148
KESADARAN DIRI MENURUT TUTUR JATISWARA : MERAJUT KEMBALI KERUKUNAN HIDUP UMAT BERAGAMA
(SELF-AWARENESS ACCORDING TO TUTUR JATISWARA : KNITTING BACK THE HARMONY OF LIFE FOR RELIGIOUS PEOPLE)
I Komang Suastika Arimbawa1, Made G. Juniartha2, I Gede Dedy Diana Putra3 Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar1
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar2 Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar3
[email protected]1, [email protected]2, [email protected]3
ABSTRACT
Religious friction begins to take shape. Many cases of intolerance have occurred around us, both those arising from differences in religion and differences in beliefs, both external and internal religions. All of these cases are a big challenge for diversity and humanity. The problems discussed in this paper are the text structure of the Jatiswara speech and self-awareness to knit back harmony. This type of research is qualitative research through a library research approach. The data collection technique was carried out by means of literature study, documentation, reading-note-taking, and online data search. The text structure of Tutur Jatiswara consists of themes and messages. The theme of the Tutur Jatiswara text is ethical teachings, and the mandate that is expressed in the Tutur Jatiswara text is that a person must have a forgiving and patient attitude. The "presence" of religion is needed in this situation, because in essence religious teachings are believed to show the truth to humans. Truth is the spirit of awakening man from "drunkenness". This knowledge must be understood by everyone who wants to realize awareness. With awareness of the nature of yourself in navigating the ark of this life, it will be an opportunity to train and get used to honing goodness, so that humans can feel coolness and peace. In this way, the dream of knitting back a harmony of life can be realized.
Keywords: self-awareness; Tutur Jatiswara; harmony.
ABSTRAK
Friksi keagamaan mulai memperlihatkan wujudnya. Banyak kasus-kasus intolerasi telah terjadi disekitar kita, baik yang muncul dari perbedaan agama maupun perbedaan kepercayaan, baik ekstern maupun intern agama. Semua kasus tersebut menjadi tantangan besar bagi keberagamaan dan kemanusiaan. Permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah Struktur teks Tutur Jatiswara dan kesadaran diri untuk merajut kembali kerukunan.
Jenis penelitiannya adalah penelitian kualitatif melalui pendekatan library research. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka, dokumentasi, baca-simak-catat, dan penelusuran data online. Struktur teks Tutur Jatiswara terdiri dari tema dan amanat.
Tema teks Tutur Jatiswara adalah ajaran etika, dan amanat yang tersurat dalam teks Tutur Jatiswara yaitu seseorang harus memiliki sikap pemaaf dan sabar. “Kehadiran” agama sangat dibutuhkan dalam situasi ini, karena pada hakikatnya ajaran agama diyakini dapat menunjukkan kebenaran pada manusia. Kebenaran itulah spirit pembangkit manusia dari
‘kemabukan’. Pengetahuan ini harus dipahami oleh setiap orang yang ingin merealisasikan kesadaran. Dengan kesadaran akan hakikat diri dalam mengarungi bahtera kehidupan ini, akan menjadi sebuah kesempatan untuk melatih dan membiasakan diri untuk mengasah
149 kebaikan, sehingga membuat manusia dapat merasakan kesejukan dan kedamaian. Dengan demikian cita-cita untuk merajut kembali kerukunan hidup dapat direalisasikan.
Kata Kunci: kesadara diri; Tutur Jatiswara; kerukunan.
150 1. PENDAHULUAN
Dewasa ini, manusia seperti mengarungi derasnya gelombang samudera kehidupan abad XXI setelah beranjak dari bentangan daratan kehidupan abad XX.
Walaupun telah beranjak ‘pergi’, namun manusia tidak bisa begitu saja meninggalkan atau bahkan melupakan kesan-kesan yang dilalui sebelumnya. Semua itu akan meninggalkan bekas dalam coretan yang tersimpan pada memorinya, sehingga nantinya dapat di ‘akses’
kembali dalam perjalanan selanjutnya. Artinya, kita sebagai manusia perlu untuk menengok ke belakang dan bersiap untuk menghadapi apa yang akan terjadi di hadapan kita. Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebebasan informasi, dunia yang kita tempati semakin hari semakin sempit: semakin intim dalam ruang dan semakin kontemporer dalam waktu.
Keintiman ini telah banyak mempengaruhi bahkan merubah sendi-sendi kehidupan manusia, termasuk juga di Indonesia.
Indonesia yang dikenal sebagai sebuah negara dengan penduduknya yang beragam: beragam dalam suku, adat, budaya, maupun agama, pernah menjadi “idola” negara lain dalam mengelola hubungan warganya untuk mewujudkan kerukunan hidup. Untuk mewujudkan realitas tersebut, dibutuhkan proses yang sangat panjang dan kerjasama dari semua komponen bangsa untuk mendorong bangkitnya kesadaran dari setiap individu untuk saling menghargai, saling mengasihi, serta saling menghormati supaya dapat hidup berdampingan secara harmonis.
Kesadaran inilah yang dikembangkan sebagai spirit untuk mewujudkan pembangunan berbagai sektor yang merupakan cita-cita bersama. Namun kini, realitas tersebut yang bagaikan sebuah tanaman dengan daunnya yang hijau mulai digerogoti oleh ‘ulat’ yang mengusik keindahannya.
Fenomena inilah yang sedang mengusik kerukunan hidup beragama saat ini, dan juga memprihatinkan semua pihak. Yang semakin memprihatinkan lagi adalah justru terjadi di lingkungan yang sangat ‘pekat’ keagamaannya. Hal ini menyiratkan bahwa sedang terjadi friksi keagamaan. Banyak kasus- kasus intolerasi telah terjadi disekitar kita, baik yang muncul dari perbedaan agama maupun perbedaan keyakinan, baik ekstern maupun intern agama. Imparsial mencatat bahwa telah terjadi 31 kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan selama setahun terakhir, yang didominasi oleh pelarangan terhadap ritual, pengajian, ceramah atau pelaksanaan kepercayaan agama terjadi sebanyak 12 kasus;
pelarangan pendirian rumah atau tempat ibadah dengan 11 kasus;
perusakan terhadap rumah ibadah, baik gedung ataupun properti dengan 3 kasus; pelarangan terkait kebudayaan etnis tertentu dengan 2 kasus; pengaturan tentang tata cara berpakaian berkaitan dengan agama atau keyakinan tertentu ada 1 kasus;
imbauan atau edaran tentang aliran agama tertentu dengan 1 kasus; serta penolakan untuk bertetangga dengan orang yang tidak seagama ada 1 kasus (www.cnnindonesia.com).
Semua kasus yang telah disebutkan di atas menjadi
151 tantangan besar bagi keberagamaan
dan kemanusiaan, karena kasus tersebut bahkan tidak menutup kemungkinan sampai berujung pada kekerasan, baik secara fisik ataupun psikis, baik skala kecil maupun skala besar. Hal ini memperlihatkan bahwa kehidupan bermasyarakat semakin akrab dengan friksi. “Kehadiran”
agama sangat dibutuhkan dalam upaya penyelesaian berbagai kasus tersebut. Tetapi itu tidak akan bisa berjalan semudah yang dibayangkan, mengingat agama di sini adalah salah satu komponen yang menjadi
‘perbincangan’ pada saat kasus intoleran menampakkan dirinya.
Pemahaman tentang perbedaan dan keragaman dalam hal ini bisa dibilang sangat rendah. Oleh karena itulah harus diadakan rekonstruksi konsep pemikiran yang memanusiakan manusia. Kenapa seperti itu? Hal ini disebabkan karena di dalam realita kehidupan ditemukan terjadinya distorsi nilai kemanusiaan. Distorsi nilai kemanusiaan merupakan dampak dari kapasitas intelektual dan mental seseorang yang belum siap menghadapi derasnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, serta informasi. Ketidakberdayaan manusia ‘bermain’ dalam pentas kehidupan yang terus melaju dapat menyebabkan terperangkap dalam
“jala” kehidupan. Perasaan resah senantiasa ‘menghantui’
kehidupannya akibat perubahan sosial yang berlangsung sangat cepat, serta interaksi sosial yang semakin menggersang (Arimbawa, 2020).
Dalam ‘kegersangan’ inilah agama harus hadir kembali, karena pada hakikatnya ajaran agama diyakini dapat menunjukkan kebenaran pada manusia. Salah satu
sumber ajaran agama yang mengandung ‘suplemen’ untuk menyiram kegersangan itu dengan nilai-nilai kebenaran dalam melakoni pentas kehidupan sosial adalah teks Tutur Jatiswara. Nilai Kebenaran yang terkandung dalam teks inilah yang kemudian akan mampu menuntun manusia pada pencapaian kesadaran, kesadaran akan keberagaman serta kesadaran akan pentingnya kerukunan. Mewujudkan kerukunan dalam kehidupan adalah upaya untuk menciptakan kebaikan hubungan antar sesama manusia, sehingga setiap golongan yang berbeda dapat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan kepercayaannya masing-masing (Arimbawa, 2020). Berdasarkan pemaparan tersebut, dalam upaya mengamankan pilar-pilar kebersamaan untuk menjamin keberlangsungan kehidupan yang harmonis, maka kesadaran diri menjadi hal yang sangat penting dan harus dimiliki. Dalam lingkup yang lebih spesifik, bagaimanakah pentingnya kesadaran diri dalam menguatkan kerukunan hidup beragama menurut teks Tutur Jatiswara?
2. KAJIAN PUSTAKA
Kajian pustaka bermanfaat sebagai pendukung maupun pembanding, sehingga menunjukkan suatu perbedaan alur pengkajian untuk mencegah terjadinya kesamaan kajian dalam penelitian.
Adapun telaah pustaka yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah hasil penelitian Arimbawa (2016) yang berjudul “Teologi Kerukunan dalam Teks Tutur Jatiswara”, Di mana tulisan ini merupakan bagian dari penelitian tersebut. Dalam penelitian tersebut
152 diuraikan bahwa teologi kerukunan
merupakan salah satu usaha untuk menciptakan kebaikan hubungan antar sesama manusia yang berbeda keyakinan. Konsep kerukunan yang terdapat di dalam teks Tutur Jatiswara dapat menjadi salah satu pedoman untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis, damai dan saling tolong menolong dalam suka maupun duka. Seseorang harus memiliki sikap pemaaf dan sabar.
Orang yang pemaaf akan cenderung sabar (tahan dalam menghadapi suka-duka). Untuk sampai pada tahap itu, kesadaran dan pengetahuan umat manusia sangat diperlukan. Ketika sudah mengetahui kebenaran, maka manusia akan dapat berbuat dengan mulia.
3. METODOLOGI
Jenis penelitiannya adalah penelitian kualitatif dengan design penelitian terfokus pada library research. Oleh karena termasuk dalam penelitian kualitatif, maka jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang diperoleh melalui dua sumber data, yaitu data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka, studi dokumen, baca-simak-catat, serta penelusuran data online. Data mentah yang telah dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis. Analisis data dilakukan melalui tiga tahap kegiatan, yaitu reduksi data, klasifikasi data, dan display data. Kemudian hasilnya disajikan dengan teknik deskriptif.
4. PEMBAHASAN
4.1 Struktur Tutur Jatiswara 4.1.1 Tema
Tema teks Tutur Jatiswara adalah ajaran etika. Etika
merupakan pengetahuan tata susila yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia dan alam lingkungannya. Wiratmadja, (1988) mengungkapkan bahwa etika tidak hanya membahas kebiasaan yang semata-mata berdasarkan adat, tetapi membahas adat yang berdasarkan sifat-sifat dasar dan bersandar pada hakekat manusia, yaitu suatu adat istiadat yang berhubungan dengan pengertian baik atau buruk dalam tingkah laku manusia, yang terikat pada pengertian kesusilaan (moral).
Dengan demikian, etika itu dapat diterapkan sesuai dengan tujuannya, apabila manusia memiliki wiweka yang kuat. Wiweka yaitu kemampuan untuk membedakan dan memilih diantara yang baik dengan yang buruk, yang benar dengan yang salah dan lain sebagainya. Di dalam teks Tutur Jatiswara diuraikan sebagai berikut:
Kéto adan lakṣanané ané patut anggon ngundukang lakṣana kěněhé, tur adasa bacakané.
Lwiré : lakṣanané klakṣanayang bahan kěněh tatělu bacakané, lwiré :
1. Tusing ja irihati těkěn pagělahan anak.
2. Tusing gěměs těkén sarwa hidup.
3. Ngugu ada mula paolih- olihan salwiring lakṣana jělé wiadin mělah.
Lakṣanayang bahan munyi patpat bacakané :
1. Munyi jělé ngranayang nyakitin kěněh.
2. Munyi bangras.
3. Munyi mamisuna.
4. Munyi bobab (mokak) mrěkak sěkak.
153 Lakṣanané ěnto makapatpat ěda
pěsan kěněhanga lakar ngamunyiang, apa buin ngamunyiang, makadi jobang pěsan uli dikěněhé lakar mamunyi kéto.
Lakṣana :
1. Ngamati-mati, ngamatiang ané tuara patut matiang.
2. Ngodag-odag, ngodagang ané tuara patut kodagang.
3. Parikosa, maksa ané tusing patut paksa.
Ěnto maka tatělu ěda pěsan lakṣanayanga těkén ané
kagěděgang, yuadin těkén asing- asing anak, déning lakṣana né, kěněhé, munyiné, ngranayang anak děměn, tuara děměn těkén anak, awanan lakṣanané mělah satata lakṣanayang dikalané
malakṣana, makěněh yuadin mamunyi.
Terjemahannya:
Ini namanya perbuatan yang dapat dipakai sebagai pengendali jalannya keinginan, serta bagiannya ada sepuluh, seperti: perbuatan yang bersumber dari pikiran ada tiga (pengendaliannya) bagian, seperti:
1. Tidak merasa iri dengan kepunyaan orang lain.
2. Tidak menyakiti makhluk hidup.
3. Percaya dengan adanya karma phala yang merupakan hasil perbuatan baik dan buruk.
Dari perkataan ada empat (pengendaliannya) yaitu:
1. Berkata yang menyebabkan orang sakit hati.
2. Menghardik atau berbicara keras.
3. Memfitnah.
4. Berkata bohong, sombong.
Keempat hal tersebut hendaknya jangan diperbuat, apa lagi untuk mengucapkan hal itu, jauhkanlah hal itu dari pikiran untuk berkata demikian.
Dari perbuatan:
1. Membunuh ; membunuh sesuatu yang tidak sepantasnya dibunuh.
2. Mencuri ; mencuri segala yang tidak patut dicuri.
3. Berzina (memperkosa), memaksa yang tidak patut dipaksa.
Ketiga hal tersebut jangan diperbuat terhadap orang yang tidak disenangi, demikian pula terhadap orang lain, karena (lakukan) perbuatan, perkataan, dan pikiran yang membuat orang senang, sebabnya perbuatan baik selalu dilaksanakan, (disamping) berkata dan berpikir.
Berdasarkan kutipan teks Tutur Jatiswara di atas, sesungguhnya manusia hidup di dunia ini bukan tanpa tujuan yang jelas, namun manusia hidup di dunia ini mempunyai tujuan utama, yaitu kebahagiaan maupun kesejahteraan, baik jagadhita maupun moksa (moksartham jagadhita ya ca iti dharma). Oleh karena tujuan tersebut, manusia harus mampu membedakan antara baik dan buruk dalam tingkah lakunya (subha- asubha karma). Sebagai manusia yang beragama wajib melaksanakan yang baik dalam kehidupannya sebagai makhluk sosial (bermasyarakat), karena setiap agama tidak ada yang mengajarkan umatnya untuk berbuat buruk atau jahat.
Selain itu, di dunia ini manusia mempunyai peranan yang utama
154 dalam mewujudkan hubungan yang
harmonis antar sesama manusia, alam lingkungan serta Tuhan Yang Maha Esa. Manusia harus mampu menyeimbangkan manah (pikiran), budhi (kemampuan mengambil keputusan benar atau salah), dan ahamkara (rasa keakuan sebagai motivasi untuk bertindak) agar mampu mewujudkan hubungan yang harmonis dalam kehidupannya di dunia ini. Hal itu disebabkan karena manusia, selain sebagai makhluk individu, juga sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk individu manusia memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi, namun di dalam memenuhi kebutuhan individu tersebut manusia tidak dapat memenuhi semuanya sendiri, manusia membutuhkan kerjasama dengan manusia lainnya. Dalam membina kerjasama dengan manusia lainnya (sebagai makhluk sosial), manusia harus mampu mengontrol pikiran (manacika), perkataan (wacika), maupun perbuatannya (kayika) agar tercipta hubungan yang harmonis dan rukun dengan sesamanya.
4.1.2 Amanat
Teks Tutur Jatiswara merupakan sebuah karya sastra keagamaan, sehingga di dalam isi keseluruhannya terkandung pesan moral yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pendengar maupun pembaca. Amanat yang hendak disampaikan di dalam teks Tutur Jatiswara juga berkaitan dengan gagasan yang mendasari karya Tutur Jatiswara tersebut.
Pesan atau amanat yang tersurat di dalam teks Tutur Jatiswara yang hendak disampaikan kepada pembaca maupun pendengar, yaitu untuk mengarungi bahtera
kehidupan di dunia ini, seseorang harus mau mendengarkan nasehat, pemaaf dan sabar, sebagaimana yang diuraikan kutipan berikut ini:
Tuah kasmawané (krěngě
pitutur) lěwih kasugihané
waluya mas sosocan sang nyidayang nandingin kasaktian indriyané tusing ada lěwihan těkén kamělahan kasugihané
kéto, tusing pisan ngalémpasin těkén pajalan patut, nyandang lakṣanayang těkén asing-asing tan pilihan.
Terjemahannya:
Hanya pemaaf (mendengar nasehat) yang utama kekayaannya seperti emas permata orang yang berhasil mengimbangi kesaktian nafsu tidak ada yang menandingi daripada kekayaan itu. Tidak menyimpang dari kebenaran, patut dilaksanakan oleh orang namun tidak memilih.
Yan umpamayang sang ksamawan tan bina těkén tanahé, bahan kakerengané
nahanang suka duka, yuadin kakéto tusing ada ané magoba makakasihan těkén tanah nanghing makějang magoba gěděg magěrěngan (nyěkjěk numběg nigtig).
Terjemahannya:
Bila diumpamakan orang pemaaf bagaikan tanah, karena ketahanannya menghadapi suka duka, namun demikian tidak yang mengasihi terhadap tanah, tetapi semua marah bertengkar (menginjak, mencangkul, memukul).
Sujatiné anaké nyidayang ngalahang musuhné, tanda
155 madan ngamatiang musuh (tan
pamusuh).
Terjemahannya:
Sebenarnya orang yang mampu mengalahkan musuh, tanpa membunuh musuhnya (tidak bermusuhan).
Asing gěděganga sadawan hidupné yan tuwutanga kagěděgané, sinah tusing tělah- tělah musuhné tuah anaké
nyidayang ninggalang geděgné
dogén madan nyidayang tan pamusuh (ngamatiang musuh).
Terjemahannya:
Setiap yang dimusuhi, sepanjang hidupnya bila diikuti kemusuhannya, pasti tidak akan habis musuh-musuhnya, hanya orang yang dapat meninggalkan marah saja disebut orang tanpa musuh (membunuh musuh).
Berdasarkan kutipan teks Tutur Jatiswara di atas, suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari bahwa di dalam kehidupan manusia pada era modern seperti sekarang ini, tidak sedikit manusia yang sulit untuk memaafkan kesalahan orang lain.
Padahal hidup ini sesungguhnya akan terasa lebih indah apabila sebagai makhluk yang menganggap dirinya ‘paling sempurna dan mulia’
menunjukkan sikap saling memaafkan atau cinta kasih kepada sesama maupun makhluk hidup lainnya. Hal ini disebabkan karena sikap pemaaf merupakan suatu hal yang sangat perlu dilakukan dalam kehidupan ini. Tanpa memaafkan, manusia akan selalu terbelenggu oleh perbuatan yang dilakukannya dalam dunia yang ‘nampak’ nyata secara kasat mata, namun maya
secara hakikat. Apapun yang dilakukan oleh manusia, pasti hal tersebut yang akan didapatkan hasilnya, karena tidak akan mungkin seseorang yang menanam bibit singkong akan memetik jagung nantinya. Inilah yang dinamakan sebagai hukum sebab akibat.
Sikap pemaaf sesungguhnya merupakan cerminan atau aplikasi dari ajaran Bhakti Marga dalam Catur Marga. Bhakti Marga merupakan ajaran cinta kasih. Svami Sivananda mengatakan bahwa bhakti merupakan kasih sayang yang mendalam kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan merupakan pengejawantahan dari kasih sayang, dan dapat diwujudkan melalui cinta kasih, layaknya cinta seorang suami kepada istri dan anak-anaknya. Bagi mereka yang diresapi cinta kasih tidak akan pernah membenci makhluk hidup atau benda apa pun, serta akan merangkul semuanya dalam dekapan kasih sayangnya.
Selain itu, ada juga ajaran tat tvam asi yang menjadi landasan untuk saling memaafkan, karena sesungguhnya Aku adalah Kamu, hanya badan kasar yang bersifat relatif saja yang membedakan, seperti cantik, tampan, muda, tua, wanita, pria, binatang, dan tanaman.
Hindu senantiasa
menekankankan kepada umatnya untuk ber-wiweka dan menjadi manusia yang pemaaf. Namun, di dalam pustaka suci Bhagavadgītā
XIV. 5 disebutkan bahwa kecenderungan perilaku manusia dipengaruhi oleh Tri Guṇā, yaitu sattvaṁ, rajas dan tamaḥ (sattvaṁ
rajas tama iti, guṇāḥ prakṛti- sambhavāḥ). Ketiga sifat tersebut mempengaruhi manusia sejak masih dalam kandungan sampai akhir hidupnya, hanya saja dalam
156 prosentase yang berbeda-beda dan
selalu berubah-ubah. Perubahan pengaruh Guṇā itulah menyebabkan tabiat manusia berubah-ubah dan Tri Guṇā tidak seimbang menjadikan bermacam-macam sifat manusia (Adiputra, 2003). Ada orang yang cenderung lembut, saling memaafkan, berlaku baik, serta jujur. Ada yang memiliki sifat pemarah, keras, kasar, sukar memaafkan, dan lain sebagainya.
Oleh karena itulah, manusia dituntut agar berusaha serta mampu mengendalikan dirinya, tidak egois, senantiasa di jalan dharma, serta pemaaf. Karena dengan demikian hidup manusia akan bahagia, damai, dan tidak memiliki musuh. Sifat pemaaf dalam teks Tutur Jatiswara disebut sebagai kekayaan yang paling utama seperti emas permata.
Selanjutnya, disebutkan pula bahwa orang yang pemaaf akan cenderung sabar bagaikan tanah. Tanah beserta kesabarannya menunjukkan bagaimana ketahanannya dalam menghadapi suka maupun duka (diinjak, dicangkul, dipukul, dan sebagainya).
Dengan demikian, kesabaran dapat dijadikan sebagai tolak ukur dari kualitas keimanan dan kehidupan manusia. Secara umum, kesabaran sering diidentikkan dengan kegiatan menunggu, tahan uji, menahan emosi, dan lain sebagainya, namun sesungguhnya esensi dari kesabaran tidaklah sedangkal itu. Kesabaran merupakan kerja keras. Artinya terus menerus berusaha atau bertahan dan tidak mudah putus asa ketika menemukan kesulitan maupun kegagalan, dengan tujuan untuk mencapai hasil yang dicita-citakan, bukan menerima begitu saja apa yang terjadi dalam prosesnya. Karena kesabaran dapat
menjadi salah satu ciri karakter positif, maka kesabaran harus diterapkan dalam seluruh sendi- sendi kehidupan. Semakin tinggi kualitas kesabaran seseorang, maka semakin tinggi pula kualitas keimanan manusia tersebut.
Kesabaran bukanlah semata- mata sebagai bentuk tindakan dalam menghadapi suatu hal, namun kesabaran sesungguhnya merupakan ‘bahan bakar’ untuk melakukan suatu tindakan.
Tindakan apapun jika dilandasi dengan kesabaran, maka hasilnya akan bermakna dan berkualitas.
Dalam kehidupan sosial sehari-hari, sering terngiang di telinga orang mengatakan bahwa kesabaran ada batasnya. Perkataan seperti itu dapat dianggap sebagai pernyataan yang
‘kurang tepat’, karena sesungguhnya kesabaran tidak ada batasannya.
Manusia yang ‘belum sadarlah’ yang membuat kesabaran itu terbatas.
Arifin (2014) mengatakan bahwa orang yang sabar bukanlah orang yang lemah, orang yang sabar bukanlah orang yang terbaring tidak berdaya, orang yang sabar bukanlah orang yang tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi kerasnya hidup.
Tapi orang yang sabar adalah para ksatria hebat yang memiliki kekuatan dan ketangguhan untuk bertahan dan menyerang. Bertahan ketika menghadapi berbagai tantangan yang membutuhkan pertahanan, seperti menahan emosi, menghadapi musibah atau menunggu sesuatu. Dan menyerang ketika menghadapi beberapa hal yang harus dituntaskan, seperti menyelesaikan tantangan, belajar atau menghadapi ujian. Dengan demikian, kesabaran dapat menunjukkan tingkat ketangguhan seseorang. Jadi, orang yang pemaaf
157 dan memiliki kesabaran
sesungguhnya adalah orang yang mampu mengalahkan musuh tanpa membunuh musuh.
4.2 Kesadaran Diri untuk Merajut Kembali Kerukunan Hidup Kesadaran merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia, karena dengan kesadaran seseorang dapat mengerti dan mengetahui untuk apa ia berada di dunia ini. Apabila seseorang mengalami ketidaksadaran, maka orang tersebut akan terus berada dalam belenggu penderitaan dalam dunia yang nampak nyata. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesadaran adalah 1) keinsafan, keadaan mengerti; 2) hal yang dirasakan atau dialami oleh seseorang (DEPDIKNAS, 2012). Oleh karena itu, mengetahui kebenaran tentang hakekat diri berarti sadar, mengerti, dan bahkan ada sesuatu yang bersifat rohani terbuka, sehingga manusia hendaknya selalu mencari agar meraih kesadaran rohani tersebut, karena dengan demikian seseorang akan mampu merajut kembali kerukunan yang mulai “mengelupas” dalam kehidupannya. Kesadaran tidak akan datang dengan bantuan siapapun, hanya diri sendirilah yang mampu meraihnya, sebagaimana terdapat dalam kutipan Tutur Jatiswara berikut ini:
Tusing patut makadi bapa nguduh cěning apang malakṣana kéné kéto, ngranayang cěning něpukin karahayuan, disakala niṣkala, déning cěning suba ngělah lakṣana jělé mělah ané
patut lakṣanayang cěning di jagaté.
Terjemahannya:
Tidak selayaknya seperti ayah menyuruh anakku agar berperilaku ini itu, sebabnya
engkau menemukan
kebahagiaan di dunia-akhirat, karena engkau sudah mempunyai perilaku baik dan buruk yang patut engkau lakukan di dunia (Tim Penerjemah, 2004).
Tusing ada anak nyidayang ngawénin jělé mělah anak ělénan, nanghing iba-ibané
ngaénin jělé mělah awakné
saking panglakṣanané, upama bapa makěněh maurukang cěning apang bisa, nanghing yan cěning mula tusing makěněh bisa, sinah tan sida cěning bisa.
Terjemahannya:
Tidak ada orang yang dapat berbuat baik maupun buruk untuk orang lain, tetapi dirinya sendiri yang berbuat untuk dirinya melalui perbuatan, umpamanya ayah ingin mengajarkan anakku supaya pandai, namun bila anakku tidak ada keinginan untuk pandai, pasti tidak akan berhasil (Tim Penerjemah, 2004).
Berdasarkan kutipan di atas, hanya melalui diri sendirilah yang dapat mengantarkan seseorang menemukan kebahagiaan, karena setiap orang telah memiliki perilaku baik-buruk. Baik perilakunya di dunia, maka kebahagiaan akan tercapai. Begitu juga sebaliknya, apabila buruk perilakunya maka ketidakbahagiaan yang akan menghampiri. Demikian pula halnya dengan cita-cita kerukunan. Apabila seseorang menyadari betapa pentingnya kerukunan, maka sudah
158 sepatutnya melakukan perbuatan
yang mencerminkan sikap toleran dan menghormati perbedaan, sehingga apa yang diharapkan sejalan dengan apa yang dilakukan, bukan sebaliknya. Tidak ada orang lain yang dapat menentukan bahkan mendapatkan kebahagiaan untuk seseorang, jika orang tersebut tidak secara langsung berusaha dan berperan serta didalamnya, seperti halnya seorang ayah yang menghendaki anaknya agar pandai.
Apapun yang dilakukan sang ayah untuk anaknya agar menjadi pandai akan tidak berhasil apabila anak tersebut tidak mempunyai keinginan untuk menjadi pandai. Demikian pula untuk merajut kembali kerukunan. Kerukunan hidup beragama tidak akan utuh kembali jika masing-masing individu tidak berperan serta, bekerja keras dan tekun untuk merajutnya kembali, karena ketika seseorang telah memiliki komitmen yang sama dan berusaha bersama-sama dengan orang lain, disanalah terwujud keserasian untuk berjalan bersama- sama dalam meraih tujuan yang dicita-citakan.
Kerja keras dan tidak malas merupakan kewajiban dan kebajikan yang patut dilakukan. Tuhan Yang Maha Esa hanya menyayangi mereka yang suka bekerja keras dan memiliki ketekunan, bukan mereka yang malas, gampangan dan menyepelekan segala sesuatu. Orang yang suka bekerja keras dan memiliki ketekunan akan mencapai keberhasilan (Titib, 1996). Hal ini sangat relevan dengan pesatnya perkembangan dunia modern. Siapa saja yang tekun bekerja tanpa mengenal rasa lelah, tekun belajar, tidak cepat putus asa, berdisiplin dan memiliki keyakinan yang mantap
akan sukses dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk untuk merajut kembali kerukunan dalam kehidupan beragama, karena Tuhan Yang Maha Esa akan senantiasa menolong umat-Nya yang memiliki ketekunan dalam segala aspek, tidak mudah putus asa dan selalu berusaha dengan keyakinan yang mantap. Di dalam pustaka suci Rgveda X. 53. 8 disebutkan bahwa untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran, seseorang harus tekun berusaha tanpa mengenal rasa lelah.
Bagaimanapun besarnya rintangan yang menghadang hadapilah dengan tegak, walaupun terjatuh berulang kali, jangan mudah berputus asa dan bangkitlah kembali, karena sebesar apapun rintangan yang dihadapi pasti ada celah untuk mengatasinya.
Ibarat sebuah sungai, walaupun alirannya dihalangi oleh bebatuan, tetapi airnya terus mengalir sampai pada tujuannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa bagaimana pentingnya tekad yang kuat ataupun keinginan dalam upaya untuk mewujudkan apa yang menjadi tujuan, sebagaimana terdapat di dalam teks Tutur Jatiswara sebagai berikut:
Awanan nyidayang manuṣane malakṣana jělé mělah katuduh ban kěněh, kéto krana kěněhé
madéwék wiséṣa.
Terjemahannya:
Sebabnya manusia dapat berbuat baik dan buruk karena disuruh keinginan, itu sebabnya keinginan (pikiran) yang paling berkuasa (Tim Penerjemah, 2004).
Kěněhé ané ngranayang malakṣana mělah něpukin
159 rahayu di sakala niṣkala ěnto
madan Ajñana. Kěněhé ané
ngranayang malakṣana jělé
něpukin sěngsara di sakala niṣkala madan indriya.
Terjemahannya:
Keinginan (pikiran) yang menyebabkan (orang) berbuat baik akan memperoleh kebahagiaan lahir bathin itu dinamakan Ajñana. Keinginan yang menyebabkan orang berbuat tidak baik akan memperoleh kesengsaraan lahir bathin dinamakan Indriya (Tim Penerjemah, 2004).
Berdasarkan kutipan di atas, keinginan atau pikiranlah yang paling berkuasa dalam diri manusia.
Semua bentuk perkataan maupun perbuatan bersumber dari keinginan, baik itu perbuatan baik (subha karma) maupun pebuatan buruk (asubha karma). Keinginan (pikiran) juga yang dapat menyebabkan seseorang menemukan kebahagiaan, begitu juga sebaliknya, dari keinginan juga dapat menyebabkan seseorang mendapat kesengsaraan dalam hidupnya. Keinginan yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan baik (subha karma) akan memperoleh kebahagiaan, baik jasmani maupun rohani disebut dengan Ajñana. Sedangkan keinginan (pikiran) yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan yang tidak baik (asubha karma) sehingga memperoleh kesengsaraan dalam hidupnya, baik lahir maupun bathin disebut dengan Indriya.
Oleh karena itu, pikiran (keinginan) sangat penting untuk dikendalikan. Pengendalian diri merupakan suatu sikap dalam
kehidupan untuk mengekang keinginan-keinginan yang dapat menyebabkan ‘kemabukan’. Pada prinsipnya, pengendalian diri yang dilakukan hendaknya ke arah yang benar, sehingga dapat membangun kebiasaan-kebiasaan yang baik dan melebur kebiasaan-kebiasaan yang buruk. Pengendalian diri dilakukan dengan tujuan agar seseorang dapat membebaskan dirinya dari kecendrungan yang dapat menyebabkan guncangan dalam dirinya, seperti keinginan yang tak terkendali. Oleh karena itu, hendaknya seseorang mampu mengekang keinginan yang mengikat indriyanya. Di dalam pustaka suci Kaṭha Upaniṣad I. 3. 3-9 disebutkan tentang pengendalian pikiran yang diumpamakan seperti kereta kuda.
Ātman adalah penguasa kereta.
Buddhi merupakan kusir dari kereta kuda tersebut. Pikiran adalah tali kendali atau tali kekang yang mengendalikan arah kereta kuda tersebut. Indria-indria merupakan kuda-kuda dari kereta kuda. Obyek- obyek indria adalah jalan yang akan dilalui.
Hal ini merupakan pengetahuan yang harus dipahami apabila ingin merealisasikan kesadaran akan hakekat diri dalam kehidupan ini.
Apabila pengetahuan ini tidak dipahami dengan benar, indria-indria akan sulit dikendalikan, maka tidak akan mampu merealisasikan tujuan yang hendak dicapai dan akan terus menerus ‘tersesat’, seperti halnya kusir kereta kuda yang mengendarai kereta kuda dengan kuda-kuda liar, yang menyebabkan tujuan yang diharapkan tidak dapat tercapai.
Begitu pula sebaliknya, apabila pengetahuan ini dipahami dengan benar, menyadari gejolak indria yang terjadi, indria-indrianya dapat
160 dikendalikan dengan baik, maka
akan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, sama seperti kusir kereta yang menjadi pengendali kuda-kuda yang baik, sehingga dapat mencapai tempat tujuan dengan selamat.
Pengendalian terhadap indria- indria (keinginan) tidak dapat diukur dari penderitaan yang dirasakan ketika berusaha mengekangnya, tetapi dengan mengendalikan indria- indria dari obyek yang menyebabkan penderitaan, itu berarti bahwa manusia telah berusaha untuk menghindarkan diri dari kemungkinan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk dan memfokuskan diri dalam kesadaran di dalam dirinya.
Orang-orang yang indria dan pikirannya tidak terkendali, dia cenderung akan mengikuti hawa nafsu dan keinginannya habis- habisan, sehingga menyebabkan kehidupannya terganggu dan terguncang, serta sulit untuk menemukan ketenangan dan keseimbangan batin (Kurniawan, 2012). Cenderung agak gelisah, tidak puas dengan apa yang dimiliki, mudah marah, dan sangat rawan untuk menyakiti diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena itulah hendaknya kita jangan tunduk kepada indria-indria dan pikiran, biarkan kesadaran yang memimpin, sehingga kita bisa selamat sampai di tempat tujuan yang sejati di dalam mengarungi kehidupan. Lingkungan hidup kita boleh penuh dengan godaan, baik itu godaan hedonisme, korupsi, ketidakjujuran, kekerasan, harta benda, dan sebagainya. Jangan tergoda, tetapi jadikan sebagai kesempatan untuk melatih dan membiasakan diri untuk mengasah kejujuran dan kebaikan, sehingga
membuat manusia dapat merasakan kesejukan dan kedamaian, karena dengan demikian cita-cita kerukunan dalam kehidupan ini dapat direalisasikan.
Untuk itu, pikiran harus dilatih dengan metode atau cara yang sedemikian rupa supaya dapat difungsikan untuk menyelamatkan diri sendiri dari selimut maya dan avidya. Dalam kehidupannya di dunia ini, umat manusia berada di bawah penguasaan pikiran, karena itulah sangat penting untuk melatih pikiran agar tidak terlelap dalam selimut palsu yang nampak nyata.
Dengan demikian manusia akan mampu ‘sadar diri’ dan menyelamatkan dirinya sendiri sehingga tidak mengalami kemerosotan yang diakibatkan oleh dirinya sendiri.
Oleh karena itulah sangat penting bagi umat manusia agar dapat mengendalikan pikiran atau keinginannya, karena dengan keinginan (pikiran) yang terkendali seseorang dapat menemukan kebahagiaan layaknya surga, sebagaimana terdapat dalam kutipan Tutur Jatiswara berikut ini:
Yan sida bahan ngundukang kěněhé sida rahayu těpuk waluya swarga, yan tusing sida ban ngundukang tan rahayu těpuk, waluya něraka.
Terjemahannya:
Bila mampu mengendalikan keinginan (sehingga) menemui kebahagiaan seperti sorga, bila tidak mampu untuk mengendalikan keinginan tersebut kesengsaraan yang akan menimpa seperti neraka (Tim Penerjemah, 2004).
161 Seseorang yang selalu berusaha
untuk mengendalikan pikirannya guna mewujudkan kehidupan yang bahagia, harmonis, dan rukun merupakan mereka yang selalu berusaha menumbuhkan kesadaran dirinya dan selalu berupaya untuk meminimalisir
kekurangsempurnaannya menuju pada kesadaran yang lebih sempurna. Pikiran (keinginan) harus dikendalikan, karena pikiran merupakan suatu ‘alat’ pengaturan diri manusia dan dihidupkan oleh jiwa (atman). Pikiran dan jiwa ibaratnya seperti sebuah danau, di mana pikiran adalah air danau itu dan jiwa merupakan dasar danau.
Dasar danau hanya akan terlihat apabila air danau tersebut jernih.
Upaya untuk mewujudkan ‘air danau’ yang jernih dapat dilaksanakan melalui jalan yoga.
Yoga mengajarkan pengendalian diri agar pikiran selalu jernih. Pustaka suci Yoga Sutra Patañjali I. 1 menyebutkan “yogaścitta vṛtti niroḍhaḥ” (Yoga adalah pengendalian gelombang-gelombang pikiran dalam alam pikiran) (Mudana & Dwaja, 2014).
Gelombang-gelombang pikiran harus dikendalikan agar pikiran menjadi jernih sehingga kumpulan
‘noda-noda’ yang mengotori pikiran manusia dapat diminimalisir bahkan dihilangkan. Noda-noda yang mengotori pikiran manusia dapat dihilangkan secara bertahap melalui pelaksanaan yoga. Ajaran yoga dapat menuntun umat manusia secara bertahap untuk mengendalikan pikiran (keinginan) sehingga pada akhirnya akan mencapai ketenangan.
Apabila ketenangan telah dicapai, maka kedamaian akan tumbuh, baik itu kedamaian diri (jasmani dan rohani) maupun kedamaian sosial,
dan seiring dengan tumbuhnya kedamaian maka sudah pasti kerukunan akan menyertai. Hal tersebut tidak terlepas dari praktik yoga dilihat sebagai suatu jenis sistem sosial yang dipercayainya dan didayagunakan untuk mencapai apa yang diinginkan baik bersifat jasmani dan rohani yang merupakan yoga klasik yang didasari pada latihan moral, fisik, mental dan spiritual (Juniartha, 2020). Pelaksanaan yoga secara menyeluruh mencangkup 8 bagian atau batang tubuh yoga, yang disebut dengan Aṣṭāṅgayoga.
Adapun bagian-bagian dari Aṣṭāṅgayoga, yaitu:
1. Yama
Yama artinya pengendalian diri pada tahap awal (jasmani), yang terdiri dari 5 (lima) bagian (Tim Penyusun, 2005: 70), yaitu:
a. Ahimsā artinya tidak menyakiti, tidak membunuh, tidak melakukan kekerasan, tidak melukai makhluk hidup manapun dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.
b. Satya artinya kesetiaan ataupun kejujuran dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.
c. Asteya artinya pantang menginginkan sesuatu yang bukan miliknya sendiri atau pantang mencuri.
d. Brahmacarya artinya pantang kenikmatan seksual atau pengendalian nafsu seksual.
e. Aparigraha artinya tidak menerima pemberian yang tidak penting dari orang lain.
2. Nyama
Nyama artinya pengendalian diri pada tahap kedua setelah yama (rohani), yang terdiri dari 5 (lima)
162 bagian (Tim Penyusun, 2005: 71),
yaitu:
a. Śauca artinya suci lahir bathin.
b. Santoṣa artinya puas dengan apa yang datang dengan wajar.
c. Tapa artinya tahan uji terhadap gangguan- gangguan.
d. Svadhyāya artinya mempelajari buku-buku agama dengan teratur.
e. Iśvarapranidhana artinya
penyerahan dan
pembhaktian kepada Tuhan.
3. Āsana
Āsana artinya sikap duduk yang kuat dan menyenangkan atau sikap badan yang sempurna (Tim Penyusun, 2005: 71). Antara badan dan rohani memiliki hubungan yang sangat erat, sehingga apabila rohani mengalami gangguan maka badan pun akan ikut terganggu, begitu juga sebaliknya, apabila badan mengalami gangguan, rohani juga akan ikut terkena dampaknya.
4. Prāṇāyāma
Prāṇāyāma merupakan pengendalian atau pengaturan nafas.
Prāṇā adalah tenaga hidup, berada pada semua unsur, tetapi bukan unsur itu, bisa berada di udara, makanan, minuman, cahaya matahari, dan berbagai benda. Prāṇā
merupakan bagian nafas alam semesta. Melalui pengendalian jalannya nafas, seseorang dapat mengendalikan dan mendiamkan dengan tenang pikirannya. Ada tiga bagian pengendalian atau pengaturan nafas, yaitu pūraka (menarik nafas), kumbhaka (menahan nafas), dan recaka
(menghembuskan nafas) (Mudana &
Dwaja, 2014).
5. Pratyāhāra
Pratyāhāra artinya menarik indriya dari wilayah sasarannya dan menempatkannya di bawah pengawasan pikiran, sehingga indriya-indriya tidak berkeliaran mencari obyek-obyek yang disenanginya. Disini penguasaan penuh atas indriya yakni sebuah ikhtiar membalik kecendrungan indrya dari obyek sensualitasnya diluar (preya marga) menuju kecendrungan asali kedalam diri yang lebih baik (sreya marga).
Pratyāhāra merupakan bagian dari yang disebut bahirangga yoga (sebagai aspek eksternal atau sendi- sendi lahiriah dari aṣṭāṅgayoga selain yama, niyama, asana dan pranayama.
6. Dhāraṇa
Dhāraṇa merupakan suatu usaha untuk memusatkan pikiran pada satu objek, baik yang berada dalam diri maupun di luar diri. Pada tataran ini konsentrasi yang tetap atau menetapkan cipta pada satu
”tempat” secara terfokus (desa bandhas cittasya dharana. Yogasutra III.1). Tempat yang dimaksudkan adalah obyek konsentrasi, yakni cakra-cakra didalam tubuh halus manusia melalui mana kesadaran yang lebih tinggi digali. Pratyāhāra disusul oleh dharana yang akan membawa seorang praktisi memasuki pintu dhyana.
7. Dhyāna
Dhyāna merupakan suatu usaha untuk melatih pikiran supaya tenang sehingga tetap terpusat pada satu obyek tanpa tergoyahkan oleh gangguan-gangguan yang ada
163 disekelilingnya. Dhyāna adalah aliran
pikiran yang terfokus pada satu obyek (tidak mendua), tetap tenang dan suci walaupun ada gangguan- gangguan yang datang dari luar.
Suatu keadaan keteguhan hati yang kuat pada level emotional;
keseimbangan konsentrasi dan sikap yang tidak terpengaruh pada level mental homeostatik pada level fisikal.
Ini merupakan keadaan dimana terjadi integrasi personalitas, harmoni tubuh dan pikiran (body mind) dalam keseimbangan yang paling baik (Juniartha, 2017).
8. Samādhi
Samādhi adalah terpusatnya pikiran pada dirinya sendiri. Samādhi dapat dicapai oleh seseorang apabila telah teguh dengan kekuatan dhyāna, sehingga dapat menolak rangsangan luar dan hanya tetap pada pemusatan pikiran (Mudana &
Dwaja, 2014). Ketika seseorang telah sampai pada tahap samādhi, maka ia akan merasa sangat berbahagia, tidak memiliki pikiran yang tercela, tidak lalai, tidak merasa memiliki apa pun, tidak memiliki keinginan, tidak memiliki rasa ke-aku-an (ego), tenang, tenteram dan damai.
Demikianlah yang akan dirasakan oleh seseorang yang telah mampu mengendalikan keinginan (pikirannya), sebagaimana terdapat di dalam Teks Tutur Jatiswara sebagai berikut:
Awanan yan ada nyidayang ngundukang kěněh sinah němu suka di sakala niṣkala, déning kěněhé ngranayang malakṣana jělé wiadin mělah, awanan kěněhé buatang ngungkang, buina kěněhé tuwuh ngantinin paninghalané maliat apang nyidayang tawang ané liatin,
yan tusing makanti bahan kěněh, wiadin liatang paninghalané, sinah tusing tawang ané liatin, awanan kěněhé madéwék rěngha adané
tur wiséṣa.
Terjemahannya:
Sebabnya bila ada orang yang dapat mengendalikan keinginan (pikiran) pasti menemui kebahagiaan lahir bathin, karena keinginan yang menyebabkan orang berbuat baik dan buruk, sebabnya keinginan itu diusahakan untuk mengendalikannya, juga keinginan (indriya) yang membuat mata itu dapat mengenal apa yang dilihat, bila tidak ada keinginan (indriya), walaupun mata memandang sesuatu pasti tidak akan tahu apa yang dilihat, sebabnya keinginan berwujud kesadaran dan berkuasa (Tim Penerjemah, 2004).
Buwina yan suba sida bahan ngundukang lakṣana kěněhé
sinah ngranayang lantang tuwuh, déning kapah něpukin pakéwěh (pangring), lakṣanané
satata mělah ngranayang něpukin rahayu, pagěh salwiring gaénin, nyidayang asing kěněhang magoba sakti, krana yuahna kapatutané wiadin kasugihané buka tangan těkén anaké ané nyidayang ngundukang lakṣanan kěněhé.
Terjemahannya:
Namun bila sudah berhasil mengendalikan jalannya keinginan akan menyebabkan panjang umur, karena jarang menemui rintangan, perbuatan
164 yang selalu baik akan
menyebabkan menemui kebahagiaan, teguh pada prinsip yang akan diperbuat, berhasil segala keinginan berupa kewibawaan, sebabnya kebenaran dan kekayaan akan ditemui oleh orang yang mampu mengendalikan keinginan (pikiran) (Tim Penerjemah, 2004).
Berdasarkan kutipan di atas, apabila seseorang telah berhasil mengendalikan jalannya keinginan (pikiran), maka akan menemukan kebahagiaan dalam hidupnya, baik lahir maupun bathin. Hal ini disebabkan karena semua yang manusia katakan maupun lakukan bersumber dari pikirannya, maka dari itu pikiran juga disebut sebagai rajanya indriya-indriya (Rajendriya).
Apabila rajanya telah mampu ditaklukkan atau dikendalikan, maka semua jajaran yang ada dibawahnya juga akan terkendali.
Selain itu, keberhasilan dalam mengendalikan keinginan (pikiran) juga dapat menyebabkan seseorang teguh pada prinsip yang akan diperbuatnya, memperoleh kewibawaan, dan panjang umur. Hal ini disebabkan karena bagi orang yang pikirannya terkendali jarang menemukan rintangan dalam hidupnya, karena semua perbuatannya diarahkan pada kebaikan atau subha karma dan berlandaskan pada dharma. Setiap perbuatan yang senantiasa berlandaskan pada dharma akan mengantarkan pada tercapainya kebahagiaan, ketenteraman, dan kerukunan dalam kehidupannya.
5. KESIMPULAN
Mengetahui kebenaran tentang hakekat diri berarti sadar. Dengan kesadaran itulah seseorang akan mampu merajut kembali kerukunan yang mulai “mengelupas” akibat dari merosotnya kapasitas intelektual dan mental seseorang, karena belum siap menghadapi derasnya laju kehidupan di abad XXI. Perasaan resah yang selalu ‘menghantui’
kehidupannya menyebabkan kesadarannya ‘menurun’. Peran serta dan kerja keras setiap individu dibutuhkan dalam upaya merajut kembali kerukunan tersebut, serta meminimalisir terjadinya friksi-friksi keagamaan. Ketika setiap orang telah memiliki komitmen yang sama dan berusaha bersama-sama, disanalah keserasian akan tumbuh subur.
Dengan keserasian itu, kita dapat berjalan bersama-sama dan saling bergandengan tangan dalam meraih tujuan yang dicita-citakan.
Kesadaran akan diri penting untuk ditumbuhkembangkan dalam kehidupan untuk menghindarkan dari ‘kemabukan’. Pengetahuan ini harus dipahami oleh setiap orang yang ingin merealisasikan kesadaran. Kesadaran akan mengantarkan seseorang untuk melakukan pengendalian diri.
Pengendalian terhadap hal-hal yang berefek buruk, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Dengan kesadaran itu pula, akan menjadi sebuah kesempatan untuk melatih dan membiasakan diri untuk mengasah kebaikan, sehingga membuat manusia dapat merasakan kesejukan dan kedamaian, karena dengan demikian cita-cita kerukunan dalam kehidupan ini dapat direalisasikan.
165 UCAPAN TERIMAKASIH
Perkenankanlah penulis menyampaikan terimakasih atas dukungan, motivasi, dan bimbingannya, baik secara materi maupun non-materi kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian artikel ini, serta kepada Tim Redaksi Jurnal Widyagenitri yang telah memberikan ruang untuk menuliskan hasil pemikiran dan analisis penulis, dan juga atas berbagai masukan yang telah diberikan.
DAFTAR RUJUKAN
Arimbawa, I Komang Suastika. 2016.
“Teologi Kerukunan dalam Teks Tutur Jatiswara”. (Tesis).
Denpasar. Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Adiputra, I. G. R. (2003).
Pengetahuan Dasar Agama Hindu. PT. Pustaka Mitra Jaya.
Arifin, Amhar Maulana. 2014.
“Pengertian dan Esensi dari Sabar”. Diakses melalui www.amhardinspire.com Tanggal 27 Mei 2016 Pukul 10.20 WITA.
Arimbawa, I. K. S. (2020).
Membangun Kerukunan Melalui Konsep Esoterisme Dalam Teks Tutur Jatiswara (Studi Filsafat Perennial). In Jurnal Sanjiwani (Vol. 2).
DEPDIKNAS. (2012). Kamus Besar Bahasa Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Juniartha, M. G. (2017). Teknik Meditasi Pada Perkumpulan Bali Usada Di Desa Sanur Kauh Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar (Kajian Teologi Kesehatan Hindu). Jurnal Penelitian Agama, 3(1), 26–47.
Juniartha, M. G. (2020). Praktik Yoga Sebagai Sosial Religius Membentuk Perilaku Susila.
Jurnal Yoga Dan Kesehatan, 3(1), 84–98.
Kurniawan, I. N. (2012). Merealisasi Moksha, Puncak Kesadaran Diri dan Penyatuan Kosmik.
Paramita.
Mudana, I. N., & Dwaja, I. G. N.
(2014). Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti (I. W. I. M. S.
Paramartha (ed.)). Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.
Tim Penerjemah. (2004). Alih Aksara dan Terjemahan Tutur Jatiswara, Tutur Aji Saraswati, Tutur
Candrabherawa. Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Titib, I. M. (1996). Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan.
Paramita.
Wiratmadja, G. K. A. (1988). Etika, Tata Susila Hindu Dharma.