• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH PERPAJAKAN IMPLIKASI MENGENAI PENGENAAN PAJAK PENGHASIL FINAL TERHADAP USAHA MENENGAH MIKRO KECIL (UMKM) : ANDHIKA WAHYUDIONO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKALAH PERPAJAKAN IMPLIKASI MENGENAI PENGENAAN PAJAK PENGHASIL FINAL TERHADAP USAHA MENENGAH MIKRO KECIL (UMKM) : ANDHIKA WAHYUDIONO"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH PERPAJAKAN

IMPLIKASI MENGENAI PENGENAAN PAJAK PENGHASIL FINAL

TERHADAP USAHA MENENGAH MIKRO KECIL (UMKM)

DOSEN MATAKULIAH :

ANDHIKA WAHYUDIONO, S.Pd., M.Pd

KELOMPOK 8

MAHASISWA :

DEWI WAHYUNING PUTRI / 21201738

RISKA VEREN SEPTRIANA / 21201734

REINA OKTAVIA D.T / 21201750

ZULFIA DWI ANDRIYANI / 21201754

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 BANYUWANGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK

2021

(2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indonesia menjadi negara yang mendapati urutan keempat dalam negara yang memiliki populasi terbesar setelah negara China, India, dan Amerika Serikat dengan populasi penduduk mencapai 237,6 juta orang pada tahun 2010. Pada tahun 2013 populasi penduduk meningkat sebesar 250 juta atau naik sebesar 6% dari tahun 2010. Dengan jumlah populasi yang besar, penduduk merupakan salah satu roda penggerak ekonomi yang sangat besar potensinya untuk dapat memajukan negara. Ekonomi kerakyatan kemudian menjadi salah satu isu yang menarik ditengah perkembangan perekonomian global yang sedang diagungkan. Ekonomi karakyatan diangap sebagai roda utama penggerak ekonomi negara yang dapat menjangkau keseluruhan pelosok negeri. Lepaa dari kegiatan perpolitikan yang sedang marak pada saat ini, ekonomi kerakyatakan adalah solusi dalam membangun dan meningkatan taraf hidup masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Ekonomi mikro, kecil dan menengah adalah tiga kelom;ok ekonomi yang dapat menyentuh semua lapisan masyarakat diseluruh negeri, dari kota hingga daerah-daerah yang terpencil sekalipun. Persebaran kegiatan ekonomi tersebut membentuk suatu tata ekonomi yang secara structural sangat berperan dalam kegiatan ekonomi nasional. Kegiatan usaha yang berbasis Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah atau UMKM sudah sejak lama mendominasi perekonomian Indonesia dan terus berkembang seiring dengan kemudahan dan fasilitas yang diberikan pemerintah dari sisi informasi maupun bantuan kredit yang di salurkan. Namun disisi lain dominasi ini belum dapat menyamai penerimaan pajak didominasi oleh wajib pajak besar yang jumlahnya kurang dari 1%. Beberapa penyebabnya adalah fakta bahwa direktorat Jendral Pajak DJP lebih focus pada wajib pajak besar sedangkan pengawasan kepada pelaku UMKM belum secara optimal dilakukan dan kepatuhan pajak pelaku UMKM juga masih rendah. Kepatuhan pajak terkait dengan prosedur, tata cara penghitungan dan lainnya yang masih cukup sulit untuk diterapkan dan sedikit membingungkan bagi pelaku UMKM.

Akibat melemahnya perekonomian akibat krisis ekonomi global, sector UMKM telah terbukti ketangguhannya dan telah menyelamatkan perekonomian Indonesia saat-saat krisis ekonomi melanda. Pada saat-saat negara-negara maju mengalami krisis yang melemahkan ekonomi, Indonesia mencatatkan angka positif dalam pertumbuhan ekonomi. Hal ini karena kontribusi dari sector UMKM. Menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 1998, dalam periode 4 tahun mulai tahun 1994, lebih dari 99% jumlah pengusaha yang terdapat adalah pelaku UMKM, mereka menyediakan 66% lapangan pekerjaan dengan nilai produksi mencakup lebih dari 80% dari total produksi yang dihasilkannya dan meliputi hamper semua sector usaha. UMKM pada sisi perpajakan

(3)

ternyata belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan pajak. UMKM mendominasi struktur usaha yang ada di Indonesia sekitar 99,99% yang terdiri dari usaha mikro 98,79%, usaha kecil 1,11%, usaha menengah sebesar 0,09%. Sedangkan usaha besar hanya berkontribusi dalam struktur usaha di Indonesia sebesar 0,1%. Potensi penerimaan pajak dari usaha kecil menengah UKM pada lima tahun yang akan dating diperkirakan dapat mencapai kurang lebih 600 triliun. Namun, butuh dukungan penuh dari para pelaku UKM di Indonesia demi memenuhi kewajiban membyar pajak sebesar 1% dari omset usahanya.

Rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sangat ironis apabila dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan usaha di Indonesia. Tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang rendah juga salah satu pemacu pemerintah melakukan pertimbangan yang matang dalam menentukan kebijakan fiskal yang diharapkan akan meningkatkan penerimaan negara sekaligus kemudahan bagi wajib pajak serta mengurangi beban administrasi dari kedua belah pihak. Kemudahan melakukan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak dinilai dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Tentunya hal tersebut berbanding lurus dengan penerimaan yang akan diterima oleh negara melalui sektor perpajakan. Target penerimaan pajak yang terus meningkat menuntut Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengoptimalisasikan penerimaan pajak yang dipatok diatas seribu triliun atau mencapai Rp1.110,2 triliun pada APBN 2014. Angka ini naik sebesar Rp115 triliun atau tumbuh sekitar 11,6% dibandingkan dengan target pajak dalam APBN-P 2013 sebesar Rp995,2 triliun. Melalui media briefing Strategi Pajak 2014 yang diterbitkan melalui website resmi DJP, salah satu bentuk program kerja strategisnya adalah memperluas basis pajak, termasuk kepada sektor-sektor yang selama ini tidak terlalu banyak digali potensinya.

Menurut DJP, sektor-sektor yang akan digali potensinya karena belum tersentuh secara maksimal diantaranya sektor perdagangan (Usaha Kecil dan Menengah) yang memiliki tempat usaha di pusat-pusat perbelanjaan dan sektor properti. Data Kementrian Koperasi dan UKM sampai tahun 2013 ada sekitar lebih dari 55 juta entitas UMKM. Jika dibandingkan jumlah wajib pajak orang pribadi dan badan sektor UMKM sekitar 8 juta wajib pajak, diperkirakan sekitar 4,7 juta tambahan wajib pajak berasal dari sektor ini. Tingkat kepatuhan wajib pajak UMKM, terutama sektor mikro dan kecil masih dinilai rendah. Kepatuhan ini sangat dipengaruhi besarnya biaya memenuhi kewajiban perpajakan. Besar kecilnya biaya dipengaruhi pajak yang harus dibayar dan biaya administrasi. Kontribusi perkembangan UMKM yang mendukung perekonomian Indonesia tersebut berbanding terbalik dengan peran UMKM 2 terhadap pajak. Menurut Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Kismantoro Petrus, kontribusi UMKM terhadap total perekonomian sekitar 57,94 persen, tetapi kontribusinya terhadap penerimaan negara dari pajak tergolong kecil sebesar 0,7 persen Maka dengan adanya indikasi miss-match antara kontribusi UMKM pada PDB dengan kontibusi UMKM pada penerimaan pajak.

(4)

Acuan ketentuan mengenai ekonomi negara Indonesia telah diatur pada dalam Undang Undang 1945 yakni pada pasal 33 dan pasal 34, yang mana negara diberikan beban tanggung jawab untuk mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tanggungjawab tersebut tidak hanya dibebankan kepada negara saja melainkan dibebankan juga kepada kelompok-kelompok yang mampu berusaha. Maka dengan itu dalam proses pembangunan ekonomi nasional, sampai saat ini struktur ekonomi Indonesia disangga oleh para pengusaha yang turut bergabung dalam golongan usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah,

Sejak tanggal 1 juli 2013 telah diberlakukannya PP nomor 46 Tahun 2013 mengenai pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau yang diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang mengatur tentang wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi dari Rp. 4,8 Milyar untuk membayar PPh final sebesar 1% dari omset bulanannya.

Pajak penghasil final atau PPh merupakan potongan atas pendapatan tertentu dimana alur maupun proses penghitungan pajaknya telah dianggap selesai saat dilakukannya pemotongan, pemungutan, atau penyetoran sendiri oleh wajib pajak tersebut. Pajak penghasilan final mulai dikenal sejak diberlakukannya pada pajak penghasilan final atas bunga deposito, sertifikat deposito, dan tabungan pada tahun 1989. Dalam perkembangannya, PPh sebagimana diatur dalam Undang-Undang nomor 36 tahun 2008, pada penjelasan pasal 4 ayat 1 yaitu, pajak yang diambil atas tiap-tiap tambahan penghasilan yang bernilai ekonomi tinggi yang diperoleh atau diterima wajib pajak dari ebrbagai asal dapat dipergunakan untuk keperluan atau menambah asset wajib pajak. Setiap orang merupakan subjek pajak dan telah wajib dikenai pajak apabila memenuhi syarat subjektif, yakni memiliki nomor pokok wajib paka atau NPWP dan penghasilan yang diterima atas Penghasilan Tidak kena Pajak atau PTKP.

Utang pajak sebagaimana ajaran formal pada saat dikeluarkan surat Ketetapan Pajak yang muncul karena undang-undang. Sedangkan menurut ajaran material utang pajak ditentukan oleh perundang-undangan serta dipenuhi syarat subjektif dan objektif. Bahwa dapat diartikan adanya campur tangan atau perbuatan dari pejabat pajak diperlukan untuk menimbulkan utang pajak asal terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.

Masukan daya yang dimiliki oleh nilai ekonomi inilah merupakan takaran terbaik menurut undang-undang tentang kemampuan wajib pajak untuk ikut membayar pajak. Dalam pengelompokan itinjau dari mengalirnya masukkan penghasilan wajib pajak termasuk juga didalamnya pendapatn dari usaha atau kegiatan.

Pengenaan PPh final bermaksud agar penghasilan yang didapat atau diterima akan dipungut PPh dengan tarif tertentu dan dasar pengenaan pajak tertentu pada saat penghasilan tersebut didapat. Pajak penghasilan yang dipungut baik yang dilakukan pemotongan oleh pihak lain maupun yang diserahkan sendiri dan bukanlah merupakan pembayaran yang dilakukan di awal atas PPh yang terhutang tetapi sudah melakukan

(5)

pelunasan PPh terutang atas penghsilan tersebut. Oleh karena itu, penghasilan yang telah dikenakan PPh final tidak akan dikalkulasi lagi pajak penghasilannya di surat pemberitahuan tahunan untuk dikenakan tariff global bersamaan dengan penghasilan lainnya. Begitu juga dengan PPh yang telah dipotong atau dibayar tersebut juga bukan merupakan kartu kredit pajak di SPT Tahunan.

Meski pajak Usaha Kecil dan Menengah atau UKM sebesar 1% telah diberlakukan, namun aturan baru ini masih saja menuai pro dan kontra. Tidak sedikit UKM yang merasa keberatan dengan penetapan pajak tersebut karena alasan minimnya omset.

Terkait dengan UMKM, sebelumnya sudah ada penepatan pajak mengenai aturan khusus PPh untuk UMKM. Tetapi hanya berlaku untuk yang berbentuk badan usaha. Dalam Undang-undang No. 36 tahun 2008 pasal 31 E dinyatakan bahwa wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaan bruto sampai dengan mencapai 50 milyar serta mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50%. Dengan tariff PPh badan yang berlaku saat ini yaitu 25%, maka bagi wajib pajak badan dalam negeri yang memenuhi syarat tariff efektifnya menjadi 12,5% atas penghasilan sampai dengan mencapai 4,8 milyar. Pengenaan PPh dalam hal ini dilakukan terhadap penghasilan kena pajak yang dihitung dari perhitungan laba rugi akuntansi setelah dilakukan koreksi fiskal, karena berdasarkan pasal 28 ayat 1 UU nomor 28 tahun 2007 UU KUP. Wajib pajak badan diwajibkan menyelanggarakan pembukuan. Autran pajak UMKM harus semudah mungkin dapat diterapkan untuk semua kriteria UMKM sebab selama ini UMKM dengan omset kecil tidak memiliki pembukuan yang jelas sebagai dasar mereka melakukan kewajiban dalam pembayaran pajak pada negara. Ditinjau dari konsep keadilan dalam pemajakan, pengenaan PPh final tidak sesuai dengan keadilan karena tidak mencerminkan kemampuan membayar. Pemajakan yang adil adalah bahwa semakin besar penghasilan maka semakin besar pula pajak yang harus dibayarkan hal ini disebut sebagai keadilan vertical.

(6)

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana kebijakan Pajak penghasil final terhadap pelaku UMKM? 1.2.2 Bagaimana kualitas pajak dan sanksi pajak pelaku UMKM?

1.2.3 Apa pengaruh perkembangan pajak pelaku UMKM pada saat pandemic covid 19?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah

1.3.1 Untuk mengetahui kebijakan pajak penghasil final terhadap pelaku UMKM 1.3.2 Untuk mengetahui kualitas pajak dan sanksi pajak bagi pelaku UMKM 1.3.3 Untuk perkembangan pajak pelaku UMKM pada saat pandemic covid 19

1.4 Manfaat Makalah

Diharapkan bahwa makalah perpajakan dengan judul “IMPLIKASI MENGENAI PENGENAAN PAJAK PENGHASIL FINAL TERHADAP USAHA MENENGAH MIKRO KECIL “ memberikan manfaat kepada pembaca terutama dalam memahami tentang usaha menengah mikro kecil dalam system perpajakan

(7)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Kebijakan Pajak Penghasil Final Terhadap Pelaku UMKM

Menurut Endrianto, 2015 menyatakan bahwa dengan melihat besarnya potensi penerimaan pajak dari UMKM yang belum tergali secara maksimal, sejak pada tahun 2012 pemerintah mulai mempersiapkan sebuah peraturan pemerintah yang mengatur sebuah perusahaan atau dalam hal ini wajib pajak dengan penghasilan atau peredaran bruto tertentu. Pada juni 2013 pemerintah mengundangkan peraturan pemerintah atau PP yang menerapkan bahwa pajak 1% bagi UMKM. Peraturan ini dituangkan dalam peraturan Pemerintah pada Nomor 46 Tahun 2013 mengenai pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 yang menerapkan pajak 1% bagi UMKM dinilai sebagai suatu bentu penindasan pemerintah dengan kedok legalisasi penyederhanaan. PPh terhadap pengusaha kecil.

Terdapat materi pokok yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 mengenai PPh yang bersifat final dan penetapan besaran tariff pajak terhadap penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dalam hal ini adalah UMKM. Pengenaan PPh yang bersifat final tersebut ditetapkan dengan berdasarkan pada pertimbangan perlunya kesederhanaan dalam pemungutan pajak. Berkurangnya beban administrasi baik bagi wajib pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak atau DJP. Serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter tujuan pengaturan ini adalah untuk memberikan kemudahan kepada pelaku UMKM sebagai wajib pajak untuk melakukan penghitungan, penyetoran, dan pelaporan PPh yang terutang.

Subjek pajak PP No. 46 Tahun 2013 ini telah diatur dalam pasal 2 yang menyebutkan bahwa atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai pajak penghasilan yang bersifat final wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah wajib pajak yang memenuhi kriteria bahwa wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap dan enerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp. 4.800.000.000 dalam satu tahun pajak

Tidak termasuk wajib pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan atau jasa yang dalam usahanya menggunakan sara atau prasarana yang dapat dibongkar

(8)

pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap atau berpindah-pindah diseluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukan bagi tempat usaha atau berjualan tersebut. Tidak termasuk wajib pajak badan sebagaimana dimaksudkan pada ayat 2 mengenai wajib pajak badan yang belum beroperasi secara komersil dan wajib pajak badan dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp. 4.800.000.000

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ketentuan wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dalam hal ini adalah UMKM. UMKM merupakan bentuk usaha yang mampu menyerap banyak tenaga kerja karena pada umunya UMKM berupa usaha padat karya kemudian pajak penghasilan atau PPh yang dimaksud dalam PP 46 Tahun 2013 dikenakan pada penghasilan Rp. 4.800.000.000 dalam satu tahun pajak dan pajak yang harus dibayar UMKM adalah 1% dari omset tersebut.

Kemudian pengaturan besaran pengenaan tariff pajak bagi UMKM pada PP 46 Tahun 2013 ini diatur dalam pasal 3 yang menyebutkan bahwa besarnya tariff pajak penghasilan yang bersifat final sebagimana dimaksud pada pasal 2 adalah 1%. Pengenaan pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam satu tahun dari tahun pajak terakhir sebelum tahun tahun pajak yang bersangkutan. Apabila peredaran bruto kumulatif wajib pajak pada satu bulan telah melebihi Rp. 4.800.000.000 dalam satu tahun pajak wajib, maka pajak tetap dikenakan tariff pajak penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sampai akhir tahun pajak yang bersangkutan dalam hal peredaran bruto wajib pajak telah melebihi jumlah 4.800.000.000 pada suatu tahun pajak, atas penghasilan yang diterima berikutnya dikenakan tariff pajak penghasilan berdasarkan ketentuan undang-undang pajak penghasilan.

PP No. 46 Tahun 2013 ini mengundang banyak protes dikarenakan sejak pajak 1% ini diterapkan bukan dari laba melainkan dari omset. Setiap UMKM yang ada tentunya memiliki omset penjualan, namun belum tentu setiap bulan akan memiliki laba yang cukup baik terbagi lagi setelah dibebankan pajak sebesar 1%. Apabila dianalisis dengan analisis teori maka keadilan yang dikemukakan oleh Gustav Radbrudh, maka PPh final 1% yang dikenakan kepada UMKM kurang sesuai dengan nilai-nilai keadilan itu sendiri. Sebagai komponen penting di Indonesia UMKM merupakan objek pajak potensial bagi pemerintah mengingat perkembangan UMKM yang begitu pesat. UMKM memiliki peran besar dalam pertumbuhan perekonomian di negara Indonesia.

(9)

Banyak kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kinerja perpajakan, salah satunya yaitu dengan memberlakukannya pajak 1% dari omset yang dihasilkan oleh pelaku UMKM yang dilegitimasi melalui peraturan pemerintah No. 46 Tahun 2013 selain itu PPh 1% ini merupakan bentuk penyederhanaan dalam membayar PPh terutama bagi UMKM yang tidak familiar dengan pembukuan.

Konsep kesederhanaan yang dianut dalam PP No. 46 tahun 2013 merupakan pengecualian dari prinsip-prinsip hukum undang-undang perpajakan. Prinsip utama UU perpajakan yaitu penghasilan. Dengan alas an kesederhanaan bagi wajib pajak yang peredaran usahanya setahun tidak lebih dari Rp. 4.8 Milyar yang dalam sosialisasinya berlaku bagi pelaku UMKM, pajak penghasilan dikenakan berdasarkan peredaran usaha. Permasalahan ini apabila dianalisis melalui teori kepastian hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch telah menimbulkan sebuah ketidakpasian hukum yang seharusnya dianut oleh negara hukum. Alas an demi kesederhanaan telah menimbulkan banyak pasal-pasal dalam UU pajak penghasilan yang dilanggar oleh PP No. 46 Tahun 2013 pengambilan kebijakan perpajakn harus tetap mempertimbangkan asas kepastian hukum baik di bidang perpajakn maupum di bidang lainnya. PP No. 46 Tahun 2013 juga telah melanggar prinsip lex superior derogate legi inferion bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pro dan kontra mengenai PP No. 46 Tahun 2013 sebenarnya telah lama berkembang. Perihal kesamarataan ialah kontra yang berulang kali diungkit karena PPh menurut PP ini tergolong pajak final. Pajak yang bersifat final sendiri dapat diartikan bahwa tidak melihat apakah hasil akhir dari usaha UMKM ini sebagai wajib pajak laba atau rugi. Selama UMKM mempunyai omset penghasilan maka UMKM sebagai wajib pajak harus membayar pajak. Pada saat akhir tahun, penghasilan bersih, satu tahun kurang dari penghasilan tidak kena pajak PTKP, namun wajib pajak yang tergolong UMKM tetap harus membayar. Tidak aneh apabila terjadi keberatan dan mengenai wajib pajak khususnya pelaku UMKM terkait tariff pajak penghasilan PPh 1% dari omset penghasilan.

Pada tahun 2018 Presiden memberikan peluncuran tariff PPh final yang baru dihadapan ribuan pelaku UMKM. Peraturan pemerintah ini diterbitkan sebagai masa pembelajaran bagi wajib pajak yang memiliki peretdaran bruto tertentu untuk dapat menyelenggarakan pembukuan sebelum dikenai PPh final. Sehingga wajib pajak akan lebih mudah dalam melaksanakan dan memenuhi kewajiban perpajakan. Alas an ditentukannya peraturan pemerintah ini untuk mendorong masyarakat agar lebih berperan serta dalam kegiatan ekonomi formal, dengan cara memberikan kemudahan jangka wajtu tertentu kepada wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dalam melaksanakan kewajiban perpajakan bagi pelaku UMKM. Disamping itu, dikeluarkan

(10)

peraturan pemerintah ini diharapkan memberikan keadilan kepada wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang telah mampu melakukan pembukan, sehingga wajib pajak dapat memilih untuk dikenai PPh berdasarkan tariff umum UU pajak penghasilan.

Penetapan besaran tarif bagi pelaku UMKM yang baru tertuang dalam PP No. 23 Tahun 2018 tentang pajak penghasilan atas penghasilan usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Peraturan tersebut menggantikan peraturan sebelumnya yakni PP No. 46 Tahun 2013. Dengan tariff PPh final UMKM sebesar 1% menjadi 0,5%. Pengaturan besaran pengenaan tariff pajak bagi pelaku UMKM pada PP No. 23 Tahun 2018 ini diatur dalam pasal 2 yang menyebutkan. 1) dari usaha yang diperoleh atau diterima wajib pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertetu dikenai pajak penghasilan yang bersifat final dalam jangka waktu tertentu, dan 2) tariff pajak penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sebesar 0,5%. Kemudian pengaturan subjek pajak dari PP 23 tahun 2018 ini diatur dalam pasal 3 ayat 1 yang menyebutkan wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenai. Pajak penghasilan final sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 merupakan, 1) wajib pajak orang pribadi, dan 2) wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, CV, firma, atau perseroan terbatas, yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp. 4,8 milyar dalam satu tahun pajak. Setiap penghasilan yang didapatkan di wilayah NKRI berkewajiban untuk dikenai pajak sesuai peraturan dan ketentuan yang berlaku. Selama hal ini masih tercantum dalam undang-undang perpajakan, maka pajak akan menjadi tanggung jawab setiap jenis penghasilan. Pajak penghasilan pada umumnya didasarkan pada besaran pendapatan atau omzet yang diperoleh wajib pajak perorangan atau badan. Terdapat beberapa kategorisasi tarif pajak yang disesuaikan dengan besaran pendapatan. Semakin besar pendapatan, maka pajak yang ditanggung juga akan semakin besar pula. Logikanya, wajib pajak dengan penghasilan besar memiliki kemampuan membayar pajak yang juga besar.

Namun demikian, hal ini sedikit berbeda dengan UMKM, paling tidak dari sisi batasan penghasilan yang dimiliki dan sifat pajaknya. Jika ketentuan pajak penghasilan pada umumnya menganut sistem pajak progresif, maka pajak untuk UMKM bersifat final. Artinya besaran pajak yang dikenakan akan memiliki nilai sama, hingga pada batas tertentu.

Penegasan hal ini diperjelas dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Regulasi ini sendiri merupakan pengganti peraturan sebelumnya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 yang telah berlaku sejak Juli 2013.

(11)

Perbedaan utama dari kedua regulasi ini adalah tarif yang dikenakan untuk pajak UMKM. Pada peraturan terdahulu, tarifnya adalah 1% dari total omzet yang didapatkan. Pada peraturan terbaru, tarif yang berlaku adalah 0,5% dari omzet yang didapatkan oleh pelaku usaha UMKM. Tentu dengan penurunan tarif ini sedikit banyak mempengaruhi industri UMKM nasional.

UMKM sendiri merupakan satu kategori usaha yang memiliki omzet dibawah Rp4,8 M dalam setahun. Dalam kategori ini, usaha masih digolongkan sebagai UMKM karena dianggap masih dalam masa pertumbuhan sehingga perlu dibantu untuk bisa mengoptimalkan usaha yang dilakukannya.

Selanjutnya untuk usaha kelas menengah, adalah usaha dengan omzet setahun berada di angka Rp4,8 M sampai dengan Rp50 M. Fase kedua dalam dunia usaha ini dianggap telah memiliki sistem yang mulai matang dan siap untuk berkompetisi secara nasional. Beban pajaknya juga tentu berbeda. Pada fase ini, pengusaha bisa mendaftarkan diri menjadi Pengusaha Kena Pajak jika melakukan transaksi barang dan jasa kena pajak yang memiliki kewajiban PPN.

Fase terakhir adalah usaha besar, dengan omzet tahunan berada di atas Rp50 M dalam satu tahun. Usaha atau bisnis dalam skala ini telah memiliki sistem yang solid, pembukuan dan pencatatan yang baik serta tentunya memiliki kewajiban pajak yang cukup tinggi. Karena aturan yang digunakan dalam perpajakan kemudian adalah pajak penghasilan pada umumnya, yang tidak lagi bersifat final.

UMKM Industri dinamis, ika dilihat dari fasenya, UMKM sendiri merupakan fase yang sangat dinamis. Sangat banyak pelaku usaha yang mencoba peruntungannya dengan membuka usaha baru. Usaha ini dimulai dari skala yang cenderung kecil. Selain lebih aman, usaha dalam skala kecil juga bisa digunakan untuk melakukan ‘cek ombak’, atau memeriksa respon masyarakat pada usaha yang dilakukan.

Belakangan ini, kinerja UMKM semakin meningkat karena animo masyarakat generasi muda untuk menjadi pengusaha semakin naik. Hal ini selain dipicu oleh kesempatan luas yang ditawarkan dunia usaha, juga karena pajak yang diberlakukan untuk skala UMKM sangat rendah. Misalnya usaha tidak menunjukkan hasil baik pada beberapa waktu, beban pajak yang ditanggung tidak akan terlalu memberatkan. Namun demikian, dinamika skala UMKM juga sangatlah besar. Besarnya jumlah usaha rintisan yang dilakukan oleh anak muda tentu akan berbanding lurus pada tingkat kegagalan yang terjadi pada skala ini. Sekali lagi, ini merupakan fase awal dari usaha yang didirikan, sehingga memang resiko yang ada cenderung besar dalam hal keberhasilan usaha yang dilakukan.

(12)

Dalam persiapan pengenaan pajak tariff umum, Dalam masa pemberlakuan pajak final di atas (7 tahun untuk orang pribadi, 4 dan 3 tahun untuk wajib pajak badan) menjadi kesempatan pelaku usaha untuk mengeksplorasi bidang yang dijalankan. Waktu ini juga digunakan untuk mempersiapkan diri melangkah pada fase selanjutnya, masuk ke kategori usaha menengah. Tentu dengan syarat usaha yang dirintis berhasil berkembang. Pajak penghasilan final bersifat 0,5% sendiri merupakan upaya nyata dari pemerintah untuk mendukung perkembangan industri UMKM di Indonesia. Dengan penerapan pajak yang kecil, UMKM bisa lebih fokus untuk mengembangkan usahanya, tanpa dibebani oleh kewajiban pajak yang terlalu besar dan mungkin memberatkan.

Lalu kenapa tidak diberlakukan pajak 0% saja? Hal ini karena jumlah industri UMKM di Indonesia sangat besar, dan akan menjadi kerugian negara jika tidak ada pajak masuk dari sektor ini. Penerimaan negara terbesar berasal dari sektor pajak, dan UMKM memiliki porsi yang cukup signifikan pada penerimaan negara ini. Memang jika dilihat secara sempit, hanya sebesar 0,5%. Namun jika dikalikan dengan jumlah UMKM yang besar, maka penerimaan negara dari sektor ini tidak dapat disepelekan.

Kebijakan penurunan PPh final bagi pelaku UMKM merupakan salah satu fasilitas fiskal yang diberikan oleh pemerintah kepada pelaku UMKM untuk mendorong potensi atau aktivitas sector UMKM namun juga akan mengurangi potensi penerimaan pajak pada jangka pendek. Pengenaan tariff pajak bersifat final lama bgi UMKM dan sering dikeluhkan oleh pelaku UMKM. Kebijakan penurunan PPh bagi UMKM memberikan keringanan pajak bagi pelaku UMKM dengan potongan pajak sebesar 0,5%. Dari seisi pelaku usaha, penurunan tariff baru diharapkan menstimulasi munculnya pelaku UMKM baru untuk berkembang dan memberikan ruang finansial atau kesempatan berusaha dengan berkurangnya beban biaya UMKM untuk dapat digunakan dalam menumbuhkan usaha. Terhadap kebijakan perubahan pengenaan tariff PPh final bagi pelaku UMKM tersebut, ada beberapa hal lain yang juga perlu mendapat perhatian khusus yang dapat ditinjau dari hal dibawah ini:

a) Tarif PPh Final bersifat Opsional

Pada ketentuan PP No. 23 Tahun 2018 ini bersifat opsional karena wajib pajak badan dapat memilih untuk mengikuti skema tariff PPh final 0,5% ataupun menggunakan skema normal sebagaimana diatur pada pasal 17 UU tentang pajak penghasilan. Sifat opsional ini dapat memberikan keuntungan bagi wajib pajak badan terutama badan yang telah melakukan pembukuan dengan baik.

b) Pengenaan tariff PPh final 0,5% memiliki batas waktu

Kebijakan tentang penurunan PPh 0,5% memiliki batas waktu dan hal ini merupakan pembeda dengan peraturan sebelumnya. Adapun rinciannya pada pasal 5 ayat 1 PP No. 23 tahun 2018 adalah sebagai berikut: a) 4 tahun pajak bagi wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer atau

(13)

yang lebih dikenal dengan CV, firma, dan b) 3 tahun pajak bagi wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas atau PT.

Selanjutnya pada pasal 5 ayat 2 PP No. 23 tahun 2018 menyebutkan jangka waktu diatas terhitung sejak tahun pajak wajib pajak terdaftar, bagi wajib pajak yang terdaftar sejak berlakunya PP No. 23 tahun 2018 atau tahun pajak berlakunya PP No. 23 tahun 2018. Bagi wajib pajak yang telah terdaftar sebelum berlakunya PP No. 23 tahun 2018 ini. Setelah batas waktu tersebut berakhir, wajib pajak akan kembali menggunakan skema tariff normal sebagaimana diatur dalam pasal 17 UU pajak penghasilan dan hal ini bertujuan untuk mendorong wajib pajak agar menyelenggarakan pembukan dan pengembangan usaha.

c) Berpenghasilan dibawah 4,8 milyar

Ambang batas penghasilan wajib pajak yang dikenai PPh final dalam PP No. 23 tahun 2018 tidak berubah. Yakni senilai 4,8 milyar dalam satu tahun pajak. Ketentuan besaran ambang batas penghasilan ini diatur dalam pasal 3 ayat 1 PP No. 23 tahun 2018

d) Terdapat wajib pajak yang tidak dapat memanfaatkan PPh final 0,5%

Berdasarkan pasal 3 ayat 1 kriteria dan sasaran wajib pajak PPh final pada PP No. 23 tahun 2018 yang dapat memanfaatkan tariff final adalah wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan yang berbentuk koperasi, persekutuan komanditer atau CV, firma atau PT yang menerima atau memperoleh penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto bruto di bawah 4,8 milyar

e) Wajib pajak perlu mengajukan diri jika ingin menggunakan skema tariff normal

Wajib pajak yang tidak ingin berstatus sebagai wajib pajak PPh final 0,5% harus terlebih dahulu mengajukan pemohonan tertulis kepada ditijen pajak. Selanjutnya ditjen pajak akan memberikan surat keterangan yang menyatakan bahwa anda merupakan wajib pajak yang dikenai skema tariff normal sesuai dengan pasal 17 UU pajak penghasilan. Bagi wajib pajak yang sudah memilih untuk dikenai PPh dengan skema tariff normal tidak dapat memilih untuk dikenakan skema PPh 0,5%

(14)

2.2 Kualitas Pelayanan Pajak serta Sanksi Perpajakan

Pelayanan sendiri pada sektor perpajakan dapat diartikan sebagai pelayanan yang diberikan kepada Wajib Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk membantu Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakannya. Pelayanan pajak termasuk dalam pelayanan publik karena: dijalankan oleh instansi pemerintah, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan undang-undang dan tidak berorientasi pada profit atau laba. Ada lima dimensi kualitas pelayanan jasa yang dapat dirincikan sebagai berikut: tangibles, atau bukti fisik, reliability, atau keandalan responsiveness, atau ketanggapan, assurance, atau jaminan dan empathy, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi. Menurut Risnawati dan Suhayati (2009), Direktorat Jendral Pajak perlu meningkatkan pelayanan pajak yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, agar menunjang kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, dan tercapainya tujuan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan dan roda pemerintah berjalan dengan baik. Melalui Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak No. SE-84/PJ/2011 tentang Pelayanan Prima ditegaskan beberapa ketentuan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan petugas pajak kepada Wajib Pajak yaitu sebagai berikut :

a) Waktu pelayanan adalah pukul 08.00 sampai dengan 16.00 waktu setempat

b) Pegawai yang berhubungan langsung dengan Wajib Pajak harus menjaga sopan santun dan perilaku, ramah, tanggap, cermat dan cepat serta tidak mempersulit layanan, dengan cara: bersikap hormat dan rendah hati terhadap tamu, petugas selalu berpakaian rapi dan bersepatu, selalu bersikap ramah, memberikan 3S (Senyum, Sapa dan Salam), mengenakan kartu identitas pegawai, mendengarkan dengan baik apa yang diutarakan oleh Wajib Pajak, tidak melakukan aktivitas lain misalnya menjawab panggilan telepon, makan dan minum atau mendengarkan musik saat memberi pelayanan danapabila masih terdapat layanan yang perlu dilakukan konfirmasi sehingga Wajib Pajak tidak menunggu terlalu lama, petugas dapat meminta nomor telepon Wajib Pajak untuk dihubungi kembali.

c) Dalam merespon permasalahan dan memberikan informasi kepada Wajib Pajak, seharusnya: Petugas memberikan informasi/penjelasan secara lengkap dan jelas sehingga Wajib Pajak dapat mengerti dengan baik, untuk lebih menyakinkan Wajib Pajak, petugas dapat menggunakan brosur/buku petunjuk teknis pelayanan, apabila petugas belum yakin terhadap permasalahan yang ditanganinya, segera diinformasikan ke petugas lain, supervisor atau atasan yang bersangkutan dan memberitahukan permasalahan yang disampaikan Wajib Pajak agar Wajib Pajak tidak ditanyai berkali-kali, setiap tamu yang datang,harus ada petugas keamanan yang menyambut, menanyakan keperluan dan mempersilahkan tamu dengan sopan untuk mengambil nomor antrian.

d) Akan lebih baik bila petugas dapat menjelaskan berapa lama Wajib Pajak harus menunggu.

(15)

e) Bila petugas terpaksa tidak dapat menerima laporan atau surat yang disampaikan oleh Wajib Pajak misalnya karena kurang lengkap, maka petugas harus menjelaskannya secara jelas dan ramah sampai Wajib Pajak memahami dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Andriana (2011) menunjukkan bahwa pengaruh kualitas pelayanan pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Pengaruh sanksi perpajakan sendiri terhadap biaya kepatuhan pajak telah dicantumkan Dalam undang-undang perpajakan dikenal dua macam sanksi, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi dapat dijatuhkan apabila Wajib Pajak melakukan pelanggaran, terutama atas kewajiban yang ditentukan dalam UndangUndang No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dapat berupa sanksi administrasi bunga, denda dan kenaikan. Sedangkan sanksi pidana dapat hukuman kurungan dan hukuman penjara (Rahayu, 2010:13).

Menurut Resmi (2008:71), sanksi perpajakan terjadi karena terdapat pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan dimana semakin besar kesalahan yang dilakukan seorang Wajib Pajak, maka sanksi yang diberikan juga akan semakin berat. Contoh pelanggaran yang sering dilakukan adalah keterlambatan dalam membayar pajak, kurang bayar dan kesalahan dalam pengisian SPT. Menurut Nugroho (2006) ,Wajib Pajak akan memenuhi kewajiban perpajakannya apabila memandang bahwa sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikannya. Di samping itu, menurut Gatot S. M Faisal (2009:37) menyatakan bahwa walaupun ada potensi penerimaan Negara pada setiap sanksi, namun motivasi penerapan sanksi adalah agar Wajib Pajak patuh melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Yadnyana (2009) dalam penelitiannya mengukur pandangan terhadap sanksi perpajakan menggunakan indikator sebagai berikut: 1. Sanksi pidana yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak memberatkan. 2. Sanksi administrasi yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak memberatkan. 3. Pengenaan sanksi yang cukup berat merupakan salah satu sarana untuk mendidik Wajib Pajak. 4. Sanksi pajak harus dikenakan kepada pelanggarnya tanpa toleransi. Jadi dapat disimpulkan bahwa persepsi atas sanksi perpajakan merupakan gambaran yang terstruktur dan bermakna pada hukuman yang dikenakan kepada Wajib Pajak yang tidak mengikuti ketentuan perundangundangan. Didukung pula dengan adanya penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Muliary dan Ery (2006), dimana hasil penelitian tersebut menyatakan persepsi tentang sanksi perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan pelaporan Wajib Pajak orang pribadi dan penelitian Karsimiati yang menunjukkan bahwa sikap wajib pajak terhadap sanksi denda berpengaruh negatif terhadap kepatuhan Wajib Pajak, maka penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut: H0: Sanksi Perpajakan secara parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak UMKM. H2: Sanksi Perpajakan secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak UMKM. Pengaruh Biaya Kepatuhan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak UMKM Compliance cost adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak dalam rangka

(16)

melakukan pemenuhan kewajiban pajak. Biaya kepatuhan pajak terbagi atas 3 yaitu direct money cost, time cost dan psychological cost. Besarnya biaya-biaya yang harus dikeluarkan Wajib Pajak dalam menyelenggarakan kewajiban perpajakannya, turut menentukan tingkat kepatuhan perpajakan. Compliance cost meliputi biayabiaya yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Direct money cost adalah biaya-biaya cash money (uang tunai) yang dikeluarkan Wajib Pajak dalam rangka pemenuhan kewajiban pajak, seperti pembayaran kepada konsultan pajak dan biaya perjalanan ke bank untuk melakukan penyetoran pajak. Sandford mengelompokkan direct money cost sebagai biaya yang timbul sebagai dari adanya sistem pemungutan pajak self assessment. Time cost adalah waktu yang terpakai oleh Wajib Pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban pajak, antara lain waktu yang digunakan untuk membaca formulir SPT dan buku petunjuknya, waktu yang digunakan untuk berkonsultasi dengan akuntan atau konsultan pajak dalam mengisi SPT, dan waktu yang digunakan untuk pergi dan pulang ke kantor pajak.

Psychological cost meliputi ketidakpuasan, rasa frustasi, serta keresahan Wajib Pajak dalam berinteraksi dengan sistem dan otoritas pajak. Pendapat senada disampaikan oleh Sandford yang mengatakan bahwa psychological cost adalah rasa stress dan berbagai rasa takut atau cemas karena melakukan tax evasion. Biaya kepatuhan pajak merupakan biayabiaya yang ditanggung oleh wajib pajak terkait dengan pemenuhan kewajiban pajak. Karena Wajib Pajak telah berusaha patuh untuk membayar pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, maka Wajib Pajak berharap agar dapat mengeluarkan biayabiaya seminimal mungkin yang terkait dengan pemenuhan kewajiban pajaknya, meliputi direct money cost maupun time cost dan psychological cost. Namun, apabila jumlah biaya kepatuhan pajak yang dikeluarkan lebih besar daripada ekspektasi wajib pajak, maka timbul potensi dalam diri Wajib Pajak untuk menjadi tidak patuh dalam melakukan pemenuhan kewajiban pajaknya. Pada penelitian ini indikator untuk mengukur biaya kepatuhan pajak adalah direct money cost dan time cost. Psychological cost tidak digunakan sebagai indikator karena memiliki sifat berbanding terbalik dengan direct money cost dan time cost. Berdasarkan pernyataan sebelumnya dan penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo (2008) di mana hasil penelitiannya menyatakan bahwa biaya kepatuhan pajak berpengaruh negatif terhadap kepatuhan Wajib Pajak, maka penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut: H0: Biaya Kepatuhan Pajak secara parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak UMKM. H3: Biaya Kepatuhan Pajak secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak bagi pelaku UMKM

Pajak mempunyai pengaruh positif terhadap kepatuhan pajak. Hal ini disebabkan karena kepatuhan pajak sangat dipengaruhi oleh pengetahuan pajak yang dimiliki oleh masingmasing wajib pajak. Sesuai dengan prinsip self assessment system maka wajib pajak dituntut untuk berperan aktif dalam menjalankan kewajiban

(17)

perpajakannya masingmasing. Pengetahuan pajak yang setidaknya harus dimiliki oleh wajib pajak antara lain pengetahuan tentang ketentuan dan tata cara perpajakan Pemahaman terhadap peraturan tersebut menjadikan wajib pajak patuh terhadap pajak karena didalam peraturan tersebut memuat tentang hak dan kewajiban dari masing masing wajib pajak. Selain itu pengetahuan tentang mekanisme pelaporan pajak mulai dari menghitung, menyetorkan, sampai pada melaporkan menjadi faktor kunci dari ketaatan wajib pajak. Bisa dibayangkan jika wajib pajak tidak mempunyai pengetahuan tentang bagaimana pajak itu dilaporkan hingga manfaat apa yang didapatkan dari pajak maka prinsip self assessment system menjadi tidak berjalan dengan baik yang mempunyai konsekuensi ketaatan wajib pajak menjadi rendah.

sanksi pajak mempunyai pengaruh positif terhadap kepatuhan Pajak. Hal ini disebabkan karena wajib pajak cenderung takut jika mendengar kata sanksi. Sanksi yang diterima adalah bagian dari pelanggaran yang telah dilakukan dan biasanya akan mempunyai konsekuensi hukum. Penerapan atau pemberian sanksi kepada seseorang yang tidak patuh untuk menjalankan kewajiban perpajakan bisa menjadi salah satu faktor yang mendukung atau meningkatkan kepatuhan pajak. terlebih lagi bagi pelaku UMKM yang berorientasi pada uang. Pelaku UMKM akan merasa takut jika ditemukan suatu pelanggaran atas ketidakpatuhan terhadap pajak yang mungkin bisa saja mempunyai potensi untuk kehilangan sejumlah uang sebagai bagian dari hukuman atas ketidakpatuhan terhadap pajak tersebut. Hukuman berupa denda atau penjara cukup menjadi dasar pertimbangan bagi wajib pajak untuk tidak lalai dalam kewajiban perpajakan sehingga ancaman tersebut akan manjadi faktor bagi seseorang untuk taat dalam menjalankan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan perundang undangan yang berlaku di Indonesia.

modernisasi sistem mempunyai pengaruh yang positif terhadap perilaku kepatuhan pajak. Hal ini disebabkan karena seseorang beranggapan bahwa sistem pelaporan pajak haruslah yang mudah baik mudah dimengerti maupun mudah dijalankan. Bagi sebagaian wajib pajak proses pelaporan pajak mulai dari menghitung, menyetorkan, hingga melaporkan dianggap menyusahkan dan membuang buang waktu. Terlebih lagi bagi wajib pajak UMKM yang sebagian

waktunya dihabiskan untuk urusan bisnis. Kemudahan dalam menjalankan sistem perpajakan dapat membantu juga dalam meningkatkan partisipasi kepatuhan pajak bagi pelaku UMKM. Pada era kemajuan teknologi seperti saat ini sistem pelaporan pajak dituntut

cepat tanpa membuat seseorang merasa enggan untuk taat terhadap kewajiban perpajakannya. Hal ini ditunjang juga dengan penerapan prinsip self assessment system yang mewajibkan seorang wajib pajak untuk aktif menjalankan kewajiban perpajakan masing- masing. Pada waktu lalu proses pelaporan pajak

(18)

membutuhkan waktu yang lama dikarenakan harus datang dan mengantri di Kantor Pelayanan Pajak. Akan tetapi dengan perkembangan teknologi saat ini proses pelaporan pajak menjadi lebih efektif dan efisien. Seorang wajib pajak yang tidak mempunyai cukup waktu dapat memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut untuk melaporkan pajak. Hal ini yang menjadi pertimbangan bagi kebanyakan pelaku UMKM yang tidak mempunyai waktu lebih untuk datang dan mengantri di Kantor Pelayanan Pajak. Selain proses pelaporan pajak yang semakin mudah dan cepat, proses penyetoran atau pembayaran pajak juga semakin mudah. Wajib pajak cukup memanfaatkan kemajuan teknologi dalam penyetoran atau pembayaran pajak, misalkan lewat ATM atau memakai internet banking atau mobile banking. Faktorfaktor itulah yang dapat menjadikan kepatuhan wajib pajak UMKM meningkat.

(19)

2.3 Pengaruh Pajak Penghasilan Bersifat Final Bagi Pelaku UMKM pada saat pandemic covid 19

covid-19 membuat aktivitas ekonomi terganggu, beberapa usaha bahkan tidak bisa bertahan di tengah pandemi Covid-19. Banyak usaha yang gulung tikar tetapi ada juga usaha yang berkembang karena pandemi ini. Membantu usaha-usaha yang terkena dampak Covid-19 untuk bangkit, pemerintah memberikan fasilitas insentif pajak yang dapat dimanfaatkan pelaku usaha sektor tertentu.

Indonesia mulai mengonfirmasi kasus Covid-19 pada awal Maret 2020. Sejak saat itu, berbagai upaya penanggulangan dampak Covid-19 terus dilakukan pemerintah di berbagai sektor, termasuk sektor perekonomian.

Pemerintah telah membuat berbagai kebijakan untuk meningkatkan stabilitas ekonomi nasional. Salah satunya dengan memberikan insentif pajak bagi dunia usaha. Pemerintah telah menganggarkan insentif Covid-19 sebesar Rp 2,4 triliun, namun sampai dengan saat ini pemanfaatnnya masih belum maksimal. Hingga Juni 2020 baru 200.000 Wajib Pajak UMKM yang telah memanfaatkan fasilitas insentif pajak dari total 67 juta UMKM yang terdaftar. Pemerintah mencatat pandemi Covid-19 telah menyebabkan omzet usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mengalami penurunan hingga 30% dari kondisi normal.Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan penurunan omzet hingga 30% tersebut terjadi untuk 63,9% dari 64,2 juta UMKM di Indonesia. Menurutnya, hanya 3,8% UMKM yang benar-benar mampu bertahan dan meningkatkan omzetnya saat pandemi.

Pajak sebagai salah satu instrumen pemulihan ekonomi memiliki dua peran penting, yaitu sebagai instrumen untuk menjaga stabilitas dan pemulihan ekonomi serta untuk memenuhi target penerimaan pajak. Pemerintah memberikan insentif pajak untuk mendukung keberlangsungan usaha selama pandemi Covid-19.

Pada saat ini seluruh negara dibelahan dunia manapun tengah dilanda wabah Novel Corona Virus Disease 19 (Covid-19). Wabah yang telah melanda seluruh belahan negara ini disebut dengan pandemi. Pandemi ini dinyatakan belum diketahui kapan akan berakhir. Dengan adanya pandemi ini seluruh negara dilanda berbagai efek atau dampak yang mempengaruhi sistem ketatanegaraan. Secara makro, dampak dari pandemi ini akan mengganggu jalannya roda pemerintahan. Seperti yang kita ketahui pandemi ini mempengaruhi perekonomian secara global, tidak hanya di Indonesia saja. Dalam mengatasi hal ini pemerintah telah sigap untuk mengeluarkan berbagai kebijakan. Menurut data yang berasal dari Kementerian Keuangan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 diperkirakan akan menjadi lebih lambat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut sangat terasa pada triwulan II dan III. Selain itu, social distancing sebagai sebuah upaya untuk memutus

(20)

rantai menyebarnya covid-19 telah membuat penurunan pada aktivitas ekonomi dan produktivitas pelaku usaha yang menimbulkan penurunan pada penerimaan pajak.

Menurut Fairuq (2018) menjelaskan bahwa pajak merupakan salah satu bentuk pendapatan negara yang menyumbang persentase terbesar dibandingkan dengan sektor pendapatan lain seperti minyak dan gas (migas) serta non-migas. Keberhasilan suatu negara dalam mengumpulkan pajak dari warga negaranya dipastikan akan bermanfaat bagi stabilitas ekonomi negara yang bersangkutan. Sumber pendapatan negara dari pajak telah menjadiunsur utama dalam menunjang kegiatan perekonomian, menggerakkan roda pemerintahan dan penyediaan fasilitas umum bagi masyarakat. Bahkan pada beberapa Tahun belakangan ini, pajak memenuhi kurang lebih 70 persen penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini menunjukkan peranan pajak dalam mewujudkan stabilitas roda kehidupan negeri ini harus semakin ditingkatkan, mengingat semakin tingginya tuntutan kebutuhan dan semakin kompleksnya tantangan zaman modern

Menurut Simanjuntak, dkk, (2012) Salah satu ukuran keberhasilan suatu kebijakan perpajakan dapat dilihat dari kecenderungan peningkatan hasil penerimaan negara dari sektor perpajakan dalam satu periode melalui upaya ekstensifikasi yaitu upaya meningkatkan penerimaan pajak dengan cara menambah jumlah Wajib Pajak (WP) yang belum terdaftar atau menambah jumlah jenis pajak yang baru. Sedangkan yang dimaksud upaya intensifikasi adalah meningkatkan penerimaan pajak dari WP yang sudah terdaftar. Kedua metode tersebut cara efisien untuk meningkatkan kepatuhan pajak masyarakat, perbaikan pelayanan pajak, dan lain-lain. Farouq (2018: 3) berpendapat Kepatuhan WP merupakan salah satu kunci keberhasilan pemerintah dalam menghimpun penerimaan pajak, bukan sekedar menonjolkan aspek pemungutan pajak yang bersifat “memaksa”, tetapi juga harus diikuti dengan serangkaian regulasi, prosedur dan pelayanan administrasi yang jelas dan berkelas. Menurut Miladia (2010) dalam Maharani (2015) agar target pajak tercapai, diperlukan kesadaran dan kepatuhan WP untuk memenuhi kewajiban pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal itu merupakan suatu faktor yang penting bagi peningkatan penerimaan pajak, sehingga perlu secara rutin dikaji mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan WP. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan salah satu bagian terpenting dalam perekonomian kerakyatan yang terkena dampak besar adanya penyebaran pandemi Covid 19 ini. Diantaranya penurunan permintaan, pemasaran produk, akses bahan baku dan masih rendahnya SDM. Sehingga hal ini berdampak terhadap turunnya tingkat penjualan bahkan banyak UMKM yang gulung tikar.

(21)

Ketika hal ini terjadi, maka secara langsung akan membuat UMKM akan menurunkan tingkat biaya yang menjadi beban perusahaan. Salah satunya adalah beban pajak. Sehingga hal ini mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan stimulus untuk mendongkrak UMKM untuk tetap going concern melalui penurunan nilai tarif pajak UMKM. Sehingga tingkat kepatuhan UMKM untuk membayar pajak tetap terjaga. di suatu wilayah maupun suatu Negara. Usaha kecil dan menengah sangat berperan dalam perekonomian Indonesia, sebagai contoh usaha kecil dan menengah sangat berperan penting pada saat terjadinya krisis moneter tahun 1998 dan dipandang sebagai suatu penyelamat dalam proses perekonomian Indonesia, mendorong laju pertumbuhan ekonomi maupun penyerapan tenaga kerja, (Maharani, 2015). Pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Semarang Tengah Dua menggelar Kegiatan Program Business Development Service (BDS) untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang bertujuan agar usaha yang dikelola WP dapat berkembang pesat khususnya melalui pemasaran online. Pada kegiatan tersebut, diberikan edukasi pajak mengenai turunnya tarif pajak UMKM terbaru dari 1 persen menjadi 0,5 persen sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 yang berlaku mulai 1 Juli 2018. Dengan turunnya tarif UMKM ini, diharapkan adanya kepatuhan WP dalam membayar pajak untuk negara.

(22)

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) adalah salah satu sektor perekonomian yang memiliki potensi besar sebagai sumber pendapatan negara melalui pemungutan pajak. Untuk itu pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah yang mengatur tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final kepada UMKM. adanya kebijakan mengenai tarif pajak penghasilan UMKM sebesar 1% melalui Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 2013. Namun, berlakunya peraturan ini mengalami pro dan kontra dikalangan masyarakat. Akibatnya pada tahun 2018 pemerintah merubah besaran tarif pajak sebesar 0,5% melalui Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2018. Kebijakan mengenai penurunan tarif pajak penghasilan bagi UMKM ini memberikan pengaruh terhadap tingkat kepatuhan UMKM sebagai Wajib Pajak.

3.2 Saran

Saran mengenai UMKM yaitu Kepada Pemerintah diharapkan untuk mengoptimalkan upaya- upaya dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, dan meginformasikan kebijakan penurunan PPh final 0,5% kepada pelaku usaha UMKM selaku Wajib Pajak terutama pada saat pandemic covid 19 ini. Dengan optimalisasi upaya-upaya untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara dari pajak yang akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat.

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Wibowo, Susanto, dkk. 2020. Mekanisme Perpajakan d i E ra New Normal Bagi Pelaku UMKM Pada Program Abdimas. Medan: Yayasan Kita Menulis

Listyowati. 2021. Kepatuhan W ajib Pajak UMKM d i Masa Pandemi Covid 1 9 . Jurnal Akuntansi Indonesia. 10(1),43

Cahyani, N Noviary. 2019. Pengaruh Tarif Pajak, Pemahaman Pajak, d a n Sanksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan W ajib Pajak UMKM. E-Jurnal Akuntansi. 26(3)

Indrawan, Rizki. 2018. Pengaruh Pemahaman Pajak d a n Pengetahuan Pajak Terhadap Kepatuhan W ajib Pajak UMKM. Jurnal Riset dan Akuntansi Keuangan. 6(3)

Endriyanto, W. 2015. Prinsip Keadilan Dalam Pajak Atas UMKM. Binus Bussiness Review. 6(2)

https://www.pajak.go.id/id/artikel/lima-insentif-pajak-untuk-pelaku-usaha (diakses pada tanggal 5 mei 2021)

Referensi

Dokumen terkait

Vitiligo adalah suatu kelainan kulit akibat gangguan pigmentasi (hipomelanosis) idiopatik yang ditandai dengan adanya makula putih yang dapat meluas.. Dapat mengenai seluruh

Pengaruh lingkungan kerja merupakan suatu hal yang tidak boleh dikesampingkan oleh perusahaan maupun suatu organisasi karena akan berdampak pada kinerja anggota

Di Perpustakaan Nasional Penulis menemukan tesis yang berjudul Modernisasi Priyayi, sementara di Arsip Nasional peneliti menemukan beberapa arsip mengenai kehidupan tokoh

Menurut Kasmir (2008) analisis rasio CAMEL yaitu suatu analisis keuangan bank dan alat untuk pengukuran kinerja bank yang telah ditetapkan oleh bank untuk

Walaupun sudah sering berinteraksi dengan anak-anak lain dan orang tuanya, kebiasaan anak untuk bermain sendiri masih tetap ada, terutama bila dia tidak tahu apa yang harus

Pardee (1969) mengusulkan super goal (sasaran super) sebagai atribut acuan dalam masalah pengambilan keputusan dengan tujuan jamak.. Super goal merupakan atribut yang

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi korelasi antara sertifikasi guru dan motivasi kerja guru terhadap kinerja guru di Sekolah Dasar Negeri

Fungsi utama hati dalam metabolisme lemak adalah untuk memecah asam lemak menjadi senyawa kecil yang dapat dipakai untuk energi, untuk mensintesis trigliserida,