II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1 Limbah Peternakan Sapi Potong
Pengembangan sektor peternakan sapi potong tidak hanya diarahkan terkait dengan pemenuhan pangan, namun juga berkaitan dengan kesehatan dan lingkungan (Kasworo dkk, 2013). Lebih lanjut menurut Floats dkk (2009) dalam Kasworo dkk (2013), produksi usaha penggemukan akan memberikan sumbangan bagi tingkat pencemaran lingkungan, termasuk pembuangan pada tanah, air permukaan dan emisi ke atmosfer. Menurut Sudiarto (2008), limbah ternak adalah bahan buangan yang dihasilkan dari sisa kegiatan metabolisme ternak yang terdiri atas feses, urin, keringat dan sisa metabolisme yang lain.
Usaha peternakan sapi di Indonesia masih mementingkan produktivitas ternak dan belum mempertimbangkan aspek lingkungan (Sarwanto, 2004 dalam Kasworo, 2013). Populasi sapi potong dewasa di Indonesia mencapai 10,8 juta ekor. Apabila satu ekor sapi setiap hari menghasilkan rata-rata 7 kg kotoran maka kotoran yang dihasilkan di Indonesia sebesar 78,4 juta kg kering per hari (Budiyanto, 2011). Limbah ternak yang terdapat di daerah sentra produksi ternak belum banyak yang dimanfaatkan secara optimal, sebagian di antaranya terbuang begitu saja, sehingga sering merusak lingkungan yang akibatnya akan menghasilkan bau yang tidak sedap (Rahayu dkk, 2009). Keadaan potensial inilah yang menjadi alasan perlu adanya penanganan yang benar pada limbah ternak, terutama feses sapi potong.
Kesadaran masyarakat akan pemenuhan sumber energi yang berkelanjutan
menjadikan biogas sebagai pilihan yang tepat. Energi biogas sangat potensial
untuk dikembangkan, karena perkembangan peternakan sapi potong di Indonesia sangat menunjang produksi biogas. Kondisi tersebut sangat mendukung ketersediaan terhadap bahan baku secara kontinyu dalam jumlah yang cukup dengan harga yang murah untuk memproduksi biogas (Wahyuni, 2011).
Dilanjutkan oleh Rahayu dkk (2009) yang menyatakan bahwa pemanfaatan kotoran ternak, seperti feses sapi potong sebagai sumber pupuk organik sangat mendukung usaha pertanian tanaman sayuran. Pupuk organik yang berasal dari feses sapi potong dapat menghasilkan unsur hara yang sangat dibutuhkan tanaman, seperti unsur N, P dan K. Di samping menghasilkan unsur hara makro, pupuk organik juga menghasilkan sejumlah unsur hara mikro, seperti Fe, Zn, Bo, Mn, Cu, dan Mo.
2.2 Karakteristik Feses Sapi Potong
Setiap ekor sapi dapat menghasilkan feses sebanyak 7-10% dari bobot badan (Budiyanto, 2011). Limbah sapi potong memiliki karakteristik sebagai berikut: kadar air 85%, BOD (Biological Oxygen Demand) 1-1,6 mg/liter, padatan total 7-12 kg/hari/unit, padatan volatil 5,9-10,2 kg/hari/unit, nitrogen total 0,26- 0,40 mg/lt, amonia 0,11 mg/liter, fosfor 0,18 mg/liter dan pH 7,3 (Merkel, 1981 dalam Marlina dkk, 2009). Kandungan unsur hara feses sapi adalah 30% bahan organik, 4,38% N, 0,3% P
2O
5dan 0,65% K
2O (Simanjuntak dan Waluyo, 1982 dalam Marlina dkk, 2007). Karakteristik limbah ternak, seperti feses sapi potong dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: jenis ternak, makanan dan air yang diberikan, umur dan bentuk fisik dari ternak (Syaifullah dan Abu Bakar, 2013).
Sapi potong yang dipelihara oleh peternak biasanya diberi pakan hijauan lebih
banyak daripada konsentrat, sehingga feses yang dihasilkan lebih banyak
mengandung serat (Hidayati dkk, 2011). Sesuai dengan pernyataan Syaifullah dan Abu Bakar (2013) yang menyatakan bahwa feses sapi potong memiliki kadar serat paling tinggi. Feses sapi potong mengandung selulosa, hemiselulosa, lignin, karbonat organik, nitrogen, fosfor dan kalium. Sapi memiliki sistem pencernaan khusus, dimana mikroorganisme sangat berperan dalam sistem pencernaannya.
Mikroorganisme tersebut berperan dalam mencerna selulosa dan lignin dari rumput berserat tinggi. Oleh karena itu, pupuk organik yang berasal dari feses sapi potong mengandung selulosa yang tinggi sehingga nilai kalor yang dihasilkan oleh biogas cukup tinggi, yaitu kisaran 4.800-6.700 kkal/m
3.
2.3 Teknologi Biogas
Biogas merupakan teknologi pembentukan energi dengan memanfaatkan
limbah, salah satunya limbah peternakan. Energi biogas sangat potensial untuk
dikembangkan karena produksi biogas dari limbah peternakan ditunjang oleh
kondisi yang kondusif dari perkembangan peternakan sapi potong di Indonesia
(Nurhasanah dkk, 2006). Selain menjadi energi alternatif, biogas juga dapat
mengurangi permasalahan lingkungan, seperti polusi udara, polusi tanah dan
pemanasan global. Sumber energi biogas memiliki keunggulan dibandingkan
dengan sumber energi lainnya. Selain ramah lingkungan, biogas termasuk energi
yang memiliki sifat renewable. Artinya, biogas dapat diperbaharui dan mudah
untuk diperbanyak (Wahyuni, 2011). Biogas merupakan gas yang berasal dari
proses biodegradasi bahan organik oleh bakteri pada kondisi anaerob. Lebih
lanjut oleh Wahyuni (2011), pada prinsipnya, teknologi biogas adalah teknologi
yang memanfaatkan fermentasi bahan organik oleh bakteri anaerob yang
menghasilkan gas metana. Biogas menghasilkan komposisi gas yang terdiri atas
55-75% gas metana (CH
4), 25-45% gas karbondioksida (CO
2), 0-0,3% gas nitrogen (N
2), 1-5% gas hidrogen (H
2), 0-3% gas hidrogen sulfida (H
2S) dan 0,1- 0,5% gas oksigen (O
2) (Waskito, 2011).
Proses pembentukan biogas meliputi tiga tahapan yaitu hidrolisis, fermentasi dan metanogenesis. Pada tahap hidrolisis, molekul organik yang kompleks diuraikan menjadi bentuk yang lebih sederhana, seperti karbohidrat, asam amino, dan asam lemak. Proses fermentasi terbagi menjadi dua yaitu asidogenesis dan asetogenesis. Asidogenesis merupakan proses penguraian yang menghasilkan amonia, karbondioksida, dan hidrogen sulfida sedangkan asetogenesis merupakan proses penguraian yang menghasilkan hidrogen, karbondioksida, dan asetat. Pada tahap metanogenesis terjadi penguraian dan sintesis produk tahap sebelumnya untuk menghasilkan gas methana (Abbasi dkk, 2012). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembentukan biogas diantaranya adalah :
1. Temperatur
Temperatur sangat menentukan lamanya proses pencernaan di dalam digester. Bila temperatur meningkat, umumnya produksi biogas juga meningkat sesuai dengan batas-batas kemampuan bakteri mencerna sampah organik. Bakteri yang umum dikenal dalam proses fermentasi anerob adalah bakteri psychrophilic (<15ºC), bakteri mesophilic (15ºC-45ºC) dan bakteri thermophilic (45ºC-65ºC). Umumnya digester anaerob skala kecil, yang
sering terdapat disekitar kita umumnya bekerja pada suhu bakteri mesophilic dengan suhu antara 25ºC- 37ºC (Saragih, 2010).
2. pH
Produksi biogas secara optimum dapat dicapai bila pH dari campuran input di dalam digester berada pada kisaran 6 dan 7 (Wahyuni, 2009). Bila pH lebih kecil atau lebih besar maka akan bersifat toksik terhadap bakteri metanogenik. Bila proses anaerob sudah berjalan menuju pembentukan biogas, pH berkisar 7-7,8 (Saragih, 2010).
3. Laju Pengumpanan
Laju pengumpanan adalah jumlah bahan yang dimasukkan ke dalam digester per unit kapasitas per hari. Pada umumnya, 6 kg kotoran sapi per m
3volume digester adalah di rekomendasikan pada suatu jaringan pengolah kotoran sapi (Wahyuni, 2009).
4. Lama Proses Pencernaan
Lama proses (Hydraulic Retention Time-HRT) adalah jumlah hari proses pencernaan/digesting pada tangki anaerob terhitung mulai pemasukan bahan organik sampai proses awal pembentukan biogas dalam digester anaerob (Saragih, 2010). HRT dirumuskan dengan persamaan berikut :
⁄
5. Toxicity
Ion mineral, logam berat, dan detergen adalah beberapa material racun yang mempengaruhi pertumbuhan normal bakteri patogen di dalam digester. Ion mineral dalam jumlah kecil dapat merangsang pertumbuhan bakteri.
Namun, bila ion-ion ini dalam jumlah tinggi akan berakibat meracuni
bakteri patogen (Wahyuni, 2009).
Selain menghasilkan biogas, pengelolaan limbah feses sapi potong dengan fermentasi anaerob dapat menghasilkan sludge biogas sebagai hasil ikutannya (Marlina dkk, 2009). Menurut Oman (2003) dalam Citra K, dkk (2012), sludge biogas sangat baik untuk dijadikan pupuk karena mengandung berbagai macam unsur yang dibutuhkan oleh tumbuhan seperti P, Mg, Ca, K, Cu dan Zn.
Kandungan unsur hara dalam sludge biogas cukup lengkap meskipun dalam jumlah sedikit. Sludge biogas juga mengandung lebih sedikit bakteri patogen sehingga aman untuk digunakan sebagai pupuk (Widodo dkk, 2007).
Lebih lanjut menurut Widodo dkk (2007), sludge biogas terdiri dari dua bagian, yaitu cair dan padat. Sludge biogas cair memiliki pH 7,9-8,3 dengan tingkat kelembaban 90-93%. Sludge biogas cair berwarna cokelat/hijau gelap, tidak mengeluarkan gelembung, tidak berbau dan tidak mengundang lalat. Sludge biogas memiliki bahan kering rendah (biasanya 1-8% padatan) dan berkadar air tinggi (sekitar 92-99% cairan). Haryati (2006) menambahkan bahwa sludge biogas yang berasal dari kotoran sapi mengandung 1,8-2,4% nitrogen, 1-1,2%
fosfor (P
2O
5), 0,6-0,8% pottasium (K
2O) dan 50-75% bahan organik.
Ilustrasi 1. Digester biogas tipe fixed-dome (Waskito, 2011)