• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Pengembangan sektor peternakan sapi potong tidak hanya diarahkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN KEPUSTAKAAN. Pengembangan sektor peternakan sapi potong tidak hanya diarahkan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 Limbah Peternakan Sapi Potong

Pengembangan sektor peternakan sapi potong tidak hanya diarahkan terkait dengan pemenuhan pangan, namun juga berkaitan dengan kesehatan dan lingkungan (Kasworo dkk, 2013). Lebih lanjut menurut Floats dkk (2009) dalam Kasworo dkk (2013), produksi usaha penggemukan akan memberikan sumbangan bagi tingkat pencemaran lingkungan, termasuk pembuangan pada tanah, air permukaan dan emisi ke atmosfer. Menurut Sudiarto (2008), limbah ternak adalah bahan buangan yang dihasilkan dari sisa kegiatan metabolisme ternak yang terdiri atas feses, urin, keringat dan sisa metabolisme yang lain.

Usaha peternakan sapi di Indonesia masih mementingkan produktivitas ternak dan belum mempertimbangkan aspek lingkungan (Sarwanto, 2004 dalam Kasworo, 2013). Populasi sapi potong dewasa di Indonesia mencapai 10,8 juta ekor. Apabila satu ekor sapi setiap hari menghasilkan rata-rata 7 kg kotoran maka kotoran yang dihasilkan di Indonesia sebesar 78,4 juta kg kering per hari (Budiyanto, 2011). Limbah ternak yang terdapat di daerah sentra produksi ternak belum banyak yang dimanfaatkan secara optimal, sebagian di antaranya terbuang begitu saja, sehingga sering merusak lingkungan yang akibatnya akan menghasilkan bau yang tidak sedap (Rahayu dkk, 2009). Keadaan potensial inilah yang menjadi alasan perlu adanya penanganan yang benar pada limbah ternak, terutama feses sapi potong.

Kesadaran masyarakat akan pemenuhan sumber energi yang berkelanjutan

menjadikan biogas sebagai pilihan yang tepat. Energi biogas sangat potensial

(2)

untuk dikembangkan, karena perkembangan peternakan sapi potong di Indonesia sangat menunjang produksi biogas. Kondisi tersebut sangat mendukung ketersediaan terhadap bahan baku secara kontinyu dalam jumlah yang cukup dengan harga yang murah untuk memproduksi biogas (Wahyuni, 2011).

Dilanjutkan oleh Rahayu dkk (2009) yang menyatakan bahwa pemanfaatan kotoran ternak, seperti feses sapi potong sebagai sumber pupuk organik sangat mendukung usaha pertanian tanaman sayuran. Pupuk organik yang berasal dari feses sapi potong dapat menghasilkan unsur hara yang sangat dibutuhkan tanaman, seperti unsur N, P dan K. Di samping menghasilkan unsur hara makro, pupuk organik juga menghasilkan sejumlah unsur hara mikro, seperti Fe, Zn, Bo, Mn, Cu, dan Mo.

2.2 Karakteristik Feses Sapi Potong

Setiap ekor sapi dapat menghasilkan feses sebanyak 7-10% dari bobot badan (Budiyanto, 2011). Limbah sapi potong memiliki karakteristik sebagai berikut: kadar air 85%, BOD (Biological Oxygen Demand) 1-1,6 mg/liter, padatan total 7-12 kg/hari/unit, padatan volatil 5,9-10,2 kg/hari/unit, nitrogen total 0,26- 0,40 mg/lt, amonia 0,11 mg/liter, fosfor 0,18 mg/liter dan pH 7,3 (Merkel, 1981 dalam Marlina dkk, 2009). Kandungan unsur hara feses sapi adalah 30% bahan organik, 4,38% N, 0,3% P

2

O

5

dan 0,65% K

2

O (Simanjuntak dan Waluyo, 1982 dalam Marlina dkk, 2007). Karakteristik limbah ternak, seperti feses sapi potong dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: jenis ternak, makanan dan air yang diberikan, umur dan bentuk fisik dari ternak (Syaifullah dan Abu Bakar, 2013).

Sapi potong yang dipelihara oleh peternak biasanya diberi pakan hijauan lebih

banyak daripada konsentrat, sehingga feses yang dihasilkan lebih banyak

(3)

mengandung serat (Hidayati dkk, 2011). Sesuai dengan pernyataan Syaifullah dan Abu Bakar (2013) yang menyatakan bahwa feses sapi potong memiliki kadar serat paling tinggi. Feses sapi potong mengandung selulosa, hemiselulosa, lignin, karbonat organik, nitrogen, fosfor dan kalium. Sapi memiliki sistem pencernaan khusus, dimana mikroorganisme sangat berperan dalam sistem pencernaannya.

Mikroorganisme tersebut berperan dalam mencerna selulosa dan lignin dari rumput berserat tinggi. Oleh karena itu, pupuk organik yang berasal dari feses sapi potong mengandung selulosa yang tinggi sehingga nilai kalor yang dihasilkan oleh biogas cukup tinggi, yaitu kisaran 4.800-6.700 kkal/m

3

.

2.3 Teknologi Biogas

Biogas merupakan teknologi pembentukan energi dengan memanfaatkan

limbah, salah satunya limbah peternakan. Energi biogas sangat potensial untuk

dikembangkan karena produksi biogas dari limbah peternakan ditunjang oleh

kondisi yang kondusif dari perkembangan peternakan sapi potong di Indonesia

(Nurhasanah dkk, 2006). Selain menjadi energi alternatif, biogas juga dapat

mengurangi permasalahan lingkungan, seperti polusi udara, polusi tanah dan

pemanasan global. Sumber energi biogas memiliki keunggulan dibandingkan

dengan sumber energi lainnya. Selain ramah lingkungan, biogas termasuk energi

yang memiliki sifat renewable. Artinya, biogas dapat diperbaharui dan mudah

untuk diperbanyak (Wahyuni, 2011). Biogas merupakan gas yang berasal dari

proses biodegradasi bahan organik oleh bakteri pada kondisi anaerob. Lebih

lanjut oleh Wahyuni (2011), pada prinsipnya, teknologi biogas adalah teknologi

yang memanfaatkan fermentasi bahan organik oleh bakteri anaerob yang

menghasilkan gas metana. Biogas menghasilkan komposisi gas yang terdiri atas

(4)

55-75% gas metana (CH

4

), 25-45% gas karbondioksida (CO

2

), 0-0,3% gas nitrogen (N

2

), 1-5% gas hidrogen (H

2

), 0-3% gas hidrogen sulfida (H

2

S) dan 0,1- 0,5% gas oksigen (O

2

) (Waskito, 2011).

Proses pembentukan biogas meliputi tiga tahapan yaitu hidrolisis, fermentasi dan metanogenesis. Pada tahap hidrolisis, molekul organik yang kompleks diuraikan menjadi bentuk yang lebih sederhana, seperti karbohidrat, asam amino, dan asam lemak. Proses fermentasi terbagi menjadi dua yaitu asidogenesis dan asetogenesis. Asidogenesis merupakan proses penguraian yang menghasilkan amonia, karbondioksida, dan hidrogen sulfida sedangkan asetogenesis merupakan proses penguraian yang menghasilkan hidrogen, karbondioksida, dan asetat. Pada tahap metanogenesis terjadi penguraian dan sintesis produk tahap sebelumnya untuk menghasilkan gas methana (Abbasi dkk, 2012). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembentukan biogas diantaranya adalah :

1. Temperatur

Temperatur sangat menentukan lamanya proses pencernaan di dalam digester. Bila temperatur meningkat, umumnya produksi biogas juga meningkat sesuai dengan batas-batas kemampuan bakteri mencerna sampah organik. Bakteri yang umum dikenal dalam proses fermentasi anerob adalah bakteri psychrophilic (<15ºC), bakteri mesophilic (15ºC-45ºC) dan bakteri thermophilic (45ºC-65ºC). Umumnya digester anaerob skala kecil, yang

sering terdapat disekitar kita umumnya bekerja pada suhu bakteri mesophilic dengan suhu antara 25ºC- 37ºC (Saragih, 2010).

2. pH

(5)

Produksi biogas secara optimum dapat dicapai bila pH dari campuran input di dalam digester berada pada kisaran 6 dan 7 (Wahyuni, 2009). Bila pH lebih kecil atau lebih besar maka akan bersifat toksik terhadap bakteri metanogenik. Bila proses anaerob sudah berjalan menuju pembentukan biogas, pH berkisar 7-7,8 (Saragih, 2010).

3. Laju Pengumpanan

Laju pengumpanan adalah jumlah bahan yang dimasukkan ke dalam digester per unit kapasitas per hari. Pada umumnya, 6 kg kotoran sapi per m

3

volume digester adalah di rekomendasikan pada suatu jaringan pengolah kotoran sapi (Wahyuni, 2009).

4. Lama Proses Pencernaan

Lama proses (Hydraulic Retention Time-HRT) adalah jumlah hari proses pencernaan/digesting pada tangki anaerob terhitung mulai pemasukan bahan organik sampai proses awal pembentukan biogas dalam digester anaerob (Saragih, 2010). HRT dirumuskan dengan persamaan berikut :

5. Toxicity

Ion mineral, logam berat, dan detergen adalah beberapa material racun yang mempengaruhi pertumbuhan normal bakteri patogen di dalam digester. Ion mineral dalam jumlah kecil dapat merangsang pertumbuhan bakteri.

Namun, bila ion-ion ini dalam jumlah tinggi akan berakibat meracuni

bakteri patogen (Wahyuni, 2009).

(6)

Selain menghasilkan biogas, pengelolaan limbah feses sapi potong dengan fermentasi anaerob dapat menghasilkan sludge biogas sebagai hasil ikutannya (Marlina dkk, 2009). Menurut Oman (2003) dalam Citra K, dkk (2012), sludge biogas sangat baik untuk dijadikan pupuk karena mengandung berbagai macam unsur yang dibutuhkan oleh tumbuhan seperti P, Mg, Ca, K, Cu dan Zn.

Kandungan unsur hara dalam sludge biogas cukup lengkap meskipun dalam jumlah sedikit. Sludge biogas juga mengandung lebih sedikit bakteri patogen sehingga aman untuk digunakan sebagai pupuk (Widodo dkk, 2007).

Lebih lanjut menurut Widodo dkk (2007), sludge biogas terdiri dari dua bagian, yaitu cair dan padat. Sludge biogas cair memiliki pH 7,9-8,3 dengan tingkat kelembaban 90-93%. Sludge biogas cair berwarna cokelat/hijau gelap, tidak mengeluarkan gelembung, tidak berbau dan tidak mengundang lalat. Sludge biogas memiliki bahan kering rendah (biasanya 1-8% padatan) dan berkadar air tinggi (sekitar 92-99% cairan). Haryati (2006) menambahkan bahwa sludge biogas yang berasal dari kotoran sapi mengandung 1,8-2,4% nitrogen, 1-1,2%

fosfor (P

2

O

5

), 0,6-0,8% pottasium (K

2

O) dan 50-75% bahan organik.

Ilustrasi 1. Digester biogas tipe fixed-dome (Waskito, 2011)

(7)

Digester merupakan komponen utama dalam produksi biogas. Digester biogas didesain khusus untuk menciptakan suasana anaserob selama fermentasi.

Berdasarkan bentuk tangki digesternya, secara umum dikenal tiga tipe utama digester biogas yaitu tipe balon (balloon), tipe kubah tetap (fixed-dome) dan tipe kubah mengambang (floating drum) (Waskito, 2011). Selanjutnya menurut Wahyuni (2011), digester tipe fixed-dome terdiri atas dua bagian, yaitu bagian tangki sebagai tempat berlangsungnya fermentasi oleh bakteri dan bagian kubah tetap yang merupakan pengumpul gas yang tidak bergerak. Digester tipe ini mempunyai volume tetap. Seiring dengan dihasilkannya biogas, maka akan terjadi peningkatan tekanan dalam digester. Oleh karena itu, dalam konstruksi digester fixed-dome, gas yang terbentuk akan segera dialirkan ke pengumpul gas di luar reaktor. Skema digester tipe fixed-dome disajikan pada Ilustrasi 1.

Digester tipe fixed-dome mempunyai kelebihan dan kekurangan sebagai berikut. Kelebihan menggunakan digester tipe fixed-dome adalah konstruksi yang sederhana dan dapat dikerjakan dengan mudah, biaya konstruksi yang relatif lebih murah dibanding dengan jenis digester tipe drum terapung (floating drum), tidak terdapat bagian yang bergerak, dapat dipilih dari material yang tahan karat, umurnya panjang, dapat dibuat didalam tanah sehingga menghemat tempat, dan perawatannya relatif lebih mudah. Adapun kekurangan menggunakan digester tipe fixed-dome adalah bagian dalam digester tidak terlihat sehingga kebocoran tidak terdeteksi, tekanan gas berfluktuasi dan bahkan fluktuasinya sangat tinggi, temperatur digester rendah, dibutuhkan waktu yang relatif lama dalam proses pembuatannya, sering terjadi kehilangan gas pada bagian kubah karena konstruksinya tetap, mudah mengalami keretakan dan tidak dapat dipindah.

(Wahyuni, 2011 dan Waskito, 2011).

(8)

2.4 Logam Berat

Logam terdiri atas logam berat dan logam ringan. Logam berat ialah logam yang mempunyai berat 5 gram/cm

3

atau lebih dan bobot ini beratnya lima kali dari berat air (Darmono, 1995). Selanjutnya Fardiaz (1995) menambahkan bahwa karakteristik logam berat lainnya yaitu mempunyai nomor atom 22-24 dan 40-50 serta unsur-unsur laktanida dan aktinida, dan mempunyai respon biokimia spesifik pada organisme hidup.

Logam berat merupakan unsur yang keberadaannya di alam sangat sedikit.

Beberapa logam sangat diperlukan dalam proses fisiologi dan metabolisme tubuh makhluk hidup. Namun apabila konsentrasinya melebihi batas maksimal, akan berpotensi menjadi racun pada makhluk hidup (Adriano, 1986; Notodarmojo, 2005 dalam Setyaningrum, 2011). Ross (1994) dalam Pramono (2008) menambahkan bahwa logam berat yang mencemari tanah sawah dan perairan berasal dari dua sumber utama, yaitu pelapukan batuan mineral dan kegiatan antropogenik (akibat aktivitas manusia) yang berkaitan dengan proses industri,

pabrik, pembuangan industri, sampah rumah tangga dan bahan-bahan limbah.

Logam dapat dikategorikan menjadi logam esensial dan logam

nonesensial. Logam-logam berikut termasuk logam esensial yaitu tembaga (Cu),

seng (Zn) dan selenium (Se) sedangkan logam non esensial yaitu air raksa (Hg),

timbal (Pb), kadmium (Cd) dan arsen (As). Logam esensial seperti Cu, Zn dan Se

dalam dosis tertentu dibutuhkan sebagai unsur nutrisi pada pakan ternak. Namun

logam non esensial seperti Hg, Pb, Cd dan As masih belum diketahui

kegunaannya. Walaupun dalam jumlah relatif sedikit dapat menyebabkan

keracunan (Darmono, 1995).

(9)

2.5 Seng (Zn)

Seng ditemukan hampir dalam seluruh jaringan hewan. Seng berlebih banyak terakumulasi dalam tulang. Jumlah terbanyak terdapat dalam jaringan epidermal (kulit, rambut dan bulu) dan sedikit dalam tulang, otot dan darah (Richards, 1989; Puls, 1994; Brown dkk, 2004 dalam Arifin, 2012). Penyerapan Zn relatif rendah sekitar 20-40% (Bendainer, 1998 dalam Hernaman, 2006).

Ternak ruminansia dewasa hanya mampu menyerap 20-40% Zn yang berasal dari pakan, sedangkan pada ternak muda lebih tinggi lagi (Georgievskii dkk, 1982 dalam Hernaman, 2006). Barker dan Zublena (1999) dalam Hernaman (2006) melaporkan bahwa feses sapi, domba dan kambing masih mengandung Zn cukup tinggi, yaitu berturut-turut 21, 29 dan 32 mg/kg, suatu bukti bahwa Zn dalam ransum tidak sepenuhnya diserap.

Pada suhu tinggi, hewan banyak mengeluarkan keringat dan seng dapat hilang bersama keringat sehingga perlu penambahan melalui suplementasi mineral dalam pakan (Richards, 1989; Ahmed dkk, 2002 dalam Arifin, 2012). Tillman dkk (1998) menyatakan bahwa kebutuhan Zn dalam tubuh ternak berkisar antara 10-50 mg/kg bobot tubuh. Zn berperan sebagai komponen metaloenzim yang berperan dalam sintesis protein, absorbsi asam amino dan metabolisme energi (Hernaman, 2006). Zn sering digunakan dalam pelapisan logam seperti baja dan besi yang merupakan produk antikarat, pembuatan zat warna untu cat, lampu, gelas, bahan keramik, pestisida dan sebagainya (Darmono, 1995).

2.6 Tembaga (Cu)

Tembaga merupakan mineral mikro karena keberadaannya dalam tubuh

sangat sedikit, namun diperlukan dalam proses fisiologis. Cu berfungsi sebagai

(10)

biokatalisator dalam tubuh. Mineral Cu diperlukan dalam pembentukan hemoglobin (McDowell, 1992 dalam Tanuwiria, 2004) dan berperan sebagai aktivator pada beberapa sistem enzim (Burns, 1981 dalam Arifin, 2007).

Kebutuhan Cu dalam tubuh ternak berkisar 1,5 mg/kg bobot tubuh (Tillman dkk, 1998). Umumnya hanya 1-3% Cu dalam pakan yang dapat diserap oleh ruminansia.

Di alam, Cu ditemukan dalam bentuk senyawa sulfida (CuS). Walaupun dibutuhkan tubuh dalam jumlah sedikit, bila berlebih dapat mengakibatkan keracunan. Kadar maksimum Cu dalam pakan yang dapat ditoleransi sapi muda adalah 100 mg/kg (Darmono, 1995). Cu banyak dipergunakan pada industri metalurgi, tekstil, eletronika dan sebagai cat anti karat (Effendi, 2000 dalam Setyaningrum, 2011). Dalam bidang pertanian, garam tembaga (tembaga sulfat/CuSO

4

) digunakan sebagai pembasmi jamur dan siput (Darmono, 1995).

2.7 Timbal (Pb)

Timbal secara alami di lingkungan, biasanya ditemukan di dalam bebatuan, tanah, tumbuhan dan hewan (Fardiaz, 1995). Namun kadarnya mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan aktivitas manusia, misalnya di daerah industri, di jalan raya, dan tempat pembuangan sampah. Pb banyak digunakan dalam industri baterai (Eckenfelder, 1989 dalam Setyaningrum, 2011).

Pb sangat baik untuk merangsang arus listrik sebagai katoda PbO

2

dan Pb logam

(Darmono, 1995). Logam Pb juga digunakan dalam pembuatan tinta, sekering,

amunisi dan kabel. Pb merupakan pencemar kimiawi utama terhadap lingkungan

dan sangat beracun bagi tumbuhan, hewan dan manusia (Mengel dan Kirkby,

1987 dalam Notohadiprawiro, 2006). Pb yang terakumulasi di dalam tanah dapat

(11)

mengkontaminasi tanaman pangan dan pakan, sehingga manusia dan hewan ternak pun ikut terkontaminasi. Setyorini dkk (2003) menyatakan bahwa kisaran Pb yang terkandung dalam pupuk fosfat alam ialah 0-113 ppm.

Pb dalam bentuk larutan diabsorpsi sekitar 5-10% melalui dinding saluran pencernaan dan sekitar 30% diserap melalui udara yang terhirup (Heryando, 2004). Sistem darah dalam hati membawa timbal tersebut dan dideposisi, sebagian lagi dibawa darah dan didistribusikan ke dalam jaringan. Timbal kemudian dieksresikan kembali melalui urin dan feses. Dosis keracunan Pb pada anak sapi adalah 400-600 mg/kg dan pada sapi dewasa adalah 600-800 mg/kg, tetapi hal ini tergantung pada bentuk senyawa Pb. Tingkat toksisitas Pb lebih rendah daripada kadmium (Cd), merkuri (Hg) dan tembaga (Cu). Akan tetapi lebih toksik daripada kromium (Cr), mangan (Mn), barium (Ba), seng (Zn) dan besi (Fe). Keracunan Pb dalam dosis rendah namun berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan neurotoksik (racun saraf) dan perubahan tingkah laku (Darmono, 1995).

2.8 Kadmium (Cd)

Kadmium biasanya selalu bercampur dengan logam lain, terutama dalam

pertambangan seng dan timbal (Darmono, 1995). Cd banyak digunakan pada

industri metalurgi, pelapisan logam, pigmen, baterai, peralatan elektronik,

pelumas, peralatan fotografi, gelas, keramik, tekstil dan plastik (Eckenfelder, 1989

dalam Setyaningrum, 2011). Cd masuk ke dalam tubuh ternak melalui dua jalan

yaitu saluran pencernaan dan saluran pernapasan. Absorpsi Cd lewat saluran

pencernaan sangat sedikit yaitu sekitar 3-8% sedangkan melalui saluran

pernapasan sekitar 25-50% dari total Cd yang dimakan. Setelah Cd diadsorpsi

(12)

dalam tubuh, kemudian didistribusikan ke jaringan tubuh dan terakumulasi di dalam hati dan ginjal (Darmono, 1995).

Penggunaan pupuk anorganik dan pestisida cenderung meningkat pada daerah dimana aktifitas pertaniannya sudah intensif. Hasil analisa oleh Puslitbangtanak tentang kadar unsur dalam pupuk sumber fosfat yang beredar di Indonesia menunjukkan bahwa selain mengandung P

2

O

5

sebagai unsur utama, juga mengandung unsur sekunder Ca, Mg, S serta unsur mikro Fe, Al, Mn, Cu, Zn, Pb, Cd, Cr, Ni dan Co (Setyorini dkk, 2003 dalam Pramono, 2008).

Kandungan Cd dalam pupuk fosfat ditemukan dalam kisaran 1,94-113 mg/kg pupuk. Selain pupuk anorganik, sumber fosfat juga berasal dari pupuk organik yang berasal dari pupuk kandang, kompos dan kapur. Jumlah Cd yang terakumulasi dalam tanah tergantung pada kadar Cd dalam pupuk dan dosis pupuk yang diberikan. Pupuk kandang dari kotoran ayam dan sapi juga mengandung Cd dalam jumlah lebih dari 50 mg/kg (Laegreid dkk, 1999 dalam Pramono, 2008).

2.9 Pengaruh Logam Berat Pada Proses Pembentukan Biogas Secara Anaerob

Logam berat terdapat dalam konsentrasi yang signifikan dalam air limbah

industri, dan sering ditemukan sebagai penyebab utama kegagalan proses

pencernaan anaerob pada digester (Lester dkk, 1983; Stronach dkk, 1986 dalam

Krishna dan Gilbert, 2014). Air limbah industri umumnya mengandung berbagai

jenis logam berat yang menyebabkan efek sinergis atau antagonis pada

pencernaan anaerob. Menurut Jin dkk, 1998 dalam Krishna dan Gilbert (2014),

logam berat yang menjadi perhatian khusus diantaranya adalah kromium, besi,

kobalt, tembaga, seng, kadmium dan nikel. Takashima dan Speece, 1989 dalam

Krishna dan Gilbert (2014) menambahkan bahwa logam berat seperti Fe, Zn, Ni,

(13)

Co, Mo dan Cu adalah logam yang berfungsi untuk aktivasi enzim dalam sistem anaerob. Namun konsentrasi logam yang melebihi atau berada dibawah batas maksimal, akan mempengaruhi produksi gas metan yang dihasilkan, hal tersebut sebagai hasil dari penghambatan bakteri anaerob oleh logam berat. Berdasarkan sebagian besar studi yang telah dilakukan, hasil menunjukkan bahwa kemampuan logam menghambat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti, konsentrasi logam dalam bentuk larut, ionik dalam larutan, jenis logam dan jumlah biomassa pada digester (Krishna dan Gilbert, 2014).

Bakteri metanogenik merupakan bakteri paling sensitif terhadap toksisitas yang terjadi selama proses anaerob (Kugelman dan McCarty, 1965; Mosey, 1976 dalam Krishna dan Gilbert, 2014). Seperti yang diungkapkan Zayed dan Winter, 2000 dalam Krishna dan Gilbert (2014), diketahui bahwa bakteri asidogenesis lebih tahan terhadap logam berat dibanding bakteri metanogenesis. Lin dkk, 1993 dalam Krishna dan Gilbert (2014) menunjukkan bahwa logam Cu dan Zn lebih bersifat toksik pada fermentasi asidogenesis daripada metanogenesis. Lin, 1992;

1993 dalam Krishna dan Gilbert (2014), mengungkapkan bahwa terdapat efek dari enam logam berbeda yaitu, Cu, Zn, Cr, Cd, Ni dan Pb selama proses pencernaan anaerob. Sensitivitas relatif logam berat pada tahapan asidogenesis adalah Cu >

Zn > Cr > Cd > Ni > Pb. Cu merupakan logam paling bersifat toksik untuk

bakteri asidogenik, sementara Pb merupakan logam paling tidak bersifat toksik

untuk bakteri asidogenik. Lanjutnya, sensitivitas relatif logam berat pada tahapan

metanogenesis adalah Cd > Cu > Cr > Zn > Pb > Ni. Cd merupakan logam paling

bersifat toksik untuk bakteri metanogenik, sementara Ni merupakan logam paling

tidak bersifat toksik untuk bakteri metanogenik.

Gambar

Ilustrasi 1. Digester biogas tipe fixed-dome (Waskito, 2011)

Referensi

Dokumen terkait

Namun karena penghasilan mereka yang pas-pasan sehingga usaha ternak dilakukan seadanya yang ditandai dengan perkandangan yang dibuat seadanya dari kayu, kemiringan lantai

[3.3] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dan pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu

Hasil penelitian ini adalah data aplikasi pengolahan dalam penjualan ini merupakan salah satu solusi yang tepat untuk mengatasi masalah yang ada seperti koleksi

Layanan kesehatan yang inklusif adalah layanan kesehatan yang dapat diakses oleh semua anggota masyarakat tanpa hambatan berarti. Artinya, jika ada anggota masyarakat yang

Desy Nur Hidayah Siswantini. HUBUNGAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM LINGKUNGAN KELUARGA DENGAN PEMBENTUKAN SIKAP SOSIAL REMAJA DI KELURAHAN JERUK, KECAMATAN MIRI

Namun, dalam raperda yang telah dibuat Pemerintah Kota Yogyakarta tidak berencana membentuk BKKBD, tetapi membentuk sebuah lembaga yang merupakan gabungan Kantor KB dengan

Beberapa tujuan dari perencanaan pengembangan wilayah yang berkaitan langsung dengan perencanaan penggunaan lahan yaitu, mengidentifikasi wilayah perencanaan secara