• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASPEK SOSIAL DALAM PENDIDIKAN. Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh 2Dosen Tetap Universitas Islam Negeri (UIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ASPEK SOSIAL DALAM PENDIDIKAN. Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh 2Dosen Tetap Universitas Islam Negeri (UIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK SOSIAL DALAM PENDIDIKAN 1Wahyu Khafidah, 2Maryani

1Dosen Fakultas Agama Islam Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh

2Dosen Tetap Universitas Islam Negeri (UIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Email. wahyukhafidah@serambimekkah.ac.id, maryani@uinjambi.ac.id

ABSTRAK

Manusia sebagai makhluk sosial, fitrah yang berpotensi manusia yang dibawa sejak lahir baru dapat dan bisa berkembang dalam pergaulan hidupnya, sebagaimana firman Allah QS. Al-Hujurat ayat 13. Dimensi- dimensi sosial pendidikan yang dibicarakan dalam aspek- aspek sosial pendidikan adalah: a. Aspek sosial yang ditanamkan oleh pendidikan yang berlaku di sekolah. seperti pewarisan budaya dari generasi tua ke generasi muda. pewarisan nilai-nilai seperrti: kejujuran, solidaritas, gotong royong, karena nilai-nilai-nilai-nilai itu sebagai pemersatu dalam masyarakat. b. Aspek sosial yang kedua yang mempengaruhi pendidikan adalah ciri-ciri budaya yang dominan pada kawasan-kawasan tertentu di mana sekolah-sekolah itu wujud. c. Aspek sosial ketiga yang memainkan peranan pada pendidikan yaitu faktor-faktor organisasi, dan segi birokrasi. d. Aspek sosial keempat yang terpenting mempengaruhi pendidikan adalah sistem pendidikan itu sendiri. Ada tiga pola kegiatan sosial dalam pendidikan yaitu: (a) pola nomothetis. (b) pola idiografis. (c) pola transaksional.

(2)

A. Pendahuluan

Istilah sosial sering dikaitkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan manusia dalam masyarakat, suatu sifat yang mengarah pada rasa empati terhadap kehidupan manusia sehingga memunculkan sifat tolong-menolong, membantu dari yang kuat terhadap yang lemah, mengalah terhadap orang lain, sehingga sering dikatakan mempunyai jiwa sosial yang tinggi.

Sosial adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai acuan dalam berinteraksi antar manusia dalam konteks masyarakat atau komuniti, sebagai acuan berarti sosial bersifat abstrak yang berisi simbol-simbol berkaitan dengan pemahaman terhadap lingkungan, dan berfungsi untuk mengatur tindakan-tindakan yang dimunculkan oleh individu-individu sebagai anggota suatu masyarakat (Bambang Rudito, 2013: 39). Dengan demikian, sosial harus mencakup lebih dari seorang individu yang terikat pada satu kesatuan interaksi, karena lebih dari seorang individu berarti terdapat hak dan kewajiban dari masing-masing individu yang saling berfungsi satu dengan yang lainnya.

Secara filosofis tanggungjawab pendidikan melekat pada keluarga, masyarakat dan pemerintah. Dalam kontek Negara pendidikan merupakan hak setiap warga Negara, mengandung makna bahwa Negara berkewajiban memberikan layanan pendidikan kepada warganya. Karena itu pengelolaan sistem pembangunan pendidikan harus didesain dan dilaksanakan secara bermutu, efektif dan efesien. Pelayanan pendidikan harus berorientasi pada upaya peningkatan akses yang seluas-luasnya bagi warga masyarakat.

Masalah sosial rasanya bukan suatu yang ganjil lagi, kata-kata itu sudah sangat umum sekali didengar dalam kehidupan sehari-hari. masalah sosial seringkali hadir, bahkan banyak kejadian yang ada di

(3)

sekitar kita sering disebut dengan masalah sosial apabila berkenaan dengan kehidupan manusia (Bambang Rudito, 2013: 49).

Pendidikan akan melahirkan insan terpelajar yang mempunyai peranan penting dalam proses tranformasi sosial di dalam masyarakat. Pendidikan menjadi faktor determinan dalam mendorong percepatan mobilitas vertikal dan horizontal masyarakat, yang mengarah pada pembentukan konstruksi sosial baru. Konstruksi sosial baru ini terdiri atas lapisan masyarakat kelas menengah terdidik, yang menjadi elemen penting dalam memperkuat daya rekatsosial (social cohesion). Pendidikan yang melahirkan lapisan masyarakat terdidik itu menjadi kekuatan perekat yang menautkan unit-unit sosial dalam masyarakat yang kemudian menjelma dalam bentuk organisasi besar berupa lembaga Negara (Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI, 2012: 329).

Dengan demikian, pendidikan dapat memberikan sumbangan penting pada upaya memantapkan integrasi sosial untuk terwujudnya integrasi nasional. Pembangunan pendidikan merupakan fondasi untuk melaksanakan pembangunan dalam berbagai bidang lainnya mengingat secara hakiki upaya pembangunan pendidikan adalah untuk membangunan potensi manusianya yang kelak akan menjadi pelaku pembangunan di berbagai bidang pembangunan lainnya. B. Manusia Sebagai Makhluk Sosial

Mendalami kehidupan manusia, bukanlah merupakan pekerjaan dan tugas yang sederhana. Mendalami kehidupan manusia memerlukan kemampuan filospofik, kemampuan teoritik, dan kemampuan praktik (Nursid Sumaatmadja, 2006: 4). Memahami tingkah laku dan tindakan manusia, tidak hanya terbatas kepada apa yang kelihatan dari luar sehari-harinya.

(4)

Sebagaimana diketahui bahwa manusia adalah makhluk sosial (soscial being atau homo saphiens). Kita sebagai manusia dilahirkan ke alam dunia ini dalam kondisi yang lemah, tidak berdaya. Maka dia tidak akan sanggup melangsungkan hidupnya tanpa bantuan orang lain. Fitrah adalah sebuah potensi manusia yang dibawa semenjak lahir, baru dapat dan bisa berkembang dalam pergaulan hidupnya, dan manusia yang dilahirkan itu tidak akan menjadi manusia tanpa pengembangan potensi tersebut sebagaimana yang dikehendaki oleh ajaran Islam. Di antara nash yang menyatakan demikian, dapat dipahami dari surat Al-Hujurat ayat 13, yaitu artinya: Hai manusia,

Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal (QS. Al-Hujarat: 13).

Berdasarkan nash tersebut dapat disinyalir bahwa betapa pentingnya memperdayakan masyarakat dengan berbagai upaya, yang pertama adalah mengembangkan potensinya. Potensi tersebut dapat dikembangkan adalah melalui pendidikan. Dengan pendidikan, manusia akan berwawasan, mempunyai bermacam ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang menjadikan seseorang dapat diperdayakan untuk bermacam-macam kepentingan, baik yang berhubungan dengan pribadinya maupun berkaitan dengan masyarakat. Kedua, dengan jalan sosialitas manusia (social being), dalam ajaran Islam inilah yang dikenal dengan ta’arafu-berkenalan, menjalin hubungan secara baik. Keadaan seperti itulah yang dikehendaki oleh ajaran Islam sekaligus memperdayakan masyarakat untuk mencapai suatu tujuan, khususnya dalam mengelola pendidikan.

Teori strukturalisme fungsional pada mulanya diilhami oleh para pemikir klasik, di antaranya Socrates, Plato, Auguste Comte,

(5)

Spencer, Durkheim. Para pemikir ini menganut konsep utilitarian yang menganggap individu sebagai aktor atomistik, terpisah, dan berdiri sendiri, berlaku rasional dengan memaksimalkan keuntungannya dalam berinteraksi sosial (Wirawan, 2012: 58).

Socrates menganalogikan sistem sosial dengan tubuh manusia. Plato menyatakan bahwa di dalam sistem sosial terjadi pembagian tugas dan peran. Auguste Comte menggugat individualitas yang bebas dan rasional, dan menginginkan konsensus sosial serta masyarakat diibaratkan sebagai tubuh organik. Spencer menyatakan masyarakat mengalami proses evolusi melalui adaptasi, di mana individu tumbuh dan mencapai kematangan, yang kemudian melahirkan konsep struktur dan fungsi. Durkheim melihat kehidupan bermasyarakat sebagai konsesus sosial dan masyarakat diibaratkan sebagai tubuh organik. Ia memandang kehidupan masyarakat sebagai keadaan yang objektif. Individu adalah bagian dari kolektivitas dan berada dalam struktur. Di satu sisi struktur memberi tanggungjawab pada individu, di sisi lain individu harus melakukan peran-peran sosialnya. Bagi Durkheim, sistem yang fungsional akan mampu menciptakan harmoni dan stabilitas, hal ini dibuktikan melalui alasannya pada teori “division of labour”. Individu menjalankan peran sosial hingga melahirkan adanya “common value” (terwujudnya tertib sosial yang berlaku dalam masyarakat atau struktur sosial dalam masyarakat itu) (Wirawan, 2012: 35).

Apabila seseorang telah dapat bergaul dan menyesuaikan dirinya dengan kehidupan kelompoknya, berarti orang tersebut dapat mengenal nilai yang berlaku dalam kehidupan sosialnya, sekaligus memperkembangkan pribadinya. Dengan interaksi sosial itu manusia

(6)

dapat merealisasikan kehidupannya, sebab tanpa timbal balik dalam interaksi sosial itu, ia tidak akan dapat merealisasikan kemungkinan dan potensi-potensinya sebagai individu. Mengenai sosialitas manusia (social being) terlaksananya pendidikan secara baik adalah dengan saling tolong-menolong sebagai makhluk sosial. Pernyataan ini dapat dipertegas dengan firman Allah yang artinya: dan tolong-menolonglah

kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa (QS. Al-Maidah: 2).

Al-Qur’an membahas ungkapan kerjasama, saling tolong atau saling membantu dengan kata ta’awun, yang berarti kedua belah pihak secara aktif melakukan pertolongan dan bantuan satu sama lain. Karakter dasar manusia inilah yang menempatkan dirinya menjadi sebuah keniscayaan, di mana dalam mengarungi dan memenuhi kebutuhan hidup di dunia ini (Lanny Octavia, dkk, 2014: 156). Tradisi tolong menolong pada dasarnya memiliki kesamaan landasan dalam al-Qur’an tentang pentingnya bekerjasama, tolong menolong atau saling membantu. Prinsip ini dikemukakan al-Quran sebagai upaya meletakkan manusia sebagai makhluk Tuhan, juga sebagai makhluk sosial yang terikat dengan hukum-hukum sosial.

Tidak ada suatu sistem pendidikan yang tetap dan statis, sistem pendidikan selalu dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan dan kekuatan-kekuatan sosial, budaya, spiritual, ekonomi, dan politik. Lembaga-lembaga pendidikan merupakan pranata sosial dari suatu masyarakat yang berbudaya. Dengan demikian fungsi lembaga tersebut tidak lain adalah memelihara, mengembangkan, dan mewujudkan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat pemiliknya (Tilaar, 2004: 210).

(7)

Aspek-aspek sosial pendidikan dapat digambarkan dengan memandang ketergantungan individu- individu satu sama lain dalam proses belajar. Makhluk-makhluk bukan manusia seperti binatang buas, burung-burung, atau serangga dapat hidup hanya berpedoman pada warisan biologis, suatu program genetik bagi tingkahlaku makhluk hidup. Pola-pola diwarisi dengan mengajarnya memelihara anaknya, mencari makan, dan menjaga kawasannya. Sebaliknya, kebanyakan yang perlu diketahui oleh manusia tidak diprogramkan melalui genetik. Semenjak dan masa sangat muda lagi kanak-kanak sudah harus mulai mempelajari cara hidup yang begitu banyak macamnya. Cara hidup yang disebut kebudayaan itu tidak dapat diwariskan secara biologis, harus selalu dipelajari oleh setiap individu. C. Landasan Pendidikan dari Segi Sosial

Pendidikan merupakan investasi besar bagi suatu negara. Pendidikan menyangkut kepentingan semua warga negara, masyarakat, negara, institusi-institusi dan berbagai kepentingan lain. Ini disebabkan pendidikan berkaitan erat dengan outcomenya berupa tersedianya SDM yang handal untuk menyuplai berbagai kepentingan. Oleh sebab itu titik berat pembangunan pendidikan terletak pada peningkatan mutu setiap jenis dan jenjang, serta perluasan kesempatan belajar pada pendidikan dasar. Pendidikan memegang kunci keberhasilan suatu negara di masa depan. Namun kenyataan membuktikan, khususnya di Indonesia, pendidikan masih belum dipandang vital, khususnya oleh para pemegang tampuk kepemimpinan negara.

Menurut Tilaar (2004: 29), bahwa pendidikan saat ini telah direduksikan sebagai pembentukan intelektual semata sehingga

(8)

menyebabkan terjadinya kedangkalan budaya dan hilangnya identitas lokal dan nasional. Perubahan global dan liberalisasi pendidikan memaksa lembaga-lembaga pendidikan menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Pendidikan hanya berorientasi pasar sesungguhnya telah kehilangan akar pada kesejatian dan identitas diri. Gejala-gejala pendangkalan ini sekarang mudah dibaca.

Misi pendidikan adalah mewariskan ilmu dari generasi ke generasi selanjutnya. Ilmu yang dimaksud antara lain pengetahuan, tradisi dan nilai-nilai budaya (keberadaban). Secara umum penularan ilmu tersebut telah diemban oleh orang-orang yang concern terhadap generasi selanjutnya. Mereka diwakili oleh orang yang punya visi kedepan, yaitu menjadikan generasi yang lebih baik dan beradab. Landasan pendidikan dari segi sosial dan tiga pola. Pola kegiatan sosial dalam pendidikan yaitu pertama pola nomothetis kedua pola idiografis dan ketiga pola transaksional. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1. Pola Nomothetis

Pola nomothetis lebih menekankan pada dimensi tingkah laku yang bersifat normatif atau nomothetis, dengan demikian pendidikan lebih mengutamakan pada tuntutan-tuntutan instiitusi. (pranata), peranan yang seharusnya (ascribed role) dan harapan-harapan atau cita-cita social, dari pada tuntutan-tuntutan yang bersifat perorangan, kepribadian dan kebutuhan individu. Dalam hal ini pendidikan dibataskan sebagai urusan mewariskan milik social kepada generasi muda, pendidikan adalah proses sosialisasi individu (socialization of

personality). Hal ini menimbulkan aliran sosiologisme dalam

pendidikan. Pada pola Nomothetis ini sangat relevan sekali dengan adanya penerapan pelaksanaan penilaian kurikulum 2013 yaitu

(9)

adanya penilaian sikap spiritual yaitu : aspek yang dinilai : 1) berdoa sebelum memulai aktivitas, 2) khusuk dalam berdoa, 3) khusuk dalam beribadah, 4) beribadah tepat waktu, 5) perilaku bersyukur, penilaian ini direkap hasil akumulasi selama 1 semester, dengan penialian berdasarkan rubric yang telah dibuat oleh pihak sekolah berdasarkan permen Nomor 58 tahun 2014. Di samping adanya penilaian sikap sosial antara lain: tanggungjawab, jujur, peduli, kerjasama, santun, percayadiri, dan disiplin.

2. Pola Idiografis

Pola Idiografis lebih menekankan pada dimensi tingkah laku yang bersifat tuntuitan individual, kepribadian dan persorangan. Pendidikan sebagai urusan membantu seseorang mengembangkan kepribadiannya seoptimal mungkin. Pendidikan adalah personalisasi peranan (personalization of role). Hal ini menumbuhkan Psikologisme dalam pendidikan atau developmentalisme.

3. Pola Transaksional

Pola transaksional berusaha menjembatani antara pola nomothetis dan pola idiografis, hal ini berarti menjembatani antara tuntutan, harapan dan peranan sosial dengan tuntutan, kebutuhan dan individual. Pola transaksional memandang pendidikan sebagai sebuah sistem sosial yang mengandung ciri-ciri bahwa (1) setiap individu mengenali betul tujuan system sehingga tujuan tersebut menjadi bagian dari kebutuhan dirinya, (2) setiap individu yakin bahwa harapan-harapan sosial yang dikenakan pada dirinya masuk akal untuk dapat dicapainya, dan (3) setiap individu merasa bahwa dia termasuk dalam sebuah kelompok dengan suasana emosional

(10)

yang sama. Misalnya memberikan siswa mampu mandiri dan diberikan suatu kebebasan untuk berpikir, membuat ide atau gagasan.

Proses pendidikan yang ideal seharusnya mencerminkan kehidupan dan kondisi-kondisi sosial suatu masyarakat; karena program pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kondisi sosial, institusi sosial, hubungan sosial, yang semuanya akan memberikan arah bagi kemajuan dunia pendidikan. Oleh karena itu aspek sosial sangat penting dalam pendidikan, terutama bagi pemerhati, sekaligus pelaku pendidikan (stakeholders pendidikan).

Alasan lain pentingnya kajian sosial dalam pendidikan,

menghubungkan pengetahuan tentang masyarakat dengan

pendidikan sebagai institusi. Kajian ini untuk memelihara sinergitas dan pengembangan masyarakat sekaligus diharapkan kajian ini mampu menghubungkan pemahaman yang masih terpecah-pecah menjadi sesuatu yang utuh. Selanjutnya para pendidik dapat memahami isu-isu sosial yang berkembang di masyarakat, terutama menyangkut perubahan sosial (modernization development) sebagai bentuk kepedulian dan sosial control. Di samping itu masyarakat yang pluralistik, multikultural akan cepat memahami berbagai perubahan, agar tidak kehilangan pegangan dan arah kehidupan masa depan.

Perhatian pendidikan terhadap fenomena sosial menurut Talcot Parson dalam bukunya Toward a General Theory of Action menyatakan bahwa a social aspect having the three properties of collective

goal, shared goals, and being a single system of interaction with boundaries defined by incumbency in the roles contituting the system, we be called a collectivity. The Action collectivity may be viewed as the action in concert of a plurality of individual actors”. Pemahaman Parson menunjukkan bahwa

(11)

lembaga sosial dalam masyarakat, serta perbedaan dan peran individu dalam masyarakat.

Aspek sosial (kemasyarakatan) merupakan bagian yang penting untuk digali dalam pendidikan, termasuk diperhatikan secara seksama supaya pendidikan tidak menjadi menara gading di tengah masyarakatnya dan melahirkan karakter bangsa berupa muncul kesalehan sosial yang lebih tinggi. Apalagi ditengah hiruk-pikuk problem yang melanda saat ini, seperti wabah, disintegrasi bangsa, ancaman berupa keamanan negara, perekonomian nasional, dan isu-isu nasionalisme lainnya. Semua fenomena sosial yang terjadi mesti dihadapi dengan meningkatkan kesalehan sosial melalui proses pendidikan yang terintegrasi dengan fenomena sosial yang sesungguhnya.

Kajian aspek sosial dalam pendidikan melahirkan berbagai istilah penting sebagai pencerminan dinamika masyarakat dari dahulu sampai sekarang. Dinamika itu mencerminkan adanya proses perubahan baik yang bersifat evolusioner maupun revolusioner yang terjadi terhadap berbagai unsur-unsur institusi sosial seperti pada sistem norma, personal, dan peralatan fisik. Kesemua aspek-aspek sosial tersebut memberikan peran pengendalian sosial, mendorong orang-orang tertentu untuk bereaksi menentang institusi tertentu (karena sudah usang) dan berusaha merumuskan pola perilaku baru, dan mengharmoniskan berbagai badan dalam konsfigurasi secara keseluruhan.

Aspek sosial merupakan bagian kepribadian pada umumnya. Aspek sosial berhubungan erat dengan tingkah laku yang berkenaan dengan aktivitas dalam berkomunikasi, berteman, bekerja sama, saling

(12)

menghormati, mempercayai, toleransi dan sebagainya. Pada dasarnya manusia itu merupakan makluk individu sekaligus makluk sosial. Kedua sifat ini dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Aspek sosial dalam diri mengalami perkembangan dari masa pra social atau asocial menuju masa social membutuhkan waktu yang relatif lama. Proses sosial ini dipengaruhi oleh beberapa factor yang ada dalam diri maupun di luar diri anak. Faktor dalam diri anak seperti kecerdasan, pengetahuan, kesehatan, wawasan, jasmani. Sedang faktor dari luar anak seperti kondisi keluarga, kebiasaan dalam keluarga, lingkungan sekitar, teman bermain dan masih banyak yang lain.

Kehadiran masyarakat information society dengan mobilitas tinggi memiliki peradaban yang ditandai dengan penggunaan elektronika, komputer, robot, sinar laser, optik, komunikasi, jejaring sosial, energi alternatif, ilmu samudera dan manufaktur di angkasa luar, perekayasaan ekologis, dan pertaniaan ekosistem; semuanya merefleksikan loncatan kualitatif pengetahuan manusia yang sekarang sedang diterjemahkan ke dalam penerapan ekonomi sehari-hari.

Perubahan kondisi sosial dalam masyarakat itu lebih dikenal sebagai revolusi industri kedua atau gelombang ketiga untuk mencapai cita-cita pembangunan menuju masyarakat modernis yang memiliki peradaban, Hagen dalam bukunya On The Theory Of The

Social Change, How Economic Growth Bagins memberikan saran-saran

supaya pengelolaan pendidikan harus mampu melahirkan manusia yang kreatif ditandai dengan kepribadian yang inovatif, terbuka terhadap pengalaman baru, imajinatif, percaya diri dan yakin pada penilaian sendiri, satisfaction to problem solving, kesadaran akan kewajiban dan tanggungjawab untuk berhasil, smart, proaktif, punya

(13)

persepsi bahwa dunia ini merupakan tantangan dan orang harus terus-menerus berusaha untuk mencapai keberhasilan. Pendalaman teori di atas akan memperlihatkan suatu mata rantai hubungan antara struktur sosial dengan tingkah laku orang yang membentuk suatu kepribadian. Dengan kata lain pendidikan berpengaruh dalam membangun kepribadian dari generasi ke generasi berikutnya untuk memahami kondisi sosial masyarakatnya yang ada di lingkungannya. D. Aspek Sosial dalam Pendidikan

Dalam kaitannya dengan pendidikan, tentunya aspek sosial sangat berpengaruh. Di antara pengaruhnya adalah sebagai berikut:

1. Memahami berbagai faktor yang berpengaruh dalam menciptakan lingkungan belajar yang mendukung proses pembelajaran. Menciptakan suasana kondusif di dalam kelas. 2. Mengerti berbagai faktor social cultural dan ekonomi yang

berpengaruh terhadap proses pendidikan peserta didik, sekolah memahami latar kehidupan siswa.

3. Memahami pentingnya hubungan antara sekolah dengan orang tua dan tokoh masyarakat yang berpengaruh terhadap proses pendidikan anak di sekolah secara langsung atau tidak langsung. Peran komite sekolah dengan pihak sekolah, dan masyarakat lingkungan sekitarnya.

4. Mengerti nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dijunjung tinggi oleh masyarakat yang merupakan pedoman hidup, memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan watak dan kepribadian peserta didik. Penerapan dapat dilakukan di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggal siswa.

(14)

5. Memahami pendekatan-pendekatan yang diterapkan di sekolah untuk menarik masyarakat berperan serta dalam pendidikan di sekolah sesuai kapasitas dan fungsi mereka. 6. Menguasai dan memahami perubahan-perubahan akibat

dampak globalisasi yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan termasuk proses pembelajaran dan mengendalikan perubahan tersebut agar tidak terjadi pengaruh negatif terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan peserta didik (Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI, 2012: 345). Untuk mendukung keterlaksanaan pengembangan program pendidikan masa depan, perlu dikembangkan suatu masyarakat belajar (learning society) pada setiap satuan pendidikan. Hal tersebut dimungkinkan, karena setiap aspek kehidupan, baik pada tingkat individual maupun sosial, menawarkan kesempatan untuk belajar dan bekerja. Oleh karena itu, pengembangan program belajar pendidikan di masa depan perlu mendorong dan memfasilitasi penggalian potensi pendidikan dari media teknologi informasi modern, dunia kerja atau kultural, dan pengisian waktu luang. Selain itu, perlu dikembangkan pula kebiasaan peserta didik memanfaatkan setiap kesempatan untuk belajar dan mengembangkan diri, baik yang terkait dengan apa yang mereka pelajari di satuan pendidikannya, maupun yang terkait dengan kehidupan mereka sehari-hari.

Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta

(15)

didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara demokratis serta bertanggung jawab. Pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olah hati, olah pikir, olah rasa dan olah raga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global. Peningkatan relevansi pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi sumber daya alam Indonesia. Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan pembaharuan pengelolaan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan (Permen No. 22 tahun 2006).

Perubahan sosial menggambarkan suatu proses perkembangan masyarakat. Pada satu sisi perubahan sosial memberikan suatu ciri perkembangan atau kemajuan (progress) tetapi pada sisi yang lain dapat pula berbentuk suatu kemunduran (regress). Perubahan sosial dapat terjadi oleh karena suatu sebab yang bersifat alamiah dan suatu sebab yang direncanakan. Perubahan sosial yang bersifat alamiah adalah suatu perubahan yang bersumber dari dalam masyarakat itu sendiri. Sedangkan perubahan sosial direncanakan terjadi karena

(16)

adanya suatu program direncanakan, seringkali berbentuk intervensi, bersumber baik dari dalam ataupun dari luar suatu masyarakat. Perubahan direncanakan datang dari dalam masyarakat bersangkutan, merupakan program perubahan yang dibuat oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu, biasanya para elite masyarakat, yang ditujukan bagi kelompok-kelompok masyarakat lainnya.

E. Aspek-Aspek Perubahan Sosial

Persoalan yang dibicarakan oleh teori perubahan sosial antara lain sebagai berikut:

Pertama, kecepatan suatu perubahan terjadi, ke mana arah dan

bentuk perubahan, serta hambatan-hambatannya. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat sejarah perkembangan sosialnya. Seperti diketahui, Indonesia mengalami proses percepatan pembangunan, atau modernisasi awal terutama setelah tahun 1900-an, yakni ketika Belanda memperkenalkan kebijakan politik etis. Akan tetapi, seperti akan dijelaskan kemudian, percepatan perubahan di Indonesia terutama terjadi setelah tahun 1980-an. Hal itu berkaitan dengan pengaruh timbal balik perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta beberapa kemudahan yang disebabkan faktor tersebut.

Kedua, faktor apa yang berpengaruh terhadap perubahan

sosial. Dalam hal ini terdapat enam faktor yang berpengaruh terhadap perubahan sosial; (1) penyebaraan informasi, meliputi pengaruh dan mekanisme media dalam menyampaikan pesan-pesan ataupun gagasan (pemikiran); (2) modal, antara lain SDM ataupun modal finansial; (3) teknologi, suatu unsur dan sekaligus faktor yang cepat berubah sesusai dengan perkembangan ilmu pengetahuan; (4) ideologi atau agama, bagaimana agama atau ideologi tertentu berpengaruh

(17)

terhadap porses perubahan sosial; (5) birokrasi, terutama berkaitan dengan berbagai kebijakan pemerintahan tertentu dalam membangun kekuasaannya; (6) agen atau aktor. Hal ini secara umum termasuk dalam modal SDM, tetapi secara spesifik yang dimaksudkan adalah inisiatif-inisiatif individual dalam mencarikehidupan yang lebih baik

Ketiga, perubahan terjadi, dari negara, atau dari pasar bebas

(kekuatan luar negeri), atau justru dari dalam diri masyarakat itu sendiri. Keempat, hal-hal yang berubah dan proses perubahan itu terjadi. Seperti diketahui, perubahan dapat sesuatu yang berbentuk fisik (tampak/material), misalnya terjadinya pembangunan dalam pengertian fisik, tetapi ada pula hal-hal yang tidak tampak (non material), seperti pemikiran, kesadaran, dan sebagainya. Kelima, hal-hal atau wacana-wacana yang dominan dalam proses perubahan sosial tersebut. Misalnya, untuk kasus Indonesia di antara enam faktor perubahan seperti disinggung di atas, mana di antaranya yang dominan, dan alasan hal tersebut terjadi.

Keenam, membedakan konteks-konteks perubahan dalam

setiap masyarakat dan proses sosial tersebut berlangsung. Dalam masalah ini, pertama, ada yang disebut proses reproduksi, yakni proses pengulangan-pengulangan dalam ruang dan waktu yang berbeda seperti halnya warisan sosial dan budaya dari masyarakat sebelumnya. Kedua, transformasi, yakni proses perubahan bentuk atau penciptaan baru, atau berbeda dari sebelumnya.

Perubahan sosial budaya menjadi suatu gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Kebosanan manusia sebenarnya

(18)

merupakan penyebab dari perubahan. Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

F. Penutup

Landasan pendidikan dari segi sosial yaitu pola nomothetis, pola idiografis dan pola transaksional. Aspek sosial dalam pendidikan meliputi berbagai faktor yang berpengaruh dalam menciptakan lingkungan belajar untuk mendukung proses pembelajaran, mengerti berbagai faktor sosial-kultural dan ekonomi yang berpengaruh terhadap proses pendidikan peserta didik, memahami pentingnya hubungan antara sekolah dengan orang tua dan tokoh masyarakat yang berpengaruh terhadap proses pendidikan anak, mengerti nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku serta dijunjung tinggi oleh masyarakat yang memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan watak dan kepribadian peserta didik, mamahami pendekatan-pendekatan yang diterapkan di sekolah untuk menarik masyarakat berperan serta dalam pendidikan sesuai kapasitas dan fungsi mereka, menguasai dan memahami perubahan-perubahan akibat dampak globalisasi yang mempengaruhi keseluruhan aspek kehidupan termasuk proses pembelajaran dan mengendalikan perubahan tersebut agar tidak terjadi pengaruh negatif terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan peserta didik.

(19)

Daftar Pustaka

Abtahi, M., & Battell, C. (2017). Integrate Social Justice Into the Mathematics Curriculum in Learning. Jurnal Ilmiah Peuradeun,

5(1), 101-114. doi:10.26811/peuradeun.v5i1.123

Anonim. Kementerian Agama Republik Indonesia, (2011), Al-Qur’an

dan Terjemahnya, Jakarta: Adi Aksara Abadi Indonesia.

Bambang Rudito, (2013), Social Mapping-Metode Pemetaan Sosial Tehnik

Memahami Suatu Masyarakat atau Komuniti. Bandung:

Rekayasa Saints.

H.A.R Tilaar, (2004), ParadigmaBaru Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta.

I. B. Wirawan, (2012), Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Lanny Octavia, dkk, (2014), Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi

Pesantren, Jakarta: Rumah Kitab.

Nurhasanah, N., & Fitriana, Q. (2018). The Influence of Emotional Intelligence on Social Adjustments of Tenth Grade Students of SMA Unggul Negeri 2 Banda Aceh. Jurnal Ilmiah Peuradeun,

6(2), 253-266. doi:10.26811/peuradeun.v6i2.212

Nursid Sumaatmadja, (2006), Perspektif Studi Sosial, Bandung: Alumni. Tabrani ZA. (2013). Modernisasi Pengembangan Pendidikan Islam

(Suatu Telaah Epistemologi Pendidikan). Serambi Tarbawi, 1(1), 65-84.

Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI, (2012), Manajemen

Pendidikan, Bandung: Alfabeta.

Walidin, W., Idris, S., & Tabrani ZA. (2015). Metodologi Penelitian

Kualitatif & Grounded Theory. Banda Aceh: FTK Ar-Raniry

Press. Sumber lain:

Bandi Utama, Bermain Sebagai Sarana Pengembangan Aspek Sosial Pada

Anak Usia DinI, http://staff.uny.ac.id/sites/default/ files/

penelitian/AM.%20Bandi%20Utama,%20M.Pd./1.%20BERM AIN%20SEBAGAI%20SARANA%20PENGEMBANGAN%20 ASPEK%20SOSIAL%20sminar%202012.pdf

(20)

http://dosen.ung.ac.id/arwildayanto/home/2013/1/31/pendidikan_ berbasis_kondisi_sosial_masyarakat.html http://pandidikan.blogspot.com/2011/04/aspek-aspek-sosial-dalam-pendidikan.html http://www.wahyurepi.com/2011/03/makalah-landasan-pendidikan -ditinjau.html

Referensi

Dokumen terkait

“jadi kami bersyukur berjalan 12 tahun ternyata tidak di Indonesia saja, tapi kita mampu mengibarkan bendera di 8 negara, jadi mulai dari Indonesia, Malaysia, Filipina,

Keuntungan atau kerugian yang timbul dari perubahan nilai wajar dari aset keuangan ini disajikan dalam laporan laba rugi komprehensif konsolidasi sebagai keuntungan

Rancangan seiri pada area 1 meliputi pemilahan material serta mesin yang terpakai dan tidak terpakai, pemilahan peralatan pendukung yang terpakai dan tidak terpakai

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa munculnya warung-warung kopi modern di kota Medan tidak terlepas dari pengaruh hadirnya gerai kopi Starbucks, pengaruh kopi sachet, gaya

Wilmar Nabati, Gresik menggunakan suplai listrik dari PLN Segara Madu 8.963 MVAsc di tegangan 20kV dan 9 generator di tegangan 0.4kV (keterangan lengkap pada lampiran tabel 1 dan

buku/laporan b.Sistem melakukan pengecekan data peminjaman, dan menampilkan pesan bahwa penon-aktifan anggota gagal, dikarenakan anggota sedang melakukan peminjaman

Sebuah implementasi strategis untuk rebranding sangat diperlukan, dan itu setidaknya sudah dilakukan dengan memenuhi teori Perter (1996) tentang pentingnya diferensiasi,

Apabila terdapat kekurangan tenaga pendidik ditinjau dari jam mata pelajaran dengan jumlah tenaga pendidik yang ada, tahap pertama dilakukan oleh pihak lembaga