• Tidak ada hasil yang ditemukan

OPTIMALISASI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MELALUI MEKANISME KEWAJIBAN PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA ASAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "OPTIMALISASI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MELALUI MEKANISME KEWAJIBAN PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA ASAL"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMALISASI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MELALUI MEKANISME KEWAJIBAN PEMBUKTIAN

TINDAK PIDANA ASAL

Oleh: Zul Amirul Haq E-mail: zulamirulhaq@gmail.com

Abstrak

Praktik money laundering sudah menjadi rantai kejahatan dalam dunia hukum pidana yang terkategori ke dalam nemtuk tindak pidana, baik lokal maupun internasional. Secara langsung kejahatan ini bahkan melibatkan banyak pihak (organized crime) dan semakin gesit sesuai dengan pesatnya praktek-praktek kejahatan tindak pidana asal, berupa perbuatan haram seperti korupsi, narkotika, penjualan manusia, prostitusi, minuman keras bahkan korupsi dan lain-lain yang di atur dalam Undang-undang. Tidak mungkin adanya tindak pencucian uang tampa adanya tindak pidana asal, ini adalah bentuk kausalitas yang secara nalar merupakan hal yang lazim diungkapkan.1 Layaknya kedua mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Penanganan tindak pidana asal atas pencucian uang di indonesia masih disinyalir belum mendapat penanganan yang secara proaktif dan retroaktif untuk membuktikan tindak pidana asal dalam TPPU.

A. Pendahuluan

Indonesia merupakan negara hukum.2 sejalan dengan nafas konstitusi yang menuntut setiap tindak tanduk pemerintah dan masyarakat harus berlandaskan pada hirarkis dalam tataran yuridis dan norma hukum yang berlaku. Hal demikian di tegaskan kembali oleh Soehino dalam karyanya “negara hukum”.3 yang memberi spesifikasi bahwa segala sikap, tingkah laku, dan perbuatan, baik yang dilakukan oleh para penguasa negara maupun oleh para warga negara (civil society) mutlak harus berdasarkan hukum yang berlaku, sehingga efektifitas dari realisasi hukum dapat tercapai.4

1 Andrian Sutedi, 2008, “Tindak pidana pencucian uang Cetakan Pertama”, Bandung: PT

Citra Aditya Bakti, Hlm. 54.

2 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

3 Fathurohman,Dian Aminudin, Sirajuddin. 2004, “Memahami Mahkamah Konstitusi Di Indonesia”, Bandung: Bina Cipta, Hlm. 5.

4 Soehino, 1985, “Hukum Tata Negara: Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila Dan Undang-undang Dasar 1945 Adalah Negara Hukum, Yogyakarta: Grama Buku, Hlm. 9.

(2)

Konsep hukum progresif yang di gagas oleh prof.satjipto raharjo mengemukakan, bahwa hukum yang baik adalah perilaku yang baik5, namun tentu

law in book tak selalu sejalan dengan idealitas law in action. Perilaku kriminal dan praktik kejahatan justru selalu mewarnai lalu lintas kehidupan bermasyarakat, seperti photret lalu lintas pidana yang selalu diramaikan dengan maraknya praktik tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan berbagai modus kejahatan.

Money laundering atau TPPU yang merupakan pidana khusus di bidang perekonomian, menjadi wabah serius dalam laju pertumbuhan dan taraf kemajuan negara. TPPU Dapat digolongkan sebagai kejahatan yang masif terorganisir dan dikategorikan sebagai ancaman negara, hingga mendapat perhatian secara khusus dari dunia internasional.6 Pernyataan managing director International Monetary Fund (IMF), Michael Mamdessus, dapat mewakili keresahan atas praktik kejahatan tersebut, karena dalam penelitiannya jumlah uang yang dicuci dari peraktik haram tersebut baik berasal dari berbagai sumber, berkisar 2-5% dari

gross domestic product (GDP), atau sekitar 100 triliun rupiah.7

Secara terminologi, pencucian uang didefinisikan oleh berbagai ahli, diantaranya Welling yang mengemukakan bahwa “money laundering is the process by which one conceals the existence, illegal source, or illegal application, of income and the disguises that income to make appear legitimate”.8 (suatu

proses mengaburkan, menyembunyikan uang-uang ilegal melaui sistem keuangan sehingga ia akan muncul kembali sebagai uang yang sah).

Praktik money laundering sudah menjadi rantai kejahatan dalam dunia hukum pidana yang terkategori ke dalam nemtuk tindak pidana, baik lokal maupun internasional. Secara langsung kejahatan ini bahkan melibatkan banyak pihak (organized crime) dan semakin gesit sesuai dengan pesatnya praktek-praktek kejahatan tindak pidana asal, berupa perbuatan haram seperti korupsi,

5 Muhamad Djumhana, 2002, “Hukum Perbankan di Indonesia”, Bandung: Citra Aditya

Bakti, Hlm. 18.

6 N.H.T Siahaan, 2008, “Money Laundering Dan Kejahatan Perbankan”, Jakarta: Jala,

Hlm. 1.

7 Ivan Yustiavandana, 2010, “Tindak pidana pencucian uang Di Indonesia”, Bogor:

Ghalia Indonesia. Hlm. 38.

8 Sarah N. Welling, 1992, “Smurf, Money Laundering, And The United States Criminal Federal Law.Yang Dimuat Dalam: Brent Fisse, David Fraser & Graeme Coss. The Money Trail (Confiscation Of Proceeds Crime, Money Laundering And Transaction Resporting)” Sydney: The Law Book Company Limited, Hlm. 2001.

(3)

narkotika, penjualan manusia, prostitusi, minuman keras bahkan korupsi dan lain-lain yang di atur dalam Undang-undang.9 Tidak mungkin adanya tindak pencucian

uang tampa adanya tindak pidana asal, ini adalah bentuk kausalitas yang secara nalar merupakan hal yang lazim diungkapkan.10 Layaknya kedua mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Penanganan tindak pidana asal atas pencucian uang di indonesia masih disinyalir belum mendapat penanganan yang secara proaktif dan retroaktif untuk membuktikan tindak pidana asal dalam TPPU.

Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang11 Teori money laundering without core crime yang berarti tidak ada kejahatan pencucian uang tanpa adanya tindak pidana asal (predicate offense), maka dua tindak pidana ini harus dibuktikan karena keduanya adalah kejahatan yang saling terkait.12

Problematika juga terdapat dalam peraturan perundang-undangan, seperti pada pasal 69 undang-undang TPPU menegaskan bahwa “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap TPPU tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”. Frasa tidak wajib inilah yang sering menjadi permasalahan ketika memproses penindakan kejahatan pencucian uang. Pasal 69 terkesan tidak sejalan dengan asas yang dianut dalam undang-undang TPPU, yakni kejahatan pencucian uang merupakan kejahatan yang berasas kriminalitas ganda atau berakar dari tindak pidana lain.13

Muatan tersebut dinilai mencederai kepastian hukum dan asas praduga tak bersalah (perception of innocence) karena sejatinya tindak pidana asal harus dimaknai sebagai unsur awal dari adanya tindak pencucian uang, karena dengan tidak diwajibkan pembuktian tindak pidana asal akan berdampak pada pembiaran terhadap praktik praktik utama atau muara dari berbagai kejahatan seperti tindak

9 Marwan Efendi, “Tipologi Kejahatan Perbankan dan Prespektif Hukum Pidana”,

Jakarta: CV Sumber Ilmu, Hlm. 20.

10 Andrian Sutedi, 2008, “Tindak pidana pencucian uang Cetakan Pertama”, Bandung:

PT Citra Aditya Bakti, Hlm. 54.

11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 “Untuk Dapat Dilakukan Penyidikan,

Penuntutan, Dan Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan Terhadap TPPU Tidak Wajib Dibuktikan Terlebih Dahulu Tindak Pidana Asalnya.”

12 Yenti Garnasih, “TPPU: Dalam Teori dan Praktik”, Makalah pada Seminar dalam

Rangka Musyawarah Nasional dan Seminar Mahupiki, diselenggarakan Mahupiki, Kerjasama Mahupiki dan Universitas Sebelas Maret, Solo, 8 s/d 10September 2013, Hlm 6.

13 Juni Sjafrien Jahja, 2014. “Melawan Money Laundering! Mengenal, Mencegah, & Memberantas TPPU”, Jakarta: Visi Media, Hlm. 54.

(4)

pidana korupsi atau tindak pidana asal lainnya, dan bahkan akan disalahgunakan dengan hanya menjadikan penuntut dapat sesegera mengambil seluruh harta yang yang dimiliki oleh terdakwa tampa membatasi mana harta yang diambil melalui tindak pidana dan harta milik pribadi sebelum dilakukan pidana.14 Di sinilah hukum di tuntut untuk berperan aktif dalam memecahkan persoalan yang menjadi musuh besar bangsa.

Berdasarkan legal memorandum tersebut, penulis tertarik menganalisa efektifitas pembuktian pidana asal dalam pemberantasan TPPU sehingga dapat memberikan sumbangsih pemikiran yang dapat dikonsumsi bagi para pembaca dan para akademisi.

B. Tindak Pidana Pencucian Uang Berakar Dari Tindak Pidana Asal

Definisi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang tentang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah “setiap orang yang

menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, merubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut di duganya merupakan hasil tindak pidana”.15

Secara global pencucian uang atau money laundering didefisinikan oleh berbagai ahli diantaranya; menurut Made M. I. Pastika pencucian uang adalah cara seserang mengubah uang “haram” yang dimilikinya menjadi uang “bersih” yang apabila ditelusuri kembali tidak dapat dihubungkan dengan kejahatan manapun.16 sedangkan menurut Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeni pencucian uang merupakan istilah untuk menggambarkan usaha-usaha yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum untuk melegasisasi uang “kotor” yang diperoleh dari hasil tindak pidana.17

Dewasa ini pencucian uang atau money laundering selalu membawa misi dan tujuan utama yang bersumber dari tindak pidana asal baik dari korupsi,

14 Khairul Huda dalam Keterangannya pada Putusan MK PUU Nomor. 77 Tahun 2014. 15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang

16 Alfitra, 2014, “Modus Operandi Pidana Khusus Di Luar KUHP (Korupsi, Money Laundering, Dan Trafficking”, Jakarta: Raih Asa Sukses, Hlm. 49.

(5)

perdagangan gelap narkotika, penyelundupan, illegal logging dan tindak pidana lain yang di atur dalam undang-undang.18 Hal tersebut mengindikasikan bahwa

TPPU tidaklah berdiri sendiri, melainkan kejahatan lanjutan dari kejahatan asal.19 TPPU sebagai bentuk kejahatan yang berdimensi kriminalitas ganda dapat dilihat dalam beberapa rumusan pasal di undang-undang TPPU. Pasal 3–5 undang-undang TPPU menjelaskan bahwa tindak pidana ini memiliki karakteristik khusus yang merupakan follow up crime. atau supplementary crime, yaitu kejahatan yang menjadi kelanjutan dari adanya suatu tindak pidana asal (predicate offense) unlawful activity yang telah dilakukan terlebih dahulu untuk memperoleh harta kekayaan. artinya, hal tersebut sangatlah bergantung pada terjadinya tindak pidana asal.20 Karena bila ditinjau dari kronologi perbuatan, maka tidak mungkin terjadi penucian uang tanpa terjadi kejahatan utamanya terlebih dahulu, sebagaimana yang tergambar dalam rumusan pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang. 21

Dari sudut pandang yang berbeda Yeni Garnasih berpendapat bahwa TPPU merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, namun di sisi lain ia berpandangan bahwa untuk membuktikan TPPU, penyidik harus secara proposional membuktikan pula tindak pidana asal sekaligus. Hal ini berdasarkan bahwa ia hanya membagi kejahatan diatas pada kejahatan utama dan kejahatan pencucian uang, yang mana satu dan lainnya berdiri sendiri.22

18 Bayu Pratomo, 2011, “Analisis Yuridis Terhadap Pembukaan Rahasia Bank Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan TPPU”, Tesis Universitas Indonesia, Hlm.32.

19 Yusril Ihza Mahendra Dalam Keterangannya Pada putusan Mahkamah Konstitusi

nomor 77/XII-PUU/2014, pengujian Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

20 Artidjo Alkostar,2013, “Penerapan Undang-undang TPPU dalam Hubungan dengan Predicate Crimes”, Yogyakarta: Fakultas Hukum Univ. Islam Indonesia, Hlm. 52.

21 Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:

a.korupsi; b.penyuapan; c.narkotika; d.psikotropika; e.penyelundupan tenaga kerja; f.penyelundupan migran; g.di bidang perbankan; h.di bidang pasar modal; i.di bidang perasuransian; j.kepabeanan; k.cukai; l.perdagangan orang; m.perdagangan senjata gelap; n.terorisme; o.penculikan; p.pencurian; q.penggelapan; r.penipuan; s.pemalsuan uang; t.perjudian; u.prostitusi;.di bidang perpajakan; w.di bidang kehutanan; x.di bidang lingkungan hidup; y.di bidang kelautan dan perikanan; atau z.tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

22 Yenti Garnasih, “TPPU : Dalam Teori Dan Praktik”, Makalah Disampaikan Pada

Seminar Dalam Rangka Munas Dan Seminar Mahupiki, Diselenggarakan Mahupiki Kerjasama Mahupiki dan Universitas Sebelas Maret, Solo, 8 S/D 10 September 2013.

(6)

Pandangan selanjutnya dari djoko sarwoko yang mengatakan bahwa TPPU sejatinya dapat berdiri sendiri, hal ini diamini oleh jaksa agung hendarman supandji, merujuk pendapat mereka pada rumusan pasal 3 undang-undang pemberantasan TPPU: “terhadap harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu pidana asalnya, untuk dapat dimulainya pemeriksaan TPPU ”.

Salah satu putusan pengadilan yang dijadikan yurispridensi adalah vonis terhadap auditor ditjen pajak di pengadilan negeri karawang, majelis hakim pengadilan negri karawang menghukum yudi hermawan, agi sugiono, dan raden handaru ismoyojati terbukti melanggar undang-undang TPPU, tanpa terlebih dahulu membuktikan kejahatan asal. Yudi dihukum 8 tahun, agi divonis 6 tahun penjara, dan handaru dihukum 5 tahun penjara.

Kasus ini bermula dari kecurigaan pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) atas rekening jumbo yudi, pegawai ditjen pajaK Uang miliaran rupiah itu diduga berasal dari gratifikasi dari sebuah perusahaan, dan selanjutnya dapat digunakan pendekatan follow the money.23 Berbeda hal nya dengan kasus Chaeril wardana di mana penasehat hykumnya meminta Jaksa harus membuktikan predicate crime (kejahatan asal) dugaan TPPU nya sebelum terdakwa di bacakan putusan.24

Secara teoritis tindak pencucian uang sejatinya merupakan tindak pidana lanjutan (crime office) kendatipun berdiri sendiri, atau dapat dilakukan oleh orang yang belum tentu melakukan tindak pidana asal, namun hal tersebut sejatinya terlahirkan pada dana-dana yang bersumber pada tindak pidana asal, yang ingin dinikmati oleh yang berkepentingan, sehingga memiliki urgensi untuk mengungkap tindak pidana asalnya.25

23Shanti Rachmadyasah S. H. Money laundring”, diunduh dari

http://www.Hukumonline.Com/Berita/Baca/Hol22301/Tindak-Pidana-Pencucian-Uang-Bisa-Berdiri-Sendiri. [diakses pada 7 Maret 2020]

24 Dylan Aprialdo Rachman, “Eksepsi Ditolak, Penasihat Hukum Wawan Minta Jaksa

KPK Buktikan Kejahatan Asal” Si akses dari

https://nasional.kompas.com/read/2019/12/05/12145661/eksepsi-ditolak-penasihat-hukum-wawan-minta-jaksa-kpk-buktikan-kejahatan#source=clicktitle. [diakses pada 7 Maret 2020]

25 Erwin Silitonga, 2006, “Ekonomi Bawah Tanah, Pengampunan pajak, dan Referandum”, Bandung: Cipta Buku, Hlm. 30.

(7)

C. Urgensi Kewajiban Pembuktian Tindak Pidana Asal Tindak Pidana Pencucian Uang.

Tindak pidana asal (predicate crime) didefenisikan sebagai tindak pidana yang memicu (sumber) terjadinya TPPU.26 artinya, hal ini mengindikasikan bahwa TPPU memiliki hubungan yang sangat erat dengan tindak pidana asal

(predicate crime). TPPU dinilai tidak berdiri sendiri karena harta kekayaan yang ditempatkan, ditransfer, atau dialihkan dengan cara integrasi itu diperoleh dari tindak pidana, hal ini mengindikasikan sudah ada tindak pidana lain yang mendahuluinya (predicate crime).27

Di dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang seperti yang sudah disebutkan di atas setidaknya terdapat 26 jenis tindak pidana asal dalam pencucian uang yang dijabarkan secara limitatif, dan juga tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah atau di luar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, tindakan dari pidana asal sering berdimensi money laundring demi menghilangkan jejak dan menyamarkan hasil tindak pidana asalnya.

Praktik tersebut dapat terlihat dalam kasus Lutfi hassan ishaq yang dijerat dengan pasal 3, 4, atau 5 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dari tindak pidana asal penyuapan.28 Selanjutnya, Ahmad Fatonah yang menggemparkan jagat media karena menjerat beberapa kalangan atris dan pengusaha yang mencoba mengaburkan uangnya dengan memberikan hibah ke berbagai pihak-pihak tertentu untuk berbagai kepentingan dari hasil tindak pidana gratifikasi29, serta berbagai kasus lainnya yang dapat menggambarkan praktik tindak pidana asal dan pengaburannya yang menjelma

26 Abdul Hakim, “Asal-usul tindak pidana pencucian uang” Si akses dari

Http://Repository.Usu.Ac.Id/Bitstream/123456789/37612/4/Chapter%20II.Pdf [diakses pada 5 Maret 2020]

27 Adrian Sutedi, 2008, “TPPU”, Bandung: Citra Aditya Bakti, Hlm. 182.

28 Kompas.com, “Jadi Tersangka, Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq Dijemput KPK”

diunduh dari https ://nasional. kompas.com/read /2013/01/31/03053919 /Jadi.Tersangka.Presiden.PKS.Luthfi.Hasan.Ishaaq.Dijemput.KPK. [diakses Pada 5 Maret 2020]

29 Tempo. co, “Fonis Fathanah suara hakim poecah” di akses dari

Http://Www.Bbc.Com/Indonesia/Berita_Indonesia/2013/11/131104_Vonis_Fathanah [diakses pada 5 Maret 2020]

(8)

menjadi money laundry akibat tidak adanya kewajiban pembuktian tindak pidana asal dalam TPPU.

Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan fondasi atau landasan yuridis dalam menegakkan the first regime of anti-money laundering, hal tersebut disinyalir sudah sesuai dengan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) yang merupakan wadah internasional untuk memerangi TPPU. Serta salah satu bentuk kerjasama antar negara. Badan ini akan mengawasi, mengkoordinasi, mengevaluasi pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan pencucian uang.30 Salah satu tindakan nyata yang dibuat FATF untuk membantu pemerintah dalam mengimplementasikan pencegahan dan pemberantasan pencucian uang maka FATF membuat rekomendasi yang diberi nama 40 rekomendasi. Rekomendasi tersebut diakui sebagai standar internasional untuk anti pencucian uang. Maka dalam hal tersebut terbentuklah revisi undang-undangTPPU nomor 25 tahun 2003 yakni dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang yang muatan subtansinya telah mengikuti standar internasional.31 Hal ini diamini oleh mahkamah konstitusi dalam putusannya Nomor 77/PUU-XI/2014 yang menyatakan bahwa mekanisme terhadap penyidikan dan penuntutan sudah memiliki relevansi untuk tidak dibebani kewajiban pembuktian tindak pidana asal, demikian dalam judicial review yang dimohonkan oleh saudara Akil Mukhtar. Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa apabila tindak pidana asal harus dibuktikan terlebih dahulu karena akan berimplikasi pada proses penuntutan yang tertunda dan akan memakan waktu yang lama dan bertentangan dengan asas dalam beracara hukum pidana cepat, murah dan sederhana. Disamping itu analogi yang disampaikan Mahkamah Konstitusi adalah bagaimana jika pelaku tindak pidana asalnya sudah tidak ada atau tidak dapat ditemukan, maka pelaku TPPU justru dapat dengan bebas menggunakan uang terebut tampa terjerat dari pidana.32

30 Ibid., Hlm. 92.

31 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU/2014, pengujian Undang-undang

Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Hlm. 106.

32 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU/2014. pengujian Undang-undang

Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Hlm. 118.

(9)

Putusan di atas tidak luput dari berbagai kritik dan pandangan akademisi terkait pro–kontra atas kewajiban pembuktian tindak pidana asal. Menyoroti pasal 69 Undang-Undang TPPU yang berbunyi: untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap TPPU tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.”

Chairul Huda dalam keterangan ahlinya berpandangan bahwa dengan tidak dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asal paling tidak dalam dakwaanya, maka sangat berpotensi pada pencederaan terhadap asas fundamental dalam hukum pidana (perception of innocent) dan justru akan menggeser tujuan dalam pembentukan undang-undangpencegahan dan pemberantasan TPPU.

Essensi dalam pencegahan dan pemberantasan TPPU adalah crime doesn't pay. Namun dewasa ini justru pasal tersebut dijadikan alat untuk memiskinkan pelaku pencucian uang, tanpa membatasi mana saja harta yang dimiliki dan mana harta hasil tindak pidana asalnya, melainkan penuntut umum hanya menyandarkan frasa patut diduga yang dapat berimplikasi mengambil semua harta harta milik pelaku, hal ini justru menjadikan negara sebagai machstaarch.33

Romli Atmasasmita justru mengakui pembuktian tindak pidana asal TPPU tidak mudah karena berdasarkan pengalaman penegakan hukum di negara maju, proses pembuktian tindak pidana tersebut sangat sulit jika lokasi (locus delicti) dalam wilayah yurisdiksi negara lain sedangkan nilai pencucian uang terbukti sangat signifikan bahkan melebihi anggaran pendapatan suatu negara berkembang dan merusak tata nilai perdagangan internasional dan regional.34 Namun dalam hal ini hukum perlu mengantisipasi agar tindak pidana asal tidak lolos dari penyidikan.

Berdasarkan pandangan di atas penuntut umum harus dengan jeli dan cermat untuk memperhatikan unsur unsur objektif dan subjektif dalam menentukan kesalahan terlebih dalam hal tindak pencucian uang harus dengan cermat memperhatikan kehati-hatian dan proposionalitas terutama dalam pembuktian. Tanpa keduanya tentu hal ini tidak dapat dipidana karena sejatinya

33 Syahmin A. K., 2013, “Pengembalian Aset Negara Hasil Tipikor Melalui Kerjasama Timbal Balik Antar Negara”, Palembang: Universitas Sriwijaya, Hlm. 35.

34 Romli Atmasasmita, “Analisis Hukum Undang-undang RI Nomormor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan TPPU”,Padjajaran jurnal ilmu hukum Nomor 1 Volume 3 tahun 2016. Hlm.7.

(10)

asas fundamental dalam hukum pidana, seperti apa yang dinyatakan oleh Roeslan Saleh, tiada pidana tampa kesalahan dan tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan. 35

D. Penutup

Dari perhelatan dunia pemikiran akademisi ini, hemat penulis sejatinya didalam rancangan hukum dan realitanya terkadang memang sulit untuk sesuai, karena merupakan sunnatullah yang telah menjadikan tiap tiap rencana belum tentu akan sesuai dengan yang dicapai, begitulah hukum terkadang law in book

berbeda dengan law in action, maka hukum disini hadir untuk menengahi adanya berbagai kepentingan dengan cara menghadirkan konsep dan praktik yang mengatur kepentingan kepentingan yang saling bertabrakan.

Dalam pembuktian tindak pidana asal dalam TPPU, dilain sisi menjaga kepastian hukum dan hak asasi untuk terjamin harta dan kekayaan terdakwa kendati sudah melakukan tindak pidana tetap harus diperhatikan dan dijamin oleh negara, hal inilah yang mengindikasikan bahwa negara hukum tetap berjalan pada alurnya dan menjamin setiap tingkah laku masyarakat hukum.

Namun memang dewasa ini, tidak dapat dipungkiri, bahwa TPPU merupakan pidana khusus yang mekanisme penanganannya dan pemberantasannya adalah dengan cara cara yang khusus dan extra. Hal inilah yang menyebabkan TPPU berbeda dengan tindak pidana lainnya yang pendekatannya justru menggunakan asas praduga bersalah, dan follow the money. Maka dari dua framework yang berbeda penulis hanya mengajukan agar kewajiban pembuktian tindak pidana asal harus tetap dibuktikan dalam persidangan baik setelah putusan maupun sebelum putusan, setidaknya secara kumulatif dalam dakwaan.

Adapun jika terdapat berbagai kasus yang justru sudah menjaring pelaku tindak pidana asal seperti korupsi maupun terorisme atau narkoba dan disinyalir melakukan TPPU, maka harus secara mutlak pembuktian tindak pidana korupsi harus di usut lebih dahulu, kemudian dapat dipastikan hasil hasil korupsinya dan ditelusuri dalam pendekatan follow the money. Sehingga dalam hal ini penyidik

(11)

memiliki kepastian terhadap jumlah uang korupsi yang mengalir di berbagai lini. Sehingga jangan sampai dalam hal uang pribadi pelaku dan uang hasil kejahatan di jadikan alat untuk diduga dan disita oleh penuntut umum yang di sinyalir sebagai aset negara.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU DAN JURNAL

Alfitra. (2014). Modus Operandi Pidana Khusus di luar KUHP (Korupsi, Money Laundering dan Trafficking). Jakarta: Raih Asa Sukses.

Alkostar, A. (2013). Penerapan Undang-Undang TPPU dalam Hubungan dengan Predicate Crimes. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.

Djumhana, M. (2002). Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Efendi, M. (2015). Tipologi Kejahatan Perbankan dan Perspektif Hukum Pidana.

Jakarta: Sumber Ilmu.

Fathurohman, Aminuddin, D., & Sirajuddin. (2004). Memahami Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Bandung: Bina Cipta.

Garnasih, Y. (2013). TPPU dalam Teori dan Praktik. Seminar dalam Rangka Musyawarah Nasional dan Seminar Mahupiki (p. 6). Solo: Universitas Sebelas Maret.

Jahja, J. S. (2014). Melawan Money Laundering! Mengenal, Mencegah, dan Memberantas. Jakarta: Visi Media.

K., S. A. (2013). Pengembalian Aset negara Hasil Tipikor Melalui Kerjasama Timbal Balik Antar Negara. Palembang: Universitas Sriwijaya.

Pratomo, B. (2011). Analisis Yuridis Terhadap Pembukaan Rahasia Bank Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Depok: Universitas Indonesia.

Saleh, R. (2003). Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Grama Pustaka.

Siahaan, N. (2008). Money Laundering dan Kejahatan Perbankan. Jakarta: Jala.

Silitonga, E. (2006). Ekonomi Bawah Tanah, Pengampunan Pajak, dan Referendum. Bandung: Cipta Buku.

Soehino. (1985). Hukum Tata Negara: Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah Negara Hukum. Yogyakarta: Grama Buku.

Sutedi, A. (2008). Tindak Pidana Pencucian Uang. Bandung: Citra Aditya Bakti.

(13)

Syamsuddin, A. (2011). Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika.

Welling, S. N. (1992). Smurf, Money Laundering and The United States Criminal Federal Law. Sydney: The Law Book Company Limited.

Yustiavandana, I. (2010). Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.

WEBSITE

Hakim, A. Asal-usul Tindak Pidana Pencucian Uang. Diunduh dari

Http://Repository.Usu.Ac.Id/Bitstream/123456789/37612/4/Chapter%20II. Pdf

Rachman, D. A. Eksepsi Ditolak Penasihat Hukum Wawan Minta Jaksa KPK Buktikan Kejahatan Asal. Diunduh dari

https://nasional.kompas.com/read/2019/12/05/12145661/eksepsi-ditolak-

penasihat-hukum-wawan-minta-jaksa-kpk-buktikan-kejahatan#source=clicktitle

S., S. R. Money Laundering. Diunduh dari Hukum Online:

http://www.Hukumonline.Com/Berita/Baca/Hol22301/Tindak-Pidana-Pencucian-Uang-Bisa-Berdiri-Sendiri.

Tempo. Fonis Fathanah Suara Hakim Pecah. Diunduh Dari

Http://www.Bbc.Com/Indonesia/Berita_Indonesia/2013/11/131104_Vonis _Fathanah

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU/2014.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Referensi

Dokumen terkait

antara lain: (1) memberikan tanggung jawab secara penuh kepada guru yang diimbangi dengan kewenangan dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tugas pokok sebagai

terdapat hubungan yang signifikan antara stres dan gangguan insomnia pada peserta didik terhadap hasil belajar Mata Pelajaran Fisika MTs Negeri Model Makassar, sehingga dapat

Hasil dari regresi dengan metode OLS diperoleh R 2 (Koefisien Determinasi) sebesar 0.731 artinya variabel dependen (Y) dalam model yaitu ketimpangan pendapatan

Setiap Dokumen Penawaran Sayembara yang diterima oleh Panitia Pengadaan setelah batas akhir waktu pemasukan Dokumen Penawaran Sayembara akan ditolak dan

PT Kusumahadi Santosa adalah sebuah perusahaan manufaktur yang bergerak di bidang pertekstilan. Salah satu kegiatan yang paling pokok adalah pengadaan, baik

Mengingat banyaknya kebutuhan yang diperlukan oleh keluarga dan anggota-anggotanya, maka dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa yang merupakan kebutuhan

Organisasi Lini dan Fungsional adalah organisasi yang masing-masing anggota mempunyai wewenang yang sama dan pimpinannya kolektif. Organisasi Komite lebih mengutamakan

Karakteristik utama dari pengasuhan anak di Jepang antara lain, (1) besarnya peran ibu, (2) ayah tidak terlalu banyak terlibat dalam pengasuhan anak, (3)