• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara etimologis kata agraria berasal dari kata bahasa Latin ager yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara etimologis kata agraria berasal dari kata bahasa Latin ager yang"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lingkup dan Stuktur Agraria

Secara etimologis kata agraria berasal dari kata bahasa Latin ager yang artinya sebidang lahan (bahasa Inggris acre), lapangan atau pedusunan. Kata bahasa Latin agrarius meliputi arti: yang ada hubungannya dengan tanah;

pembagian atas tanah terutama tanah-tanah umum; bersifat rural (Wiradi, 1984).

Saudara kembar dari istilah ager adalah agger artinya: a) tanggul penahan/pelindung; b) pematang; c) tanggul sungai; d) jalan tambak; e) reruntuhan tanah; f) bukit. Kata ”pedusunan” jelas menunjukkan bahwa suatu wilayah yang didalamnya terdapat berbagai macam tumbuhan, air, sungai, mungkin juga tambang, perumahan, dan masyarakat manusia.

Konsep ”agraria” dengan demikian mengandung dua unsur yang saling mengandalkan dalam kehadirannya yaitu kekayaan alami dan manusia sosial.

Unsur pertama kemudian dimaknai sebagai objek agraria/sumber-sumber agraria (SSA) dan unsur kedua disebut subjek agraria. Secara garis besar subjek agraria dapat dipilah ke dalam kelompok sosial yaitu komunitas, pemerintah (representasi negara), dan perusahaan swasta (private sektor). Sesuai dengan UUPA 1960, konsep agraria menunjuk pada beragam objek atau sumber agraria sebagai berikut: tanah, perairan, hutan, bahan tambang, dan udara.

Struktur agraria pada dasarnya menunjuk pada hubungan antar berbagai status sosial penguasaan sumber-sumber agraria. Tidak saja pola penguasaan, namun pola pemilikan dan pemanfataan sumber-sumber daya agraria menjadi penting. Hubungan tersebut dapat berupa hubungan ”pemilik dengan pemilik”,

(2)

”pemilik dengan pembagi-hasil”, ”pemilik dengan penyewa”, dan lainnya.

Menurut Wiradi (1984), kata ”penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif, sedangkan ”pemilikan” tanah menunjuk pada penguasaan formal. Penguasaan formal dapat dijelaskan dengan adanya undang-undang yang mengatur mengenai penguasaan tanah. Penguasaan tanah belum tentu dan tidak harus disertai dengan pemilikan. Penguasaan tanah dapat berupa hubungan “pemilik dengan pemilik”,

“pemilik dengan pembagi- hasil”, “pemilik dengan penyewa”, “pemilik dengan pemakai” dan lain-lain (Sihaloho, 2004). Kata “pengusahaan” menunjuk pada pemanfaatan sebidang tanah secara produktif (Wiradi, 1984).

Berangkat dari tesis J. Habermas (Sitorus, 1984) tentang dua dimensi tindakan manusia yaitu kerja (tindakan teknis terhadap objek) dan interaksi atau komunikasi (tindakan sosial terhadap subjek). Secara deduktif kemudian

dirumuskan dua proposisi dasar analisis agraria sebagai berikut: pertama, ketiga subjek agraria memiliki hubungan teknis dengan objek agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure); kedua, ketiga subjek agraria satu sama lain berhubungan atau berinterkasi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan objek agraria tertentu.

Hubungan teknis menunjuk pada cara kerja subjek agraria mengelola sumber agraria untuk pemenuhan kepentingan-kepentingan sosial-ekonominya.

Sedangkan hubungan antara subjek-subjek agraria dasarnya adalah hak penguasaan objek atau sumber agraria yang dimiliki masing-masing subjek.

Perbedaan antara subjek agraria kemudian akan menghasilkan suatu tatanan sosial yang dikenal dengan struktur (sosial) agraria.

(3)

Dalam keterangannya yang lain, Wiradi (2009) menyatakan bahwa minimal ada dua tema besar penelitian yang harus diperhatikan sebagai dasar. Dua tema itu adalah: (1) ”Land tenure pattern” atau pola pemilikan tanah. Ini mencakup data tentang jenis status hak pemilikan, jenis penggunaan tanah, dan sebaran (distribusi) pemilikan tanah. (2) ”Land tenancy pattern” atau hubungan penggarapan tanah. Artinya, ini mengenai masalah kelembagaan atau aturan- aturan setempat mengenai penggarapan tanah yang bukan milik penggarapnya (sewa, gadai, bagi-hasil, kedokan, dan sebagainya).

Pola-pola hubungan atau interaksi sosial agraria yang terdapat dalam masyarakat sangat ditentukan oleh formasi sosial yang ada. Beberapa tipe cara produksi yang mungkin eksis dalam suatu masyarakat, dengan salah satu diantaranya tampil dominan, adalah (Wiradi, 2000:183 dalam Sitorus, 2004): (a) tipe naturalisme: sumber agraria dikuasai oleh komunitas lokal (adat) secara

kolektif. (b) tipe feodalisme: sumber agraria dikuasai oleh minoritas ”tuan tanah”

yang biasanya juga merupakan ”patron politik”. (c) tipe kapitalisme: sumber agraria dikuasai oleh non-penggarap yang merupakan perusahaan kapitalis. (d) tipe sosialisme: sumber agraria dikuasai oleh negara atas nama kelompok pekerja.

(e) tipe populisme/neo-populisme: sumber agraria dikuasai oleh keluarga/rumah tangga pengguna.

Pada tipe-tipe struktur agraria, dominasi penguasaan sumber agraria pada satu pihak subjek menimbulkan hubungan-hubungan sosial atau dengan kata lain struktur agraria yang berbeda antara satu dan lain masyarakat. Keseluruhan hubungan-hubungan agraria, baik hubungan teknis (dimensi kerja) maupun

(4)

hubungan sosial (dimensi interaksi) dapat digambarkan sebagai suatu hubungan segitiga antara subjek agraria yang berpusat pada objek agraria (Gambar 1).

Keterangan:

Hubungan teknis agraria (kerja) Hubungan sosial agraria

Gambar 1. Hubungan Segitiga Antara Subjek Agraria yang Berpusat pada Objek Agraria

2.2 Jenis-Jenis Penguasaan dan Transaksi Tanah

Desa-desa di Indonesia sangat beraneka-ragam, baik dilihat dari segi demografis maupun keadaan sosial-ekonomi dan budayanya. Salah satu variasi yang penting adalah variasi bahasa. Beberapa dari konsep-konsep yang menunjuk kepada realitas-realitas tertentu dianggap penting untuk diketahui karena seringnya dijumpai di pedesaan Jawa. Beberapa jenis penguasaan dan transaksi tanah diantara sebagai berikut (Wiradi, 2009): (1) Gadai, yaitu suatu penyerahan tanah dengan pembayaran konstan, akan tetapi yang menyerahkan tanah itu memiliki hak mengambil kembali tanah tersebut dengan pembayaran uang yang sama jumlahnya. Istilah-istilah: menggadai (Minang), adolsende (Jawa), ngajual akad atau gade (Sunda). Dalam transaksi gade ini yang menerima tanah memiliki

komunitas

SSA

pemerintah swasta

(5)

hak penuh untuk mengerjakan dan memungut hasil tanah tersebut. Ia hanya terikat oleh janjinya bahwa tanah itu tidak boeh dijual lepas oleh pemegang gadai. (2) Sewa, pada dasarnya sewa ada dua macam yaitu sewa dalam arti teknis

merupakan transaksi yang mengizinkan seseorang untuk mengerjakan tanah orang lain atau untuk tinggal di situ dengan membayar sesudah panen atau sesudah tiap tahun, dan sewa dalam bentuk penyerahan tanah dengan pembayaran kontan

dengan perjanjian bahwa satu, dua, atau beberapa kali panen/tahun, tanah itu kembali pada pemiliknya.

(3) Sakap, yaitu bentuk transaksi penggunaan total produksi oleh kedua unsur produksi, yaitu modal dan buruh, dilakukan dengan suatu perbandingan tertentu dan masing-masing pihak memperoleh bagian dalam bentuk ”natura”.

Biasanya pada permulaan transaksi, ada pembayaran muka. Arti pembayaran ini ialah: pemberian uang dengan permohonan (sromo), atau pengakuan bahwa tanah yang akan dikerjakan itu adalah milik orang lain (mesi). Tergantung dari besarnya bagian hasil yang akan diterima penggarap. Di Jawa istilahnya adalah maro (separuh), mertelu (sepertiga), merapat (seperempat). Sinonim maro adalah nengah (Jawa-Sunda), tesang (Sul-Sel), tojo (Minahasa).

2.3 Macam Tanah Berdasarkan Penggunaannya

Menurut Wiradi (2009), beberapa macam tanah dan fungsinya diantaranya: (1) Tanah sawah, yaitu tanah yang dipakai untuk tanaman padi, dengan pengairan. (2) Tanah kering, ada beberapa kategori tanah kering diantarannya: (a) pekarangan, yaitu tanah sekeliling rumah yang ditanami bermacam-macam tanaman, namun secara hukum adalah: ”tanah kering yang

(6)

diatasnya boleh didirikan rumah.” (b) tegalan, yaitu tanah pertanian tanpa pengairan (irigasi), atau tanah kering di luar perkampungan yang ditanami bermacam-macam tanaman, biasanya bukan padi. (c) Kebun/talun, berarti bagian belakang halaman atau tanah yang ditanami satu macam tanaman. (d) tanah pangonan, yaitu tanah milik desa atau beberapa desa yang dipergunakan bagi penggembalaan ternak. (3) Kolam dan Tambak, yaitu tanah berlubang besar yang berisi air, biasanya di dalam perkampungan untuk memelihara ikan. Sedangkan tambak adalah ”kolam ikan” yang besar di luar perkampungan yang biasa terdapat di desa-desa pantai.

2.4 Hak Kepemilikan

Hak kepemilikan merupakan faktor penting dalam pengelolaan sumberdaya alam (Acheson dalam Lynch dan Harwell, 2006). Walaupun istilah dan konsep yang menyangkut hak kepemilikan telah sangat berakar namun seringkali memiliki arti yang berbeda untuk orang yang berbeda. Penegakan kekuasaan penyelenggara negara di tingkat pusat atas kekayaan dan sumber- sumber alam dan pengaturan kehidupan kampung dikembangkan berlandaskan asumsi dan cara-baca yang salah tentang sifat masyarakat lokal, kelembagaannya, serta nilai dan manfaat alam. Cara baca dan anggapan yang salah itu terus berlaku karena terbukti ampuh mendukung tindakan pengambil-alihan hak-hak kepemilikan masyarakat tradisional atas tanah, serta memudahkan dioperasikannya pola pemanfaatan yang lebih “produktif” dan “modern”, seperti pembalakan hutan, pengerukan bahan tambang, penangkapan ikan, serta pertanian-perkebunan – sebuah situasi yang digambarkan Dove dalam Lynch dan

(7)

Harwell, 2006) sebagai “ekonomi politik pengabaian” (Scott dalam Lynch dan Harwell, 2006).

Cara baca dan anggapan salah yang pertama adalah label (stereotipe) negatif tentang masyarakat lokal, masih mewarnai karakter kebijakan negara.

Masyarakat lokal selalu dianggap tidak ada pada bentang wilayah kekayaan dan sumber-sumber alam (Lynch, 1990). Apabila masyarakat lokal turun ke lokasi, mereka akan diperlakukan, tanpa mempedulikan konteks budaya atau ekologi, sebagai kelompok perusak yang harus disingkirkan demi melindungi kekayaan dan sumber-sumber alam yang akan dikelola. Bahkan masyarakat lokal dianggap sebagai penghuni liar dan dijuluki “perambah” atau “pencuri”. Anggapan salah kedua adalah tata-penyelenggaraan kampung lemah dan tidak memiliki kemampuan sehingga senantiasa butuh “pembinaan” negara. Padahal, keberadaan lembaga pengatur setempat bersumber dari masyarakat banyak terdapat di berbagai daerah di Indonesia, dan secara tersurat diakui oleh Pasal 18 UUD 1945.

Anggapan terakhir adalah manfaat, nilai kekayaan dan sumber-sumber alam secara sempit didefinisikan oleh peraturan dan perundang-undangan negara sebagai hal yang murni dan semata-mata ekonomik, sebagai aset bersama yang akan dimanfaatkan untuk memajukan ekonomi nasional.

Dalam kerangka hukum, serta tekanan negara dan orang luar memaksa kejelasan tentang hak kepemilikan, bukan saja pengakuan, harus ada pengakuan secara legal. Ini merupakan tekanan bagi kelompok masyarakat lokal untuk mendapatkan pengakuan secara legal dari negara. Kenyataan sederhana adalah bahwa hak kepemilikan individu-apakah itu berbasis individu atau masyarakat- tidak mudah dibatalkan dan tidak mudah dikontrol oleh pemerintah. Hal ini

(8)

merupakan pertimbangan penting sebagian besar dunia khususnya negara berkembang, dimana hukum negara sering bersifat tidak simpatik kepada masyarakat lokal yang secara langsung bergantung pada sumberdaya alam.

2.5 Sumberdaya Pertambangan dan Mineral

Undang-Undang Pokok Pertambangan, No. 11/1967, mengikuti prinsip yang sama dari kolonial seperti UPPK, namun dengan derajat yang lebih tinggi.

Pada Pasal 1 UU pertambangan mengulang kembali soal Deklarasi Wilayah dengan menyatakan bahwa “semua sumberdaya yang terkandung di atas dan bawah lapisan tanah merupakan aset nasional yang dikontrol dan digunakan oleh negara untuk kepentingan bersama.” Selanjutnya UU tersebut memprioritaskan operasi pertambangan skala besar, karena pertambangan rakyat skala kecil tidak dianggap mampu menyumbang pada pertumbuhan ekonomi (pasal 8).

UU pertambangan adalah UU yang paling keras dari semua UU sumberdaya dalam memprioritaskan ekstraksi swasta dalam bidang tersebut secara khusus mensyaratkan masyarakat lokal untuk menyerahkan hak mereka kepada operasi pertambangan skala besar (Lynch dan Harwell, 2006). Negara Indonesia terus mengejar konsolidasi neo-kolonial dari kontrol legalnya atas sumberdaya alam melalui berbagai taktik yang meliputi: (1) sentralisasi otoritas dan penyederhanaan hak-hak. Negara memaksa dikotomi sederhana dari lahan yang dimiliki secara individu atau lahan yang tidak dimiliki oleh siapapun yang akhrinya dklaim oleh negara. (2) komodifikasi berbagai lanskap dan sumberdaya.

negara telah menggunakan otoritasnya untuk mengelompokkan hutan secara unilateral menurut fungsi ekonomi tanpa ada kebutuhan untuk pemberitahuan

(9)

kepada partisipasi lokal. (3) kriminalisasi praktik lokal dan keberadaan dalam kawasan sumberdaya yang diklaim oleh negara.

2.6 Teori Konflik

2.6.1 Konsep dan Pengertian

Konflik menurut Fisher et al. (2001: 4), konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan, konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan.

Berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat. Fuad dan Maskanah (2000) memaparkan bahwa konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang disebabkan karena perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya. Jika hak yang dimiliki seseorang merupakan bagian hak dari sekelompok orang (hak komunal), atau bila hak itu memerlukan pengakuan oleh orang lain, maka dalam merealisasikannya dapat menimbulkan benturan-benturan. Benturan akan semakin nampak terutama apabila terdapat rasa tidak adil dalam merealisasikan hak, dan faktor ini yang merupakan pemicu bagi konflik yang kemudian timbul.

Robins (1993, diacu dalam Tadjudin 2000), yaitu konflik dikatakan sebagai suatu proses yang dimulai tatkala suatu pihak merasa ada pihak lain yang memberikan pengaruh negatif atau tatkala suatu pihak merasa kepentingannya itu memberikan pengaruh negatif kepada pihak lainnya. Dalam pengertian tersebut, wujud konflik itu mencakup rentang yang luas: mulai dari ketidaksetujuan yang

(10)

samara-samar sampai dengan tindakan kekerasan. Artinya, perbedaan itu merupakan potensi konflik, yang jika ditangani secara baik, potensi konflik itu bias berubah menjadi konflik terbuka. Konflik adalah juga pertentangan antar banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah, serta sudah merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan ada (Mitchel et al. 2000:365). Maka konflik merupakan sesuatu yang tidak terelakan, yang dapat bersifat positif maupun negatif.

Pada masa sebelumnya, konflik tanah sebagian dipicu oleh faktor-faktor yang disebutkan di atas. Hanya saja, pada masa itu persoalan yang sering kali mendasari terjadinya konflik adalah keberpihakan politik pemerintah terhadap sektor swasta yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan masyarakat lokal. Ada empat dasar atau akar konflik sebagaimana dirumuskan Mitchell et al. (2000):

Pertama, perbedaan pengetahuan atau pemahaman, yaitu perbedaan fakta atau

interpretasi terhadap suatu keadaan akan dapat menimbulkan konflik tentang apakah telah muncul persoalan, dan/atau penyelesaian persoalan manakah yang paling tepat. Kedua, konflik dimungkinkan muncul karena perbedaan nilai.

Ketiga, perbedaan kepentingan, yaitu perbedaan tentang siapa yang diuntungkan

atau siapa yang dirugikan. Keempat, konflik dapat terjadi karena adanya persoalan pribadi dan latar belakang sejarah.

Adapun sumber konflik menurut Fisher et al. (2001), yaitu karena adanya ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan dalam hal ini hubungan antar pribadi hingga tingkat kelompok, organisasi, masyarakat, dan negara, semua pertumbuhan dan perubahan. Kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan penindasan, dan kejahatan.

(11)

Fisher et al. (2001) juga menggolongkan bentuk konflik ke dalam tiga bagian yaitu konflik laten, konflik terbuka, dan konflik permukaan. Konflik permukaan adalah konflik yang tidak memiliki kedalaman tingkat tinggi. Artinya konflik hanya disebabkan oleh kesalahpahaman antar dua orang atau lebih.

Konflik ini dapat diselesaikan dengan cepat karena tidak memiliki akar permasalahan yang dalam. Konflik laten adalah konflik yang memiliki akar yang dalam namun tidak muncul ke permukaan. Konflik ini dicirikan dengan perlawanan secara diam-diam oleh orang yang berselisih. Dalam konflik laten, upaya terjadinya konflik secara terbuka masih dapat dicegah. Sementara itu, konflik terbuka adalah konflik yang memiliki akar permasalahan yang dalam dan sudah muncul ke permukaan. Konflik ini memerlukan resolusi konflik yang lebih kompleks dan melalui tahap transformasi konflik.

2.7 Konflik Agraria

Menurut Wiradi (2000), konflik agraria sebagai suatu gejala sosial merupakan proses interaksi antar dua orang/kelompok atau lebih yang masing- masing memperjuangkan kepentingan antar objek yang sama seperti tanah, air, tanaman, tambang, udara yang berada di atas tanah yang besangkutan. Pada tahap

”berlomba” untuk mendahului objek itu, sifatnya masih dalam ”persaingan”.

Tetapi pada saat mereka saling berhadapan untuk memblokir jalan lawan, terjadilah ”situasi konflik”. Jadi, konflik adalah bentuk ekstrim dan keras dari persaingan. Kepentingan aktor merupakan hal penting dalam konflik sosio- agraria. Persoalan konflik seringkali juga dipicu oleh perbedaan kepentingan aktor yang berhubungan dengan tanah (Sitorus, 2004). Jika dipetakan, aktor-aktor yang

(12)

memiliki kepentingan terhadap tanah antara lain, masyarakat, swasta dan negara.

Hubungan ketiganya dengan tanah (sebagai sumber agraria) berupa hubungan teknis dan hubungan sosio-agraria

Konflik terjadi karena permasalahan pada hubungan sosio-agraria. Rezim masyarakat, swasta dan negara berada pada posisi yang saling menegasikan satu dengan lainnya. Kecenderungannya, rezim swasta dan negara saling berkompromi, sedangkan rezim masyarakat berada di posisi sebaliknya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya sejumlah konflik sosio-agraria, yang dilakukan oleh masyarakat melawan kekuatan swasta dan negara. Konflik pemilikan atau penguasaan tanah yang tidak seimbang banyak terjadi pada tanah- tanah perkebunan. Konflik ini banyak memicu terjadinya pendudukan tanah-tanah perkebunan—yang HGU-nya belum berakhir—oleh masyarakat tanpa seizin pemegang hak atas tanah yang bersangkutan (occupatie) dan diklaim sebagai tanah miliknya.

2.8 Sumber dan Tipologi Konflik Agraria

Eskalasi konflik sosio-agraria (Sitorus, 2004) disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain (1) Pemilikan atau penguasaan tanah tidak seimbang dan merata, (2) Ketidakselarasan penggunaan tanah untuk sektor pertanian dan non- pertanian, (3) Tidak berpihaknya politik kebijakan agraria kepada masyarakat ekonomi lemah (wong cilik), (4) Tidak adanya pengakuan terhadap hukum adat (hak ulayat), dan (5) Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam proses pembebasan tanah. Semua faktor di atas merupakan penyebab terjadinya konflik sosio-agraria masa kekinian. Sementara itu, Nasoetion (2002)

(13)

menggolongkan konflik pertanahan ke dalam 8 (delapan) kelompok besar yaitu:

pertama, konflik atas tanah perkebunan yang disebabkan oleh: (a) Proses ganti

rugi yang belum tuntas. (b) Tanah garapan turun-temurun masyarakat diambil alih perkebunan secara paksa. (c) luas kebun di lapangan lebih besar dari luas yang tercantum pada sertifikat HGU yang diterbitkan. (d) tanah perkebunan merupakan tanah ulayat atau warisan dari suatu kesultanan atau keluarga masyarakat tertentu.

(e) tanah perkebunan tidak dikelola secara baik menurut penilaian tergolong kelas IV dan kelas V.

Kedua, masalah permohonan hak atas tanah yang terletak di kawasan

hutan serta sengketa tanah atas masyarakat dan Perum Perhutani. Ketiga, masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan putusan pengadilan: (a) tidak dapat diterimanya putusan pengadilan oleh pihak yang kalah. (b) putusan pengadilan yang tidak dapat dilaksanakan karena:

i. Tanah objek sengketa yang diputus oleh pengadilan telah berubah statusnya maupun kepemilikannya.

ii. Putusan pengadilan menimbulkan akibat hukum yang berbeda terhadap status objek perkara yang sama, sehingga diperlukan fatwa Mahkamah Agung sesuai pasal 47 dan pasal 48 Undang-undang No. 13 Tahun 1965 tentang pngadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung.

Keempat, masalah permohonan pendaftaran yang berkaitan dengan tumpang

tindih atau sengketa batas yang antara lain disebabkan oleh pemalsuan terhadap alas hak. Kelima, masalah yang berkaitan dengan pendudukan dan/atau tuntutan ganti rugi masyarakat atas tanah-tanah yang telah dibeli/dibebaskan oleh

(14)

pengembang untuk perumahan, industri, perkantoran, dan kawasan wisata.

Keenam, Masalah yang berkaitan dengan klaim tanah ulayat yang tidak mudah

menentukan eksistensi hak ulayatnya. Ketujuh, masalah-masalah yang berkaitan dengan tukar-menukar tanah bengkok desa yang telah menjadi kelurahan.

Kedelapan, masalah-masalah lainnya seperti sengketa pemanfaatan lahan tidur

dan penggunaan tanah terlantar.

Dominasi penguasaan sumber-sumber agraria yang terjadi pada satu pihak subyek akan memunculkan hubungan-hubungan sosial atau dengan kata lain struktur agraria yang berbeda antara satu dengan lainnya di dalam masyarakat desa hutan. Terkait kebijakan pemerintah, langkah-langkah kebijakan yang diambil dalam rangka menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi akibat pendudukan masyarakat atas tanah perkebunan antara lain:

1. Terhadap tanah perkebunan (HGU) yang masih berlaku dan sah serta diusahakan dengan baik apabila diduduki oleh rakyat secara melawan hukum, diselesaikandengan UU Nomor 51/Prp/1960 dengan memprehatikan pertimbangan instansi terkait.

2. Terhadap tanah perkebunan (HGU) yang diduduki oleh rakyat karena tanah tersebut tidak diusahakan dengan baik (akibat kelalaian pemilik perkebunan) maka tanah tersebut dikeluarkan dari arela HGU. Penguasaan, penggunaan, dan pemilikannya ditata kembali sesuai RT/RW, kemudian diredistribusi kepada petani penggarap yang berhak setelah berkoordinasi dengan instansi terkait dan pemerintah daerah.

Di Indonesia terdapat sedikitnya tiga macam incompatibilities kaitannya dengan konflik agraria, yaitu (Wiradi, 2000): (a) ketimpangan dalam hal struktur

(15)

“pemilikan” dan “penguasaan” tanah. (b) ketimpangan dalam hal “peruntukan”

tanah. Hal ini berkaitan dengan masalah penggunaan tanah dimana fungsi tanah berkembang dengan cepat terutama konversi lahan-lahan pertanian ke non- pertanian. Indikasi kesenjangan yang berbuah konflik dapat dilihat dari tanah- tanah yang seharusnya diperuntukkan bagi pertanian rakyat selalu digusur sementara tanah-tanah perkebunan besar bertambah luas. (c) incompatibility dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria. Maksud dari incompatibility adalah perbedaan konsepsi dan persepsi. Hal ini terjadi akibat perbedaan antara subjek yang menggunakan hokum positif (legal/formal dari Barat) dan mereka yang menggunakan tata cara hokum adat mengenai macam-macam hak atas tanah.

Konflik agraria merupakan sebuah konsekuensi yang harus dihadapi sebagai bagian atau cara dari pengaruh kebijakan yang diberlakukan pemerintah.

Ada tiga kelompok yang biasanya tercakup dalam masalah agraria, yaitu pemerintah, pengusaha, (perusahaan swasta dan negara), dan masyarakat (Sitorus dan Wiradi, 1999). Aktor-aktor agraria tersebut (pemerintah, pengusaha, dan, masyarakat) menggambarkan bagaimana relasi yang erat antara tiga kelompok kepentingan yang berbeda dengan sumber agraria dan keterlibatan yang begitu erat antar kelompok-kelompok itu. Ketika ada gejala konflik agraria yang terjadi selalu memiliki keterkaitan dengan masing-masing komponen baik secara langsung maupun tidak. Konflik yang muncul kemudian memunculkan beberapa faktor di luar kepentingan antar aktor yang berkonflik, salah satunya LSM yang menjadi sarana bagi masyarakat untuk memiliki bargaining position yang setara dengan perusahaan atau pemerintah. Konflik juga membawa implikasi bagi

(16)

masyarakat lokal untuk kemudian menata kehidupan pasca adanya pihak atau aktor lain dalam memanfaatkan sumber daya lokal.

Wiradi (2000) menerangkan bahwa kesenjangan perbedaan konsepsi dan persepsi, antara mereka yang menggunakan konse-konsep hukum positif (formal/legal) dengan mereka yang berada pada masyarakat adat, mengenai bermacam hak atas tanah. Masalah ini merupakan masalah yang rumit, karena melibatkan beragam struktur masyarakat dalam upaya membuat konsensus.

Tanah-tanah yang secara legal tidak ada sertifikasi diduduki oleh rakyat secara turun temurun atas dasar legalitas hukum adat yang berlaku digilas oleh hukum positif yang datang dari negara. Pertentangan hukum adat dan hukum positif inilah yang memicu konflik agraria dalam pola penguasaan dan pemilikan tanah.

Ketimpangan-ketimpangan dalam pola pemilikan, penguasaan, peruntukkan dan persepsi dan konsepsi mengenai agraria merupakan sumber ketidakadilan agraria yang memarginalkan masyarakat (petani). Sehingga aksi- aksi konflik agraria tidak dapat dihindarkan. Perilaku petani yang mewujud dalam bentuk pendudukan liar, penjarahan, pengrusakan, dan sebagainya pada hakikatnya merupakan manifestasi dari sikap protes karena adanya ketidakadilan yang melampaui batas kesadaran mereka. Sehingga perjuangan apa pun yang petani lakukan terhadap negara/penguasa dan pemilik modal merupakan bentuk perlawanan atas ketidakadilan dalam memperjuangkan hak-hak mereka.

2.9 Sintesis Teori Konflik dan Konflik Agraria

Secara konseptual, teori konflik dan konflik agraria memiliki kesamaan dan perbedaan baik dari cara pandang baik (teori konflik dan konflik agraria)

(17)

maupun unit analisis yang digunakan. Teori konflik lebih menjelaskan secara umum antara kedua belah pihak atau lebih yang mengalami pertikaian terhadap objek yang sama. Meskipun permasalahan agraria masuk ke dalam objek namun dalam pengertian teori konflik hal ini tidak dibahas secara rinci bagaimana konflik dan seluk beluk konflik agraria dapat muncul. Dari kekurangan yang dimiliki oleh teori konflik, maka tidak dapat secara jelas menganalisis teori konflik dengan kasus yang telah dirujuk. Berbeda dengan konflik agraria yang lebih memerinci persoalan agraria. konflik agraria juga membatasi persoalan agraria dimulai dari aktor yang berkonflik akibat perbedaan kepentingan dalam memanfaatkan dan menguasai sumber-sumber agraria (SSA).

Sitorus (2004) menjelaskan lebih lanjut bagaimana konflik agraria merupakan gejala struktural, berpangkal pada ketidakserasian atau benturan kepentingan antar subjek dalam hubungan agraria. Dalam hal ini, apabila dua atau lebih pihak subjek memiliki klaim hak pengusaan atas suatu unit sumber agraria yang sama, maka terjadilah sengketa agraria. Jika dikorelasikan dengan keadaan empiris misalnya, sebuah perusahaan memiliki klaim HPH atas suatu kawasan hutan dan pada saat yang sama, atas kawasan yang sama komunitas setempat juga mengajukan klaim hak ulayat. Saling klaim semacam ini kerap berakhir dengan sengketa berkepanjangan terlebih jika pemerintah memiliki kepentingan- kepentingan ekonomi dan politik yang mengarahkannya untuk memihak pengusaha. Melalui perspektif teori agraria, tidak dijelaskan bagaimana gejala struktural akibat perbedaan kepentingan yang melahirkan sejumlah sengketa agraria. Teori konflik hanya mengidentifikasi faktor apa saja yang menjadi penyebab konflik. Sementara itu, konsep konflik agraria merupakan hasil sintesis

(18)

dari kejadian yang terjadi secara empirik terkait permasalahan lahan dan sumber daya yang terbatas antara sesama subjek agraria.

2.10 Kerangka Pemikiran

Pada masa sebelum pertambangan masuk, masyarakat Pongkor memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap lahan pertanian. Mayoritas dari warga bekerja di sektor pertanian. Sedikit dari mereka yang bekerja di sektor jasa seperti berdagang. Dinamika agraria yang terjadi di Pongkor mulai berwarna seiring dengan masuknya pertambangan yang merupakan momentum dari berubahnya keadaan di Pongkor. Pemerintah memberikan hak pengelolaan objek agraria ini kepada PT A dengan mengantongi Kuasa Pertambangan.

Masuknya pertambangan emas ke wilayah ini membawa respon yang berbeda khususnya masyarakat tani. Masyarakat pun mengalami transformasi dan mulai melirik sektor pertambangan. Hal ini tidak lepas dari beberapa factor yang melatarbelakangi. Kondisi pertanian yang dipertahankan berasal dari masyarakat tani yang tetap menjadikan petani sebagai wadah penghasilan utama. Semetara itu, bagi masyarakat tani yang memilih pertambangan baik sebagai penghasilan utama maupun sampingan (selain pertanian) memiliki dampak terhadap keberlangsungan petani tersebut.

Dampak langsung di sektor pertanian menurunnya minat masyarakat di sektor pertanian merupakan salah satu penyebab semakin meningkatnya masyarakat Pongkor yang bekerja di sektor pertambangan atas pertimbangan yang beragam seperti materi yang lebih menjanjikan di sektor pertambangan, kaum muda yang cenderung tidak tertarik di sektor pertanian, dan lainnya. Hal ini berimplikasi pada berubahnya tata produksi lahan yang dalam hal ini pola

(19)

pengelolaan lahan. Curahan waktu yang dikeluarkan oleh petani menjadi terbagi antara pertanian dan pertambangan. Tidak hanya itu, nilai ekonomi atau status tanah juga mengalami pergeseran. Penghargaan terhadap tanah mengalami penurunan minat bagi sebagian masyarakat tani. Selain itu, terjadi overlapping klaim dari masing-masing pihak. Masyarakat lokal yang merasa hak ulayatnya tercerabut paksa akibat datangnya PT A. Tertutupnya akses untuk ikut menambang lama kelamaan semakin meruncing dan melahirkan konflik baik laten maupun terbuka.

(20)

Keterangan Simbol:

= dinamika agraria = transformasi

= hubungan = mengakibatkan

= pengaruh dan dampak

Gambar 2. Kerangka Pemikiran

2.11 Hipotesis Penelitian

1 Berbagai respon masyarakat tani terhadap masuknya pertambangan emas mempengaruhi sektor pertanian

2 Besarnya kecilnya lahan mempengaruhi respon masyarakat tani terhadap pertambangan emas

3 Faktor ekonomi mempengaruhi masyarakat tani untuk beralih ke pertambangan emas

Pertanian Dipertahankan

Overlapping Klaim

Dampak

Pola Produksi Lahan

Nilai Ekonomi Tanah

Konflik

Respon Masyarakat tani

Struktur agraria

Pertambangan Emas

Faktor yang mempengaruhi

Faktor yang mempengaruhi

Pertambangan Pertanian

Dampak

(21)

4 Respon positif petani terhadap adanya pertambangan emas akan berimplikasi pada pola produksi lahan menjadi terabaikan

5 Kecenderungan respon petani lebih mengusahakan pertambangan emas akan berimplikasi pada adanya benturan kepentingan antar aktor serta saling klaim atas objek yang sama

6 Kondisi yang mengakumulasi dan timpang atas pertambangan emas menyebabkan konflik antara masyarakat dan perusahaan tambang emas

2.12 Definisi Konseptual

1. Dinamika adalah gerak atau aktivitas. Gerak menjadi suatu pola pergeseran dan perubahan dari waktu ke waktu hubungannya dengan pola hidup manusia yang ditandai dengan momentum tertentu.

2. Struktur agraria adalah pola hubungan secara teknis dengan objek agraria (lahan) dan pola hubungan sosial (antar subjek agraria). Struktur agraria di sini dimaknai sebagai pola hubungan dalam pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan lahan.

3. Konflik agraria adalah kondisi dimana terdapat dua pihak atau lebih saling memanfaatkan, mengklaim dalam hal penguasaan atas objek agraria yang sama.

2.12 Definisi Operasional Luasan Lahan Pertanian

1. Luasan lahan adalah besarnya lahan berupa:

a) Rendah: ≤ 0,5 ha

(22)

b) Sedang: 0,51 ha – 1,99 ha c) Tinggi: ≥ 2 ha

2. Pola penguasaan atas lahan adalah penguasaan dan/atau pemilikan atas dasar milik yang hanya terbatas pada akses terhadap lahan berupa lahan pribadi, sewa, bagi hasil, dan gadai.

3. Pola pemilikan adalah penguasaan dan/atau pemilikan lahan meliputi kemampuan akses dan kontrol secara formal meliputi lahan pribadi, sewa, bagi hasil, dan gadai.

4. Jenis lahan pertanian baik yang dimiliki, dikuasai, dan dimanfaatkan berupa sawah, dalam hal pengairan dapat dibagi menjadi sawah irigasi yaitu dengan pengairan buatan dan sawah tadah hujan yang diairi langsung oleh air hujan. Selain itu terdapat tegalan/ladang, tambak, dan pekarangan

5. Status dan bentuk pemanfaatan adalah berupa pemanfaatan sendiri dan dimanfaatkan orang lain

6. Bentuk pemanfataan lahan diantaranya berupa budidaya tanaman pangan, budidaya hortikultura, budidaya tanaman buah, dan lainnya

Kondisi Sosial Ekonomi

1. Pekerjaan pertanian adalah pekerjaan yang dilakukan dengan memanfaatkan sumber-sumber agraria dalam hal lahan pertanian

2. Pekerjaan nonpertanian adalah pekerjaan yang dilakukan di luar sektor pertanian

3. Jenis pekerjaan pertanian adalah ragam mata pencaharian dalam basis pertanian diantaranya berupa bertani sendiri, petani penggarap, buruh tani, petani pedagang/pengumpul

(23)

4. Pekerjaan non pertanian adalah ragam mata pencaharian di luar dari sektor pertanian seperti pegawai negeri sipil (PNS), karyawan/staf karyawan, pedagang (warung/toko), supir, tukang ojek, pengusaha, lainnya

5. Bekerja tambang adalah pekerjaan yang dilakukan seseorang dalam hal mengeksplorasi barang tambang (emas) untuk mendapatkan penghasilan.

Jenis pekerjaan tambang yang dilakukan diantaranya gurandil, buruh angkut, pemilik gelundungan, penadah emas, dan lainnya

Gambar

Gambar 1. Hubungan Segitiga Antara Subjek Agraria yang Berpusat pada  Objek Agraria
Gambar 2. Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Latar Belakang : Obesitas merupakan masalah kesehatan yang jumlahnya meningkat di seluruh dunia. Prevalensi obesitas pada anak cenderung terjadi peningkatan baik di negara maju

Berkaitan dengan regulasi yang mengatur tentang biaya pernikahan, terdapat perubahan yang mendasar. Sebelumnya, biaya pencatatan nikah dan rujuk diatur dalam PP. 48 Tahun 2004

Dari hasil analisa data yang telah dilakukan dari stasiun 1 hingga stasiun 3 memiliki nilai indeks keseragaman tinggi yaitu mendekati nilai 1 dimana pada ke tiga stasiun

38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan

Untuk mengetahui karakteristik dari material beton kedap suara dengan pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit, semen PC, dan pasir sebagai bahan baku utamanya... 1.3

Puji syukur saya haturkan ke hadirat Tuhan YME, karena dengan karunia- Nya saya dapat menyelesaiakan tugas akhir saya yang berjudul “Tanggapan Mahasiswa Terhap

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan, karunia serta rahmat dalam penulisan skripsi dengan judul “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Daftar Perusahaan Peserta Train The Trainer dari Service Leadership (Public dan Inhouse Training) PT Sorini Towa Berlian Corp, Departemen Keuangan, PT Holcim Indonesia, Warbis