• Tidak ada hasil yang ditemukan

IR PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. Di era saat ini, sudah banyak perempuan yang terjun ke sektor publik.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IR PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. Di era saat ini, sudah banyak perempuan yang terjun ke sektor publik."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Di era saat ini, sudah banyak perempuan yang terjun ke sektor publik. Perempuan mengalami pergeseran peran dari kehidupan di ranah domestik menuju ke ranah publik.

Perempuan sudah memiliki lebih banyak kesempatan untuk bermobilitas, hal ini dapat dilihat dari banyaknya perempuan yang kita jumpai di jalanan, perkantoran, terminal, transportasi publik, lembaga pendidikan, dan berbagai tempat publik lainya. Fenomena tersebut membuktikan bahwa perempuan sudah berupaya untuk menjadi lebih maju serta menjadi lebih setara dengan laki-laki di sektor publik. Banyak hal yang menjadi motivasi perempuan untuk keluar dari wilayah domestik. Sebuah penelitian di India menunjukan adanya pergerakan perempuan dari desa menuju pusat-pusat kota disebabkan adanya faktor penarik dari pusat kota yang menyediakan prospek untuk peluang pekerjaan yang lebih baik (Murayama dan Mitra, 2009). Pergeseran peran perempuan ini terjadi seiring dengan kesadaran perempuan untuk meningkatkan status sosial ekonomi, Perempuan mulai terjun ke sektor publik untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Salah satu usaha yang dapat dilakukan perempuan untuk memperbaiki status sosial ekonomi adalah dengan melakukan migrasi menuju wilayah yang dianggap dapat menghadirkan kehidupan lebih baik serta dapat menampung beragam keinginan para perempuan. Dalam penelitian ini, Kota Surabaya menjadi pilihan bagi perempuan untuk melakukan migrasi. Kota Surabaya merupakan kota metropolitan ke-dua terbesar di Indonesia. Surabaya mengalami perkembangan pembangunan yang begitu pesat,

(2)

khusunya dalam perkembangan industri. Industrialisasi di Kota Surabaya yang semakin maju dijadikan rujukan untuk meningkatkan kualitas hidup bagi penduduk di sekitar wilayah Kota Surabaya seperti Gresik, Sidoarjo, Lamongan, Mojokerto serta wilayah-wilayah lain yang ada di Jawa Timur ataupun di luar provinsi. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah penduduk di Kota Surabaya. Berdasarkan data BPS Kota Surabaya menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kota Surabaya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun serta menjadi kota dengan jumlah penduduk tertinggi di Provinsi Jawa Timur yaitu 2.896.195 Jiwa.

Perkembangan Kota Surabaya sebagai kota metropolitan merupakan wujud dari produk modernitas. Surabaya menjadi kota dengan perkembangan perekonomian maupun pendidikan yang maju hingga banyak menarik masyarakat sekitar untuk datang ke Kota Surabaya. Kota Surabaya memiliki daya tarik tinggi karena dianggap sebagai kota yang mampu memberikan beragam alternatif lapangan pekerjaan. Selain itu daya tarik Kota Surabaya bagi masyarakat sekitar juga berasal dari faktor ketersediaan beragam fasilitas, termasuk hadirnya lembaga pendidikan berkualitas yang bisa dilihat dari adanya beberapa Pendidikan tinggi terkemuka di Indonesia.

Sehingga, selain penambahan penduduk dari kalangan kelas pekerja, Surabaya juga dipenuhi oleh para pelajar yang ingin memperbaiki status pendidikan dengan mencari lembaga pendidikan yang lebih berkualitas dibandingkan dengan yang ada di daerah asalnya.

Surya (2006) mengatakan bahwa Peningkatan para pendatang di kota metropolitan memiliki keterkaitan dengan peningkatan urbanisasi. Salah satu penyebab meningkatnya urbanisasi di Kota metropolitan adalah lapangan pekerjaan yang terbatas

(3)

di daerah pinggiran kota. Selain itu, di kota metropolitan, Industrialisasi semakin meningkat lebih pesat hingga semakin banyak menarik tenaga kerja dari daerah pinggiran kota. Hal ini tentu saja menyebabkan pertumbuhan penduduk menjadi tidak seimbang. Tjuk Kuswantoro (2005) mengatakan bahwa di Indonesia diperkirakan perpindahan penduduk yang disebabkan oleh pekerjaan hanya sekitar 40 persen, selebihnya karena alasan non-ekonomi dan non-lapangan kerja, seperti mengikuti keluarga, mendapatkan pendidikan lebih tinggi serta datang tanpa tujuan yang jelas (jamaludin, 2015).

Perkembangan pesat Kota Surabaya juga menarik kaum perempuan untuk datang ke Kota Surabaya. Jumlah pendatang perempuan di Kota Surabaya pun lebih besar dari pada laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari data BPS Kota Surabaya yang menunjukan bahwa jumlah pendatang perempuan pada tahun 2019 adalah sebesar 19.840 jiwa dan laki-laki dengan jumlah 19.703. Perbedaan jumlah penduduk pendatang laki-laki dan perempuan di Kota Surabaya menunjukkan bahwa saat ini perempuan juga berkontribusi dalam proses migrasi menuju Kota Surabaya. Para perempuan tersebut melakukan migrasi ke Kota Surabaya dengan berbagai macam tujuan, diantaranya adalah untuk memperbaiki status ekonomi, menempuh Pendidikan dan mencari pengalaman baru yang tidak dapat ditemukan di daerah asalnya.

Penelitian ini berfokus pada perempuan muda yang melakukan migrasi ke Kota Surabaya. Hal ini mengingat bahwa perempuan muda lebih banyak dituntut untuk mampu menghadapi perubahan yang cepat dan masif di era modernitas ini. Mobilitas bagi perempuan muda sudah menjadi hal yang lumrah, baik untuk tujuan pendidikan, ekonomi maupun pencarian pengalaman. Sebagai perempuan muda yang bermigrasi

(4)

menuju Kota Surabaya, mereka tidak selalu memiliki modal yang cukup untuk hidup dengan layak di Kota Metropolitan.

Perubahan sosial yang cepat dan masif mendorong pemuda untuk mampu bersaing secara lokal maupun global. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Sutopo dan Putri (2019) menjelaskan bahwa perempuan muda dihadapkan pada pilihan-pilihan untuk melakukan inovasi-inovasi serta secara refleksif berimprovisasi agar akumulasi kapital yang dimiliki dapat digunakan untuk merespon perubahan sosial. Namun, tidak semua perempuan muda mempunyai kapasitas yang sama, artinya pada aspek gender, kelas sosial dan ruang sosial menjadi faktor-faktor yang berpengaruh dalam transisi pemuda menuju dunia kerja dan menuju status kedewasaan. Kesenjangan dan distribusi kapital yang tidak merata ini secara interaksional terkait dengan asepek gender. Kemampuan untuk melakukan mobilitas sebagai modal kapital menjadi sebuah strategi untuk mengakumulasi kapital lainnya, baik ekonomi, sosial dan budaya. Mobilitas juga menjadi titik awal bagi mereka untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi perubahan sosial. Mobilitas yang dilakukan kaum muda bukan hanya untuk meningkatkan taraf hidup, namun sebagai strategi dalam akumulasi modal budaya, sosial, ekonomi dan simbolik (Bourdieu 1986). Sehingga mereka dapat menghadapi tantangan modernitas.

Dalam beberapa kasus, perempuan yang bermigrasi ke Kota Surabaya tidak tinggal secara permanen atau yang disebut sebagai migrasi sirkuler. Mobilitas penduduk sirkuler didefinisikan sebagai gerak penduduk yang melintasi batas administrasi suatu daerah menuju ke daerah lain dalam jangka waktu kurang enam bulan. Ditinjau dari karakteristik gerak dan kepulanganya kembali ke daerah asal, migran sirkuler dapat

(5)

dibagi ke dalam migrasi ulang alik (harian), migrasi mingguan dan bulanan. Artinya, para migran akan pulang dalam waktu satu hari saja (berangkat pagi pulang sore) atau pulang dalam waktu tertentu yang tidak terlalu lama misalnya mingguan atau bulanan (kurang dari enam bulan) (Erlando, 2014).

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi perempuan untuk bermigrasi secara sirkuler di antaranya adalah kepemilikan keluarga yang ditinggalkan di daerah asal serta ketersediaan transportasi yang mempermudah akses mobilitas para perempuan migran seperti bus antarkota atau sepeda motor. Selain itu jarak yang dekat antara daerah asal dan Kota Surabaya memungkinkan perempuan migran untuk melakukan migrasi secara sirkuler dengan intensitas kepulangan setiap hari, seminggu sekali, dua minggu sekali atau satu bulan sekali. Kondisi tersebut menjadikan keterikatan perempuan migran dengan daerah asal masih cukup tinggi.

Dalam realitanya tidak semua perempuan muda yang bermigrasi secara sirkuler memiliki modal yang cukup untuk hidup layak di Kota Surabaya. Kondisi perempuan sebagai migran sirkuler tidak selalu membawa kehidupan perempuan menjadi lebih baik. Modal terbatas yang dimiliki membuat kehidupan perempuan menjadi semakin tidak pasti di Kota Metropolitan.Sebagai migran sirkuler dengan intensitas kepulangan lebih dari seminggu, mereka membutuhkan biaya tambahan untuk tempat tinggal sementara dan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagai migran sirkuler, mereka sangat bergantung pada tempat publik dalam beraktifitas, khususnya bagi perempuan yang tidak memiliki kendaraan pribadi, mereka akan sangat bergantung pada ketersediaan fasilitas transportasi publik.

(6)

Kondisi tersebut menjadikan kehidupan perempuan yang bermigrasi secara sirkuler lebih rentan akan berbagai macam risiko, salah satunya adalah risiko pelecehan seksual. Pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender.

Berdasarkan pengalaman perempuan yang melakukan migrasi secara sirkuler di Kota Surabaya, mereka mengalami kasus pelecehan seksual di berbagai tempat publik seperti transportasi bus antarkota, jalanan perkotaan, halte bus, taman kota bahkan di tempat kerja. Pelecehan yang dialami perempuan migran di Kota Surabaya terjadi baik secara verbal maupun fisik.

Dalam penelitian ini, beberapa perempuan migran mengalami pelecehan seksual di transportasi bus antarkota pada saat berangkat atau pulang ke kampung halaman.

Pelecehan seksual ini terjadi karena situasi dan kondisi bus antarkota yang dapat dikatakan kurang layak bagi perempuan migran. Bus antarkota akan sangat padat dan penuh sesak di waktu-waktu sibuk seperti jam keberangkatan atau kepulangan kerja serta di akhir minggu ketika masyarakat migran melakukan pulang kampung. Kondisi yang sesak dan saling berdesakan antar penumpang, dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan seksual dan kebanyakan dari korbannya adalah para perempuan migran yang berusia muda. Situasi yang padat ini sering kali membuat perempuan tidak nyaman karena mereka harus melindungi tubuh mereka agar tidak tersentuh, baik disengaja maupun tidak disengaja.

Bus antarkota merupakan sebuah alternatif transportasi bagi perempuan migran yang tidak memiliki kendaraan pribadi untuk bermobilitas. Namun realitanya, fasilitas tersebut justru dapat menggiring perempuan pada sebuah risiko berbahaya seperti pelecehan seksual. Dalam situasi tersebut, tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh

(7)

perempuan migran. Mereka akan selalu merasa terancam dan khawatir ketika menggunakan transportasi publik antar kota. Bahkan ketika menjadi korban pelecehan seksual, sebagian besar dari mereka hanya bisa diam. Sedangkan dalam melakukan mobilitas, para perempuan tidak dapat dilepaskan dari ketersediaan transportasi publik.

Berdasarkan hasil survei pelecehan seksual di ruang publik menunjukkan bahwa transportasi umum menjadi tempat yang paling sering terjadi kasus pelecehan seksual.

survei ini dilakukan oleh survei ini dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menunjukkan bahwa kasus pelecehan seksual di transportasi umum mencapai 15,77 persen dan menjadi lokasi kedua tertinggi terjadinya pelecehan seksual setelah jalanan umum (28,22 persen). Sebanyak 48,80 persen dari 62.224 responden mengatakan bahwa mereka pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum (Wardah, 2019)

Adapun pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan migran juga terjadi di tempat kerja. Dalam penelitian ini, beberapa kasus pelecehan seksual di tempat kerja terjadi pada perempuan yang bekerja sebagai sales promotion (SPG), khususnya bagi SPG yang menawarkan produk dengan sasaran pelangganya adalah laki-laki. Sebuah penelitian dari Awalia (2018) menemukan bahwa pelecehan seksual yang dialami oleh SPG rokok sering dilakukan oleh pelanggan nakal dan pelecehan tersebut terjadi karena adanya ketertarikan terhadap penampilan fisik SPG. Outlook SPG dianggap cantik dan menarik menjadikan mereka harus menanggung risiko kerja yang tidak biasa yaitu pelecehan baik secara fisik maupun verbal. Pekerjaan tersebut cukup berisiko terjadinya pelecehan seksual karena dalam pekerjaan mereka dituntut untuk berpenampilan menarik agar dapat menjual produk lebih banyak.

(8)

Jalanan perkotaan dan tempat publik lainnya seperti halte bus atau taman kota juga menjadi tempat-tempat yang rentan untuk perempuan yang bermigrasi secara sirkuler.

Tempat-tempat yang sepi sering kali dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan seksual untuk menjalankan aksinya. Namun beberapa kasus pelecehan juga dapat bermula di tempat-tempat yang ramai melalui berbagai modus seperti gendam atau menawarkan bantuan untuk mengantar ke tempat tujuan.

Kasus pelecehan seksual di jalanan perkotaan telah menghantui para perempuan.

Sebuah media memberitakan terjadinya pelecehan seksual di jalanan perkotaan. Media online Suara.com membagikan kisah seorang wanita yang mengalami pelecehan seksual di jalanan. Seorang pengendara lain tiba-tiba memegang paha saudara perempuannya pada saat berkendara di Jalan raya. Padahal pada saat itu, saudaranya menggunakan pakaian sopan dan tidak terbuka. (Gunadha dan Hernawan, 2020)

Beberapa kasus pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan migran menunjukan bahwa perempuan sangat rentan dan tidak berdaya akan risiko yang mereka hadapi kapanpun dan dimanapun. Pelecehan seksual yang terjadi pada perempuan bukan lagi terjadi pada ranah domestik, namun terjadi pada perempuan yang berada di tempat publik. Hingga saat ini, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di tempat publik masih begitu sering terjadi. Berdasarkan catatan tahunan komnas perempuan 2020, Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) di ruang publik sebesar 21 peren (1.731) kasus. Kasus yang paling banyak adalah kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55 persen) diantaranya adalah kasus pemerkosaan 229 kasus, pencabulan 166 kasus, pelecehan seksual 181 kasus, persetubuhan sebanyak 5 kasus, percobaan pemerkosaan 10 kasus dan kasus kekerasan seksual lain sebesar 371 kasus.

(9)

Data tersebut menunjukkan bahwa perempuan memiliki kerentanan lebih tinggi untuk menjadi korban kekerasan seksual di tempat publik. Ruang publik juga menjadi wilayah yang tidak aman bagi perempuan yang melakukan migrasi secara sirkuler.

Beberapa kasus diskriminasi dan kekerasan gender tidak dapat dilepaskan dari budaya patriarki yang masih tertanam kuat.

Adapun beberapa studi yang relevan membahas risiko atau permasalahan perempuan yang memutuskan untuk terjun ke sektor publik. Noerdin (2006) mengatakan bahwa meskipun perempuan sudah banyak memiliki kesempatan untuk melakukan mobilitas, terdapat beragam risiko yang harus dihadapi oleh perempuan ketika terjun ke publik. Tingginya partisipasi perempuan di sektor publik ternyata belum menjamin terpenuhinya hak-hak mereka sebagai perempuan. Susiana (2012) menjelaskan bahwa terjadi berbagai kasus pelecehan seksual di angkutan umum pada beberapa lokasi di Jawa Barat, seperti pemerkosaan. Pelecehan seksual ini bukan hanya menimpa pekerja perempuan, namun juga beberapa pelajar atau mahasiswa. Dalam studi tersebut dijelaskan bahwa beberapa kasus pelecehan seksual yang terjadi di tempat publik merupakan bentuk-bentuk kekerasan perempuan berbasis gender.

Beragam risiko yang dihadapi perempuan migran di Kota Surabaya disebut Ulrich Beck sebagai risk society yang terjadi pada era modernitas baru. Pada era modernitas baru sebagian besar risiko berasal dari masyarakat industri. Risiko diciptakan oleh sumber kekayaan dalam masyarakat modern. Industri serta pengaruhnya menimbulkan akibat yang berbahaya dan mematikan bagi masyarakat sebagai akibat dari globalisasi.

(Ritzer, 2003). Multisiplitas proses ekonomi, produksi dan industri seperti makanan, obat-obatan, transportasi serta jasa ekonomi juga menghasilkan multisiplitas risiko

(10)

serta efek ketakutan yang ditimbulkan (Piliang, 2009). Masyarakat risiko adalah istilah yang menunjukan bahwa terjadi perubahan ke kondisi-kondisi baru dalam kehidupan manusia saat ini, perubahan yang melahirkan konsekuensi-konsekuensi penting. Ulrich Beck menjelaskan bahwa kesadaran dalam kehidupan manusia diwarnai ketidakpastian dan risiko yang sewaktu-waktu mengancamnya (Rahayu dan Demartoto, 2019). Risiko berhubungan erat dengan sistem model dan perubahan dalam masyarakat seperti industrialisasi, modernisasi dan pembangunan. Model dan perubahan masyarakat itulah yang akan menentukan tingkat risiko yang dihadapi (Piliang, 2009)

Dalam penelitian ini, perempuan migran sirkuler adalah bagian dari masyarakat risiko. Selain menawarkan kehidupan yang lebih baik, Kota Metropolitan juga memberikan berbagai macam risiko bagi masyarakat yang ada didalamnya, termasuk para perempuan migran. Kota Surabaya sebagai wujud dari kota modern juga dapat memproduksi berbagai macam risiko. Bagi perempuan yang terjun ke sektor publik, risiko bisa menimpanya kapan dan dimana saja. Dalam waktu-waktu yang tak bisa diprediksi. Berbagai Risiko yang dialami merupakan bagian dari dampak modernitas baru.

Penelitian ini berfokus pada upaya untuk mendalami kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan muda sebagai pendatang di Kota Surabaya. Pergerakan perempuan muda menuju Kota Surabaya terbilang cukup tinggi. Bagi perempuan muda, Kota Surabaya adalah suatu kota yang akan menghadirkan kehidupan yang lebih baik, Surabaya menawarkan berbagai kemudahan akses kehidupan. Mereka dapat berkarir dengan bebas, bekerja dengan upah tinggi, menaikkan status sosial melalui pendidikan, pemenuhan kebutuhan juga semakin beragam, baik kebutuhan pokok

(11)

maupun hiburan, akses kebutuhan teknologi yang jauh lebih baik dan sebagainya. Pada era modern baru, melanjutkan pendidikan tinggi dan bekerja bagi perempuan merupakan salah satu strategi untuk menghadapi tantangan modernitas. Bekerja dan berpendidikan adalah hal yang lumrah sekaligus sebagai batu loncatan untuk menaikkan status sosial.

Anggapan inilah yang menjadikan perempuan tergiring ke dalam risiko-risiko yang sebelumnya belum pernah ia bayangkan, baik disadari maupun tidak disadari. Kota Surabaya adalah kota besar dengan penduduk yang datang dari berbagai macam kalangan, serta keadaan mereka yang belum menetap dan perjuangan mereka untuk bertahan hidup di Kota Surabaya membawa mereka pada kehidupan yang penuh dengan risiko di Kota Metropolitan. Sering kali perempuan yang datang ke Kota Surabaya tanpa membayangkan dan mempersiapkan terlebih dahulu bagaimana kehidupan di Kota Surabaya. Mereka (perempuan) hanya memiliki tekad kuat untuk mencapai tujuan di Kota Metropolitan, baik untuk mengejar kepentingan ekonomi, pendidikan dan lainnya.

Kekerasan yang terjadi pada perempuan migran merupakan sebuah risiko akibat femomena modernisasi. Modernisasi dapat dilihat dari fenomena pergeseran peran perempuan serta perkembangan sebuah kota metropolitan. Pergeseran peran perempuan terjadi karena dipengaruhi oleh proses modernisasi. Secara umum, modernisasi dipahami sebagai proses perubahan atau transformasi dari kehidupan bersama yang bersifat tradisional ke arah pola-pola sosial, ekonomi dan politis yang telah berkembang di negara-negara barat. Dapat dilihat dari perubahan pola perilaku yang mengadopsi aspek-aspek kehidupan modern seperti mekanisasi urbanisasi,

(12)

penggunaan alat-alat komunikasi massa, serta sistem administrasi birokrasi yang teratur, terencana dan terukur, juga dialami oleh perempuan (Lan, 2013). Pergesaran peran perempuan dapat dilihat dari kesadaran mereka dalam meningkatkan kualitas kehidupannya, di antaranya adalah melalui migrasi menunju Kota Metropolitan.

Meskipun perempuan sudah memiliki kesempatan untuk bermobilitas, tetap saja mereka menemukan berbagai konsekuensi seperti munculnya risiko pelecehan seksual di ruang publik. Konsekuensi ini yang membawa perempuan tetap menjadi pihak yang rentan terhadap risiko modernitas.

Berdasarkan permasalahan di atas, menjadi penting bagi peneliti untuk mengkaji lebih dalam tentang risiko perempuan migran di Kota Surabaya. Ketidakberdayaan perempuan migran terhadap risiko merupakan masalah penting dalam isu gender.

Hingga saat ini, isu gender masih menjadi topik yang penting untuk dikaji. Pentingnya untuk membahas permasalahan perempuan didukung oleh beberapa faktor. Pertama, sudah sangat jelas bahwa dalam Sustainable Development Goals (SDG’s) yang merupakan paradigma pembangunan global memasukkan konsep gender sebagai suatu permasalahan sosial yang harus diselesaikan. Selain itu, masih belum banyak penelitian yang mengkaji risiko perempuan di kota metropilitan secara detail, khususnya di Kota Surabaya. Sehingga dari beberapa pertimbangan permasalahan di atas, peneliti tertarik untuk melihat lebih jauh terkait risiko-risiko yang dialami perempuan migran di Kota Surabaya. Melalui analisis teori Ulrich Beck tentang masyarakat risiko dan kekerasan gender Johan Galtung, peneliti akan menggali pengalaman perempuan migran dalam menghadapi kasus pelecehan seksual di Kota Metropolitan.

(13)

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

1. Bagaimana risiko pelecehan seksual di ruang publik yang dialami oleh perempuan migran Sirkuler di Kota Surabaya?

2. Bagaimana dampak pelecehan seksual terhadap perempuan migran di ruang publik Kota Surabaya?

3. Bagaimana refleksivitas perempuan migran dalam menghadapi risiko pelecehan seksual di ruang publik Kota Surabaya?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis risiko pelecehan seksual perempuan migran sirkuler di ruang publik Kota Surabaya.

2. Untuk menganalisis dampak pelecehan seksual terhadap perempuan migran di ruang publik Kota Surabaya.

3. Untuk menganalisis refleksivitas perempuan migran dalam menghadapi risiko pelecehan seksual di ruang publik Kota Surabaya.

1.4 Manfaat Penelitian A. Manfaat Teoritis

1. Memperkaya kajian tentang keilmuan sosiologi, khususnya pada kajian gender dan Risiko di Kota Metropolitan dalam proses migrasi.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang Teori Masyarakat Risiko dari Ulrich Beck dan kekerasan gender Johan Galtung yang relevan untuk digunakan dalam menganalisis risiko pelecehan seksual yang dihadapi perempuan migran di Kota Metropolitan.

B. Manfaat Praktis

1. Melalui penelitian ini, bagi peneliti sendiri diharapkan mampu menambah pemahaman serta ketrampilan dalam menganalisis masalah-masalah sosial, khususnya seputar permasalahan gender. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat menjadi acuan dalam melakukan riset tentang kajian gender atau migrasi.

Serta menjadi acuan dalam penerapan teori Ulrich Beck tentang masyarakat risiko dan teori Johan Galtung tentang kekerasan gender sebagai alat analisis dalam membaca masalah sosial.

(14)

2. Untuk menambah wawasan tentang kajian gender serta membuka kesadaran bagi masyarakat umum akan pentingnya permasalahan gender disekitar kita.

Emansipasi perempuan harus tetap diperjuangkan sampai kapan pun. Karena di era modern ini, perempuan akan selalu menghadapi risiko-risiko baru ketika mereka terjun ke sektor publik.

Referensi

Dokumen terkait

Pada hasil analisis regresi berganda yang telah dilakukan, secara parsial 1 variabel independen telah terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel dependen

yang dinyatakan dalam Y.. Variabel bebas yaitu variabel yang mendahului atau mempengaruhi.. variabel terikat. Variabel bebas

Berdasarkan penjabaran latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan adalah bagaimana mengembangkan sebuah aplikasi untuk mengamankan data rahasia dengan

Puji syukur Alhamdulillah saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh

Seluruh dosen Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang yang telah memberikan bekal pendidikan serta masukan

Menambah wawasan peneliti mengenai gambaran persepsi psikologis, distress psikologis dan strategi koping guru YPPM Al-Muttaqien kota Balikpapan saat bekerja ditengah

Menurut Rudyawan dan Badera, opini going concern merupakan opini yang dikeluarkan oleh auditor di mana seorang auditor mengalami kesangsian besar terahadap

Sebagai sumber informasi dalam mendampingi remaja selama melewati masa perkembanganya dan untuk memahami betapa pentingnya fungsi keluarga dan gaya pengasuhan pada perilaku anak