 313, 314, 315, 316, 317, 318, 319, 320, dan 321.

3

Tindak pidana pemilu dalam perkembangannya terus mengalami perkembangan baik berupa jenis tindak pidananya, modus operandinya, dan juga dari subyek tindak pidanya. Tindak pidana pemilu tidak lagi hanya dilakukan oleh orang perseorangan maupun partai politik saja, melainkan bisa juga dilakukan oleh korporasi. Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan korporasi tidak hanya berkaitan dengan bidang ekonomi, periklanan, dan lingkungan hidup saja, tetapi juga telah masuk dalam bidang politik yaitu pemilu.

Beberapa kasus keterlibatan korporasi dalam penyelenggaraan pemilu dapat ditemukan dalam kasus penyuapan korporasi terhadap partai politik yang terjadi di negara Amerika Serikat. Kasus yang menjadi sorotan adalah pada saat pemilihan presiden Amerika Serikat antara senator Bob Dole dengan Bill Clinton.

3M. Harun, 2016, “Reformulasi Kebijakan Hukum Terhadap Penegakan Hukum Pidana Pemilu Dalam Menjaga Kedaulatan Negara”, Jurnal Rechtsvinding Volume 5, Nomor 1, April 2016, h.103.

(17)

4

Dalam persaingan perebutan kursi presiden, Bob Dole dituduh menggunakan sumbangan dana ilegal, yang dimana sumbangan ilegal tersebut diperolehnya dari perusahaan alat olahraga di Massachusetts dan perusahaan Aqua-Leisure Industries yang masing-masing berjumlah USD 36.000 dan USD 1.000.

4

Kasus lainnya, Pada tahun 1994 sebuah perusahaan gas di Oklahoma menyumbang sebesar USD 150.000 kepada kandidat dari Partai Demokrat, Stuart Price yang bersaing dengan kandidat dari Partai Republik, Steve Largent, ketika berlangsung kampanye untuk menjadi anggota Kongres.

Berkaitan dengan keterlibatan korporasi dalam bidang politik, telah diantisipasi dengan ketentuan terkait korporasi dalam UU No. 8 Tahun 2012.

Khusus mengenai dana kampanye pemilu telah diatur dalam Pasal 303 ayat (1) dan Pasal 304 ayat (1). Pasal 303 ayat (1) menentukan: “Setiap orang, kelompok, perusahan, dan/atau badan usaha nonpemerintah yang memberikan dana Kampanye Pemilu melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

Pasal 304 ayat (1) menentukan: “Setiap orang, kelompok, perusahan, dan/atau badan usaha nonpemerintah yang memberikan dana Kampanye Pemilu melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

4M. Arief Amrullah, 2009, “Korporasi dan Politik Uang Dalam Pemilu”, URL : http://library.unej.ac.id/client/search/asset/612, diakses tanggal 10 Januari 2016.

(18)

5

Walaupun telah diatur dalam perudangan, namun bilamana terjadi kasus- kasus tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh korporasi yang serupa dalam penyelenggaraan pemilu di Amerika Serikat, maka muncul permasalahan terkait dengan siapakah yang dapat dipertanggungjawabkan. Permasalahan ini muncul dikarenakan dalam Pasal 303 ayat (1) dana Pasal 304 ayat (1) UU No.8 Tahun 2012 tidak mengatur secara jelas terkait penentuan bahwa jika terjadi suatu tindak pidana di bidang pemilu yang dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawabannya apakah dibebankan langsung terhadap korporasi ataukah terhadap pengurus korporasi. Permasalahan lainnya adalah dalam ketentuan tersebut juga tidak dijelaskan tindak pidana apa yang tergolong dalam tindak pidana pemilu. Terkait hal ini baik dalam ketentuan penjelasan maupun dalam peraturan perundangan- undangan dibawah UU No. 8 Tahun 2012 tidak ditemukan penjelasan terkait penentuan siapakah yang bertanggungjawab bilamana terjadi tindak pidana pemilu oleh korporasi.

Dengan adanya kekaburan norma dalam UU No. 8 Tahun 2012 tersebut, maka akan menjadi faktor penghambat dalam penerapan atau aplikasi dan juga eksekusi dari peraturan perundang-undagan tersebut.

5

Sampai saat ini hanya ada satu perkara/putusan saja yang menempatkan korporasi sebagai terdakwa.

6

Dalam kasus ini, pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 1 Maret 1969 No. 136K/Kr/1966 justru membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Ekonomi, sehingga badan hukum yang dimaksud, tidak lagi ditempatkan di bawah

5Chendy Bryan Martinus Supit, 2015, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Perundang-Undangan di Indonesia”, Lex Administratum, Volume III,, No.6, Agustus 2015, h.69 6Yusuf Shofie, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.56.

(19)

6

pengampuan. Hal ini serupa dengan yang disampaikan oleh Muladi, korporasi sebagai subyek tindak pidana masih merupakan hal yang baru, dan tercantum dan peraturan perundang-undangan, tetapi proses hukumnya masih sangat lambat.

7

Sudah seharusnya penegak hukum bisa memidanakan korporasi dalam hal terbukti melakukan suatu tindak pidana, dikarenakan peraturan perundang- undangan telah menentukan bahwa korporasi sebagai subyek tindak pidana yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Karena sebagaimana diketahui kejahatan korporasi khususnya kejahatan korporasi dalam bidang pemilu apabila dibiarkan akan membahayakan proses demokrasi, merugikan negara, dan hanya akan menguntungkan pihak korporasi bukan masyarakat Indonesia.

Keuntungannya yaitu untuk menikmati jaminan birokrasi dan mempengaruhi putusan politik.

Berangkat dari latar belakang pemikiran diatas, maka dari itu diangangkat suatu penelitian dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PEMILU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM DPR, DPD, DAN DPRD”

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pemilu berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD?

7Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Prenadamedia, Jakarta, h,13.

(20)

7

2. Bagaimana pengaturan pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pemilu pada masa mendatang di Indonesia?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam penulisan suatu karya ilmiah, perlu ditentukan secara tegas mengenai batasan materi yang dibahas di dalamnya. Pembatasan materi dimaksudkan agar pembahasan yang dijabarkan nantinya tertuju pada pokok bahasan yang diinginkan dan menghindari menyimpangnya pembahasan materi dari pokok permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Adapun ruang lingkup pembahasan masalaah dibatasi sebagai berikut:

1. Dalam permasalahan pertama, ruang lingkup masalah meliputi pembahasan mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pemilu pada penyelenggeraan pemilu anggota badan legislatif.

Dalam penelitian ini akan mengkaji mengenai pengaturan tindak pidana korporasi yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 dan mendalami mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 berkaitan dengan sanksi pidana bagi korporasi yang melakukan tindak pidana pemilu.

2. Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup permasalahan meliputi pembahasan mengenai pengaturan pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pemilu pada masa mendatang di Indonesia.

Dalam penelitian ini akan mengkaji pengaturan pertanggungjawaban

(21)

8

korporasi dalam tindak pemilu dengan konsep pembaharuan hukum pidana.

1.4. Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dalam mencari orisinalitas pada penelitian-penelitian sebelumnya bahwa belum ditemukan penelitian yang sama dengan penelitian ini, namun terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan karya ilimiah ini. Berikut ini akan diuraikan judul skripsi, identitas penulis, tahun diterbitkan, dan rumusan masalahnya:

1. Penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pemilu dan Proses Penyelesaian Perkaranya Dalam Prespektif UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DAN DPRD” dengan mengangkat dua rumusan masalah yaitu: 1.

Bagaimana mekanisme pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak pidana pemilu dalam KUHP? Dan 2. Bagaimana mekanisme pertanggung jawaban dan penyelesaian tindak pidana pemilu dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu?. Penulis DJR Manalu, 2010, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2.

Penelitian dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Atas Tindak

Pidana Pemilu Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012

tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DAN DPRD” dengan

mengangkat dua rumusan masalah yaitu: 1. Apa bentuk-bentuk tindak

pidana pemilu ditinjau dari UU Pemilu? Dan 2. Apa bentuk

pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana pemilu ditinjau

(22)

9

dari UU Pemilu?. Penulis Muhammad Ryan Kusuma Permadi, 2015, Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya.

Dilihat dari penjabaran beberapa judul dan rumusan masalah diatas dapat dilihat perbedaannya dengan penelitian terdahulu tersebut. Bahwa dalam penelitian ini lebih mengkhusus kepada pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai subyek tindak pidana pemilu dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, DAN DPRD.

1.5. Tujuan Penelitian

Tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini, adalah sebagai berikut:

a. Tujuan Umum

Tujuan umum yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk pengembangan konsep, asas, dan teori mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pemilu berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD.

b. Tujuan Khusus

Tujuan khusus yang ingin dicapai dengan dilakukannya penelitian ini, diantaranya:

1. Mendeskripsikan dan menganalisis tentang pertanggungjawaban

korporasi dalam tindak pidana pemilu berdasarkan Undang-

(23)

10

Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD.

2. Mendeskripsikan dan menganalisis tentang pengaturan pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pemilu pada masa mendatang di Indonesia

1.6. Manfaat Hasil Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan refrensi dalam pengembangan Ilmu hukum secara umum, khususnya di bidang hukum pidana mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana pemilu.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam penegakkan regulasi dan legislasi di bidang Pemilu khususnya mengenai pertanggungjawaban korporasi. Dan juga memberikan kepastian hukum terkait dengan kekaburan norma, sehingga dapat mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang demokratis dan terjaminnya kedaulatan rakyat.

1.7. Landasan Teoritis

1.7.1 Teori Pertanggungjawaban Pidana

(24)

11

Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas, tiada pidana tanpa kesalahan atau actus non facit reum nisi mens sit rea atau actus mens rea atau lebih dikenal dengan asas geen straf zonder schuld. Ada juga postulat lain yang berkaitan dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang berbunyi nemo punitur sine injuria, facto seu de falta. Artinya, tidak ada seorangpun yang dihukum kecuali ia berbuat salah.

8

Elemen terpenting dari pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan.

9

Hukum pidana memisahkan karakteristik perbuatan yang dijadikan tindak pidana dan karakteristik orang yang melakukan. Artinya tindak pidana itu berdiri sendri, yang mana baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Dalam hal ini setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (verwijtbaarheid) yang obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subyektif kepada pembuat yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatan tersebut.

10

Simons mengatakan bahwa dasar adanya tanggungjawab dalam hukum pidana adalah keadaan psikis tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena melakukan

8Eddy Os Hiariej, 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, h. 119.

9Ibid.

10Dwidja Priyatno, 2004, Kebijakan Legislasi tentang Sitem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Utomo, Bandung, h. 12.

(25)

12

perbuatan tadi.

11

Secara umum pertanggungjawaban pidana lebih memfokuskan kepada pemidanaan pelaku, artinya seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas suatu perbuatan yang ia buat atau tidak, seseorang ini harus mampu bertanggungjawab atas perbuatan yang ia lakukan.

1.7.2. Teori Pertanggungjawaban Korporasi

Pertanggungjawaban korporasi pada mulanya dipedomani oleh doktrin respondeat superior. Doktrin ini awalnya merupakan dokrin dalam ranah hukum perdata yang kemudian diterapkan pada hukum pidana. Mengutip pendapat Jowitt dan Walsh, Sutan Remy Sjahdeni menjabarkan tentang doktrin respondeat superior, dimana dalam ajaran tersebut hubungan antara master atau principal dengan agent berlaku maxim quit facit per alium facit per se. Yang mana menurut doktrin tersebut, seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatan itu.

12

Doktrin repondeat superior menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak bisa melakukan tindak pidana dan memiliki kesalahan.

Hanya agen-agen yang bertindak untuk dan atas nama korporasi saja yang dapat melakukan tindak pidana dan memiliki kesalahan. Dari doktrin ini menghasilkan beberapa teori pertanggungjawaban pidana korporasi, diantaranya corporate criminal liability, strict liability, vicarious liability, aggregation theory, dan corporate culture model.

13

Teori corporate criminal liability yang mengatakan pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi, yang mana syarat

11Eddy Os Hiariej, op.cit., h. 122.

12Sutan Renny Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Graffiti Pers, Jakarta, h. 84.

13Ibid.

(26)

13

pertanggungjawaban korporasi menurt teori ini adalah tindakan-tindakan dari para agen tersebut masih dalam ruang lingkup pekerjaan korporasi. Teori ini juga berpandangan bahwa agen tertentu dalam sebuah korporasi dianggap sebagai

“directing mind”. Perbuatan dan mens rea para individu itu kemudian dikaitkan dengan korporasi. Jika individu diberi kewenangan untuk bertindak atas nama dan selama menjalankan bisnis korporasi, mens rea para individu itu merupakan mens rea korporasi.

14

Teori pertanggungjawaban mutlak didalam kepustakaan dikenal dengan istilah absolute liability atau srtict liability. Teori ini dimaksudkan tanggungjawaba tanpa keharusan membuktikan adanya kesalahan, atau dengan kata lain prinsip tanggungjawab yang memandang “kesalahan” sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataanya ada atau tidak.

15

Ada beberapa alasan dalam teori strict liability aspek kesalahan dikesampingkan, sebagaimana yang dinyatakan L.B. Curzon diantaranya, pertama adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan masyrakat. Kedua, pembuktian adanya mens rea akan menjadi sulit untuk pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan. Ketiga, tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan.

16

Teori Vicarious liability atau dikenal dengan istilah pertanggungjawaban pidana pengganti adalah pertanggungjawaban seseorang tanpa kesalahan pribadi,

14Mahrus Ali, 2013, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.

105-106.

15 Dwidja Priyatno, op.cit. h. 107-108.

16 Mahrus Ali, op.cit, h. 114.

(27)

14

bertanggungjawab atas tindakan orang lain. Menurut Barda Nawawi Arief, vicarious liability adalah suatu konsep pertanggungjawaban seseorang atas kesalahn yang dilakukan orang lain, seperti tindakan yang dilakukan yang masih berada dalam ruang lingkup pekerjaanya.

17

Menurut teori aggregrasi, semua perbuatan dan unsur mental atau sikap batin atau kesalahan dari kumpulan orang tersebut dianggap sebagai dan dilakukan oleh suatu korporasi, sehingga korporasi layak dibebankan pertanggungjawaban secara pidana.

18

Berdasarkan teori ini, pengurus dan korporasi dapat dibebankan pertanggungjawaban secara pidana.

Corporate culture model merupakan teori pertanggungjawaban korporasi yang diterapkan di negara Australia. Corporate culture model mengetengahkan kemungkinan bagi perubahan legislative kepada cara di mana atribusi tanggungjawab pidana pada korporasi berkembang melalui putusan pengadilan.

19

1.7.3 Sistem Pertanggungjawaban Korporasi

Secara umum dikenal 3 sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, diantaranya

20

:

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus harus bertanggungjawab secara pidana (perkembangan pertanggungjawaban korporasi tahap pertama);

17Barda Nawawi Arief, 2002, Perbandingan Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief I), h. 28.

18Kristian, 2014, Hukum Pidana Korporasi (Kebijakan Integral Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia), Nuansa Alia, Bandung, h.71.

19Mahrus Ali, op.cit, h. 129.

20Kristian, op.cit, h.73

(28)

15

2. Korporasi sebagai pembuat, nama pengurus yang harus bertanggungjawab secara pidana (perkembangan pertanggungjawaban korporasi pada tahap kedua) dan;

3. Korporasi sebagai pembuat dan korporasi pula yang harus bertanggungjawab secara pidana (perkembangan pertanggungjawaban korporasi pada tahap ketiga).

Pada awalnya pertanggungjawaban korporasi dibebankan kepada pengurus korporasi, yang artinya apabila terjadi suatu tindak pidana pada lingkup kerja korporasi, tindak pidana itu dianggap dilakukan pengurus korporasi.

Perkembangan selanjutnya pertanggungjawaban korporasi yang awalnya kepada pengurus korporasi, kini beralih kepada yang memerintahkan. Dalam perkembangan pertanggungjawaban korporasi tahap kedua ini, korporasi bisa menajadi pembuat tindak pidana, tetapi yang bertanggungjawab adalah para anggota pengurus korporasi. Dalam perkembangan tahap tiga, mulai dikenal tanggungjawab langsung dari korporasi, artinya dibuka kemungkinan menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawaban menurut hukum pidana. Yang menjadi alasan dari adanya tanggung jawab langsung dari korporasi, untuk mewujudkan keadlian, dimana tidak adil bilamana yang dihukum hanya pengurus korporasi saja, dan apabila pemidanaan hanya dikenakan bagi pengurusnya saja, tidak menjamin korporasi tidak akan menggulangi delik tersebut.

1.7.4 Teori Kebijakan Hukum Pidana

Kebijakan hukum pidana dapat juga disebut dengan “politik hukum

pidana”, atau dikenal dengan istilah “penal policy” dan “criminal policy”.

(29)

16

Kebijakan hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan memformulasikan suatu perundang-udangan yang baik. Arti ini mengandung arti yang sama sebagaimana dikatakan oleh Marc Ancel, yang mengatakan kebijakan hukum pidana merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik.

21

Menurut A. Mulder, kebijakan hukum pidana ialah garis kebijakan untuk menentukan:

1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbarui;

2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

22

1.8. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian

Dalam ilmu hukum dikenal dua jenis penelitian yakni penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Dalam kaitan ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law

21Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief II), h. 23.

22Ibid.

(30)

17

in book) atau hukum dikonsepkan sebagai kaedah atau norma yang merupakam patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.

23

Dipilihnya jenis penelitian hukum normatif dikarenakan dalam penelitian ini menguraikan masalah-masalah yang terjadi untuk selanjutnya dikaji menggunakan teori-teori hukum yang kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Jenis Pendekatan

Dalam ilmu hukum terdapat beberapa jenis pendekatan, diantaranya pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (komparative approach), dan pendekatan konseptual (conseptual approach).

24

Dalam meneliti suatu permasalahan, seringkali dibutuhkan kombinasi dari berbagai pendekatan. Untuk itu dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & Conseptual Approach).

Pendekatan perundang-undangan yaitu dengan mengkaji semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan, dalam penelitian ini pendekatan perundang-undangan digunakan untuk mengkaji beberapa aturan hukum yang ada dalam mengetahui tentang pengaturan pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana pemilu.

Pendekatan konseptual, yaitu menelaah konsep-konsep dan pandangan- pandangan dalam berbagai instrumen hukum baik itu instrumen hukum primer,

23Amrudin dan H.Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.44.

24Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Cet. VIII, Kencana Predana Media Group, Jakarta, h. 133.

(31)

18

maupun sumber lainnya. Dalam hal ini pendekatan konseptual digunakan untuk memahami konsep-konsep pertanggungjawaban korporasi.

c. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat

25

, yang mana pada penelitian ini yang menjadi bahan hukum primer meliputi:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316);

c. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 2058.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer

26

, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, pendapat pakar hukum yang berkaitan dengan judul penelitian ini.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

27

, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.

25Amrudin dan H.Zainal Asikin, op.cit, h.31.

26Amrudin dan H.Zainal Asikin, op.cit, h.32.

27Amrudin dan H.Zainal Asikin, loc.cit.

(32)

19 d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi dokumen. Teknik studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum.

28

Teknik studi dokumen dilakukan dengan mencari dan mencatat isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder secara beruntut dan sistematis sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

e. Teknik Analisis Bahan Hukum

Di dalam penelitian hukum normatif yang dianalisa bukanlah data, melainkan melalui metode sebagaimana disebut diatas. Dengan demikian erat hubungannya antara teknik analisis dengan pendekatan masalah. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskripsi, teknik sistematisasi dan teknik evaluatif.

Teknik deskripsi adalah teknik analisa dimana menjabarkan data yang diperoleh dalam bentuk uraian yang nantinya akan menjawab masalah. Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat. Teknik evaluatif adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan, rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder.

28Amirudin dan H. Zainal Asikin, op.cit, h. 68.

(33)

20

Referensi

Dokumen terkait

Nilai estimasi yang ditunjukan tabel 4.14 yaitu 1,02 menandakan bahwa variabel budaya organisasi adalah 1,02 signifikan dalam hubungannya menuju motivasi kerja

Waktu reaksi yang baik pada saat keluar dari start blok memegang peranan penting karena dalam perlombaan atletik khususnya pada nomor sprint, reaksi dari block start

Hasil penelitian ini dimana peran orang tua (ibu) yang mayoritas ibu dari anak dengan perkembangan sosial baik sudah mampu memberikan perhatian dan kasih sayang

Karakteristik utama dari pengasuhan anak di Jepang antara lain, (1) besarnya peran ibu, (2) ayah tidak terlalu banyak terlibat dalam pengasuhan anak, (3)

IRR Adalah hasil perbandingan antara aktiva yang mempunyai sensitifitas terhadap tingkat bunga dengan pasiva yang mempunyai sensitifitas terhadap bunga yang dimiliki oleh

Waktu yang diperlukan untuk mengirim semua informasi adalah 12.5 menit dengan menggunakan navigasi pesan, penerima mampu menentukan waktu transmisi dari masing-masing sinyal

Dari penelitian mengenai construction waste yang telah dilakukan melalui penyebaran kuesioner dengan responden yang berasal darikontraktor yang sedang atau telah menangani

Data (27) kata one heart yang memiliki arti satu hati , yang dimaksudkan bahwa sesuai dengan logo iklan Honda yang berlambang hati, maka dari itu penggunaan bahasa