FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA
ISSN : 2580-9059 (online) 2549-1741 (cetak)
364
KEWAJIBAN NOTARIS MELAPORKAN TRANSAKSI MENCURIGAKAN DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
NOTARY OBLIGATION IN SUBMITTING REPORT OF SUSPICIOUS TRANSACTION OVER MONEY LOUNDERING PREVENTION AND IT'S ERADICATION
Teuku Ulya Murtadha
Magister Kenotariatan Universitas Syiah Kuala Jalan Putroe Phang No.1. Darussalam, Banda Aceh, 23111
e-mail: [email protected]
Dahlan Ali
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Jalan Putroe Phang No.1. Darussalam, Provinsi Aceh, 23111 e-mail: [email protected]
Mohd. Din
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Jalan Putroe Phang No.1. Darussalam, Provinsi Aceh, 23111 e-mail: [email protected]
Diterima: 10/11/2018; Revisi: 02/06/2019; Disetujui: 13/12/2019
Abstrak - Notaris merupakan pejabat umum bersifat mandiri dalam menjalankan tugasnya tanpa dicampuri oleh instansi manapun. Notaris memiliki Kewenangan yang telah ditentukan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris serta kewenangan yang ditentukan dengan undang-undang lainnya. Kenyataannya secara normatif bahwa notaris dalam melaksanakan kewajiban lainnya wajib melaporkan transaksi keuangan mencurigakan yang diawasi oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Perluasan kewajiban tersebut juga tidak diikuti dengan kewenangan yang memadai untuk dilaksanakan secara optimal sehingga terkesan absurd. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis norma hukum pelaksanaan kewajiban melaporkan transaksi mencurigakan dalam penggunaan jasa notaris terhadap independensi notaris sebagai pejabat umum sesuai Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 9 tahun 2017 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Notaris dan Menganalisa kewenangan notaris dalam pelaksanaan kewajiban tersebut. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa penetapan notaris sebagai pihak pelapor tidaklah mengganggu independensi notaris namun dalam pelaksanaan kewajiban melaporkan tersebut notaris tidak diberikan kewenangan yang memadai dan kewajiban-kewajiban tambahan tersebut dianggap terlalu jauh bagi notaris untuk melaksanakannya. Penetapan notaris sebagai pihak pelapor harus diikuti dengan amandemen Undang- undang Jabatan Notaris dan pemberian kewenangan yang jelas dan pasti.
Kata Kunci : Independensi, , Kewajiban, Kewenangan, Notaris, PPATK.
Abstract - Notary is a public officer that has to be independent in performing it's duties without getting intervened by any other institution. Notary possesses the authority regulated in act number 30 year 2004 concerning notary office and other authorities regulated by other regulation. The normative reality shows notary in the extention of it's duty stated to submit suspicious transaction supervised by report and analysis center of finance transaction. Moreover the extention of the duty is not followed by sufficient authority to perform optimally so that seem to be absurd. The purpose of the research mainly to analize legal norm in performing suspicious transaction report's obligation of notary service demand toward notary's independency as a public officer, notary's obligation generally and notary's authority in law and human right ministery regulation Number 9 year 2017 principle implementation of client identify for notary. The output reveals that notary settlement as a whistleblower may not interupt notary's independency however in that particular obligation notary was not given such adequate power and those extentional obligations seems to be too far for notary to perfom it. Notary settlement as a whistleblower has to be followed by amandement of act of notary office and clear, sufficient authority distribution.
Keywords: Independency, Obligation, Authority, Notary, PPATK, Suspicious Transaction.
PENDAHULUAN
Berdasarkan Pasal 1 "Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dinyatakan, bahwa "pejabat notaris merupakan seorang pejabat umum yang memiliki otoritas berdasarkan undang-undang untuk mengeluarkan akta otentik dan kewenangan lainnya berdasarkan undang-undang lainnya". di samping itu seorang notaris juga dapat merangkap jabatan sebagai pejabat pembuat akta tanah.
Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan tugas tersebut, seharusnya bersifat independen atau mandiri serta tidak terikat oleh siapapun dan oleh instansi apapun.
Independen terkait dengan kebebasan seorang pejabat umum atau pejabat publik dari intervensi atau pengaruh pihak lain ataupun memperoleh tugas dari lembaga lain.
1Pasal 41 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa dalam melaksankan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a, PPATK berwenang meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan dari instansi pemerintah dan atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu.
Norma Pasal 40 huruf a, dan Pasal 41 ayat (1) UU TPPU dipahami diartikan bahwa PPATK memiliki kewenangan untuk mengintervensi notaris dalam melaksanakan kewajibannnya sebagai pejabat umum sesuai UUJN. Dalam hal ini PPATK berwenang meminta data dan informasi terkait dengan pengguna jasa yang terindikasi adanya transaksi mencurigakan.
Demikian juga berdasarkan Pasal 11 "Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang", menyatakan bahwa "pengawasan kepatuhan atas kewajiban bagi pihak pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 dilakukan oleh lembaga pengawas dan pengatur dan/atau PPATK". Berdasarkan ketentuan tersebut diketahui, notaris dalam melaksanakan kewajibannya untuk melaporkan transaksi yang mencurigakan diawasi oleh instansi lain. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan mengganggu independensi notaris dalam
1 Habib Adjie, Mengukur Batas Independensi Dan Akuntabilitas Pejabat Umum, sumber:
http://www.indonesianotarycommunity.com/ mengukur - batas - independensi - dan -akuntabilitas - pejabat - umum - notarisppat/diakses pada hari senin tanggal 15 januari 2018
melaksanakan tugas dan kewajiban pokoknya sebagai pejabat umum dan pejabat publik karena diawasi oleh instansi lain.
Terkait hal ini di sisi lain pada dasarnya secara nyata dapat disaksikan bahwa telah terjadi pertentangan azas antara Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan Undang-Undang jabatan notaris bertentangan secara prinsip dengan asas "Lex Specialis Derogat Legi Generalis" , dimana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang berlaku sebagai lex specialis atas undang-undang jabatan notaris.
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam penerapan asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu
2:
1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut.
2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-keentuan lex generalis misalnya undang-undang.
3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum yang sama dengan lex generalis. misalnya Kitab Undang-Undang Hukumm Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Secara fundamental, jika memang dapat dikatakan bahwa kedua rezim dapat mengatur satu sama lain maka perubahan UUJN Nomor 2 Tahun 2014 harus disesuaikan dengan norma khusus yang lebih dahulu ada dengan dikeluarkannya "Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010", namun kenyataannnya tidak demikian, karena memang undang- undang ini berada pada rezim yang berbeda dan penambahan tugas notaris yang ditetapkan dalam "Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010" adalah hal yang secara substansial bertentangan terhadap tugas notaris dalam UUJN.
Keberlakuan norma terkait dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2018 terhadap UUJN, kiranya memberikan risiko yang besar terhadap keamanan notaris secara formil, yaitu ketika notaris menyelidiki kebenaran materil dari transaksi mencurigakan, maka pada saat itu notaris tersebut menjadi terbuka untuk dipertanggung jawabkan secara materil jika terjadi kekeliruan dalam menjalankan tugasnya, karena kewajiban tambahan yang diberikan kepada notaris tidak sepenuhnya diikuti dengan kewenangannya untuk menyelidiki secara penuh.
2 Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, Penerbit UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 56
Secara mendasar itulah alasan ketidaksetujuan terhadap penetapan notaris sebagai pihak pelapor sedangkan di sisi lain respon positif terhadap penetapan tersebut dapat juga diberikan namun harus diikuti dengan norma yang sempurna. Respon positif dan pertimbangan tersebut berupa:
Independensi yang dimiliki notaris merupakan independensi dalam proses pelaksanaan tugas dan wewenangnya di mana batas-batas independensi tersebut ditentukan berdasarkan wewenangnya dalam undang-undang. Independensi tersebut diperoleh dari wewenang yang diberikan undang-undang. UUJN memberikan beberapa wewenang kepada notaris sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2). Di samping itu UUJN dalam Pasal 15 ayat (3) dinyatakan "terdapat wewenang lain bagi notaris yang terdapat dalam peraturan perudang-undangan lainnya".
Salah satu wewenang lain tersebut terdapat dalam "Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang" juncto
"Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang" juncto "Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Notaris", sebagaimana diatur dalam Pasal 3,4,5,6,7, 8,9 dan 10.
"Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 9 Tahun 2017" dalam Pasal 3,4,5,6,7, 8 ,9 dan 10 menetapkan kewajiban bagi notaris untuk menggali informasi terkait pengguna jasa sampai dengan pemilik manfaat dari korporasi namun undang-undang tampaknya tidak memberikan referensi lebih lanjut tentang wewenang serta pelaksanaan
Kewajiban pelaporan yang dimaksud dalam "Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010"
sebagaimana telah diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan setelahnya harus dilaksanakan oleh notaris dalam hal notaris melakukan pengurusan untuk dan atas nama pengguna jasa dalam jabatannya sebagai notaris diantaranya jika saja terdapat hal yang mencurigakan menurut notaris.
"Peraturan Menteri Hukum dan Ham Nomor 9 tahun 2017" memaparkan kewajiban-
kewajiban notaris lebih rinci terkait dengan pelaporan tersebut, seperti halnya yang
ditentukan dalam Pasal 14 ayat (2) yaitu "Notaris wajib meminta informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa, surat penunjukan bagi pihak yang berwenang mewakili
lembaga, instansi atau perwakilan dalam melakukan hubungan usaha dengan notaris dan
spesimen tanda tangan pihak yang berwenang mewakili". tetapi disana tidak dinyatakan
bahwa notaris memiliki kewenangan untuk menyelidiki lebih jauh informasi tersebut.
Penetapan notaris sebagai pejabat pelapor dalam "Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tidak Pidana Pencucian Uang", secara tidak langsung notaris wajib tidak hanya serta merta menerima informasi, namun secara aktif menggali informasi dari pengguna jasa di mana hal ini adalah suatu kebenaran materil.
Pada dasarnya penambahan kewajiban terhadap tugas notaris dapat saja diberikan namun harus dilakukan dengan aturan yang jelas sebagaimana lahirnya "Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang" sebelum "Peraturan Presiden Nomor 50 tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan PPATK". Undang-Undang TPPU itu memberikan kewenangan dan kewajiban kepada PPATK untuk bertindak sehingga tata cara pelaksanaan kewenangan tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan presiden secara lebih sistematis.
Adapun Permasalahan dalam penyusunan karya ilmiah ini antara lain :
1. Apakah kewajiban melaporkan transaksi mencurigakan dalam penggunaan jasa notaris dapat mengganggu independensi notaris sebagai pejabat umum ?
2. Bagaimanakah seharusnya wujud implementasi kewenangan pihak pelapor khususnya notaris ?
METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif Model penelitian ini adalah melakukan kajian terhadap norma-norma hukum yaitu norma hukum yang tidak sejalan dengan asas hukum dan peraturan perundang-undangan ataupun teori hukum dari para sarjana . Khususnya terkait dengan kewajiban notaris melaporkan transaksi mencurigakan dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.
Demikian juga halnya saat notaris bertindak untuk dan atas nama pengguna jasa di mana hal ini seyogyanya dilarang oleh "Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014". Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur dan cara penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatifnya.
3
3 Johny Ibrahim, Op. Cit, hlm. 57
2. Pendekatan Penelitian
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan di mana akan dikaji perundang-undangan yang dalam penormaannya masih terdapat kekurangan atau bahkan
mengokohkan wujud penyimpangan dalam bidang teknis atau dalam pelaksanaannya di lapangan.
Pada penelitian ini undang-undang yang akan dikaji adalah "Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004" junto "Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris" dan
"Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang".
3. Sumber Bahan Hukum
Referensi bahan hukum yang digunakan di dalam penelitian hukum yuridis normatif mencakup :
a) Bahan hukum primer adalah referensi utama, di mana
dalam penelitian ini digunakan "Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004" juncto
"Undang-undang Nomor 2 tahun 2014 tentang jabatan notaris", "Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang", serta buku dan peraturan perudang-undangan lainnya yang sifatnya menunjang undang-undang di atas.
b) Bahan hukum sekunder berupa bahan pustaka yang meliputi buku-buku hukum hasil karya para sarjana, hasil penelitian ilmiah dalam bentuk teori-teori/doktrin hukum, jurnal hukum, elektronik jurnal dari berbagai universitas di Indonesia, yang memiliki hubungan dengan akar masalah pada penelitian ilmiah ini.
c) Bahan hukum tersier berupa referensi kepustakaan sebagai petunjuk tambahan atas dua bahan hukum primer dan sekunder, di mana pada dasarnya dapat berupa kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum, kamus istilah bahasa inggris, dan eksiklopedia hukum.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini pertama, akan
dilakukan dengan mengumpulkan data kepustakaan berupa buku-buku aturan-aturan
perudang-undangan serta buku-buku di perpusakaan dan juga buku elektronik yang diperoleh dari berbagai website penyedia buku online. Hal dapat disebut juga dengan library research.
5. Narasumber
Penelitian Ini Hanya Menggunakan bantuan dari informan yang berstatus sebagai Pejabat Notaris di Kota Banda Aceh dan Tim Ahli DPR.
6. Teknik Pengolahan Bahan Hukum
Pengolahan bahan hukum disini menggunakan langkah metode sebagai berikut:
a) Identifikasi dan pemeriksaan, identifikasi bahan hukum yaitu mencari dan menetapkan referensi bahan hukum baik bahan hukum primer, sekunder dan tersier terkait kewajiban notaris melaporkan transaksi mencurigakan dalam upaya mencegah dan membasmi kejahatan tindak pidana pencucian uang. Kemudian dilakukan terhadap identifikasi tersebut, apakah masih terdapat kekurangan dan kesalahan serta kesesuaiannya dengan permasalahan penelitian. Tahap ini juga dapat disebut dengan tahap editing.
b) Tahap berikutnya adalah memberi catatan kecil yang memuat jenis sumber bahan hukum dan nama penulis, kemudian pada akhirnya akan disusun ulang secara berurutan keseluruh bahan hukum tersebut.
7. Analisis Bahan Hukum
Bentuk dari analisis dari penelitian normatif berupa content analysi. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa data lapangan dalam penelitian normatif hanyalah sebagai data pendukung sehingga tidak menjadi suatu keharusan keberadaanya.
Analisa bahan hukum dengan cara ini disebut dengan istilah “teks” content analysis merujuk pada pola analisis yang menyatu dan secara konseptual cenderung mengarah guna mendapatkan, mengidentifikasi, mengolah dan menganalisa bahan hukum untuk memahami arti dan kesesuaiannya.
4
4 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi Ke Arah Ragam Varian Kontemporer, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 203
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Teori Pejabat Umum
Menurut F.M.J Jansen seorang pejabat adalah orang yang dilantik untuk memangku jabatan yang bersifat umum oleh pemerintah untuk melakukan tugas negara atau pemerintah.
5Di Indonesia wilayah penanganan hukum privat ditangani oleh pejabat umum, berbeda dengan Pejabat Negara dan pejabat Pemerintahan, terminilogi dari frasa pejabat umum merupakan terjemahan dari frasa Openbare Amtenaren yang terdapat pada "Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris".
6Istilah "Openbare Ambtenaren" yang terdapat pada Pasal 1 dari "Reghlement op het Notaris Ambt in Indonesia" (Peraturan tentang kantor Notaris di Indonesia) (ord. Van jan.
1860) Staatsblad 1860 No. 3. Demikian pula istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat pada Pasal 1868 BW diterjemahkan Pejabat Umum oleh R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terjemahan mereka.
7Dengan demikian semua pejabat yang tidak diberikan kewenangan khususnya untuk pembuatan dan peresmian alat bukti tertulis dan otentik tidaklah dapat disebut sebagai pejabat umum. Namun pada sisi yang sama, notaris bukanlah satu-satu pejabat umum di Indonesia, karena pada kenyataannya pejabat pembuat akta tanah baik mereka yang berstatus notaris, pejabat lelang baik kelas I dan II juga disebut sebagai pejabat umum karena diberikan kewenang untuk mengeluarkan akta otentik sebaagai alat bukti yang kuat.
Pejabat umum di negara Indonesia secara penyandang jabatannya dapat dibagi menjadi 2, pertama yang dijabat oleh Non Pegawai Negeri Sipil (Non PNS) yaitu Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan Pejabat Lelang kelas II, namun ada pula pejabat umum yang disandang pula oleh
PNS, seperti contohnya pegawai catatan sipil yang mana tugas catatan sipil juga menerbitkan akta namun tidak lebih dari 1 (satu) atau 2 (dua) pihak di dalamnya, seperti akta kelahiran, pernikahan, perceraian, dan akta kematian. Dan juga pejabat lelang kelas 1, yang mana jabatan ini juga disandang oleh PNS yakni oleh Pejabat Direktorat Keuangan Negara.
8
5 Ghansam Anand, Karakteristik Jabatan Notaris Di Indonesia, Penerbit Zifatama Publisher, Sidoarjo, 2014, hlm. 40
6 Fayakundia P.S & Rusdianto S, Pemisahan Jabatan Pejabat Umum Di Indonesia, Jurnal Kajian Masalah Hukum dan Pembangunan Perspektif Volume 22 Nomor 3 Tahun 2017 Edisi September, hlm. 193
7 Ibid.
8 Ibid.
2. Teori Independensi
Notaris dalam menjalankan tugasnya tersebut sebagai pejabat umum, notaris seharusnya bersifat independen atau mandiri serta tidak terikat oleh siapapun dan oleh instansi apapun.
Terkait lembaga negara independen, pembentukan lembaga-lembaga negara tersebut di negara Indonesia pada dasarnya disebabkan oleh lima hal penting. Pertama, lembaga/badan yang telah ada hilang kredibilitasnya akibat nyatanya dugaan dan bukti terkait korupsi yang sistematis, melekat, dan sukar untuk dimusnahkan.
9Mengenai hal ini maka dapat diperhatikan Undang-undang Jabatan Notaris yang ada pertama kali diketahui bahwa peraturan tersebut tidaklah menyatakan bahwa notaris wajib bersifat mandiri dalam pasalnya. Namun sebaliknya perubahan selanjutnya dari undang- undang jabatan notaris menghendaki demikian.
Pembentukan lembaga negara yang dimaksudkan di atas adalah pembentukan lembaga negara yang berada diluar organ utama (diluar organ trias politica) sepertihalnya pembentukan KPK dan Komisi lainnya walaupun "lembaga-lembaga" ini masih merupakan bagian dari pemerintahan.
Kedua, tidak independennya lembaga-lembaga negara yang karena alasan tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan tertentu. olehakrena itu maka dengan adanya sistem check and balances, lembaga-lembaga negara tersebut telah dapat menjadi mandiri namun dengna pangawasan dari lembaga lainnya.
Ketiga, banyak lembaga-lembaga negara yang tidak mampu beradaptasi dan menyesuaikan visi untuk menuju program-program demokrasi yang lebih baik dalam masa transisi.
10Seiring perkembangan zaman, maka sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa istilah satu organ satu fungsi tidaklah tepat lagi, maka perlulah lembaga pelaksana sub-tugas yang lebih detail dari kesatuan fungsi yang sama dengan pelaksana yang lebih terorganisir.
Keempat, adanya pengaruh politik dunia yang menunjukkan adanya kecenderungan beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara tambahan yang disebut lembaga
9 Alby Prilia Anggana, Analisis Kedudukan Komisi Penyiaran Indonesia Sebagai Lembaga Negara Independen Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Skripsi Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2012, hlm. 21
10 Ibid.
negara mandiri karena dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga yang telah ada telah menjadi bagian dari sistem yang harus diperbaiki.
11Kelima, adanya pengaruh dari lembaga internasional untuk membentuk lembaga- lembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era baru menuju demokratisasi.
12Secara filosofis, person (orang) atau institusi yang independen dibatasi oleh tujuan mulia yang ditetapkan sendiri oleh organisasinya atau ditetapkan oleh otoritas lain yang lebih tinggi derajatnya yang dalam opersional selanjutnya tidak lagi dapat mencampuri pelaksanaan fungsinya yang independen.
13Di Indonesia terdapat banyak lembaga negara yang bersifat independen yang di mana undang-undang yang mengaturnya memang jelas menyatakan bahwa institusi-institutsi ini bersifat independen.
Dalam praktek ketatanegaraan, semua lembaga/badan negara yang diklasifikasikan dalam komisi independen ialah yang memenuhi prasyarat tertentu yaitu:
141. Landasan hukum pembentukannya menyebutkan secara jelas terkait kemandirian atau independensinya dalam menjalankan tugas dan fungsinya (syarat normatif).
2. Independen atau mandiri dalam arti bebas dari pengaruh, kehendak, ataupun kontrol dari cabang kekuasaan eksekutif.
3. Pemberhentian dan pengangkatan anggota komisi menggunakan mekanisme tertentu yang diatur khusus, sehingga bebas dari kontrol kekuasaan eksekutif.
4. Sifat kepemimipinan komisi adalah kolektif kelegial, anggota atau komsioner berjumlah ganjil dan mayoritas suara menjadi dasar pengambilan suara.
5. Kepemimpinan komisi tidak dikuasai atau tidak mayoritas berasal dari partai politik tertentu
6. Masa jabatan para pemimpin komisi defenitif, habis secara bersamaan, dan dapat dilantik lagi untuk satu periode berikutnya.
7. Keseimbangan Keanggotaan lembaga negara ini dilaksanakan dengan menjaga perwakilan yang bersifat nonpartisan dan partisan.
11 Ibid., hlm. 22
12 Ibid.
13 Hendra Nurtjahjo, "Lembaga, Badan Dan Komisi Negara Independen Di Indonesia: Tinjauan Hukum Tata Negara", Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun ke-35, Nomor 3 Juli-September 2015, hlm. 6
14 Gunawan A. Tauda, "Kedudukan Komisi Negara Independen Dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia", Jurnal Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 2011, hlm. 5
3. Teori Kewenangan
Notaris dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai pejabat yang independen haruslah dibarengi dengan kewenangan yang jelas khususnya terkait dalam hal adanya perluasan-perluasan dari tugas notaris di luar dari tugas pokok jabatannya yang pada dasarnya sudah jelas ditentukan dalam undang-undang jabatan notaris.
M. Hadjon menerangkan wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Ferrazi mendefinisikan kewenangan sebagai hak untuk menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen, yang meliputi pengaturan (regulasi dan standarisasi), pengurusan (administrasi) dan pengawasan (supervisi) atau suatu urusan tertentu.
15Kewenangan merupakan wujud nyata dari kekuasaan. Sementara itu, kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.
16H. D. Stout mengatakan bahwa “ wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yag berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik.
17Kewenangan - kewenangan yang berdasar dari undang-undang tersebut diterima oleh pejabat atau institusi melalui tiga cara:
1) Atribusi, yaitu penyerahan wewenang oleh peraturan perundang-undangan(produk legislator) kepada pemerintah baru untuk melaksanakan pemerintahan secaara penuh.
lalu dibekan pula tipe legislator yang kompeten yaitu:
a. Original Legislator, UUD dihasilkan oleh MPR yang berkedudukan di pusat, UU dihasilkan oleh DPR dan Perda dihasilkan oleh DPRD dan Pemda yang berada di daerah.
b. Delegated Legislator, yaitu Presiden berdasarkan ketentuan perundang-undangan dengan menghasilkan Peraturan Pemerintah dan Keputusan /Peraturan Presiden.
2) Delegasi, yaitu suatu pelimpahan wewenang dari pemegang wewenang yang berasal atribusi, kepada pejabat administrasi negara, namun tidak secara penuh. makanya,
15 Tim JDIH Pusat BPK, "Wewenang dan Penyalahgunaan Wewenang Dalam Hukum Administrasi Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014", Tulisan Hukum 9 Januari 2018, hlm. 2
16 Ibid .
17 Ibid., hlm. 98
delegasi selalu didahului oleh suatu atribusi wewenang. Bila tidak ada atribusi wewenang, pendelegasian tidak sah (cacat hukum). keputusan untuk melaksanakan pendelegasian ada di tangan pemegang wewenang atribusi yaitu pejabat terkait.
3) Mandat, yaitu pemberian tugas dari mandans yaitu menteri kepada mandataris yaitu direktur jenderal / sekretaris Jenderal untuk dan atas nama menteri. Mandataris hanya melakanakan perintah atas nama menteri sehingga pertanggung jawaban atas tindakan hukum tetap menjadi tanggungan menteri
18Sebagaimana bentuk dari dasar kewenangan-kewenangan ini maka notaris sebagai salah satu penerima kewenangan secara atribusi dari undang-undang maka notaris juga memiliki kewajiban untuk mematuhi batasan-batasan dari kewenangan tersebut.
Namun perluasan-perluasan dari tugas notaris yang muncul kemudian memberikan notaris kewenangan yang absurd dalam tugasnya sehingga sangat ditakutkan akan terjadinya penyalahgunaan wewenang.
Penyalahgunaan wewenang dalam ranah hukum administrasi negara dapat terjadi pada tiga kasus yaitu :
a. Menyalahgunakan wewenang untuk melakukan perbuatan yang berlawanan dengan kepentingan umum atau tindakan yang menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
b. Menyalahgunakan wewenang yang bermakna bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, namun melenceng dari tujuan wewenang tersebut diberikan oleh undang-undang.
c. Menyalagunakan wewenang sebagai bentuk penyalahgunaan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk meraih tujuan tertentu, tetapi malah memakai prosedur lain untuk melaksankannya.
19Ketika berbicara independensi notaris maka hal itu akan mengacu pada asas yang menjadi ruh dari jabatan notaris. sehingga pertentangan yang terdapat dalam norma terhadap asas itu haruslah dilihat sebagai hal yang harus dipertimbangkan kembali.
Esensinya sebuah norma perundang-undangan tidak akan bertentangan dengan norma lain atau asas hukum jika saja masih sejalan dengan garis yang ditetapkan dalam nilai-nilai undang-undang dasar dan pancasila.
18 Safri Nugraha, Hukum Adminitrasi Negara, Penerbit Center for Law and Good Governance Studies, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2007, hlm. 35
19 Tim JDIH Pusat BPK, Op. Cit., hlm. 7
Ahli hukum Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekano mengungkapkan bahwa nilai hukum, asas hukum, norma/ kaidah hukum, dan sikap tindak hukum tersusun dalam
“stufenbau”, yang mengandung konsekuensi, yaitu:
1. Nilai-nilai hukum adalah kaidah dan panduan terwujudnya asas-asas hukum, dan 2. Nilai hukum dan asas hukum sebagai pedoman dan penunjuk dalam pembentukan
norma atau kaidah hukum,dan
3. Nilai, asas, dan kaidah/ norma hukum sebagai petunjuk dan pengarah perilaku hukum penyelenggara yang berbangsa dan bernegara.
20Sebelum diundangkannya "Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010", notaris tidak memiliki kepentingan dengan latarbelakang para klien yang datang padanya namun setelah undang-undang ini keluar maka sifat kritis dan analitis notaris menjadi kewajiban untuk dilaksanakan.
Tugas dan kewenangan notaris atau boleh pula disebut independensi pada dasarnya tidak terganggu dengan adanya kewajiban tersebut sebagaimana ia tidak terganggu dengan adanya kepentingan klien yang dapat dianggap bersih secara hukum dan seluruh akibatnya, tetapi kemudian bisa dinyatakan bahwa independensi atau tugas dan kewenangan tersebut akan terganggu dengan adanya kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan hukum seperti perihal intrik tindak pidana pencucian uang melalui notaris sebagaimana kasus korupsi dan pencucian uang yang menjerat Inspektur Jenderal Djoko Susilo yang terjadi pada Tahun 2013 yang juga melibatkan beberapa notaris kepercayaannya dalam melaksanakan tindak pidana pencucian uang.
Namun demikian tetap saja untuk membenarkan hal itu tetaplah harus dilakukan amandemen dalam tubuh undang-undang jabatan notaris sebelum kemudian diberikan kewajiban tambahan karena di sana tidak ditemukan klausul yang terkait dengan kewajiban yaitu kalimat yang mengacu pada "kewajiban lainnya yang akan ditentukan kemudian oleh undang-undang"
Demikian juga halnya dengan kewenangan notaris yang bersifat pasif dalam pelaksanaan kewajiban tersebut, kiranya haruslah dipertimbangkan karena sifat dari kewajiban yang aktif haruslah diikuti dengan kewenangan yang aktif pula agar dalam rangka membantu PPATK notaris dapat bertindak optimal.
20 Tanto Lailam, Asas-Asas Hukum Sebagai Tolak Ukur Pertentangan Norma Hukum Dalam Putusan Pengujian Undang-Undang, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, 2016, hlm. 3
Sebab jika tidak maka semua institusi akan menggunakan notaris sebagai alat untuk kepentingan yang pada dasarnya bertolak belakang dengan tugas jabatan notaris.
Ketika berbicara independensi notaris maka hal itu akan mengacu pada asas yang menjadi ruh dari jabatan notaris. sehingga pertentangan yang terdapat dalam norma terhadap asas itu haruslah dilihat sebagai hal yang harus dipertimbangkan kembali.
Esensinya sebuah norma perundang-undangan tidak akan bertentangan dengan norma lain atau asas hukum jika saja masih sejalan dengan garis yang ditetapkan dalam nilai-nilai undang-undang dasar dan pancasila.
Ahli hukum Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekano mengungkapkan bahwa nilai hukum, asas hukum, norma/ kaidah hukum, dan sikap tindak hukum tersusun dalam
“stufenbau”, yang mengandung konsekuensi, yaitu:
1. Nilai-nilai hukum adalah kaidah dan panduan terwujudnya asas-asas hukum,
2. Nilai hukum dan asas hukum sebagai pedoman dan penunjuk dalam pembentukan norma atau kaidah hukum
3. Nilai, asas, dan kaidah/ norma hukum sebagai petunjuk dan pengarah perilaku hukum penyelenggara yang berbangsa dan bernegara.
21Sebelum diundangkannya "Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010", notaris tidak memiliki kepentingan dengan latarbelakang para klien yang datang padanya namun setelah undang-undang ini keluar maka sifat kritis dan analitis notaris menjadi kewajiban untuk dilaksanakan.
Tugas dan kewenangan notaris atau boleh pula disebut independensi pada dasarnya tidak terganggu dengan adanya kewajiban tersebut sebagaimana ia tidak terganggu dengan adanya kepentingan klien yang dapat dianggap bersih secara hukum dan seluruh akibatnya, tetapi kemudian bisa dinyatakan bahwa independensi atau tugas dan kewenangan tersebut akan terganggu dengan adanya kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan hukum seperti perihal intrik tindak pidana pencucian uang melalui notaris sebagaimana kasus korupsi dan pencucian uang yang menjerat Inspektur Jenderal Djoko Susilo yang terjadi pada Tahun 2013 yang juga melibatkan beberapa notaris kepercayaannya dalam melaksanakan tindak pidana pencucian uang.
Namun demikian tetap saja untuk membenarkan hal itu tetaplah harus dilakukan amandemen dalam tubuh undang-undang jabatan notaris sebelum kemudian diberikan
21 Tanto Lailam, Asas-Asas Hukum Sebagai Tolak Ukur Pertentangan Norma Hukum Dalam Putusan Pengujian Undang-Undang, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, 2016, hlm. 3