1
“Tidak. Kau tidak boleh keluar rumah. Di luar masih hujan, sayang,” kata Maya kepada anak tunggalnya, Amanda.
“Tapi, mama. Amanda juga ingin bermain hujan seperti teman-teman Amanda itu,” rayu Amanda dengan mata memelas.
“Tidak, sayang. Nanti kau sakit,” tegas Maya sambil mengusap rambut Amanda yang panjang terurai.
Amanda yang masih berumur 7 tahun itu memadang ke jendela yang masih terbuka. Ia melihat beberapa anak kecil sebayanya bermain hujan, malah ada yang bermain kejar-kejaran sambil tertawa meskipun sesekali salah satu di antara mereka jatuh terpeleset. Anak-anak itu terlihat gembira.
Amanda berpaling ke arah Maya. Ia langsung memasang wajah cemberut dan segera berlari menuju kamarnya.
Amanda duduk di kursi belajarnya sambil membuka sebuah buku dan mulai menulis sebentar. Ada perasaan lega setelah menulis di buku itu. Lalu ia berpaling ke belakang dan memandang tempat tidurnya. Amanda
ingin bermain sesuatu yang lain untuk mengusir rasa kesalnya akan larangan Maya. Sesaat ia berpikir dan akhirnya ia menemukan ide. Ia menuju tempat tidur.
Sambil duduk di atas tempat tidurnya, ia mengambil boneka Barbie kesayangannya yang diletakkan di sudut tempat tidur dan mulai hanyut dengan obrolannya sendiri.
“Hei, mengapa mama selalu melarangku untuk melakukan ini dan itu? Aku tidak cacat, aku sehat. Tetapi mengapa mama begitu? Seolah-olah aku ini anak yang penuh dengan berbagai penyakit. Bukankah selama ini aku sangat jarang sakit? Hanya flu atau-. Oh, aku ingin ayah pulang hari ini. Ayah terlalu sibuk. Aku merindukannya. Hmm, aku sedang tidak ingin bermain dengan puzzle huruf itu,” kata Amanda sambil melirik ke arah lantai.
Di lantai itu berserakan huruf-huruf yang terbuat dari plastik. Amanda lupa merapikannya dan sekarang ia tidak ingin menyentuhnya.
“Hei, Barbie. Kau dengar aku?” lanjut Amanda bertanya pada bonekanya.
Amanda menatap mata boneka Barbienya seakan berharap boneka kesayangannya itu mau menjawab
pertanyaannya. Hening. Hanya suara derasnya titik hujan yang menyentuh atap-atap rumahnya.
Tidak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu.
Amanda segera bangkit dari duduknya dan membukakan pintu. Maya berdiri dengan tersenyum lembut dan membawa sebuah nampan yang berisi susu cokelat kesukaannya.
“Ini, sayang. Udara sangat dingin. Kau perlu menghangatkan tubuhmu,” kata Maya sambil meletakkan nampan itu di atas meja belajar Amanda.
Amanda langsung berjalan menuju meja belajarnya dan segera meminum susu cokelat kesaukaannya itu.
“Mama keluar dulu. Mama harus menyelesaikan perkerjaan mama,” kata Maya sambil melangkah kaki hendak keluar dari kamar Amanda.
“Mama,” panggil Amanda.
Maya langsung menghentikan langkahnya dan menoleh.
Sesaat ia memandang Amanda.
“Maafkan, Amanda,” ucap Amanda, lirih.
Maya hanya tersenyum dan berbalik.
“Mama,” panggil Amanda lagi.
“Ada apa lagi, sayang?” tanya Maya sambil mendekati Amanda.
“Kapan ayah pulang? Sudah lima hari ayah tidak pulang,” keluh Amanda.
Maya hanya menghela napas. Kemudian bersimpuh dan merengkuh Amanda ke dalam pelukannya sebentar.
“Sabar, sayang. Ayah sibuk bekerja di luar kota. Jadi ayah tidak bisa pulang setiap hari. Tadi mama sudah menelepon ayah. Ayah memberi kabar bahwa hari ini ayah akan pulang,” jelas Maya mengelus rambut Amanda.
Amanda langsung melepaskan pelukan Maya.
“Bohong. Kemarin mama juga mengatakan seperti itu, tapi ayah tidak pulang,” kata Amanda sambil mengernyitkan keningnya dan memandang Maya dengan tajam.
Maya terdiam. Ya, kemarin dia sudah mengatakan kalimat yang sama kepada Amanda. Kemudian Maya berpikir mencari-cari kalimat yang tepat untuk menjawab kata-kata Amanda.
“Kali ini ayah pasti pulang.”
Hanya kalimat itu yang terlontar dari bibir Maya untuk
Maya sendiri tidak yakin. Hanya saja tadi pagi ia memang sudah menerima kabar dari Robert, suaminya, bahwa ia akan pulang malam nanti karena proyek yang selama ini dikerjakannya sudah selesai.
“Mama. Apakah ayah akan membawakan oleh-oleh boneka Barbie?” tanya Amanda membuyarkan lamunan Maya.
Maya tertawa kecil.
“Tentu saja. Bukankah itu yang kau minta sebelum ayah berangkat?” jawab Maya.
Amanda tersenyum. Wajah lugunya kembali ceria.
“Ya, sudah. Mama harus segera menyelesaikan pekerjaan mama,” kata Maya sambil melepaskan pelukannya dan bangkit berdiri.
“Kau lanjutkan saja bermainnya. Tapi kalau kau bisa, tidurlah. Bukankah kau belum tidur siang?” lanjut Maya.
“Ya, Amanda memang mengantuk setelah minum susu cokelat itu,” jawab Amanda sambil menunjuk gelas yang isinya hampir habis.
“Baiklah kalau begitu. Sebaiknya kau tidur saja. Mungkin saat kau bangun nanti, ayah sudah di rumah.”
Kemudian Maya melangkah keluar dari kamar Amanda
Robert pasti pulang. Dia pun berharap Robert tidak lupa membawakan oleh-oleh yang dijanjikannya kepada Amanda sebelum berangkat saat itu. Itu akan menghibur hati Amanda setelah ditinggal Robert berhari-hari.
Amanda segera merebahkan tubuhnya di atas kasur bermotif mawar putih, bunga kesukaannya. Ia menebarkan pandangannya ke setiap sudut kamar.
Hampir semuanya berwarna putih. Itu warna favoritnya.
Di saat seperti inilah ia merasakan kesepian dan kehampaan. Ia sering berpikir ingin seperti Tasya, temannya di sekolah, yang mempunyai adik perempuan.
Ia ingin sekali seperti itu agar setiap saat ada yang menemaninya bermain ataupun belajar. Berbagai khayalan melayang-layang di benak Amanda. Sampai akhirnya kantuk menyerang matanya dan memaksa ia untuk tertidur pulas.
****
‘Prraanngg’
Amanda terloncat dari tempat tidurnya. Ia terkejut dengan suara yang terdengar di luar kamarnya. Segera ia bangun dari tempat tidurnya dan mengendap-endap membuka pintu kamarnya untuk mengintip suasana di luar kamar.
“Ayah,” bisik Amanda ketika melihat punggung dari sosok tinggi tegap yang berjarak beberapa meter dari ia berdiri.
Amanda langsung membuka lebar pintunya dan ingin memeluk Robert dari belakang. Namun tiba-tiba ia mengurungkan niatnya itu ketika melihat Maya bersimpuh dan menangis di kaki Robert. Tak jauh dari sisi Maya terlihat sebuah guci yang telah pecah berkeping-keping. Ia kembali menutup sedikit pintu kamar sambil terus mengintip peristiwa yang ada di hadapannya itu.
“Kau pikir aku percaya dengan pembelaanmu itu!” teriak Robert, ayah Amanda.
Maya hanya bisa menangis dan seperti tidak tahu harus berbicara apa lagi.
“Alex sudah menceritakan kepadaku bahwa selama aku pergi, orang yang bernama Sam, mantan kekasihmu itu, setiap hari datang ke rumah ini!”
“Tidak, Robert. Itu tidak benar. Alex hanya ingin mengadu domba kita. Bukankah dia rivalmu di kantor,”
jelas Maya sambil terus terisak.
“Kau benar-benar pintar memutarbalikkan fakta,” jawab Robert dengan pandangan sinis.
“Robert, aku bicara yang sebenarnya!” kata Maya dengan histeris.
Amanda yang masih mengintip di balik pintu hanya terduduk gemetaran. Ia tidak pernah mendapatkan suasana seperti ini sebelumnya. Jantungnya berdegup kencang.
“Ayah tidak pernah berteriak seperti itu. Ayah tidak pernah sekasar itu,” bisik Amanda.
Kemudian ia memandang Maya yang masih bersimpuh dan larut dengan tangisnya.
“Mama,” kata Amanda lirih. Ingin sekali ia menghambur keluar dan memeluk Maya yang sedang menangis. Tapi ia terlalu takut dengan sikap ayahnya, Robert.
“Harus bagaimana aku menjelaskannya, Robert. Aku benar-benar tidak melakukannya. Bahkan Sam tidak pernah berkunjung ke rumah kita. Alex hanya bicara omong kosong. Percayalah, Robert.”
Maya masih mengiba dan berharap Robert mau mempercayainya. Tetapi Robert yang sudah gelap mata itu hanya memandang dingin kepada Maya.
“Bagaimana caranya agar kau bisa percaya? Mungkin kau bisa membunuhku agar kau merasa puas,” ucap
Deg. Jantung Amanda seperti berhenti berdetak ketika mendengar perkataan mamanya. ‘Mengapa mama berbicara seperti itu,’ pikir Amanda.
“Oh, begitu? Kau ingin mati mempertahankan dosamu?
Kau memilih lebih baik mati daripada harus mengakuinya?!” tanya Robert dengan nada yang mulai meninggi lagi.
Maya menunduk dan terdiam sebentar. Ia terlihat menghela napas. Kemudian ia menengadahkan kepalanya dan menatap tubuh tinggi suaminya itu.
“Aku tidak bersalah! Kau dengar? Aku tidak bersalah!”
jawab Maya yang tiba-tiba saja berdiri dan menentang tatapan mata Robert di depannya.
“Aku sudah lelah dengan sikap cemburumu yang tidak beralasan. Aku sudah lelah menjaga perasaanmu selama ini. Aku sudah lelah dengan aturan konyolmu, dan aku sudah lelah menjadi istrimu!”
Plakk! Sebuah tamparan langsung mendarat di pipi Maya. Sebelum Maya berucap sepatah kata untuk melanjutkan, tiba-tiba Robert menendang tubuh Maya yang kali ini tepat mengenai perutnya. Maya langsung tersungkur dan mengerang kesakitan. Robert benar- benar telah kalap. Ia tidak pernah mendapatkan
menuruti kata-katanya. Maya tidak pernah bersikap seperti itu. Tingkah Maya ini semakin membuat Robert yakin bahwa tuduhannya terhadap Maya itu benar.
Maya mencoba untuk berdiri. Buggh. Pukulan dari lengan tangan Robert cukup telak mengenai tengkuk Maya dan seketika itu juga Maya roboh. Ia merasakan sakit yang tidak terkira. Matanya yang sayu menahan rasa sakit itu memandang ke arah kamar Amanda yang terbuka sedikit pintunya. Maya bisa melihat anak semata wayangnya sedang menatap dirinya. Dalam kesakitannya, Maya menitikkan air mata untuk Amanda.
Tak lama darah segar mengalir dari hidung dan mulut Maya yang sudah sekarat. Lalu perlahan Maya menutup mata. Amanda hanya terbelalak dan menutup mulutnya dengan tangan setelah melihat peristiwa itu. Ia tercekat, namun tidak beteriak. Sementara itu Robert hanya berdiri memandang tubuh Maya yang sudah tidak bergerak. Tidak ada rasa penyesalan yang tersirat di matanya karena ia benar-benar yakin bahwa tuduhan itu benar dan Maya memang pantas mati.
Robert berpikir keras bagaimana caranya menghilangkan jejak atas perbuatan yang baru saja ia lakukan. Jika ia melaksanakan penguburan secara umum, pasti para tetangganya akan curiga setelah